13/iii/PPK/IV/2023 00 1/8 Tanggal terbit Ditetapkan oleh : Direktur RS PANDUAN PRAKTEK KLINIK
10 April 2023 dr. H. Badarul Muchtar WD, Sp. OG
1. PENGERTIAN 1. Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit infeksi di paru (DEFINISI) yang disebabkan oleh kuman dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis (MTB). Sumber penularan utama adalah pasien TB BTA (Bakteri / Basil Tahan Asam) Positif melalui percik renik dahak yang dikeluarkannya 2. Terduga (Presumptive) TB adalah seseorang yang mempunyai keluhan atau gejala klinis mendukung 3. Pasien TB dengan konfirmasi bakteriologis adalah pasien TB yang terbukti positif bakteriologi pada hasil pemeriksaan. Termasuk dalam tipe tersebut adalah : a. Pasien TB paru BTA positif b. Pasien TB paru hasil biakan MTB positif c. Pasien TB paru hasil tes cepat MTB positif d. Pasien TB ekstra paru terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis 4. Pasien TB berdasarkan diagnosis klinis adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB. Termasuk dalam tipe pasien ini adalah : a. Pasien TB paru BTA/ Tes Cepat Molekuler (TCM) negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks mendukung TB b. Pasien TB paru BTA/ Tes Cepat Molekuler (TCM) negatif dengan tidak ada perbaikan klinis setelah diberikan antibiotika non (Obat Anti Tuberkulosis) OAT dan mempunyai faktor risiko TB c. Pasien TB ekstra paru yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis d. Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis jika dikemudian hari terkonfirmasi secara bakteriologis harus diklasifikasi ulang menjadi pasien TB terkonfirmasi bakteriologis 5. Klasifikasi TB : a. Berdasarkan lokasi anatomis a) TB paru: kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau trakeobronkial b) TB ekstra paru: kasus TB yang melibatkan organ di luar parenkim paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran genitorurinaria, kulit, sendi dan tulang, serta selaput otak b. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya a) Kasus baru : belum pernah dapat OAT sebelumnya atau riwayat mendapatkan OAT dengan total dosis kurang dari 28 hari b) Kasus dengan riwayat pengobatan: pernah mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih c) Kasus kambuh: pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir pengobatan dan saat ini ditegakkan diagnosis TB kembali d) Kasus pengobatan setelah gagal: sebelumnya sudah pernah mendapatkan OAT namun dinyatakan gagal pada akhir pengobatan e) Kasus setelah loss to follow up: pernah menelan OAT 1 bulan atau lebih dan tidak meneruskannya selama lebih dari 2 bulan berturut f) Kasus lain-lain: sebelumnya pernah mendapat OAT dan hasil akhir pengobatan tidak diketahui g) Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui: pasien yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya c. Berdasarkan hasil uji kepekaan obat a) Monoresistan: resistan terhadap salah satu OAT lini pertama b) Poliresistan: resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan c) Multidrug resistant (TB MDR): minimal resistan terhadap isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan d) Pre-XDR: resistans terhadap salah satu obat golongan fluorokuinolon atau salah satu OAT injeksi lini dua e) Extensive drug resistant (TB XDR): TB MDR yang resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan salah satu OAT injeksi lini kedua d. Berdasarkan status HIV (Human Immunodeficiency Virus) a) TB dengan HIV positif b) TB dengan HIV negatif c) TB dengan status HIV tidak diketahui f. ANAMNESIS 1. Batuk berdahak > 2 – 3 minggu 2. Batuk darah 3. Sesak nafas 4. Nyeri dada 5. Demam subfebris > 1 bulan 6. Lemah badan 7. Penurunan nafsu makan 8. Penurunan berat badan 9. Keringat malam tanpa kegiatan fisik Gejala di atas dapat tidak muncul secara khas pada pasien dengan koinfeksi HIV. Selain gejala tersebut, perlu digali riwayat lain untuk menentukan faktor risiko seperti kontak erat dengan pasien TB, lingkungan tempat tinggal kumuh dan padat penduduk, dan orang yang bekerja di lingkungan berisiko menimbulkan pajanan infeksi paru (misalnya tenaga kesehatan atau aktivis TB) 3. PEMERIKSAAN 1. Tampak sakit sedang sampai berat FISIK 2. Tampak sesak dengan frekuensi napas > 20x/ menit 3. Suhu badan normal sampai Hipertermi 4. Pada paru: a. Inspeksi: pergerakan dinding dada bisa simetris dan tertinggal pada salah satu hemithoraks b. Palpasi: stem fremitus normal sampai meningkat c. Auskultasi: suara napas bronkovesikuler sampai bronkial dapat disertai ronki kasar tergantung luas lesi 5. Umumnya pada pemeriksaan tidak spesifik 4. PEMERIKSAAN 1. Pemeriksaan sputum Tes Cepat Molekular (TCM) PENUNJANG geneXpert MTB/RIF (Mycobacterium tuberculosis / Rifampisin) 2. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung Sewaktu – Pagi (S-P) 3. Pemeriksaan Radiologis : Foto toraks PA (Postero- Anterior) / AP (Antero-Posterior) / Toplordotik bila diperlukan 4. Pemeriksaan khusus : kultur MTB media padat LJ (Lowenstein Jensen) atau cair MGIT (Mycobacterium Growth Indicator tube) 5. Pemeriksaan penunjang lainnya : Laju Endap Darah (LED) > 20 mm/jam 5. KRITERIA 1. Anamnesa DIAGNOSIS 2. Pemeriksaan fisik 3. Pemeriksaan sputum Tes Cepat Molekular (TCM) geneXpert MTB/RIF: bila hasil MTB detected, Rifampicin sensitif, diterapi dengan TB DOTS (Directly Observed Treatment Short-course), dan bila MTB detected Rifampicin resisten, diterapi sesuai dengan TB RO (Resisten Obat) 4. Pemeriksaan sputum mikroskopis langsung Sewaktu- Pagi (S-P) 5. Pemeriksaan biakan sputum dengan media padat (LJ) atau cair (MGIT) 6. Pemeriksaan foto torak didapatkan gambaran khas TB paru, dengan hasil sebagai berikut : a. Lesi minimal (Minimal lesion): Lesi minimal terjadi bila proses tuberkulosis paru hanya mengenai sebagaian kecil dari satu ataupun dua paru dengan luas yang tidak melebihi volume paru yang terletak di chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau vertebra torakalis V dan tidak ditemukan adanya kavitas b. Lesi sedang (Moderatly advanced lesion): Lesi sedang terjadi apabila proses tuberkulosis paru lebih luas dibandingkan lesi minimal dan dapat menyebar dengan densitas sedang. Luas proses yang terjadi tidak boleh lebih luas dari satu paru, atau jumlah seluruh proses yang terjadi paling banyak seluas satu paru, atau apabila proses tuberkulosis yang terjadi mempunyai densitas lebih padat dan lebih tebal maka proses tersebut tidak boleh lebih dari sepertiga luasnya pada satu paru. Proses ini dapat/tidak dapat disertai dengan kavitas. Bila disertai dengan kavitas, maka diameter semua kavitas tidak boleh lebih dari 4 cm c. Lesi luas (Far advanced): Kelainan yang terjadi lebih luas daripada lesi sedang 6. DIAGNOSIS KERJA 1. TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis / TB Paru Terkonfirmasi Klinis : TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis (ICD 10: A15.0) adalah pasien TB yang terbukti positif pada hasil pemeriksaan contoh uji biologinya (sputum dan jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis langsung, TCM TB, atau biakan 2. TB Paru Terkonfirmasi Klinis (ICD 10: A 16.0) : adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter yang terlatih TB, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB sesuai klinis dan pemeriksaan penunjang 7. DIAGNOSIS 1. TB Paru Resisten Obat BANDING 2. MOTT (Mycobacteria Other Than Tuberculosis) 3. Pneumonia 4. Infeksi jamur paru 5. Tumor paru 6. ILD (Interstitial Lung Disease) 7. ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) 8. ALO (Acute Lung Oedema) 8. TERAPI 1. Prinsip pengobatan TB yang adekuat meliputi: a. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan obat yang meliputi minimal empat macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis) b. OAT diberikan dalam dosis yang tepat c. OAT ditelan secara teratur dan diawasi oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) hingga masa pengobatan selesai d. OAT harus diberikan dalam jangka waktu yang cukup, meliputi tahap awal / fase intensif dan tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan e. OAT terdiri dari : Rifampicin (R), Isoniazid / INH (H), Pyrazinamide (Z), dan Ethambutol (E) 2. Pengobatan tuberkulosis standar untuk TB-SO (Tuberkulosis Sensitif Obat) dibagi menjadi: a. Pasien baru : Paduan obat yang dianjurkan 2RHZE/4RH dengan pemberian dosis setiap hari. b. Pada pasien dengan riwayat pengobatan TB lini pertama, Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji kepekaan secara individual. Perlu dilakukan uji kepekaan obat, pasien dapat diberikan OAT kategori 1 selama menunggu hasil uji kepekaan. Pengobatan selanjutnya disesuaikan dengan hasil uji kepekaan c. Pasien dengan TB-SO diobati menggunakan OAT lini pertama. Untuk menunjang kepatuhan berobat, paduan OAT lini pertama telah dikombinasikan dalam obat Kombinasi Dosis Tetap (KDT), setiap hari, dan diberikan dosis sebagai berikut: a) Fase intensif setiap hari dengan KDT RHZE (150/75/400/275) dan Fase lanjutan setiap hari dengan KDT RH (150/75) Berat Badan (Kg) Selama 8 minggu Selama 16 minggu 30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet ≥ 55 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 3. Terapi Pada Kondisi Khusus a. TB Milier a) Regimen OAT untuk TB milier sama seperti TB paru b) Kortikosteroid diberikan pada keadaan berat atau ada dugaan keterlibatan meningen atau perikardium, atau ada sesak napas, tanda atau gejala toksik, dan demam tinggi c) Pengobatan fase lanjutan dapat diperpanjang sampai 12 bulan 4. Efusi Pleura TB a. Cairan dievakuasi seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan b. Dapat diberikan kortikosteroid dengan cara tappering off 5. TB Paru dengan Diabetes Melitus (DM) a. Panduan OAT dan lama pengobatan sama dengan syarat kadar gula darah terkontrol b. Apabila kadar gula tidak terkontrol, lama pengobatan dapat dialnjutkan sampai 9 bulan c. Penggunaan INH pada pasien TB dengan DM harus lebih ketat dipantau efek neuropati perifer 6. TB Paru dengan HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodeficiency Syndrome) a. Pada dasarnya pengobatan sama dengan pengobatan TB Tanpa HIV/AIDS b. OAT diberikan segera dan ARV (Anti Retro Viral) dalam 8 minggu pemberian OAT tanpa mempertimbangkan kadar CD4 c. Setiap penderita TB-HIV diberikan profilaksis kotrimoksazol dosis 960 mg/hari 7. TB Paru pada kehamilan a. Obat anti TB lini pertama (RHZE) aman digunakan