Anda di halaman 1dari 21

CASE REPORT

KELOID




Muhammad Guruh Susanto



Pembimbing :

dr. Henry Moesfairil Sp.B


KEPANITERAAN ILMU BEDAH RSUD SOREANG
SOREANG, BANDUNG


BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. K
Umur : 10 Tahun
Jenis kelamin : Laki laki
Agama : Islam
Alamat : Panyocokan RT 3/2 kec. CIwidey Kab. Bandung
Pekerjaan : Pelajar
No RM : 463653

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan penderita tanggal 12 Juli 2014
Pukul 10.30
Keluhan utama : Benjolan di dada
Riwayat penyakit sekarang :
Sejak 1 tahun SMRS pasien mempunyai benjolan pada daerah dada, dan telah
dilakukan tindakan oleh dokter dengan mengeluarkan isi benjolan tersebut. Namun
setelah luka menutup, timbul gejala gatal dan tidak nyeri. Selama 1 tahun, keluhan
tersebut didiamkan dan dari bekas luka tersebut timbul benjolan yang makin meluas
dari tepi luka awal dengan gejala yang sama.
Riwayat alergi :
Tidak ada alergi obat
III. PEMERIKSAAN PASIEN
Status generalis
Kesadaran : kompos mentis
Tanda vital : TD = 110/70 mmHg
RR = 20 x/menit
Nadi = 72 x/menit
Suhu = 36,3
o
C
Kepala : Normochepal
Mata : Konjugtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),

Hidung : PCH (-), tidak ada sekret

Leher : Simetris, deviasi trakea (-), pembesaran limfonodi (-),
KGB : Tidak teraba pembesaran (axilla/supraklavikula/infraklavikula)
Thoraks
Pulmo : Retraksi (-), fremitus kanan = kiri, VBS kanan=kiri, wheezing (-),
ronkhi (-)
Cor : BJ II dan II murni reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen : Datar, lembut, bising usus (+) normal, hepar dan lien tidak teraba
Ekstermitas Superior Inferior
Akral dingin - / - - / -
Sianosis - / - - / -
Oedema - / - - / -
CRT <2/<2 <2/<2
Status lokalis
Regio thorakalis : lesi tumor tunggal, efloresensi nodular, ukuran 5 x 7 cm,
permukaan halus. batas tidak tegas

DIAGNOSIS KLINIS
Keloid at regio thorakalis
DIAGNOSIS BANDING
Hypertrophic scarring
SARAN PEMERIKSAAN
Tidak ada
TERAPI
Medikamentosa
(a) CTM PO 4 mg/hari
(b) Triamsinolone acetate intralesi 1 mg (0,1 mL) per 1 minggu pada lesi, sampai lesi
terjadi atrofi.
Non-medikamentosa
(a) Jangan menggaruk lesi.
(b) Jangan melakukan tindikan (body piercing).
(c) Usahakan proteksi tubuh agar tidak terjadi luka.
PROGNOSA
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. LUKA DAN PENYEMBUHAN LUKA
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapar
disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan,
sengatan listrik, atau gigitan hewan.
Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak ini adalah penyembuhan
luka yang dapat dibagi menjadi tiga fase, taitu fase inflamasi, proliferasi, dan
penyudahan yang merupakan remodelling jaringan.
Fase inflamasi
Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira hari kelima.
Pembuluh darah yang terputus pada luka akan enyebabkan perdarahan dan tubuh akan
berusaha untuk menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh
yang putus (retraksi), dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang
keluar dari pembuluh darah saling melengket, dan bersama jala fibrin yang terbentuk,
membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah. Sementara itu terjadu reaksi
inflamasi.
Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamin yang
meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi, penyebukans sel
radang, disertai vasodilatasi setempat yang menyebabkan udem dan pembengkakan.
Tanda dan gejala reaksi radang menjadi jelas berupawarna kemerahan karena kapiler
melebar (rubor), rasa hangat (kalor, rasa nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor).
Aktivitas seluler yang terjadi adalah pergerakan leukosit menembus dinding
pembuluh darah (diapedesis) menuju luka karena adanya kemotaksis. Leukosit
mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu mencerna bakteri dan kotoran luka.
Limfosit dan monosit yang kemudian muncul ikut menghancurkan dan memakan
kotoran luka dan bakteri (fagositosis)
Fase Proliferasi
Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol adalah proses
fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira-kira akhir
minggu ketiga. Fibroblast berasal dari sel mesenkim yang belum
berdiferensiasi,menghasilkan mukopolisakarida, asam aninoglisin, dan prolin yang
merupakan bahan dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka.
Pada fase ini, serat serat dibentuk dihancurkan kembali untuk penyesuaian diri
dengan tegangan pada luka yang cenderung mengerut. Sifat ini, bersama dengab sifat
kontraktil miofibroblast, menyebabkan tarikan pada tepi luka. Pada akhir fase ini,
kekuatan regangan luka mencapai 25% jaringan normal. Nantinya, dalam proses
penyudahan, kekuatan kolagen bertambah karena ikatan intramolekul dan
atarmolekul.
Pada fase fibroplasia ini, luka dipenuhi sel radang, fibroblast, dan
kolagen,membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan yang berbenjol
halu yang disebut jaringan granulasi. Proses ini baru berhenti setelah pitel saling
menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka. Dengan tertutupnya permukaan
luka, proses fibrodisplasia dengan pembentukan jaringan granulasi juga akan berhenti
dan mulailah proses pematangan dalam fase penyudahan
Fase Remodelling/Penyudahan
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri atas penyerapan kembali jaringan
yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi, dan akhirnya perupaan
kembalijaringan yang baru terbentuk. Fase ini dapat berlangsung berbulan-bulan dan
dinyatakan berakhir kalau semua tanda radang sudah lenyap. Tubuh berusaha
menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan.
Udem dansel radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru menutup dan
diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan
regangan yang ada. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, dan
lemas, serta mudah digerakkan dari dasar. Terlihar pengerutan maksimal pada luka.
Pada akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu menahan regangan kira-kira 80%
kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai kra-kira 3-6 bulan setelah penyembuhan.





2. DEFINISI KELOID
Keloid adalah pembentukan jaringan parut berlebihan (pertumbuhan proliferatif)
yang muncul di atas kulit yang mengalami trauma atau di atas luka operasi dan tidak
sesuai dengan beratnya trauma, tidak dapat sembuh secara spontan serta dapat berulang
setelah dilakukan eksisi (Thompson, 2001). Keloid juga dapat didefinisikan sebagai
pertumbuhan jinak dari jaringan fibrosa padat, yang berkembang dari respon abnormal
terhadap penyembuhan cedera kulit, yang meluas keluar dari perbatasan asli luka atau
respon inflamasi.
Secara klinis, keloid berbentuk nodul, berwarna atau hypopigmentasi, atau bersifat
eritematosa sekunder untuk telangiectasias. Keloid terjadi paling umum pada bagian
dada, bahu, punggung atas, belakang leher dan telinga (Roblez, 2007).

Perlu dibedakan antara istilah keloid dan parut hipertropik. Pada parut
hipertropik, besar parut masih sesuai dengan lukanya, tidak pernah melewati batas tepi
luka dan pada suatu saat akan mengalami fase maturasi. Parut hipertropik juga dapat
sembuh secara spontan dalam 12-18 bulan meskipun tidak komplit. Sedangkan pada
keloid, parut melampaui batas tepi luka tetapi jarang meluas sampai ke jaringan
subkutan, aktif dan menunjukkan tanda-tanda radang seperti kemerahan, gatal dan nyeri
ringan. Jika keloid bersifat multipel atau berulang maka disebut keloidosis (Gauglitz,
2011).
3. ETIOLOGI KELOID
Selain trauma, faktor penyebab yang mungkin untuk terjadinya keloid masih
belum bisa dijelaskan. Keloid biasanya berhubungan dengan faktor penyembuhan
luka yang tidak baik seperti infeksi, luka bakar, inflamasi kronis, penutupan luka yang
tidak adekuat, tegangan yang berlebihan, benda asing dan trauma berulang, namun
dapat muncul pada luka yang bersih.
8
Beberapa faktor lain yang diketahui
berpengaruh adalah herediter dan ras, umur dan faktor endokrin, jenis luka dan lokasi
trauma seperti yang telah dijelaskan diatas.

4. ANATOMI DAN FISIOLOGI KULIT

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira
15% berat bada. Kulit merupakan organ yang paling esensial dan vital serta
merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangan kompleks, elastis dan
sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras dan juga bergantung pada
lokasi tubuh (Gauglitz, 2011).

Gambar 2. Anatomi Kulit
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama, yaitu:
a. Lapisan epidermis atau kutikel, terdiri ata: stratum korneum, stratum lusidum,
stratum granulosum, stratum spinosum dan stratum basale (terdiri atas dua
jenis sel : sel-sel kolumner dan sel pembentuk melanin).
b. Lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin). Secara garis besar dibagi
menjadi dua bagian, yakni : pars papillare dan pars retikulare.
c. Lapisan subkutis (hipodermis) adalah kelanjuta dermis, terdiri atas jaringan
ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya.
Vaskularisasi di kulit diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus yang terletak di bagian atas
dermis (pleksus superfisial) dan yang terletak di subkutis (pleksus profunda). Pleksus
yang di dermis bagian atas mengadakan anastomosis di papil dermis, pleksus yang di
subkutis dan di pars papillare juga mengadakan anastomosis, di bagian ini pembuluh
darah berukuran lebih besar. Bergan dengan dengan pembuluh darah terdapat saluran
getah bening.
Fungsi utama kulit adalah fungsi proteksi (pelindung terhadap cedera fisik,
kekeringan, zat kimia, kuman penyakit dan radiasi), absorpsi, ekskresi, persepsi (faal
perasa dan peraba yang dijalankan oleh ujung saraf sensoris Vater paccini, Meisner,
Krause, dan Ruffini yang terdapat di dermis), pengaturan suhu tubuh (termoregulasi
akibat adanya jaringan kapiler yang luas di dermis, adanya lemak subkutan, dan
kelenjar keringat), pembentukan pigmen, pembentukan vitamin D, dan keratinisasi.

5. GAMBARAN HISTOLOGI KELOID
Keloid memiliki lapisan epidermis normal; pembuluh darah berlimpah;
peningkatan kepadatan mesenchymal, yang dimanifestasikan dengan dermis yang
menebal; dan peningkatan infiltrasi sel inflamasi bila dibandingkan dengan jaringan
parut normal. Lapisan reticular dermis sebagian besar terdiri dari kolagen dan
fibroblast. Pada pemeriksaan histologis keloid, ditemukan kolagen dengan jumlah
yang meningkat dan deposisi glikosaminoglikan (proteoglikan), dimana keduanya
merupakan komponen utama matriks ekstraselular.


6. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI KELOID
Secara umum, keloid timbul setelah cedera atau inflamasi kulit pada individu yang
beresiko. Keloid dapat terjadi dalam jangka waktu satu bulan sampai satu tahun
setelah trauma atau inflamasi. Trauma kulit pada dermis retikuler atau lapisan kulit
lebih dalam lagi cenderung berpotensi menjadi skar hipertrofik dan keloid. Beberapa
penyebab keloid yang sering dilaporkan adalah: akne, folikulitis, varicella, vaksinasi,
tindik telinga, luka robek dan luka operasi. Luka kecil sekalipun, bahkan bintil bekas
gigitan serangga dapat menjadi keloid. Injeksi menggunakan jarum ukuran kecil,
seperti injeksi anestesi lokal, biasanya tidak menimbulkan keloid. Keloid dapat terjadi
pada injeksi yang memprovokasi inflamasi, seperti vaksinasi. Penelitian di Taiwan
mendapatkan bahwa 10% remaja mendapat keloid pada tempat bekas injeksi vaksin
Bacil Calmette Guerin (BCG). (Robles & Berg, 2007)
Setelah terjadi trauma/luka, pada lokasi luka terjadi degranulasi platelet, aktifasi
faktor pembekuan dan komplemen, mengakibatkan pembentukan bekuan fibrin untuk
hemostasis. Bekuan ini selanjutnya berperan sebagai rangka untuk penyembuhan
luka. Degranulasi platelet menyebabkan pelepasan dan aktifasi sitokin poten termasuk
transforming growth factor- (TGF-), epidermal growth factor (EGF), insulin like
growth factor-1 (IGF-1) dan platelet-derived growth factor (PDGF). Growth factor
berfungsi merekrut dan mengaktifkan sel netrofil, epitel, endotel makrofag, sel mast
dan fibroblas. (Urioste dkk, 1999; Gira dkk, 2004)
Pembentukan jaringan granulasi dan maturasi skar membutuhkan keseimbangan
antara biosintesis kolagen dan degradasi matriks hingga dicapai penyembuhan luka
optimal. Makrofag, fibroblas dan pembuluh darah bergerak ke tempat luka untuk
mengembalikan integritas dermal yang rusak. Makrofag merupakan sumber sitokin
yang berfungsi untuk stimulasi fibroplasia dan angiogenesis. Fibroblas berfungsi
membangun komponen matriks ekstraseluler baru, memulai sintesis kolagen dan
menciptakan regangan tepi luka melalui protein yang kontraktil seperti aktin dan
desmin. Pembuluh darah menyuplai oksigen dan nutrisi untuk mempertahankan
pertumbuhan sel. Degradasi matrik dikoordinasikan melalui aksi kolagenase,
proteoglikanase, metalloproteinase dan protease. (Ulrich dkk, 2010)
Seiring dengan proses diatas, faktor antifibrotik juga dilepaskan, termasuk
interferon- dan interferon- yang diproduksi oleh leukosit dan fibroblas, sedangkan
interferon- diproduksi oleh limfosit T. Interferon berfungsi menghambat sintesis
kolagen dan fibronektin oleh fibroblas. Interferon juga menghambat diferensiasi
fibroblas. Maturasi skar berakhir dengan dengan regresi stimulasi sitokin dan stimuli
angiogenik, menghasilkan skar yang hiperemis dan contracted. Scar remodelling
terjadi pada 6-12 bulan selanjutnya, dengan skar yang terbentuk mendekati 70-80%
tensile strength kulit normal. Fase inflamasi yang memanjang mengakibatkan
peningkatan aktifitas sitokin. Resiko pembentukan keloid meningkat seiring dengan
aktifitas sitokin yang berkepanjangan ini. (Butler dkk, 2008; Urioste dkk, 1999)
Penelitian lain tentang patogenesis keloid mendapatkan bahwa pada keloid terjadi
down-regulation gen yang terkait apoptosis. Selain itu pada biakan fibroblas keloid
didapatkan produksi kolagen dan matriks metalloproteinase lebih besar dibandingkan
fibroblas dermal normal. (Seifert & Mrowietz, 2009) Berikut beberapa teori yang
sering dianggap sebagai patogenesis keloid:
Aktifitas Fibroblas Abnormal
Fibroblas yang terdapat pada keloid memproduksi type I procollagen secara
berlebihan. Secara in vitro, fibroblas keloid juga mengekspresikan lebih banyak
vascular endothelial growth factor (VEGF), transforming growth factor-(TGF-)1/2,
reseptor platelet derived growth factor-(PDGF-) dan mengalami penurunan
kebutuhan growth factor. Ladin dkk melaporkan bahwa fibroblas keloid mengalami
penurunan frekuensi apoptosis. (Robles & Berg, 2007)
Fibroblas keloid (FK) menghasilkan kolagen dalam jumlah banyak. Selain itu FK
juga menghasilkan elastin, fibronektin, dan proteoglikan serta chondroitin 4 sulfat
(C4S) lebih banyak dibanding fibroblas normal. Fibroblas keloid menghasilkan
kolagen tipe I dan memiliki kapasitas untuk berproliferasi 20 kali lebih besar
dibandingkan dengan fibroblas normal. Pada keloid juga terjadi penurunan degradasi
kolagen, hal ini disebabkan C4S yang meningkat membuat serat kolagen sukar
didegradasi, selain itu ditemukan penurunan enzim collagenase inhibitor seperti -
antitrypsin 2-macroglobulin. (Robles & Berg, 2007)
Reaksi Imunitas Abnormal
Beberapa teori menyatakan bahwa keloid disebabkan oleh reaksi imun spesifik.
Immunoglobin (Ig) yang meningkat pada keloid, adalah: IgA, IgG dan IgM.
Pelepasan produk sel mast yang dimediasi oleh IgE juga berperan pada pembentukan
keloid. Histamin berhubungan dengan sintesis kolagen karena menghambat enzim
lysil oksidase kolagen yang berperan terhadap cross-linking kolagen, sehingga
mengakibatkan peningkatan jumlah kolagen pada keloid. Aktifitas metabolik sel mast
juga berperan dan mendasari terjadinya rasa gatal yang sering menyertai kondisi ini.
(Urioste dkk, 1999)

