0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
21 tayangan4 halaman
Dokumen ini memberikan panduan praktik klinis untuk penatalaksanaan kasus tuberculosis. Tuberculosis adalah penyakit menular kronik yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Panduan ini menjelaskan definisi, gejala klinis, kriteria diagnosis, pemeriksaan penunjang, terapi, edukasi pasien, dan prognosis tuberculosis. Terapi utama adalah kombinasi obat antituberculosis selama 6 bulan untuk mencegah resistensi obat dan kegagalan pengobatan. Edukasi
Dokumen ini memberikan panduan praktik klinis untuk penatalaksanaan kasus tuberculosis. Tuberculosis adalah penyakit menular kronik yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Panduan ini menjelaskan definisi, gejala klinis, kriteria diagnosis, pemeriksaan penunjang, terapi, edukasi pasien, dan prognosis tuberculosis. Terapi utama adalah kombinasi obat antituberculosis selama 6 bulan untuk mencegah resistensi obat dan kegagalan pengobatan. Edukasi
Dokumen ini memberikan panduan praktik klinis untuk penatalaksanaan kasus tuberculosis. Tuberculosis adalah penyakit menular kronik yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Panduan ini menjelaskan definisi, gejala klinis, kriteria diagnosis, pemeriksaan penunjang, terapi, edukasi pasien, dan prognosis tuberculosis. Terapi utama adalah kombinasi obat antituberculosis selama 6 bulan untuk mencegah resistensi obat dan kegagalan pengobatan. Edukasi
TUBERCULOSIS (ICD X: A15) 1. Pengertian (Definisi) Suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga sering dikenal dengan Basil Tahan Asam (BTA). Sebagian besar kuman TB sering ditemukan menginfeksi parenkim paru dan menyebabkan TB paru, namun bakteri ini juga memiliki kemampuan menginfeksi organ tubuh lainnya (TB ekstra paru) seperti pleura, kelenjar limfe, tulang, dan organ ekstra paru lainnya. 2. Anamnesis 1. Batuk minimal 2 minggu 2. Batuk berdahak dapat bercampur darah 3. Dapat disertai nyeri dada/pleuritic chest pain bila disertai peradangan pleura 4. Sesak napas 5. Malaise 6. Penurunan berat badan 7. Menurunnya nafsu makan 8. Demam 9. Malaise 10.Berkeringat di malam hari 3. Pemeriksaan fisik 1. Demam, pada umumnya subfebris 2. Respiratory rate meningkat 3. BMI < 18,5 4. Inspeksi: bila lesi luas, dapat ditemukan bentuk dada tidak simetris 5. Palpasi: bila lesi luas , dapat ditemukan fremitus melemah 6. Perkusi: bila lesi luas, bisa didapatkan perkusi hipersonor pada pneumothorax atau perkusi pekak pada efusi pleura 7. Auskultasi: bila lesi luar, dapat ditemukan suara nafas bronkial dan ronki basah pada daerah paru yang mengalami konsolidasi, terutama di apex paru 4. Kriteria diagnosis 1. Pemeriksaan sputum BTA positif minimal 1 dari 2 sampel 2. Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) positif 3. Pemeriksaan bakteriologis negatif namun secara klinis dan foto thorax positif 5. Diagnosis kerja Tuberculosis (A15) 6. Diagnosis banding 1. Pneumonia 2. Jamur paru 3. Penyakit paru akibat kerja 4. Tumor/keganasan paru 5. Asma 7. Pemeriksaan penunjang 1. Sputum BTA dengan sputum pagi-sewaktu 2. Tes Cepat Molekuler (TCM) dengan sputum 1 sampel 3. Foto Thorax PA-Lateral: bisa didaptkan gambaran infiltrat umumnya pada apex, efusi pleura, pneumothorax, kavitas dan Pleuritis 4. Biakan kuman TB atas indikasi 5. Pemeriksaan darah rutin, fungsi hepar, fungsi ginjal, gula darah dan HIV 8. Terapi 1. a. Fase intensif: RHZE (Rifampisisn, Isoniazid, Pyrazinamid, Ethambutol) selama 2 bulan b.Fase lanjutan: RH (RIfampisin dan Isoniazid) selama 4 bulan 3. Untuk membantu dan mengevaluasi kepatuhan, harus dilakukan prinsip pengobatan yaitu: a. Sistem Patient-centred strategy, yaitu memilih bentuk obat, cara pemberian cara mendapatkan obat serta kontrol pasien sesuai dengan cara yang paling mampu laksana bagi pasien b. Pengawasan Langsung menelan obat (DOT/direct observed therapy) 4. Semua pasien dimonitor respon terapi dengan cara follow-up mikroskopis dahak (2 spesimen) pada saat: a. Akhir fase awal (setelah 2 bulan terapi), b. 1 bulan sebelum akhir terapi, dan pada akhir terapi. c. Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak positif pada 1 bulan sebelum akhir terapi dianggap gagal (failure) dan harus meneruskan terapi modifikasi yang sesuai. d. Evaluasi dengan foto toraks bukan merupakan pemeriksaan prioritas dalam follow up TB paru. 5. Catatan tertulis harus ada mengenai: a. Semua pengobatan yang telah diberikan, b. Respon hasil mikrobiologi c. Kondisi fisik pasien d. Efek samping obat 6. Di daerah prevalensi infeksi HIV tinggi, infeksi Tuberkulosis–HIV seringkali terjadi bersamaan sehingga tes dan konsultasi HIV diindikasikan sebagai bagian dari tatalaksana rutin. 7. Semua pasien dengan infeksi Tuberkulosis-HIV harus dievaluasi untuk: • Menentukan indikasi ARV pada tuberkulosis. • Inisiasi terapi tuberkulosis tidak boleh ditunda 8. Pasien infeksi tuberkulosis-HIV harus diterapi Kotrimoksazol apabila CD 4 < 200. Selama terapi: evaluasi foto setelah pengobatan 2 bulan dan 6 bulan 9. Edukasi 1. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai seluk beluk penyakit dan pentingnya pengawasan dari salah seorang keluarga untuk ketaatan konsumsi obat pasien 2. Berobat teratur hingga selesai 3. Risiko terjadi resistensi obat bila berobat tidak adekuat/ tuntas/berhenti sebelum selesai 4. Risiko terjadi efek samping OAT 5. Pencegahan penularan termasuk etika batuk 6. Kemungkinan komplikasi sehingga perlu dirujuk 7. Penunjukan Pengawas Menelan Obat (PMO) 8. Konsultasikan ke petugas kesehatan jika terjadi efek samping. 9. Jangan sampai menghentikan pengobatan secara sepihak 10.Pasien dirujuk bila : a. Efek samping berat b. Curiga resistensi obat c. Terjadi komplikasi/keadaan khusus (TB dengan komorbid) seperti TB pada orang dengan HIV, TB dengan penyakit metabolik 11. Pelaporan kasus TB sesuai pedoman a. Mengisi form TB01 b. Menjadi bagian dari jejaring DOTS di wilayahnya. 10. Penelaah Kritis Dokter Spesialis Paru 11. Prognosis Dubia: tergantung derajat berat, kepatuhan pasien, sensitivitas bakteri, gizi, status imun, dan komorbiditas. Baik bila pasien patuh menelan obat, dalam waktu 6 bulan. 11. Kepustakaan 1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2020. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia revisi Pertama. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia