Anda di halaman 1dari 23

5 PRIORITAS PANDUAN PRAKTEK KLINIS

1. TB PARU
2. HIV AIDS
3. DM TIPE 2
4. MALARIA
5. HIPERTENSI
PANDUAN PRAKTEK KLINIK
TUBERCULOSIS PARU
RSUD KSM PENYAKIT DALAM
dr. P.P Magretti No. No. Revisi Halaman
Jl. Mr. Latuharhary –Saumlaki Dokumen 1

PANDUAN PRAKTEK KLINIS Tanggal DIREKTUR


Terbit

dr. FULFULLY CH. E. NUNIARY


Penata Tk. I
NIP. 19801209 201001 1 010
Pengertian Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit infeksi paru yang disebabkan
oleh kuman TB yaitu Mycobacterium tuberkulosis.
Anamnesis Gejala klinis sama seperti gejala TB paru pada umumnya
1. Gejala respiratorik
• Batuk-batuk (dengan atau tanpa dahak) ≥2-3 minggu
• Batuk darah
• Sesak nafas
• Nyeri dada

2. Gejala sistemik
• Demam terutama sore/malam hari
• Gejala sistemik lainnya: malaise, keringat malam, anoreksia,
berat badan menurun.

Pemeriksaan Fisik Kelainan pada TB Paru tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
awal permulaan perkembangan penyakit umumnya sulit sekali
menemukan kelainan.
Pada auskultasi terdengar suara napas bronkhial, ronkhi basah/suara
napas melemah di apex paru, tanda-tanda penarikan paru, diafragma
dan mediastinum.
Kriteria Diagnosis Diagnosis Pasti TB Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang (sputum untuk dewasa,
tes tuberkulin pada anak).

Kriteria Diagnosis Berdasarkan International Standards for Tuberkulosis


Care (ISTC 2014)
1. Untuk memastikan diagnosis lebih awal, petugas kesehatan harus
waspada terhadap individu dan grup dengan faktor risiko TB dengan
melakukan evaluasi klinis dan pemeriksaaan diagnostik yang tepat
pada mereka dengan gejala TB.
2. Semua pasien dengan batuk produktif yang berlangsung selama ≥ 2
minggu yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk TB.
3. Semua pasien yang diduga menderita TB dan mampu mengeluarkan
dahak, harus diperiksa mikroskopis spesimen apusan sputum/dahak
minimal 2 kali atau 1 spesimen sputum untuk pemeriksaan Xpert
MTB/RIF*, yang diperiksa di laboratorium yang kualitasnya terjamin,
salah satu diantaranya adalah spesimen pagi. Pasien dengan risiko
resistensi obat, risiko HIV atau sakit parah sebaiknya melakukan
pemeriksan Xpert MTB/RIF* sebagai uji diagnostik awal. Uji serologi
darah dan interferongamma release assay sebaiknya tidak
digunakan untuk mendiagnosis TB aktif.
4. Semua pasien yang diduga tuberkulosis ekstra paru, spesimen dari
organ yang terlibat harus diperiksa secara mikrobiologis dan
histologis. Uji Xpert MTB/RIF direkomendasikan sebagai pilihan uji
mikrobiologis untuk pasien terduga meningitis karena membutuhkan
penegakan diagnosis yang cepat.
5. Pasien terduga TB dengan apusan dahak negatif, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan Xpert MTB/RIF dan/atau kultur dahak. Jika
apusan dan uji Xpert MTB/RIF* negatif pada pasien denga gejala
klinis yang mendukung TB, sebaiknya segera diberikan pengobatan
anti tuberkulosis setelah pemeriksaan kultur.
Diagnosis Kerja Tuberkulosis Paru
Diagnosis Banding Pneumonia
Mikosis Paru
Bronkiektasi
Tumor paru
Pemeriksaan 1. Darah: limfositosis/ monositosis, LED meningkat, Hb turun.
Penunjang 2. Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (Bakteri Tahan Asam/BTA)
atau Pemeriksaan kultur dan resistensi mikobakterium tuberkulosis
3. Untuk TB non paru, spesimen dapat diambil dari bilas lambung,
cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan.
4. Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/ top lordotik. Pada TB,
umumnya di apeks paru terdapat gambaran bercak-bercak awan
dengan batas yang tidak jelas atau bila dengan batas jelas
membentuk tuberkuloma. Gambaran lain yang dapat menyertai
yaitu, kavitas (bayangan berupa cincin berdinding tipis), pleuritis
(penebalan pleura), efusi pleura (sudut kostrofrenikus tumpul).
Terapi Tujuan pengobatan:
1. Menyembuhkan, mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas
pasien.
2. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan.
3. Mencegah kekambuhan TB.
4. Mengurangi penularan TB kepada orang lain.
5. Mencegah terjadinya resistensi obat dan penularannya
Prinsip-prinsip terapi:
1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk
kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis
tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hindari penggunaan
monoterapi.
2. Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tepat (KDT) / Fixed Dose
Combination (FDC) akan lebih menguntungkan dan dianjurkan.
3. Obat ditelan sekaligus (single dose) dalam keadaan perut kosong.
4. Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban
tanggung jawab kesehatan masyarakat.
6. Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum
pernah diobati harus diberi paduan obat lini pertama.
7. Untuk menjamin kepatuhan pasien berobat hingga selesai,
diperlukan suatu pendekatan yang berpihak kepada pasien (patient
centered approach) dan dilakukan dengan pengawasan langsung
(DOT= directly observed treatment) oleh seorang pengawas
menelan obat.
8. Semua pasien harus dimonitor respons pengobatannya. Indikator
penilaian terbaik adalah pemeriksaan dahak berkala yaitu pada akhir
tahap awal, bulan ke-5 dan akhir pengobatan.
2. Rekaman tertulis tentang pengobatan, respons bakteriologis dan
efek samping harus tercatat dan tersimpan.

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal dan lanjutan


1. Tahap awal menggunakan paduan obat rifampisin, isoniazid,
pirazinamid dan etambutol.
a. Pada tahap awal pasien mendapat pasien yang terdiri dari 4
jenis obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol),
diminum setiap hari dan diawasi secara langsung untuk
menjamin kepatuhan minum obat dan mencegah terjadinya
kekebalan obat.
b. Bila pengobatan tahap awal diberikan secara adekuat, daya
penularan menurun dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Pasien TB paru BTA positif sebagian besar menjadi BTA negatif
(konversi) setelah menyelesaikan pengobatan tahap awal.
Setelah terjadi konversi pengobatan dilanujtkan dengan tahap
lanjut.
2. Tahap lanjutan menggunakan paduan obat rifampisin dan isoniazid
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat 2 jenis obat (rifampisin
dan isoniazid), namun dalam jangka waktu yg lebih lama
(minimal 4 bulan).
b. Obat dapat diminum secara intermitten yaitu 3x/minggu (obat
program) atau tiap hari (obat non program).
c. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Panduan OAT lini pertama yang digunakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3 Artinya pengobatan tahap awal selama 2
bulan diberikan tiap hari dan tahap lanjutan selama 4 bulan diberikan
3 kali dalam seminggu. Jadi lama pengobatan seluruhnya 6 bulan.
2. Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 Diberikan pada TB paru
pengobatan ulang (TB kambuh, gagal pengobatan, putus
berobat/default). Pada kategori 2, tahap awal pengobatan selama 3
bulan terdiri dari 2 bulan RHZE ditambah suntikan streptomisin, dan
1 bulan HRZE. Pengobatan tahap awal diberikan setiap hari. Tahap
lanjutan diberikan HRE selama 5 bulan, 3 kali seminggu. Jadi lama
pengobatan 8 bulan.
2. 3. OAT sisipan : HRZE Apabila pemeriksaan dahak masih positif
(belum konversi) pada akhir pengobatan tahap awal kategori 1
maupun kategori 2, maka diberikan pengobatan sisipan selama 1
bulan dengan HRZE.
Edukasi 1. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit
tuberkulosis Tutup mulut pakai saputangan bila batuk, Jangan buang
dahak sembarangan
2. Pengawasan ketaatan minum obat dan kontrol secara teratur.
3. Pola hidup sehat dan sanitasi lingkungan.
4. Konsul ke dokter bila ada efek samping
5. Makanan yang bergizi
Prognosis Jika melakukan pengobatan dengan baik dan benar.
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
Tingkat Evidens I
Tingkat Rekomendasi B
Penelaah Kritis Dr. M. Fauzan Assegaf, Sp.PD
Indikator Medis
Kepustakaan 1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. PDPI. Jakarta.
2011. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2011. (Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011)
3. Panduan tata laksana tuberkulosis sesuai ISTC dengan strategi
DOTS untuk praktik dokter swasta (DPS). Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia dan Ikatan DOkter Indonesia. Jakarta. 2012.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012)
4. Tuberkulosis Coalition for Technical Assistance. International
standards for tuberkulosis tare (ISTC). 3nd Ed. Tuberkulosis
Coalition for Technical Assistance. The Hague. 2014. (Tuberculosis
Coalition for Technical Assistance , 2014)
Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L. et al.
Mycobacterial disease: Tuberkulosis. Harrisson’s: principle of internal
medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill Companies. 2009: hal.
1006 - 1020. (Braunwald, et al., 2009)
3. DM TIPE 2

PANDUAN PRAKTEK KLINIK


DM TIPE II
RSUD KSM PENYAKIT DALAM
dr. P.P Magretti No. No. Revisi Halaman
Jl. Mr. Latuharhary –Saumlaki Dokumen 1

PANDUAN PRAKTEK KLINIS Tanggal DIREKTUR


Terbit

dr. FULFULLY CH. E. NUNIARY


Penata Tk. I
NIP. 19801209 201001 1 010
Pengertian Suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya. Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai dominan defek sekresi insulin disertai
resistensi insulin.
Anamnesis Gejala poliuria, polidipsia, polifagia, BB menurun
Hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu, meliputi GD, A1c
Pola makan, status nutrisi
Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya
Pengobatan yang sedang dijalani
Riwayat komplikasi akut (Ketoasidosis diabetik, hiperosmolar
hiperglikemia dan hipoglikemia)
Riwayat infeksi sebelumnya
Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik.
Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner,
obesitas, riwayat penyakit keluarga
Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan dan status ekonomi.
Penggunaan kontrasepsi dan kehamilan.
Pemeriksaan Fisik Pegukuran TB, BB, Lingkar pinggang.
Pengukuran TD dan ABI (Ankle brachial index)
Pemeriksaan funduscopi
Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
Pemeriksaan jantung
Evaluasi nadi
Pemeriksaan ekstrimitas atas dan bawah termasuk jari
Pemeriksaan kulit
Kriteria Diagnosis 1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma
sewaktu >200 mg/dl sudah cukup menegakkan diagnosis DM
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl dengan adanya
keluhan klasik.
3. Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
Diagnosis Kerja Diabetes melitus tipe 2
Diagnosis Banding Hiperglikemia reaktif, toleransi glukosa terganggu (TGT), glukosa darah
puasa terganggu (GDPT)
Pemeriksaan Glukosa darah puasa (GDP) dan 2 jam post prandial (GD2jpp)
Penunjang A1c
Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida)
Kreatinin serum
Albuminuria
Keton, sedimen, dan protein dalam urin
Elektrokardiogram
Rontgen dada
Terapi 1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
a. Obat Hipoglikemik Oral
• Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonil urea dan
glinid
• Peningkat sensitivitas terhadap insulin : metformin dan
tiazolidindion
• Penghambat glukoneogenesis
• Penghambat absorbsi glukosa : penghambat glukosidase alfa
• DPP IV inhibitor
b. Insulin
• Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
• Insulin kerja pendek (short acting insulin)
• Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
• Insulin kerja panjang (long acting insulin)
• Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed
insulin)
Edukasi
Prognosis dubia
Tingkat Evidens I
Tingkat Rekomendasi A
Penelaah Kritis Dr. M. Fauzan Assegaf, Sp.PD
Indikator Medis
Kepustakaan 1. PERKENI. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia. 2011.
2. PERKENI. Petunjuk Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2. 2011.
3. The Expert Comminitte on The Diagnosis and Classification of
Diabetes Mellitus. Report of The Expert Committee on The Diagnosis
and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care. Jan 2003 :
26(Suppl. I) : S5-20.
4. Suyono S. Type 2 Diabetes Mellitus is a -Cell Dysfunction. Prosiding
Jakarta Diabetes Meeting 2002 : The Recent Management in
Diabetes and its Compliocations : From Molecular to Clinic. Jakarta,
2-3 Nov 2002. Simposium Current Treatment in Internal Medicine
2000. Jakarta, 11-12 November 2000 : 185-99.
5. HIV AIDS

PANDUAN PRAKTEK KLINIK


HIV-AIDS
RSUD KSM PENYAKIT DALAM
dr. P.P Magretti No. No. Revisi Halaman
Jl. Mr. Latuharhary –Saumlaki Dokumen 1

PANDUAN PRAKTEK KLINIS Tanggal DIREKTUR


Terbit

dr. FULFULLY CH. E. NUNIARY


Penata Tk. I
NIP. 19801209 201001 1 010
Pengertian HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. AIDS
adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang
berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan
tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV.

Anamnesis Keluhan Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan gejala atau
keluhan tertentu. Pasien datang dapat dengan keluhan:
1. Demam (suhu >37,5OC) terus menerus atau intermiten lebih dari satu
bulan.
2. Diare yang terus menerus atau intermiten lebih dari satu bulan.
3. Keluhan disertai kehilangan berat badan (BB) >10% dari berat badan
dasar.
4. Keluhan lain bergantung dari penyakit yang menyertainya.

Faktor Risiko
1. Penjaja seks laki-laki atau perempuan
2. Pengguna NAPZA suntik
3. Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki dan
transgender
4. Hubungan seksual yang berisiko atau tidak aman
5. Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
6. Pernah mendapatkan transfusi darah
7. Pembuatan tato dan atau alat medis/alat tajam yang tercemar HIV
8. Bayi dari ibu dengan HIV/AIDS
9. Pasangan serodiskordan – salah satu pasangan positif HIV
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
a. Berat badan turun
b. Demam
2. Kulit
a. Tanda-tanda masalah kulit terkait HIV misalnya kulit kering dan
dermatitis seboroik
b. Tanda-tanda herpes simpleks dan zoster atau jaringan parut bekas
herpes zoster
3. Pembesaran kelenjar getah bening
4. Mulut: kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, keilitis angularis
5. Dada: dapat dijumpai ronki basah akibat infeksi paru
6. Abdomen: hepatosplenomegali, nyeri, atau massa
7. Anogenital: tanda-tanda herpes simpleks, duh vagina atau uretra
8. Neurologi: tanda neuropati dan kelemahan neurologis
Kriteria Diagnosis Diagnosis untuk HIV/AIDS bisa dilakukan dengan melihat kriteria mayor
dan minor dan dilanjutkan dengan melakukan test HIV.

Untuk Dewasa (>18 tahun) dikatakan mengidap AIDS apabila : Test HIV
( + ) dan ditemukan 2 gejala mayor dan 1 gejala minor.
Ditemukan Sarcoma Kaposi atau Pneumonia pneumocystis cranii.
• Berikut kriteria mayor dan minor dari HIV/AIDS itu sendiri :

Gejala Mayor:
- Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
- Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
- Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
- Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
- Demensia/ HIV ensefalopati

Gejala Minor:
- Batuk menetap lebih dari 1 bulan
- Dermatitis generalisata
- Adanya herpes zostermultisegmental dan herpes zoster berulang
- Kandidias orofaringeal
- Herpes simpleks kronis progresif
- Limfadenopati generalisata
- Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
- Retinitis virus sitomegalo

Diagnosis Kerja 1. Diagnosis HIV


2. Diagnosis komplikasi HIV
3. Dianosis penyakit penyerta
4. Pemantauan pengendalian HIV
Diagnosis Banding Penyakit gangguan system imun
Pemeriksaan 1. Laboratorium
Penunjang a. Tes HIV menggunakan Kombinasi tes cepat (rapid
imunnochromatography test) atau kombinasi tes cepat dan
EIA (enzyme immunoassay) . diagnosis HIV berdasarkan
hasil tiga tes anti-HIV sekuensial reaktif
b. pemeriksaan CD4 direkomendasikan untuk dilakukan pada
saat didiagnosis HIV, 6 bulan setelah pengobatan, sampai
indikasi menghentikan profilaksis kotrimoksazol.
2. Radiologi X-ray Thorax

Sebelum melakukan tes HIV perlu dilakukan konseling sebelumnya.


Terdapat 2 macam pendekatan untuk tes HIV
1. Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT = Voluntary
Counseling and Testing)
2. Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (TIPK-
PIITC= Provider – Initiated Testing and Counseling)
Terapi o Terapi ARV saat ini dimulai pada semua ODHA anak, remaja, dan
dewasa tanpa memandang stadium klinis ataupun jumlah CD4.
o Pada ODHA yang datang tanpa gejala infeksi oportunistik, terapi ARV
dimulai segera dalam 7 hari setelah diagnosis dan penilaian klinis.
o Pada ODHA yang sudah siap untuk memulai ARV, dapat ditawarkan
untuk memulai ARV pada hari yang sama, terutama pada ibu hamil.
o Pada ODHA dengan gejala infeksi oportunistik, seperti TB dan
meningitis kriptokokus, terapi ARV dimulai setelah pengobatan infeksi
oportunistik.
Terapi ARV:
1. TDF + 3TC (atau FTC) + EFV dalam bentuk KDT
2. Panduan alternative
AZT + 3TC + NVP
AZT + 3TC + EFV
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
AZT + 3TC + EFV
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV

Rencana Tindak Lanjut


1. Pasien yang belum memenuhi syarat terapi ARV Monitor perjalanan
klinis penyakit dan jumlah CD4-nya setiap 6 bulan sekali.
2. Pemantauan pasien dalam terapi antiretroviral
Pemantauan klinis Dilakukan pada minggu 2, 4, 8, 12 dan 24 minggu
sejak memulai terapi ARV dan kemudian setiap 6 bulan bila pasien
telah mencapai keadaan stabil.
3. Pemantauan laboratorium
Pemantauan CD4 secara rutin setiap 6 bulan atau lebih sering bila
ada indikasi klinis.
4. Pasien yang akan memulai terapi dengan AZT maka perlu dilakukan
pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) sebelum memulai terapi dan
pada minggu ke 4, 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada indikasi tanda
dan gejala anemia
Bila menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD4 antara 250–
350 sel/mm3 maka perlu dilakuan pemantauan enzim transaminase
pada minggu 2, 4, 8 dan 12 sejak memulai terapi ARV (bila
memungkinkan), dilanjutkan dengan pemantauan berdasarkan gejala
klinis.
5. Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien yang
mendapatkan TDF.

Edukasi 1. Menganjurkan tes HIV pada pasien TB, infeksi menular seksual
(IMS), dan kelompok risiko tinggi beserta pasangan seksualnya,
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit
HIV/AIDS. Pasien disarankan untuk bergabung dengan kelompok
penanggulangan HIV/AIDS untuk menguatkan dirinya dalam
menghadapi pengobatan penyakitnya.
Prognosis Prognosis sangat tergantung kondisi pasien saat datang dan
pengobatan. Terapi hingga saat ini adalah untuk memperpanjang masa
hidup, belum merupakan terapi definitif, sehingga prognosis pada
umumnya dubia ad malam.
Tingkat Evidens I/ II/ III/ IV
Tingkat Rekomendasi A/B/C
Penelaah Kritis Dr. M. Fauzan Assegaf, Sp.PD
Indikator Medis
Kepustakaan 1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Pedoman Nasional Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral pada Orang Dewasa.Jakarta: Kemenkes. 2011.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011)
2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
Hk.01.07/Menkes/90/2019 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata Laksana HIV
PANDUAN PRAKTEK KLINIK
MALARIA
RSUD KSM PENYAKIT DALAM
dr. P.P Magretti No. Dokumen No. Revisi Halaman
Jl. Mr. Latuharhary – 1
Saumlaki

PANDUAN Tanggal Terbit DIREKTUR


PRAKTEK KLINIS

dr. FULFULLY CH. E. NUNIARY


Penata Tk. I
NIP. 19801209 201001 1 010
Malaria adalah penyakit infeksi akut atau kronik yang disebabkan oleh
Plasmodium, ditandai dengan demam rekurens, anemia dan
PENGERTIAN hepatosplenomegali.

• Keluhan : demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit


kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal.
ANAMNESIS • Riwayat sakit malaria dan riwayat minum obat malaria satu bulan
terakhir.
• Pasien berasal dari daerah endemis malaria, atau riwayat bepergian
ke daerah endemis malaria dalam 1-4 minggu yang lalu.
• Malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas beberapa
serangan demam dengan interval tertentu (paroksisme), diselingi
periode bebas demam. Sebelum demam pasien merasa lemah, nyeri
kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau muntah.
• Pada pasien dengan infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis
Plasmodium atau infeksi berulang dari satu jenis plasmodium),
demam terus-menerus (tanpa interval),
• Periode paroksisme terdiri atas stadium dingin (cold stage), stadium
panas (hot stage), dan stadium berkeringat (sweating stage).
Paroksisme jarang dijumpai pada anak, stadium dingin seringkali
bermanifestasi sebagai kejang.
• Daerah dengan risiko malaria yang rendah, diagnosa malaria tanpa
komplikasi harus didasarkan kemungkinan paparan malaria dan
riwayat demam dalam 3 hari terakhir tanpa gambaran penyakit
berat lain.
• Daerah dengan risiko malaria tinggi, diagnosis klinis harus
didasarkan pada riwayat demam dalam 24 jam terakhir dan/atau
adanya anemia yg ditandai dengan pucat pada telapak tangan.
• Pada semua daerah klinis malaria harus dikonfirmasi dengan
diagnosis parasitologi.
• Pada daerah yang tidak dapat melakukan peneriksaan parasitologi,
keputusan memberikan pengobatan malaria harus didasarkan
kemungkinan penyakit tersebut menjadi malaria.
• Pada malaria ringan dijumpai demam, anemia, muntah atau diare,
ikterus dan hepatosplenomegali.
PEMERIKSAAN • Malaria berat adalah malaria yang disebabkan P.falciparum,dapat
FISIK berupa penurunan kesadaran, demam tinggi, konjungtiva pucat dan
telapak tangan pucat serta ikterik, dapat disertai satu atau lebih
kelainan sebagai berikut,
o Hiperparasetemia, bila >5% eritrosit dihinggapi parasit.
o Malaria serebral dengan kesadaran menurun.
o Anemia berat, kadar hemoglobin <7,1 g/dL
o Perdarahan atau koagulasi diseminata
o Ikterus, kadar bilirubin serum > 50 mg/dL
o Hipoglikemia, kadang-kadang akibat terapi kuinin
o Gagal ginjal, kadar kreatinin serum > 3 g/dL dan diuresis <400
ml/24 jam.
o Hiperpireksia
o Edema paru
o Syok, hipotensi, gangguan asam basa

KRITERIA 1. Sesuai dengan anamnesis


DIAGNOSIS 2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
3. Sesuai dengan pemeriksaan penunjang
Malaria Plasmodium falciparum ( ICD 10 : B 50 )
Malaria Plasmodium vivax ( ICD 10 : B 51 )
DIAGNOSIS KERJA Malaria Plasmodium malariae ( ICD 10 : B 52 )
Malaria Plasmodium ovale ( ICD 10 : B 53.0 )
Malaria Berat ( ICD 10 : B 50.0)

DIAGNOSIS • Demam tifoid


BANDING • Meningitis
• Apendisitis
• Gastroenteritis
• Hepatitis
• Influenza dan infeksi virus lainnya

PEMERIKSAAN Laboratorium :
PENUNJANG
1. Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis, menentukan :
- Ada tidaknya parasit malaria
- Spesies dan stadium plasmodium
- Kepadatan parasit
2. Tes diagnostik cepat ( Rapid Diagnostic Test )
3. Pemeriksaan penunjang lain sesuai dengan komplikasi yang
terjadi.
Medikamentosa
a. Malaria Falsiparum
a.1. Lini Pertama

Menggunakan Artemisinin-based Combination Therapy (ACT) +


Primakuin

Tabel pengobatan malaria falsiparum menurut BB dg Dihydroartemisinin


+ Piperakuin (DHP) dan Primakuin

Ha Jenis Jumlah tablet perhari menurut berat badan


ri obat
≤5kg 6- 11- 18- 31- 41- ≥60k
10kg 17kg 30kg 40kg 59kg g

0-1bl 2- 1-4th 5-9th 10- ≥15t ≥15t


11bl 14th h h

1- DHP ¼ ½ 1 1½ 2 3 4
3

1 Primak - - ¾ 1½ 2 2 3
uin
TERAPI
Atau

Tabel pengobatan malaria falsiparum menurut BB dg Artesunat +


Amodiakuin dan Primakuin

Ha Jenis Jumlah tablet perhari menurut berat badan


ri obat
≤5 6- 11- 18- 31- 41- 50- ≥60
kg 10k 17k 30k 40k 49k 59k kg
g g g g g g

0- 2- 1- 5- 10- ≥15t ≥15t ≥15t


1bl 11bl 4th 9th 14th h h h

1- Artes ¼ ½ 1 1½ 2 3 4 4
3 unat

Amodi ¼ ½ 1 1½ 2 3 4 4
akuin

1 Prima - - ¾ 1½ 2 2 2 3
kuin
a.2. Lini Kedua
Menggunakan Kina + Doksisiklin / Tetrasiklin + Primakuin

b. Malaria Vivaks
b.1. Lini Pertama

Tabel pengobatan malaria vivaks menurut BB dg Dihydroartemisinin +


Piperakuuin (DHP) dan Primakuin

Ha Jenis Jumlah tablet perhari menurut berat badan


ri obat
≤5kg 6- 11- 18- 31- 41- ≥60k
10kg 17kg 30kg 40kg 59kg g

0-1bl 2- 1-4th 5-9th 10- ≥15t ≥15t


11bl 14th h h

1- DHP ¼ ½ 1 1½ 2 3 4
3

1- Primak - - ¼ ½ ¾ 1 1
14 uin

Cat: Khusus penderita defisiensi enzim G6PD yang dicurigai dari


anamnesis terdapat riwayat warna urin coklat kehitaman setelah minum
obat (golongan sulfa, primakuin, kina, klorokuin, dll), maka pengobatan
diberikan secara mingguan selama 8-12 minggu dengan dosis mingguan
0,75 mg/kgBB.

Atau

Tabel pengobatan malaria falsiparum menurut BB dg Artesunat +


Amodiakuin dan Primakuin

Ha Jenis Jumlah tablet perhari menurut berat badan


ri obat
≤5 6- 11- 18- 31- 41- 50- ≥60
kg 10k 17k 30k 40k 49k 59k kg
g g g g g g

0- 2- 1- 5- 10- ≥15t ≥15t ≥15t


1bl 11bl 4th 9th 14th h h h

1- Artes ¼ ½ 1 1½ 2 3 4 4
3 unat

Amodi ¼ ½ 1 1½ 2 3 4 4
akuin

1- Prima - - ¼ ½ ¾ 1 1 1
14 kuin

b.2. Lini Kedua

Menggunakan Kina + Primakuin

c. Malaria Vivaks yg relaps


Pengobatan kasus malaria vivaks relaps (kambuh) diberikan dengan
regimen ACT yang sama tapi dosis Primakuin ditingkatkan menjadi
0,5 mg/kgBB/hari.
d. Malaria Ovale
Pengobatan malaria ovale saat ini menggunakan ACT yaitu
Dihydroartemisinin Piperaquin (DHP) atau Artesunate + amodiaquin.
Dosis pemberian obatnya sama dengan untuk malaria vivaks.

e. Malaria malariae
Pengobatan P.malariae cukup diberikan ACT 1 kali perhari selama 3
hari, dengan dosis sama dengan pengobatan malaria lainnya dan
tidak diberikan primakuin.

f. Infeksi campur P.falciparum + P.vivaks/P.ovale


Pada penderita dengan infeksi campur diberikan ACT selama 3 hari
serta primakuin dengan dosis 0,25 mg/kgBB/hari selama 14 hari.

Tabel pengobatan infeksi campur P.falciparum + P.vivax/P.ovale dg


Dyhidroartemisinin +Piperakuin

Ha Jenis Jumlah tablet perhari menurut berat badan


ri obat
≤5kg 6- 11- 18- 31- 41- ≥60k
10kg 17kg 30kg 40kg 59kg g

0-1bl 2- 1-4th 5-9th 10- ≥15t ≥15t


11bl 14th h h

1- DHP ¼ ½ 1 1½ 2 3 4
3

1- Primak - - ¼ ½ ¾ 1 1
14 uin

Atau

Tabel pengobatan infeksi campur P.falciparum + P.vivax/P.ovale dg


Artesunat + Amodiakuin

Ha Jenis Jumlah tablet perhari menurut berat badan


ri obat
≤5 6- 11- 18- 31- 41- 50- ≥60
kg 10k 17k 30k 40k 49k 59k kg
g g g g g g

0- 2- 1- 5- 10- ≥15t ≥15t ≥15t


1bl 11bl 4th 9th 14th h h h
1- Artes ¼ ½ 1 1½ 2 3 4 4
3 unat

Amodi ¼ ½ 1 1½ 2 3 4 4
akuin

1- Prima - - ¼ ½ ¾ 1 1 1
14 kuin

g. Malaria berat
Pilihan utama menggunakan Artesunate intravena atau Artemeter
intramuskular.
Kemasan dan cara pemberian artesunat
Artesunat parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60 mg serbuk
kering asam artesunik dan pelarut dalam ampul yang berisi 0,6 ml
natrium bikarbonat 5%. Larutan artesunat dibuat dengan
mencampur 60 mg serbuk kering artesunik dan 0,6 ml natrium
bikarbonat 5%,diencerkandengan Dextrose 5% sebanyak 3-5 cc dan
diberikan secara bolus perlahan-lahan.
Artesunat (AS) diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgbb per-iv sebanyak
3 kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya diberikan 2,4 mg/kgbb per-iv
setiap 24 jam sampai penderita mampu minum obat. Pengobatan
dilanjutkan dengan regimen dihydroartemisinin-piperakuin (ACT
lainnya)+ primakuin.
Kemasan dan cara pemberian artemeter
Artemeter intramuskular tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg
artemeter dalam larutan minyak. Artemeter diberikan dengan dosis
1,6 mg/kgbb intramuskular dan diulang setelah 12 jam. Selanjutnya
artemeter diberikan 1,6 mg/kgbb intramuskular satu kali sehari
sampai penderita mampu minum obat. Bila penderita sudah dapat
minum obat, pengobatan dilanjutkan dengan regimen
dihydroartemisinin-piperakuin (ACT lainnya)+ primakuin.

Obat alternatif: Kina dihidroklorida parenteral


Kemasan dan cara pemberian kina parenteral
Kina per-infus masih merupakan obat alternatif untuk malaria berat
pada daerah yang tidak tersedia derivat artemisinin parenteral.
Obat ini dikemas dalam bentuk ampul kina dihidroklorida 25%. Satu
ampul berisi 500 mg/2 ml.
Dosis kina HCl 25 % (per-infus): dosis 10 mg/kgbb (bila umur < 2
bulan: 6 - 8 mg/kg bb) diencerkan dengan dekstrosa 5 % atau NaCl
0,9 % sebanyak 5 - 10 ml/kgbb diberikan selama 4 jam, diulang
setiap 8 jam sampai penderita dapat minum obat, selanjutnya
diberikan kina peroral sampai 7 hari.
Catatan :
1) Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena toksik
bagi jantung dan dapat menimbulkan kematian.
2) Pada penderita dengan gagal ginjal, dosis rumatan kina
diturunkan 1/3 - 1/2 nya.
3) Pada hari pertama pemberian kina oral, berikan primakuin
dengan dosis 0,75 mg/kgbb.
4) Dosis kina maksimum : 2.000 mg/hari.
5) Hipoglikemia dapat terjadi pada pemberian kina parenteral oleh
karena itu dianjurkan pemberiannya dalam Dextrose 5%
Suportif

Pemberian cairan, nutrisi, transfusi darah

• Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan


dengan pemberian oral atau parenteral
• Pelihara keadaan nutrisi
• Transfusi darah packed red cell 10 ml/kgbb atau whole blood 20
ml/kgbb apabila anemia dengan Hb 5 g/dL
• Bila terjadi perdarahan diberikan komponen darah yang sesuai
• Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit
• Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik, bila perlu pasang CVP.
Dialisis (PD, HD, CRRT) dilakukan pada gagal ginjal
• Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan oksigen.
Apabila terjadi gagal nafas perlu pemasangan ventilator mekanik
(bila mungkin)
• Pertahankan kadar gula darah normal
Antipiretik

Diberikan apabila demam > 39oC, kecuali pada riwayat kejang


demam dapat diberikan lebih awal.

KOMPETENSI Dokter Spesialis Anak

Pemakaian kelambu saat tidur

Penggunaan lotion anti nyamuk


EDUKASI
Minum obat malaria pencegahan apabila bepergian kedaerah endemis
malaria

Ad vitam = dubia ad bonam

PROGNOSIS Ad sanationam = dubia ad malam

Ad fungsionam = ad bonam

1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik


INDIKATOR MEDIS 2. Respon klinis dan parasitologis memadai
3. Tidak ada parasitemia
4. Tidak ditemukan komplikasi
1. Ditjen pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
kementrian Kesehatan RI, IDAI. Buku Saku Penatalaksanaan
Kasus Malaria. Jakarta. 2012
2. American Academy of Pediatrics. Malaria. Dalam: Pickering LK,
Baker CJ, Long SS, McMillan JA, penyunting. Red Book: 2006
Report of the committee in infectious diseases. Edisi ke-27. Elk
Grove Village, IL. American Academy of Pediatrics; 2006, h.
435-41.
3. Daily JP. Malaria. Dalam: Anne AG, Peter JH, Samuel LK,
KEPUSTAKAAN penyunting. Krugman’s infectious diseases of children. Edisi ke-
11. Philadelphia; 2004. h. 337-48.
4. Krause, Peter J. Malaria (Plasmodium). Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, penyunting Nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia; 2004. h. 1139-43.
5. Wilson CM. Plasmodium species (Malaria). Dalam: Long SS,
Pickering LK, Prober CG, penyunting. Principles and practice of
pediatric infectious diseases. Edisi ke- 2. Philadelphia, PA:
Elsevier Science; 2003, h.1295-1301.
6. World Health Organization. Severe falciparum malaria. Trans R
Soc Trop Med Hyg. 2000.
PANDUAN PRAKTEK KLINIK
KRISIS HIPERTENSI
RSUD KSM PENYAKIT DALAM
dr. P.P Magretti No. No. Revisi Halaman
Jl. Mr. Latuharhary –Saumlaki Dokumen 1

PANDUAN PRAKTEK KLINIS Tanggal DIREKTUR


Terbit

dr. FULFULLY CH. E. NUNIARY


Penata Tk. I
NIP. 19801209 201001 1 010
Pengertian Adalah sejumlah kondisi kelainan klinis dengan atau tanpa
kelainana organ lain, yang disebabkan oleh hipertensi arterial.
Anamnesis - Pusing
- Nyeri dada
- Cepat lelah
- Berdebar-debar
- Sesak nafas
- Kelemahan atau kelumpuhan sebagai atau seluruh anggota
tubuh

Pemeriksaan Fisik TD sistolik ≥ 180 mmHg atau TD diastolic 110 mm


Kriteria Diagnosis 1. Pemeriksaan fisik :sesuai criteria JNC VII
2. Fototoraks : kardiomegali
3. ECG : LVH,perubahan segmen ST
Echocardiografi : LVH, disfungsi diastolic ±sistolik
Diagnosis Kerja Krisis hipertensi (emergensi/urgensi)
Diagnosis Banding 1. Cephalgia
2. Anxietas
3. CKD
4. Sindroma koroner akut
5. CVD

Pemeriksaan 1. EKG
Penunjang 2. Rontgen dada
3. Lab: Hb, Ht, Leuo,Cr, Ur, GDS, Na÷,K÷,)’OGTT (bila belum
diketahui DM),urinalisa
4. Skrining hipertensi endokrin
5. USG abdomen: ginjal
6. Echocardiografi
7. CT-scan kepala

Terapi 1. Nitrat(IV)
2. CCB(IV)
3. ACE inhibitor/ARB
4. Diuretik: tiazid
5. Beta blocker
6. Calcium channel blocker
7. Central blocker
8. Alpha blocker
9. Vasodilator direk

Edukasi 1. Edukasi jenis penyakit dan perjalanannya


2. Edukasi pengobatan
3. Edukasi Nutrisi/pola hidup
Prognosis Dubia
Tingkat Evidens I
Tingkat A
Rekomendasi
Penelaah Kritis Dr. M. Fauzan Assegaf, Sp.PD
Indikator Medis
Kepustakaan 6. PERKENI. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia. 2011.
7. PERKENI. Petunjuk Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2.
2011.
8. The Expert Comminitte on The Diagnosis and Classification of
Diabetes Mellitus. Report of The Expert Committee on The
Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes
Care. Jan 2003 : 26(Suppl. I) : S5-20.
9. Suyono S. Type 2 Diabetes Mellitus is a -Cell Dysfunction.
Prosiding Jakarta Diabetes Meeting 2002 : The Recent
Management in Diabetes and its Compliocations : From
Molecular to Clinic. Jakarta, 2-3 Nov 2002. Simposium Current
Treatment in Internal Medicine 2000. Jakarta, 11-12 November
2000 : 185-99.

Anda mungkin juga menyukai