Anda di halaman 1dari 12

Penyakit Pernafasan Obstruktif Kronik pada Pasien 57 Tahun

Henricho Hermawan
10.2014.108 / F2
7 Juli 2016
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Email: henricho.hermawan@windowslive.com

Pendahuluan

Di negara berkembang seperti Indonesia, tingkat ekonomi masih cukup tidak merata. Oleh
karenanya pengatahuan masyarakat mengenai kesehatan masih cukup rendah karena kurangnya
pendidikan. Salah satunya adalah mengenai bahaya merokok. Masih banyak masyarakat Indonesia
yang memiliki penghasilan rendah juga mengkonsumsi rokok cukup banyak, selain
membahayakan diri sendiri, perokok juga membahayakan orang lain disekitarnya karena mereka
sebagai perokok pasif.

Banyak resiko penyakit yang bisa diderita seorang perokok. Karena dengan merokok
mereka justru meningkatkan resiko kemungkinan terkena penyakit. Salah satu organ yang sudah
pasti akan terganggu adalah paru-paru. Masuknya asap rokok sebagai bahan iritan dapat
membahayakan saluran nafas itu sendiri, penumpukan bahan iritan yang terjadi terus-menerus
dapat menyumbat saluran nafas sehingga aliran udara dari pangkal saluran nafas ke ujungnya
menjadi terganggu.

Anamnesis

Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian wawancara dengan pasien (autoanamnesis), keluarga pasien atau dalam
keadaan tertentu dengan penolong pasien (aloanamnesis).1 Anamnesis harus dilakukan dengan
tenang, ramah, sabar serta menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien.2
Ketika melakukan anamnesis perlu membedakan antara sakit (illness) dan penyakit
(disease). Sakit adalah suatu bentuk penilaian seseorang akan kondisi yang terjadi pada dirinya
sedangkan penyakit lebih menunjukkan kepada suatu bentuk reaksi yang terjadi di dalam tubuhnya
akibat suatu trauma, mikoorganisme dan sejenisnya yang menyebabkan perubahan fungsi tubuh.2
Dalam melakukan anamnesis harus diusahakan untuk mendapatkan data-data sebagai berikut:
a. Waktu dan lamanya keluhan
b. Sifat dan beratnya serangan
c. Lokasi dan penyebarannya
d. Hubungan dengan waktu
e. Hubungan dengan aktivitas
f. Keluhan yang menyertai serangan
g. Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali
h. Factor risiko dan pencetus serangan
i. Apakah ada kerabat yang menderita keluhan sama
j. Riwayat perjalan ke daerah endemis
k. Perkembangan penyakit
l. Upaya-upaya yang telah dilakukan
Dari anamnesis yang dilakukan atau yang hal-hal yang diketahui dari anamnesis adalah
sebagai berikut:
a. Dahak putih
b. Deman (+)
c. Riwayat merokok sejak umur 30 tahun, 1-2 bungkus per hari
d. Sesak hilang timbul, meningkat saat aktivitas dan ketika demam atau batuk
e. Leher tidak teraba perbesaran
f. Sianosis ringan
g. Udema (-)
Pemeriksaan Fisik
1. TTV (Tanda-tanda vital)
a. Tensi darah = 120/70 mmHg
b. Frekuensi nafas = 30x per menit
c. Denyut nadi = 100x per menit
d. Suhu = 36oC
e. Keadaan umum = compos mentis dan tampak sakit sedang
2. Inspeksi
a. Retraksi sela iga (+)
b. Keadaan thorax simetris dan terlihat emfisematous
c. Tampak lip breathing
3. Auskultasi
a. Bunyi paru vesikuler dengan wheezing (+) dan ronki basah kasar (+)
b. Sianosis ringan
c. JPP normal
d. Tyroid normal
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah
a. HB = 16
b. Leukosit = 6500
c. Trombosit = 300.000
Diagnosa Kerja
1. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)
Penyakit ini merupakan bentuk ireversibel dari penyakit obstruktif paru seperti
emfisema dan bronktitis kronik.3 Bronkitis kronik adalah batuk produktif dengan adanya
sputum selama 3 bulan dalam satu tahun atau dalam 2 tahun secara berturut-turut dengan
syarat tidak dapat ditemukan penyebab terjadinya sputum. Sedangkan emfisema adalah
terjadinya dilatasi ruang udara dari distal hingga terminal dari bronkus yang diikuti dengan
kerusakan dari alveol tanpa disertai fibrosis.
Gejala yang terjadi pada pasien PPOK baru bisa dijadikan sebagai penegak
diagnosis apabila terjadi setelah pemanjangan periode kerusakan paru progresif yang
mengakibatkan penurunan fungsi paru.4 Gejala yang umum terjadi adalah nafas pendek
disertai wheezing atau tidak, batuk, dan produksi mucus yang berlebihan. Perjalanan gejala
ini biasanya bersifat periodic, dan terjadi eksaserbasi akut yang ditandai dengan
peningkatan produksi sputum. Di sisi lain, wheezing tidak menjadi gejala utama yang
menandai adanya PPOK.
Diagnosis Banding
1. Asma
Merupakan penyakit inflamasi dan tersumbatnya saluran nafas dengan gejala yang
hilang timbul meliputi wheezing, sesak nafas, dyspnea, dan batuk yang disertai dengan
hipersensvitas dari bronkial. Kerusakan saluran nafas itu terjadi karena teriritasinya saluran
nafas oleh bahan allergen atau berbagai macam hal yang tidak spesifik mengakibatkan
terjadinya reaksi inflamasi dari sel saluran nafas yang terjadi secara akut ataupun kronik.5
Reaksi inflamasi ini dapat merubah otot halus saluran nafas dan responsifitas
mengakibatkan produksi mucus berlebihan dan melukai epitel saluran nafas.
Asma PPOK
Timbul pada usia muda ++ -
Sakit mendadak ++ -
Riwayat merokok +/- +++
Riwayat atopi ++ +
Sesak dan mengi berulang +++ +
Batuk kronik berdahak + ++
Hipereaktiviti bronkus +++ +
Reversibiliti obstruksi ++ -
Variabiliti harian ++ +
Eosinofili sputum + -
Neutrofil sputum - +
Makrofag sputum + -

2. Pneumonia
Penyakit ini adalah suatu penyakit karena terjadi peradangan pada parenkim paru,
distal dari bronkus terminal yang mencakup brokiolus respiratorius dan alveoli. Pada
pemeriksaan secara histologis akan ditemukan reaksi inflamasi berupa alveolitis dan
pengumpulan eksudat yang dapat ditumbulakn oleh berbagai penyebab dan berlangsung
dalam jangka waktu yang bervariasi.6
Dari anamnesis perlu ditanyakan hal-hal mengenai factor predisposisi,
tempat tinggal serta usia. Presentasi bervariasi tergantung pada ketiga hal ini.
Gejala yang berbeda akan mengarahkan pada jenis bakteri tertentu yang
menyebabkan pneumonia. Pada tingkat ringan yang disebabkan virus akan timbul
gejala myalgia, malaise, batuk kering dan non produktif. Pada tingkat sedikit lebih
parah yang bersifat oportunistik yang banyak menyerang orang tua/imunitas rendah
memiliki gejala yang bergejala tidak terlalu khas.6 Sedangkan tipe klasik, memiliki
gejala berupa demam, sesak nafas, tanda-tanda konsolidasi paru (perkusi paru yang
pekak, ronki nyaring, suara pernapasan bronkial). Pada pasien nosocomial atau
imunodefisiensi dapat dijumpai gejala gangguan kesadaran oleh karena hipoksia.
3. Bronkoektasis
Suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi dan distorsi bronkus local
yang bersifat patologis dan berjalan kronik, persisten atau ireversibel. Kelainan bronkus
tersebut disebabkan oleh perubahan dinding bronkus berupa destruksi elemen statis. Ciri
khas pada penyakit ini adalah adanya batuk kronik disertai produksi sputum, adanya
hemoptysis dan pneumonia berulang.7
Sistem Pernapasan Normal
Respirasi merupakan salah satu kunci sukses suatu organisme untuk dapat bertahan melalui
evolusi kehidupan. Hal ini karena respirasi membantu tubuh untuk menjaga komposisi cairan di
dalam sel secara konstan dalam keadaan lingkungan yang berubah-ubah. Dalam proses
mendapatkan energy dari makanan, tubuh akan melakukan oksidasi terhadap makanan yang
dimakan dan untuk melakukannya tubuh memerlukan aliran oksigen ke dalam tubuh. Penggunaan
O2 akan menghasilkan CO2 sebagai produk sisanya, sedangkan penumpukan dari gas ini dapat
membuat terjadinya asidosis maka dari itu perlu dibuang. Salah satunya melalui system
pernapasan.8
Aliran udara dalam paru hanya memiliki satu jalan masuk dan keluar, artinya oksigen dan
karbon dioksida akan masuk dan keluar melalui jalan yang sama. Udara mengalir dalam jalur
pernapasan dari tekanan tinggi ke tekanan rendah, mekanisme pernapasan membuat tekanan dalam
rongga pernapasan akan turun ketika inspirasi dan akan tinggi ketika ekspirasi dengan
memperkecil volume rongga dada. Udara mengalir secara laminar, yang artinya aliran akan lebih
cepat di tengah aliran namun terkadang udara juga mengalir secara turbulen untuk tujuan tertentu.
