Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

EFEK SAMPING OBAT TB PADA MATA

Pembimbing

dr. Ilhamiyati, Sp.M

Disusun Oleh :

Sigit Estu Iswahyudi 201910401011064

BAGIAN SMF ILMU PENYAKIT MATA RSU HAJI SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2020
LEMBAR PENGESAHAN

LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

Efek Samping Obat TB Pada Mata

Referat dengan judul “Efek Samping Obat TB Pada Mata” telah diperiksa

dan disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi

kepaniteraan Dokter Muda di bagian mata.

Surabaya, Juni 2020

Pembimbing

dr. Ilhamiyati, Sp.M

ii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena atas

berkat dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan referat dengan judul “Efek

Samping Obat TB Pada Mata”.

Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terimakasih kepada semua

pihak, rekan sejawat, dan terutama dr. Ilhamiyati, Sp.M yang telah meluangkan

waktunya untuk membimbing kami sehingga referat kasus ini dapat selesai

dengan baik.

Kami menyadari referat ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu

kritik dan saran kami harapkan demi memperbaiki kekurangan atau kekeliruan

yang mungkin ada. Semoga referat ini bermanfaat bagi rekan dokter muda

khususnya dan masyarakat umum pada umumnya. Akhir kata, kami penulis

mengharapkan tugas ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Wassalamualaikum WR.WB.

Surabaya, Juni 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

DAFTAR GAMBARv

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2

2.1 Anatomi makula.....................................................................................2

2.2 Definisi ..................................................................................................6

2.3 Etiologi ..................................................................................................6

2.4 Patogenesis.............................................................................................8

2.5 Klasifikasi..............................................................................................9

2.6 Manifestasi Klinis................................................................................ 11

2.7 Diagnosis ............................................................................................ 13

2.8 Penatalaksanaan .................................................................................. 16

BAB 3 RINGKASAN 17

DAFTAR PUSTAKA 19

iv
5

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak didunia setelah India dan Cina

untuk angka kejadian TB, diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus TB

baru dengan kematian sekitar 91.000 orang. Prevalensi TB di Indonesia pada

tahun 2009 adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi pada lebih dari 70%

usia produktif (15-50 tahun) (PNPT, 2014).

Meningkatnya prevalensi tuberkulosis, menyebabkan obat anti tuberkulosis

(OAT) yang sering digunakan juga dikaitkan dengan toksisitas pada mata.

Etambutol (EMB) adalah obat yang paling sering dikaitkan. Pada umumnya dapat

ditoleransi dengan baik, tetapi diketahui dapat menyebabkan neuritis optik,

khususnya neuritis retro bulbar yang menyebabkan penglihatan kabur, penurunan

ketajaman penglihatan, skotoma sentral, dan hilangnya penglihatan warna merah-

hijau. Mekanisme pasti toksisitas belum dipahami. Meskipun neuritis optik

disebabkan oleh EMB umumnya dianggap reversibel setelah penghentian obat

segera, ada laporan toksisitas reversibel, terutama pada populasi lansia. Isoniazid

jarang dapat menyebabkan neuritis retro bulbar. Tidak terdapat kaitannya dengan

dosis. Streptomisin diketahui menyebabkan pseudo tumorcerebri. Thiacetazone

dapat menyebabkan reaksi kulit yang parah termasuk Sindrom Steven Johnson

yang mempengaruhi kulit dan mukosa termasuk konjungtiva. Mengedukasi pasien

untuk dapat melakukan deteksi dini dari manifestasi pada mata dan melakukan

follow-up rutin sangatlah penting. 2005

5
6

Begitu penting bagi dokter untuk menghindari obat yang berpotensi toksik
dan memilih alternatif, atau digunakan dengan sangat bijaksana, untuk mencegah
pasien TBC kehilangan mata mereka yang indah. Di antara obat-obatan anti
tuberkulosis (OAT), etambutol (EMB), isoniazid (INH), streptomisin, kanamisin,
tiacetazone, amikacin dan rifampisin diketahui menyebabkan toksisitas pada mata.
Dalam ulasan ini artikel kami mencoba menyoroti potensi toksisitas OAT dan
merinci langkah-langkah untuk mencegah insiden kehilangan penglihatan.
Meskipun ada banyak efek samping sistemik dari OAT, dalam referat ini, penulis
berusaha untuk menjelaskan garis besar toksisitas pada mata karena OAT. 2005

6
7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis
A. Definisi

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit kronik menular yang

disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini

menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi basil tuberkulosis.

Tuberkulosis paru merupakan suatu penyakit infeksi kronik yang sudah

lama dikenal manusia yang seringkali dikaitkan dengan tempat tinggal

dengan lingkungan yang padat penduduk. Jalan masuk untuk organismeini

adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada

kulit.

B. Diagnosis Tuberkulosis Paru

1. Gejala Klinis :

a. Respiratorik :

- Batuk lebih dari 3 minggu

- Batuk darah

- Sesak napas

- Nyeri dada

Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai

gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita

terdiagnosis pada saat medical checkup. Bila bronkus belum terlibat dalam

proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk

yang pertama terjadi karena iritasi bronkus.

7
8

b. Sistemik

- Demam

- Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan

menurun.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain :

 Suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,

tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.

 Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari

banyaknya cairan di rongga pleura.

 Perkusi : pekak

 Auskultasi : suara napas melemah sampai tidak terdengar pada

sisi yang terdapat cairan

 Limfadenitis tuberkulosa : Pembesaran kelenjar getahbeningleher,

kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat

menjadi “cold abscess”.

3. Pemeriksaan Bakteriologik

Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis

mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan

untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan

pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan

bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan

biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)

A. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan :

8
9

Cara pengumpulan dan pengiriman bahan. Cara pengambilan dahak 3

kali, setiap pagi 3 hari berturut-turut atau dengan cara:

 S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang

berkunjung pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien

membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari

kedua.

 P (pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah

bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di

fasyankes.

 S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat

menyerahkan dahak pagi (PNPT, 2014).Cara pemeriksaan dahak dan

specimen lain dapat dilakukan dengan cara mikroskopik dan kultur.

Interpretasi dari hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan

ialah bila :

 2 kali positif, 1 kali negatif :Mikroskopik positif

 1 kali positif, 2 kali negatif :ulang BTA 3 kali

 1 kali positif, 2 kali negatif :Mikroskopik positif

 3 kali negatif : Mikroskopik negative

Adapun pemeriksaan kultur dilakukan untuk mendapatkandiagnosis

pasti dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis.

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD

(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against

Tuberculosis and Lung Disease)

9
10

  - Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif

  - Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman

yang ditemukan : Scanty

  - Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +(+1)

  - Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++(+2)

  - Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++(+3)

4. Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar adalah dengan foto thoraks PA dengan atau tanpa

foto lateral. Adapun gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB

aktif :

 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus

atas paru dan segmen superior lobus bawah

 Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opaque

berawan atau nodular

 Bayangan bercak milier

 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Sedangkan gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif adalah

sebagai berikut

 Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas

Kalsifikasi atau fibrotik

 Kompleks ranke

Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura.

 Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru

yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru .Gambaran

1
0
11

radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis, multikaviti dan

fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau

penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut.

C. Terapi

 Tujuan pengobatan :

- Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas

hidup

- Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk

selanjutnya

- Mencegah terjadinya kekambuhan TB

- Menurunkan penularan TB

- Mencegah terjadinya TB resisten obat2

 Prinsip Pengobatan TB :

- Obat anti tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam

pengobatan TB

- Pengobatan TB merupakan merupakan salah satu upaya paling

efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut kuman TB

- Pengobatan adekuat jika memenuhi prinsip :

 Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat

mengandung 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi

 Diberikan dalam dosis yang tepat

 Diminum secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO

(pengawas menelan obat) sampai selesai pengobatan

1
1
12

 Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam

tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.

 Tahapan Pengobatan TB :

- Fase Awal : Pengobatan diberikan tiap hari à menurunkan jumlah

kuman yang ada dalam tubuh (harus 2 bulan)

- Fase Lanjutan : Tahap penting untuk membunuh sisa kuman yang

masih ada dalam tubuh khususnya kuman persister sehingga pasien

dapat sembuh dan mencegah kekambuhan.

Tabel 2.1. Daftar OAT lini pertama dan efek sampingnya

Panduan OAT yang digunakan di Indonesia (WHO dan ISTC)

adalah :

 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3

 Kategori 2 : 2(HZRE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

2.2 Efek samping obat TB pada mata

Obat anti tuberkulosis menghasilkan efek samping yang tidak diinginkan,


terutama bila digunakan dosis tinggi dan biasanya untuk periode lebih dari dua
bulan. Neuritis retrobulbar, neuropati optik dan chiasmopathy karena etambutol

1
2
13

merupakan komplikasi neurotoksik yang diketahui. Timbulnya gejala visual dapat


terjadi dalam periode 10 hari hingga 90 hari setelah terapi dimulai. Pemeriksaan
oftalmoskopik mengungkapkan penurunan ketajaman penglihatan bilateral
maupun tidak merata, hilangnya penglihatan warna, hemianopsia bitemporal atau
skotoma centrocecal pada perimetri. Funduskopi umumnya menunjukkan
hiperemia disc bilateral dengan batas kabur. Jarang terjadi funduskopi normal
seperti dalam laporan kasus kami. Methylprednisolone seiring dengan
penghentian obat dianggap bermanfaat, seperti peningkatan penglihatan yang
terlihat pada pasien kami. Namun, pemulihannya sering tidak lengkap.

2.2.1 Isoniazid
Merupakan hidrazida asam isonicotinic yang pertama kali disintesis pada
tahun 1942. INH jarang dapat menyebabkan neuritis retro bulbar. Biasanya
tidak ada kaitannya dengan dosis. Jimenez-Lucho VE melaporkan seorang
pasien dengan neuropati optik saat dalam pengobatan dengan EMB dan INH
dan neuropati optik sembuh hanya ketika keduanya obat tersebut dihentikan.
Dokumentasi literatur terbaru yang pasti dari toksisitas mata karena isoniazid
masih kurang. Namun, disarankan pemeriksaan oftamologi, termasuk
baseline visual evoked potentials, dilakukan pada pasien yang menerima
isoniazid dan etambutol.
2.2.2 Rifampisin
Obat ini adalah senyawa semi-sintetik yang disintesis pertama pada tahun
1965. Dapat menyebabkan konjungtivitis dan pewarnaan lensa kontak
berwarna oranye. Perubahan warna mungkin mengganggu pasien tetapi hal
ini tidak memerlukan terapi khusus.
2.2.3 Streptomycin
diisolasi pada tahun 1943 oleh Walksman dari organisme tanah.
Merupakan bakterisida. Toksisitas meningkat jika terdapat gangguan fungsi
ginjal. Dapat menyebabkan pseudotumor serebri dan blokade neuromuskuler
miastenik. Seharusnya tidak diberikan pada pasien dengan myasthenia gravis.
Ini dapat berpotensi menjadi agen penghambat neuromuskuler yang
digunakan selama anestesi. Semua efek samping bersifat reversibel pada

1
3
14

penghentian obat. Penggunaan syringe dan jarum steril penting untuk


mencegah penyebaran infeksi HIV dan hepatitis B.

