Anda di halaman 1dari 25

Referat

PIODERMA

Oleh
Intan Permata Sari, S.Ked
0408482151705

Pembimbing
DR. Dr. Rusmawardiana, SpKK(K), FINSDV

BAGIAN/DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. MOH. HOESIN PALEMBANG
2016

1
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

PIODERMA

Oleh:
Intan Permata Sari, S.ked
0408482151705

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Periode 30 Juni 2016 – 8 Agustus 2016.

Palembang, Juli 2016

DR. Dr. Rusmawardiana, SpKK(K), FINSDV

2
Pioderma
Intan Permata Sari, S.Ked
Pembimbing: DR. Dr. Rusmawardiana, SpKK(K), FINSDV
Bagian/Departemen Dermatologi dan Venerologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/ RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
2016

PENDAHULUAN
Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus,
Streptococcus, atau kedu-duanya. Pioderma adalah penyakit infeksi kulit yang
disebabkan oleh kuman (bakteri), terutama Streptococcus, beta hemolyticus
atau Staphylococcus aureus. Pioderma berasal dari kata pio dan derma. Pio berarti
nanah, dan derma berarti kulit, dengan kata lain artinya kulit bernanah. Jenis infeksi
superfisial contoh nya seperti, impetigo nonbulosa, impetigo
bulosa,ektima, folikulitis, furunkel, dan karbunkel. Jenis infeksi profunda
adalah selulitis, erisipelas, flegmon, abses multiple kelenjar keringat,
hidradenitis. Pioderma dapat berupa infeksi primer dan infeksi sekunder. Penyakit kulit
yang disertai pioderma sekunder disebut impetiginisata.
Pioderma merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai. Di Indonesia,
insidensnya menduduki tempat ketiga, dan berhubungan erat dengan keadaan sosial-
ekonomi. Tidak ada ras tertentu yang cenderung terkena pioderma. Pioderma dapat
menyerang laki-laki maupun perempuan pada semua usia.
Berdasarkan standar kompetensi dokter indonesia, standar kompetensi pioderma
bagi dokter umum adalah 4A sehingga dituntut untuk mengetahui, mengerti,
memahami dan memberikan mengenai penyakit ini. Pada tinjauan pustaka ini, akan
dibahas mengenai etiopatogenesis, manifestasi klinis, diagnosis banding, diagnosis,
tatalaksana, komplikasi dan prognosis pioderma yang bertujuan menambah khasanah
pengetahuan tentang pioderma.

2.1. Etiopatogenesis
2.1.1. Staphylococcus
S. Aureus menghasilkan banyak komponen seluler dan produk ekstraseluler
yaang berkontribusi pada patogenitasnya. Faktor pejamu (seperti imunosupresi, terapi
glukokortikoid, atopi). Dapat memegang peran utama pada infeksi Staphylococcus.

