Oleh:
Edwin Prasetya
NIM 1710029059
Pembimbing:
Dr. Krispinus Duma, S.KM, M.Kes
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ujian
Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat Periode Agustus 2019. Saya menyadari
bahwa keberhasilan penyusunan tugas ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai
pihak. Pada kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
Penyusun
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL 1
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
1. PENDAHULUAN 4
2. KASUS 6
2.1 Definisi 3
2.2 Epidemiologi 3
2.3 Patofisiologi 7
2.4 Manifestasi Klinis 10
2.5 Pemeriksaan Penunjang 11
2.6 Diagnosis Banding 12
2.7 Penatalaksanaan 13
2.8 Komplikasi 16
DAFTAR PUSTAKA 18
3
BAB 1
PENDAHULUAN
Penyakit akibat kerja disebabkan oleh paparan terhadap bahan kimia dan
biologis, serta bahaya fisik di tempat kerja. Meskipun angka kejadiannya tampak
lebih kecil dibandingkan dengan penyakit-penyakit utama penyebab cacat lainnya,
terdapat bukti bahwa penyakit ini mengenai cukup banyak orang. Khususnya di
negara-negara yang sedang giat mengembangkan industri. Pada banyak kasus,
penyakit akibat kerja ini bersifat berat dan mengakibatkan kecacatan. Akan tetapi
ada dua faktor yang membuat penyakit ini mudah dicegah. Pertama, bahan
penyebab penyakit dapat diidentifikasi, diukur dan dikontrol. Kedua, populasi
yang beresiko biasanya mudah didatangi dan diawasi secara teratur serta diobati.
Salah satu bahan kimia yang dapat menyebabkan bahaya biologis adalah
osmium. Osmium tetroxide (OsO4) adalah senyawa kimia berbentuk solid, tidak
mudah terbakar, tidak berwarna atau bisa berwarna kuning pucat yang memiliki
bau seperti klor yang tidak disukai. Senyawa ini perlahan berkembang ketika
logam osmium bubuk terkena udara. OsO4 cukup larut dalam air dan dalam
beberapa pelarut organik, tetapi bereaksi sebagai oksidan dengan banyak dari
mereka. Zat ini digunakan dalam sintesis organik, terutama untuk mengoksidasi
ikatan karbon tak jenuh menjadi senyawa dihidroksi (glikol). Penggunaannya
yang paling umum adalah sebagai zat pewarnaan dan "fixant" dalam mikroskop
elektron transmisi. Bahan kimia ini menyublim pada suhu kamar, memiliki
tekanan uap luar biasa sekitar 7 mmHg pada 20oC (lebih khas untuk senyawa cair
daripada untuk padatan), dibandingkan dengan 17 mmHg untuk air, 2 mmHg
untuk nerve agent sarin, atau 0,07 mmHg untuk blistering agent sulfur mustard
dalam kondisi yang sama. Bahan ini sangat beracun, bahkan pada konsentrasi
yang sangat rendah, dan harus ditangani sesuai dengan tindakan pencegahan yang
sesuai. Waktu bisa cepat berlalu antara paparan dan munculnya gejala klinis yang
terlihat (Makarovsky, et al., 2007).
Osmium tetroxide adalah pengoksidasi cepat dan tidak diskriminatif yang
tidak membedakan antara jaringan organik dan bahan anorganik. Sebuah studi
toksisitas inhalasi dengan kelinci terbukti sia-sia, karena pengurangan yang cepat
4
dari OsO4 oleh kulit, rambut, membran mukosa, dan lain-lain. Menghirup,
menelan, kontak dengan kulit dan dengan selaput lendir dapat mengakibatkan
konsekuensi yang parah. Karena tekanan uapnya yang tinggi, sebagian besar
paparan adalah uap. Ini dapat menyebabkan luka kimia parah pada mata, kulit dan
saluran pernapasan. Kontak jangka pendek dengan uap dapat menyebabkan
lakrimasi, disertai batuk, sakit kepala, dan pusing. OsO4 dapat menyebabkan
kebutaan yang ireversibel dengan mengubah kornea menjadi hitam. Gejala
mungkin tidak terlihat sampai beberapa jam setelah paparan. Orang yang terkena
dampak mungkin tidak segera menyadari sejauh mana dampak racunnya. Efek
tertunda parah lainnya setelah paparan inhalasi adalah bronkitis, cedera paru akut,
yang dapat diikuti oleh edema paru non-kardiogenik. Kontak langsung dengan
larutan osmium tetroxide akan mengubah kulit menjadi hitam (luka bakar kimia
parah karena sifat pengoksidasi yang kuat). Luka bakar yang menyakitkan atau
dermatitis kontak dapat terjadi, tergantung konsentrasi. OsO4 tidak dianggap
sebagai karsinogen. Kematian terutama merupakan akibat dari komplikasi akibat
paparan (Makarovsky, et al., 2007).