Peningkatan Produksi Asam Hyaluronat
Asam hyaluronat merupakan glikosaminoglikan yang terikat pada reseptor di
permukaan fibroblas dan memiliki peranan penting dalam mempertahankan sitokin
tetap terlokalisir dalam sel. Salah satu sitokin yang dimaksud adalah TGF-1.
Produksi asam hyaluronat meningkat pada fibroblas keloid, dan kadarnya kembali
normal setelah pengobatan dengan triamsinolon. Beberapa peneliti tidak setuju
dengan teori ini, berdasarkan temuan kadar asam hyaluronat yang lebih rendah dalam
dermis keloidal dibandingkan dermis normal. (Berman dkk, 2005)
Peningkatan Kadar Growth Factor dan Sitokin
Transforming growth factor- (TGF-) memiliki tiga sub-tipe yaitu: tipe 1, 2 dan
3. Tipe 1 dan 2 menstimulasi fibroblas, ditemukan meningkat pada skar hipertrofi dan
keloid. Pada keloid, TGF- terkait dengan peningkatan sintesis kolagen fibronektin
oleh fibroblas. Peningkatan kadar TGF-1 mempengaruhi extracellular matrix (ECM)
dengan menstimulasi sintesis kolagen dan mencegah penghancurannya. TGF-2 dapat
mengaktifkan fibroblas pada keloid. Disamping itu insulin like growth factor-1 (IGF-
1) juga meningkat pada keloid. Fungsi IGF-1 adalah meregulasi proliferasi,
diferensiasi dan pertumbuhan sel. (Seifert & Mrowietz, 2009)
Penelitian lain menunjukkan adanya peningkatan kadar interleukin-6 (IL-6) pada
fibroblas keloid. IL-6 diduga merupakan prekursor produksi fibroblas dari sumsum
tulang ke tempat luka dan menstimulasi produksi kolagen secara berlebihan,
sedangkan IL-13 akan menghambat degradasi kolagen melalui penghambatan matriks
metalloproteinase (MMP)-1 dan MMP-3 sehingga terjadi penumpukan kolagen.
(Berman dkk, 2005)
Pengaruh Melanin terhadap Reaksi Kolagen-kolagenase
Melanin adalah produk organel melanosom dalam melanosit yang bersifat asam.
Kepadatan kolagen akan sesuai dengan skar normal bila sintesis dan degradasi
kolagen berada dalam keseimbangan. Peranan pH sangat berpengaruh terhadap
aktifitas enzim, terganggunya enzim degradasi menyebabkan produksi kolagen hasil
sintesis menjadi tidak terkontrol, kemudian secara kumulatif akan membentuk
tumpukan kolagen padat dan bermanifestasi menjadi keloid. (Butler dkk, 2008) Enzim
yang berperan sebagai degradator adalah kolagenase. Enzim ini bekerja maksimal
pada pH 7,5. Hoopes dan Im menemukan fosfatase asam pada keloid dapat meningkat
sampai 10 kali jaringan ikat normal. Peningkatan kadar melanin berpengaruh terhadap
terjadinya akumulasi kolagen melalui mekanisme penurunan pH menjadi lebih asam
sehingga kemampuan enzim kolagenase mendegradasi kolagen menjadi berkurang.
Penelitian ini juga menjelaskan kejadian keloid pada kulit berwarna disebabkan
karena keberadaan melanin yang lebih banyak akan mengganggu keseimbangan
sintesis dan degradasi kolagen pada penyembuhan luka. (Butler dkk, 2008)


Kegagalan Mekanisme Umpan Balik Negatif
Pada proses penyembuhan luka normal, Bronson dkk melaporkan bahwa fibroblas
dari skar matur memiliki kemampuan untuk menghambat proliferasi fibroblas lanjut.
Pada penyembuhan luka normal, aktifitas TGF- akan berhenti jika penyembuhan
luka telah selesai. (Sridharani dkk, 2010) Hal ini merupakan mekanisme umpan balik
negatif untuk mencegah pembentukan fibroblas secara berlebihan. Berdasar teori ini,
keloid mungkin disebabkan oleh kegagalan aktifasi atau kegagalan respon terhadap
mekanisme umpan balik negatif, sehingga terjadi proliferasi fibroblas berlebihan,
berakibat pada pembentukan keloid yang meninggi, melebar dan mengganggu secara
kosmetik. (Robles & Berg, 2007)
Hipotesis Reaksi Sebum
Menurut teori ini, keloid terjadi akibat reaksi imun terhadap sebum. Trauma
dermis menyebabkan unit pilosebaseus terpapar ke sirkulasi sistemik. Pada individu
dengan sel T yang sensitif terhadap sebum, suatu cell mediated immune response
dimulai sesudahnya. Proses yang selanjutnya terjadi adalah pelepasan sitokin yang
menstimulasi kemotaksis sel mast dan produksi kolagen oleh fibroblas. (Seifert &
Mrowietz, 2009)
Dasar pemikiran teori ini adalah predileksi keloid pada area kulit yang banyak
mengandung kelenjar sebasea; presternal, bahu, punggung bagian atas dan telinga.
Keloid sangat jarang terjadi pada area kulit yang sedikit mengandung kelenjar sebasea
seperti telapak tangan dan kaki. Teori ini juga didasari fakta bahwa keloid hanya
terjadi pada manusia, satu-satunya mamalia dengan kelenjar sebasea sejati. Dari sudut
pandang epidemiologik, keloid lebih banyak terjadi pada ras Asia dan Afrika yang
memiliki kulit lebih tebal dan lebih banyak kelenjar sebasea dibanding ras Kaukasia.
Teori ini juga didukung oleh hasil penelitian Schierle dkk. yang mendapatkan
peningkatan jumlah reseptor androgen pada jaringan keloid. Berdasarkan teori reaksi
sebum ini dapat dipahami mengapa pada satu individu dengan dua insisi yang sama
pada lokasi berbeda, dapat terjadi keloid pada satu lokasi dan skar normal di lokasi
lainnya. (Seifert & Mrowietz, 2009)





7. DIAGNOSIS
Diagnosis keloid dibuat berdasarkan gambaran klinis (penampakan kulit atau
jaringan parut):
a. Konsistensi keloid yang bervariasi dari lunak, seperti karet sampai keras.
b. Lesi awal biasanya kemerahan.
c. Lesi menjadi merah kecoklatan atau seperti warna daging.
d. Lesi biasanya tidak mengandung folikel rambut ataupun kelenjar adneksa
lainnya)
Keloid memberikan gambaran klinik yang bervariasi. Kebanyakan lesi tumbuh
selama beberapa minggu sampai beberapa bulan, tetapi ada pula yang tumbuh dalam
beberapa tahun. Pertumbuhan biasanya lambat, tetapi kadang-kadang melebar secara
cepat, menjadi 3 kali lebih lebar dalam beberapa bulan. Ada pula keloid yang berhenti
tumbuh, keloid tidak selalu memberikan gejala dan menjadi stabil. Keloid tumbuh
berlebihan melampaui batas luka, sebelumnya menimbulkan gatal dan cenderung
kambuh bila dilakukan intervensi bedah.
Keloid pada telinga, leher, dan abdomen biasanya bertangkai. Keloid pada daerah
tengah dada dan ekstremitas biasanya datar, dimana dasarnya lebih luas dari
puncaknya.
Kebanyakan keloid berbentuk bulat, oval, atau persegi panjang dengan tepi
reguler, tetapi ada pula yang berbentuk seperti bekas cakaran dengan tepi yang
irreguler. Kebanyakan pasien datang dengan 1-2 keloid, tetapi ada juga dengan
banyak keloid seperti pada pasien yang keloid muncul akibat jerawat atau bekas cacar.
Keloid pada sendi dapat mengganggu pergerakan akibat kontraktur. Keloid tidak
pernah berubah menjadi keganasan dan hanya menimbulkan masalah kosmetik saja.
Frekuensi lokasi keloid pada orang Asia biasanya pada cuping telinga, ekstremitas
atas, leher, payudara, bahu, sternum, pinggang, dan wajah.
Perbedaan antara keloid dan parut hipertrofik:
Keloid Parut hipertrofik
Permulaan Mungkin timbul setelah
beberapa bulan, atau
satu-dua tahun
Timbul dalam waktu beberapa
minggu
Invasi Meluas ke daerah
kerusakan epitel
Terbatas pada kerusakan
Penyembuhan Tak ada regresi Hilang sendiri
Predileksi Strenum, bahu, pipi,
telinga, pinggang
Dapat timbul dimana pun
Ras/bangsa Terutama ras kulit gelap
atau hitam
Lebih banyak dari bangsa kulit
putih
Luka bakar Mungkin Sering
8. PENATALAKSANAAN
Penanganan keloid yang paling sering digunakan dan paling sering dilaporkan
efikasinya adalah injeksi kortikosteroid intralesi, bedah eksisi, cryotherapy, laser,
radiasi dan silicone gel sheeting. Beberapa metoda penanganan keloid lain lebih
jarang digunakan namun secara efikasi cukup efektif adalah: imiquimod topikal dan
antimetabolit (5-fluorouracil dan bleomisin). Selain itu terdapat juga metoda lain yang
dapat digunakan: calcium channel blockers, mitomycin C, interferon dan tamoksifen.
(Butler dkk, 2008)
a. Konservatif
Injeksi steroid intralesi
Keloid ditangani secara konservatif dengan penyuntikan sediaan
kortikosteroid intrakeloid yang diulang 2-3 minggu sekali sampai efek yang
diinginkan tercapai (Espana, 2011). Secara keseluruhan, modalitas ini
memiliki tingkat tinggi toleransi serta efektivitas dalam mengurangi gejala.
Triamcinolone acetonide (Kenalog, Bristol-Myers Squibb, Princeton, NJ)
biasanya digunakan pada konsentrasi 10 sampai 40mg/ml, tergantung pada
ukuran dan lokasi lesi. Untuk lesi pada batang atau ekstremitas terapi
biasanya dimulai di 40mg/ml dan kemudian dititrasi sesuai pada kunjungan
berikutnya. Beberapa suntikan pada interval bulanan umumnya dibutuhkan
untuk keloid yang lebih besar. Suntikan steroid intralesi membantu
melembutkan dan mengurangi gejala pruritus dan nyeri tekan.
Komplikasi dari penggunaan steroid intralesi meliputi, atrofi kulit, hipo-
atau hiperpigmentasi, dan pengembangan telangiectasias. Karena pasien
biasanya membutuhkan beberapa jarum suntik, terutama untuk lesi yang
lebih besar, beberapa penulis menganjurkan pra-perawatan dengan lidokain
topikal atau penambahan lidokain di suntik untuk membantu mengurangi
rasa sakit pada daerah yang akan disuntik. Triamcinolone acetonide telah
ditunjukkan untuk menghambat sintesis kolagen dan pertumbuhan fibroblast
in vitro. Telah dilaporkan bahwa perlakuan fibroblas dengan hasil asetonid
triamsinolon dalam pengurangan TGF- ekspresi dan peningkatan produksi
bFGF. Injeksi steroid intralesi mungkin tidak praktis untuk keloid yang
sangat besar atau beberapa, karena rasa sakit injeksi mungkin cukup besar
dan ada kekhawatiran tambahan karena dosis besar kortikosteroid.

Pengobatan Imiquimod
Imiquimod adalah imunomodulator topikal yang disetujui FDA untuk
pengobatan kutil genital dan perianal eksternal dan yang terbaru, untuk
pengobatan actinic keratosis. Obat ini bekerja melalui reseptor sitokin pro-
inflamasi, termasuk TNF- yang diketahui mengurangi produksi kolagen
dalam fibroblast. Setelah eksisi bedah, topikal krim Imiquimod 5 persen
diterapkan setiap malam ke garis jahitan dan sekitarnya dengan total 8
minggu. Gatal, terbakar, sakit dan lecet adalah efek samping yang
dilaporkan. Meskipun tidak ada rekurensi yang dicatat, tindak lanjut dibatasi
sampai 24 minggu. Dalam studi lain kecil dan tidak terkontrol, terapi
imiquimod setelah eksisi keloid delapan daun telinga mengakibatkan
kekambuhan 25 persen. Mengingat jumlah kecil diobati dan kurangnya
tindak lanjut jangka panjang, manfaat klinis Imiquimod masih belum jelas.
5-Fluorourasil
5-Fluorourasil (5-FU) adalah analog pirimidin yang diubah secara
intraseluler pada substrat yang menyebabkan penghambatan sintesis DNA
dengan bersaing dengan penggabungan urasil. Tingkat peningkatan
proliferasi fibroblas terlihat pada keloidal menunjukkan bahwa 5-FU
mungkin efektif dalam membatasi pertumbuhan keloid. Namun, beberapa
penelitian dalam literatur menunjukkan bahwa keberhasilan secara
keseluruhan tidak lebih baik dari modalitas lain dan efek samping yang
signifikan seperti ulserasi dan hiperpigmentasi membuat topikal 5-FU kurang
menarik. Penghambat utama sistemik 5-FU adalah hubungannya dengan
anemia, leukopenia dan trombositopenia. Jadi, bahkan intralesi 5-FU harus
dihindari pada wanita hamil dan menyusui dan pasien dengan infeksi
bersamaan atau penekanan sumsum tulang.
Bleomycin
Bleomycin, sebuah agen kemoterapi digunakan pada kanker banyak, juga
telah menggunakan beberapa dermatologi. Bleomycin memiliki efek luas
pada tingkat sel, termasuk menghalangi siklus sel, DNA dan RNA
merendahkan, dan menghasilkan spesies oksigen reaktif. Hipopigmentasi dan
telangiectasia adalah komplikasi yang paling umum dari cryotherapy
kombinasi dan triamcinolone. Dalam tiga bulan masa tindak lanjut
dilaporkan, tidak ada rekurensi [78]. Namun, seperti yang dinyatakan
sebelumnya, tindak lanjut ini pendek mengingat bahwa keloid bisa kambuh
tahun setelah pengobatan. Studi-studi kecil menunjukkan bleomycin
mungkin memiliki potensi terapi dalam mengobati keloid, namun ada
kebutuhan untuk percobaan yang lebih besar yang mempekerjakan lebih
metodologi ketat.

b. Pembedahan
Eksisi bedah
Eksisi bedah dari keloid harus dilakukan dengan perhatian khusus karena
tingkat kekambuhan tinggi. Eksisi bedah mungkin memuaskan, memberikan
koreksi kosmetik segera. Namun, eksisi yang sering menyebabkan bekas luka
lama dan potensi untuk keloid lebih besar pada saat terjadi kekambuhan.
Terapi adjuvant seperti pasca-Excisional injeksi steroid harus
dipertimbangkan. Beberapa laporan awal menunjukkan Imiquimod topikal
sebagai berikut eksisi tambahan, tetapi jangka panjang data tindak lanjut
masih kurang. Ada juga data yang menunjukkan manfaat dari C Mitomycin
topikal sebagai tambahan untuk eksisi bedah, namun ini juga penelitian kecil
dengan jangka pendek tindak lanjut. Serangkaian kasus kecil dari empat
pasien melaporkan hasil yang lebih unggul ketika kolagen glikosaminoglikan
kopolimer neodermis (Integra) ditempatkan pada saat eksisi dan cangkok
kulit ditunda selama beberapa minggu.
Hasil bedah terbaik dilihat dengan penutupan tepi luka yang sangat baik,
menggabungkan ketegangan minimal dengan eversi maksimal dan
memastikan sayatan dibuat sepanjang garis ketegangan kulit santai. Pasien
dengan riwayat pembentukan parut keloid atau hipertropik sebaiknya
menghindari prosedur elektif operasi atau kosmetik untuk menghindari risiko
keloid masa depan.
Cryotherapy
Cryotherapy telah digunakan untuk lesi yang lebih kecil, namun
penggunaannya dibatasi oleh rasa sakit dan kadang-kadang lama pengobatan
penyembuhan berikut . Karena banyak perawatan sering diperlukan, risiko
untuk hipopigmentasi dalam berkulit gelap pasien adalah kelemahan
signifikan. Cryotherapy telah dilaporkan untuk mengubah sintesis kolagen
dan menginduksi diferensiasi fibroblas keloidal menuju fenotip yang lebih
normal. Beberapa penulis menganjurkan penggunaan cryotherapy hanya
sebelum injeksi steroid untuk menginduksi edema dan dengan demikian
memfasilitasi injeksi streroid. Digunakan nitroge liquid yang mempengaruhi
mikrovaskularisasi dan menyebabkan kerusakan sel melalui kristal intrasel
yang mengakibatkan anoksia sel. Penggunaan krioterapi tanpa modalitas
tanpa modalitas terapi yang lain menghasilkan resolusi tanpa rekurensi pada
51-74% pasien setelah 30 bulan observasi (Kelly, 2004).
c. Radioterapi
Beberapa studi menggunakan terapi radiasi sebagai tambahan untuk eksisi
bedah telah dilaporkan, tetapi kurangnya rejimen standar membuat perbandingan
antara studi sulit. Berbagai teknik dapat ditemukan dalam literatur, termasuk
dangkal x-ray, berkas elektron, dan tingkat rendah atau dosis tinggi
brachytherapy. Pasca Excisional radioterapi biasanya digunakan segera setelah
eksisi bedah. Ketika dikombinasikan dengan eksisi, tingkat keberhasilan lebih
tinggi, antara 65 sampai 99 persen. Efek samping dari terapi radiasi termasuk
eritema sementara dan hiperpigmentasi. Risiko karsinogenesis dari terapi radiasi
keloid kemungkinan menjadi sangat rendah, terutama dengan teknik modern.
d. Laser
Penggunaan laser untuk ablasi keloid dianggap kurang bermanfaat.
Penggunaan karbon dioksida dan argon laser mempunyai tingkat kekambuhan 90
persen. Flashlamp pulsed-dye laser dikaitkan dengan penurunan TGF-1 dan up-
regulasi dari metaloproteinase MMP-13, penekanan proliferasi fibroblast keloidal
serta induksi apoptosis. Penggunaan Nd: YAG laser sebagai monoterapi atau
dalam hubungannya dengan injeksi triamcinolone intralesi telah menunjukkan
beberapa hasil menjanjikan dengan persentase yang besar dari pasien keloid.

e. Silicone Gel Dressing
Silicone gel dressing adalah modalitas pengobatan non-invasif dan relatif murah
tambahan untuk keloid. Baru-baru ini, sebuah panel ahli internasional
direkomendasikan silikon terapi gel sheet sebagai profilaksis baris pertama
setelah eksisi bedah. Ketika digunakan setelah eksisi bedah, 70-80 persen dari
keloid dan bekas luka hipertrofik tidak muncul kembali. Lembaran gel
memberikan penghalang oklusif dan tampaknya melunakkan bekas luka dengan
meningkatkan hidrasi dan memiliki pengaruh yang signifikan dalam mengurangi
eritema, nyeri dan gatal-gatal . Setelah eksisi bedah lembaran silikon gel
diterapkan segera setelah kembali epitelisasi dicapai dan dipakai paling sedikit 12
jam per hari. Lembar digunakan sekitar 10-12 hari dan dapat dicuci dan
digunakan kembali.
9. KOMPLIKASI
(a) Trauma pada keloid dapat menyebabkan erosi lesi dan menjadi sarang infeksi
bakteri.
(b) Rekurensi
(c) Stress psikologik jika keloid sangat luas dan menimbulkan cacat.

10. PENCEGAHAN
Pencegahan pembentukan keloid merupakan faktor penting yang harus
diperhatikan dalam penanganan keloid. Klinisi harus waspada terhadap faktor resiko
keloid, termasuk riwayat keloid, riwayat keloid dalam keluarga, tension di lokasi
trauma dan warna kulit gelap. Keloid timbul jika sebelumnya terjadi cedera kulit
walaupun cedera tersebut ringan sekali. Keloid juga dapat berasal dari proses
inflamasi yang lemah, termasuk akne dan injeksi. Perhatian khusus harus diberikan
ketika mengobati pasien dengan riwayat keloid. Faktor yang dapat dikelola untuk
mencegah terjadinya keloid adalah daya mekanik luka (stretching tension),
pencegahan infeksi luka dan reaksi benda asing.
7
Beberapa hal penting untuk
mencegah keloid adalah:
5

1. Hindari gerakan berlebihan yang dapat meregangkan luka
2. Gunakan perban dan kain pembalut luka dengan tepat.
3. Hindarkan luka dari daya mekanis langsung (misalnya gesekan dan garukan)
4. Gunakan gel sheeting dan plester perekat.
5. Untuk pasien dengan luka di telinga, kurangi kontak dengan bantal ketika
tidur,untuk mencegah gesekan.
6. Untuk pasien wanita dengan luka di dada, gunakan bra dan pakaian dalam
ketatuntuk mencegah regangan kulit yang disebabkan oleh berat payudara.
7. Untuk pasien dengan luka di supra pubik, dianjurkan untuk memakai korset.
8. Setelah pembedahan dan trauma, luka yang terjadi harus dijaga tetap bersih
dengancara melakukan irrigasi dan mengoleskan obat antibakteri atau antijamur.
9. Setelah pembedahan dan trauma, hindari kontak antara dermis daerah luka
(termasuk lubang tindik telinga) dengan benda asing.
7

Anda mungkin juga menyukai