Anda di halaman 1dari 16

Referat

IMPETIGO

Disusun oleh:

Zulpa Yanti, S. Ked

04054822022047

Pembimbing:

Prof. Dr. Suroso A. N., Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

KSM / BAGIAN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI

RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2020

1
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Topik

IMPETIGO

Disusun oleh:

Zulpa Yanti, S. Ked

04054822022047

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mengikuti Kepaniteraan Klinik di
KSM/Bagian Dermatologi dan Venereologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 18 Juni 2020 sampai dengan 8 Juli 2020.

Palembang, Juni 2020

Pembimbing,

Prof. Dr. Suroso A. N., Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya referat dengan
judul ”Impetigo” dapat diselesaikan tepat waktu. Referat ini dibuat untuk memenuhi salah
satu syarat ujian kepaniteraan klinik di KSM/Bagian Dermatologi dan Venereologi RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Terimakasih kepada Prof. Dr. Suroso A. N., Sp.KK(K), FINSDV, FAADV, selaku
pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan sehingga penulisan dapat
menyelesaikan referat ini.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan
referat ini. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk
penulisan yang lebih baik lagi di masa yang akan mendatang. Semoga penulisan referat ini
dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Palembang, Juni 2020

Penulis

3
IMPETIGO
Zulpa Yanti, S.Ked
Pembimbing: Prof. Dr. Suroso A. N., SpKK(K), FINSDV, FAADV
KSM/Bagian Dermatologi dan Venereologi
FK Unsri/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
2020

PENDAHULUAN
Impetigo sebagai salah satu beban penyakit yang signifikan secara global terutama
anak-anak dan kelompok sosial ekonomi rendah. Estimasi prevalensi global kasus impetigo
anak sekitar 2,5 kali lipat lebih tinggi daripada orang dewasa. Jumlah kasus impetigo lebih
dari 162 juta, dimana lebih dari 100 juta adalah anak-anak. Di Australia, diperkirakan lebih
dari 15.000 anak-anak menderita impetigo pada suatu waktu. Secara umum, impetigo
dibedakan menjadi impetigo non-bulosa (70% kasus) dan bulosa (30% kasus). Impetigo
disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau Sreptococcus β-hemoliticus kelompok A.
Namun, saat ini, patogen yang paling sering diisolasi dalam kasus impetigo adalah S. aureus.
Lokasi lesi paling umum adalah kepala dan leher (65,4%), ekstremitas atas (19,6%), dan
trunkus hingga ekstremitas bawah (masing-masing 7,5%).1,3,5
Impetigo primer terjadi setelah invasi bakteri pada kulit yang sebelumnya intak.
Kondisi impetigo sekunder, infeksi timbul pada beberapa penyakit kulit lain yang
mengganggu fungsi sawar kulit, seperti eksim atopik (eksim impetiginis). Faktor-faktor yang
terkait dengan peningkatan risiko impetigo termasuk sanitasi yang buruk, iklim tropis, kondisi
kehidupan yang ramai atau padat penduduk, sosial ekonomi rendah, rendahnya sistem
kekebalan inang, dan kontak dekat dengan penderita.5,6,10
Kebersihan yang tepat sangat penting dalam pencegahan impetigo, mencuci tangan
dengan air hangat dan sabun antibakteri dan mandi secara teratur akan membantu mengurangi
kemungkinan infeksi. Komplikasi relatif jarang dan sebagian besar kasus impetigo sembuh
sepenuhnya tanpa komplikasi. Pilihan pengobatan impetigo dapat dibagi menjadi topikal dan
sistemik. Di antara jenis pengobatan topikal, mupirosin dan asam fusidat paling sering
digunakan. Antibiotik sistemik biasanya digunakan pada kasus yang lebih berat, dimana
terapi topikal tidak praktis. Terapi sistemik diperlukan terutama dalam bentuk bulosa atau lesi
luas dengan pengobatan rata-rata 10 hari.1

4
DEFINISI
Impetigo adalah infeksi kulit bakteri superfisial akut umum (pioderma) sangat
menular, ditandai dengan pustula dan erosi krusta berwarna kekuningan seperti madu.
Impetigo melibatkan epidermis dan sebagian besar terlihat pada kelompok anak prasekolah
(usia 2 hingga 5 tahun) dengan penularan kontak langsung.1,3

EPIDEMIOLOGI
Di Inggris, kejadian impetigo pada tahun 2003 sebesar 2,8 persen anak-anak hingga
usia empat tahun dan 1,6 persen anak-anak berusia lima hingga lima belas tahun. Rata-rata
kelompok usia 2-6 tahun, tetapi dapat mempengaruhi semua kelompok umur. Studi lain
menunjukkan laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan baik pada masa kanak-kanak
maupun dewasa. Insiden impetigo paling besar selama waktu musim panas karena kontak
dekat antara anak-anak. Paling umum terjadi di daerah padat dengan kebersihan yang buruk,
pusat penitipan anak, dan sekolah.1,2

ETIOPATOGENESIS
Kulit berfungsi sebagai lini pertahanan awal antara manusia dan lingkungannya.
Ketidakseimbangan homeostasis antara mikrobiologi kulit dan inang menjadi dasar
patofisiologi infeksi pada kulit. Daya tahan alami tubuh manusia terhadap infeksi disebabkan
oleh rendahnya pH kulit dan jaringan subkutan sekitar 5,6, serta cairan sebaceous yang
terhidrolisis untuk membentuk asam lemak bebas yang sangat menghambat pertumbuhan
banyak bakteri dan jamur, dan kulit yang memiliki memiliki flora normal, membantu
mencegah kolonisasi organisme patogen lainnya. Peptida antimikroba bakteri (bakteriosin)
diproduksi oleh banyak atau sebagian besar bakteri yang ditemukan dalam flora normal dan
berperan dalam hubungan antara bakteri dan kulit.4
Perkembangan impetigo tergantung pada tiga faktor berikut, bakteri pada sel inang,
invasi jaringan, dan penyebaran racun. Invasi bakteri awalnya terjadi dalam jumlah rendah,
dengan adhesi mediator asam teikoat. Fibronektin, molekul adhesi sel memungkinkan sel-sel
bakteri seperti Streptococcus pyogenes melekat pada kolagen dan menyerang permukaan kulit
yang rusak untuk berkolonisasi di kulit. Ketika jumlah bakteri meningkat dimana pertahanan
kulit terganggu, maka terjadi invasi koloni bakteri, sehingga menyebabkan beberapa
manifestasi penyakit kulit, salah satunya impetigo.4

5
FAKTOR RISIKO
Faktor resiko atau predisposisi diantaranya laserasi kulit, trauma, luka bakar, gigitan
serangga, kebersihan cacar air yang buruk, pusat penitipan anak atau balita, wilayah padat
penduduk, iklim panas dan lembab, malnutrisi dan diabetes mellitus atau komorbiditas medis
immunocompromised lainnya. Autoinokulasi dapat melalui jari, handuk atau pakaian sehingga
penting dalam memerhatikan higienitas.2

KLASIFIKASI
Secara umum terdapat dua jenis impetigo, diantaranya impetigo kontagiosa (impetigo
non-bulosa) sebagai salah satu infeksi kulit yang paling umum pada anak-anak dan impetigo
bulosa yang disebabkan oleh S. aureus. Impetigo non bulosa adalah presentasi paling umum
yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau Streptococcus pyogens. Lesi ini
berdiameter 2 cm dan paling sering mengenai wajah, sekitar mulut, dan hidung. Trunkus dan
ekstremitas juga terpengaruh. Impetigo bulosa ditandai dengan bula besar yang pecah dan
mengeluarkan cairan kuning. Lesi ini biasanya sembuh sendiri dan sembuh tanpa jaringan
parut. Pasien dapat datang dengan demam, kelemahan, dan terkadang diare.2

MANIFESTASI KLINIS
Impetigo adalah infeksi yang sangat menular melalui kontak langsung. Impetigo pada
neonatus lebih sering ditemukan terutama hari keempat dan kelima kehidupan dengan
predileksi di area wajah dan perineum. Lokasi lesi paling umum adalah kepala dan leher
(65,4%), ekstremitas atas (19,6%), dan trunkus hingga ekstremitas bawah (masing-masing
7,5%).1 ,14
Impetigo non-bulosa dapat terjadi sebagai infeksi bakteri primer atau sekunder. Infeksi
primer terjadi melalui invasi bakteri langsung pada kulit sehat yang intak. Infeksi sekunder,
yang lebih umum, terjadi melalui infeksi bakteri pada kulit yang terganggu yang disebabkan
oleh trauma, eksim, gigitan serangga, kudis, wabah herpes, atau penyakit lainnya. Terlepas
dari sifat primer atau sekundernya, impetigo non-bulosa awalnya sebagai lesi makulopapular
yang menjadi vesikel berdinding tipis yang terletak di dasar eritematosa. Vesikula cenderung
<0,5 cm dibandingkan dengan bula yang terlihat pada impetigo bulosa dengan ukuran >0,5
cm. Setelah pecah, ulserasi superfisial selanjutnya ditutup dengan cairan purulen berwarna
kekuningan atau madu/honey coloured (Gambar 1 dan 2). Infeksi cenderung terjadi di daerah
yang terpapar, terutama pada tungkai dan wajah (hidung atau perioral). Lesi satelit sering

6
disebabkan oleh self-inoculation. Gejala sistemik demam dapat terjadi pada kasus berat.
Impetigo non-bulosa cenderung sembuh tanpa jaringan parut, dan jika tidak diobati, ia dapat
sembuh secara spontan dalam 2-3 minggu.

Gambar 1. Impetigo kontagiosa di sekitar hidung dan mulut anak. Tampak gambaran krusta dan eksudat
kekuningan (honey-coloured).6

Gambar 2. Impetigo kontagiosa dengan eksudat purulen.6,9

Impetigo bulosa dimulai sebagai vesikel kecil, yang menjadi bula kendur terlokalisasi
berukuran sekitar 2 cm hingga purulen. Bula ini tidak mudah pecah seperti pada impetigo
non-bulosa, dan dapat bertahan selama beberapa hari. Setelah bula pecah, dasar yang basah
dan eritematosa dapat terlihat (gambar 3). Pembesaran kelenjar getah bening regional
biasanya tidak ditemukan dan gejala sistemik relatif jarang (demam, diare, dan kelemahan).
Beberapa artikel menyatakan bahwa limfadenopati jarang terjadi pada impetigo bulosa,
sementara yang lain tidak menyebutkan limfadenopati sehubungan dengan impetigo bulosa.
Sebaliknya, satu sumber menyatakan bahwa limfadenopati lebih sering terjadi pada impetigo
bulosa daripada impetigo non-bulosa. Infeksi cenderung terjadi pada trunkus, intertriginosa
seperti area popok, aksila, leher, dan ekstremitas. Seperti impetigo lainnya, infeksi umumnya
sembuh dalam 2-3 minggu tanpa jaringan parut. Ektima ditandai oleh vesikel yang pecah
membentuk ulkus eritematosa melingkar dengan krusta coklat-hitam, disertai edema

7
eritematosa di sekitarnya. Gatal sering terjadi dan garukan dapat menyebarkan infeksi. Ektima
terutama terjadi pada kaki dan gluteus setelah trauma.4

Gambar 3. Impetigo bulosa.15

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding impetigo kontagiosa adalah dermatitis atopik, kandidiasis,
dermatitis kontak dan lainnya. Diagnosis banding impetigo bulosa adalah eritema multiformis
bulosa, lupus eritema bulosa, pemfigoid bulosa, dan sebagainya. Secara lebih rinci, diagnosis
banding impetigo kontagiosa dan impetigo bullosa dapat dilihat pada tabel tabel 1 dan 2.1
Tabel 1. Diagnosis banding impetigo kontagiosa.1

Diagnosis Tampilan pembeda

Dermatitis atopi Lesi pruritus kronik atau berulang dan kulit cenderung kering,
berupa likenifikasi di area flkesura yang membedakannya dengan
impetigo
Kandidiasis Papula eritematosa kemerahan, lembab, berbeda dengan impetigo,
kondisi kulit ini ditemukan pada permukaan mukosa dan area lipatan
Dermatitis kontak Area gatal dengan kulit sensitif biasanya sehubungan dengan
riwayat kontak
Dermatofitosis Lesi skuama dan sedikit kemerhan dengan batas jelas atau berbentuk
“classic ringworm” atau vesikel
Lupus eritematosa diskoid Plak berbatas tegas dengan skuama lengket yang penetrasi ke folikel
rambut
Ektima Lesi krusta menutupi ulserasi, tidak seperti impetigo hanya terdapat
area erosi
Virus herpes simpleks Vesikel pada dasar eritemtosa jika ruptur akan membentuk erosi
yang ditutupi krusta, biasanya di bibir dan kulit
Gigitan serangga Papul biasanya pada lokasi gigitan serangga, nyeri, berhubungn
dengan urtikaria
Folikel pemfigosa Krusta dengan vesikel, biasanya berawal di area wajah dengan
distribusi seperti gambaran kupu-kupu atau di kulit kepala, dada,
punggung atas dengan kemerahan, skuama, krusta, atau terkadang
bulla
Skabies Lesi berbentuk terowongan dan kecil, vesikel diskret, gatal malam
hari
Sweet’ syndrome Onset mendadak disertai plak nyeri atau lunak atau nodul dengan
vesikel dan pustul
Varisela Vesikel berdinding tipis dengan dasar eritematosa berawal dari
trunkus dan menyebar ke area wajah dan ekstremitas
8
Tabel 2. Diagnosis banding impetigo bullosa.1

Diagnosis Tampilan pembeda

Eritema multiformis bullosa Vesikel atau bulla dengan plak merah, berukruan diameter 1-5 cm, di
permukaan ekstensor ekstremitas.
Eritema lupus bulosa Erupsi vesikobulosa gatal, terutama area atas trunkus
Pemfigoid bullosa Vesikel dan bulla dengan dasar luas dan gatal, dapat timbul plak urtikaria
Virus herpes simpleks Vesikel berkelompok dengan dasar eritema yang ruptur meningglkan erosi
yang ditutupi krusta
Gigitan serangga Bula terlihat pada area bekas gigitan serangga
Sindrom Stevens-Johnson Penyakit vesikobulosa di kulit, mulut, mata, dan genitalia
Luka bakar Riwayat lua bakar sebelumnya dengan bulla terutama luka bakar derajat 2
Nekrolisis epidermis toksin Sindrom Stevens-Johson mirip penyakit mukosa diikuti pengelupasan
generalisasi epidermis.
Varisela Vesikel berdinding tipis dengan dasar eritema yang berawal dari trunkus
dan menyebar ke area wajah dan ekstremitas

PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis impetigo biasanya ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Secara klinis, impetigo kontagiosa dalam bentuk makula eritematosa soliter berukuran dua
hingga empat mm dengan cepat menjadi vesikel atau pustul. Vesikel mudah pecah,
meninggalkan eksudat dengan krusta kekuningan berwarna “madu” di atas dasar erosi
dangkal (gambar 4). Distribusi linear dapat diamati ketika kuku pasien telah menggaruk kulit.
Selain manifestasi kulit, gejala sistemik yang sering dijumpai demam, kelemahan, dan
limfadenopati ringan.1,3,4,14
Impetigo bulosa disebabkan oleh S. aureus, ditandai dengan bula besar dan kendur
yang dapat pecah dan mengeluarkan cairan kekuningan (gambar 6). Seringkali sembuh dalam
waktu dua hingga tiga minggu tanpa jaringan parut. Bentuk impetigo ini paling sering
menyerang neonatus (gambar 5). Mula-mula bula besar dan mudah pecah dijumpai di trunkus
dan ekstremitas, bahkan area anogenital dan bokong bayi.1,14

Gambar 4. Staphyloccocu aureus: impetigo. Eritema dan krusta berwarna kuning madu di hidung dan bibir atas
(A), menyebar hingga seluruh area sentral wajah (B).

9
Gambar 5. Bula tidak kendur dan flaksid di punggung neonatus.8

Gambar 6. Staphyloccocu aureus: impetigo bullosa. Vesikel multipel jernih (A) menyebar dengan cepat
membentuk bulla flaksid.14

Tes serologis antibodi streptokokus tidak diindikasikan untuk diagnosis impetigo,


namun berguna jika glomerulonefritis pasca-streptokokus. Pasien diduga menderita
glomerulonefritis akut setelah impetigo, analisis kadar anti-DNase B yang meningkat dapat
memberikan bukti yang mendukung infeksi streptokokus sebelumnya. Kultur bakteri dapat
digunakan untuk konfirmasi diagnosis dan harus diperoleh jika dicurigai Methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (MRSA). Biopsi kulit dapat dipertimbangkan jika kasusnya sulit
disembuhkan. Tes human immunodeficiency virus (HIV) harus dipertimbangkan ketika orang
dewasa yang sebelumnya sehat dengan gejala impetigo bulosa.12

10
TATALAKSANA
Antibiotik topikal, antibiotik sistemik, dan desinfektan topikal semuanya dianggap
sebagai pilihan pengobatan impetigo. Antibiotik sistemik biasanya digunakan untuk kasus
berat, dimana pemberian terapi topikal tidak praktis terutama lesi dalam jumlah besar. Dosis
regimen terapi topikal dan sistemik dapat dilihat pada tabel 3.1,8,13
Tabel 3. Dosis dan durasi regimen terapi impetigo.1

Antibiotik Dosis dan durasi pengobatan


Topikal
Salep mupirosin 2% Digunakan pada area lesi tiga kali sehari selama 3-5 hari
Oral
Amoksisilin/klavulanat Dewasa: 250-500 mg tiga kali sehari selama 10 hari
Anak: 90 mg/kg/hari, terbagi, tiga kali sehari selama 10 hari
Sefaleksin Dewasa: 250-500 mg tiga kali sehari selama 10 hari
Anak: 90 mg/kg/hari, terbagi, tiga kali sehari selama 10 hari
Dikloksasilin Dewasa: 250-500 mg tiga kali sehari selama 10 hari
Anak: 90 mg/kg/hari, terbagi, tiga kali sehari selama 10 hari

Topikal
Salep asam fusidat 2% dan krim mupirosin 2% berfungsi sebagai pengobatan utama.
Mupirosin (asam pseudomonik A) adalah metabolit utama fermentasi Pseudomonas
fluorescens. Mekanismenya dengan menghambat sintesis protein bakteri, mengikat dengan
enzim isoleucyl-tRNA synthetase, sehingga mencegah penggabungan isoleusin ke dalam
rantai protein .Salep mupirosin efektif pada MRSA, diterapkan 3 kali sehari selama 7-10 hari.
Salep retapamulin 1% dioleskan ke kulit yang sakit dua kali sehari selama 5 hari. Kerugian
dari perawatan topikal adalah reaksi alergi lokal dan keterbatasan aplikasi daerah mulut dan
kelopak mata.1,2,3,10
Retapamulin adalah agen antibakteri topikal terbaru (pleuromutilin). Agen ini bekerja
pada tiga aspek kunci berbeda dari sintesis protein bakteri. Salep retapamulin 1% mengobati
impetigo yang disebabkan oleh S. aureus (hanya untuk strain yang rentan terhadap metisilin),
atau impetigo yang disebabkan oleh GAS pada pasien dewasa dan pada anak di atas usia
sembilan bulan. Retapamulin tidak disetujui untuk tatalaksana stafilokokus intranasal atau
pengobatan infeksi kulit terkait MRSA. Ozenoksasin adalah quinolone non-fluorinated baru.
Pada Mei 2019, krim ozenoxacin 1% telah disetujui di 12 negara Uni Eropa (UE) untuk
pengobatan topikal impetigo non-bulosa pada pasien berusia 6 bulan dan lebih tua. Meskipun
relatif sedikit pasien di bawah usia 6 bulan dan/atau dengan impetigo bulosa yang terdaftar
dalam uji klinis fase III penting dari ozenoxacin, di AS dan Kanada krim ozenoxacin 1%
diindikasikan untuk pengobatan topikal impetigo non-bulosa dan bulosa pada pasien usia 2
bulan dan lebih tua.1,5
11
Terapi sistemik
Antibiotik sistemik dipertimbangkan hanya jika infeksi memiliki keterlibatan struktur
yang lebih dalam dan dengan tanda-tanda sistemik lainnya seperti demam, limfadenopati,
faringitis dan/atau banyak lesi. Antibiotik spektrum luas dipilih untuk menutupi impetigo
bulosa dan non-bulosa. Antibiotik oral seperti fluklosaksilin, eritromisin, klaritromisin,
aitromisin dapat diberikan selama tujuh hari. Asam amoksisilin-klavulanat dapat digunakan
pada kasus yang resisten terhadap penisilinase. Klindamisin, trimetoprim, minosiklin,
tetrasiklin, dan fluoroquinolon adalah antibiotik pilihan untuk MRSA.1,2,11
Klindamisin hubungannya dengan peningkatan risiko mengembangkan kolitis
pseudomembran, harus digunakan pada pasien yang alergi alergi penisilin atau dalam kasus di
mana tidak ada tanggapan yang telah dicapai untuk pilihan pengobatan lain. Penting untuk
menekankan bahwa tetrasiklin dapat digunakan untuk infeksi MRSA, namun sebaiknya tidak
digunakan pada anak di bawah usia delapan tahun. Karena risiko menyebabkan tendinopati
dan artropati, dan karena aktivitas stafilokokus yang rendah, fluorokuinolon oral tidak
disukai. Pristinamisin adalah antibiotik streptogramin oral dengan spektrum aktivitas yang
mirip dengan makrolid dan linkosamid untuk bakteri gram-positif dengan mengurangi risiko
resistensi obat. Anti-stafilokokus beta-laktam biasanya merupakan terapi lini pertama.
Penambahan beta-laktamase inhibitor dan penggunaan sefalosporin generasi ketiga serta
penggunaan klindamisin sering diperlukan untuk menyediakan cakupan spektrum luas untuk
infeksi polimikroba.1

Terapi lainnya
Pengobatan herbal untuk impetigo tidak dapat direkomendasikan karena tidak ada
bukti yang cukup. Tidak ada rekomendasi penggunaan disinfektan karena kurang efektif
daripada antibiotik topikal.1

KOMPLIKASI
Komplikasi impetigo jarang terjadi, namun penyebaran infeksi lokal dan sistemik
dapat menyebabkan selulitis, limfangitis, septikemia, psoriasis guttate, demam skarlet, dan
postreptococcal glomerulonephritis (PSGN). PSGN adalah salah satu komplikasi paling
serius dan cenderung terjadi sebagai akibat impetigo streptokokus lebih umum daripada
infeksi tenggorokan streptokokus. PSGN dapat terjadi hingga 5% dari pasien dengan impetigo
non-bulosa dan cenderung bermanifestasi sekitar 2 minggu setelah infeksi. Gejalanya bisa
12
berupa pembengkakan di wajah, terutama di sekitar mata, oliguria, hematuria, dan
peningkatan tekanan darah. Sebagian besar pasien cenderung sembuh tanpa kerusakan ginjal
permanen, tetapi PSGN dapat menyebabkan penyakit ginjal kronis. Beberapa strain
streptococcus diketahui secara umum memengaruhi ginjal, diantaranya adalah serotipe 1, 4,
12, 25 dan 49. Saat ini tidak ada data yang menunjukkan bahwa mengobati impetigo memiliki
efek pada pencegahan perkembangan PSGN akut. Pada beberapa kondisi, impetigo dapat
berkembang menjadi demam rematik akut dan penyakit jantung rematik. 1,3,4

EDUKASI DAN PENCEGAHAN


Kebersihan sangat penting dalam pencegahan impetigo, mencuci tangan dengan air
hangat dan sabun antibakteri dan mandi secara teratur akan membantu mengurangi
kemungkinan infeksi. Antiseptik yang digunakan seperti triklosan, klorheksidin, dan
povidone iodin. Kuku harus dipotong untuk menghindari inokulasi otomatis dengan
menggaruk luka. Pasien yang terinfeksi impetigo harus menggunakan handuk dan lap bersih
setiap waktu. Anak-anak dapat kembali ke sekolah 24 jam setelah memulai rejimen antibiotik
yang efektif, dan lesi harus dijaga agar tetap kering. Dalam membatasi kontaminasi, orang tua
atau wali harus mencuci mainan anak-anak dan menggunakan tisu desinfektan. Orang tua
harus menindaklanjuti ke dokter jika lesi menyebar dan disertai gejala sistemik.2,4,9

PROGNOSIS
Impetigo umumnya sembuh dalam 2-3 minggu, bahkan tanpa perawatan. Dalam uji
coba secara acak, ditunjukkan bahwa pada kelompok sekitar 13% hingga 52% memiliki
resolusi spontan dalam 7 hingga 10 hari. Namun, angka kesembuhan yang lebih tinggi terlihat
dengan penggunaan obat-obatan dan memerhatikan risiko penyebaran infeksi.3,4

SIMPULAN
Impetigo pada dasarnya disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan Streptococcus
pyogenes (GABHS). Diagnosis pada umumnya dilakukan melalui anamnesis dan observasi
klinis terhadap manifestasi klinis yang timbul. Presentasi klinis dari bentuk bulosa impetigo,
dimulai dengan makula eritematosa dan berlanjut ke vesikel. Daerah yang terlibat sebagian
besar adalah daerah hidung dan perioral. Prinsip pencegahan higienitas merupakan poin
penting. Impetigo diobati dengan antibiotik topikal seperti mupirosin atau retapamulin,
sementara penyakit yang lebih luas diobati dengan antibiotik oral atau intravena. Komplikasi
13
relatif jarang dan sebagian besar kasus impetigo sembuh sepenuhnya tanpa komplikasi. Terapi
sistemik diperlukan terutama dalam bentuk bulosa atau lesi luas dengan pengobatan rata-rata
10 hari.

14
DAFTAR PUSTAKA
1. Lior, Z., Lior, C., & Gideon, C. Current Microbiological, Clinical and Therapeutic
Aspects of Impetigo. Clinical Medical Reviews and Case Report: 20185(2): 1–9.

2. Francis, S. F., Sasirekha, B., & Prabhu, R. Impetigo - A Case Report; 2018(5): 12–14.

3. D’Cunha, N. M., Peterson, G. M., Baby, K. E., & Thomas, J. Impetigo: A need for new
therapies in a world of increasing antimicrobial resistance. Journal of Clinical Pharmacy
and Therapeutics; 2018:43(1), 150–153.

4. Ghazvini, P., Treadwell, P., Woodberry, K., Nerette Jr, E., & Powery, H. I. Impetigo in
the Pediatric Population. J Dermatolog Clin Res; 2017:5(1), 1092.
5. Torrelo, A., Grimalt, R., Masramon, X., Albareda López, N., & Zsolt, I. Ozenoxacin, a
new effective and safe topical treatment for impetigo in children and adolescents.
Dermatology; 2020:236(3), 199–207.
6. Motswaledi, M. H. Impetigo in children: A clinical guide and treatment options. South
African Family Practice; 2016:53(1), 44–46.
7. Duggal, S. D., Bharara, T., Jena, P. P., Kumar, A., Sharma, A., Gur, R., & Chaudhary, S.
Staphylococcal bullous impetigo in a neonate. World Journal of Clinical Cases;
2016:4(7), 191.
8. May, P., Bowen, A., Tong, S., Steer, A., Prince, S., Andrews, R., Currie, B., & Carapetis,
J. Protocol for the systematic review of the prevention, treatment and public health
management of impetigo, scabies and fungal skin infections in resource-limited settings.
Systematic Reviews; 2016:5(1), 1–8.
9. Sukumaran, V., & Senanayake, S. Bacterial skin and soft tissue infections. Australian
Prescriber; 2016:39(5), 159–163.
10. Bowen, A. C., Mahé, A., Hay, R. J., Andrews, R. M., Steer, C., Tong, S. Y. C., &
Carapetis, J. R. The Global Epidemiology of Impetigo : A Systematic Review of the
Population Prevalence of Impetigo and Pyoderma; 2015:1–15.
11. Oakley, A., & Hamilton, T. (n.d.). Management of impetigo. Bpj; 2020:19, 8–11.
http://www.bpac.org.nz/BPJ/2009/February/docs/bpj19_impetigo_pages_8-11.pdf

12. Nardi NM, Schaefer TJ. Impetigo. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020:4-
10. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430974/

15
13. Stevens DL, Bryant AE. Impetigo, Erysipelas and Cellulitis. In: Ferretti JJ, Stevens DL,
Fischetti VA, editors. Streptococcus pyogenes : Basic Biology to Clinical Manifestations
[Internet]. Oklahoma City (OK): University of Oklahoma Health Sciences Center;
2016:4-5

14. Miller, Lloyd. Bacterial Disease. In: Kang S., Amagai M., Brucker A.L., Margolis D.J.,
McMichael A.J., Orringer J. S. Fitzpatrick’s Dermatology. 9 th Edition. New York:
McGraw-Hill Education; 2019(12):2721-2722

15. Chon, SY, Dawson AL, Demville, et al. Bacterial Infections. In: James, Wiliam D., Dirk
M. Elston, James R. Treat, Misha A. Rosenbach, Isaac M. Neuhaus. Clinical
Dermatology. Andrews’ Disease of the Skin 13 th Edition. USA: Elsevier; 2020. p. 252-
253.

16

Anda mungkin juga menyukai