3
Trauma jaringan sebelumnya atau peradangan (luka bedah, terbakar, trauma, dermatitis,
adanya benda asing) juga penting pada patogenesis infeksi Staphylococcus.
Beberapa strains menghasilkan satu atau lebih eksoprotein, termasuk
staphylococcal exotoxin, (SE), yaitu SEA, SEB, SECn, SED, SEE, SEG, SHE, dan
SEI). Exfoliative toxin (ET) yaitu (seperti ETA & ETB), TSS toxin-1 (TSST-1) dan
leucocidin. Toksin-toksin ini mempunyai efek kuat, unik pada sel imun dan efek
biologik lain sehingga akhirnya menghambat respon imun pejamu.
TSS-1 dan SE dikenal juga sebagai pyrogenic toxin superantigens. Molekul-
molekul ini bekerja dengan berikatan langsung dengan molekul HLA-DR (major
histocompatibility complex) pada antigen presenting cell tanpa pemrosesan antigen.
Kalau antigen konvensional memerlukan kelima elemn Tcell receptor complex, super
antigen ini hanya memerlukan variabel region dari rantai β. Hasilnya, 5-30% resting
sel T dapat diaktifkan, respon antigenik “normal” hanya 0,0001 sampai 0,01%.
Aktivasi sel T non spesifik melepaskan sitokin yang banyak terutama IL-2, IFN-β,
TNF-α dari sel T, IL-1 dan TNF-α dari makrofag. Stimulasi superantigen dari se T juga
menghasilkan aktivasi dan ekspansi dari limphocytes expressing spesific T cell receptor
variable region of the β-Chain. Mereka akan mengaktifkan sel B, menghasilkan level
tinggi IgE atau autoantibodi.
Ada beberapa mekanisme lain S. Aureus untuk menghindari imun clearance.
Sekitar 60% strains S. Aureus mensekresikan protein chemotaxis inhibitory yang dapat
menghambat kemotaksis neutrofil. Tambahan lagi, protein A, staphylokinase, capsular
polysaccharide, fibrinogen binding protein, rumpun faktor A semuanya bekerja untuk
menghihndari opsonisasi dan fagositosis. Staphylococcus dan aureolysin berikatan dan
memotong peptida antimikrobial berturut-turut, menghasilan peningkatan kelangsungan
hidup in vitro dan mungkin in vivo.

Infeksi kulit akibat streptococcus

Klasifikasi Lancefield dari group streptococcus (dari group A sampai T)


berdasarkan pada antigen karbohidrat C yang ada di dinding sel. Walaupun
semua strains streptococcus group A adalah streptococcus b hemolytic, namun
tidak semuanya memprooduksi b hemolisis. Karena grouping (pengelompokan)

4
serologis streptococcus tidak dapat dilakukan, maka diperlukan tes presumtif
untuk streptococcus group A yang masuk akal. Untuk ini secara luas digunakan
sensitivitas bacitracin disk (Taxos S): streptococcus group A (tanpa terkecuali)
rentan terhadap konsentrasi rendah bacitracin yang dalam disk, sedangkan
streptococcus group lain sering resisten. Sub-typing dari streptococcus group A
dibuat berdasar antigenisitas protein M yaitu struktur fibriller yang menonjol
dari permukaan sel (lebih dari 80 sub-tipe). Serotipe protein M tertentu
berkorelasi dengan virulensi yang lebih besar dari organisme. Protein M ini
menghambat fagositosis, mempermudah perlekatan ke sel pejamu dan
memungkinkan bakteri tumbuh dalam darah manusia.
Faktor virulensi lain adalah permukaan molekul sel, termasuk kapsul hyaluronic
acid, c5 peptidase, inhibitor streptococcus dari komplemen. Protein yang
disekresikan juga memegang peran pada virulensi: termasuk streptolisin O dan S,
cystein e proteinase, py%%rogenic exotoxins, streprokinase, hialuronidase, dan
enzim-enzim lain.
Tanda utama (hallmark) infeksi oleh streptococcus group A adalah edema yang
hebat, cepat menyebar, dan respons eksudatif relatif kecil. Infeksi dapat
menyebar melalui aliran limfe (limfogen) dan hematogen dan menyebabkan
perjalanan klinis yang fulminan.
Pada era antibiotik ini, insidens komplikasi akibat streptococcus yang invasif
berkurang (misalnya limfangitis, limfasedenitis supuratif, bakteriemia).
Komplikasi non supuratif juga dapat terjadi seperti dulu mam rematik
2.2. Klasifikasi
Pembagian klasifikasi pioderma dibagi dua yaitu :
 Pioderma Primer
Infeksi terjadi pada kulit yang normal. Gambaran klinisnya tertentu,
penyebabnya biasanya satu macam mikroorganisme.
 Pioderma Sekunder
Pada kulit telah ada penyakit kulit yang lain. Gambaran klinisnya tak khas
dan mengikuti penyakit yang telah ada. Jika penyakit kulit disertai
pioderma sekunder disebut impetigenisata, contohnya: dermatitis
impetigenisata, scabies impetigenisata. Tanda impetigenisata ialah jika

5
terdapat pus, kustul, bula purulen, krusta berwarna kuning kehijauan,
pembesaran kelenjar getah bening regional, leukositosis, dapat pula disertai
demam. 1

2.3. Bentuk Pioderma


2.3.1. Impetigo

Impetigo adalah pioderma superficial (terbatas pada epidermis). Terdapat 3


bentuk impetigo krustosa, impetigo bulosa dan impetigo neonatorum.

a) Impetigo krustosa

Etiologi

Biasanya Streptococcus B Hemolyticus

Gejala Klinis

Tidak disertai gejala umum, hanya terdapat pada anak. Kelainan kulit berupa
eritema dan vesikel yang cepat memecah sehingga jika penderita datang berobat yang
terlihat ialah krusta tebal berwarna kuning seperti madu. Jika dilepaskan tampak erosi
di bawahnya. Sering krusta menyebar ke perifer dan sembuh di bagian tengah.

Predileksi

Di muka, yakni di sekitar lubang hidungdan mulut karena dianggap sumber


infeksi dari daerah tersebut.

6
Diagnosis Banding

Ektima

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah glomerulonefritis (2-5%) yang disebabkan


oleh sero tipe tertentu. Penyakit ini harus dibedakan dari ektima.Jika krusta sedikit,
dilepaskan dan diberi salep antibiotic, kalau banyak diberi pula antibiotic sistemik. 1

Diagnosis
Diagnosis dari impetigo berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Namun
demikian, kultur bakteri dan uji sensitivitas dapat digunakan untuk mengkonfirmasi
diagnosis dan direkomendasikan pada kasus :
- Ketika dicurigai MRSA
- Adanya wabah dari impetigo
- Adanya poststreptococcal glomerulonefritis (PSGN); pada beberapa kasus
pemeriksaan urin.
Biopsi mungkin tepat pada kasus yang meragukan atau refrakter impetigo.

b. Impetigo bulosa

Etiologi

Biasanya Staphylococcus aureus

Gejala Klinis

Keadaan umum tidak dipengaruhi. Kelainan kulit berupa eritema, bula


hipopion. Kadang kadang waktu penderita datang berobat, vesikel/bula telah memecah
sehingga yang tampak hanya koleret dan dasarnya masih eritematosa.

Predileksi

Predileksi di ketiak, dada, punggung. terdapat pada anak dan orang dewasa.

7
Diagnosa Banding

Jika vesikel/bula telah pecah dan hanya terdapat koleret dan eritema, maka
mirip dermafitosis. Pada anamnesa hendaknya ditanyakan, apakah sebelumnya terdapat
lepuh. Jika ada, diagnosanya adalah impetigo bulosa.

Komplikasi

Jika tidak diobat, infeksi yang invasif dapat timbul komplikasi selulitis,
limfangitis, dan bakteriemia sehingga dapat terjadi osteomyelitis, septik arthritis,
pneumonitis, dan septikemia. Jika menghasilkan exfoliatin, daat mengakibatkan
timbulnya S4 pada bayi dan pada dewasa yang imunokompromais atau ada gangguan
fungsi ginjal.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, impetigo


bulosa ini dapat terjadi pada semua umur, pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
vesikel/ bula berdinding tebal berisi cairan keruh. Bila terdapat invasi PMN di tingkat
bula maka terbentuk bula hipopion, pada kulit sekitar tidak ada tanda peradangan dan
bila pecah krusta merah kecoklatan dan koleret.

8
c. Impetigo neonatorum

Penyakit ini merupakan varian impetigo bulosa yang terdapat pada neonatus.

Etiologi

Biasanya Staphylococcus aureus

Gejala klinis

Kelainan kulit serupa dengan impetigo bulosa

Predileksi

lokasinya menyeluruh, dapat disertai demam.

Diagnosa banding

Sifilis congenital. Pada penyakit ini bula juga terdapat ditelapak tangan dan
kaki, terdapat pula snuffle nose, saddle nose, dan pseudo paralisis parrot.

Diagnosis

Penegakan diagnosis sama seperti jenis impetigo lainnya hanya saja impetigo
jenis ini terdapat pada neonatus.

2.3.2. Folikulitis

Folikulitis adalah radang folikel rambut

9
Etiologi

Staphylococcus aureus.

Klasifikasi :

Terdapat dua jenis folikulitis :

1. Folikulitis superfisialis

2. Folikulitis profunda

1.Folikulitis superfisialis: terbatas di dalam epidermis.

Sinonim : Impetigo Bockhart

Gejala klinis :

Kelainan berupa papul atau pustule yang eritomatosa dan di tengahnya terdapat
rambut, biasanya multiple.

Predileksi

Tempat predileksi di tungkai bawah.

Diagnosis Banding

- Pseudofolliculitis barbae, lokasi bagian bawah janggut.

- Folliculitis keloidalis (acne keloidalis nuchae), di tengkuk.

- Perifolliculitis capitis, di kepala

- Akne vulgaris

- Erupsi akneiformis

- Rosasea

- Eosinophilic folliculitis akibat HIV

 Folikulitis profunda: sampai ke subkutan.

Gambaran klinisnya :

10
Hanya teraba infiltrate di subkutan. Contohnya sikosis barbe yang
berlokasi di bibir atas dan dagu, bilateral.

Diagnosa banding

Tinea barbe, lokasinya di mandibula/ submandibula, unilateral. Pada


tenia barbe sediaan dengan KOH positif. Pengobatan dengan antibiotic
sistemik/ topical. 1

2.3.3. Furunkel/karbunkel

Furunkel ialah radang folikel rambut dan sekitarnya. Jika lebih dari sebuah
disebut furunkulosis, Karbunkel ialah kumpulan furunkel.

Etiologi
Biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus.

Gejala klinis
Keluhan yang muncul adalah nyeri, dengan kelainan berupa nodus eritem
berbentuk kerucut dengan pustule ditengahnya. Kemudian melunak menjadi abses
berisi pus dan jaringan nekrotik lalu memecah membentuk fistel.

Predileksi
11
tempat yang banyak friksi, misalnya aksila dan bokong.

Diagnosis banding
- Akne kistik
- Hidradenitis supurativa
- Kerion
- Diagnosis

2.3.4. Ektima

Ektima ialah ulkus superficial dengan krusta diatasnya

Etiologi
disebabkan infeksi Streptococcus, biasanya Streptococcus B hemolyticus.

Gejala Klinis
Yang tampak adalah krusta tebal berwarna kuning berlokasi di tungkai bawah,
yaitu tempat yang relative banyak trauma. Jika krusta diangkat ternyata lekat dan
tampak ulkus yang dangkal.

Predileksi
tungkai bawah dan dasarnya adalah ulkus.

Diagnosis banding
impetigo krustosa, perbedaannya, impetigo krustosa sering terjadi pada anak dan
berlokasi di muka dan dasarnya adalah erosi, ektima terjadi pada anak maupun dewasa.

Diagnosis

2.3.5. Pionika

Radang sekitar kuku oleh piokokus.

12
Etiologi
biasanya Staphylococcus dan/atau Streptococcus B hemolyticus.

Gejala klinis

Gejala dari penyakit ini adalah didahului trauma, mulai infeksi pada lipatan
kuku, terlihat tanda-tanda radang dan menjalar ke matriks dan lempeng kuku, dapat
terbentuk abses subungual. Pengobatan kompres dengan larutan antiseptic dan berikan
antibiotic sistemik. Jika terjadi abses subungual, kuku diekstraksi. 1

Predileksi

Disekitar kuku

Diagnosis Banding

2.3.6. Erisipelas

13
Erisipelas ialah penyakit infeksi bakteri pada dermis dan keterlibatan limfatik
secara bermakna.

Etiologi

biasanya disebabkan oleh Streptococcus pyogenes (group A)

Gejala klinis

demam, malaise. Lapisan kulit yang diserang ialah epidermis dan dermis,
didahului dengan trauma, kelainan yang utama adalah eritema merah cerah, berbatas
tegas, dan pinggirnya meninggi dengan tanda radang akut. Dapat disertai edem, vesikel
dan bula. Terdapat leukosistosis. Jika sering residif ditempat yang sama dapat terjadi
elephantiasis. 1

Predileksi

Tungkai bawah

Diagnosis banding

Selulitis, dan infeksi jaringan lunak lain (erisipeloid, necrotizing fascitis),


dermatitis kontak, urtikaria, dan bahkan lepra

Diagnosis

Dasar diagnosis dengan melihat gambaran klinis.

2.3.7. Selulitis

Etiologi

gejala konstitusi, tempat predileksi, kelainan pemeriksaan laboratorium, dan


terapi sama dengan erysipelas. Kelainan kulit berupa infiltrate difus di subkutan dengan
tanda-tanda radang akut. 1

Gejala klnis

14
Selulitis biasanya didahului oleh gejala sistemik seperti demam, menggigil, dan
malaise. Daerah yang terkena terdapat 4 tanda kardinal peradangan yaitu rubor, calor,
dolor, tumor. Lesi tampak merah gelap, tidak berbatas tegas dan tepi lesi tidak dapat
diraba/tidak meniggi. Pada infeksi yang berat dapat ditemukan pula vesikel, bula,
pustul, atau jaringan nekrotik. Ditemukan pembesaran kelenjar getah bening regional
dan limfangitis ascenden.
Predileksi
Pada anak biasanya di kepala dan leher, sedangkan pada orang dewasa paling
sering di ekstremitas. Pada pengguna salah obat, serng berlokasi di lengan atas.

Komplikasi

Komplikasi jarang ditemukan, tetapi termasuk glomerulonefritis akut (jika


disebabkan oleh strain nefritogenik streptococcus, limfadenitis, endokarditis bakterial
subakut). Kerusakan pembuluh limfe dapat menyebabkan selulitis rekurens. Selulitis
yang diatasnya terdapat bula disebut flegmon.

Diagnosis banding

Pada tungkai bawah di diagnosis banding dengan trombosis vena dalam dan
penyakit peradangan lain seperti dermatitis stasis, trombopebitis superficial,
pannikulitis (terutama lipodermatosklerosis).

Diagnosis

Diagnosis selulitis biasanya dibuat berdasarkan gambaran klinis.

2.3.8. Flegmon

Selulitis yang mengalami supurasi. Terapi sama dengan selulitis hanya saja
ditambah dengan insisi. 1

2.3.9. Ulkus Piogenik

15
Berbentuk ulkus, gambaran klinisnya tidak khas dengan disertai pus diatasnya.
Dibedakan dengan ulkus lain yang disebabkan oleh kuman gram negative sehingga
perlu dilakukan kultur. 1

2.3.10. Abses multipel kelenjar keringat

Etiologi

Infeksi yang biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus

Gejala Klinis
Pada kelenjar keringat berupa abses multiple tak nyeri berbentuk kubah.
Didapati pada anak dengan faktor predisposisi berupa daya tahan tubuh yang menurun
juga banyak keringat, sehingga sering bersama denga miliaria. Kelainan berupa nodus
eritema, multiple, tidak nyeri, berbentuk kubah dan lama memecah.

Predileksi
Lokasinya di tempat yang banyak keringat.

Diagnosis banding

furunkulosis, namun furunkulosis terasa nyeri dan bentuknya seperti kerucut,


dengan pustule ditengah dan lebih cepat memecah.

2.3.11. Hindradenitis

Infeksi kelenjar apokrin biasanya oleh Staphylococcus aureus.

Etiologi
Staphylococcus aureus.

