Anda di halaman 1dari 66

LAMPIRAN

PERATURAN DIREKTUR RS SANTA ANNA


Nomor 104.PERDIR.SA.ARK.II.2018
Tentang
AKSES KE RUMAH SAKIT DAN
KONTINUITAS PELAYANAN

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
2018-2020
RUMAH SAKIT SANTA
ANNA KENDARI
PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

DIARE AKUT (ICD 10: A09.9 )


1. Pengertian (definisi) Diare akut adalah buang air besar (defekasi) yang ditandai
dengan perubahan defekasi lebih dari biasanya (> 3 kali
sehari) yang disertai dengan perubahan konsistensi tinja
dengan/tanpa darah dan/atau lendir yang terjadi dengan onset
mendadak dan berlangsung kurang lebih selama 7 hari..
2. Anamnesis Adanya perubahan pola defekasi dan perubahan konsistensi
tinja (cair) yang terjadi mendadak dapat disertai dengan atau
tanpa darah maupun lendir.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan umum biasanya bervariasi, dari baik hingga
buruk (bila dalam keadaan dehidrasi berat).
2. Suara bising usus meningkat
3. Pada keadaan yang berat, terdapat tanda-tanda dehidrasi:
- Kehilangan turgor kulit.
- Denyut nadi melemah.
- Takikardia.
- Mata cekung.
- Ubun-ubun besar cekung (pada bayi).
- Suara parau.
- Kulit dingin.
- Sianosis (jari).
- Selaput lender kering.
- Anuria.
4. Kriteria Diagnosis 1. Peningkatan frekuensi BAB (>3x sehari).
2. Perubahan konsistensi feses yang disertai/tanpa disertai
darah/lendir.
3. Pada keadaan yang berat terdapat tanda-tanda dehidrasi.
5. Diagnosis Kerja Diare Akut.
6. Diagnosis Banding 1. Diare kronik.
2. Diare persisten.
3. Disentri.
7. PemeriksaanPenunjang Pemeriksaan feces lengkap
8. Terapi A. Penggantian cairan dan elektrolit.
Dapat diberikan rehidrasi oral yang harus dilakukan pada
semua pasien kecuali yang tidak dapat minum atau yang
terkena dehidrasi berat yang memerlukan hidrasi
intravena.
B. Antibiotik.
Pemberian antibiotic diindikasikan pada pasien dengan
gejala dan tanda diare infeksi seperti demem, feces
berdarah, dan pasien immunocompromised. Antibiotika
yang dapat diberikan adalah golongan
trimetroprim/sulfametokzasol, tetrasiklin atau
eritromicin.
C. Obat-obat anti diare
Obat-obat ini dapat mengurangi gejala-gejala. A) yang
paling efektif adalah derivate opiad misal loperamid.
Obat antimotilitas penggunaannya harus hati-hati pada
pasien disentri yang panas bila tanpa disertai anti
mikroba karena dapat memperlama proses
penyembuhan. B). obat yang mengeraskan tinja:
ataplugit 4x2 tablet/hari.
D. Pemberian tablet seng selama 10-14 hari dengan dosis
10mg pada usia <6 bulan dan 20 mg bila> 6 bulan.
E. Pemberian probiotik sebagai terapi supportif, lacto-B.
F. Bila terdapat tanda-tanda dehidrasi berat, lakukan
resusitasi cairan dan stabili pasien lalu segera rujuk
pasien untuk penanganan lebih lanjut.
9. Edukasi 1. Monitoring tanda-tanda dehidrasi pada pasien di rumah.
2. Jaga higienitas lingkungan dan perorangan.
10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam
Ad Sanationam : dubio ad bonam
Ad fungsionam : dubio ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. dr. Jimmy Ronald Joseph
2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa

14. Indikator Medis 1. Frekuensi defekasi berkurang hingga normal.


2. Konsistensi feses membaik/memadat.
3. Tanda-tanda dehidrasi membaik.
4. Bising usus kembali normal.
15. Kepustakaan 1. Bakta, I Made, dkk. Gawat Darurat di Bidang Penyakit
Dalam. Buku Kedokteran ECG. 1998.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
2018-2020
RUMAH SAKIT SANTA ANNA
KENDARI
PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

VULNUS APPERTUM (ICD10: T14.1)


1. Pengertian (definisi) Adalah kerusakan anatomi karena hilangnya kontinuitas
jaringan oleh sebab dari luar yang terbuka dengan tepi
beraturan maupun tidak beraturan.
2. Anamnesis Adanya luka terbuka yang disebabkan oleh adanya trauma.
3. Pemeriksaan Fisik - Adanya luka terbuka
- Adanya perdarahan pada luka.
- Luka dapat bervariasi berdasarkan kedalaman dan
luasnya luka:
 Stadium I: luka superficial, yaitu luka yang terjadi
pada lapisan epidermis kulit.
 Stadium II: luka “partial thickness”, yaitu hilangnya
lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas
dari dermis, merupakan luka superficial dengan
adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang
yang dangkal.
 Stadium III: luka full thickness, yaitu hilangnya kulit
keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis
jaringan subkutan yang dapat meluas sampai luka
bawah tetapi tidak melewati jaringan yang
mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan
epidermis, dermis dan fascia tetapi tidak mengenai
otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang
yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan
sekitar.
 Stadium IV: luka full thicknes yang telah mencapai
lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya
destruksi/kerusakan yang luas.
4. Kriteria Diagnosis -
5. Diagnosis Kerja Vulnus appertum
6. Diagnosis Banding -
7. PemeriksaanPenunjang -
8. Terapi  Lakukan perawatan luka.
 Pemberian analgetik asam mefenamat 3x500 mg.
 Pemberian antibiotic profilaksis amoksisilin 3x500 mg
9. Edukasi Informasikan kepada pasien untuk menjaga kebersihan
luka dan control setiap 2 hari sekali pada poliklinik
Kulit dan Kelamin.
10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam
Ad Sanationam : dubio ad bonam
Ad fungsionam : dubio ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. dr. Jimmy Ronald Joseph
2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa

14. Indikator Medis  Perdarahan pada luka berhenti.


 Terjadinya perbaikan luka setiap 2 hari kontrol.
15. Kepustakaan 1. Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar
Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
2018-2020
RUMAH SAKIT SANTA ANNA
KENDARI
PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

ASMA AKUT BERAT (ICD 10: J45.9 )


1. Pengertian (definisi) Suatu keadaan darurat medik berupa serangan sesak nafas
berat yang kemudian bertambah berat dan refrakter bila
setelah 1 – 2 jam pemberian obat tidak ada perbaikan atau
malah memburuk.
2. Anamnesis 1. Sesak nafas mendadak & bertambah berat
2. Sudah minum obat sesak tapi tidak membaik
3. Riwayat menderita asma yang lama
4. Pernah mengalami serangan asma sejenis sebelumnya
5. Riwayat menggunakan terapi steroid jangka panjang
3. Pemeriksaan Fisik Asma akut berat yang potensial mengancam jiwa:
1. Sesak nafas berat disertai bising mengi
2. Sesak nafas hingga tidak mampu menyelesaikan satu
kalimat dalam sekali nafas
3. Terlihat retraksi otot bantu nafas
4. Frekwensi nafas > 25 x / menit
5. Takikardi ( > 110 x / menit )
6. Pulsus paradoksus ( penurunan tek. darah sistolik
pada saat inspirasi > 10 mmHg )
7. APE < 50 % dari nilai dugaan
Asma akut berat yang sudah mengancam jiwa:
1. Suara nafas melemah (silent chest)
2. Sianosis
3. Bradikardi / Hipotensi
4. Kelelahan, bingung, gelisah, kesadaran menurun
5. APE < 33 % dari nilai terbaik
4. Kriteria Diagnosis 1. Sesak nafas berat disertai bising mengi
2. Tidak bisa menyelesaikan kalimat dalam 1 kali nafas
3. RR > 25x / mnt, takikardi (>110x / mnt)
4. Retraksi otot-otot bantu nafas
5. Riwayat gejala berulang
5. Diagnosis Kerja Asma akut berat / status asmatikus
6. Diagnosis Banding 1. Bronkitis Kronis
2. Emfisema Paru
3. Emboli Paru
4. Gagal Jantung Kiri Akut
7. PemeriksaanPenunjang 1. Analisis gas darah arteri
2. APE / Flowmeter
3. Foto thorax
4. EKG
8. Terapi 1. O2 dosis tinggi 4-6 lt / mnt untuk mencegah
hipoksemia
2. Bronkodilator (disesuaikan dengan obat yang ada)
a. Inhalasi agonis β2 dosis tinggi, seperti
Salbutamol 2,5-5 mg / Terbutalin 2,5-5 mg secara
nebulisasi, dapat diulang @ 20 menit dalam 1
jam.
b. Injeksi Adrenalin 1/1000, subcutan 0,2-0,5 cc,
dapat diulang sampai 2-3X dengan interval 30-60
menit, harus diberikan dengan sangat hati-hati ,
kecuali ada kontra indikasi terhadap obat ini
( penderita hipertensi, hipertiroid, kelainan
jantung, usia lanjut > 40 thn).
c. Aminopilin injeksi 5-6 mg / kgBB diencerkan
dalam Dext 5% sama banyak, secara intravena,
bolus perlahan dalam 10-15 mnt atau dalam infus
100 cc DExt 5% NaCl 0,9% dalam waktu 20
menit.
d. Antikolinergik : Ipatropium bromid dapat
digunakan sendiri atau kombinasi dengan agonis
β2 melalui inhalasi dengan nebulisasi.
Penambahan ini tidak diperlukan bila respon
dengan agonis β2 sudah cukup baik.
3. Kortikosteroid sistemik dosis tinggi harus segera
diberikan pada serangan asma berat yaitu
Hidrokortison 200 mg iv atau metil prednisolon injeksi
/ tablet 30-60 mg, atau keduanya.
4. Setelah dilakukan pengobatan awal dengan
bronkodilator dan steroid, dilakukan evaluasi @ 15
menit terhadap klinis penderita. Setelah 30 menit
evaluasi, jika tidak membaik, maka penderita dirujuk
ke RSU Wangaya / RSUP Sanglah. Tapi bila
membaik, penderita dapat dipulangkan dengan
pemberian obat oral (Salbutamol 4 mg 3x1, dan metil
prednisolon 4 mg 3x1).

9. Edukasi 1. Penderita dianjurkan untuk control ke poliklinik


interna / dokter yang biasa merawat ( pada pasien yang
dipulangkan).
2. Penderita sebaiknya menghindari allergen yang dapat
memicu timbulnya asma (serbuk sari bunga, anjing,
kucing, debu rumah, udara dingin, asap rokok, dll).
3. Mengupayakan aktivitas harian pada tingkat yang
normal termasuk dalam melakukan exercise.
4. Menghindari efek samping obat asma untuk mencegah
obstruksi jalan nafas yang irreversibel.