selama kehamilan, kecuali streptomisin yang bersifat ototoksik pada fetus b. Pada pasien TB yang menyusui, OAT dan ASI (Air Susu Ibu) tetap dapat diberikan c. Tidak ada indikasi pengguguran pada pasien TB dengan kehamilan d. Rifampicin dapat menyebabkan efektivitas obat kontrasepsi hormonal berkurang 8. TB Paru pada Gagal Ginjal a. INH dan Rifampisin tidak memerlukan penyesuaian dosis b. Pemberian Ethambutol a) Klirens kreatinin 30-60 mL/min : dosis 15 mg/kg dapat diberikan tiap hari b) Klirens kreatinin 10-29 mL/min: dosis 15 mg/kg diberikan 2 hari sekali c) Klirens kretainin < 10 mL/min : dosis 15mg/kg diberikan 2 hari sekali d) Hemodialisa (HD) : Diberikan 3 kali seminggu setelah HD c. Pemberian Pyrazinamide a) Klirens kreatinin 30-60 mL/min : Tidak perlu penyesuaian dosis b) Klirens kreatinin 10-29 mL/min : diberikan 2 hari sekali c) Klirens kreatinin <10 mL/min : diberikan seminggu 3 kali d) Hemodialisa (HD) : diberikan 3 kali seminggu setelah HD e) Streptomycin diberikan dengan dosis 15 mg/kgBB 2-3 kali seminggu dengan dosis maksimal 1 gram 9. TB Paru dengan kelainan Hati a. Apabila terdapat hepatitis akut (akibat virus) yang tidak berkaitan dengan penyakit TB, pengobatan TB dapat ditunda sampai keadaan akut tersebut menyembuh b. Bila klinis (+), ikterik (+), gejala mual , muntah (+) OAT Stop c. Bila Bilirubin meningkat > 2, OAT stop d. Bila gejala (+), SGOT dan SGPT meningkat lebih sama dengan 3 kali, OAT Stop e. Bila gejala (-), SGOT dan SGPT meningkat lebih sama dengan 3 kali, OAT diberikan dengan pengawasn f. Bila gejala (-), SGOT dan SGPT meningkat lebih sama dengan 5 kali: OAT Stop g. Apabila Hepatitis Imbas Obat telah teratasi maka OAT dapat di coba satu persatu. Pemberian Obat sebaiknya dimulai dengan Rifampisin yang jarang menyebabkan Hepatotoksik dibandingkan Isoniazid atau Pirazinamid. Setelah 3 – 7 hari baru Isoniazid diberikan. Pasien dengan riwayat Jaundince, tetapi dapat menerima Rifampisin dan Isoniazid, sebaiknya tidak lagi mendapatkan pirazinamid h. Jika terjadi hepatitis lanjutan dan hepatitis sudah teratasi maka OAT dapat diberikan kembali (isonoazid dan rifampisin) untuk menyelesaikan fase lanjutan selama 4 bulan. 10. Evaluasi Pengobatan a. Evaluasi Klinis : Peningkatan Berat Badan (BB), Pengurangan Keluhan, dan lainnya b. Bakteriologi c. Radiologi ( 0 – 2 – 6/8 bulan pengobatan) d. Efek Samping Obat (ESO) dan keteraturan berobat 9. EDUKASI 1. Edukasi tentang terapi OAT dan efek sampingnya 2. Edukasi tentang Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) dengan cuci tangan dan etika batuk 3. Edukasi kontrol lingkungan (cara batuk, masker, ventilasi) 4. Edukasi PMO (Pengawas Menelan Obat) 5. Evaluasi terapi (pemeriksaan sputum dan foto toraks sesuai program) 6. Edukasi kontrol rutin poli rawat jalan 7. Edukasi sosial (pencarian kontak serumah) 10. PROGNOSIS Ad vitam : dubia ad bonam / malam Ad sanationam : dubia ad bonam / malam Ad fungtionam : dubia ad bonam / malam 11. TINGKAT I EVIDENS 12. TINGKAT A REKOMENDASI 13. PENELAAH DPJP Spesialis Paru KRITIS Komite Medik 14. INDIKATOR 80% pasien TB tegak diagnosis dan terapi dalam 7 hari 15. KEPUSTAKAAN 1. Tuberkulosis, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, PDPI, 2021 2. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, DEPKES, 2014 3. International Standards for TB Care, 2014 4. Peraturan Menteri Kesehatan no. 67 tentang Penanggulangan Tuberkulosis, 2016 5. Global Tuberculosis Report, WHO, 2019