Gejala Klinis

16
Infeksi terjadi pada kelenjar apokrin, karena itu terdapat pada usia sesudah akil
balik sampai dewasa muda. Sering didahului oleh trauma, dengan gejala konstitusi
berupa demam, malaise. Ruam berupa nodus, dengan kelima tanda radang akut (rubor,
dolor, kalor, tumor, fungsiolesa). Kemudian dapat melunak menjadi abses, dan
memecah membentuk fistel yang disebut hidradenitis supuratif. \Pada yang menahun
dapat terbentuk abses, fistel, sinus yang multiple.

Predileksi
Terbanyak berlokasi di ketiak, juga di perineum. Terdapat leukositosis.

A Papulopustules, nodules, sinus tracts and scarring in the axilla


(Hurley stage II). B Superficial sinus tracts that serve as a clue to
the diagnosis, even in the absence of active
disease. C Severe disease (Hurley stage III) with inflammatory
nodules, hypertrophic scarring, draining
fistulae and sinus tract formation of the perianal region, buttocks
and upper thighs. This is the type of
patient who is at risk for the development of squamous cell
carcinoma and secondary amyloidosis.

Diagnosis banding
Skrofuloderma, perbedaannya pada
hidradenitis didahului tanda radang akut dan terdapat gejala konstitusi. Pengobatan
yang digunakan adalah antibiotic sistemik, jika telah terbentuk abses, diinsisi. Jika

17
belum melunak diberi kompres terbuka, pada kasus yang kronik residif, kelenjar
apokrin dieksisi. 1

2.3.12. S4 (Staphylococcal Scalded Skin Syndrome)

Etiologi

Staphylococcus aureus grup II faga 52, 55 dan/atau faga 71.

Gejala Klinis

Pada umumnya terdapat demam yang tinggi disertai infeksi disaluran nafas
bagian atas. Kelainan kulit yang pertama timbul adalah eritema, yang timbul mendadak
pada muka, leher, ketiak dan lipat paha, kemudian menyeluruh dalam waktu 24 jam.
Dalam waktu 1-2 hari akan muncul bula-bula berdinding kendur, tanda nikolsky positif.
Dalam 2-3 hari terjadi pengeriputan spontan disertai pengelupasan lembaran-lembaran
kulit sehingga tanpak daerah erosif. Akibat epidermolisis tersebut gambarannya mirip
dengan kambustio. Daerah-daerah tersebut akan mongering dalam beberapa hari dan
terjadi deskuamasi. Penyembuhan penyakit akan terjadi setelah 10-14 hari tanpa
disertai sikatriks.

18
Staphylococcal
scalded skin syndrome.
A Diffuse erythema with an early superficial erosion in the
antecubital fossa. B More extensiveinvolvement on the neck with a
wrinkled appearance of the erythematous skin in addition to peeling
and multiple erosions. Courtesy, Julie V Schaffer, MD.

19
Komplikasi

Meskipun dapat sembuh spontan, dapat pula terjadi komplikasi seperti selulitis,
pneumonia dan septicemia.

Diagnosa Banding

Penyakit ini mirip N.E.T (Nekrolisis Epidermal Toksik, bahkan pada awalnya
disebut N.E.T sebelum dilaporkan oleh Ritter). Perbedaannya S4 umumnya menyerang
anak-anak dibawah usia 5 tahun, mulainya kelainan kulit didaerah muka, leher, dan
lipat paha, mukosa umumnya tidak diserang dan angka kematian lebih rendah
(meskipun begitu penyakit ini adalah pioderma penyebab kematian paling mungkin).
Kedua penyakit ini sulit dibedakan sehingga ada baiknya dilakukan pemeriksaan
histopatologi secara frozen section agar hasilnya cepat diketahui, karena prinsip
pengobatan keduanya berbeda.  Perbedaan terletak pada celah, S4 di stratum
granulosum, N.E.T di sub epidermal. Perbedaan lain pada N.E.T terdapat nekrosis
disekitar celah dan terdapat sel radang. 1

2.4. Faktor Predisposisi


Terdapat beberapa faktor predisposisi dari pioderma, yaitu :

20
 Higiene yang kurang
 Menurunnya daya tahan tubuh, biasanya karena kelelahan, anemia, atau
penyakit-penyakit tertentu seperti penyakit kronis, neoplasma, dan diabetes
mellitus
 Telah ada penyakit lain di kulit, hal ini dapat merangsang terjadinya
pioderma yang hampir bisa dipastikan akan memperparah penyakit kulit
sebelumnya tersebut, hal itu juga terjadi karena fungsi kulit sebagai
pelindung yang terganggu oleh penyakit. Karena terjadi kerusakan di
epidermis, maka fungsi kulit sebagai pelindung akan terganggu sehingga
memudahkan terjadinya infeksi. 1

2.5.Pemeriksaan Penunjang

2.5.1. Pewarnaan Gram

Pewarnaan gram atau metode gram adalah suatu metode empiris untuk
membedakan spesies bakteri menjadi dua kelompok besar, yaitu gram positif dan gram
negative, berdasarkan sifat kimia dan fisik dinding sel mereka. 
Bakteri garam positif adalah bakteri yang mempertahanka zat warna metil ungu
atau Kristal ungu sewaktu proses pewarnaan gram. Bakteri jenis tersebut akan berwarna
biru atau ungu di bawah mikroskop, sedangkan bakteri gram negative akan berwarna
merah muda atau merah. Perbedaan klasifikasi antara kedua jenis bakteri tersebut
terutama didasarkan pada perbedaan struktur dinding sel bakteri.

Bakteri gram positif

Bakteri gram negative adalah bakteri yang tidak mempertahankan zat warna metil
ungu atau kristal ungu pada metode pewarnaan gram. Bakteri gram positif akan
mempertahankan warna ungu gelap setelah dicuci dengan alcohol, sementara bakteri gram
negative tidak.

21
Bakteri gram negatif

2.1. 2.6. Pengobatan Umum


 Sistemik
Contoh obat untuk pengobatan pioderma
a. Penisilin G prokain dan semi-sintetiknya
- Penisilin G prokain, dosisnya 1,2 juta/hari i.m, obat ini sudah tidak
dipakai lagi karena dianggap tidak praktis dan pemakaiannya sering
menimbulkan syok anafilaktik
- Ampisillin, dosis 4×500 mg, ante cunam
- Amoksisilin, dosisnya sama dengan ampisilin, dipakai post-cunam
dan absorbsinya lebih cepat sehingga kadar dalam plasma lebih
tinggi.
- Golongan obat penisilin resisten-penisillinase, contohnya adalah
oksasillin, kloksasillin, dikloksasillin, flukloksasillin. Dosis 3×250
mg/hari ante-cunam. Kelebihan obat ini adalah juga berkashiat
pada Staphylococcus yang telah membentuk penisilinase.
b. Linkomisin dan Klindamisin
Dosis linkomisin, 3×500 mg/hari. Klindamisin diabsorbsi lebih banyak
karenanya dosisnya lebih kecil yaitu 4×150 mg/hari/os, pada infeksi
berat dosisnya 4×300-450 mg/hari. Linkomisin agar tidak dipakai lagi
dan digantikan oleh Klindamisin karena potensial antibakterinya lebih
besar dan efek sampingnya lebih sedikit dan tidak terlalu terhambat oleh
adanya makanan dalam lambung.

c. Eritromisin

22
Dosis 4×500 mg/hari/os. Efektivitasnya kurang dibandingkan
Linkomisin/klindamisin dan obat golongan penisilin resisten-
penisillinase. Cepat menyebabkan resistensi dan kadang terjadi tak enak
di lambung.
d. Sefalosporin
Bila terjadi pioderma berat yang dengat obat diatas tidak menunjukan
hasil maka dipakailah Sefalosporin. Ada empat generasi yang berkhasiat
untuk kuman gram positif yaitu generasi I juga generasi IV. Contohnya
adalah sefadoksil dari generasi I dengan dosis dewasa, 2×500 mg atau
2×1000 mg/hari
 Topikal
Bermacam obat topical dapat digunakan untuk pioderma, contohnya
basitrasin, neomisin, mupirosin. Neomisin berkhasiat juga untuk bakteri
gram negative, Neomisin dituliskan sering mengalami sensitisasi, sedangkan
teramisin dan kloramfenikol sebenarnya tidak terlalu efektif namun sering
dipakai karenanya harganya murah. Obat-obatan ini biasanya berbentuk
salep atau krim.
Selain itu juga baik agar diberikan kompres terbuka contohnya, larutan
permanganas kalikus 1/5000, larutan rivanol 1 o/oo dan yodium povidon 7,5
% yang dilarutkan 10 kali. 1

Nama obat Dosis


Golongan G Prokain
Penisilin G prokain 1,2 juta unit/hari I.M
Ampisilin 4 x 500 mg
Amoksisilin 4 x 500 mg
Kloksasilin 3 x 250 mg
Linkomisin 3 x 500 mg
Klindamisin 4 x 150 mg
Eritromisin 4 x 500 mg
Sefalosporin (Sefadroxil) 2 x 500 mg

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Leung DY, Eichenfield LF, Boguniewicz M. Atopic dermatitis. In: Goldsmith LA,
Katz Stephen I, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, eds. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill Companies
2012, vol 1 p.165-82.

2. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews’ Diseases of The Skin: Clinical
Dermatology, 11th ed. California: Saunder Elseiver 2011.

3. Sehgal VN, Khurana A. Atopic dermatitis: etiopatogenesis, overview. Indian Jof


Dermatol2015;60(4):327-31.

4. Ludfi, Syaeful A, Agustina L, Fetrayani D. Baskoro A. Gatos S. Asosiasi penyakit


alergi atopi anak dengan atopi orang tua dan faktor lingkungan. J Elect Airlangga
Univ2012;9(3):92-8.

5. Soebaryo RW. Patogenesis dan gangguan imunologis pada dermatitis atopik. In:
Diana IA, et.al. Dermatitis atopik: diagnosis dan tatalaksana terkini. Jakarta: FKUI
Press 2014, p.1-7.

6. Kang K, Polster AM, Nedorost ST, Stevens SR, Cooper KD. Atopicdermatitis. In:
Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, eds. Dermatology, vol.1 2nd ed. New York:
Mosby 2004, ch 13.

7. Friedmann PS, Jones MR, Holden CA. Atopicdermatitis. Burns T, Breathnach S,


Cox N, Griffith C, eds. In: Rook’s textbook of Dermatology. 8th ed. Chichester:
Blackwell 2010, vol 1,ch 24.

8. Thomsen SF. Atopic dermatitis: natural history, diagnosis and treatment. J Hindawi
pub 2014;2(1):10-7.

9. Zulkarnain I, Citrashanty I. Konsesus pedoman penatalaksanaan dermatitis atopik:


perspektif Asia Pasifik. In: Diana IA, et.al. Dermatitis atopik: diagnosis dan
tatalaksana terkini. Jakarta: FKUI Press 2014, p. 65-81.

10. Silverberg JI. Atopic dermatitis: an evidence-based treatment update. Am J Clin


Dermatol 2014;15:149-64.

11. Natalia, Menaldi SL, Agustin T. Perkembangan terkini pada terapi dermatitis
atopik. J Indon Med Assoc 2011;61(7):299-304.

12. Mesquita K, Costa IM, Igreja AC. Ultraviolet index: a light in atopic dermatitis and
vitamin D research. An Bras J Dermatol 2016;91(1):34-9.

13. Brown SJ. Atopic eczema. J Clin Med. 2016;16(1):66-9.

24
25

Anda mungkin juga menyukai