10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam


Ad Sanationam : dubio ad bonam
Ad fungsionam : dubio ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. dr. Jimmy Ronald Joseph
2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa

14. Indikator Medis 1. Sesak nafas berkurang.


2. Respiratory Rate kembali normal.
3. Retraksi dinding dada berkurang.
15. Kepustakaan 1. Bakta, I Made, dkk. Gawat Darurat di Bidang Penyakit
Dalam. Buku Kedokteran ECG. 1998.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
2018-2020
RUMAH SAKIT SANTA ANNA
KENDARI
PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

STATUS KONVULSI / EPILEPTIKUS (ICD 10: G41.9) )


1. Pengertian (definisi) Status konvulsi adalah keadaan dimana terjadinya dua atau
lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran
diantara kejang, atau serangan yang berlangsung terus
menerus selama 30 menit atau lebih.
2. Anamnesis  Lama kejang
 Sifat kejang (fokal, umum, tonik/klonik)
 Tingkat kesadaran diantara kejang
 Riwayat kejang sebelumnya, riwayat kejang dalam
keluarga
 Riwayat epilepsi, dan pengobatannya
 Panas, trauma kepala
 Riwayat persalinan, tumbuh kembang
 Penyakit yang sedang diderita
3. Pemeriksaan Fisik  Tingkat kesadaran
 Pupil
 Refleks fisiologis dan patologi
 Ubun-ubun besar
 Tanda-tanda perdarahan
 Lateralisasi.
 Aktivitas susunan saraf simpatis: takikardi, hipertensi,
keringat berlebihan, hipersalivasi.
 Papilledema, tanda peningkatan tekanan intrakranial.
 Fitur neurologis juga tampak seperti tonus yang
meningkat dan refleks asimetris.
4. Kriteria Diagnosis  dua atau lebih rangkaian kejang yang berurutan
 dimana tidak ada pemulihan kesadaran diantara kejang
 atau aktivitas kejang yang terus-menerus
 selama lebih dari 30 menit.
5. Diagnosis Kerja Status Konvulsi/Epileptikus
6. Diagnosis Banding 1. Ensefalitis
2. Heat stroke
3. Gangguan elektrolit (Hipernatremi, Hipokalsemi,
Hipoglikemi
4. Sindrom Neuroleptik Maligna
7. PemeriksaanPenunjang 1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Kadar obat antikonvulsan
b. Lumbal Punksi
c. Kimia darah rutin
2. EEG
3. Brain Imaging
Brain imaging dengan menggunakan CT Scan dapat
menentukan tempat lesi di otak. Jika pemeriksaan CT
menunjukkan keadaan yang normal, maka dilanjutkan
dengan pemeriksaan MRI untuk lebih mengkonfirmasi
adanya lesi di otak.
8. Terapi Stadium I (0-10 menit):
- Memperbaiki fungsi kardio-respiratorik
- Memperbaiki jalan nafas, pemberian oksigen,
resusitasi
Stadium II (0-60 menit):
- Memasang infus pada pembuluh darah besar
- Mengambil 50-100 cc darah untuk pemeriksaan lab
- Pemberian OAE emergensi : Diazepam 10-20 mg iv
(kecepatan pemberian < 2-5 mg/menit atau rectal
dapat diulang 15 menit kemudian.
- Memasukan 50 cc glukosa 40% dengan atau tanpa
thiamin 250 mg intravena.
- Menangani asidosis
Stadium III (0-60 - 90 menit):
- Menentukan etiologi
- Bila kejang berlangsung terus 30 menit setelah
pemberian diazepam pertama, beri phenytoin iv 15-
18 mg/kgBB dengan kecepatan 50 mg/menit
- Memulai terapi dengan vasopresor bila diperlukan
- Mengoreksi komplikasi
9. Edukasi -
10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam
Ad Sanationam : dubio ad bonam
Ad fungsionam : dubio ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. dr. Jimmy Ronald Joseph
2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa
.

14. Indikator Medis 1. Tingkat kesadaran membaik


2. Kejang berhenti
3. Tanda-tanda vital membaik.
15. Kepustakaan 1. Standar Pelayanan Medik PERDOSSI
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
2018-2020
RUMAH SAKIT SANTA ANNA
KENDARI
PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

LUKA BAKAR (ICD 10: T20-32.0-3 )


1. Pengertian (definisi) Luka bakar adalah luka yang terjadi akibat sentuhan
permukaan tubuh dengan benda-benda yang menghasilkan
panas (api, air panas, listrik) atau zat-zat yang bersifat
membakar (asam kuat, basa kuat)
2. Anamnesis Adanya riwayat sentuhan/paparan dengan benda-benda
yang menghasilkan panas atau zat-zat yang bersifat
membakar disertai tanda-tanda luka bakar pada permukaan
tubuh
3. Pemeriksaan Fisik 4. Keadaan umum biasanya bervariasi, dari baik hingga
buruk
5. Adanya tanda-tanda luka bakar dapat disertai benda, zat
atau bahan yang menyebabkan luka bakar pada
permukaan tubuh
6. Derajat luka bakar ditentukan oleh kedalaman luka
bakar. Beratnya luka bakar bergantung pada dalam,
luas, dan daerah luka. Umur dan keadaan kesehatan
penderita sebelumnya mempengaruhi prognosis
4. Kriteria Diagnosis Luka bakar dinyatakan dengan derajat
- Derajat I : Hanya mengenai lapisan luar epidermis.
Kulit merah,sedikit edema dan nyeri.Tanpa terapi
sembuh dalam 2-7 hari
- Derajat II : Mengenai epidermis dan sebagian
dermis.Terbentuk bullae, edema dan nyeri hebat. Bila
bullae pecah tampak daerah merah yang banyak
mengandung eksudat. Sembuh dalam 3-4 minggu
- Derajat III : Mengenai seluruh lapisan kulit dan
mungkin subkutis atau lapisan yang lebih dalam.
Tampak lesi pucat kecoklatan dengan permukaan lebih
rendah daripada bagian yang tidak terbakar. Bila akibat
kontak langsung dengan nyala api terbentuk lesi yang
kering denga gambaran koagulasi seperti lilin
dipermukaan kulit. Tak ada rasa nyeri. Akan sembuh
dalam 3 – 5 bulan dengan sikatrik

Luas luka bakar : berdasarkan rumus Lund dan Browder


untuk anak-anak sedangkan dewasa dihitung menurut rumus
Rule of Nine

Derajat luka bakar :


A.Ringan:
- Luka bakar derajat I
- Luka bakar derajat II dengan luas < 15 %
- Luka bakar derajat III dengan luas < 2 %
B.Sedang
- Luka bakar derajat II dengan luas 10 - 15%
- Luka bakar derajat III denga luas 5 – 10 %
C. Berat
- Luka bakar derajat II dengan luas > 20 %
- Luka bakar derajat II yang mengenai wajah, tangan, kaki
dan alat kelamin atau persendian sekitar ketiak
- Luka bakar derajat III dengan luas > 10 %
- Luka bakar akibat listrik dengan tegangan > 1000 volt
- Luka bakar dengan komplikasi patah tulang, kerusakan
luas jaringan, lunak atau gangguan jalan nafas

5. Diagnosis Kerja Combustio


6. Diagnosis Banding --
7. PemeriksaanPenunjang --
8. Terapi A. Pertolongan pertama
- Matikan api dengan memutuskan hubungan (suplai)
dengan oksigen dengan menutup tubuh penderita
dengan selimut, handuk, sprei dan lain-lain
- Lakukan pendinginan (untuk kejadian sebelum 1 jam)
dengan merendam dalam air dingin (20 - 30 C) atau
air yang mengalir selama 20 – 30 menit. Untuk daerah
wajah cukup dikompres dengan air
B. Untuk luka bakar derajat ringan, yaitu :
- Luka bakar derajat I
- Luka bakar derajat II dengan luas < 15 %
- Luka bakar derajat III dengan luas < 2 %
Dapat diterapi / dirawat sebagai berikut : bila ada bullae
dapat dipecahkan dengan membuat sayatan tetapi tidak
dibulektomi sealnjutnya diberikan antiseptik (dermazin)
dan luka ditutup dengan verban / kain bersih dan tidak
melekat pada luka. Perawatan dirumah diberikan
antiseptik dan kalau perlu diberikan analgetik dan
antibiotik untuk mencegah infeksi. Selanjutnya pasien
dipulangkan dan bisa kontrol di Poli Kulit RS Indera.
C. Untuk luka bakar derajat sedang dan berat dirujuk ke
RSUP Sanglah dengan tindakan Life Saving bila
diperlukan
9. Edukasi 1. Monitoring tanda-tanda nyeri dan keadaan umum
penderita pada luka bakar derajat ringan yang
dipulangkan dan dapat kontrol di Poli Kulit RS Indera
2. Jaga higienitas lingkungan dan perorangan.
10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam
Ad Sanationam : dubio ad bonam
Ad fungsionam : dubio ad malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. dr. Jimmy Ronald Joseph
2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa

14. Indikator Medis 1. Nyeri berkurang


2. Tidak adanya penyulit yang timbul terutama tanda-
tanda vital
15. Kepustakaan 1. Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar
Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
2018-2020
RUMAH SAKIT SANTA ANNA
KENDARI
PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

SYOK ANAFILAKTIK (ICD 10: T78.2)


1. Pengertian (definisi) Syok yang terjadi akibat reaksi hipersensitivitas I,segera atau
sampai 30 menit setelah terjadi kontak dengan allergen
2. Anamnesis 1. Riwayat alergi obat,makanan,dan lainnya.
2. Riwayat pemakaian obat-obatan terutama injeksi.
3. Terdapat gejala umum: lesu,lemah,rasa tak enak di dada
dan perut,rasa gatal di hidung dan palatum,
Pernafasan:hidung:hidung
gatal,bersin,tersumbat,laring :rasa tercekik,suara
serak,bronkus :batuk, sesak,
kardio :pingsan ,gastrointestinal :mual,muntah,diare,mat
a;gatal,SSP: gelisah,kejang
4. Pemeriksaan Fisik 1. Tingkat kesadaran
2. Vital sign:TD:hipotensi,N:Takikardi,RR:Nafas cepat
3. Laring:stridor,edema,spasme,Lidah :Edema,
4. Bronkus:Mengi,spasme,
5. kardio:takikardi,hipotensi,aritmia,
6. Gastrointestinal :peristaltik meninggi,
7. Kulit: Urtikaria,angioedema
dibibir,muka,ekstremitas
8. Mata:lakrimasi, SS
5. Kriteria Diagnosis 1.Anamnesis
2.Pemeriksaan fisik
3.Pemeriksaan penunjang
6. Diagnosis Kerja Syok Anafilaktik
7. Diagnosis Banding 1. Reaksi Vasovagal
2. Infark Miokard
3.Reaksi Hipoglikemik
4.Asma Bronkiale
5. Rhinitis Alergika
8. PemeriksaanPenunjang 1.AGD (Analisis Gas Darah)
2.Tes Gula Darah
3.Tes Fungsi Ginjal
4.EKG
5. Rontgen thorax
9. Terapi 1. Menghentikan allergen yang dicurigai segera
2. Menempatkan penderita pada posisi syok (kedua
tungkai diangkat ke atas
3. Mempertahankan jalan nafas dan pemberian oksigen
100%
4. Memperbaiki volume darah,pasang infuse,gunakan
cairan kristaloid (Nacl 0.9%,RL),Koloid
(HES,Albumin)
5. Memberikan epinefrin 0.25 mg SC setiap 15 menit
sesuai beratnya gejala,penderita mengalami presyok
atau syok dapat diberikan dosis 0.3-0.5 mg pada
dewasa (pengencer 1:1000),dapat diulang setiap 15
menit hingga tekanan darah sistolik mencapai 90-
100 mmHg
6. Terapi sekunder
- antihistamin :difenhidramin 1-2 mg/kgbb
- aminofilin loading dose 7-9 mg/kgbb diberikan
dalam 20-30 menit
7. Edukasi 1. Catat obat penderita yang menyebabkan alergi
2.Menghindari obat yang menyebabkan syok anafilaktik
8. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam/malam
Ad Sanationam : dubio ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubio ad bonam/malam
9. Tingkat Evidens IV
10. Tingkat Rekomendasi A/B/C
11. Penelaah Kritis 1. dr. Jimmy Ronald Joseph
2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa

12. Indikator Medis - Kesadaran membaik.


- Tanda-tanda vital membaik.
13. Kepustakaan 1. Bakta, I Made, dkk. Gawat Darurat di Bidang
Penyakit Dalam. Buku Kedokteran ECG. 1998.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
2018-2020
RUMAH SAKIT SANTA ANNA
KENDARI
PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

COLIC ABDOMEN (ICD 10: R10.4) )

1. Pengertian (definisi) Otot polos saluran cerna atau saluran kencing


mengalami spasme hilang timbul sehingga penderita
merasakan sakit perut hilang timbul

2. Anamnesis 1. Bagaimana sifat nyeri


2. Lokasi nyeri: menyebar / tidak ? Bagaimana
menyebarnya?
3. Apakah disertai muntah? Disertai demam?
4. Apakah disertai sesak nafas?
5. Apakah disertai debar-debar?
6. Adakah tanda-tanda kehamilan (untuk KET)
7. Adakah riwayat gastritis/dispepsia?
8. Bagaimana BAK, dan bagaimana BAB? Apakah
bisa kentut?

