Presus Impetigo Krustosa Iqbal
Presus Impetigo Krustosa Iqbal
IMPETIGO KRUSTOSA
Disusun Oleh :
Wahyu Iqbal Tawakal Santyasna
20214010050
Diajukan Kepada :
dr. H. Aries Budiarso, Sp. KK
i
HALAMAN PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
IMPETIGO KRUSTOSA
ii
Disetujui oleh :
Dosen Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUD KRT. Setjonegoro Wonosobo
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN 5
BAB II RANGKUMAN KASUS 8
BAB III PEMBAHASAN 10
BAB IV KESIMPULAN 12
DAFTAR PUSTAKA 13
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Impetigo adalah infeksi umum pada lapisan superfisial epidermis yang
sangat menular dan paling sering disebabkan oleh bakteri gram positif. Penyakit
ini paling sering muncul sebagai plak eritematosa dengan krusta kekuningan dan
mungkin terasa gatal atau nyeri. Lesi ini sangat menular dan menyebar dengan
mudah (May et al., 2019).
Di Amerika Serikat impetigo merupakan 10% dari masalah kulit yang
dijumpai pada klinik anak dan terbanyak pada daerah yang jauh lebih hangat,
yaitu pada daerah tenggara amerika. Di Inggris kejadian impetigo pada anak
sampai usia 4 tahun sebanyak 2,8% pertahun dan 1,6% pada anak usia 5-15 tahun.
Sekitar 70% merupakan impetigo krustosa (Dayrit et al., 2018).
Impetigo krustosa atau non bulosa merupakan jenis impetigo yang paling
sering dijumpai dan hampir 70% terjadi pada anak-anak dibawah usia 15 tahun
dengan infeksi (GABHS) atau yang biasa dikenal dengan nama Streptococcus
pyogenes. Telah dilaporkan bahwa sebanyak 50-60% kasus disebabkan
Staphylococcus aureus yang merupakan patogen utama penyebab impetigo
krustosa. Namun pada kenyataanya, hampir 20-45% kasus disebabkan oleh
kombinasi antara keduanya. Bakteri Staphylococcus aureus memproduksi racun
bakteriotoksin pada streptococcus. Racun inilah yang menjadi alasan mengapa
hanya Staphylococcus aureus yang terisolasi pada lesi walaupun penyebabnya
adalah Streptococcus pyogenes. Jika seorang individu mengadakan kontak dengan
penderita impetigo, maka individu dengan kulit normal dapat terkontaminasi oleh
bakteri ini. Pada kulit yang terkolonisasi oleh bakteri ini, maka pada luka kecil
seperti lecet atau tergigit serangga akan timbul lesi antara 1-2 minggu (Muleme et
al., 2009)
5
Gejala dari impetigo krustosa adalah awalnya berupa warna kemerahan
pada kulit (makula) atau papul yaitu penonjolan padat dengan diameter < 0,5 cm
berukuran 2-1 mm. Lesi papul segera menjadi vesikel atau pustul yaitu papula
yang berwarna keruh atau mengandung nanah yang mudah pecah dan menjadi
papul dengan keropeng atau koreng berwarna kulit madu dan lengket. Kira-kira
berukuran < 2 cm dengan kemerahan minimal atau tidak ada kemerahan sama
sekali disekitarnya. Lesi bisa muncul di kulit akibat trauma sebelumnya atau
bahkan di kulit yang normal sekaligus dan penyebarannya pun cepat. Lesi berada
disekitar mulut, hidung, dan daerah tubuh yang serong terbuka yaitu tangan dan
kaki. Jika tidak segera diobati, maka lesi akan menyebar terus karena tindakan
sendiri karena impetigo menyebar melalui kontak langsung dengan daerah kulit
yang terinfeksi (lesi). Kelenjar getah bening juga dapat mengalami pembesaran
dan terasa nyeri (Clebak & Malone, 2018)
Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesa dan gambaran klinis dari lesi.
Impetigo nonbulosa sering kali dimulai sebagai vesikel atau pustula. Beberapa
vesikel sering menyatu dan pecah setelah itu eksudat purulen membentuk kerak
berwarna kekuningan yang khas. Biasanya juga ditandai dengan dasar
eritematosa. Seringkali terdapat lesi multipel pada wajah dan ekstremitas,
terutama pada area dimana terjadi gangguan pada sawar kulit. Limfadenopati
regional ringan merupakan temuan umum yang terkait. Gejala sistemik seperti
demam biasanya tidak ada pada impetigo nonbulosa. Biopsy jarang dilakukan.
Biasanya diagnosa dari impetigo dapat dilakukan tanpa adanya tes laboraturium
(Cole & Gazewood, 2007)
Diagnosis banding pada impetigo krustosa yaitu ektima dan kandidiasis.
Ektima adalah ulkus superfisialis dengan krusta diatasnya yang disebabkan oleh
infeksi streptococcus. Gejala klinisnya tampak sebagai krusta tebal yang berwarna
kuning dan biasanya berlokasi ditungkai bagian bawah, yaitu tempat yang relatif
banyak mendapat trauma. Jika krusta diangkat ternyata melekat dan tampak ulkus
yang dangkal. Infeksi diawali dengan adanya vesikel atau pustul di atas kulit
sekitar yang mengalami inflamasi, membesar yang kemudian berlanjut pada
pecahnya pustule mengakibatkan kulit mengalami ulserasi dengan ditutupi oleh
krusta. Bila krusta terlepas, tertinggal ulkus superfisial dengan gambaran punched
out appearance atau berbentuk cawan dengan dasar merah dan tepi meninggi.
6
Penatalaksanaan baik impetigo bulosa maupun impetigo krustosa, terapi
atau pengobatannya adalah dengan diberikan antibiotik. Penanganan kasus
dibidang kulit memerlukan antibiotika topikal karena obat tersebut memegang
peranan penting. Antibiotika topikal adalah obat yang paling sering diresepkan
oleh spesialis kulit untuk infeksi superfisial dengan area yang terbatas, seperti
impetigo. Penggunaan bahan topikal dapat mengurangi kebutuhan akan obat oral,
efek samping pada saluran pencernaan, problem kepatuhan, potensi terjadinya
interaksi obat. Asam fusidat diberikan sebagai antibiotik topikal. Mekanisme
kerjanya yaitu menghambat sintesis protein. Salep atau krim asam fusidat 2%
aktif melawan bakteri gram positif. Untuk lebih efektifnya pemberian asam
fusidat diberikan bersamaan dengan mupirocin topikal. Pemberian paracetamol
digunakan sebagai anti nyeri karena paracetamol menghambat kerja enzim
cyclooksigenase (COX) pada sistem saraf pusat. Kemampuan menghambat
kinerja enzim COX ini yang dapat menurunkan demam sekaligus mengurangi rasa
sakit pada penderita impetigo (Stevens et al., 2014)
7
BAB II
RANGKUMAN KASUS
8
Dari hasil assesement pasien didiagnosis mengalami Impetigo Krustosa.
Tatalaksana yang diberikan yaitu Cefixime 200 mg 2 kali sehari, Cetirizin 10 mg
2 kali sehari, Mupirocin 2% cream oleskan 2 kali sehari, dan kompres NaCl
0,9% 2 kali sehari.
9
BAB III
PEMBAHASAN
10
Infeksi diawali dengan adanya vesikel atau pustul di atas kulit sekitar yang
mengalami inflamasi, membesar yang kemudian berlanjut pada pecahnya pustule
mengakibatkan kulit mengalami ulserasi dengan ditutupi oleh krusta. Bila krusta
terlepas, tertinggal ulkus superfisial dengan gambaran punched out appearance
atau berbentuk cawan dengan dasar merah dan tepi meninggi. Pada pasien ini
dasar dari lesi nya tidak ditemukan adanya ulkus melainkan berupa erosi. Oleh
karena itu diagnosis banding ektima dapat disingkirkan.
Tatalaksana pada pasien ini yaitu Cefixime 200 mg 2 kali sehari, Cetirizin
10 mg 1 kali sehari, Mupirocin 2% cream oleskan 2 kali sehari, dan kompres
NaCl 0,9% 2 kali sehari. Antibiotik diberikan sebagai tatalaksana definitif
dikarenakan etiologi impetigo krustosa diakibatkan oleh Staphylococcus aureus
dan Streptococcus β Hemolyticus Grup A, antibiotik dapat diberikan secara
topikal maupun oral. Selain itu juga diberikan anti histamin berupa cetirizine
untuk mengurangi rasa gatal. Dan diberikan kompres NaCl untuk membersihkan
erosi yang muncul.
11
BAB IV
KESIMPULAN
12
DAFTAR PUSTAKA
Bangert, S., Levy, M., & Hebert, A. A. (2012). Bacterial resistance and impetigo
treatment trends: A review. Pediatric Dermatology, 29(3), 243–248.
https://doi.org/10.1111/j.1525-1470.2011.01700.x
Clebak, K. T., & Malone, M. A. (2018). Skin Infections. Primary Care - Clinics in Office
Practice, 45(3), 433–454. https://doi.org/10.1016/j.pop.2018.05.004
Cole, C., & Gazewood, J. (2007). Diagnosis and treatment of impetigo. American Family
Physician, 75(6).
Dayrit, J. F., Bintanjoyo, L., Andersen, L. K., & Davis, M. D. P. (2018). Impact of
climate change on dermatological conditions related to flooding: update from the
International Society of Dermatology Climate Change Committee. International
Journal of Dermatology, 57(8), 901–910. https://doi.org/10.1111/ijd.13901
May, P. J., Tong, S. Y. C., Steer, A. C., Currie, B. J., Andrews, R. M., Carapetis, J. R., &
Bowen, A. C. (2019). Treatment, prevention and public health management of
impetigo, scabies, crusted scabies and fungal skin infections in endemic populations:
a systematic review. Tropical Medicine and International Health, 24(3), 280–293.
https://doi.org/10.1111/tmi.13198
Muleme, H. M., Reguera, R. M., Berard, A., Azinwi, R., Jia, P., Okwor, I. B., Beverley,
S., & Uzonna, J. E. (2009). 基因的改变 NIH Public Access. J Immunol., 23(1), 1–7.
https://doi.org/10.1016/j.jaci.2010.10.033.Comparative
Stevens, D. L., Bisno, A. L., Chambers, H. F., Dellinger, E. P., Goldstein, E. J. C.,
Gorbach, S. L., Hirschmann, J. V., Kaplan, S. L., Montoya, J. G., & Wade, J. C.
(2014). Practice guidelines for the diagnosis and management of skin and soft tissue
infections: 2014 update by the infectious diseases society of America. Clinical
Infectious Diseases, 59(2). https://doi.org/10.1093/cid/ciu296
13