Perubahan-perubahan awal seringkali dapat pulih dengan penanganan
yang tepat. Akan tetapi yang menjadi fokus utama ilmu kesehatan masyarakat
adalah hubungan antara dampak negatif bagi kesehatan dengan zat yang bersifat
racun (toksin) yang ditemukan ditempat kerja. Oleh karena itu, deteksi dini
penyakit akibat kerja sangatlah penting. Dengan demikian, tenaga kerja yang sakit
dapat segera diobati sehingga penyakitnya tidak berkembang dan dapat
disembuhkan dengan segera. selain itu juga dapat dilakukan pencegahan agar
tenaga kerja yang lain dapat terlindung dari penyakit tersebut (National Research
Council, 2008).
Dengan adanya tugas ini, diharapkan dapat menjelaskan sebagian kecil
masalah yang dialami pekerja. Khususnya pekerja yang terkena pajanan osmium.
5
BAB 2
KASUS
Seorang pria mengeluhkan adanya batuk dan sesak napas yang sudah
dirasakan selama satu bulan terakhir. Keluhan batuk disertai dengan dahak yang
berwarna kuning kehijauan, dan dapat disertai sesak napas ketika batuk
berlangsung. Pria tersebut bekerja sebagai teknisi laboratorium di sebuah
laboratorium di Amerika Serikat. Sebelumnya, di lab tersebut sedang dilakukan
penelitian dengan menggunakan bahan kimia osmium. Paparan terjadi melalui
uap akibat proses pemanasan osmium. Keluhan pada mata seperti rasa nyeri,
rasa silau, dan berair juga sempat dirasakan.
6
2.2 Epidemiologi
Di negara barat, kekerapan bronkitis diperkirakan sebanyak 1,3% di antara
populasi. Di Amerika Serikat, menurut National Center for Health Statistics, kira-
kira ada 14 juta orang menderita bronkitis. Lebih dari 12 juta orang menderita
bronkitis akut pada tahun 1994, sama dengan 5% populasi Amerika Serikat
(Davey, 2006). Frekuensi bronkitis lebih banyak pada populasi dengan status
ekonomi rendah dan pada kawasan industri.5 Bronkitis lebih banyak terdapat pada
laki-laki dibanding wanita (Davey, 2006). Di Indonesia belum ada laporan
tentang angka persentase yang pasti mengenai penyakit ini. Kenyataannya
penyakit ini sering ditemukan di klinik (Mansjoer, 2005).
Faktor risiko bronkitis adalah sebagai berikut:
1) Polusi dalam ruangan
Asap rokok
Asap kompor
2) Polusi luar ruangan
Gas kendaraan bermotor
Debu jalanan
3) Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)
4) Infeksi saluran nafas bawah berulang
5) Kondisi Sosial ekonomi
2.3 Patofisiologi
1. Asap rokok dan zat iritan
Asap rokok, debu di tempat kerja dan polusi udara merupakan bahan-
bahan iritan dan oksidan yang menyebabkan terjadinya bronkitis kronik. Dari
semua ini asap rokok merupakan penyebab yang paling penting. Tidak semua
orang yang terpapar zat ini menderita bronkitis kronik, hal ini dipengaruhi
oleh status imunologik dan kepekaan yang bersifat familial. Di dalam asap
rokok terdapat campuran zat yang berbentuk gas dan partikel. Setiap
hembusan asap rokok mengandung radikal bebas yaitu radikal hidroksida
(OH). Sebagian bebas radikal bebas ini akan sampai ke alveolus (Sudoyo,
7
2014). Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak paru; kerusakan
parenkim paru oleh oksidan ini terjadi karena:
1) Kerusakan dinding alveolus
2) Modifikasi fungsi anti elastase pada saluran napas.
Antielastase seharusnya menghambat netrofil, oksidan menyebabkan
fungsi ini terganggu sehingga timbul kerusakan jaringan interstitial alveolus.
Partikulat yang terdapat dalam asap rokok dan udara yang terpolusi
mempunyai dampak yang besar terhadap pembersihan oleh sistem mukosilier.
Sebagian besar partikulat tersebut mengendap di lapisan mukus yang melapisi
mukosa bronkus, sehingga mengharnbat aktivitas silia. Pergerakan cairan
yang melapisi mukosa bronkus akan sangat berkurang, mengakibatkan
meningkatnya iritasi pada epitel mukosa bronkus. Kelenjar mukosa dan sel
goblet dirangsang untuk menghasilkan mukus yang lebih banyak, hal ini
ditambah dengan gangguan aktivasi silia menyebabkan timbulnya batuk
kronik dan ekspektorasi. Produksi mukus yang berlebihan memudahkan
terjadinya infeksi dan memperlambat proses penyembuhan. Keadaan ini
merupakan suatu lingkaran dengan akibat terjadi hipersekresi. Di samping itu
terjadi penebalan dinding saluran napas sehingga dapat timbul mucous
plug yang menyumbat jalan napas, tetapi sumbatan ini masih bersifat
reversibel. Bila iritasi dan oksidasi di saluran napas terus berlangsung maka
terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut. Disamping itu terjadi
pula metaplasia skuamosa dan penebalan lapisan submukosa. Keadaan ini
mengakibatkan stenosis dan obstruksi saluran napas yang bersifat ireversibel
(West, 2003).
Asap mengiritasi jalan nafas dan menyebabkan hipersekresi dan
inflamasi. Karena iritasi konstan menyebabkan hipertrofi dan hyperplasia
kelenjar yang mensekresi mucus. Secara umummnya, jumlah sel goblet pada
saluran pernafasan turut bertambah pada pasien dengan bronchitis kronis
terutama di di bagian perifer dari saluran pernafaan dengan fungsi silia yang
menurun. Perubahan ini menyebabkan sekresi mucus meningkat dan dengan
komposisi yang lebih kental. Sebagai akibat lumen bronkiolus menyempit dan
tersumbat. Selain itu, alveoli yang berdekatan bronkiolus menjadi rusak dan
8
membentuk fibrosis yang kemudian mengakibatkan perubahan fungsi
makrofag alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel
asing. Hal ini menyebabkan pasien lebih rentan terhadap infeksi pernafasan.
Pada dinding bronchial juga ditemukan terjadinya proses inflamasi dengan
infiltrasi sel-sel radang dan jaringan fibrosis yang menyebabkan penyempitan
lebih lanjut pada bronchial. Pada waktunya mungkin terjadi perubahan yang
irreversible. Temuan patologis utama pada bronchitis kronis adalah hipertrofi
kelenjar mukosa bronkus, hipertrofi dan hyperplasia sel-sel goblet, infiltrasi
sel-sel radang dengan edema pada mukosa bronkus. Pembentukan mucus yang
meningkat meyebabkn gejala yang khas yaitu batuk produktif (Harrison,
2005).
2. Infeksi
Infeksi pada saluran nafas bukan penyebab pada brokitis kronis tapi
merupakan factor pencetus terjadinya eksaserbasi akut pada penyakit ini.
Infeksi akan memperparah gejala dan memperburuk fungsi paru. Infesi pada
traktus respiratorius pada waktu anak merupakan factor predisposisi
munculnya bronchitis kronis saat dewasa. Ini mungkin menjelaskan kenapa
bronchitis kronis tidak muncul pada semua perokok. Infeksi pada traktus
respiratorius waktu anak mungkin mengganggu perkembangan dan fungsi
paru yang berakibat pada terjadinya bronchitis kronis saar dewasa (Harrison,
2005)
9
2.4 Manifestasi Klinis
Anamnesis
1.Batuk yang sangat produktif, purulen dan mudah memburuk dengan inhalasi
iritan, udara dingin atau infeksi
2. Produksi mukus dalam jumlah yang sangat banyak
3. Dyspnea
4. Riwayat merokok, paparan zat iritan di tempat kerja (Mansjoer, 2005)
Pemeriksaan Fisik
Pada stadium awal, pasien belum ada keluhan. Pada stadium yang lebih
lanjut, didapatkan fase ekspirasi yang memanjang dan mengi. Didapatkan juga
tanda-tanda hiperinflasi seperti barrel chest dan hipersonor pada perkusi. Pasien
yang dengan obstruksi jalan nafas berat akan menggunakan otot-otot pernafasan
tambahan duduk dalam posisi tripod (Harrison, 2005). Didapatkan juga sianosis
pada bibir dan kuku pasien (West, 2003).
1. Inspeksi
Pursed lips breathing
Barrel chest
Penggunaan otot bantu pernafasan
Hipertrofi otot bantu pernafasan
JVP meningkat
Edema tungkai bawah
Penampilan blue bloater. Gambaran khas bronchitis kronis, gemuk,
sianosis, edema tungkai dan ronki basah di basal paru. Sianosis di
sentral dan perifer (West, 2003).
2. Palpasi
Fremitus melemah
3. Perkusi
Hipersonor
10
4. Auskultasi
Suara nafas vesikuler normal atau melemah
Ronki dan mengi saat nafas biasa atau eskpirasi paksa
Ekspirasi memanjang
Bunyi jantung terdengar jauh
11
2.6 Diagnosis Banding
12
TB Gambaran foto toraks bekas TB : fibrotic dan kalsifikasi
minimal
2.7 Penatalaksanaan
13
merupakan petunjuk penggunaan bronkodilator. Pemberian bronkodilator
hendaklah selalu dicoba pada penderita bronkitis kronik. Obat yang diberikan
adalah golongan antikolinergik agonis beta-2 dan golongan xanthin (Mansjoer,
2005).
Golongan antikolinergik merupakan pilihan pertama, obat ini diberikan
secara inhalasi yaitu preparat ipratropium bromid. Obat ini mempunyai beberapa
keuntungan dibandingkan golongan agonis beta-2, yaitu efek bronkodilatornya
lebih besar, tidak menimbulkan fenomena takifilaksis, tidak mempunyai efek
samping tremor dan palpitasi, tidak mempengaruhi sistem pembersihan
mukosilier, masa kerjanya cukup lama yaitu 6-8 jam dan theurapetic margin of
safety nya cukup panjang oleh karena obat ini tidak diabsorpsi (Sudoyo, 2014).
Obat golongan agonis beta-2 yang diberikan secara oral bisa menimbulkan
efek samping tremor, palpitasi dan sakit kepala. Pemberian obat secara inhalasi
mengurangi efek samping ini, selain itu dapat memobilisasi pengeluaran dahak.
Obat ini bekerja dengan mengaktifkan adenilsiklase dengan akibat meningkatnya
produksi siklik AMP dan menimbulkan relaksasi otot polos saluran napas.
Golongan xanthin merupakan bronkodilator paling lemah, bekerja dengan
menghambat aksi enzim fosfodiesterase, yaitu enzim yang menginaktifkan siklik
AMP. Selain sebagai bronkodilator, obat ini mempunyai efek yang kuat dan
berlangsung lama dalam meningkatkan daya kontraksi otot diafragma dan daya
tahan terhadap kelelahan otot pada penderita. Bronkodilator hendaklah diberikan
dalam bentuk kombinasi, tiga macam obat lebih baik dari dua macam obat, oleh
karena mereka mempunyai efek sinergis. Pemberian secara kombinasi
memberikan efek yang optimal dengan dosis yang lebih rendah dibandingkan
pemberian monoterapi; selain itu dosis yang rendah memberikan efek samping
yang minimal. (Harrison, 2005).
Bila terjadi perubahan warna sputum dengan peningkatan jumlah dahak
dan pertambahan sesak napas, diberikan antibiotika. Pada keadaan demikian
antibiotika diberikan walaupun tidak ada demam, leukositosis dan infiltrat yang
baru pada fototoraks. Diberikan antibiotika golongan ampisilin, eritromisin atau
kotrimoksasol selama 7-10 hari. Bila pemberian antibiotika tidak memberi
perbaikan perlu dilakukan pemeriksaan mikroorganisme. Bila infeksi terjadi
14
selama perawatan di rumah sakit diberikan antibiotika untuk gram negative
(Sudoyo, 2014).
Pada keadaan dekompensasi kordis diberikan digitalis; pemberian
dilakukan secara hati-hati, oleh karena intoksikasi dapat terjadi pada keadaan
hipoksemi. Diuretik diberikan apabila terdapat edema paru (West, 2003).
Pemberian kortikosteroid secara oral manfaatnya masih diperdebatkan.
Pada penderita dengan hipereaktivitas bronkus pemberian steroid secara inhalasi
menunjukkan perbaikan gejala dan fungsi paru. Pemberian steroid inhalasi jangka
lama memperlambat progresivitas penyakit. Pada serangan akut pemberian steroid
jangka pendek mempunyai manfaat. Diberikan prednison 60 mg selama 4-7 hari,
kemudian diturunkan secara bertahap selama 7-10 hari. Pemberian dosis tinggi
kurang dari 7 hari dapat dihentikan tanpa menurunkan dosis secara, bertahap
(Sudoyo, 2014).
Pemberian oksigen pada penderita yang mengalami hipoksemi kronik
dapat menghilangkan beberapa gejala akibat hipoksemi. Pada eksaserbasi akut
dengan hipoksemi sebagai gambaran yang karakteristik, pemberian oksigen
merupakan keharusan. Pada keadaan hipoksemi (PaO2 < lang="id-ID">-3
liter/menit secara terus menerus memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot,
toleransi beban kerja dan pola tidur (Sudoyo, 2014).
Terdapatnya gangguan tidur, gelisah dan sakit kepala merupakan petunjuk
dibutuhkannya oksigen pada waktu malam. Pada penderita hipoksemi dan retensi
CO2, pemberian oksigen konsentrasi tinggi dapat berbahaya, karena pada
penderita ini rangsangan terhadap pusat pernapasan yang terjadi tidak lagi
disebabkan oleh peninggian CO2 di dalam darah tetapi karena adanya hipoksemi.
Pemberian oksigen tinggi dapat menghilangkan hipoksemi ini, sehingga
rangsangan terhadap pusat napas menurun dan akibatnya terjadi hipoventilasi dan
diikuti oleh asidosis respiratorik. Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi,
rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan. Fisioterapi dilakukan untuk
mobilisasi dahak, latihan bernapas menggunakan otot-otot dinding perut sehingga
didapatkan kerja napas yang efektif. Latihan relaksasi berguna untuk
menghilangkan rasa takut dan cemas dan mengurangi kerja otot yang tidak perlu.
Rehabilitasi psikis perlu untuk menghilangkan rasa cemas dan takut. Pemakaian
15
obat-obat penenang tidak dianjurkan karena dapat menekan pusat napas (Harrison,
2005).
Rehabilitasi pekerjaan dilakukan agar penderita dapat melakukan
pekerjaan sesuai dengan kemampuannya. Program rehabilitasi bertujuan
mengembalikan penderita pada tingkat yang paling optimal secara fisik dan
psikis. Tindakan ini secara subjektif bermanfaat buat penderita dan dapat
mengurangi hari perawatan di rumah sakit serta biaya perawatan dan pengobatan;
tetapi tidak mempengaruhi fungsi paru dan analisis gas darah (Harrison, 2005).
Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk memperlambat perjalanan
penyakit adalah: (Sudoyo, 2014)
1. Menghentikan kebiasaan merokok.
2. Menghindari polusi udara dan kerja di tempat yang mempunyai risiko
terjadinya iritasi saluran napas.
3. Menghindari infeksi dan mengobati infeksi sedini mungkin agar tidak
terjadi eksaserbasi akut.
4. Menegakkan diagnosis secara dini agar kelainan paru yang masih
reversibel dapat dideteksi sehingga usaha-usaha untuk menghindari
penyakit berlanjut menjadi kelainan yang ireversibel dapat dilakukan.
5. Melakukan pengobatan dan kontrol secara teratur agar dapat diberikan
obat-obat yang tepat sehingga didapatkan keadaan yang optimal.
6. Evaluasi faal paru secara berkala. Pemeriksaan faal paru pada PPOK
selain berguna sebagai penunjang diagnostik juga bermanfaat untuk
melihat laju penyakit serta meramalkan prognosis penderita.
2.8 Komplikasi
1. Gagal napas
Kronik
Akut pada gagal nafas kronik yang ditandai dengan :
Sputum bertambah dan purulen
Sesak nafas dengan atau sianosis
Demam
16
Kesadaran menurun
2. Cor pulmonale
Pembesaran jantung kanan (dilatasi atau hipertrofi) yang disebabkan
oleh karena kelainan-kelainan fungsi atau struktur paru. Tidak termasuk disini
perubahan paru yang disebabkan primer akibat kelainan jantung kiri serta
kelainan bawaan.
3. Hipertensi pulmonal
Peningkatan abnormal tekanan arteri pulmonal ( normal saat istirahat
<20mmHg, saat senam <30mmHg) (Sudoyo, 2014).
17
DAFTAR PUSTAKA
Makarovsky, I., Markel, G., Hoffman, A., Schein, O., Finkelstien, A., Brosh-
Nissimov, T., et al. (2007). Osmium Tetroxide: A New Kind of Weapon.
The Israel Medical Association Journal , 9, 750-752.
Mansjoer, A. (2005). Kapita Selekta Kedokteran Jilid I Edisi Ke-3. Jakarta: Media
Aesculapius.
Sudoyo, A. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid II. Jakarta:
Interna Publishing.
18
19