Anda di halaman 1dari 5

Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersana dengan Divisi

Penyakit Trofik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa
berdasarkan kriteria : 9
 Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas
indikasi.
 Praktis dalam pelaksanaannya.
 Mempertimbangkan cost effectiveness.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :
1. Protokol 1
Penanganan Tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok
Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan
pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalansi Gawat Darurat dan
9
juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat. Seseorang yang
tersangka menderita DBD di ruang Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan
hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila : 9
 Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 – 150.000 pasien
dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik dalam
waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht Lekosit dan trombosit
tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Instalansi
Gawat Darurat.
 Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat.
 Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.

2. Protokol 2
Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif tanpa syok
maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus
berikut ini: 9
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan : 1500 + {20 x (BB dalam kg -
20)}
Setelah pemberian cairan, dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam :
 Bila Hb, Ht meningkat 10 – 20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian
cairan tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht trombosit dilakukan
tiap 12 jam.
 Bila HB, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian cairan
sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%.

3. Protokol 3
Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit > 20%
Meningkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan
sebanyak 5%. Pada keadan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan
memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6 – 7 ml/kg/jam. Pasien kemudian
dipantau setelah 3 – 4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai
dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil,
produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kg/jam. 2
jam kemudian dilakukan pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan
dapat dihentikan 24 - 48 jam kemudian. 9
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6 – 7ml/kgBB/jam tadi keadaan
tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan
darah menurun , 20mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan
jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan
kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi
menjadi 5 ml/kgBb/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka
jumlah cairan infus dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam
perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda – tanda syok
maka pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindroma syok dengue pada
dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi
pemberian cairan awal. 9
4. Protokol 4
Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah :
perdarahan hidung / epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon
hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia),
perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan
tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4 – 5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan
seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa
syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan
sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosit serta hemostase harus
segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit sebaiknya diulangi setiap 4 –
6 jam.
Pemberian heparin dilakukan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan
tanda-tanda koagulasi intravaskulat diseminata (KID). Transfusi komponen darah
diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor
pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari
10 g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan
spontan dan masif dengan jumlah trombosit < 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID. 9

5. Protokol 5
Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada dewasa
Bila kita berhadapan dngan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama
yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu
penggantian cairan intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian
sindrom syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa
renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan
pertolongan / pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya
kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang
tidak adekuat. 9
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain
resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2 – 4 liter/menit. Pemeriksaan-
pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL),
hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan
kreatinin. 9
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10 – 20 ml/kgBB dan
dievaluasi setelah 15 – 30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan
darah sistolik 100 mHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang
dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit
tidak pucat disertai diuresis 0,5 – 1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7
ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60 – 120 menit kemudian tetap stabil pemberian
cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60 – 120 menit kemudian keadaan
tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24 - 48 jam setelah
renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup
maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorbsi cairan
plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya
hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau
gagal jantung dapat terjdi.) 9
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang terus dilakukan
terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses
patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20%
saja yang menetap dalam pembuluih darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena
untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan
tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan
naps, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta
jumlah diuresis.diuresis diusahak 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin,
hematokrit dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan
penyakit. 9
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka
pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20 – 30 ml/kgBB/jam dan
kemudian dievaluasi setelah 20 – 30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka
perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan
plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi
bila nilai hematkrit menurun, berati terjadi perdarah (internal bleeding) maka
penderita diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai
kebutuhan. 9
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-
sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan
cepat 10 - 20ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10 - 30 menit. Bila keadaan tetap belum
teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena
sentral, dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB
(maksimal 1 - 1,51/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cm H20. Bila
keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap
gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila
tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum
teratasi maka dapat diberikan obat inotropik / vasopresor. 9

Anda mungkin juga menyukai