Anda di halaman 1dari 37

Panduan Praktik Klinis

SMF : PARU
RSUD PROF. DR. SOEKANDAR KAB. MOJOKERTO
TAHUN 2015

TUBERKULOSIS PARU

Infeksi paru yang disebabkan kuman Mycobacterium


1. Pengertian (Definisi) tuberculosis. Pada orang dewasa merupakan tuberkulosis paru
pasca primer yang berarti infeksi tuberkulosis pada penderita
yang telah mempunyai imuniti spesifik terhadap tuberkulosis.
Umum (sistemik) :
2. Anamnesis Panas badan (sumer), nafsu makan menurun, berkeringat
malam, mual, muntah.
Lokal paru :
Batuk, batuk darah, nyeri dada/nyeri pleuritik, sesak napas bila
lesi luas
Pemeriksaan fisik tidak spesifik. Bila kelainan paru minimal
atau sedang, pemeriksaan fisik mungkin normal. Bisa dijumpai
3. Pemeriksaan Fisik tanda-tanda konsolidasi, deviasi trakea/mediastinum ke sisi
paru dengan kerusakan terberat, efusi pleura (redup, suara
napas menurun).
1. Diagnosis klinik
4. Kriteria Diagnosis Diagnosis tuberkulosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik.
2. Diagnosis bakteriologik
Ditemukan basil tahan asam dalam sputum.
Dalam kerangka DOTS (directly observed treatment short
course) WHO, maka diagnosis bakteriologik merupakan
komponen penting dalam diagnosis dan penatalaksanaan
tuberkulosis, dengan cara 3 kali pemeriksaan hapusan basil
tahan asam dari sputum (SPS = sewaktu, pagi, sewaktu).
3. Diagnosis radiologis
Gambaran radiologis konsisten sebagai gambaran TB paru aktif.

5. Diagnosis Tuberkulosis Paru

1. Pneumonia
6. Diagnosis Banding 2. Abses paru
3. Kanker paru
4. Bronkiektasis
5. Pneumonia aspirasi
Laboratorium :
7. Pemeriksaan Penunjang  Darah lengkap : LED meningkat, dapat anemia, lekosit
normal atau sedikit meningkat, hitung jenis bergeser ke
kanan (peningkatan mononuklear).
Sputum :
 Hapusan basil tahan asam (BTA) dengan pengecatan
ZN, atau fluoresens.
 Kultur : untuk identifikasi basil dan uji resistensi obat
anti tuberkulosis.
Radiologis :
 Gambaran radiologis dapat berupa :
 - Ill define air space shadowing
 - Kaviti dengan dinding tebal dikelilingi konsolidasi
 - millet seed like appearance/granuler pada tuberkulosis
milier
 Lokasi lesi pada umumnya sesuai dengan lokasi lesi
tuberkulosis pasca primer.
 Namun demikian kadang penampakkan lesi pada foto
toraks tidak spesifik (seperti tumor), sehingga sering
dikatakan bahwa tuberkulosis merupakan the great
imitator.
Untuk kepentingan klinik maka lesi tuberkulosis berdasarkan
foto toraks dibagi menjadi 2 kategori:
 Lesi minimal (minimal lesion):
Bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru,
dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak
di atas chondrosternal junction dari iga kedua dan
prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus
vertebra torakalis V (sela iga II) dan tidak dijumpai
kaviti.
 Lesi luas (far advanced lesion):
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
Obat yang dipakai:
8. Terapi 1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: •
Rifampisin • INH • Pirazinamid • Streptomisin • Etambutol 2.
Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination) Kombinasi
dosis tetap ini terdiri dari : • Empat obat antituberkulosis dalam
satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg,
pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan • Tiga obat
antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg dan pirazinamid. 400 mg
3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) • Kanamisin • Kuinolon •
Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam
klavulanat • Derivat rifampisin dan INH
Memperbaiki keadaan umum seperti nutrisi, keseimbangan
9. Edukasi cairan

Ad Vitam: dubia ad bonam/ malam


10. Prognosis Ad sanationam: dubia ad bonam/ malam
Ad fungsionam: dubia ad bonam/ malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis Dr. Sri Rejeki Andayani, Sp. P


14. Indikator Medis Kondisi Pasien Membaik

15. Kepustakaan 1. Alsagaff, Hood, Mukty, Abdul.2010. Dasar-dasar Ilmu


Penyakit Paru, Edisi Ke 2. Airlangga University Press,
Surabaya : 85-88, 88-96, 108-109.
2. Amin, Z., Bahar, A. 2006. BAB 242 Tuberkulosis Paru in:
Sudoyo, Aru (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV
Jilid II : 988-993.
3. Gerakan Terpadu Nasional Penanganan TB. 2008. Buku
Pedoman Nasional Penanggulangan TB. edisi 2. Cetakan
Kedua. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta:
5, 6-7, 20-24.
4. Wibisono, M Yusuf, Winariani, Hariadi, Slamet, 2010. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Paru. Penerbit FK UNAIR, Surabaya :
27-35.

Mojokerto,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Paru

Dr. Asri Bindusari, SpKK Dr. Sri Rejeki Andayani, Sp. P


NIP. 19601102 198703 2 002

Direktur RSUD Prof. Dr. Soekandar


Kabupaten Mojokerto

Dr. Sujatmiko, MMRS


Panduan Praktik Klinis
SMF : PARU
RSUD PROF. DR. SOEKANDAR KAB. MOJOKERTO
TAHUN 2015
Hemoptoe

1. Pengertian Batuk darah adalah batuk yang disertai darah yang berasal dari
(Definisi) saluran napas bawah atau parenkim paru. Batuk darah masif bila
jumlah darah yang keluar > 600 ml dalam 24 jam.

2. Anamnesis Dengan anamnesis cermat meliputi karakter, jumlah darah keluar,


lama keluhan dan penyakit paru yang mendasari maka diagnosis
banding bisa dibuat.
Batuk darah minimal sering dijumpai pada karsinoma bronkogeni
Batuk darah masif sering pada tuberkulosis paru & bronkiektasis.
Selain jumlah darah, pola batuk darah juga penting. Batuk darah
dengan episode singkat yang terjadi beberapa tahun lebih cenderung
bronkiektasis.
Batuk darah harus dibedakan dengan muntah darah
Pemeriksaan saluran napas atasharus dilakukan untuk menentukan
sumber perdarahan di tempat tersebut. Rongga mulut harus diperiksa
3. Pemeriksaan Fisik dengan cermat. Suara napas tambahan seperti wheezing dan ronki
dapat timbul akibat penyempitan saluran napas oleh gumpalan darah.

4. Kriteria Diagnosis Anamnesa


Pemeriksaan fisik

5. Diagnosis Batuk darah (Hemoptoe)

6. Diagnosis Muntah darah


Banding

A. Pemeriksaan darah
7. Pemeriksaan Pemeriksaan awal meliputi : hemogram, jumlah trombosit,
Penunjang protrombine time, partial thromboplastine, analisis gas darah,
BUN, serum kreatinin, elektrolit, pemeriksaan dahak BTA dan
sitologi.

B. Foto toraks
Sangat bermanfaat. Dibuat dengan proyeksi PA dan lateral.
Dari foto toraks dapat ditemukan lesi seperti : kaviti, massa,
fungus ball atau airfluid level.

C. Sarana diagnostik khusus


a. Bronkoskopi
Bronkoskopi sangat bermanfaat untuk diagnosis dan terapi ba
tuk darah. Dengan bronkoskopi dapat diketahui lokasi perdarahan,
dapat mengetahui lesi yang menyebabkan perdarahan,juga
digunakan untuk mengambil material untuk pemeriksaan. CT
scan dada umumnya dianjurkan dikerjakan lebih dulu sebelum
bronkoskopi pada batuk darah sudah stabil.
Bila dengan pemeriksaan bronkoskopi tidak
bisa mengetahui penyebab sering dibutuhkan pemeriksaan
arteriografi bronkial dan pulmonal serta CT scan dada untuk
sampai ke diagnosis.

b. Arteriografi bronkial
Dengan pemeriksaan arteriografi bronkial diduga dapat melokali
sir pembuluh darah berkelok-kelok atau dilatasi yang dicurigai
sebagai sumber perdarahan.

c. CT scan, Aortografi
Bila dicurigai aneurisma aorta pada batuk darah, pemeriksaan
aortografi dapat membantu diagnosis aorto-bronchial
communication. CT scan dada paling sering dikerjakan pada
penderita occult hemoptysis, sebab dapat CT scan dapat mendeteksi
Ca paru masih kecil, bronkiolitiasis atau bronkiektasis. Contoh,
pada evaluasi 40 penderita batuk darah dengan foto
toraks normal dan bronkoskopi tidak ditemukan kelainan ,
ternyata 50 % didapatkan kelainan parenkim, saluran napas atau
vaskuler.
Walaupun semua sarana diagnostik sudah dikerjakan untuk
evaluasi batuk darah, 5% - 15 % dari kasus - kasus batuk darah
tidak dapat dijelaskan penyebabnya.

8. Terapi Batuk darah massif jarang menimbulkan kematian karena


kehilangan darah namun lebih sering karena asfiksi/sufokasi oleh
sebab itu proteksi saluran napas atas adalah sangat vital pada
penanganan awal batuk darah.
Jika batuk merupakan problem
atau menambah perdarahan maka perlu diberikan antitusif seper
ti codein. Hindari manipulasi dada berlebihan seperti perkusi
dada dan pemeriksaan faal paru/spirometri.
Diupayakan tirah baring. Setelah hemodinamik stabil, asidosis dan
hipoksemi dikoreksi, pemeriksaan bronkoskopi harus dikerjakan
untuk menentukan lokasi perdarahan. Suction dan lavage harus
dikerjakan untuk mengeluarkan bekuan darah.
Diupayakan menghentikan perdarahan dengan ice saline dan
epineprine ( 1:20.000 ) dilution.
Perdarahan dapat juga dihentikan dengan dengan kateter Forgaty
yang mempunyai bola pada ujungnya.

9. Edukasi Memperbaiki keadaan umum seperti nutrisi, keseimbangan cairan

Ad Vitam: dubia ad bonam/ malam


10. Prognosis Ad sanationam: dubia ad bonam/ malam
Ad fungsionam: dubia ad bonam/ malam
11. Tingkat
IV
Evidens

12. Tingkat C
Rekomendasi

13. Penelaah Kritis Dr. Sri Rejeki Andayani, Sp. P

14. Indikator Medis Kondisi Pasien Membaik

15. Kepustakaan 1. Alsagaff, Hood, Mukty, Abdul.2010. Dasar-dasar Ilmu Penyakit


Paru, Edisi Ke 2. Airlangga University Press, Surabaya : 85-88, 88-
96, 108-109.
2. Amin, Z., Bahar, A. 2006. BAB 242 Tuberkulosis Paru in: Sudoyo,
Aru (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV Jilid II : 988-
993.
3. Gerakan Terpadu Nasional Penanganan TB. 2008. Buku Pedoman
Nasional Penanggulangan TB. edisi 2. Cetakan Kedua. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: 5, 6-7, 20-24.
4. Wibisono, M Yusuf, Winariani, Hariadi, Slamet, 2010. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Paru. Penerbit FK UNAIR, Surabaya : 27-35.

Mojokerto,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Paru

Dr. Asri Bindusari, SpKK Dr. Sri Rejeki Andayani, Sp. P


NIP. 19601102 198703 2 002

Direktur RSUD Prof. Dr. Soekandar


Kabupaten Mojokerto

Dr. Sujatmiko, MMRS


Panduan Praktik Klinis
SMF : PARU
RSUD PROF. DR. SOEKANDAR KAB. MOJOKERTO
TAHUN 2015
EDEMA PARU NON KARDIOGENIK

1. Pengertian (Definisi) Peningkatan cairan ektraseluler pada jaringan paru

Gambaran khas tergantung berat-ringan edema paru dan penyakit


2. Anamnesis yang mendasari.
Pada semua edema paru dijumpai sesak napas, batuk, takipneu dan
peningkatan work of breathing.

Pada pemeriksaan fisik ada ronki basah basal, bila edema tambah
berat ditemukan ronki basah seluruh paru dan sianosis. Pada beberapa
3. Pemeriksaan Fisik
pasien dijumpai hipereaktiviti bronkus akibat akumulasi cairan
ekstraseluelr dengan manifestasi wheezing difus sehingga dikacaukan
dengan asma bronkial.

4. Kriteria Diagnosis Pada semua edema paru dijumpai sesak napas, batuk, takipneu dan
peningkatan work of breathing. Pada pemeriksaan fisik ada ronki
basah basal, bila edema tambah berat ditemukan ronki basah seluruh
paru dan sianosis. Pada beberapa pasien dijumpai hipereaktiviti
bronkus akibat akumulasi cairan ekstraseluelr dengan manifestasi
wheezing difus sehingga dikacaukan dengan asma bronkial.

Radiologi.
Pada awal perjalanan edema paru, pola radiologi dapat membantu
membedakan edema kardiogenik dan non kardiogenik.
Kardiogenik: kardiomegali, prominent perihilar haze, peribronchia l
cuffing, Kerley line,s , pulmonary vascular redistribution dan efusi
pleura.
Non kardiogenik: diffus non gravity-dependent opacities
tanpa gambaran tipikal kongesti kardiak. Pada CT scan , infitrat
cenderung di bagian dorsal paru. Kondisi heterogen ini minimal ini
disebabkan oleh atelektasis. Jika edema berlanjut sampai edema
alveoler, baik kardiak dan non kardiak mempunyai gambaran serupa
yaitu infiltrat yang menebal ( coalescence ).

Untuk diagnosis ARDS dibutuhkan data :


- Opasiti bilateral
- Tekanan arteri pulmonalis < 18 mmHg atau klinis tidak ada tanda
left atrial hypertension
- PaO2/FiO2= 200

5. Diagnosis Edema paru non kardiogenik


6. Diagnosis Banding
Edema paru kardiogenik

7. Pemeriksaan Foto Thorax


Penunjang

Terdiri atas terapi suportif dan terapi penyakit dasar


8. Terapi Terapi penyakit dasar
Merupakan faktor yang sangat penting dalam pengobatan, sehingga
perlu diketahui dengan segera penyebabnya.Terapi ideal untuk edema
permeabiliti adalah agen yang dapat memperbaiki permeabiliti
vaskuler abnormal , namun sampai saat ini belum ada obat tersebut.
Mengingat penyebab cidera paru belum diketahui dengan jelas perlu
dipikirkan kemungkinan proses infeksi sebagai penyebab karena
infeksi sebagai salah satu penyebab tersering dan secara umum dapat
di atasi.

Terapi suportif.
Karena terapi spesifik tidak selalu dapat diberikan sampai penyebab
diketahui maka pemberian terapi suportif sangat penting. Tujuan
umum adalah mempertahankan fungsi fisiologik dan seluler dasar
seperti pertukaran gas, perfusi organ dan metabolisme aerob.

- Pemberian oksigen
Oksigen diberikan dengan flow tinggi, sebaiknya dengan masker
dengan sasaran PaO2 minimal 60 mmHg sepanjang PaCO2 dalam
batas normal. Jika upaya ini tidak mampu mempertahankan PaO2 >
60 mmHg atau terjadi retensi CO2 maka diperlukan intubasi
endotrakeal tube dengan ventilator mekanik.
- Keseimbangan cairan dan nutrisi.
- Hematokrit
Hemoglobin adekuat harus dipertahankan yaitu hematokrit sekitar 30-
35 %. Bila hematokrit turun < 30 % dapat diberikan transfusi darah
PRC ( packed red cell ) untuk meningkatkan kapasiti pengangkut
oksigen

9. Edukasi Memperbaiki keadaan umum seperti nutrisi, keseimbangan cairan

Ad Vitam: dubia ad bonam/ malam


10. Prognosis Ad sanationam: dubia ad bonam/ malam
Ad fungsionam: dubia ad bonam/ malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat C
Rekomendasi

13. Penelaah Kritis Dr. Sri Rejeki Andayani, Sp. P


14. Indikator Medis Kondisi Pasien Membaik

15. Kepustakaan 1. Alsagaff, Hood, Mukty, Abdul.2010. Dasar-dasar Ilmu Penyakit


Paru, Edisi Ke 2. Airlangga University Press, Surabaya : 85-88,
88-96, 108-109.
2. Amin, Z., Bahar, A. 2006. BAB 242 Tuberkulosis Paru in: Sudoyo,
Aru (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV Jilid II : 988-
993.
3. Gerakan Terpadu Nasional Penanganan TB. 2008. Buku Pedoman
Nasional Penanggulangan TB. edisi 2. Cetakan Kedua.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: 5, 6-7, 20-24.
4. Wibisono, M Yusuf, Winariani, Hariadi, Slamet, 2010. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Paru. Penerbit FK UNAIR, Surabaya : 27-35.

Mojokerto,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Paru

Dr. Asri Bindusari, SpKK Dr. Sri Rejeki Andayani, Sp. P


NIP. 19601102 198703 2 002

Direktur RSUD Prof. Dr. Soekandar


Kabupaten Mojokerto

Dr. Sujatmiko, MMRS


Panduan Praktik Klinis
SMF : PARU
RSUD PROF. DR. SOEKANDAR KAB. MOJOKERTO
TAHUN 2015

PNEUMONIA KOMUNITI

Pneumoni adalah suatu keradangan paru yang disebabkan oleh


1. Pengertian (Definisi) mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit).
Pneumoni komuniti adalah pneumoni yang didapat di masyarakat.
panas, menggigil
2. Anamnesis batuk dengan dahak purulen dapat disertai darah
nyeri dada

3. Pemeriksaan Fisik Suhu meningkat > 40 C


Tanda-tanda konsolidasi
panas, menggigil
4. Kriteria Diagnosis batuk dengan dahak purulen dapat disertai darah
nyeri dada

Suhu meningkat > 40 C


Tanda-tanda konsolidasi

5. Diagnosis Pneumonia Komuniti

Tuberkulosis
6. Diagnosis Banding
Pneumonitis yang disebabkan oleh bahan kimia, radiasi, aspirasi
bahan toksik, obat
Edema paru
Infark paru
Bronkiolitis obliterans
Foto toraks
7. Pemeriksaan gambaran infiltrat sampai konsolidasi dengan air bronchogram,
Penunjang penyebaran bronkogenik, dan interstisial
tidak khas untuk menentukan etiologi pneumoni
hanya petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya:
pneumoni lobaris: S. pneumoniae
infiltrat bilateral/bronkopneumoni: P. aeruginosa
konsolidasi lobus kanan atas dengan bulging fisura interlobaris: K
pneumoniae

Laboratorium
leukositosis (10.000-30.000/cmm)
hitung jenis : shift to the left
LED meningkat

Pemeriksaan dahak, kultur darah, dan serologi untuk menentukan


diagnosis etiologi.
kultur darah positip pada 20-25% penderita yang tidak diobati
Analisis gas darah
hipoksemia dan hipokarbia
asidosis respiratorik pada stadium lanjut
Penatalaksanaan meliputi :
8. Terapi
Pengobatan suportif
1. Penderita rawat jalan
Pengobatan suportif / simtomatik
istirahat di tempat tidur
minum cukup untuk mengatasi dehidrasi
panas dikompres atau minum obat antipiretik
mukolitik dan ekspektoran bila diperlukan
Pemberian antibiotika

2. Penderita rawat inap biasa


Pengobatan suportif
pemberian oksigen
infus rehidrasi dan nutrisi serta elektrolit
pemberian obat simtomatik antipiretik, mukolitik
Pemberian antibiotika

3. Penderita rawat inap di ruang intensif


sama seperti penderita di ruang rawat inap biasa, bila diperlukan
dipasang ventilator mekanik.
Pemilihan antibiotika empirik : sesuai dengan golongan kuman
penyebab

9. Edukasi Memperbaiki keadaan umum seperti nutrisi, keseimbangan cairan

Ad Vitam: dubia ad bonam/ malam


10. Prognosis Ad sanationam: dubia ad bonam/ malam
Ad fungsionam: dubia ad bonam/ malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat C
Rekomendasi

13. Penelaah Kritis Dr. Sri Rejeki Andayani, Sp. P

14. Indikator Medis Kondisi Pasien Membaik

15. Kepustakaan 1. Alsagaff, Hood, Mukty, Abdul.2010. Dasar-dasar Ilmu Penyakit


Paru, Edisi Ke 2. Airlangga University Press, Surabaya : 85-88,
88-96, 108-109.
2. Amin, Z., Bahar, A. 2006. BAB 242 Tuberkulosis Paru in:
Sudoyo, Aru (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV Jilid
II : 988-993.
3. Gerakan Terpadu Nasional Penanganan TB. 2008. Buku Pedoman
Nasional Penanggulangan TB. edisi 2. Cetakan Kedua.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: 5, 6-7, 20-24.
4. Wibisono, M Yusuf, Winariani, Hariadi, Slamet, 2010. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Paru. Penerbit FK UNAIR, Surabaya : 27-35.

Mojokerto,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Paru

Dr. Asri Bindusari, SpKK Dr. Sri Rejeki Andayani, Sp. P


NIP. 19601102 198703 2 002

Direktur RSUD Prof. Dr. Soekandar


Kabupaten Mojokerto

Dr. Sujatmiko, MMRS


Panduan Praktik Klinis
SMF : PARU
RSUD PROF. DR. SOEKANDAR KAB. MOJOKERTO
TAHUN 2015
ABSES PARU

Abses paru adalah lesi paru supuratif yang disertai dengan


1. Pengertian (Definisi) nekrosis jaringan di dalamnya. Dikenal pula dengan istilah
necrotizing pneumonia bila lesi supuratif nekrosis (kaviti)
multipel.

2. Anamnesis Batuk, dahak berbau busuk (foetor ex ore), panas badan, nyeri
pleuritik, badan tambah kurus, berkeringat malam.

3. Pemeriksaan Fisik Suhu meningkat > 40 C


Auskultasi paru abnormal
Diagnosis abses paru akibat aspirasi ditegakkan dengan :
4. Kriteria Diagnosis Adanya riwayat aspirasi terutama pada penderita-penderita
dengan gangguan kesadaran, gangguan menelan. Pada keadaan
tidur sering terjadi aspirasi yang tidak disadari. Keadaan
predisposisi lain untuk infeksi anaerob.
Gejala klinik yang khas: perjalanan penyakit kronis dan
indolen. Batuk dengan dahak purulen berbau busuk.
Kelainan di satu tempat di paru sesuai dengan posisi penderita
pada waktu terjadi aspirasi.

5. Diagnosis Abses Paru

 Tuberkulosis paru : biasanya tidak disertai air fluid level


6. Diagnosis Banding  Karsinoma bronkogenik yang mengalami nekrosis.
Dinding kaviti tebal, tidak rata
 Bula atau kista yang terinfeksi dengan dinding tipis, di
sekitarnya tidak ada reaksi radang.
 Hematom paru ditandai dengan riwayat trauma, tidak
ada gejala infeksi.
 Sekuester paru yang mengalami abses. Tidak ada
hubungan dengan bronkus (bronkografi).
 Pneumokoniosis yang mengalami kavitasi dan ditandai
ada simple pneumoconiosis di sekitarnya
 Laboratorium
7. Pemeriksaan Penunjang  darah tepi : lekosit meningkat sedang 12.000-20.000/ml,
LED meningkat, anemia
 dahak: Pengecatan gram, didapatkan banyak PMN, serta
bakteri dari berbagai jenis.
 Foto toraks
 Rongga soliter berdinding tebal yang dikelilingi
konsolidasi biasanya disertai air fluid level.
 Diagnosis didasarkan pada radiologi toraks.
1. Penatalaksanaan umum
8. Terapi Memperbaiki keadaan umum penderita dengan diit TKTP dan
minum banyak.
a. Antibiotika
clindamycin 600 mg iv/8 jam, membaik dilanjutkan 300
mg po/6jam
amoxicilin-clavulanic acid 875 mg po/12 jam
amoxicilin 500 mg/8jam atau penicillin G 1-2juta unit iv/4-6
jam, ditambah metronidazol 500 mg po/iv tiap 8-12 jam
penicillin G 1,2 juta unit im/12 jam + chloramphenicol 500
mg/6jam. Antibiotika sebaiknya diberikan sampai foto toraks
membaik.

b. Drainase postural dan fisioterapi


Posisi tubuh diatur sedemikian rupa sehingga pus dapat keluar
dengan sendirinya (akibat gaya berat) atau dengan bantuan
fisioterapis.

2. Penatalaksanaan khusus
a. Bronkoskopi
Bila pus sukar keluar, maka perlu dilakukan bronkoskopi untuk
membersihkan jalan napas dan menghisap pus.
b. Pembedahan
Bila antibiotika gagal. Abses menjadi kronik, kaviti tetap ada
dan produksi dahak tetap ada sedangkan gejala klinis masih ada
setelah terapi yang memadai selama 6 minggu atau ada sisa
jaringan parut luas sehingga dapat mengganggu faal paru. Hal
ini semuanya merupakan indikasi tindakan bedah.
Memperbaiki keadaan umum seperti nutrisi, keseimbangan
9. Edukasi cairan

Ad Vitam: dubia ad bonam/ malam


10. Prognosis Ad sanationam: dubia ad bonam/ malam
Ad fungsionam: dubia ad bonam/ malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis Dr. Sri Rejeki Andayani, Sp. P

14. Indikator Medis Kondisi Pasien Membaik

15. Kepustakaan 1. Alsagaff, Hood, Mukty, Abdul.2010. Dasar-dasar Ilmu


Penyakit Paru, Edisi Ke 2. Airlangga University Press,
Surabaya : 85-88, 88-96, 108-109.
2. Amin, Z., Bahar, A. 2006. BAB 242 Tuberkulosis Paru in:
Sudoyo, Aru (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV
Jilid II : 988-993.
3. Gerakan Terpadu Nasional Penanganan TB. 2008. Buku
Pedoman Nasional Penanggulangan TB. edisi 2. Cetakan
Kedua. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta:
5, 6-7, 20-24.
4. Wibisono, M Yusuf, Winariani, Hariadi, Slamet, 2010. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Paru. Penerbit FK UNAIR, Surabaya :
27-35.

Mojokerto,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Paru

Dr. Asri Bindusari, SpKK Dr. Sri Rejeki Andayani, Sp. P


NIP. 19601102 198703 2 002

Direktur RSUD Prof. Dr. Soekandar


Kabupaten Mojokerto

Dr. Sujatmiko, MMRS


Panduan Praktik Klinis
SMF : PARU
RSUD PROF. DR. SOEKANDAR KAB. MOJOKERTO
TAHUN 2015
EFUSI PLEURA

1. Pengertian (Definisi) Kumpulan cairan di rongga pleura.

Sesak napas merupakan gejala utama, kadang-kadang disertai


2. Anamnesis perasaan tidak enak di dada. Bila cairan pleura sedikit, maka
tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan klinik, tetapi dapat
dideteksi dengan radiografi.
Kadang-kadang disertai nyeri pleuritik atau batuk nonproduktif,
tetapi efusi pleura lebih sering merupakan penyulit pneumonia
(efusi parapneumonia).

Pada inspeksi : gerak napas tertinggal pada sisi efusi, sela iga
nampak melebar dan menonjol.
Pada perkusi : suara ketok terdengar redup sesuai dengan luas
3. Pemeriksaan Fisik efusi, dapat membentuk garis Ellysd’amoiciere, tanda-
tanda pendorongan mediastinum, sela iga melebar.
Pada palpasi : fremitus raba menurun.
Pada auskultasi : suara napas menurun atau menghilang. Suara
bronkial dan egofoni sering dijumpai tepat di atas efusi.
Anamnesis dijumpai keluhan sesak napas.
4. Kriteria Diagnosis Pemeriksaan fisik ada gerakan asimetris sisi sakit tertinggal,
sela iga melebar, keredupan sisi sakit, fremitus raba
menurun sisi sakit, suara napas menurun pada sisi sakit.
Foto toraks tampak gambaran cairan efusi pleura. Aspirasi
cairan pleura memastikan ada efusi pleura. Bila diperlukan
dapat dibantu USG toraks atau CT scan toraks.

5. Diagnosis Efusi Pleura

 konsolidasi paru karena pneumonia


6. Diagnosis Banding  neoplasma paru dengan kolaps paru
 fibrosis pleura
 Foto toraks PA atau AP duduk, untuk melihat permukaan
7. Pemeriksaan Penunjang cairan pleura. Cairan cenderung menuju ke tempat rendah.
Tanda awal radiologi adalah sinus frenikokostalis tumpul.
 Jumlah cairan pleura > 300 cc tampak pada foto toraks.
 Bila jumlah cairan sedikit dapat terlihat pada foto toraks
dalam posisi dekubitus.
 Efusi pleura yang terlihat pada foto toraks berbentuk
kantong (pocketed/loculated) masih perlu dibedakan dengan
gambaran penyakit lain, mungkin diperlukan pemeriksaan
penunjang lain seperti USG toraks atau CT scan toraks.
 Pada efusi minimal tampak sinus kostofrenikus tumpul.
 Efusi dalam jumlah banyak menyebabkan pendorongan
mediastinum / pergeseran mediastinum ke arah yang
sehat,tetapi bila tidak ada pergeseran mediastinum,
kemungkinan efusi disertai kolaps paru.
1. Penatalaksanaan umum
8. Terapi Memperbaiki keadaan umum penderita dengan diit TKTP
dan minum banyak.
a. Antibiotika
clindamycin 600 mg iv/8 jam, membaik dilanjutkan 300
mg po/6jam
amoxicilin-clavulanic acid 875 mg po/12 jam
amoxicilin 500 mg/8jam atau penicillin G 1-2juta unit iv/4-
6 jam, ditambah metronidazol 500 mg po/iv tiap 8-12 jam
penicillin G 1,2 juta unit im/12 jam + chloramphenicol 500
mg/6jam.Antibiotika sebaiknya diberikan sampai foto
toraks membaik.

b. Drainase postural dan fisioterapi


Posisi tubuh diatur sedemikian rupa sehingga pus dapat
keluar dengan sendirinya (akibat gaya berat) atau dengan
bantuan fisioterapis.

2. Penatalaksanaan khusus
a. Bronkoskopi
Bila pus sukar keluar, maka perlu dilakukan bronkoskopi
untuk membersihkan jalan napas dan menghisap pus.
b. Pembedahan
Bila antibiotika gagal. Abses menjadi kronik, kaviti tetap
ada dan produksi dahak tetap ada sedangkan gejala klinis
masih ada setelah terapi yang memadai selama 6 minggu
atau ada sisa jaringan parut luas sehingga dapat
mengganggu faal paru. Hal ini semuanya merupakan
indikasi tindakan bedah.
Memperbaiki keadaan umum seperti nutrisi, keseimbangan
9. Edukasi cairan

Ad Vitam: dubia ad bonam/ malam


10. Prognosis Ad sanationam: dubia ad bonam/ malam
Ad fungsionam: dubia ad bonam/ malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis Dr. Sri Rejeki Andayani, Sp. P

14. Indikator Medis Kondisi Pasien Membaik


15. Kepustakaan 1. Alsagaff, Hood, Mukty, Abdul.2010. Dasar-dasar Ilmu
Penyakit Paru, Edisi Ke 2. Airlangga University Press,
Surabaya : 85-88, 88-96, 108-109.
2. Amin, Z., Bahar, A. 2006. BAB 242 Tuberkulosis Paru in:
Sudoyo, Aru (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV
Jilid II : 988-993.
3. Gerakan Terpadu Nasional Penanganan TB. 2008. Buku
Pedoman Nasional Penanggulangan TB. edisi 2. Cetakan
Kedua. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta:
5, 6-7, 20-24.
4. Wibisono, M Yusuf, Winariani, Hariadi, Slamet, 2010. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Paru. Penerbit FK UNAIR, Surabaya :
27-35.

Mojokerto,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Paru

Dr. Asri Bindusari, SpKK Dr. Sri Rejeki Andayani, Sp. P


NIP. 19601102 198703 2 002

Direktur RSUD Prof. Dr. Soekandar


Kabupaten Mojokerto

Dr. Sujatmiko, MMRS


Panduan Praktik Klinis
SMF : PARU
RSUD PROF. DR. SOEKANDAR KAB. MOJOKERTO
TAHUN 2015
Pneumotoraks

1. Pengertian (Definisi) Pneumotoraks adalah akumulasi udara pada rongga disertai


kolaps paru.
Sesak napas ringan sampai berat
2. Anamnesis Nyeri dada ringan sampai berat
Gagal napas dan mungkin disertai sianosis
Pada pneumotoraks ventil sering terjadi kolaps sirkulasi akibat
pergeseran mediastinum.
Pada inspeksi didapatkan gerak napas asimetris, sisi sakit
3. Pemeriksaan Fisik tertinggal
Pada perkusi didapatkan suara hipersonor sisi sakit
Pada auskultasi didapatkan suara napas menurun sampai
menghilang pada sisi sakit

4. Kriteria Diagnosis Anamnesis dijumpai keluhan sesak napas.


Pemeriksaan fisik ada gerakan asimetris sisi sakit tertinggal,
sela iga melebar, keredupan sisi sakit, fremitus raba
menurun sisi sakit, suara napas menurun pada sisi sakit.
Foto toraks tampak gambaran cairan efusi pleura. Aspirasi
cairan pleura memastikan ada efusi pleura. Bila diperlukan
dapat dibantu USG toraks atau CT scan toraks.

5. Diagnosis Pneumotoraks

6. Diagnosis Banding 1.pleurisi dan perikarditis


2.infark miokard dan emboli paru
3.bronkitis kronis dan emfisema
4.hernia diafragmatika
5.dissecting aneurysma aorta

7. Pemeriksaan Penunjang Foto toraks


Tampak garis kolaps paru. Pada pneumotoraks parsial
dengan lokasi di anterior atau posterior, batas garis kolaps
mungkin tidak terlihat. Bila diperlukan dapat dilakukan foto
toraks lateral.
Mediastinal shift dapat terlihat pada foto toraks atau
fluoroskopi pada saat inspirasi atau ekspirasi, terutama dapat
terjadi pada pneumotoraks ventil.

8. Terapi Terapi tergantung berat ringan pneumotoraks dan penyakit


dasar.
Pneumotoraks spontan primer stabil
Kolaps paru kecil (<15-20%): observasi, suplemen O2 untuk
mempercepat reabsorbsi.
Kolaps luas dan ada keluhan : aspirasi, kateter toraks.
Pneumotoraks spontan sekunder
Kateter toraks
Torakoskopi dengan stapling bleb & abrasi pleura atau
pleurodesis dengan bahan sklerosing untuk mencegah relaps.
Pneumotoraks ventil
Dekompresi dengan jarum besar yang dimasukkan ke rongga
pleura – midklavikula ruang antar iga 2 depan, dilanjutkan
pemasangan kateter toraks
Setelah pemasangan kateter toraks 5-7 hari paru masih kolaps
atau bronkopleura fistula menetap, dianjurkan torakoskopi /
VATS. Analgetika untuk mengobati nyeri.
Memperbaiki keadaan umum seperti nutrisi, keseimbangan
9. Edukasi cairan

Ad Vitam: dubia ad bonam/ malam


10. Prognosis Ad sanationam: dubia ad bonam/ malam
Ad fungsionam: dubia ad bonam/ malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis Dr. Sri Rejeki Andayani, Sp. P

14. Indikator Medis Kondisi Pasien Membaik

15. Kepustakaan 1. Alsagaff, Hood, Mukty, Abdul.2010. Dasar-dasar Ilmu


Penyakit Paru, Edisi Ke 2. Airlangga University Press,
Surabaya : 85-88, 88-96, 108-109.
2. Amin, Z., Bahar, A. 2006. BAB 242 Tuberkulosis Paru in:
Sudoyo, Aru (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV
Jilid II : 988-993.
3. Gerakan Terpadu Nasional Penanganan TB. 2008. Buku
Pedoman Nasional Penanggulangan TB. edisi 2. Cetakan
Kedua. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta:
5, 6-7, 20-24.
4. Wibisono, M Yusuf, Winariani, Hariadi, Slamet, 2010. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Paru. Penerbit FK UNAIR, Surabaya :
27-35.
Mojokerto,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Paru

Dr. Asri Bindusari, SpKK Dr. Sri Rejeki Andayani, Sp. P


NIP. 19601102 198703 2 002

Direktur RSUD Prof. Dr. Soekandar


Kabupaten Mojokerto

Dr. Sujatmiko, MMRS


Panduan Praktik Klinis
SMF : PARU
RSUD PROF. DR. SOEKANDAR KAB. MOJOKERTO
TAHUN 2015

Hemotoraks

1. Pengertian (Definisi) Ada darah di dalam rongga pleura.

Gejala dan keluhan hemotoraks tergantung dari berat ringan


2. Anamnesis trauma. Penderita bisa mengeluh sesak napas, nyeri dada dan
anemia sampai syok.

Didapatkan tanda-tanda seperti pada efusi pleura. Pada


3. Pemeriksaan Fisik hemitoraks yang sakit pergerakan berkurang. Perkusi pada
hemitoraks yang sakit terdengar redup dan pada auskultasi
suara napas menurun atau menghilang sama sekali.

4. Kriteria Diagnosis Anamnesis : ada riwayat trauma dada, atau sehabis tindakan
pembedahan.
Pemeriksaan fisik : didapatkan tanda-tanda seperti pada efusi
pleura. Pada hemitoraks yang sakit pergerakan berkurang.
Perkusi pada hemitoraks yang sakit terdengar redup dan pada
auskultasi suara napas menurun atau menghilang sama sekali.
Gambaran radiologis : seperti pada efusi pleura.
Setelah dilakukan aspirasi percobaan, maka cairan tersebut
dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin (Hb) atau hematokrit
cairan pleura, dikatakan hemotoraks bila kadar Hb atau
hematokrit cairan pleura separuh atau lebih dari kadar Hb atau
hematokrit darah perifer.

5. Diagnosis Pneumotoraks

 konsolidasi paru karena pneumonia


6. Diagnosis Banding  neoplasma paru dengan kolaps paru
 fibrosis pleura

7. Pemeriksaan Penunjang Gambaran radiologis : seperti pada efusi pleura.

Pemasangan kateter toraks.


8. Terapi Torakotomi bila perdarahan > 200 ml /
jam dan tidak ada tanda - tanda perdarahan berkurang
Memperbaiki keadaan umum seperti nutrisi, keseimbangan
9. Edukasi cairan

Ad Vitam: dubia ad bonam/ malam


10. Prognosis Ad sanationam: dubia ad bonam/ malam
Ad fungsionam: dubia ad bonam/ malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis Dr. Sri Rejeki Andayani, Sp. P

14. Indikator Medis Kondisi Pasien Membaik

15. Kepustakaan 1. Alsagaff, Hood, Mukty, Abdul.2010. Dasar-dasar Ilmu


Penyakit Paru, Edisi Ke 2. Airlangga University Press,
Surabaya : 85-88, 88-96, 108-109.
2. Amin, Z., Bahar, A. 2006. BAB 242 Tuberkulosis Paru in:
Sudoyo, Aru (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV
Jilid II : 988-993.
3. Gerakan Terpadu Nasional Penanganan TB. 2008. Buku
Pedoman Nasional Penanggulangan TB. edisi 2. Cetakan
Kedua. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta:
5, 6-7, 20-24.
4. Wibisono, M Yusuf, Winariani, Hariadi, Slamet, 2010. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Paru. Penerbit FK UNAIR, Surabaya :
27-35.

Mojokerto,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Paru

Dr. Asri Bindusari, SpKK Dr. Sri Rejeki Andayani, Sp. P


NIP. 19601102 198703 2 002

Direktur RSUD Prof. Dr. Soekandar


Kabupaten Mojokerto

Dr. Sujatmiko, MMRS


Panduan Praktik Klinis
SMF : PARU
RSUD PROF. DR. SOEKANDAR KAB. MOJOKERTO
TAHUN 2015

Asma Bronkiale

Asma bronkial adalah keradangan kronis saluran napas


1. Pengertian (Definisi) dengan banyak sel dan elemen sel yang berperan, yang
menyebabkan hambatan aliran udara dan peningkatan airway
hyperresponsiveness, yang menimbulkan episode berulang dari
wheezing, sesak napas, dada terasa sesak, dan batuk, terutama
pada malam hari atau pada pagi dini hari. Episode gejala
respirasi tersebut biasanya terkait dengan obstruksi jalan napas
yang menyeluruh yang seringkali reversibel baik secara spontan
maupun dengan pengobatan.

2. Anamnesis Bersifat episodik, dengan napas berbunyi ngik-ngik


(wheezing), kesulitan bernapas, dada sesak, dan batuk . Gejala
dapat terjadi spontan atau dipresipitasi atau eksaserbasi dengan
berbagai triger yang berbeda, seperti tersebut di atas.
Gejala sering memberat saat malam, akibat variasi sirkadian
tonus bronkomotor dan reaktiviti bronkus mencapai titik nadir
antara pukul 3 dan 4 pagi, meningkatkan gejala
bronkokonstriksi.

Kelainan nasal berupa edema mukosa, hipersekresi, polip, dan


kelainan kulit ekzema, dermatitis atopik, sering dijumpai pada
3. Pemeriksaan Fisik asma alergi. Peningkatan kerja napas ditandai
dengan penggunaan otot bantu napas. Pada auskultasi berupa
wheezing atau adanya fase ekspirasi yang memanjang. Bila
tidak eksaserbasi bisa tidak dijumpai kelainan.

4. Kriteria Diagnosis Anamnesis : keluhan sesak napas, ngik-ngik, kesulitan


bernapas, dada sesak episodik. Ada variabiliti gejala sesuai
cuaca, riwayat atopi, riwayat keluarga dengan asma.

Pemeriksaan fisik : wheezing menyeluruh atau ekspirasi


memanjang, peningkatan kerja napas dengan otot bantu napas
aktif (retraksi).

Faal paru : obstruksi saluran napas (PEF atau FEV1 ) :


reversibel
Uji provokasi bronkus : PC20 < 8 mg/ml
Laboratorium : sputum : kristal Charcoat-Leyden, spiral
Curschmann
darah : peningkatan eosinofil, IgE spesifik
Uji kulit

5. Diagnosis Asma Bronkiale


1.Kelainan saluran napas atas : paralisis corda vocalis, sindrom
6. Diagnosis Banding disfungsi corda vocalis, aspirasi benda asing, massa
laringotrakeal, penyempitan trakea, tracheomalacia, edema
saluran napas akibat jejas inhalasi atau angioedema
2.Kelainan saluran napas bawah : PPOK (Penyakit Paru
Obstruktif Kronik), bronkiektasis, allergic bronchopulmonary
mycosis, cystic fibrosis, pneumonia eosinofilik, bronkiolitis
obliterans
3.Gagal jantung kongestif (asma kardial), emboli paru, batuk
akibat obat ( ACE inhibitor )
4.Gangguan psikiatri (konversi)
Laboratorium :
7. Pemeriksaan Penunjang darah : eosinofili, IgE spesifik
sputum : eosinofil, spiral Curschmann dan kristal Charcoat-
Leyden
analisis gas darah : bila curiga gagal napas
tinja : telur cacing

Radiologis
normal atau hiperinflasi
untuk mencari penyulit : pneumotoraks, pneumomediastinum,
atelektasis, pneumonia
menyingkirkan penyakit lain

Faal paru
untuk dx dan monitor : FEV1 (Forced Expiratory Volume 1
second) dan PEF(R) (Peak Expiratory Flow (Rate)), variabiliti
PEF

Uji provokasi bronkus


untuk menilai airway hyperresponsiveness dengan bahan
alergen, histamin, metakolin, salin hipertonis atau latihan fisik,
dengan parameter PC20

Uji kulit ( prick test )


untuk asma alergi
Antiinflamasi:
8. Terapi Glucocorticosteroid : inhalasi (MDI, nebulisasi), oral,
parenteral
inhalasi :
beclomethasone dipropionate : 2 x 2-3 puff (40ug) atau 2 x 1-2
puff (80ug)
budesonide : 2 x 1 puff (200ug), nebulisasi
fluticasone : 2 x 2 puff (110ug), nebulisasi
flunisolide : 2 x 2-4 puff (250ug)

oral :
methylprednisolon : 40-60 mg/hari
prednisolon : 40-60 mg/hari
prednison : 40-60 mg/hari
injeksi :
methylprednisolon : 1-2 mg/kgBB/6 jam
Bronkodilator:
Agonis beta 2 : inhalasi (MDI, DPI, nebulisasi), oral, parenteral
Salbutamol MDI, dry powder, nebulisasi, tablet (2-4 mg/6-8
jam)
Terbutaline tablet (3 x 2,5-5 mg), injeksi (4 x 0,25 mg sk), drip
infus
Fenoterol MDI
Formoterol DPI (+ budesonide DPI)
Salmeterol MDI (+ fluticasone MDI)
Methylxantin : oral, parenteral
Aminophyllin tablet, injeksi (bolus 5 mg/kgBB, drip infus 0,9
mg/kgBB/jam)
Teophyllin tablet, tablet lepas lambat
Antikolinergik : inhalasi (MDI, nebulisasi)
Iipratropium bromide MDI, nebulisasi
Lain-lain : leukotrien modifier (montelukast, zafirlukast,
zileuton), antihistamin generasi 2, obat anti alergi oral
lain, imunoterapi alergen spesifik.
Memperbaiki keadaan umum seperti nutrisi, keseimbangan
9. Edukasi cairan

Ad Vitam: dubia ad bonam/ malam


10. Prognosis Ad sanationam: dubia ad bonam/ malam
Ad fungsionam: dubia ad bonam/ malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis Dr. Sri Rejeki Andayani, Sp. P

14. Indikator Medis Kondisi Pasien Membaik

15. Kepustakaan 1. Alsagaff, Hood, Mukty, Abdul.2010. Dasar-dasar Ilmu


Penyakit Paru, Edisi Ke 2. Airlangga University Press,
Surabaya : 85-88, 88-96, 108-109.
2. Amin, Z., Bahar, A. 2006. BAB 242 Tuberkulosis Paru in:
Sudoyo, Aru (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV
Jilid II : 988-993.
3. Gerakan Terpadu Nasional Penanganan TB. 2008. Buku
Pedoman Nasional Penanggulangan TB. edisi 2. Cetakan
Kedua. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta:
5, 6-7, 20-24.
4. Wibisono, M Yusuf, Winariani, Hariadi, Slamet, 2010. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Paru. Penerbit FK UNAIR, Surabaya :
27-35.

Mojokerto,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Paru

Dr. Asri Bindusari, SpKK Dr. Sri Rejeki Andayani, Sp. P


NIP. 19601102 198703 2 002

Direktur RSUD Prof. Dr. Soekandar


Kabupaten Mojokerto

Dr. Sujatmiko, MMRS


Panduan Praktik Klinis
SMF : PARU
RSUD PROF. DR. SOEKANDAR KAB. MOJOKERTO
TAHUN 2015

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

PPOK adalah penyakit yang ditandai oleh hambatan aliran


1. Pengertian udara yang tidak reversibel total . Hambatan aliran udara biasanya
(Definisi) progresif dan dihubungkan dengan respons inflamasi abnormal paru
terhadap partikel berbahaya atau gas-gas.
Dua keluhan utama adalah sesak napas dan batuk.
2. Anamnesis + Sesak napas
Timbul progresif secara gradual dalam beberapa tahun. Mula-
mula ringan lebih lanjut akan mengganggu aktivitas sehari-hari.
+ Suara mengi ( wheezing )
+ Batuk kronis
Batuk kronis biasanya berdahak kadang episodik dan
memberat waktu pagi. Dahak biasanya mukoid tetapi berubah
purulen bila eksaserbasi.
+ Batuk darah
Dijumpai terutama waktu eksaserbasi. Asal darah diduga
dari saluran napas yang mengalami inflamasi dan karakteristik :
blood-streaked purulen sputum.
+ Nyeri dada
Nyeri dada biasanya bukan oleh karena PPOK.
+ Anoreksi dan berat badan menurun

Karakteristik PPOK adalah ada eksaserbasi. Bila


penyakit progresif, interval di antara eksaserbasi akut makin dekat.

Pemeriksaan fisik yang ditemukan tergantung derajat hambatan


aliran udara, berat ringan hiperinflasi paru dan bentuk tubuh.
Awalnya hanya ekspirasi memanjang dan wheezing pada
ekspirasi paksa. Bila obstruksi berlanjut tampak hiperinflasi dan
3. Pemeriksaan Fisik barrel chest. Suara napas menurun, ekspirasi memanjang, suara
jantung terdengar jauh, ronki basah basal. Penggunaan otot napas
tambahan atau pursed-lips breathing menunjukkan hambatan
aliran udara berat. Edema tungkai. Juguler venous pressure ( JVP
) meningkat, hepar teraba dan hipertensi pulmonal adalah tanda
kor pulmonale kronikum dekompensata.

4. Kriteria Diagnosis Dibuat atas dasar


o Gambaran klinis: riwayat penyakit dan faktor risiko serta
pemeriksaan fisik.
o Pemeriksaan penunjang:
PPOK harus dipertimbangkan pada penderita dengan keluhan
batuk dengan dahak atau sesak napas dan atau riwayat terpapar
faktor risiko. Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan obyektif
ada hambatan aliran udara (dengan spirometri).
* Faal paru: spirometeri merupakan pemeriksaan gold standard
Parameter FEV1, FEV1/FVC
Hasil tes post bronkodilator FEV1 < 80% prediksi dan
FEV1/FVC < 70 % menunjukkan obstruksi yang tidak reversibel
penuh. Bila spirometri tidak tersedia dapat menggunakan PEF (
peak expiratory flow )

5. Diagnosis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

1. Asma bronchial
6. Diagnosis Banding 2. Gagal jantung kongestif
3. Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain seperti :
bronkiektasis.
4. Tuberkulosis
 Pemeriksaan penunjang:
7. Pemeriksaan  PPOK harus dipertimbangkan pada penderita dengan
Penunjang keluhan batuk dengan dahak atau sesak napas dan atau riwayat
terpapar faktor risiko. Diagnosis dipastikan dengan
pemeriksaan obyektif ada hambatan aliran udara (dengan
spirometri).
 * Faal paru: spirometeri merupakan pemeriksaan gold standard
 Parameter FEV1, FEV1/FVC
 Hasil tes post bronkodilator FEV1 < 80% prediksi dan
FEV1/FVC < 70 % menunjukkan obstruksi
yang tidak reversibel penuh. Bila spirometri tidak tersedia
dapat menggunakan PEF ( peak expiratory flow )
1. Oksigen terkontrol
8. Terapi Cara: Nasal 1-2 L/menit
Venturi mask FIO2 24-28 % ( fraction inspiration oxygen )
Sasaran: PaO2 60-65 mmHg atau SaO2 > 90 %

2. Bronkodilator
Agonis beta 2 + antikolinergi diberikan 3-4 x/hari dengan
nebuliser atau MDI ( metered dose inhaler ) dengan spacer.
Jika tidak ada fasilitas agonis beta 2 dapat diberikan
subkutan.
3. Antibiotika
Indikasi: eksaserbasi karena infeksi bakteri
Pilih antibiotika yang masih sensitif terhadap S. pneumoniae,
H. influenzae, M. catarrhalis
Pilihan antibiotika: amoxicilin, cotrimoxasol, erytromycin,
doxycyclin
Alternatif: co amoxiclav, cephaclor, claritromycin,
azithromycin.

4. Mukolitik
Saat eksaserbasi mukolitik seperti N asetyl cystein tidak
menunjukkan manfaat.

5. Kortikosteroid
Indikasi:eksaserbasi berat
Dosis: exact dose belum diketahui. Prednisolon 30-40
mg/hari selama 10-14 hari optimal bila ditinjau dari sudut
efikasi dan keamanan. Kortikosteroid dapat diberikan IV atau
oral.

6. Cairan dan elektrolit.


Perlu dimonitor.

7. Nutrisi
Tatalaksana:
tinggi protein rendah karbohidrat.
protein > 1,5 mg/kgBB/hari
Tidak memperbaiki exercise performance atau faal paru tetapi dapat:
9. Edukasi + Memperbaiki skill, kemampuan untuk menanggulangi penyakit dan
status kesehatan
+ Efektif untuk mencapai tujuan khusus seperti berhenti merokok.
Ad Vitam: dubia ad bonam/ malam
10. Prognosis Ad sanationam: dubia ad bonam/ malam
Ad fungsionam: dubia ad bonam/ malam

11. Tingkat
IV
Evidens

12. Tingkat C
Rekomendasi

13. Penelaah Kritis Dr. Sri Rejeki Andayani, Sp. P

14. Indikator Medis Kondisi Pasien Membaik

15. Kepustakaan 1. Alsagaff, Hood, Mukty, Abdul.2010. Dasar-dasar Ilmu Penyakit


Paru, Edisi Ke 2. Airlangga University Press, Surabaya : 85-88,
88-96, 108-109.
2. Amin, Z., Bahar, A. 2006. BAB 242 Tuberkulosis Paru in: Sudoyo,
Aru (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV Jilid II : 988-
993.
3. Gerakan Terpadu Nasional Penanganan TB. 2008. Buku Pedoman
Nasional Penanggulangan TB. edisi 2. Cetakan Kedua.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: 5, 6-7, 20-24.
4. Wibisono, M Yusuf, Winariani, Hariadi, Slamet, 2010. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Paru. Penerbit FK UNAIR, Surabaya : 27-35.
Panduan Praktik Klinis
SMF : PARU
RSUD PROF. DR. SOEKANDAR KAB. MOJOKERTO
TAHUN 2015
BRONKITIS KRONIS

Batuk kronis produktif minimal 3 bulan dalam setahun 2 tahun


1. Pengertian berturut-turut, yang tidak disebabkan oleh M tuberkulosis,
(Definisi) karsinoma paru, bronkiektasis, kistik fibrosis dan dekompensasio
kordis kronis.
batuk dengan dahak banyak, mukoid bertambah banyak dan purulen
2. Anamnesis waktu eksaserbasi. Batuk darah bisa dijumpai waktu eksaserbasi.
Sesak bersifat progresif,
karakteristik berhubungan dengan aktiviti ( dyspneu on effort ),
beberapa penderita mendengar suara mengi.
Pada auskultasi terdengar suara - suara inspirasi kasar (
terkait sekresi di saluran napas besar ).

3. Pemeriksaan Fisik Tidak khas, bisa dijumpai ronki basah, wheezing

4. Kriteria Diagnosis Didasarkan atas : kriteria klinis ( sesuai dengan definisi )

5. Diagnosis Bronkitis Kronis

 1. Tuberkulosis paru
6. Diagnosis Banding  2. Asma bronkial
 3. Tumor paru
 4. Bronkiektasis
 Radiologi.
7. Pemeriksaan  Bronkitis kronik tidak pernah didiagnosis dengan foto toraks,
Penunjang tetapi ada tanda-tanda radiologi yang dapat mengarahkan ke
diagnosis. Pulmonary marking( bronchovascular pattern )
prominen merupakan petunjuk bronkitis kronik.

 Faal paru.
 Bisa normal atau ada obstruksi saluran napas.

Elektrokardiografi.
Untuk mengetahui hipertrofi ventrikel kanan

Analisis gas darah.


- Edukasi
8. Terapi - Berhenti merokok, hindari paparan faktor-faktor iritan
- Rehabilitasi medik
- Terapi oksigen
- Bronkodilator
- Mukolitik masih kontroversi. N acetyl cystein
selain sebagai mukolitik juga antioksidan populer di negara-
negara Eropa.
- Antibiotika. Patogen yang sering dijumpai
waktu eksaserbasi: H. influenzae, S. pneumoniae, M.
catarrhalis.

Pilihan pertama : Golongan penicillin :


Ampicilin
Amoxicilin
Tetracycline
Cotrimoxasol

Pilihan kedua: Cephalosporin generasi II:


Cefaclor.
Cephalosporin generasi III:
Cefixim.
Co amoxiclav.
Macrolid baru :
Azithromycin
Claritromycin
Fluoroquinolon :
Ciprofloxacin
Levofloxacin
Moxifloxacin
Tidak memperbaiki exercise performance atau faal paru tetapi dapat:
9. Edukasi + Memperbaiki skill, kemampuan untuk menanggulangi penyakit dan
status kesehatan
+ Efektif untuk mencapai tujuan khusus seperti berhenti merokok.
Ad Vitam: dubia ad bonam/ malam
10. Prognosis Ad sanationam: dubia ad bonam/ malam
Ad fungsionam: dubia ad bonam/ malam

11. Tingkat
IV
Evidens

12. Tingkat C
Rekomendasi

13. Penelaah Kritis Dr. Sri Rejeki Andayani, Sp. P

14. Indikator Medis Kondisi Pasien Membaik

15. Kepustakaan 1. Alsagaff, Hood, Mukty, Abdul.2010. Dasar-dasar Ilmu Penyakit


Paru, Edisi Ke 2. Airlangga University Press, Surabaya : 85-88,
88-96, 108-109.
2. Amin, Z., Bahar, A. 2006. BAB 242 Tuberkulosis Paru in: Sudoyo,
Aru (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV Jilid II : 988-
993.
3. Gerakan Terpadu Nasional Penanganan TB. 2008. Buku Pedoman
Nasional Penanggulangan TB. edisi 2. Cetakan Kedua.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: 5, 6-7, 20-24.
4. Wibisono, M Yusuf, Winariani, Hariadi, Slamet, 2010. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Paru. Penerbit FK UNAIR, Surabaya : 27-35.

Mojokerto,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Paru

Dr. Asri Bindusari, SpKK Dr. Sri Rejeki Andayani, Sp. P


NIP. 19601102 198703 2 002

Direktur RSUD Prof. Dr. Soekandar


Kabupaten Mojokerto

Dr. Sujatmiko, MMRS


Panduan Praktik Klinis
SMF : PARU
RSUD PROF. DR. SOEKANDAR KAB.
MOJOKERTO
TAHUN 2015
BRONKITIS AKUT

1. Pengertian (Definisi) Infeksi dan inflamasi akut saluran napas besar

batuk dengan atau tanpa dahak


2. Anamnesis demam ringan / sumer-sumer
rasa tidak enak substernal
sesak napas
batuk darah

3. Pemeriksaan Fisik auskultasi dijumpai ronki basah, krepitasi, dan wheezing.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dengan foto


4. Kriteria Diagnosis toraks tidak dijumpai infiltrat.

5. Diagnosis Bronkitis Akut

6. Diagnosis Banding  Pneumonia


 Asma bronkial

7. Pemeriksaan Laboratorium : sputum cat gram: leukosit PMN dan


Penunjang kemungkinan bakteri patogen

1. Simtomatis
8. Terapi Antitusif : DMP, codein, doveri
Antipiretika : paracetamol
Tidak perlu antibiotika
2. Terapi terhadap penyulit : bronkodilator, antibiotika
tingkatkan daya tahan tubuh dengan istirahat cukup dan makan
9. Edukasi teratur

Ad Vitam: dubia ad bonam/ malam


10. Prognosis Ad sanationam: dubia ad bonam/ malam
Ad fungsionam: dubia ad bonam/ malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis Dr. Sri Rejeki Andayani, Sp. P

14. Indikator Medis Kondisi Pasien Membaik

15. Kepustakaan 1. Alsagaff, Hood, Mukty, Abdul.2010. Dasar-dasar Ilmu


Penyakit Paru, Edisi Ke 2. Airlangga University Press,
Surabaya : 85-88, 88-96, 108-109.
2. Amin, Z., Bahar, A. 2006. BAB 242 Tuberkulosis Paru in:
Sudoyo, Aru (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV
Jilid II : 988-993.
3. Gerakan Terpadu Nasional Penanganan TB. 2008. Buku
Pedoman Nasional Penanggulangan TB. edisi 2. Cetakan
Kedua. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: 5,
6-7, 20-24.
4. Wibisono, M Yusuf, Winariani, Hariadi, Slamet, 2010. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Paru. Penerbit FK UNAIR, Surabaya : 27-
35.

Mojokerto,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Paru

Dr. Asri Bindusari, SpKK Dr. Sri Rejeki Andayani, Sp. P


NIP. 19601102 198703 2 002

Direktur RSUD Prof. Dr. Soekandar


Kabupaten Mojokerto

Dr. Sujatmiko, MMRS


Panduan Praktik Klinis
SMF : PARU
RSUD PROF. DR. SOEKANDAR KAB. MOJOKERTO
TAHUN 2015
EMFISEMA

Kelainan paru yang ditandai pelebaran permanen abnormal dari


1. Pengertian (Definisi) saluran napas distal bronkioli terminalis disertai destruksi dinding
tanpa fibrosis yang jelas. Destruksi didefinisikan sebagai pelebaran
saluran napas yang tidak uniform sehingga gambaran asinus dan
komponen yang tersusun rapi terganggu dan mungkin hilang.

Sesak napas dengan karakteristik berhubungan dengan aktiviti


2. Anamnesis (dispneu on effort), bila penyakit tambah berat sudah terasa sesak
walau hanya aktivitas ringan. Batuk dengan dahak tidak banyak.

Pada pemeriksaan fisik dijumpai toraks hiperinflasi . Harus


3. Pemeriksaan Fisik diwaspadai sebab bisa dijumpai pada asma bronkial.
Hiperinflasi menimbulkan barrel chest, suara ketok hipersonor dan
suara napas menurun.
Didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditambah
4. Kriteria Diagnosis pemeriksaan penunjang:
-Radiologi: Foto toraks : hiperinflasi (diafragma datar dan letak
rendah, sinus preniko kostalis tumpul, ruang retrosternal melebar,
volume paru bertambah besar),
-Penipisan vaskuler dan hiperlusen
-Faal paru. Ada obstruksi, yang ditandai oleh penurunan FEV1,
FEV1/FCV, PEF( peak expiratory flow ) . Hiperinflasi
ditunjukkan dengan RV/TLC meningkat, DLco menurun
-Pemeriksaan alfa 1 antitripsin

5. Diagnosis Emfisema

6. Diagnosis Banding  Pneumonia


 Asma bronkial
-Radiologi: Foto toraks : hiperinflasi
7. Pemeriksaan (diafragma datar dan letak rendah, sinus preniko
Penunjang kostalis tumpul, ruang retrosternal melebar, volume paru
bertambah besar),
-Penipisan vaskuler dan hiperlusen
-Faal paru. Ada obstruksi, yang ditandai oleh penurunan
FEV1, FEV1/FCV, PEF( peak expiratory flow ) . Hiperinflasi
ditunjukkan dengan RV/TLC meningkat, DLco menurun
-Pemeriksaan alfa 1 antitripsin
- Rehabilitasi
8. Terapi - Terapi oksigen
- Bronkodilator
antikolinergik (ipratropium bromide)
golongan xantin (aminophylin/theophylline)
agonis beta 2
- Nutrisi

9. Edukasi Berhenti merokok, hindari paparan faktor iritan

Ad Vitam: dubia ad bonam/ malam


10. Prognosis Ad sanationam: dubia ad bonam/ malam
Ad fungsionam: dubia ad bonam/ malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat C
Rekomendasi

13. Penelaah Kritis Dr. Sri Rejeki Andayani, Sp. P

14. Indikator Medis Kondisi Pasien Membaik

15. Kepustakaan 1. Alsagaff, Hood, Mukty, Abdul.2010. Dasar-dasar Ilmu Penyakit


Paru, Edisi Ke 2. Airlangga University Press, Surabaya : 85-88,
88-96, 108-109.
2. Amin, Z., Bahar, A. 2006. BAB 242 Tuberkulosis Paru in:
Sudoyo, Aru (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV Jilid
II : 988-993.
3. Gerakan Terpadu Nasional Penanganan TB. 2008. Buku Pedoman
Nasional Penanggulangan TB. edisi 2. Cetakan Kedua.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: 5, 6-7, 20-24.
4. Wibisono, M Yusuf, Winariani, Hariadi, Slamet, 2010. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Paru. Penerbit FK UNAIR, Surabaya : 27-35.

Mojokerto,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Paru

Dr. Asri Bindusari, SpKK Dr. Sri Rejeki Andayani, Sp. P


NIP. 19601102 198703 2 002

Direktur RSUD Prof. Dr. Soekandar


Kabupaten Mojokerto

Dr. Sujatmiko, MMRS

Anda mungkin juga menyukai