3. Pemeriksaan Fisik 1. Tensi, nadi, pernafasan, suhu.


2. Pemeriksaan abdomen : lokasi nyeri, adakah nyeri
tekan / nyeri lepas ? Adakah pembesaran hati,
apakah teraba massa? Distensi abdomen?, suara usus
hiperaktif?
3. Pemeriksaan rektal : lokasi nyeri pada jam berapa,
adakah faeces, adakah darah?
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesa :Nyeri perut berupa kram (kolik) pada
abdomen,kadang muntah
2. Pemeriksaan fisik : Adanya distensi
abdomen,adanya nyeri tekan pada abdomen,
Peningkatan bising usus
5. Diagnosis Kerja Colic abdomen

6. Diagnosis Banding Kanan Atas:

 Kolesistitis akut
 Pankreasitis akut
 Perforasi tukak peptik
 Hepatitis akut
 Abses hati
 Kongestif hepatomegali akut
 Pneumonia dengan reaksi pleura

Kiri Atas:

 Perforasi lambung
 Pankreasitis akut
 Perforasi kolon
 Pneumonia dengan reaksi pleura
 Infark Miokard
 Pielonefritis akut

Peri Umbilikal:

 Obstruksi
 Apendiksitis
 Pankreasitis akut
 Hernia strangulasi
 Divertikulitis

Kanan Bawah:

 Apendiksitis
 Adneksitis
 Endometriosis
 KET (kehamilan ektopik terganggu
 Divertikulitis
 Perforasi caecum
 Batu ureter
 Hernia
 Abses psoas

Kiri Bawah:

 Divertikulitis
 Adneksitis / Endometriosis
 Perforasi kolon / sigmoid
 Batu ureter
 Hernia
 Abses psoas

7. PemeriksaanPenunjang 1. Pemeriksaan darah seperti Leukosit , Hb


2. Pemeriksaan urin
3. Pemeriksaan feses
4. Radiologi
8. Terapi 1. Berikan anti nyeri per oral dan anti nyeri
intermuskular / anti nyeri supositori .
2. Untuk colic internal dan nyata peristaltic meningkat
bisa diberi injeksi buscopan.
3. Bila nyeri hilang berikan resep obat oral anti nyeri
dan spasmalitik
4. Evaluasi 15-30 menit bila tidak ada perubahan
penderita di rujuk ke RS Sanglah tanpa ambulance
dengan ambulance bila ada tindakan live saving.
9. Edukasi 1. Istirahat yang cukup
2. Pertahankan lingkungan yang tenang
3. Cukup makan dan minum
4. Menjaga personal higien yang baik
10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam/malam
Ad Sanationam : dubio ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubio ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis 1. dr. Jimmy Ronald Joseph


2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa

14. Indikator Medis 1. Berkurangnya kram atau kolik setelah pemberian


anti nyeri /anti spasmalitik baik dengan anti nyeri
oral atau intramuscular.
2. Pasien terlihat tidak gelisah
15. Kepustakaan 1. Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar
Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
2018-2020
RUMAH SAKIT SANTA ANNA
KENDARI
PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

CORPUS ALIENUM MATA (ICD 10: H15.1)


1. Pengertian (definisi) Adalah masuknya benda asing kedalam bola mata.

2. Anamnesis 1. Mata terasa mengganjal dan ngeres.


2. Mendadak merasa tidak enak jika mengedikan mata.
3. Bila tertanam dalam kornea nyeri sangat hebat.
4. Fototobia dan epifora.
5. Gangguan gerak bola mata dan lain-lain

3. Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan visus.


2. Pemeriksaan slit lamp, tampak adanya corpus alienum.

4. Kriteria Diagnosis 1.Anamnesis


2.Pemeriksaan fisik
3.Pemeriksaan penunjang

5. Diagnosis Kerja Corpus alienum mata

6. Diagnosis Banding -

7. PemeriksaanPenunjang 1. Fluoresin test.

8. Terapi 1. Anestesi local tetes mata ( pantokain 2%).


2. Ekstraksi korpal dengan menggunakan lidi
kapas/needle G.25/ spuit 1cc.
3. Lakukan fluoresin test untuk mengetahui adanya
erosi kornea.
4. Bebat tekan dengan salep mata gentamisin selama 6
jam.
5. Tetes mata antibiotic ( cendo ulcori) 6 x 1 tetes pada
mata yang sakit.
6. Tetes mata penyegar ( cendo eyefresh/cendo
lyteers ) 6 x 1 tetes pada mata yang sakit.
7. Analgetik oral ( asam mefenamat 500 mg) 3x1
tablet.
8. C
9. Kontrol poliklinik 3 hari setelah tindakan.

9. Edukasi 1. Sarankan kepada pasien untuk mengenakan


pelindung mata bila sedang bekerja.

2. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam


Ad Sanationam : dubio ad bonam
Ad fungsionam : dubio ad bonam
3. Tingkat Evidens IV
4. Tingkat Rekomendasi C
5. Penelaah Kritis 1. dr. Jimmy Ronald Joseph
2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa

6. Indikator Medis - Korpus alienum terangkat.


- Keadaan mata membaik.
7. Kepustakaan 1. Sidarta, Ilyas. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Cet. 5.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI ;
2. Wijana,Nana S,Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke VI
1993
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
2018-2020
RUMAH SAKIT SANTA ANNA
KENDARI
PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

HEMATOME PALPEBRA (ICD 10:S00.1)


1. Pengertian (definisi) Adalah merupakan pembengkakan atau penimbunan darah
dibawah kulit kelopak akibat pecahnya pembuluh darah
palpebra yang disebabkan oleh adanya trauma tumpul pada
mata.
2. Anamnesis
 Proses terjadinya trauma
 Benda apa yang mengenai mata tersebut
 Bagaimana arah datangnya benda yang mengenai
mata itu (Apakah dari depan, samping atas, samping
bawah, atau dari arah lain)
 Bagaimana kecepatannya waktu mengenai mata
 Berapa besar benda yang mengenai mata
 Bahan benda tersebut (Apakah terbuat dari kayu,
besi atau bahan lainnya)
 Riwayat terjadinya penurunan penglihatan setelah
terjadinya trauma.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan visus.
2. Pemeriksaan fisik mata, meliputi:
 Keadaan kelopak mata
 Kornea
 Bilik mata depan
 Pupil
 Lensa dan fundus
 Gerakkan bola mata
 Tekanan bola mata

4. Kriteria Diagnosis 1.Anamnesis


2.Pemeriksaan fisik
3.Pemeriksaan penunjang

5. Diagnosis Kerja Hematoma Palpebra.


6. Diagnosis Banding Brill Hematome (hematome kacamata).

7. PemeriksaanPenunjang 1. Foto polos orbita.


2. USG Orbita.
3. CT-Scan
4. TIO

9. Terapi 1. Kompres dingin 2x24 jam pertama untuk menghentikan


proses perdarahan.
2. Kompres hangat pada hari ke 3 hingga hematoma
menghilang.
3. Analgetik (asam mefenamat 500 mg) 3x1 tablet bila
perlu.
4. Bila terdapat hematoma kacamata (brill hematoma) dan
terdapat tanda-tanda fraktur basis cranii segera rujuk
pasien untuk melakukan pemeriksaan dan penanganan
lebih lanjut.
5. Kontrol poliklinik mata 5 hari setelah pengobatan.
10. Edukasi 1. Sarankan kepada penderita untuk mengobservasi tajam
penglihatan. Bila terjadi penurunan tajam penglihatan,
segera hubungi petugas kesehatan.
11. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam
Ad Sanationam : dubio ad bonam
Ad fungsionam : dubio ad bonam
12. Tingkat Evidens IV
13. Tingkat Rekomendasi C
14. Penelaah Kritis 1. dr. Jimmy Ronald Joseph
2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa

15. Indikator Medis - Nyeri berkurang.


- Hematoma berkurang.

16. Kepustakaan 1. Sidarta, Ilyas. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Cet. 5.


Jakarta : Balai Penerbit FKUI ;
2. Wijana,Nana S,Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke VI
1993
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
2018-2020
RUMAH SAKIT SANTA ANNA
KENDARI
PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

SUBCONJUNCTIVAL BLEEDING (SCB) (ICD 10: H11.3)


1. Pengertian (definisi) Adalah suatu kelainan pada konjungtiva yang terjadi akibat
akibat pecahnya pembuluh darah yang terdapat pada atau di
bawah kongjungtiva, seperti arteri konjungtiva dan arteri
episklera oleh karena trauma tumpul pada mata.

2. Anamnesis
 Proses terjadinya trauma
 Benda apa yang mengenai mata tersebut
 Bagaimana arah datangnya benda yang mengenai
mata itu (Apakah dari depan, samping atas, samping
bawah, atau dari arah lain)
 Bagaimana kecepatannya waktu mengenai mata
 Berapa besar benda yang mengenai mata
 Bahan benda tersebut (Apakah terbuat dari kayu,
besi atau bahan lainnya)
 Riwayat terjadinya penurunan penglihatan setelah
terjadinya trauma.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan visus.
2. Pemeriksaan fisik mata dengan sentolop atau slit lamp
di dapatka pada konjungtiva terdapat adanya kemerahan
yang tidak hilang dengan penekanan.
3. Pemeriksaan TIO.

4. Kriteria Diagnosis 1.Anamnesis


2.Pemeriksaan fisik
3.Pemeriksaan penunjang

5. Diagnosis Kerja Subconjunctival Bleeding.

6. Diagnosis Banding -

7. PemeriksaanPenunjang 1. Pemeriksaan TIO.


2. Funduskopi.

8. Terapi 1. Kompres dingin 2x24 jam pertama untuk menghentikan


proses perdarahan.
2. Kompres hangat pada hari ke 3 hingga SCB
menghilang.
3. Analgetik (asam mefenamat 500 mg) 3x1 tablet bila
perlu.
4. Kontrol poliklinik mata 5 hari setelah pengobatan.
11. Edukasi 1. Informasikan kepada pasien bahwa SCB akan
menghilang dalam waktu 2-3 minggu tanpa pengobatan.
2. Bila dalam perjalanannya terjadi penurunan tajam
penglihatan segera hubungi sarana kesehatan..

12. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam


Ad Sanationam : dubio ad bonam
Ad fungsionam : dubio ad bonam
13. Tingkat Evidens IV
14. Tingkat Rekomendasi C
15. Penelaah Kritis 1. dr. Jimmy Ronald Joseph
2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa

16. Indikator Medis - SCB menghilang.


- Keadaan mata membaik.
17. Kepustakaan 1. Sidarta, Ilyas. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Cet. 5.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI ;
2. Wijana,Nana S,Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke VI
1993
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
2018-2020
RUMAH SAKIT SANTA ANNA
KENDARI
PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

EROSI KORNEA NON TRAUMATIK (ICD 10: H16.0)


1. Pengertian (definisi) Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel
kornea yang dapat diakibatkan oleh gesekkan keras pada
epitel kornea tanpa adanya riwayat trauma.
2. Anamnesis
 Nyeri pada mata.
 Mata berair, dengan blefarospasme, lakrimasi,
fotofobia,
 Penglihatan akan tergantung oleh media kornea yang
keruh
3. Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan visus.
2. Pemeriksaan fisik mata dengan sentolop atau slit lamp.

4. Kriteria Diagnosis 1.Anamnesis


2.Pemeriksaan fisik
3.Pemeriksaan penunjang

5. Diagnosis Kerja Erosi kornea.

6. Diagnosis Banding -

7. PemeriksaanPenunjang 1. Fluoresin test.


8. Terapi 1. Tetes mata antibiotika murni seperti spektrum luas
neosporin, kloramfenikol dan sulfasetamid tetes mata
6x sehari 1 tetes.
2. Tetes mata penyegar 6x sehari 1 tetes.
3. Bebat mata dengan salep mata selama 6 jam.
4. Analgetik 3x sehari 1 tablet bila perlu.
5. Roboronsia untuk mempercepat proses penyembuhan
1x sehari.
6. Control poliklinik mata 3 hari setelah penanganan awal
di UGD.
7. Edukasi 1. Informasikan kepada pasien untuk tidak mengucek mata
dan menghindari mata dari debu.

10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam


Ad Sanationam : dubio ad bonam
Ad fungsionam : dubio ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. dr. Jimmy Ronald Joseph
2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa

14. Indikator Medis - Nyeri menghilang.


- Keadaan mata membaik.
15. Kepustakaan 1. Sidarta, Ilyas. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Cet. 5.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI ;
2. Wijana,Nana S,Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke VI
1993
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
2018-2020
RUMAH SAKIT SANTA ANNA
KENDARI
PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

EROSI KORNEA TRAUMATIK (ICD 10: HS05.0)


1. Pengertian (definisi) Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel
kornea yang dapat diakibatkan oleh gesekkan keras pada
epitel kornea dengan adanya riwayat trauma.
2. Anamnesis
 Nyeri pada mata.
 Riwayat trauma pada mata.
 Mata berair, dengan blefarospasme, lakrimasi,
fotofobia,
 Penglihatan akan tergantung oleh media kornea yang
keruh
3. Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan visus.
2. Pemeriksaan fisik mata dengan sentolop atau slit lamp.

4. Kriteria Diagnosis 1.Anamnesis


2.Pemeriksaan fisik
3.Pemeriksaan penunjang

5. Diagnosis Kerja Erosi kornea.

6. Diagnosis Banding -

7. PemeriksaanPenunjang 1. Fluoresin test.


8. Terapi 1. Tetes mata antibiotika murni seperti spektrum luas
neosporin, kloramfenikol dan sulfasetamid tetes mata
6x sehari 1 tetes.
2. Tetes mata penyegar 6x sehari 1 tetes.
3. Bebat mata dengan salep mata selama 6 jam.
4. Analgetik 3x sehari 1 tablet bila perlu.
5. Roboronsia untuk mempercepat proses penyembuhan
1x sehari.
6. Control poliklinik mata 3 hari setelah penanganan awal
di UGD.
9. Edukasi Informasikan kepada pasien untuk tidak mengucek mata dan
menghindari mata dari debu.

10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam


Ad Sanationam : dubio ad bonam
Ad fungsionam : dubio ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. dr. Jimmy Ronald Joseph
2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa

14. Indikator Medis - Nyeri menghilang.


- Keadaan mata membaik.
15. Kepustakaan 1. Sidarta, Ilyas. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Cet. 5.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI ;
2. Wijana,Nana S,Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke VI
1993
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
2018-2020
RUMAH SAKIT SANTA ANNA
KENDARI
PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

CIDERA KEPALA (ICD 10: S09.0)


1. Pengertian (definisi) Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah
kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat
injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada
kepala
2. Anamnesis
 Mekanisme kejadian?
 Riwayat tidak sadar setelah kejadian?
 Riwayat mual/muntah?
 Riwayat pengaruh alcohol?
 Riwayat penyakit terdahulu.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Nilai tanda-tanda vital ( Tekanan Darah, Nadi,
Respirasi, Suhu axilla).
2. Nilai kesadaran pasien.
3. Inspeksi visual dan palpasi kepala: tanda-tanda trauma,
jejas, hematoma, vulnus pada kepala atau region
maksilofasial.
4. Inspeksi tanda-tanda fraktur basis kranii:
- Racoon’s eyes: periorbital ecchymosis.
- Battle’s sign: postauricular ecchymosis.
- CSF rhinorrhea/otorrhea.
- Hemotympanum atau laserasi kanalis auditus
eksternus.
5. Tanda-tanda lateralisasi (pupil anisokor, hemiparesa).
4. Kriteria Diagnosis 1. Cidera kepala ringan (CKR dengan GCS 13-15)
2. Cidera kepala sedang (CKS dengan GCS 9-12)
3. Cidera kepala berat (CKB dengan GCS ≤ 8)
5. Diagnosis Kerja Cidera kepala.

6. Diagnosis Banding 1. Stroke


2. Tumor Otak
7. PemeriksaanPenunjang 1. Foto polos kepala.
2. CT-Scan
9. Terapi 1. Stabilisasikan pasien:

PRIMARY SURVEY (PERTOLONGAN PERTAMA)


A (Airway):
 Look/Listen/Feel
 Bebaskan jalan nafas (posisikan pasien, bersihkan
jalan nafas dari muntahan/lendir/benda asing)
 C-Spine control dengan memasang collar brace
untuk mencegah gerakan hiperekstensi dan rotasi
 Bila pasien tidak sadar, selalu anggap bahwa
terdapat cidera tulang leher.

B (Breathing):
 Perhatikan suara nafas, apakah terdapat suara nafas
tambahan atau tidak, gerak dada baik (dinilai apakah
perlu nafas buatan?)
 Masker oksigen/nasal

C (Circulation):
 Perhatikan Perfusi, Nadi, Tensi
 Bila terdapat tanda-tanda Shock -> RL dan cari
sumber perdarahan. (Ingat luka di kepala hampir
tidak pernah menyebabkan shock).
 Tensi < 90 nadi < 90 -> kemungkinn spinal shock!
Batasi cairan
 Hentikan perdarahan dari luka terbuka

D (Disability):
 Nilai kesadaran dengan menilai GCS.
 Nilai pupil (diameter, simetris, RC)

E (Exposure):
Periksa bagian tubuh lain secara cepat (nyeri/jejas di dada,
perut, tungkai, panggul, leher)

SECONDARY SURVEY

Untuk menentukan kelainan bedah saraf

Anamnesa:
 Kejadian?
 Sadar sesudah kejadian?
 Mabuk?
 Penyakit lain: epilepsi, DM, kelainan mata, darah,
riwayat jatuh?
Pemeriksaan:
 GCS
 Pupil
 Motorik (parese/plegi)
 Sensorik / rangsang nyeri
 Periksa teliti: wajah, kepala, leher, tulang punggung
2. Observasi di RS selama 1-2 jam.
3. Bila dalam observasi di dapat tanda-tanda sebagai
berikut:
1. Orientasi baik
2. Tidak ada gangguan fokal neurologis
3. Tidak ada muntah/sakit kepala.
4. Tidak ada tanda-tanda fraktur basis crania (otore,
rinore, ekimosis periorbita)
5. Ada yg mengawasi di rmh
6. Tmpt tgl dlm kota
Pasien dipulangkan dengan KIE.
4. Bila dalam observasi di dapat tanda-tanda sebagai
berikut:
1. Gangguan kesadaran (GCS<15)
2. Gagguan fokal neurologis (+) [hemiparese, anisokor,
kejang]
3. Nyeri kepala/muntah-muntah yg menetap
4. Terdapat tanda-tanda fraktur tulang kepala/basis
crania.
5. Luka tusuk/luka tembak (corpus alienum)
6. Tidak ada yg mengawasi d rmh
7. Tinggal d luar kota
8. Ada mabuk/epilepsi
Pasien dirujuk ke RS yang mempuyai fasilitas untuk
menangani kasus cidera kepala.
5. Bila terdapat indikasi sebagai berikut:
Indikasi x-foto kepala:
1. Jejas > 5 cm (hematom/vulnus)
2. Luka tusuk/clurit/tembak (Corpus alienum)
3. Fraktur terbuka
4. Deformitas kepala
5. Nyeri kepala menetap
6. Gangguan fokal nurologis
7. Gangguan kesadaran
Indikasi ct-scan kepala:
1. Luka tusuk/tembak (corpus alienum)
2. Nyeri kepala menetap/muntah menetap
3. Kejang-kejang
4. Penurunan GCS > 1 poin
5. Lateralisasi (anisokor+hemiparese)
6. GCS < 15 & slm terapi konservatif tidak
membaik
7. Bradikardi yang menyertai salah satu gejala di
atas
Pasien dirujuk ke RS yang mempuyai fasilitas untuk
menangani kasus cidera kepala

10. Edukasi Bila pasien dipulangkan, informasikan kepada keluarga


pasien bila terdapat tanda-tanda: muntah makin sering,
Nyeri kepala/vertigo memberat, Gelisah/kesadaran
menurun, Kejang, untuk segera membawa pasien ke
pusat pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas untuk
penanganan cidera kepala.
11. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam/malam
Ad Sanationam : dubio ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubio ad bonam/malam
12. Tingkat Evidens IV
13. Tingkat Rekomendasi C
14. Penelaah Kritis 1. dr. Jimmy Ronald Joseph
2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa

15. Indikator Medis - Kesadaran membaik.


- Tanda-tanda vital membaik
- Keadaan umum membaik.
16. Kepustakaan 1. Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar
Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
2018-2020
RUMAH SAKIT SANTA ANNA
KENDARI
PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

TRAUMA TUMPUL ABDOMEN (ICD 10:S39.9)


1. Pengertian (definisi) Trauma tumpul abdomen adalah pukulan / benturan
langsung pada rongga abdomen yang mengakibatkan cidera
tekanan/tindasan pada isi rongga abdomen, terutama organ
padat (hati, pancreas, ginjal, limpa) atau berongga (lambung,
usus halus, usus besar, pembuluh – pembuluh darah
abdominal) dan mengakibatkan ruptur abdomen.
2. Anamnesis Pada anamnesis dapat ditemukan adanya riwayat seperti:
 Trauma pada abdomen akibat benturan benda tumpul
 Jatuh dari ketinggian
 Tindakan kekerasan atau penganiayaan
 Cedera akibat hiburan atau wisata 6.
Selain itu, AMPLE merupakan elemen penting yang harus
ditanyakan dalam anamnesis pasien:
 A llergies
 M edications
 P ast medical history
 L ast meal or other intake
 E vents leading to presentation6
3. Pemeriksaan Fisik  Inspeksi
 Perhatikan abdomen pasien untuk melihat adanya
tanda-tanda luka luar, seperti abrasi dan atau
ekimosis.
 Perhatikan pola luka yang ada untuk menduga
adanya trauma intra abdominal.( lap belt
abrasions, steering wheel–shaped contusions).
 Observasi pernapasan pasien, karena pernapasan
abdominal mengindikasikan adanya trauma pada
sistem spinal. Perhatikan juga adanya tanda-tanda
distensi dan perubahan warna pada daerah
abdomen.
 Cullen sign (periumbilical ecchymosis)
mengindikasikan perdarahan retroperitoneal,
namun biasanya tanda ini tidak langsung positif.
Jika ditemukan memar dan bengkak pada daerah
panggul kita harus curiga kearah trauma
retroperitoneal.
 Inspeksi daerah genitalia dan perineum untuk
melihat adanya luka, perdarahan, dan hematom
pada jaringan ikat longgar6.
 Auskultasi
 Bising usus bisa normal, menurun, atau hilang.
 Abdominal bruit menandakan adanya penyakit
sistem vaskuler yang mendasari atau adanya
traumatic arteriovenous fistula.
 Bradikardia mengindikasikan adanya cairan bebas
intraperitoneal pada pasien dengan trauma
abdomen6.
 Palpasi
 Palpasi seluruh permukaan abdomen dengan hati-
hati sambil melihat respon dari pasien. Perhatikan
adanya massa abnormal, tenderness , dan
deformitas.
 Konsistensi yang padat dan pucat dapat
menunjukkan adanya perdarahan intraabdominal.
 Krepitasi atau ketidakstabilan dari rongga thoraks
bagian bawah mengindikasikan kemungkinan
adanya cedera lien atau hepar yang berhubungan
dengan cedera costa bawah.
 Instabilitas pelvis mengindikasikan adanya luka
pada traktus urinarius bagian bawah, seperti juga
pada pelvic dan hematom retroperitoneal. fraktur
terbuka pelvis juga mengindikasikan potensi
cedera pada traktus urinarius bagian bawah cedera
serta hematom panggul dan retroperitoneal.
Fraktur pelvis terbuka juga berhubungan dengan
angka mortalitas yang melebihi 50 %.
 Lakukan pemeriksaan rektal dan pelvis vagina
untuk mengidentifikasi kemungkinan perdarahan
atau cedera.
 Lakukan pemeriksaan sensorik dari dada dan
abdomen untuk mengevaluasi kemungkinan
terjadinya cedera saraf tulang belakang. Cedera
saraf tulang belakang dapat dinilai dengan akurat
dari abdomen melalui berkurangnya atau
hilangnya persepsi nyeri.
 Distensi abdomen dapat merupakan akibat dari
dilatasi sekunder gaster yang berhubungan dengan
ventilasi atau menelan udara
 Tanda-tanda peritonitis segera setelah cedera
memberi kesan adanya kebocoran isi usus.
Peritonitis karena perdarahan intraabdominal
dapat berkembang setelah beberapa jam6.
 Perkusi
 Perkusi regio thoraks bagian bawah bisa normal,
redup, atau timpani.
 Pekak hati bisa positif maupun negatip.
 Nyeri ketok dinding abdomen.
 Tes undulasi atau shifting dullness bisa positip
maupun negatip6.