Aliran secara turbulen ini misalnya terjadi pada hidung ketika udara harus bertabrakan dengan
bulu hidung dengan tujuan membersihkan udara dan secara turbulen juga di laring, ketika efek
turbulen ini dimanfaatkan untuk memproduksi suara.8 Akan tetapi pada keadaan yang patologi,
aliran turbulen terjadi karena adanya sumbatan yang tidak normal dalam saluran nafas, yang
dikenal dengan penyakit paru obstruktif.
Penyempitan saluran nafas akan membuat dibutuhkannya dorongan yang lebih agar udara
masuk lebih jauh ke dalam saluran nafas, hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan frekuensi
nafas seseorang. Selain itu, laju udara dalam saluran yang mengalami obstruksi juga tentu tidak
akan sama, hal ini kadang akan mengakibatkan tabrakan antara udara dan obstruksi saluran nafas
dan menghasilkan bunyi yang biasa disebut dengan wheezing.8 Bunyi ini sendiri khas pada hasil
auskultasi pasien yang mengalami penyempitan saluran nafas.
Selain menghasilkan bunyi, penyempitan saluran nafas juga bisa membuat berkurangnya
udara yang masuk serta yang keluar. Apabila jumlah udara yang keluar berkurang itu berarti akan
terjadi peningkatan jumlah sel darah yang membawa CO2 karena ia gagal keluar akibat obstruksi
yang ada.8 Gambaran seseorang yang mengalami kelebihan CO2 adalah mengalami kebiruan.
Kelainan ini biasa disebut dengan sianosis.
Sianosis bisa terjadi secara peripheral ataupun sentral. Jika sianosis terjadi secara sentral
maka akan timbul kebiruan pada mukosa seperti bibir dan lidah, ini mengindikasikan bahwa darah
tidak mengalir cukup jauh untuk menyuplai keduanya. Keadaan ini, menimbulkan kecurigaan
bahwa sesungguhnya darah yang keluar dari ventricle kiri memang banyak mengandung CO2 yang
diakibatkan adanya gangguna pada jantung atau paru-paru.8 Di sisi lain sianosis perifer terjadi
karena alirah darah yang tidak adekuat mengakibatkan sianosis terjadi pada ekstremitas.
Epidemiologi
Data epidemiologi terjadinya PPOK merupakan angka kejadian yang menyangkut dengan
kronik bronchitis dan emfisema.5 Di Inggris, COPD/PPOK menyebabkan kematian hingga 30.000
jiwa setiap tahunnya. Jumlah penderita meningkat seiring menuanya seseorang dengan
perbandingan kejadian pada laki-laki 7.3% dan perempuan 3.2%.3,5 Angka kejadian tertinggi
terjadi pada usia sekitar 65-74 tahun.3 Sedangkan di Amerika COPD/PPOK, diderita kurang lebih
sekitar 15 juta orang dengan diagnosis utama adalah kronik bronchitis dan sekitar 2/3 nya memiliki
potensi terjangkit emfisema. Angka kematian COPD di Amerika pada tahun 2011 berjumlah
sekitar 138.000 jiwa yang merupakan penyebab ketiga tertinggi.
WHO memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meingkat.
Akibat sebagai penyebab penyakit tersering peringatknya akan meningkat dari ke duabelas
menjadi ke lima dan sebagai penyebab kematian akan meningkat dari ke enam menjadi ke tiga.
Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga Dep Kes RI tahun 1992 PPOK bersama asma bronkial
menduduki peringkat ke enam. Merokok merupakan factor risiko terpenting penyebab PPOK di
samping factor risiko lainnya sepertipousi udara, factor genetic dan lainnya.9
Etiologi
Hampir 90% pasien yang menderita COPD/PPOK adalah perokok. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa sekitar 50% perokok memiliki resiko untuk mengidap COPD, dan walaupun
50% lainnya tidak mengidap COPD atau mengidap COPD tanpa gejala mereka tetap menunjukkan
adanya gejala penurunan fungsi paru seiring dengan bertambahnya umur dibandingkan dengan
orang-orang yang merokok.3 Maka dari itu, fakta ini menunjukkan bahwa rokok buka satu-satunya
factor melainkan masih ada beberapa factor lagi seperti genetic dan lingkungan yang berperan
dalam penyebab COPD.
Alfa-1 antitripsin merupakan enzim yang diproduksi hati yang berfungsi untuk menjaga
integritas selular untk mencegah pengahancuran tidak terkontrol dari jaringa alveolar. Defisiensi
Alfa-1 antitripsin yang terjadi karena keturunan terjadi sekitar 1 dari 5000 kelahiran di Inggris,
dan penghancuran dari alveolar ini akan meningkatkan kemungkinan terjadinya emfisema pada
penderita. Penyakit ini terjadi pada orang-orang yang membawa gen resesif dominan serta
memiliki angka prevalensi 2% dari seluruh kasus emfisema, sedangkan bagi mereka yang memiliki
gen homozigot dominan, baru akan muncul gejala atau peningkatan factor resiko apabila mereka
juga adalah perokok.3 Emfisema karena defisiensi Alfa-1 antitripsin perlu dicurigai pada pasien
yang memiliki riwayat keluarga emfisema atau perokok yang memiliki gejala dan tanda emfisema
pada usia muda (di bawah 40 tahun).
Lingkungan kerja yang berdebu seperti pertambangan batu bara, diketahui memiliki
potensi menghasilkan penyakit COPD.3 Potensi lain yang bisa berakibat pada munculnya COPD
adalah status sosio-ekonomi rendah, kurang gizi, dan riwayat bronkial hypersensitifitas.
Patofisiologi
Bahan iritan yang masuk ke dalam saluran nafas akan membuat saluran nafas sendiri
memberikan reaksi perlindungan untuk menjaga fungsinya tetap terjaga. Hipersekresi mucus dan
disfungsi dari silia akan berakibat pada munculnya bantuk kronik produktif yang menjadi tanda
pertama dari penyakit.4 Bersamaan dengan sekresi saluran nafas, beberapa mekanisme lain juga
diperkirakan berkontribusi untuk menghasilkan sumbatan saluran nafas pada COPD. Fibrosis
peribronkial akan membentuk obstruksi terfikasi pada saluran nafas yang lebih kecil sedangkan
edema mukosa akan memperburuk obstruksi karena infiltrasi inflamasi pada lumen saluran nafas.
Hancurnya dinding alveolar sentral yang berujung pada emfisema menunjang terjadinya
hambatan saluran nafas.4 Emfisema bisa terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara factor
cedera oksigan local dan proteolitik yang disebabkan karena defisiensi dari Alfa-1 antitripsin.5
Emfisema merupakan penyakit yang berhubungan dengan parenkim paru. Konsekuensi fisiologi
dari perubahan akibat penyakit ini adalah:
a. Kerusakan respiratori terminal
b. Kehilangan alveolar kapiler
c. Kehilangan struktur penopang pari seperti jaringan elastic. Kehilangan jaringa ini akan
mengurangi kemampuan non-kartilago yang akan berakibat pada berkurangnya daya elasik
recoil dan peningkatan compliance.
Pada bronchitis kronik, terjadi karena adanya inflamasi dari saluran nafas terutama pada
bagian saluran nafas kecil yang diakibatkan terjadi hypertrofi dari glandula mukosa serta diikuti
dengan peningkatan sekresi mucus.5 Saluran nafas bagian mukosa mengalami infiltrasi dari PMN
leukosit dan limfosit. Inflamasi mukosa bisa secara alami menghambat atau menyumbat lumen
saluran nafas. Sebagai akibatnya, silia yang ada pada saluran nafas akan digantikan dengan sel
squamosal yang mengalami metaplasia. Dengan tidak adanya silia pada saluran nafas terutama
pada bagian bronkus, efek pembersihan dari mukosililer akan berkurang atau hilang sama sekali.
Sekresi mukosa serta hipertrofi glandula mukosa berperan dalam melakukan penyempitan
lumen. Di sisi lain, hipertrofi otot halus bronkial merupakan hal yang wajar, dan dapat dilihat
hiperesponsif secara non spesifik kepada stimulator dari bronkokonstriktor. Bronkiolus sering kali
diinfiltrasi oleh sel inflamator yang terdistorsi dengan fibrosis peribrokial. Kombinasi dari kejdia
ini akan mengakibatkan obstruksi saluran udara yang kronik dan gangguan pada pembersihan
saluran nafas.5
Manifestasi Klinik
Sesak nafas saat aktivitas, batuk dan produks sputum merupakan hal-hal yang sering
muncul pada penyakit COPD. Namun demikian, keadaan COPD dan disfungsi seringkali
ditemukan tanpa gejala pada beberapa individu. Infeksi saluran nafas bawah berulang pada
perokok seringkali membuat mereka harus berobat dan tidak wajar ketika pasien dalam keadaan
tersebut di diagnose COPD.3
Tanda fisik pada pasien COPD pada bagian tubuh adalah terjadinya pink buffer yaitu
kurus, henti nafas, dan sesak nafas atau blue bloater yaitu obesitas, sianosis dan mudah
mengantuk. Edema pada ankle, dan jugular venous pulmonare mungkin terjadi pada pasein yang
mengalami COPD. Sedangkan pada bagian dada pasien juga bisa terdapat barrel chest atau
peningkatan diameter pada sisi anteroposterior rongga thorax. Pengurangan ekspansi paru dan
masuknya udara juga bisa terjadi dan biasanya akan terjadi bunyi wheezing pada auskultasi.3
Pasien yang memiliki PPOK/COPD sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi akut.
Pasien PPOK bisa dikatakan memiliki eksaserbasi akut apabila kondisi pasien mengalami
perburukan yang bersifat akut dari kondisi sebelumnya uang stabil dan dengan variasi gejala harian
normal sehingga pasien memerlukan perubahan pengobatan yang sudah biasa digunakan.
Eksaserbasi akut biasanya disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi oleh virus atau bakteri,
bronkospasme, polusi atau golongan obat sedative. Pasien yang mengalami eksaserbasi akut
biasanya akan memiliki beberapa gejala seperti sesak nafas yang semakin sering, batuk produktif
dengan perubahan volume atau purulensi sputum atau juga bisa memiliki gejala tidak khas seperti
malaise, cepat lemah dan gangguan tidur.9
Roisin membagi gejala klinis eksasebrasi akut menjadi gejala sistemik dan gejala respirasi.
Gejala respirasi yaitu berupa sesak nafas yang semakin bertambah berat, peningkatan volume dan
purulensi sputum, batuk yang semakin sering dan nafas yang dangkal dan cepat. Sedangkan gejala
sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi serta gangguan mental
pasien. 9
Pemeriksaan perlu dilakukan untuk menilai derajat keparahan seseorang yang menderita
PPOK. Pemeriksaan yang bisa dilakukan yaitu:
a. Tes fungsi paru
Sulit dilakukan jika pasien sudah dalam keadaan parah.9
PEF < 100L/menit atau FEV < 1 L mengindikasikan adanya eksaserbasi yang parah
b. Pemeriksaan analisa gas darah
PaO2 < 8,0 kPa (60 mmHg) dan satu Sa O2 < 90% dengan atau tanpa PaCO2 > 6,7 kPa
(50 mmHg) saat bernapas dalam ruangan, mengindikasikan adanya gagal nafas
PaO2 < 6,7 kPa (50 mmHg), PaCO2 > 9,3 kPa (70 mm Hg) dan pH < 7,3, memberi kesan
episode yang mengancam jiwa dan perlu dilakukan monitor ketat serta penanganan intensif
c. Foto toraks
Dilakukan untuk melihat adanya komplikasi seperti pneumonia
d. EKG
Pemeriksaan EKG dapat membantu menegakkan diagnosis hipertrofi ventrikel kanan,
aritmia dan iskemia.
Pengobatan
a. Manajemen di rumah
Bronkodilator
2-agonis, antikolinergik dan metilxantin merupakan bronkodilator yang sering
digunakan. Obat ini dapat diberikan dengan dosis tunggal atau kombinasi.
Pemberian secara inhalasi lebih menguntungkan dari pada secara oral atau
parenteral karena efeknya cepat sampai pada irgan dan juga efek sampingnya
ringan.
Glukokortikosteroid
Jika FEV < 50% prediksi dapat diberikan 40mg prednisone oral per hari selama 10-
14 hari bersamaan dengan pemberian bronkodilator. Budesonid nebulizer bisa
dipakai sebagai alternative terapi selain oral. Glukokortisteroid dipakai untuk
pengobatan yang non asidosis
Antibiotik
Pemberian antibiotic harus memiliki indikasi yang jelas. Seperti peningkatan sesak
napas, peningkatan jumlah sputim dan peningkatan kekentalan/purulensi sputum.
Antibiotik hendaknya diberikan antibiotic yang berspektrum luas yang bisa
menghadapi H. influenza, S. pneumoniae dan M. catarrhalis. Berdasarkan
penelitian ketiga kuman tersebut merupakan bakteri penyebab terjadinya
eksaserbasi akut yang paling sering.
b. Manajemen di rumah sakit
Bronkodilator kerja cepat, 2-agonis, antikolinergik diberikan dengan dosis tinggi
dan frekuensi pemberian ditingkatkan
Steroid : oral atau intravena
Antibiotik : oral atau intravena
Pertimbangkan pemberian teofilin
Pertimbangkan pemberian ventilator mekanik masif, pada keadaan bereat seperti
ancaman gagal nafas akut, kelainan asam basa berat atau perburukan status mental
c. Stop merokok
Menghentikan kebiasaan ini pada penderita PPOK sebenarnya merupakan
usaha yang mudah dan ekonomis dalam rangka pengurangan progesifitas penyakit.
Bila pasien dapat berhenti merokok maka progresifitas FEV1-nya dapat diperkecil.
Pasien PPOK yang merokok akan mengalami penurunan FEV < 50 ml per tahun
(pada pasien normal tanpa merokok penurunan terjadi sekitar 18 ml per tahun). Bila
pasien berhenti maka penurunan yang drastic dapat dicegah dan akan lebih cepat
mengalami perbaikan.
Kesimpulan
Seorang yang merokok memiliki potensi cukup besar untuk menderita PPOK/COPD. Cara
menghindarinya adalah dengan menghindari rokok, namun rokok bukan menjadi satu-satunya
factor menyebab melainkan ada factor seperti genetic dan lingkungan. Untuk menghindari factor
lingkungan adalah dengan cara menjaga kebersihan sekitarnya dari debu dan kotoran. Penanganan
dapat dilakukan dengan pengobatann di rumah dan apabila sudah parah dapat dilakukan
penanganan di rumah sakit.
Daftar Pustaka
1. Gleadle, Jonathan. Pengambilan anamnesis. Dalam : At a glance anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2007. h. 1-4
2. Morton PG. Panduan pemeriksaan kesehatan dengan dokumentasi SOAPIE. Edisi 2.
Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC ; 2003. H. 56
3. Partridge MR. Understanding respiratory medicine. London : Manton Publishing Ltd ;
2006. H. 51-7
4. Ali J, Summer W, Levitzky M. Pulmonary pathophysiology. Philadhelphia : McGrawHill ;
2005. 91-8
5. Hammer GD, McPhee SJ. Pathophysiology of disease : an introduction to clinical
medicine. Edisi 7. Philadhelphia : McGrawHill ; 2014. H. 228
6. Dahlan Z. Pneumonia. Dalam : Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi
B, Syam AF, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 2. Edisi ke 6. Jakarta :
InternaPublishing ; 2015. H. 1610-1
7. Rahmatullah P. Bronkoektasis. Dalam : Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M,
Setiyohadi B, Syam AF, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 2. Edisi ke 6. Jakarta :
InternaPublishing ; 2015. H. 1684-6
8. Davies A, Moores C. The respiratory system : basic science and clinical condition. Edisi
2. Chennai : Churchill livingstone Elsevier ; 2010. H. 5, 42-5,
9. Riyanto BS, Wulan HR, Hisyam B. Obstruksi saluran pernapasan akut. Dalam : Setiati S,
Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editor. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jilid 2. Edisi ke 6. Jakarta : InternaPublishing ; 2015. H. 1592-1600

Anda mungkin juga menyukai