2.2.4 Etambutol
Etambutol adalah obat lini pertama untuk mengobati semua jenis
TBC. Etambutol termasuk dalam rejimen pengobatan awal terutama untuk
mencegah munculnya resistensi rifampisin saat resistensi primer terhadap
INH dapat terjadi. Etambutol adalah obat bakteriostatik, yang bermanfaat
pada kedua fase baik fase intensif maupun fase lanjutan dari terapi TBC.
Setelah memburuknya tuberkulosis akibat koinfeksi HIV dibutuhkan obat
alternatif seperti EMB: tiacetazon dan streptomisin. Tiacetazon terkait
dengan risiko tinggi, terkadang reaksi kulit fatal pada orang yang
terinfeksi HIV. Streptomisin, meskipun merupakan obat yang bermanfaat,
seharusnya tidak digunakan di daerah dengan prevalensi infeksi HIV
tinggi jika tidak ada jaminan sterilisasi syringe dan jarum yang memadai.
Etambutol pada umumnya ditoleransi dengan baik, tetapi toksisitas pada
mata adalah efek samping yang sering didapatkan. Toksisitas pada mata
seperti neuritis optik, khususnya neuritis retrobulbar menyebabkan
penglihatan kabur, menurunnya ketajaman penglihatan, skotoma sentral,
dan hilangnya penglihatan warna merah-hijau.
Ketajaman visual, sensitivitas kontras, dan ERG multifokal adalah
tes sensitif untuk mendeteksi toksisitas etambutol dalam tahap subklinis
dan sangat berguna untuk memantau pasien di bawah terapi etambutol
untuk toksisitas okular. Pemindaian MRI dari saraf optik dan chiasma,
dengan temuan normal pada neuropati optik toksik dan / atau nutrisi, bisa
bermanfaat untuk membedakan skotoma centrocecal bilateral dan
kompresif atau lesi infiltratif chiasma optik. (vivekanand)
Carr dan Henkind pada tahun 1962 pertama kali menggambarkan
efek samping etambutol pada mata yang melibatkan diskus optik, saraf
optik orbital [retrobulbar] atau pada chiasma optik. Neuritis optik karena
etambutol bisa sentral atau yang jarang yaitu perifer. Pasien biasanya
datang dengan penglihatan kabur, dan pada pemeriksaan ditemukan

1
4
15

penurunan ketajaman penglihatan dikaitkan dengan dischromatopsia. Jenis


perifer dapat menyebabkan beberapa gejala tetapi pemeriksaan lapang
pandang menunjukkan konstriksi perifer. Berdasarkan studi deskriptif
prospektif mengenai penglihatan warna pada 42 pasien mata yang
mengonsumsi etambutol, Kaimbo WA et al menemukan defek penglihatan
warna pada 36% pasien. Defek Hijau-merah, biru-kuning atau defek
gabungan dan sumbu anarkis diamati. Srivastava AK dkk menemukan
rekaman Visual Evoke Response (VER) menjadi sangat berguna sebagai
tes objektif untuk kerusakan saraf optik sub klinis pada neuritis optik yang
disebabkan etambutol.
Mekanisme pasti toksisitas tidak dipahami. Penelitian pada hewan
menunjukkan bahwa etambutol mendepresi zinc dari saraf optik. Menurut
Heng JE et al, toksisitas dimediasi melalui jalur eksitotoksik, sehingga
menyebabkan sel-sel ganglion sensitif terhadap kadar ekstraseluler
glutamat yang normalnya ditoleransi. Toksisitas dikaitkan dengan dosis,
dengan kejadian menjadi 18% dengan konsumsi dosis 35 mg/kg/ hari, 5-
6% dengan konsumsi 25 mg/kg/hari dan kurang dari 1% pada konsumsi
15 mg/kg/hari bila diminum lebih dari dua bulan. Gagal ginjal
memperpanjang waktu paruh etambutol dan meningkatkan risiko neuritis
optik yang disebabkan oleh etambutol.
Neuritis optik karena etambutol umumnya reversibel ketika obat
dihentikan segera. Gorbach menyatakan bahwa penglihatan akan kembali
normal setelah obat dihentikan. Sebuah studi dari India pada 47 anak,
termasuk 27 anak berusia kurang dari 5 tahun diobati dengan dosis 20
mg/kg/hari selama 12 bulan tidak ditemukan efek pada penglihatan yang
ditimbulkan selama pengobatan ataupun 3-6 bulan setelah pengobatan
dihentikan. Studi dari Meksiko pada 36 anak-anak, 21 bayi, selama empat
tahun dan tidak ditemukan bukti toksisitas optik. Choi SY et al
melaporkan toksisitas etambutol pada mata dengan dosis paling rendah
12,3 mg/kg dan untuk deteksi dini ini, penting dilakukan tes penglihatan
warna. Sajjad Ali et al melaporkan kasus neuritis optik terinduksi
etambutol setelah 3 hari terpapar obat dimana ketajaman visualnya

1
5
16

meningkat menjadi 20/20 pada mata kiri dan menjadi 20/40 pada mata
kanan setelah penghentian konsumsi obat.
Setelah terapi kronis etambutol, neuropati optik tidak selalu
reversibel, terutama pada populasi lansia. Tsai dan Lee mengumpulkan
sepuluh pasien berturut-turut dengan kerusakan penglihatan yang parah
karena toksisitas etambutol, dan pasien ini dianggap telah menerima dosis
etambutol yang aman. Meskipun etambutol dihentikan segera dalam
semua kasus, hanya lima pasien (50%) yang mengalami perbaikan
penglihatan setelah dilakukan follow up dalam periode 12 bulan hingga 3
tahun. Lima pasien lainnya (50%) mengalami gangguan penglihatan
permanen tanpa pemulihan. Tidak ada faktor predisposisi atau risiko yang
berkontribusi pada hasil visual yang buruk. Di grup dengan usia lebi dari
60 tahun, hanya 20% (1/5) yang mengalami perbaikan visual; dalam
kelompok kurang dari 60 tahun, 80% (4/5) mengalami beberapa perbaikan
visual, perbedaan antara kedua kelompok umur ini secara statistik
bermakna. Para penulis menyebutkan bahwa mereka membutuhkan lebih
banyak pasien untuk menjawab apakah pasien lebih tua dengan neuropati
optik yang disebabkan etambutol memiliki prognosis yang buruk.
Neuropati optik yang disebabkan etambutol, dalam studi follow-up tidak
selalu reversibel, terutama pada populasi yang lebih tua. Ini dapat
menyebabkan cacat visual permanen. Tidak ada yang disebut "dosis
aman". Para penulis menyarankan untuk mempertimbangkan kembali
penggunaan etambutol sebagai salah satu lini pertama obat anti
tuberkulosis, terutama pada pasien yang lebih tua. Pada studi lain yang
terdiri dari empat kasus neuritis optik, gejala berkembang setelah 2,5, 7,5,
8, dan 12 bulan setelah terapi. Tiga kasus terjadi neuritis reversibel dengan
satu pasien berkembang menjadi gangguan penglihatan permanen yang
parah.
Berdasarkan literatur yang ada dan dengan tujuan mendapatkan
angka kesembuhan yang tinggi dan mencegah timbulnya TB yang resistan
terhadap obat berikut langkah-langkah yang dipertimbangkan untuk
penggunaan etambutol:

1
6
17

1. Jika tersedia obat alternatif lebih baik untuk menghindari


etambutol untuk pengobatan TBC dikarenakan toksisitas yang
terjadi dengan konsumsi dosis paling rendah yang dianjurkan
meskipun dilakukan follow-up medis dan pemeriksaan mata dan
bisa menyebabkan kehilangan penglihatan parah yang kadang-
kadang mungkin tidak dapat dipulihkan setelah menghentikan
obat.
2. Jika tidak ada alternatif, sebelum memulai pengobatan pasien
harus dinilai ketajaman visual, penglihatan warna dan lapang
pandang. Pengurangan dosis etambutol harus dilakukan atau
seharusnya dikontraindikasikan pada pasien dengan ketajaman
visual awal yang rendah yang tidak dapat dikoreksi dengan
kacamata, pada pasien yang tidak dapat melaporkan gejala seperti
anak-anak, orang dengan kesulitan bahasa dan pada orang dengan
gangguan fungsi ginjal.
3. Pendidikan kesehatan harus diberikan kepada pasien mengenai
efek samping visual dan kebutuhan untuk menghentikan obat dan
melaporkan segera, jika ada masalah yang muncul.
4. Dengan fungsi ginjal normal dosis etambutol adalah 15
mg/kg/hari. Jika dosis 25 mg diperlukan, seharusnya tidak
diberikan lebih dari 2 bulan.
5. Selama konsultasi medis dan follow-up, secara rutin menilai status
visual. Dalam hal apa pun jika timbul kecurigaan, rujuk pasien
untuk pemeriksaan mata rinci termasuk ketajaman visual,
penglihatan warna, lapang pandang dan rekaman dari visually
evoked response (VER).
6. Pada Directly Observed Treatment Short course (DOTS), pekerja
medis disarankan untuk memonitor gejala visual pasien dan
merujuk pasien dengan tepat.
7. Jika terjadi neuritis berat, INH juga harus dihentikan. Pada neuritis
optik yang tidak terlalu parah INH dilanjutkan dengan diberikan
penambahan pyridoxine dosis tinggi 50-100 mg setiap hari, dan

1
7
18

jika neuritis optik gagal membaik dalam waktu enam minggu


penghentian etambutol, INH juga dihentikan.
8. Koreksi kekurangan gizi dan kekurangan zinc dapat berperan
dalam mencegah toksisitas etambutol tetapi tidak ada data yang
cukup untuk mendukung manfaat terapi tersebut.
Penatalaksanaan neuritis optik karena etambutol memerlukan
penghentian etambutol segera. Dosis tinggi prednisolon sistemik dapat
dicoba untuk menurunkan peradangan di sekitar saraf optik. Dosis tinggi
vitamin mungkin bermanfaat untuk perlindungan saraf, tetapi sejauh mana
hal itu mempengaruhi hasil penglihatan masih belum dapat dipastikan.

1
8
19

BAB 3

RINGKASAN

Age-related Macular Degeneration (AMD) merupakan kondisi kronis di


mana degenerasi retina sentral fotoreseptor menyebabkan gangguan penglihatan
secara progresif. Menurut AAO tahun 2014 Age-related Macular Degeneration
(AMD) merupakan kelainan makula yang ditandai oleh satu atau lebih berikut
ini :

1. Adanya drusen ukuran sedang (diameter 63 μm atau lebih besar)

2. Kelainan epitel pigmen retina (RPE) seperti hipopigmentasi atau


hiperpigmentasi

3. Pseudodrusen retikular

4. Adanya salah satu gambaran berikut : atrofi geografis RPE, koroid


neovaskularisasi (eksudatif, wet), vaskulopati koroid polipoidal, atau
angiomatosa retina proliferasi.

Faktor risiko utama untuk pengembangan AMD lanjut adalah


bertambahnya usia, etnis, dan genetika. Meskipun sejumlah factor risiko yang
dapat dimodifikasi telah diselidiki, merokok merupakan factor risiko utama
yang dapat dimodifikasi.

Patogenesis dari AMD tidak sepenuhnya dipahami. Namun, bukti


menunjukkan bahwa kontributor utama adanya akumulasi lipofuscin / drusen,
peradangan kronis, kerusakan oksidatif, dan mutasi dalam sistem komplemen.
Perubahan struktural juga terjadi pada membran Bruch menyebabkan
akumulasi material yang mengendap di antara pigmen retina epitel dan
membran Bruch yang akhirnya terbentuk drusen.

Klasifikasi AMD dibedakan menjadi

1. Early AMD
2. Intermediate AMD

1
9
20

3. Advanced AMD
Ada berbagai metode untuk diagnosis, termasuk pencitraan fundus dan
optical coherence tomography (OCT).Di samping itu, dapat juga digunakan
Spectral-domain Optical Coherence Tomography (SD-OCT), alat ini telah
memberikan pemahaman yang lebih baik tentang perubahan struktur mikro
terkait AMD. Seiring perkembangan kemajuan teknis, En-face OCT adalah
salah satu pendekatan visualisasi yang secara signifikan mendapat manfaat dari
kemajuan teknis tersebut. Nilai Indocyanine Green (ICG) angiografi dalam
tatalaksana AMD masih diperdebatkan, namun ICG dapat menentukan bentuk
spesifik AMD tertentu. Tes lain seperti mikroperimetri dapat digunakan untuk
mengukur sensitivitas dan fiksasi retina pada AMD. Pada penggunaan Amsler
Grid cocok untuk mendeteksi penyakit makula pada tahap awal karena pasien
dengan gejala subjektif makulopati sering mendahului tanda-tanda obyektif.
Penatalaksanaan foto koagulasi laser sekarang jauh lebih sedikit
digunakan, kecuali dalam kasus dengan neovaskular ekstrafoveal kecil koroid
lesi yang jauh dari fovea. Terapi fotodinamik dengan verteporfin sekarang
jarang digunakan untuk yang berkaitan dengan usia degenerasi makula,
prosesnya menghasilkan radikal bebas yang merusak endotelium. Terapi anti-
VEGF menyebabkan perkembangan VEGF inhibitor. Obat anti-VEGF
biasanya diberikan melalui injeksi intravitreal dan telah disetujui oleh FDA.
Penatalaksanaan pada dry AMD saat ini masih diteliti, tetapi perawatan
utama dalam penelitian membagi agen terapi menjadi 6 kategori yaitu
suplementasi nutrisi, terapi antiinflamasi, terapi neuroprotektan, inhibitor
lipofusin dan siklus visual, agen restorasi aliran darah koroidal, dan terapi stem
sel.

2
0
21

DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, J. 2017. Recognizing Age-related Macular Degeneration in


Primary Care doi: 10.1097/01.JAA.0000512227.85313.05.

2. Al-Zamil, Waseem M. 2017. Recent developments in age-related macular


degeneration: a review. Dove Press Journal. Clinical Interventions in
Aging 2017:12. pp 1313-1330.

3. American Academy of Ophthalmology. 2014. Age-Related Macular


Degeneration. The Eye Macular Degeneration Association.

4. Gunawan, R. E. dan Sasono, W. 2008. Idiopathic Macular Hole 6(3), hal.


5–10.

5. Bowling, Brad. 2016. Kanski’s Clinical Ophthalmology 8th ed. Australia :


Elsevier. pp 580.

6. Singh, A. 2014, Systemic Changes in Neovascular Age-Related Macular


Degeneration,doi: 10.1016/j.ajo.2012.01.036.

7. Lim, L. S. et al,2012 Ophthalmology 1 Age-related macular degeneration,


The Lancet. Elsevier Ltd, 379(9827), hal. 1728–1738. doi: 10.1016/S0140-
6736(12)60282-7.

8. Schwartz, R. dan Loewenstein, A.,2015, Early detection of age related


macular degeneration : current status, International Journal of Retina and
Vitreous. BioMed Central, hal. 1–8. doi: 10.1186/s40942-015-0022-7.

9. Mathenge, W., 2014, Age-related macular degeneration, 27(87), hal. 49–


50.

10. Bandello F, Sacconi R, Querques L et al., 2017, Recent advances in the


management of dry age-related macular degeneration: A review [version
1; peer review:2 approved] F1000Research 2017, 6:245

2
1
22

2
2

Anda mungkin juga menyukai