4. Kriteria Diagnosis 1.Anamnesis


2.Pemeriksaan fisik
3.Pemeriksaan penunjang

5. Diagnosis Kerja Trauma tumpul abdomen

6. Diagnosis Banding -

7. PemeriksaanPenunjang 1. Pemeriksaan laboratorium ( glukosa darah, complete


blood count (CBC), kimia darah, amylase serum,
urinalisis, pemeriksaan koagulasi, tipe golongan darah,
etanol darah, analisa gas darah, dan tes kehamilan
(untuk wanita-wanita usia reproduksi)).
2. Pemeriksaan radiologi (foto polos abdomen, DPL,
USG, CT-Scan.
8. Terapi A. Primary Survey
a. Airway
Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat
bicara dan bernafas dgn bebas ?
Jika ada obstruksi, lakukan :
 Chin lift/ Jaw thrust
 Suction
 Guedel Airway
 Intubasi trakea
b. Breathing
Bila jalan nafas tidak memadai, lakukan :
 Beri oksigen
c. Circulation
Menilai sirkulasi/peredaran darah
 Hentikan perdarahan external bila ada
 Segera pasang dua jalur infus dgn jarum besar
(14-16G)
 Beri infus cairan.
B. Secondary survey.
a. Disability
 Nilai kesadaran dengan menilai GCS.
 Nilai pupil (diameter, simetris, RC)
b. Exposure
Periksa bagian tubuh lain secara cepat (nyeri/jejas
di dada, perut, tungkai, panggul, leher).
C. Bila kondisi pasien telah stabil, persiapkan pasien untuk
di rujuk ke RS yang memiliki fasilitas untuk menangani
kasus trauma abdomen (pemeriksaan penunjang
maupun manajemen pasien selanjutnya).
9. Edukasi Informasikan kepada pasien dan keluarga pasien, bahwa
pada kasus trauma tumpul abdomen membutuhkan
pemeriksaan penunjang, maka dari itu pasien harus dirujuk
untuk pemeriksaan penunjang tersebut dan penanganan lebih
lanjut.
10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam/malam
Ad Sanationam : dubio ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubio ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. dr. Jimmy Ronald Joseph
2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa

14. Indikator Medis - Keadaan pasien membaik.


15. Kepustakaan 1. AGD 118 Jakarta, Basic Trauma and Cardiac Life
Support, 2004
2. Emergency nursing Asociation. Trauma Nursing Care
Course (4th).
3. Pedoman Pelayanan Gadar di Rumah Sakit Dir. Kep.
Medik Dirjen Bidang Pelayanan Medik Jakarta.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
2018-2020
RUMAH SAKIT SANTA ANNA
KENDARI
PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

GLAUKOMA AKUT (ICD 10:H40.2 )


1. Pengertian (definisi) Suatu peningkatan tekanan bola mata yang mendadak akibat
tertutupnya sudut bilik mata depan oleh cairan humor aquos /
vitreus.

2. Anamnesis 1. Penglihatan kabur mendadak


2. Nyeri hebat pada mata sampai ke kepala
3. Mual, muntah, pusing
4. Kadang melihat halo / pelangi di sekitar obyek

3. Pemeriksaan Fisik 1. Visus sangat menurun


2. TIO meningkat / tinggi (60-80 mmHG), pada
perabaan bola mata terasa keras.
3. Mata merah (injeksi silier)
4. Kornea odem dan keruh
5. Pupil lebar dan kurang bereaksi terhadap sinar
6. COA dangkal
7 . Diskus optikus terlihat merah dan bengkak

4. Kriteria Diagnosis 1. Nyeri hebat pada mata


2. Visus menurun mendadak
3. TIO tinggi (60-80 mmHG)
4. Pupil lebar
5. Kornea odem / keruh

5. Diagnosis Kerja Glaucoma akut

6. Diagnosis Banding 1. Keratitis


2. Uveitis
3. Ulkus kornea

7. PemeriksaanPenunjang 1. Pemeriksaan funduskopi.


2. Pemeriksaan TIO.

8. Terapi 1. Pasien diobservasi bila perlu opname


2. Segera berikan obat Acetazolamid 500 mg (2 tablet)
sekaligus kemudian lanjutkan 1 tablet @ 6 jam
3. Gliserin AA (1 cc / kgBB dicampur air sama banyak
diminum sekaligus) perhari selama 3 hari
4. Apabila obat diatas tidak menolong, dapat diberikan
Manitol 10-20 mg / kgBB, iv atau perinfus 60 tts / mnt.
Dapat pula diberikan Morphin injeksi.
5. Untuk local dapat diberikan Pilocarpin 2-4% TM
diberikan tiap 30 mnt selama 6 jam kemudian
dilanjutkan 6x sehari.
6. Apabila tekanan bola mata menurun sampai 30 mmHG
segera lakukan operasi filtrasi di kamar operasi oleh
dokter spesialis mata. (Perifer iridektomi, iridenclisis,
trabekulektomi).

9. Edukasi 1. Pasien dianjurkan untuk control secara teratur setiap 6


bulan sekali untuk menilai tekanan bola mata dan
lapang pandang..

10. Prognosis Ad bonam jika segera ditangani, Ad vitam jika tidak segera
tertangani.
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. dr. Jimmy Ronald Joseph
2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa

14. Indikator Medis - Nyeri pada mata berkurang.


- TIO menurun..
15. Kepustakaan 1. Sidarta, Ilyas. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Cet. 5.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI ;
2. Wijana,Nana S,Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke VI
1993
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
2018-2020
RUMAH SAKIT SANTA ANNA
KENDARI
PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

HYPHEMA TRAUMATICA (ICD 10:S05.1)


1. Pengertian (definisi) Perdarahan pada bilik mata depan (COA) yang berasal dari
iris atau badan siliar akibat trauma tumpul mata yang dapat
menyebabkan penurunan penglihatan / kebutaan.

2. Anamnesis 1. Ada riwayat trauma tumpul


2. Nyeri pada mata disertai berair / epifora
3. Penglihatan kabur / menurun

3. Pemeriksaan Fisik 1. Adanya perdarahan di COA bisa sebagian / penuh


2. Visus menurun
3. Tekanan bola mata bisa meningkat
4. Blefarospasme (klpk mata berkedip tak terkendali)
5. Odem palpebra
6. Kadang iridoplegi (pupil midriasis), pupil anisokor,
iridodialisis.

4. Kriteria Diagnosis 1. Adanya perdarahan di COA


2. Penurunan visus
3. Riwayat trauma tumpul

5. Diagnosis Kerja Hyfema


6. Diagnosis Banding 1. Hyphema karena trauma tumpul.
2. Hyphema post operatif.
3. Hyphema dengan penyulit (glaucoma sekunder,
uveitis, hemosiderosis).
7. PemeriksaanPenunjang 1. Slit lamp biomicroscopy
2. Tonometri
3. Opthalmoscopy
4. USG mata
5. CT-Scan Orbita
6. Pemeriksaan lapang pandang

8. Terapi 1. Pasien diopname


2. Tirah baring dengan posisi kepala lebih tinggi 30
3. Istirahatkan mata dengan bebat mata
4. Bila perlu pada anak-anak diberikan obat penenang
5. Antibiotika tetes mata bila ada tanda infeksi,
Acetacolamid bila terjadi peningkatan TIO.
6. Tindakan operatif (Parasintesa) atau pengeluaran
darah dari bilik mata depan dikerjakan bila:
- Ada tanda-tanda kenaikan TIO
- Hyfema yg tetap (tidak berkurang > 5 hari)
- Hyfema penuh dengan berwarna hitam
- Hemosiderosis pada endotel kornea
7. Operasi parasintesa ini dikerjakan oleh dokter
spesialis mata di kamar operasi.

1. Tirah baring
9. Edukasi 2. Tidak menyentuh, menggosok, menekan mata karena
bisa terjadi infeksi
3. Jangan oleskan obat / salep mata
4. Hindari penggunaan obat Aspirin, Ibuprofen, NSAID
karena dapat mengencerkan darah.
5. Kompres dingin untuk mengurangi sakit /
pembengkakan.
10. Prognosis Dubius Ad Bonam

11. Tingkat Evidens IV


12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. dr. Jimmy Ronald Joseph
2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa

14. Indikator Medis Perdarahan hilang / berkurang, visus membaik, TIO normal.
15. Kepustakaan 1. Sidarta, Ilyas. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Cet. 5.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI ;
2. Wijana,Nana S,Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke VI
1993
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
2018-2020
RUMAH SAKIT SANTA ANNA
KENDARI
PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

TRAUMA KIMIA PADA KORNEA (ICD 10:S05.8)


1. Pengertian (definisi) Trauma yang diakibatkan oleh zat kimia yang bersifat asam /
basa yang berbahaya, dapat berbentuk cair, gas, atau padat.

2. Anamnesis 1. Mata merah, perih, sakit, dan berair


2. Ada riwayat terpapar zat kimia (asam / basa)
3. Penglihatan kabur

3. Pemeriksaan Fisik 1. Hiperemi konjungtiva


2. Kornea keruh
3. Lensa keruh
4. Tekanan bola mata bisa meningkat
5. Hipotoni bila ada kerusakan pada badan silier
6. Mata kering akibat kerusakan kelenjar air mata
7. Terdapat nekrosis & iskemi ringan pada konjungtiva
dan kornea
8. Tukak kornea
9. Visus menurun

4. Kriteria Diagnosis 1. Ada riwayat terkena zat kimia pada mata


2. Hiperemi konjungtiva
3. Kornea keruh / erosi

5. Diagnosis Kerja Trauma kimia pada mata


6. Diagnosis Banding 1. Konjungtivitis
2. Konjungtivitis hemoragik akut
3. Keratokonjungtivitis Sicca
4. Ulkus kornea

7. PemeriksaanPenunjang 1. Slit lamp


2. Opthalmoscop
3. Tonometri

8. Terapi 1. Anamnesa singkat untuk menentukan jenis zat yang


terpapar
2. Teteskan anastesi topical TM 2% (Pantokain TM) yang
bisa diulang tiap menit selama 5 menit.
3. Lakukan tindakan irigasi cairan fisiologis pada
permukaan kornea, konjungtiva bulbi, fornik superior
& inferior. Untuk trauma asam, irigasi bisa sampai 30
menit, sedangkan trauma basa bisa sampai 1 jam
( cairan 1-2 lt) atau sampai tercapai PH normal.
4. Tes kertas lakmus secara berkala, dilakukan diantara
tindakan irigasi untuk mengetahui apakah Ph
permukaan bola mata sudah normal.
5. Setelah irigasi dianggap cukup, berikan tetes mata
siklopegik jangka panjang “Atropin 2%” dan tetes
mata antibiotika. Untuk trauma basa bisa diberikan
tambahan steroid tetes mata karena zat basa lebih
bersifat korosif.
6. Selanjutnya pemeriksaan & pengobatan difinitif
dilakukan oleh dokter spesialis mata termasuk adanya
indikasi rawat inap atau pasien disarankan untuk
control ke poli mata.

1. Informasikan pada pasien, bila terkena cairan kimia


9. Edukasi segera membasuh mata dengan air mengalir.
2. Hindari mata dari debu.
3. Bila terdapat perburukan pada mata setelah pengobatan
awal, segera menghubungi sarana kesehatan.
4. Kontrol poliklinik mata.
10. Prognosis Dubius ad bonam bila penanganan segera dilakukan.

11. Tingkat Evidens IV


12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. dr. Jimmy Ronald Joseph
2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa

14. Indikator Medis Tercapai PH normal pada mata


15. Kepustakaan 1. Sidarta, Ilyas. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Cet. 5.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI ;
2. Wijana,Nana S,Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke VI
1993
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
2018-2020
RUMAH SAKIT SANTA ANNA
KENDARI
PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

APPENDISITIS AKUT (ICD 10:K35.8)


1. Pengertian (definisi) suatu radang yang timbul secara mendadak pada apendiks
dan merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling
sering ditemui
2. Anamnesis 1. Nyeri epigastrium atau regio umbilicus disertai mual
dan anorexia.
2. Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5 -
38,5C.
3. Nyeri berpindah ke kanan bawah dan menunjukkan
tanda rangsangan peritoneum lokal di titik Mc Burney,
nyeri tekan, nyeri lepas dan adanya defans muskuler.
4. Nyeri rangsangan peritoneum tak langsung nyeri kanan
bawah pada tekanan kiri (Rovsing’s Sign) nyeri kanan
bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan
(Blumberg’s Sign).
3. Pemeriksaan Fisik 1. Inspeksi
- Tidak ditemukan gambaran spesifik
- .Kembung sering terlihat pada komplikasi
perforasi.
- Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada
massa atau abses periapendikuler.
- Tampak perut kanan bawah tertinggal pada
pernafasan
2. Palpasi
- nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa
disertai nyeri tekan lepas.
- Defans muscular menunjukkan adanya
rangsangan peritoneum parietale.
3. Perkusi
- Pekak hati menghilang jika terjadi perforasi
usus.
4. Auskultasi
- Biasanya normal.
- Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik
pada peritonitis generalisata akibat apendisitis
perforata
5. Rectal Toucher
- Tonus musculus sfingter ani baik.
- Ampula kolaps.
- Nyeri tekan pada daerah jam 9 dan 12.
- Terdapat massa yang menekan rectum (jika ada
abses).

6. Uji Psoas
Dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat
hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi
panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila
apendiks yang meradang menepel di m. poas mayor,
tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
7. Uji Obturator
Digunakan untuk melihat apakah apendiks yang
meradang kontak dengan m. obturator internus yang
merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang akan
menimbulkan nyeri pada apendisitis pelvika.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan
pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui
letak apendiks

8. Indeks Alvarado

Characteristic Score
M = Migration of pain to the RLQ 1
A = Anorexia 1
N = Nausea and vomiting 1
T = Tenderness in RLQ 2
R = Rebound pain 1
E = Elevated temperature 1
L = Leukocytosis 2
S = Shift of WBC to the left 1
Total 10

Interpretasi:
1. Skor >8 : Kemungkinan besar menderita
apendisitis. Pasien ini dapat langsung diambil
tindakan pembedahan tanpa pemeriksaan lebih
lanjut. Kemudian perlu dilakukan konfirmasi
dengan pemeriksaan patologi anatomi.
2. Skor 2-8 : Tingkat kemungkinan sedang untuk
terjadinya apendisitis. Pasien ini sebaiknya
dikerjakan pemeriksaan penunjang seperti foto
polos abdomen ataupun CT scan.
3. Skor <2 : Kecil kemungkinan pasien ini
menderita apendisitis. Pasien ini tidak perlu
untuk di evaluasi lebih lanjut dan pasien dapat
dipulangkan dengan catatan tetap dilakukan
follow up pada pasien ini.
4. Kriteria Diagnosis 1. Ada riwayat nyeri epigatrium yang berpindah ke
region kanan bawah (Mc Burney sign).
2. Nyeri perut kanan bawah pada pemeriksaan fisik.
3. Alvarado score > 7 poin

5. Diagnosis Kerja Appendicitis akut


6. Diagnosis Banding 1. Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
2. PID
3. Ulcus pepticum.
4. Dyspepsia.

7. PemeriksaanPenunjang 1. Pemeriksaan laboratorium.


2. Foto polos abdomen.
3. USG Abdomen.

9. Terapi 1. Stabilisasi keadaan umum pasien.


2. Setelah pasien dalam keadaan stabil, persiapkan
pasien untuk di rujuk ke RS yang memiliki fasilitas
untuk menangani pasien dengan appendicitis akut.

1. Informasikan kepada keluarga pasien bahwa pasien


10. Edukasi dengan appendicitis akut butuh penanganan segera
untuk mencegah terjadinya perforasi.
11. Prognosis Dubius ad bonam bila penanganan segera dilakukan.

12. Tingkat Evidens IV


13. Tingkat Rekomendasi C
14. Penelaah Kritis 1. dr. Jimmy Ronald Joseph
2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa

15. Indikator Medis Nyeri pada pasien menghilang.


16. Kepustakaan 1. Craig Sandy, Lober Williams. Appendicitis, Acute.
Diakses dari www.emedicine.com, tanggal 4 Juli 2014.
2. Katz S Michael, Tucker Jeffry. Appendicitis. Diakses
dari: www.emedicine.com, tanggal 4 NJuli 2014.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RUMAH SAKIT TATA LAKSANA KASUS
SANTA ANNA RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
KENDARI PROVINSI SULAWESI TENGGARA
PROVINSI 2018-2020
SULAWESI
TENGGARA

SINDROM STEVENS - JOHNSON (ICD 10: L51.1 )


1. Pengertian Sindrome Stevens-Johnson merupakan sindrome yang mengenai kulit,
(definisi) selaput lendir di orifisium mulut dan anogenital, dan mata dengan
keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat yang disebabkan
karena reaksi hipersensitifitas baik karena obat mapun infeksi
2. Anamnesis Adanya riwayat menggunakan obat secara sistemik atau kontak obat
pada kulit yang terbuka pada jangka waktu penggunaan obat yang tidak
terlalu lama.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan umum biasanya bervariasi, dari baik hingga buruk
2. Adanya kelainan kulit antara lain : eritema, vesikel, papul, erosi,
ekskoriasi, krusta kehitaman, kadang purpura dan kelainan selaput
lendir terutama orifisium mulut dan anogenital serta kelainan mata.
4. Kriteria Diagnosis Diagnosis berdasarkan keadaan klinis dan histopatologis umtuk
menegakkan diagnosa dan faktor penyebabnya
5. Diagnosis Kerja Sindroma Stevens-Johnson
6. Diagnosis Nekrolisis Epidermal Toksik
Banding
7. Pemeriksaan 1. Darah rutin : Bila leukositosis penyebabnya kemungkinan infeksi,
Penunjang bila eosinofilia kemungkinan karena alergi
2. Pemeriksaan imunogik : IgG dan IgM dapat meninggi
3. Biopsi kulit : untuk pemeriksaan histopatologis dengan gambaran
eritema multiforme yang bervariasi
4. Pemeriksaan elektolit, glukosa, dan bikarbonate untuk menentukan
tingkat keparahan dan level dehidrasi
8. Terapi Non Medikamentosa :
1. Pasien diminta menghentikan obat yang dicurigai
2. Berikan kartu alergi bila pasien sembuh dari gejala yang diderita
3. Berikan daftar jenis obat yang harus dihindari pasien
Medikamentosa :
1. Hentikan obat
2. Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup
diobati dengan prednison 30-40 mg perhari
3. Atasi keadaan umum, terutama pada yang berat untuk life saving
pada penekanan airway, breathing dan sirkulasi. Penderita harus
dirawat inapkan untuk life saving, pencegahan infeksi, dan
pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi
4. Penatalaksanaan multidisiplin terutama bila dicurigai terdapat
kelainan sistemik dan komplikasi dan bila terdapat gambaran
seperti luka bakar yang menyeluruh perlu untuk dirujuk ke
rumah sakit yang mempunyai burn center
9. Edukasi 1. Memberitahukan pada pasien tentang obat-obatan yang dapat
membuat alergi pada diri pasien.
2. Kontrol kembali bila keluhan semakin memberat atau kontrol
luka bila sudah dipulangkan dalam keadaan baik.
3. Jaga higienitas lingkungan dan perorangan.
10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad malam
Ad Sanationam : dubio ad malam
Ad fungsionam : dubio ad malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. dr. Jimmy Ronald Joseph
2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa

14. Indikator Medis 1. Keadaan umum membaik


2. Tanda – tanda lesi lama mengalami involusi dan tidak timbul lesi
baru
3. Tidak adanya penyulit yang timbul terutama tanda-tanda vital
15. Kepustakaan 1. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi ketiga.
2. www.patient.co.uk/doctor/stevens-johnson syndrome.
3. www.merckmanuals.com/home/skin_disorders/hyper-
sensitivity_and_inflamantory_skin_disorders/stevens-
johnson_syndrome_sjs_and toxic_epidermal_necrolysis. html
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
SANTA ANNA PROVINSI SULAWESI TENGGARA
KENDARI 2018-2020
PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

SYOK HYPOVOLEMIK (ICD 10:R57.1 )


1. Pengertian (definisi) Syok hipovolemik adalah salah satu jenis syok yang disebabkan
oleh inadekuatnya volume intravaskuler dengan volume darah di
vaskuler
2. Anamnesis 1. Adanya riwayat trauma yang menyebabkan perdarahan, misalnya
trauma thorax, dan trauma abdomen.
2. Adanya riwayat kehamilan ektopik terganggu,
3. Adanya riwayat trauma yang menyebabkan fraktur pada tulang
besar, misalnya fraktur femur dan fraktur humerus.
4. Adanya luka bakar luas.
5. Adanya riwayat gangguan gastrointestinal, misalnya pada
peritonitis dan gastroenteritis.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Kulit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan
pengisian kapiler selalu berkaitan dengan berkurangnya
perfusi jaringan.
2. Takhikardia: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas
adalah respons homeostasis penting untuk hipovolemia.
Peningkatan kecepatan aliran darah ke mikrosirkulasi
berfungsi mengurangi asidosis jaringan.
3. Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi
pembuluh darah sistemik dan curah jantung, vasokonstriksi
perifer adalah faktor yang esensial dalam mempertahankan
tekanan darah. Autoregulasi aliran darah otak dapat
dipertahankan selama tekanan arteri turun tidak di bawah 70
mmHg.
4. Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok
hipovolemik. Oligouria pada orang dewasa terjadi jika
jumlah urin kurang dari 30 ml/jam.

4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesa (riwayat trauma).


2. Tanda-tanda dehidrasi.
3. Takikardia.
4. Hipotensi.
5. Oliguria.
5. Diagnosis Kerja Syok hypovolemik.
6. Diagnosis Banding 1. Syok kardiogenik.
2. Syok septic.
3. Syok neurogenik.
7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan laboratorium hematologi
Penunjang
8. Terapi A. Primary Survey
a. Airway
Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan
bernafas dgn bebas ?
Jika ada obstruksi, lakukan :
 Chin lift/ Jaw thrust
 Suction
 Guedel Airway
 Intubasi trakea
b. Breathing
Bila jalan nafas tidak memadai, lakukan :
 Beri oksigen
c. Circulation
Menilai sirkulasi/peredaran darah
 Hentikan perdarahan external bila ada
 Segera pasang dua jalur infus dgn jarum besar (14-16G)
 Beri infus cairan.
B. Secondary survey.
d. Disability
 Nilai kesadaran dengan menilai GCS.
 Nilai pupil (diameter, simetris, RC)
e. Exposure
Periksa bagian tubuh lain secara cepat (nyeri/jejas di dada,
perut, tungkai, panggul, leher).
C. Bila kondisi pasien telah stabil, persiapkan pasien untuk di rujuk
ke RS yang memiliki fasilitas untuk menangani kasus syok
hypovolemik (pemeriksaan penunjang maupun manajemen pasien
selanjutnya).
9. Edukasi Informasikan kepada keluarga pasien bahwa keadaan syok
hypovolemeik merupakan keadaan yang emergency dan harus segera
di rujuk ke pusat pelayanan yang lebih memadai.
10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad malam
Ad Sanationam : dubio ad malam
Ad fungsionam : dubio ad malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. dr. Jimmy Ronald Joseph
2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa

14. Indikator Medis 1. Keadaan umum membaik


2. Tanda-tanda syok menghilang.
15. Kepustakaan 1. Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah.
Edisi Revisi. EGC, Jakarta.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
SANTA ANNA PROVINSI SULAWESI TENGGARA
KENDARI 2018-2020
PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

SYOK SEPTIK (ICD 10:R57.2)


1. Pengertian (definisi) Adalah sindrom klinik yang dicetuskan oleh masuk dan
menyebarnya produk organism ke dalam system vascular,
sehingga menyebabkan terjadinya hipotensi yang tidak membaik
dengan resusitasi cairan, kegagalan pada mikrosirkulasi,
penurunan perfusi jaringan dan gangguan metabolism seluler.
2. Anamnesis 1. Adanya riwayat fokal infeksi.
2. Adanya riwayat demam.
3. Adanya riwayat di rawat di RS dalam jangka waktu yang lama.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Febris dengan suhu >39oC.
2. Takipnea dengan alkalosis respiratorik.
3. Tanda-tanda syok.
5. Kriteria Diagnosis 1. Adanya tanda-tanda syok.
2. Tanda-tanda sepsis:
 Suhu: febris > 38oC atau hipotermia < 36oC.
 Denyut jantung > 90 denyutan/menit.
 Respirasi > 20 kali/menit atau PaCO2<32mmHg.
 Leukosit >12.000/µl atau >10% bentuk sel muda (band
form).
3. Gejala dan tanda menetap walaupiun telah dilakukan terapi cairan
yang adekuat.
6. Diagnosis Kerja Syok septik.
7. Diagnosis Banding 1. Syok hypovolemik
2. Syok neurogenik.
3. Syok kardiogenik.
8. Pemeriksaan 2. Pemeriksaan laboratorium hematologi
Penunjang
9. Terapi A. Primary Survey
a. Airway
Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan
bernafas dgn bebas ?
Jika ada obstruksi, lakukan :
 Chin lift/ Jaw thrust
 Suction
 Guedel Airway
 Intubasi trakea
b. Breathing
Bila jalan nafas tidak memadai, lakukan :
 Beri oksigen
c. Circulation
Menilai sirkulasi/peredaran darah
 Hentikan perdarahan external bila ada
 Segera pasang dua jalur infus dgn jarum besar (14-16G)
 Beri infus cairan.
B. Secondary survey.
d. Disability
 Nilai kesadaran dengan menilai GCS.
 Nilai pupil (diameter, simetris, RC)
e. Exposure
Periksa bagian tubuh lain secara cepat (nyeri/jejas di dada,
perut, tungkai, panggul, leher).
C. Bila kondisi pasien telah stabil, persiapkan pasien untuk di rujuk
ke RS yang memiliki fasilitas untuk menangani kasus syok septik
(pemeriksaan penunjang maupun manajemen pasien selanjutnya).
10. Edukasi Informasikan kepada keluarga pasien bahwa keadaan syok septik
merupakan keadaan yang emergency dan harus segera di rujuk ke
pusat pelayanan yang lebih memadai.
11. Prognosis Ad Vitam : dubio ad malam
Ad Sanationam : dubio ad malam
Ad fungsionam : dubio ad malam
12. Tingkat Evidens IV
13. Tingkat C
Rekomendasi
14. Penelaah Kritis 1. dr. Jimmy Ronald Joseph
2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa

15. Indikator Medis 1. Keadaan umum membaik


2. Tanda-tanda syok menghilang.
16. Kepustakaan 1. Bakta, I Made, dkk. Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam.
Buku Kedokteran ECG. 1998.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
SANTA ANNA PROVINSI SULAWESI TENGGARA
KENDARI 2018-2020
PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

KEJANG DEMAM (ICD 10:R56.0 )


1. Pengertian (definisi) Kejang demam adalah suatu bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (suhu rectal > 38oC) yang disebabkan oleh
suatu proses ekstrakranium.
2. Anamnesis 1. Lamanya kejang?
2. Bentuk kejang?
3. Suhu sebelum kejang?
4. Riwayat kejang sebelumnya?
5. Riwayat keluarga yang mengalami kejang demam?
3. Pemeriksaan Fisik 1. Kesadaran.
2. Suhu tubuh.
3. Tanda rangsang meningkat.
4. Tanda peningkatan tekanan intracranial, seperti: kesadaran
menurun, muntah proyektil, fontanel anterior menonjol,
papil edema.
5. Tanda infeksi di luar SSP misalnya otitis media akut,
tonsillitis, bronchitis, furunkulosis, dll.
4. Kriteria Diagnosis 1. Kejang didahului oleh febris (suhu rectal > 38oC).
2. Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan-5
tahun.
3. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam,
kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam
kejang demam.
4. Kejang disertai demam pada bayi berumur < 1 bulan tidak
termasuk kejang demam.
5. Diagnosis Kerja Kejang demam.
6. Diagnosis Banding 1. Epilepsy.
2. Status konvulsi.
3. Meningitis.
3. Gangguan elektrolit (Hipernatremi, Hipokalsemi, Hipoglikemi)

7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan laboratorium hematologi


Penunjang 2. Pemeriksaan lumbal pungsi.
3. Radiologi (foto polos kepala, ST-Scan).
4. EEG.
8. Terapi Penanganan kejang demam meliputi penanganan pada saat kejang dan
pencegahan kejang.
1. Penanganan saat kejang.
a. Menghentikan kejang.
Diazepam dosis awal 0,3-0,5 mg/kgBB/dosis IV (perlahan-
lahan) atau 0,4-0,6 mg/KgBB/dosis Rectal suppositoria. Bila
kejang masih belum teratasi dapat diulang dengan dosis
yang sama 20 menit kemudian.
b. Turunkan demam.
Antipiretika: Parasetamol 10mg/KgBB/dosis PO atau
Ibuprofen 5-10 mg/KgBB/dosis PO, keduanya diberikan 3-4
kali perhari. Kompres suhu > 39oC: air hangat; suhu >38oC
air biasa.
c. Pengobatan penyebab.
Antibiotika diberikan sesuai indikasi dengan penyakit
dasarnya.
d. Penanganan supportif lainnya, meliputi:
 Bebaskan jalan nafas.
 Pemberian oksigen.
 Menjaga keseimbangan air dan elektrolit.
 Pertahankan keseimbangan tekanan darah.
2. Pencagahan kejang.
a. Pencegahan berkala (intermiten).
Untuk kejang demam sederhana dengan diazepam 0,3
mg/KgBB/dosis PO dan antipiretika pada saat anak
menderita penyakit yang disertai dengan demam.
b. Pencegahan kontinu.
Utuk kejang dema, komplikata dengan asam valproat 15-40
mg/KgBB/hari PO dibagi dalam 2-3 dosis.
9. Edukasi Informasikan kepada keluarga mengenai pencegahan kejang dan
penanganan demam pada anak di rumah.
10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam/malam
Ad Sanationam : dubio ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubio ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. dr. Jimmy Ronald Joseph
2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa

14. Indikator Medis 1. Keadaan umum membaik


2. Kejang menghilang.
15. Kepustakaan 1. Melda deliana. Tata Laksana Kejang Demam Pada Anak. Sari
pediatric, vol.4, No 2, September 2002, hal. 59-62.
2. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam IDAI
3. Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2009
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
RUMAH SAKIT SANTA
ANNA KENDARI PROVINSI SULAWESI TENGGARA
PROVINSI SULAWESI 2018-2020
TENGGARA

EPISTAKSIS (ICD 10: R04.0 )


1. Pengertian Adalah suatu keadaan perdarahan dari hidung yang keluar
(definisi) melalui lubang hidung akibat sebab kelainan lokal pada rongga
hidung ataupun karena kelainan yang terjadi di tempat lain dari
tubuh.
2. Anamnesis 1. Onset perdarahan.
2. Riwayat trauma local pada hidung
3. Adanya penyakit sistemik (misalnya: hipertensi, leukemia, anemia,
dll).
3. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan umum pasien.
2. Pemeriksaan rhinoskopi anterior, didapat adanya bleeding
aktif.
3. Adanya ekskoriasi pada hidung.
4. Kriteria Diagnosis 1. Adanya perdarahan pada hidung.
2. Adanya riwayat trauma.
3. Adanya penyakit sistemik yang mendasari.
5. Diagnosis Kerja Epistaksis.
6. Diagnosis Banding -
7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan laboratorium hematologi
Penunjang 2. Pemeriksaan foto water’s.
8. Terapi 1. Memijat hidung pada ala nasi selama 10 menit.
2. Tampon adrenalin 0,1% dan dibiarkan selama 24 jam.
3. Pemberiasn asan tranexamat tablet 3x1 tablet.
4. Pemberian antibiotic oral missal amoxicillin 3x1 tablet (bila
perlu).
5. kontrol poliklinik THT.
6. Pada pasien dengan hipertensi dan penyakit jantung , pemberian
adrenalin merupakan kontraindikasi.Pada kasus ini dapat
dipasang tampon anterior padat yang telah diperas dan
sebelumnya telah direndam pada air suhu dingin.
7. Bila tampon anterior tidak berhasil ,rujuk pasien ke Rs Sanglah
dengan tampon anterior tetap terpasang
9. Edukasi 1. Informasikan kepada keluarga tentang cara penanganan epistaksis
dirumah.
2. Bila perdarahan berlanjut, segera ke unit gawat darurat untuk
pemeriksaan penunjang.
3. Informasikan kepada pasien untuk tidak mengorek-korek hidung
dan membuang ingus jangan terlalu keras.

10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam.


Ad Sanationam : dubio ad bonam.
Ad fungsionam : dubio ad bonam.
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. dr. Jimmy Ronald Joseph
2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa

14. Indikator Medis 1. Keadaan umum membaik


2. Perdarahan berhenti
15. Kepustakaan 1. Pedoman diagnosis dan terapi ilmu penyakit telinga hidung dan
tenggorok. Lab/UPF THT, fakultas kedokteran universitas
udayana, RSUP denpasar, 1992.
2. Epistaksis, Dalam Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan.
Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran.
3. Syamsuhidajat R, Wim de Jong. Epistaksis. Dalam Buku ajar
Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran. EGC,
2004.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
2018-2020
RUMAH SAKIT
SANTA ANNA
KENDARI
PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

BENDA ASING PADA JALAN NAFAS (ICD 10: T17.8 )


1. Pengertian Adanya benda atau benda asing di saluran jalan nafas (laring,trakea,bronkus)
(definisi)
2. Anamnesis 1. Nampak batuk medadak hebat dan bertubi tubi

2. Sesak kadang sampai sianosis

3. Pasien tidak dapat bicara, bernafas, bersuara


4. Menunjukkan sikap tercekik

3. Pemeriksaan  Kadang-kadang tidak dapat diternukan gejala yang jelas


Fisik  Bila ada penyumbatan jalan napas atas, tampak:
 Gelisah
 Sesak
 stridor inspirasi
 Retraksi supraklavikuler, interkostal, epigastrial, supra steroal biru
(sianosis)
 Bila benda asing berhenti pada salah satu cabang bronkus:
 Gerak nafas satu sisi berkurang
 Suara nafas satu sisi berkurang
 Pada fase tenang, mungkin gejala tersebut di atas tidak ada.

4. Kriteria 1 Dengan anamnesis seperti nampak batuk medadak hebat dan bertubi tubi
Diagnosis Sesak kadang sampai sianosis. Pasien tidak dapat bicara, bernafas,
bersuara. Menunjukkan sikap tercekik
2 Pemeriksaan Fisik dengan ada penyumbatan jalan napas atas, tampak:

 Gelisah
 Sesak
 stridor inspirasi
 Retraksi supraklavikuler, interkostal, epigastrial, supra steroal biru
(sianosis)
 Bila benda asing berhenti pada salah satu cabang bronkus:
- Gerak nafas satu sisi berkurang
- Suara nafas satu sisi berkurang
- Pada fase tenang, mungkin gejala tersebut di atas tidak ada.

5. Diagnosis Kerja Benda Asing Pada Jalan Nafas

6. Diagnosis 1.Asma bronkial


Banding
2.Laringitis akut.

3.Trakeitis

4.Bronkitis

5.Pneumoni
7. Pemeriksaan 1. X-foto toraks, hanya dikerjakan pada kasus-kasus tertentu, karena bila
Penunjang masih baru dan bendanya non radio opaqe, sering tidak tampak kelainan.

8. Terapi 1. Bila pasien sadar dan belum menunjukan tanda tanda hipoksia ,tenangkan
pasien dan berikan oksigen 2 liter /menit

2. Pasien segera dirujuk dengan dokter dan perawat

3. Jika dalam perjalanan terjadi sianosis dan kehilangan kesadaran sembari


mencari posisi ternyaman untuk pasien , maka lakukan tindakan back
blow atau Heimlich Maneuver. JIka masih dalam keadaan sadar , kedua
tindakan itu dapat dilakukan dalam posisi berdiri. Pada pasien tidak sadar
dapat dilakukan posisi terlentang.

4. Jika tidak berhasil dengan tindakan diatas dapat dilakukan insersi needle
dengan ukuran terbesar pada kartilago cricoid

5. Jika pasien dating dengan kesadaran menurun atau pasien menunjukkan


tanda-tanda hipoksia berikan oksigen ,segera lakukan prosedur nomer 3
dan jika perlu lakukan prosedur nomer Pasien dipersiapkan untuk di rujuk
ke RS Sanglah.

9. Edukasi 1. Untuk anak-anak jaga makanan/mainan yang berukuran kecil/keras seperti


kacang, agar jauh dari jangkauan anak di bawah 3 tahun

2. Untuk pasien tua pastikan gigi/gigi palsu baik

3. Disarankan Jangan mengobrol dan tertawa saat mengunyah

10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam/malam


Ad Sanationam : dubio ad bonam/malam

Ad fungsionam : dubio ad bonam/malam

11. Tingkat Evidens IV


12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1.dr. Jimmy Ronald Joseph
2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa

14. Indikator Medis 1. Benda Asing dari saluran nafas dapat dikeluarkan

2. Tidak ada komplikasi yang terjadi seperti sianosis atau penurunan


kesadaran

15. Kepustakaan 1. Tamin S. Benda asing saluran napas dan cerna. Satelit simposium
penanganan mutakhir kasus telinga hidung tenggorok.

2. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher
(Edisi 7), Penulis: Tim FKUI, Penerbit: Balai Penerbit FKUI,

3. Panduan BCLS Indonesia edisi 2011.


PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
SANTA ANNA PROVINSI SULAWESI TENGGARA
KENDARI 2018-2020
PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

BENDA ASING PADA LIANG TELINGA (ICD 10: T16 ).


1. Pengertian Adalah adanya benda asing pada liang telinga Benda asing bisa
(definisi) berupa biji-bijian, kapas, manik-manik dan serangga
2. Anamnesis 1. Riwayat memasukkan benda asing ke liang telinga (biasanya pada
pasien anak-anak).
2. Telinga terasa penuh.
3. Adanya rasa nyeri dan gerakan serangga di liang telinga pada pasien
dengan riwayat kemasukkan serangga.
3. Pemeriksaan Ditemukan adanya benda asing pada telinga.
Fisik
4. Kriteria 1. Riwayat kemasukkan benda asing pada anamnesis.
Diagnosis 2. Dari pemeriksaan fisik didapat adanya benda asing pada telinga.
5. Diagnosis Kerja Benda asing pada liang telinga.
6. Diagnosis -
Banding
7. Pemeriksaan -
Penunjang
8. Terapi 1. Benda mati: benda diambil dengan kaitan pada benda yang berbentuk
bulat dan dengan pinset bayonet bila bentuk benda gepeng.
2. Benda hidup: serangga dibunuh dengan cairan karbol gliserin 10% dan
dikeluarkan dengan pinset bayonet atau kaitan.
9. Edukasi 1. Informasikan pada keluarga pasien untuk memperhatikan mainan yang
dibawa oleh anak-anaknya (misalnya manic-manik, ataupun biji-bijian).
2. Selalu memeriksa cotton bud yang digunakan untuk membersihkan
telinga apakah mudah terlepas atau tidak.
10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam.
Ad Sanationam : dubio ad bonam.
Ad fungsionam : dubio ad bonam.
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. dr. Jimmy Ronald Joseph
2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa

14. Indikator Medis 1. Benda asing terangkat.


2. Keluhan membaik.
15. Kepustakaan Pedoman diagnosis dan terapi ilmu penyakit telinga hidung dan tenggorok.
Lab/UPF THT, fakultas kedokteran universitas udayana, RSUP denpasar,
1992
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
SANTA ANNA PROVINSI SULAWESI TENGGARA
KENDARI 2018-2020
PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

BENDA ASING PADA HIDUNG (ICD 10: T17.1 ).


1. Pengertian Adalah adanya benda asing pada hidung. Benda asing bisa berupa
(definisi) biji-bijian, kapas, manik-manik, dan lain-lain
2. Anamnesis 1. Riwayat memasukkan benda asing ke dalam hidung (biasanya pada
pasien anak-anak).
2. Hidung berair.
3. Hidung berbau bila benda asing sudah lama di dalam rongga hidung.
3. Pemeriksaan Ditemukan adanya benda asing hidung.
Fisik
4. Kriteria 1. Riwayat kemasukkan benda asing pada anamnesis.
Diagnosis 2. Dari pemeriksaan fisik didapat adanya benda asing pada hidung.
5. Diagnosis Kerja Benda asing pada hidung.
6. Diagnosis -
Banding
7. Pemeriksaan 1. Foto water’s
Penunjang
8. Terapi 1. Ekstraksi korpal dengan menggunakan pinset bayonet pada benda yang
berbentuk pipih ataupun menggunakan kaitan pada benda yang
berbentik bulat.
9. Edukasi 1. Informasikan pada keluarga pasien untuk memperhatikan mainan yang
dibawa oleh anak-anaknya (misalnya manic-manik, ataupun biji-bijian).
10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam.
Ad Sanationam : dubio ad bonam.
Ad fungsionam : dubio ad bonam.
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. dr. Jimmy Ronald Joseph
2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa

14. Indikator Medis 1. Benda asing terangkat.


2. Keluhan membaik.
15. Kepustakaan Pedoman diagnosis dan terapi ilmu penyakit telinga hidung dan tenggorok.
Lab/UPF THT, fakultas kedokteran universitas udayana, RSUP denpasar,
1992
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
RUMAH SAKIT SANTA
ANNA KENDARI PROVINSI SULAWESI TENGGARA
PROVINSI SULAWESI 2018-2020
TENGGARA

BENDA ASING PADA TONSIL (ICD 10: T17.2 )


1. Pengertian Adalah adanya benda asing pada tonsil, Benda asing bisa berupa
(definisi) tulang ikan, dan lain-lain
2. Anamnesis 1. Adanya riwayat makan ikan laut.
2. Adanya rasa tidak nyaman pada tenggorokan.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Adanya benda asing pada tonsil.
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis.
2. Adanya rasa tidak nyaman pada tenggorokan.
3. Ditemukan adanya benda asing pada tonsil.
5. Diagnosis Kerja Benda asing pada tonsil.
6. Diagnosis Banding -
7. Pemeriksaan 1. Foto cervical.
Penunjang
8. Terapi 1. Ekstraksi korpal dengan menggunakan pinset bayonet.
9. Edukasi Informasikan pada pasien untuk memperhatikan makanan yang dimakan,
terutama bila makan ikan.
10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam.
Ad Sanationam : dubio ad bonam.
Ad fungsionam : dubio ad bonam.
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. dr. Jimmy Ronald Joseph
2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa

14. Indikator Medis 1. Benda asing terangkat.


2. Keluhan membaik.
15. Kepustakaan Pedoman diagnosis dan terapi ilmu penyakit telinga hidung dan tenggorok.
Lab/UPF THT, fakultas kedokteran universitas udayana, RSUP denpasar,
1992
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT
RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
SANTA ANNA
KENDARI PROVINSI SULAWESI TENGGARA
PROVINSI 2018-2020
SULAWESI
TENGGARA

HYPERPIREXIA (ICD 10: R50.9 )


1. Pengertian Adalah suatu keadaan demam dengan kenaikan suhu tubuh diatas
(definisi) 41oC.
2. Anamnesis 1. Adanya demam (onset demam, pola demam).
2. Riwayat imunisasi.
3. Adanya riwayat penyakit yang mendasari misalnya tifoid, influenza dsb.
4. Adanya riwayat keluarga dengan keluhan yang sama.
3. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan suhu tubuh menunjukkan suhu tubuh diatas 41oC.
Fisik 2. Pemeriksaan status kesadaran.
3. Pada pemeriksaan status general biasanya dalam batas normal.
4. Tanda-tanda penyakit yang mendasari.
4. Kriteria Adanya peningkatan suhu tubuh diatas 41oC.
Diagnosis
5. Diagnosis Kerja hyperpirexia
6. Diagnosis 1. Hipertermia.
Banding 2. Dengue fever.
3. Malaria.
4. Varicella.
5. Keganasan.
6. Proses peradangan, dll.
7. Pemeriksaan Pemeriksaan hematologi rutin.
Penunjang
8. Terapi Pada penanganan awal dapat diberikan parasetamol dengan dosis 10-15
mg/KgBB/kali (dapat diberikan secara oral atau rectal), dapat juga diberikan
ibuprofen dengan dosis 5-10 mg/KgBB/kali (dapat secara oral maupun
rectal.
9. Edukasi Informasikan pada pasien/keluarga pasien untuk:
1. Membatasi aktifitas penderita dengan tujuan untuk menghemat energy
dan menurunkan kebutuhan oksigen.
2. Cegah dehidrasi (kekurangan cairan) dengan memberikan banyak
minum pada pasien.
3. Ganti baju yang basah akibat keringat, gunakan baju tipis dan
menyerap keringat ketika demam dan bila klien menggigil atau
merasa kedinginan selimuti klien tetapi bila menggigil telah hilang
gunakan kembali baju tipis dan lepas selimut.
4. Berikan kompres air biasa selama 5 menit di bagian dahi, leher,
ketiak, selangkangan dan bawah lutut. Lakukan berulang bila suhu
kembali panas.
5. Atur suhu ruangan lebih dingin.
6. Informasikan pasien/keluarga pasien untuk melakukan pemeriksaan
darah bila panas menetap.
10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam.
Ad Sanationam : dubio ad bonam.
Ad fungsionam : dubio ad bonam.
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. dr. Jimmy Ronald Joseph
2. dr. Meriam Howard
3. dr. Ellen Seprilia Sujiman
4. dr. Selfa

14. Indikator Medis 1. Panas menghilang.


2. Pasien merasa lebih nyaman.
15. Kepustakaan 1. Penanganan Terkini Hipertermia dan Hiperpireksia.Dokter Anak
Indonesia.http//www.dokteranakonline.com. Diunduh 10 Juli 2014
2. Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2009
3. Artikel “Penatalaksanaan Demam Pada Anak” oleh dr.Nia Kania,
Sp.A, M.Kes
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS
RUMAH SAKIT SANTA ANNA KENDARI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
2018-2020
RUMAH SAKIT SANTA ANNA
KENDARI
PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

ASIMPTOMATIK RISIKO TINGGI PENYAKIT JANTUNG KORONER

5. Pengertian (definisi) Pasien dengan resiko tinggi penyakit jantung


koroner (PJK) menurut skor risiko Framingham
atau terdapat salah satu faktor resiko mayor
PJK antara lain: diabetes, hipertensi,
dislipidemia, menopause, perokok, pria usia
>40 tahun, dan factor keturunan PJK.

6. Anamnesis Terdapat salah satu risiko mayor.


7. Pemeriksaan Fisik Dalam batas normal kecuali disertai komplikasi
dan atau komorbid.
8. Kriteria Diagnosis 1. Memenuhi kriteria anamnesis
2. Resiko tinggi lebih dari 10% mortalitas dalam
10 tahun menurut skor risiko Framingham

8. Diagnosis Kerja Colic abdomen

9. Diagnosis Banding Kanan Atas:

 Kolesistitis akut
 Pankreasitis akut
 Perforasi tukak peptik
 Hepatitis akut
 Abses hati
 Kongestif hepatomegali akut
 Pneumonia dengan reaksi pleura

Kiri Atas:

 Perforasi lambung
 Pankreasitis akut
 Perforasi kolon
 Pneumonia dengan reaksi pleura
 Infark Miokard
 Pielonefritis akut
Peri Umbilikal:

 Obstruksi
 Apendiksitis
 Pankreasitis akut
 Hernia strangulasi
 Divertikulitis

Kanan Bawah:

 Apendiksitis
 Adneksitis
 Endometriosis
 KET (kehamilan ektopik terganggu
 Divertikulitis
 Perforasi caecum
 Batu ureter
 Hernia
 Abses psoas

Kiri Bawah:

 Divertikulitis
 Adneksitis / Endometriosis
 Perforasi kolon / sigmoid
 Batu ureter
 Hernia
 Abses psoas

10. PemeriksaanPenunjang 1. Pemeriksaan darah seperti Leukosit , Hb


5. Pemeriksaan urin
6. Pemeriksaan feses
7. Radiologi
9. Terapi 2. Berikan anti nyeri per oral dan anti nyeri
intermuskular / anti nyeri supositori .
2. Untuk colic internal dan nyata peristaltic meningkat
bisa diberi injeksi buscopan.
3. Bila nyeri hilang berikan resep obat oral anti nyeri
dan spasmalitik
4. Evaluasi 15-30 menit bila tidak ada perubahan
penderita di rujuk ke RS Sanglah tanpa ambulance
dengan ambulance bila ada tindakan live saving.
10. Edukasi 5. Istirahat yang cukup
6. Pertahankan lingkungan yang tenang
7. Cukup makan dan minum
8. Menjaga personal higien yang baik
15. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam/malam
Ad Sanationam : dubio ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubio ad bonam/malam
16. Tingkat Evidens IV

17. Tingkat Rekomendasi C

18. Penelaah Kritis 5. dr. Jimmy Ronald Joseph


6. dr. Meriam Howard
7. dr. Ellen Seprilia Sujiman
8. dr. Selfa

19. Indikator Medis 3. Berkurangnya kram atau kolik setelah pemberian


anti nyeri /anti spasmalitik baik dengan anti nyeri
oral atau intramuscular.
4. Pasien terlihat tidak gelisah
16. Kepustakaan 2. Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar
Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai