Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN APPENDISITIS


AKUT DI RUANG EDELWEIS RSD. dr SOEBANDI JEMBER

disusun guna memenuhi tugas pada Program Studi Pendidikan Profesi Ners
(PSP2N) Stase Keperawatan Bedah

Oleh

Imrotul Koiriyah, S.Kep

NIM. 202311101027

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI

NERS FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Tugas Program Studi Profesi Ners Stase Keperawatan Bedah yang disusun
oleh:

Nama : Imrotul Koiriyah, S.Kep.

NIM : 202311101027

Judul : Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan


Appendisitis Akut Di Ruang Edelweis RSD. dr Soebandi Jember

Telah diperiksa dan disahkan pada:

Hari :

Tangga :

Pembimbing Pembimbing Klinik


Akademik Fakultas Ruang Edelweis
Keperawatan RSD dr. Soebandi Jember
Universitas Jember

Ns. Mulia Hakam, M.Kep., Sp.Kep.MB Ns. Eka Yufi, S.Kep.


NIP. 19810319 201404 1 001 NIP. 19800412 200604 1 002

Mengetahui,
Kepala Ruang Edelweis
RSD dr. Soebandi Jember

Ns. Eka Yufi, S.Kep.


NIP. 19800412 200604 1 002
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN APPENDISITIS
AKUT
Oleh: Imrotul Koiriyah, S.Kep

BAB 1. KONSEP DASAR PENYAKIT

1.1. Anatomi Fisiologi Apendiks


a. Anatomi Apendiks
Apendiks atau yang sering disebut dengan usus buntu merupakan kantung
kecil berlubang yang terletak di dinding posteromedical sekum sekitar 1,7 cm
dibawah katup ileocecal, yang memiliki panjang 8,21 cm. Persyarafan pada
apendiks disediakan oleh saraf vagus. Serabut sensorik aferen mengikuti saraf
simpatis untuk memasuki sumsum tulang belakang. Apendiks biasanya terletak di
kanan bawah kuadran perut. Apendiks memiliki 4 lapisan dinding diantaranya
Serosa (bagian terluar), lapisan otot, submukosa, dan bagian terdalam (mukosa)
(Kuntoadi, 2019).

Gambar 1. Anatomi Appendix


Apendiks terletak di regio iliaka dekstra dan pangkal diproyeksikan ke
dinding anterior abdomen pada titik sepertiga bawah garis yang menghubungkan
spina iliaca anterior superior kanan dan umbilikus. Ujung apendiks mudah
bergerak dan mungkin ditemukan pada tempat-tempat berikut ini:

1) Tergantung ke bawah ke dalam pelvis berhadapan dengan dinding pelvis


kanan,
2) Melengkung di belakang sekum,
3) Menonjol ke atas sepanjang pinggir lateral sekum, dan
4) Di depan atau di belakang pars terminalis ileum.
Posisi pertama dan kedua merupakan posisi yang paling sering ditemukan
(Barlow dkk., 2015).

Gambar 2. Posisi Apendiks

b. Fisiologi Apendiks
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran
lender di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis appendicitis.
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid
tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA.
Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun
demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena
jumlah jaringan limfosit disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di
saluran cerna dan di seluruh tubuh. Disimpulkan bahwa apendiks dapat berfungsi
sebagai semacam “rumah aman” bakteri, yang memungkinkan kelangsungan
hidup simbiosis flora selama serangan diare yang parah. Diare karena virus
gastroenteritis (rotavirus) dan malnutrisi, lazim terjadi di negara berkembang
(Haryono dan Utami, 2019).
1.2. Definisi Penyakit
Appendisitis akut merupakan inflamasi atau peradangan akibat infeksi
mikroorganisme yang masuk ke lapisan submukosa apendiks dan akhirnya
melibatkan seluruh lapisan dindingnya. Peradangan akut dapat menimbulkan
sumbatan lumen apendiks, sehingga menyebabkan bendungan darah vena dan
penutupan arteri. Hal ini mengakibatkan terjadinya gangren bagian ujung atau tempat
sumbatan yang terjadi (Wibowo dkk., 2020).
Appendisitis paling sering merupakan penyakit dengan presentasi akut,
biasanya dalam waktu 24 jam, tetapi bisa juga muncul sebagai kondisi yang lebih
kronis (Bhangu dkk., 2015). Appendisitis akut merupakan penyakit yang selalu
memerlukan terapi pembedahan karena jika tidak dilakukan pengangkatan akan
menyebabkan perforasi dan menyebabkan kontaminasi peritoneal (Merdawati dan
Malini, 2019).

Gambar 3. Appendisitis Akut

1.3. Epidemiologi
Apendisitis paling sering terjadi antara 5-45 tahun dengan usia rata-rata 28
tahun. Insidennya sekitar 233/ 100.000 orang dengan jenis kelamin laki-laki memiliki
kecenderungan yang sedikit lebih tinggi untuk mengembangkan apendisitis akut
dibandingkan dengan perempuan, dengan kejadian seumur hidup sebesar 8,6% untuk
pria dan 6,7% untuk wanita. Ada sekitar 300.000 kunjungan rumah sakit setiap tahun
di Amerika Serikat untuk masalah yang berhubungan dengan usus buntu (Jones,
2020).

Menurut Susan L.,dkk (2016) menyatakan lebih dari 250.000 apendiktomi


dilakukan per tahun, di Amerika Serikat kasus Appendisitis meliputi 11 per
10.000 populasi per tahun, dan angka kejadian ini tidak begitu berbeda di negara
berkembang. Laki-laki lebih berisiko terkena Appendisitis dibanding wanita dengan
rasio 1,4:1. Resiko terjadi kekambuhan pada laki – laki 8,6% sedangkan, 2016).
World Health Organization (WHO) menyebutkan kejadian Appendisitis di Asia
dan Afrika pada tahun 2014 adalah 4,8% dan 2,6% dari total populasi penduduk.
Angka morbiditas dari appendisitis di Indonesia mencapai angka 95 per 1000
penduduk. Pada tahun 2009 telah dilaporkan bahwa terdapat sebanyak 596.132 kasus
orang dengan apendiksitis, dan terus meningkat pada tahu 2010 dengan jumlah
621.435 kasus dengan presentase 3,53%. Kejadian appendisitis meningkat di antara
usia 17-25 tahun. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk jenis kelamin laki
laki maupun perempuan. Namun terdapat perbedaan yang terjadi diantara usia 20-30
tahun, dimana laki-laki lebih rentang untuk menderita apedisitis daripada perempuan
(Fransisca dkk., 2019).

1.4. Etiologi
Appendisitis akut dapat disebabkan oleh infeksi bakteri. Sumbatan pada lumen
appendiks merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi appendisitis. Sumbatan
tersebut diakibatkan karena adanya hiperplasia jaringan limfa, fekalit, tumor
apendiks, dan cacing askariasis (Merdawati dan Malini, 2019). Penyebab lain dari
appendicitis akut ialah erosi mukosa apendiks yang diakibatkan oleh parasite seperti
E. histolytica. Kebiasaan makan makanan rendah serat dan terjadinya konstipasi juga
dapat memicu timbulnya appendicitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan
intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatan
pertumbuhan parasite (James, 2017).

Apendisitis akut disebabkan oleh proses radang bakteria yang dicetuskan oleh
beberapa faktor pencetus. Ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang
apendiks, diantaranya :

1. Faktor Obstruksi Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan


lymphoid submukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan
sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing.

2. Faktor Bakteri Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada


appendiksitis akut. Bakteri yang ditemukan biasanya E.coli, Bacteriodes
fragililis, Splanchicus, Lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus.

3. Kecenderungan Familiar Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi


yang herediter dari organ apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang
tidak baik dan letaknya yang memudahkan terjadi appendiksitis.

4. Faktor Ras dan Diet Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola
makanan sehari – hari.
5. Faktor Infeksi Saluran Pernapasan Setelah mendapat penyakit saluran
pernapasan akut terutama epidemi influenza dan pneumonitis, jumlah kasus
appendiksitis ini meningkat.

1.5. Manifestasi Klinis


Menururt (Di Saverio dkk., 2016; James, 2017) tanda dan gejala appendisitis
akut adalah sebagai berikut :
1) Nyeri abdomen, nyeri terjadi di perut bagian atas pada awalnya. Kemudian
bergerak perlahan dan terlokalisasi ke kuadran kanan bawah.
2) Demam hingga 38 ° C

3) Anoreksia atau hilangnya nafsu makan

4) Mual dan muntah

Menurut Betz, Cecily, 2000 :

1) Sakit, kram di daerah periumbilikus menjalar ke kuadran kana bawah.

2) Anoreksia.

3) Mual..

4) Muntah (tanda awal yang umum, kurang umum pada anak yang lebih besar).

5) Demam ringan di awal penyakit dapat naik tajam pada peritonotis.

6) Nyeri lepas.

7) Bising usus menurun atau tidak ada sama sekali.

8) Konstipasi.

9) Diare.

10) Disuria.
11) Iritabilitas.

12) Gejala berkembang cepat, kondisi dapat didiagnosis dalam 4 sampai 6 jam setelah
munculnya gejala pertama.

1.6. Patofisiologi

Gambar. Patofisiologi Perforasi Apendisitis


Patofisiologi apendisitis kemungkinan berasal dari obstruksi lubang apendiks.
Hal ini dapat menyebabkan peradangan, iskemia lokal, perforasi dan perkembangan
abses atau perforasi yang jelas dengan akibat peritonitis. Obstruksi ini dapat disebabkan
oleh hiperplasia limfoid, infeksi parasit, timbunan feses, atau tumor jinak atau ganas.
Ketika obstruksi berkembang menjadi apendisitis hal itu menyebabkan peningkatan
tekanan intraluminal dan intamural sehingga menyebabkan oklusi pembuluh darah kecil
dan statis limfatik. Setelah itu apendiks akan terisi dengan lendir dan menjadi bengkak
dan berlanjut dengan dinding apendiks menjadi iskemik dan nekrotik. Pertumbuhan
bakteri berlebih (E.coli, peptostreptococcus, bacteroides dan Pseudomonas)
menjadikan apendiks akan tersumbat dan meradang yang apabila tidak dilakukan
penatalaksanaan, akan terjadi nekrosis dan apendiks akan mengalami perforasi yang
menyebabkan abses lokal dan terkadang terjadi komplikasi peritonitis (Hamilton,
2018).
Ketika terjadi peradangan dalam apendiks maka bakteri akan semakin banyak
dan meningkatkan jumlah leukosit sehingga terbentuklah pus. Tekanan intraluminal
apendiks semakin tinggi. Peradangan dan meningkatnya jumlah leukosit ini dapat
menyebabkan beberapa diagnosa keperawatan yang dapat diangkat yakni Nyeri akut.
Suhu tubuh juga akan meningkat akibat dari peradangan atau infeksi yang terjadi
sehingga dapat ditegakkan diagnosa keperawatan Hipertermi sebelum pasien
diindikasikan untuk dilakukan pembedahan (pre-operatif). Apabila apendisitis
terlambat untuk didiagnosa atau terjadi apendisitis kronis maka akan terjadi abses yang
dapat menyebabkan syok dan dapat ditegakkan diagnosa keperawatan Risiko Syok
pada klien sebelum dilakukannya penatalaksanaan bedah. Apabila telah terjadi sepsis
yang merupakan kegawat daruratan dan mengancam nyawa klien akan merasa bersalah
dan tidak terima sehingga dapat ditegakkan diagnosa keperawatan distres spiritual.
Sebelum pembedahan klien sering mengalami cemas dikarenakan akan menghadapi
pembedahan yang dianggap menakutkan dan membahayakan nyawa klien. Pada
keadaan ini dapat ditegakkan diagnosa keperawatan Ansietas.
Saat fase intra operatif atau saat proses pembedahan, suhu ruangan bedah yang
dingin dapat mempengaruhi suhu tubuh klien sehingga dapat ditegakkan diagnosa
keperawatan Hipotermi. Pada saat pembedahan dikarenakan dilakukan insisi pada
abdomen yang dapat menjadi jalan masuk bakteri sehingga dapat ditegakkan risiko
infeksi area pembedahan. Setelah prosedur operasi (post-operative) klien akan
dipindahkan ke ruangan observasi setelah operasi sambil menunggu efek anastesi
hilang. Setelelah efek anastesi hilang tubuh akan mengalami beberapa keadaan seperti
penurunan kesadaran hingga menyebabkan menurunnya kekuatan otot sehingga dapat
ditegakkan diagnosa risiko jatuh.anastesi juga dapat menyebabkan menurunnya
peristaltik usus sehingga terjadi distensi abdomen yang dapat menyebabkan tekanan
intralumen meningkat dan terjadi mual muntah dan dapat menyebabkan gangguan
motilitas gastrointestinal. Mual muntah juga dapat menyebabkan penurunan asupan
cairan oral sehingga dapat meneyebabkan risiko hipovolemi. Luka insisi setelah
pembedahan juga akan memberikan sensasi nyeri setelah efek anastesi hilang sehingga
dapat ditegakkan nyeri akut setelah proses pembedahan dan risiko infeksi akibat
prosedur invasif yang telah dilakukan.
CLINICAL PATHWAY
Pre-Operatif
Post-Operatif

Peradangan
Obstruksi lumen
Efek anastesi apendiks, sekresi mukus
berlebih, koloni bakteri di Reseptor
apendiks syaraf nyeri
Kekuatan otot Peristaltik usus Intra-Operatif
Menurun menurun Infeksi pada apendiks Nyeri Akut

Apendisitis
Distensi Abdomen Gangguan
Risiko Jatuh pusat kontrol
suhu
Tekanan intralumen Tindakan invasif Lumen apendiks pecah
meningkat Pembedahan
Suhu naik
Aliran arteri terganggu
Pintu masuk
Mual/ muntah kuman Infark dinding apendiks Hipertermi

Risiko Perforasi Indikasi


Hipovolemi Risiko Infeksi pembedahan
area
pembedahan Infeksi menyebar ke
organ lain (kronis) Ansietas
Disfungsi Klien cemas
Motilitas
Gastrointes Lingkungan Sepsis Distres
tinal bersuhu dingin Gawat darurat Spiritual
mengancam nyawa
Risiko Syok
Risiko Insisi Hipotermi
Infeksi pembedahan

Nyeri Akut
1.7. Pemeriksaan Penunjang
Menururt (Diyono, 2016) adapun pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan appendicitis akut adalah sebagai berikut :
1. Gejala appendicitis ditegakkan dengan anamnesa, ada 4 hal yang penting
adalah :
a. Nyeri mula – mula di epigastrium (nyeri visceral) yang beberapa waktu
kemudian menjalar ke perut kanan bawah.
b. Muntah oleh karena nyeri visceral.
c. Panas (karena kuman yang menetap di dinding usus).
d. Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak
sakit, menghindarkan pergerakan di perut terasa nyeri.

2. Temuan pada Pemeriksaan Fisik

a. Lokalisasi. terdapat nyeri tekan pada titik Mc. Burney. Dimana ketika
dilakukan palpasi didapatkan nyeri tekan kuadran kanan bawah / titik Mc.
Burney.

b. Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah nyeri yang hebat pada
kuadran kanan bawah sesaat setelah diberikan tekanan yang perlahan dan
dalam kemudian dilepaskan secara tiba-tiba.
c. Rovsing sign adalah nyeri abdomen bagian kuadran kana bawah yang
dirasakan apabila dilakuka penekana pada bagian kiri bawah perut.
d. Psoas sign terjadi karena terdapat rangsang muskulus psoas oleh
peradangan yang terjadi di apendiks.

e. Obturator sign merupakan nyeri yang timbul ketika panggul serta lutut
difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif, hal
itu menunjukkan letak peradangan berada di hipogastrium.

f. Tes Rectal, pada pemeriksaan rectal tocher akan teraba benjolan dan penderita
merasa nyeri pada daerah prolitomi

3. Laboratorium
a. Pemeriksaan darah
1) Leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut terutama pada
kasus dengan komplikasi
2) Pasa appendicular infiltrat, LED akan meningkat.
b. Pemeriksaan urin untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di
dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan
diagnosis banding seperti, infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang
mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendicitis.

4. Radiologi
a. Foto polos abdomen
Pada appendicitis akut yang terjadi lambat dan telah terjadi komplikasi
(misalnya peritonitis) tampak :
1) Scoliosis ke kanan.
2) Psoas shadow tak tampak.
3) Bayangan gas usus kanan bawah tak tampak
4) Garis retroperitoneal fat sisi kanan tubuh tak tampak
5) 5% dari penderita menunjukkan fecalith radio-opak.
b. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG,
terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat
dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik,
adnecitis dan sebagainya.
c. Barium enema
Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon
melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi – komplikasi
dari appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan
diagnosis banding.
d. CT-Scan
Dapat menunjukkan tanda – tanda dari appendicitis. Selain itu, juga dapat
menunjukkan komplikasi dari appendicitis seperti bila terjadi abses.
e. Laparoscopi
Yaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang
dimasukkan dalam abdomen, appendix dapat divisualisasikan secara
langsung. Teknik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada
saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendix maka
pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix
(appendectomy).

Gambar. Laparoscopic Appendictomy

1.8. Penatalaksanaan
Menurut Ramon et al, (2016) manajemen apendisitis dibagi menjadi 3 yakni
sebelum operasi, saat operasi dan pasca operasi. adapun penatalaksanaan tersebut
adalah:
1. Pre-Operatif
a) Pemasangan sonde lambung untuk dekmopresi
b) Pemasangan kateter untuk control produksi urin.
c) Rehidrasi.
d) Berikan antibiotic dan cairan intravena sampai pembedahan dilakukan.
antibiotik telah diusulkan sebagai pengobatan tunggal untuk apendisitis
tanpa komplikasi. Sebagian besar protokol pengobatan termasuk rangkaian
awal antibiotik intravena selama 1-3 hari, diikuti dengan antibiotik oral
selama 7 hari. Biasanya, kombinasi dari sefalosporin dan tinidazol atau
penisilin spektrum luas yang dikombinasikan dengan betalaktam. Inhibitor
sedang diberikan.
e) Obat-obatan penurun panas, phenergan sebagai anti menggigil, largaktil
untuk membuka pembuluh – pembuluh darah perifer diberikan setelah
rehidrasi tercapai.
f) Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi.
g) Pengkajian dan Pemeriksaan lainnya
1. Pengkajian Skor Alvaradz Score untuk menentukan dugaan diagnostik
apendisitis
Tabel. Alvaradz Score
The Modified Alvarado Score Skor
Gejala Perpindahan nyeri ulu hati ke perut kanan bawah 1
Mual muntah 1
Anoreksia 1
Tanda Nyeri perut kanan bawah 2
Nyeri tepis 1
Demam diatas 37,5°C 1
Pemeriksaan Leukositosit 2
Laboratoriu Hitung jenis leukosit shift to the left 1
m
Total 10
Interpretasi
1-4 : sangat mungkin bukan apendisitis akut
5-7 : sangat mungkin apendisitis akut
8-10: pasti apendisitis akut
Sumber:
Liang MK et al. 2015. The Appendix in Schwartz’s Principles of Surgery, 10th
ed. New York United Stated: Mc Graw Hill education p:1241-1259

2. Penentuan Anastesi sebelum operasi


a). Anastesi General atau umum. Anastesi ini sering disebut bius total,
dilakukan untuk membuat pasien tidak sadar sepenuhnya dan tidak
memiliki ingatan apapun selama proses pembedahan. Anastesi ini
digunaan untuk operasi seperti operasi jantung, paru dan operasi lutut
b). Anastesi lokal. Anastesi ini merupakan anastesi yang biasanya disebut bius
lokal yang merupakan upaya untuk memblok sensasi dan rasa sakit pada
bagian tubuh tertentu. Jenis anastesi ini tidak mempengaruhi kesadaran
pasien dan dilakukan pada berbagai prosedur pembedahan seperti mata,
perawatan gigi, biopsi, vasektomi, penjahitan luka dan operasi minor yang
lain
c). Anastesi regional. Merupakan anastesi dengan upaya memblok sensasi
rasa sakit pada sebagian besar anggota tubuh yang digunakan pada
prosedur pembedahan yang lebih kompleks dan rumit misalnya operasi
kaki, prostat dan caesar. Selama pembedahan pasien akan terjaga namun
tidak merasakan sebagian dari anggota tubuhnya. Adapun beberapa jenis
dari anastesi ini adalah:
1. Anastesi Spinal: obat anastesi disuntikkan kedalam cairan
disekeliling spinal cord.
2. Anastesi Epidural: obat anastesi disuntikkan ke dalam area epidural
dengan menggunakan jarum atau kateter mulai dari leher hingga
tulang ekor sesuai kebutuhan
3. Nerve Block: obat anastesi disuntikkan ke area sekitar kumpulan
syaraf tertentu untuk memblok rasa sakit pada daerah tersebut
misalnya nerve block pada adductor canal nerve block untuk
operasi lutut dan supraclavicular nerve block untuk operasi lengan
d). Anastesi Sedasi. Merupakan anastesi dengan obat penenang yang
dilakukan untuk melengkapi anastesi lokal dan regional. Ada 3 tingkatan
anastesi sedasi yakni:
1. Mininal: pasien diberi anastesi namun tetap terjaga dan mampu
menjawab pertanyaan dokter
2. Moderate: pasien akan tertidur selama proses pembedahan dan
mudah bangun dengan sentuhan
3. Deep: pasien akan tertidur lelap selama prosedur dan tidak
mengingat apapun mengenai prosedur pembedahan.
Tabel ASA
ASA PS Definition Adult Examples, Including, but not
Classificatio limited to:
n
ASA I Pasien normal Penggunaan alkohol yang sehat,
dan sehat bebas rokok (tidak atau penggunaan
minimal)
ASA II Pasien dengan Penyakit ringan tanpa substansi
penyakit batasan fungsional (perokok aktif,
sistemik ringan peminum alkohol sosial, kehamilan,
obesitas BMI<40, DM/ Hipertensi
yang terkontrol baik, penyakit paru
ringan)
ASA III Pasien dengan Memiliki 1 atau lebih penyakit
penyakit sedang hingga berat (DM atau
sistemik yang Hipertensi yang tidak terkontrol
parah dengan baik, PPOK, obesitas BMI≥40,
hepatitis aktif, ketergantungan atau
penyalahgunaan alkohol, alat pacu
jantung implan, pengurangan fraksi
ejeksi sedang, ESRD yang menjalani
dialisis terjadwal secara teratur, bayi
prematur PCA<60 minggu, riwayat (>3
bulan) MI, CVA, TIA atau CAD/ stent
ASA IV Pasien dengan MI, CVA, TIA, atau CAD/ stent
penyakit (<3bulan), iskemia jantung yang
sistemik parah sedang berlangsung atau disfungsi
dan katup parah, sepsis, DIC, ISPA, ESRD
mengancam tanpa dialisis terjadwal
hidup
ASA V Pasien dengan Ruptur aneurisma abdomen/ toraks,
perkiraan tidak trauma masif, perdarahan intrakranial
akan selamat dengan efek massal, usus iskemik saat
tanpa operasi menghadapi patologi jantung yang
signifikan atau disfungsi beberapa
organ/ sistem
ASA VI Seorang
pasien mati
otak yang
organnya akan
didonorkan
Penambahan “E” menunjukkan operasi darurat: Keadaan darurat
didefinisikan sebagai ada ketika penundaan dalam perawatan pasien akan
menyebabkan peningkatan signifikan dalam ancaman terhadap nyawa
atau bagian tubuh
Referensi:
1. Abouleish AE, Leib ML, Cohen NH. 2015. ASA
provides examples to each ASA physical status class. ASA Monitor.
79:38-39 http://monitor.pubs.asahq.org/article.aspx?
articleid=2434536
2. Hurwitz EE, Simon M, Vinta SR, et al. 2017. Adding
examples to the ASA-Physical Status classification improves
correct assignments to patients. Anesthesiology. 126:614-622
3. Mayhew D, Mendonca V, Murthy BVS. 2019. A review
of ASA physical status – historical perspectives and modern
developments. Anaesthesia. 74:373-379

1.) Pemeriksaan tingkat kecemasan dengan Amsterdam Preoperative Anxiety


and Information Scale (APAIS)
Tabel APAIS
Amsterdam Preoperative Not at All Extreamly
Anxiety and Information Scale 1 2 3 4 5
(APAIS)
Saya khawatir tentang
anestesi
Anestesi ada di pikiran saya
terus-menerus
Saya ingin tahu sebanyak
mungkin tentang anestesi
Saya khawatir tentang
prosedurnya
Prosedurnya selalu ada di
pikiran saya
Saya ingin tahu sebanyak
mungkin tentang prosedurnya
Keterangan:
1: sangat tidak sesuai
2: tidak sesuai
3: ragu-ragu
4: sesuai
5: sangat sesuai

Interpretasi:
Total skor 4-8 : kecemasan ringan
Total skor 9-14 : kecemasan sedang
Total skor 15-20 : kecemasan berat
Referensi:
1. Moerman, N.; Oosting, H. 1996. The Amsterdam
Scale (APAIS). Anesth Analg. 82: 445–451.
2. Usnadi, Udi; U.Rahayu; A.Praptiwi. 2018. Kecemasan
Preoperasi pada Pasien di Unit One Day Surgery (ODS). JKA.
6(1): 75-87.

2. Intra Operatif.
a) Appendiktomi
b) Appendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforasi bebas, maka abdomen
dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika.
c) Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massanya mungkin mengecil
atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa hari.
Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif sesudah 6 minggu
sampai 3 bulan.
a. Pada fase intra-operatif dilakukan pengkajian mengenai 3 bagian penting
yakni Sign In (sebelum anastesi), Time Out (sebelum insisi) Sign Out
(sebelum meninggalkan kamar operasi) (Brunner & Suddarth, 2018). Dalam
hal ini WHO memiliki standar keselamatan pasien operasi yang dinamakan
Safety Surgery Checklist (SSC) (Klase dkk, 2016).

Tabel 2.4 Tabel SSC versi Bahasa


SEBELUM
SEBELUM INDUKSI SEBELUM INSISI MENINGGALKAN
ANASTESI (Sign In) (Time Out) KAMAR OPERASI
(Sign Out)
1. Apakah pasien telah o Konfirmasi apakah anggota keluarga, 2.1.1. Perawat secara
dikonfirmasi nama, seluruh tim telah memperkenalkan lisan menyampaikan
lapangan operasi, nama  Nama dari prosedur
prosedur, dan o Konfirmasi nama pasien, prosedur ...............
informed consent? dan dimana insisi akan dilakukan  Apakah instrumen,
o Sudah alat habis pakai
o Belum Terhadap ahli bedah: (kasa) dan jarum
2. Apakah lapang 1. Apakah antibiotik profilaksis telah telah dihitung dan
operasi sudah diberi diberikan dalam 60 menit terakhir sesuai
tanda? o Sudah o Tidak
o Sudah o Belum diberikan o Ya
o Tidak perlu o Tidak perlu  Jumlah kasa yang
3. Apakah mesin terpakai
anaestesi dan Antisipasi langkah kritis ......................
premedikasi telah 2. Adakah keadaan kritus/ langkah  Labeling dari
diperiksa? yang tidak rutin? spesimen (baca
o Ya o Tidak label specimen
4. Apakah pulse o Ya dengan keras
oksimetri yang .......................... termasuk nama
terpasang pada 3. Adakah antisipasi kehilangan pasien)
pasien berfungsi darah?  Adakah masalah
dengan baik? o Tidak terhadap peralatan
o Ya o Ya........ yang dipakai
5. Apakah pasien o Tidak
memiliki riwayat Terhadap anestesi: o Ya
alergi/ infeksi/ 4. Adakah kondisi khusus pada 2.1.2. Terhadap ahli
hepatitis/ TB pasien? bedah anaestesi dan
o Ya o Tidak perawat
o Tidak o Ya...........  Adakah hal yang
6. Kesulitan menjaga penting untuk
jalan napas atau Terhadap Tim Perawat: pulih, sadar dan
resiko aspirasi 5. Apakah semua peralatan sudah perawatan pasien
o Ya, dan tersedia steril sesuai dengan indikator? telah diperhatikan?
peralatan dan o Tidak o Tidak
bantuan o Ya o Ya
o Tidak 6. Adakah masalah pada peralatan? .............................
7. Resiko kehilangan o Tidak
darah > 500 ml (7ml/ o Ya
kg pada anak) .............................
o Ya, dan dua IV 7. Apakah foto-foto pasien yang
line/ akses telah penting telah ditampilkan?
disiapkan o Sudah
o Tidak o Tidak perlu
8. Berapa jumlah kasa yang
disiapkan?
..................lbr

Nama Perawat Nama Perawat Nama Perawat

3. Post Operatif
a) Observasi TTV.
b) Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan
lambung dapat dicegah.
c) Baringkan pasien dalam posisi semi fowler.
d) Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama
pasien dipuasakan.
e) Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi, puasa
dilanjutkan sampai fungsi usus kembali normal.
f) Berikan minum mulai15 ml/jam selama 4 – 5 jam lalu naikkan menjadi
30 ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari
berikutnya diberikan makanan lunak.
g) Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat
tidur selama 2×30 menit.
h) Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.
i) Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang
j) Pengkajian dan Pemeriksaan lainnya
Evaluasi setelah operasi, menilai dampak anestesi yang dilakukan
sebelumnya. Pemeriksaan/ penilaian tersebut antara lain adalah Aldrete
dan Bromage (Brunner & Suddarth, 2018).
1) Aldrete
Penilaian waktu pulih dari anestesi general/ umum selama
setiap 5 menit sampai tercapai minimal nilai 8. Selanjutnya
pasien akan dipindahkan ke ruang perawatan ketika nilai
mencapai >8.

Gambar. Aldrete Score


2) Bromage
Penilaian pasca anaestesi spinal dengan kriteria pasien
dapat kembali ke ruang perawatan dengan nilai skor 2 ke bawah.

Gambar. Bromage Score


BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1. Pengkajian Keperawatan


A. Pengkajian Umum
Pengkajian merupakan langkah awal darimproses keperawatan. Tujuan
pengkajian adalah memberikan suatu gambaran yang terus menerus mengenai
kesehata klien. Tahap pengkajian dari proses keperawatan merupakan proses
dinamis yang terorganisasi yang meliputi tiga aktivitas atas dasar yaitu
mengumpulkan data secara sistematis, memilah dan mengatur data yang
dikumpulkan dan mendokumentasikan data dalam format yang dapat dibuka
kembali
a. Identitas klien
Identitas klien terdiri dari nama, jenis kelamin, umur, tanggal lahir,
suku/bangsa, status perkawinan, pendidikan, alamat, nomor register, tanggal
datang ke rumah sakit, dan tanggal pengkajian.
b. Keluhan utama
Merupakan keluhan paling mengganggu yang dirasakan klien sehingga
klien datang ke rumah sakit. Keluhan utama yang dialami oleh penderita
apendisitis yaitu keluarnya darah pada saat defekasi yang menyebabkan
penderita merasa takut, ada rasa ketidaknyamanan saat duduk karena adanya
nyeri yang dirasakan, dan juga terdapat pruritis yang menyebabkan gatal.
c. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan kronologis peristiwa terkait penyakit klien yang sekarang
dialami sejak klien mengalami keluhan pertama kalinya sampai klien
memutuskan ke rumah sakit. Kronologis kejadian yang harus diceritakan
meliputi waktu kejadian, cara/proses, tempat, suasana, manifestasi klinis,
riwayat pengobatan, persepsi tentang penyebab dan penyakit. Jika terdapat
keluhan nyeri maka disertai pengkajian nyeri PQRST. Biasanya tanda yang
awal muncul pada penderita apendisitis yaitu adanya rasa ketidaknyamanan
saat defekasi karena terdapat benjolan dan jika tidak ditangani lama-
kelamaan dapat menjadi prolaps. Apabila sudah parah maka akan muncul
keluhan keluar darah saat defekasi, nyeri, dan gatal disekitar daerah anus.
d. Riwayat penyakit dahulu
1) Penyakit yang pernah dialami
2) Riwayat penyakit terdahulu yang berhubungan dengan penyakit
apendisitis, contohnya adanya riwayat kontispasi yang sering dialami
lebih dari satu kali. Dapat ditanyakan juga penggunaan jenis obat-obatan,
dosis obat, dan lama penggunaannya. Riwayat atau pengalaman tentang
kesehatan atau penyakit yang pernah dialami, riwayat masuk rumah sakit,
riwayat operasi, dan riwayat kecelakaan.
3) Alergi
Klien mungkin mengalami alergi yang bisa menimbulkan reaksi
inflamasi seperti peningkatan mucus atau yang lain
4) Imunisasi: Klien umumnya memiliki imunisasi lengkap
5) Life sytle
Kebisaan menahan BAB
6) Obat yang dikonsumsi
Diperlukan informasi terkait obat yang dikonsumsi oleh klien, antibiotik
atau yang berkaitan dengan peradangan
e. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat keluarga ada tidaknya yang pernah menderita apendisitis.
Digambar melalui genogram minimal 3 generasi terdahulu dan diberi tanda
sesuai format yang ditentukan
B. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1. Persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
Klien mendeskripsikan bagaimana pola kesehatan dan kesejahteraan klien.
Contohnya menjelaskan pada saat klien sakit apa klien lakukan memilih
berobat dengan meminum obat yang dibeli di warung atau ke klinik
terdekat. Pada klien dengan apendisitis yang datang ke tenaga kesehatan
biasanya yang sudah parah sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari Pola
Nutrisi dan Metabolik. Berisi tentang pola makan klien, berat badan, intake
dan output makanan makanan. Pada klien dengan apendisitis biasanya pola
makan yang dianut sebelum sakit memiliki kandungan serat yang rendah
sehingga menimbulkan apendisitis.
2. Pola nutrisi
Mengkaji berdasarkan Antopometri, Biomedical sign, clinical sign, dan Diet
makan. Umumnya klien bisa mengalami penurunan energi yang
menyebabkan munculnya masalah mual muntah, dan perubahan nutrisi:
kurang dari kebutuhan tubuh
3. Pola eliminasi
Berisi tentang karakteristik urin dan feses yang dikeluarkan. Karakteristik
tersebut meliputi frekuensi, jumlah, warna, bau, berat jenis. Selain itu
gangguan BAK dan BAB perlu diperhatikan. Pada klien dengan apendisitis
saat defekasi mengalami kesulitan karena fesesnya keras dan terdapat darah
segar pada saat defekasi.
4. Pola aktivitas dan latihan
Mengkaji terkait kemandirian klien dalam melakukan ADL dan bagaimana
kemampuan oksigenasi dan energi dalam melakukan aktivitas. Umumnya
klien akan mengalami intoleransi aktivitas
5. Pola tidur dan istirahat
Klien dengan apendisitis kemungkinan akan terganggu saat istirahat karena
adanya nyeri. Setiap klien memiliki ambang batas nyeri yang berbeda
sehingga terdapat klien yang tidurnya terganggu ataupun tidak karena
merasa nyeri.
6. Pola kognitif dan persepsi
Saat pengkajian berlangsung klien dengan apendisitis biasanya masih tetap
sadar tetapi pada saat ditanya mungkin lama menjawab atau kurang lengkap
menjawab karena adanya nyeri dan rasa gatal pada area anus yang
mengganggu.
7. Pola persepsi diri
Gambaran diri, identitas diri, harga diri, ideal diri, dan peran diri. Dampak
yang timbul pada klien yang mengalami appendisitis akut yaitu ketakutan
akan dampak dari sakitnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal dan pandangan akan dirinya yang salah.
Pada klien dengan apendisitis gambaran diri dan harga diri mungkin
terganggu
8. Pola peran dan hubungan
Mengkaji terkait support system yang dimiliki klien, seperti keluarga yang
menunggu atau hubungan dengan teman. Dikarenakan klien harus menjalani
hospitalisasi kemungkinan klien akan mengalami masalasah interaksi sosial
9. Pola manajemen koping dan stres
Manajemen koping setiap individu berbeda-beda tergantung dari berbagai
faktor. Pada klien dengan apendisitis stresor yang mungkin perlu
ditanggulangi mengenai masalah masalah ansietas
10. Sistem nilai dan keyakinan
Sistem nilai dan kepercayaan ini pada penderita apendisitis berkaitan
dengan klien percaya ia dapat sembuh atau tidak dan ia mampu melakukan
semua tindakan untuk kesembuhan dirinya.
C. Pengkajian Fisik
1. Keadaan umum
Klien tampak sakit ringan/sedang/berat. Berat badan Sebagai indicator
untuk menentukan pemberian obat. Pada klien dengan apendisitis juga sama
dengan klien lainnya pemeriksaan TTV meliputi pemeriksaan nadi, tekanan
darah, pola pernapasan, dan suhu tubuh. Tanda-tanda vital pada klien
dengan apendisitis biasanya pada pemeriksaan nadi melemah karena adanya
perdarahan yang terjadi terus-menerus sehingga menyebabkan syok.
2. Kepala
I: bentuk kepala simetris, persebaran rambut merata, warna rambut hitam,
rambut tidak berbau, tidak ada ketombe atau kutu
P : tidak ada penonjolan tulang kepala, tidak ada nyeri tekan
3. Mata
I: mata simetris kanan dan kiri, tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis,
sklera putih, pupil bereaksi terhadap cahaya, reflek cahaya positif ka/ki :
3/3, pupil dekstra dan sinistra isokor, mata tampak lelah
P: tidak ada penonjolan pada area mata, tidak ada nyeri tekan pada area
mata
4. Telinga
I: telinga simetris kanan dan kiri, tidak ada lesi, tidak ada cairan yang keluar
seperti nanah atau darah (bloody otorhea)
P: tidak ada nyeri tekan pada area telinga
5. Hidung
I: hidung kanan dan kiri simetris, tidak ada lesi, menggunakan pernafasan
cuping hidung, terdapat mucus, memakai bantuan terapi O2
P: tidak ada nyeri tekan pada area hidung
6. Mulut
I: mukosa bibir kering, warna bibir pucat, lidah terlihat kotor, area sekitar
mulut, ada pursed lip breathing.
P: tidak ada nyeri tekan pada area mulut
7. Dada
Paru
I : Pernapasan reguler, tampak benjolan abnormal, bentuk dada simetris,
tidak ada pernapasan cuping hidung.
P : tidak ada nyeri tekan, traktil fremitus seimbang dan tidak ada benjolan.
P : sonor dari ICS 1-6 dekstra, suara sonor dari ICS 1-4 sinistra
A : adakah suara tambahan ronchi dan wheezing pada lapang paru.
Jantung
I: ictus cordis tidak terlihat, tidak ada jejas, warna kulit sama dengan kulit
sekitarnya
P: ictus cordis teraba di ICS 5
P: pekak
A : terdengar bunyi S1 dan S2 tunggal
8. Abdomen:
Pemeriksaan abdomen meliputi pemeriksaan pada bentuk perut, dinding
perut, bising usus, kaji adanya nyeri tekan serta dilakukan palpasi pada
organ hati, limfa, ginjal, kandung kemih, yang ditentukan ada tidaknya nyeri
pada pembesaran pada organ tersebut, kemudian pada daerah anus, rectum,
dan genitalia. Pada klien dengan apendisiitis akan ditemukan Distensi
abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada
bising usus. Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang
meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena
berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah
karena posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak.
9. Ekstremitas:
Atas:
Inspeksi : bentuk simetris, ada atau tidak deformitas, kulit bersih, telapak
tangan anemis atau tidak, ada rambut halus atau tidak, tidak ada tanda lahir,
tidak ada keterbatasan rentang gerak, tidak tampak ada kekauan.
Palpasi : teraba deformitas, crepitasi, nyeri tekan, kekakuan sendi, ROM
aktif baik atau tidak, teraba benjolan
Bawah:
Inspeksi : bentuk simetris, deformitas, kulit bersih, ada bekas lesi, telapak
tangan anemis atau tidak, ada rambut halus, tidak ada keterbatasan rentang
gerak, tidak tampak ada kekauan.
Palpasi : deformitas, crepitasi, nyeri tekan, tidak ada kekakuan sendi, ROM
aktif baik atau tidak, teraba benjolan pada paha.
10. Kulit dan kuku
Pemeriksaan warna kulit biasanya warna sesuai dengan warna kulit normal,
warna kuku normal serta CRT < 2 detik.. Namun apabila terjadi pendarahan
maka warna kulit dan kuku akan pucat, serta CRT > 2 detik.
11. Keadaan local
Pengkajian terfokus pada kondisi local. Pada klien dengan apendisitis
pengkajian pada keadaan lokal yaitu di daerah abdomen. Pada penderita
apendisitis apabila dilakukan serangkaian tes maka akan didapati Distensi
abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada
bising usus. Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang
meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena
berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam.
2.2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat diangkat sesuai dengan pathway
adalah sebagai berikut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017):
1. Pre Operatif
a. Nyeri akut (D0077) b.d infiltrasi tumor/ kondisi muskuloskeletal kronis
b. Ansietas (D.0080) b.d kurang terpapar informasi (prosedur pemberdahan),
krisis situasional dan ancaman terhadap kematian
c. Defisit pengetahuan (D.0111) b.d kurang terpapar informasi terkait prosedur
operasi
d. Hipertermi (D.0130) b.d proses infeksi penyakit
e. Resiko Defisit Nutrisi (D.0032) b.d peningkatan kebutuhan metabolisme
f. Gangguan Pola Tidur (D.0055) b.d nyeri
g. Risiko Distres Spiritual (D.0100). b.d kondisi penyalit kronis
h. Nausea (D.0076) b.d efek agen farmakologi
2. Intra Operatif
a. Risiko infeksi (D.0142) b.d efek prosedur invasive
b. Risiko perdarahan (D.0012) b.d tindakan pembedahan
3. Post Operatif
a. Nyeri akut (D0077) b.d agen pecedera fisik: proses penyembuhan luka,
prosedur operasi
b. Risiko infeksi (D.0142) b.d luka efek prosedur invasive
c. Gangguan intregritas jaringan (D.0129) b.d tindakan pembedahan
2.3. Intervensi Keperawatan
No. Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil (SLKI) Intervensi (SIKI)
Pre Operatif (SDKI)
1. Nyeri akut (D0077) b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Nyeri (1.08238):
proses inflamasi selama 1x24 jam nyeri akut pada pasien Definisi:
dapat berkurang, dengan kriteria hasil: Mengidentifikasi dan mengolah pengalaman sensorik
atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan
jaringan aktual atau fungsional, dengan onset
Kontrol nyeri (L.08063): mendadak atau lambat dan berintensitas ringan
Indikator Skor Skor hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
saat yang Tindakan:
ini dicapai 1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
Melaporkan nyeri 2 5 kualitas, intensitas nyeri, skala nyeri, respon nyeri
terkontrol non verbal dan faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri
Kemampuan 2 5
2) Ajarkan teknik nonfarmakologis ((mis. TENS,
mengenali hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback,
penyebab nyeri terapi pijat, aroma terapi, teknik imajinasi
Kemampua 2 5 terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi
n bermain dan teknik massase punggung)
penggunaan 3) Fasilitasi istirahat dan tidur
4) Edukasi penyebab, periode dan pemicu nyeri
teknik non
farmakologi
Keluhan nyeri 4 1 Terapi Relaksasi (1.09326):
Definisi:
Menggunakan teknik peregangan untuk mengurangi
Tingkat Nyeri (L.08066): tanda dan gejala ketidaknyamanan seperti nyeri,
Indikator Skor Skor ketegangan otot dan kecemasan.
saat yang Tindakan:
ini dicapai 1) Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif
digunakan
Keluhan nyeri 2 5
2) Jelaskan tujuan, manfaat, batasan, dan jenis,
Frekuensi nafas 2 5 relaksasi yang tersedia (mis. music, meditasi,
Tekanan darah 2 5 napas dalam, relaksasi otot progresif)
3) Anjurkan sering mengulang atau melatih teknik
yang dipilih
4) Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi (mis.
napas dalam, pereganganm atau imajinasi
terbimbing)

Pemberian Analgesik (1.09314):


Definisi:
Menyediakan dan memberikan agen farmakologis
untuk mengurngi atau menghilangkan nyeri.
Tindakan:
1) Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik,
sesuai indikasi
2) Identifikasi kesesuaian jenis analgesik (mis.
Narkotika, non-narkotika, atau NSAID) dengan
tingkat keparahan nyeri
3) Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
4) Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah
pemberian analgesik.
2. Ansietas (D.0080) b.d Setelah dilakukan tindakan Reduksi Ansietas (1.09314):
kurang terpapar informasi keperawatan selama 1x 24 jam, ansietas Definisi:
(prosedur pemberdahan), pada pasien dapat teratasi, dengan Meminimalkan kondisi individu dan pengalaman
krisis situasional dan kriteria hasil: subjektif individu terhadap objek yang tidak jelas dan
ancaman terhadap spesifik akibat antisipasi bahaya yang
memungkinkan individu melakukan tindakan untuk
kematian
Tingkat Ansietas (L.09093): menghadapi ancaman
Tindakan:
Indikator Skor Skor
1) Identifikasi saat tingkat anxietas berubah (mis.
saat yang
Kondisi, waktu, stressor)
ini dicapai
2) Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
Verbalisasi 2 5
3) Monitor tanda ansietas (verbal dan non verbal)
khawatir akibat
4) Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien,
kondisi yang
jika perlu
dihadapi menurun
5) Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak
Perilaku gelisah 2 5
kompetitif, sesuai kebutuhan
menurun
6) Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
Perilaku tegang 2 5
7) Latih kegiatan pengalihan, untuk mengurangi
menurun
ketegangan
Konsentrasi 2 5
8) Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri
membaik
yang tepat
Pola tidur 2 5
9) Latih teknik relaksasi
membaik

3. Defisit pengetahuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Edukasi prosedur tindakan (1.12442):
(D.0111) b.d kurang selama 1x24 jam, defisit pengetahuan Definisi:
terpapar informasi terkait pada pasien dapat teratasi, dengan Memberikan informasi tentang tindakan yang akan
dilakukan kepada pasien, baik bertujuan untuk
prosedur operasi kriteria hasil: diagnostik maupun untuk terapi

Tingkat Pengetahuan (L.12111): Tindakan:

Indikator Skor Skor 1) Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima


saat yang informasi
ini dicapai 2) Jelaskan tujuan dan manfaat tindaakan yang akan
Kemampuan 2 4 dilakukan (pembedahan)
3) Jelaskan perlunya tindakan dilakukan
menjelaskan
4) Jelaskan keuntungan dan kerugian jika tindakan
tentang dilakukan
suatu 5) Jelaskan langkah-langkah tindaakan yang akan
topik dilakukan
Perilaku sesuai 2 4 6) Jelaskan persiapan pasien sebelum tindaakan yang
dengan akan dilakukan
pengetahuan 7) Ajarkan teknik untuk mengantisipasi
ketidaknyamanan akibat tindakan, jika perlu
Persepsi keliru 2 4
terhadap masalah
menurun
Perilaku membaik 2 4
4. Hipertermi (D.0130) b.d Setelah dilakukan perawatan.........24 Manajemen Hipertermia (I.15506)
proses infeksi penyakit jam, pasien tidak mengalami hipertermi Definisi:
dengan kriteria hasil: Mengidentifikasi dan mengolah peningkatan suhu
tubuh akibat disfungsi termoregulasi
Termoregulasi (L.14134) Tindakan:
1. Monitor suhu tubuh
Indikator Skala Skala 2. Monitor kadar elektrolit
Awal Akhir 3. Sediakan lingkungan yang dingin
4. Longgarkan atau lepaskan pakaian
Pasien tidak 1 5 5. Kompres dingin jika dibutuhkan
menggigil 6. Berikan cairan oral
Suhu tubuh dalam 1 5 7. Anjurkan tirah baring
rentang normal 8. Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit
(36,5-37,5) intravena jika perlu
Kulit tidak 1 5 9. Kolaborasi pemberian obat penurun demam
kemerahan (paracetamol)

No. Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil (SLKI) Intervensi (SIKI)
Intra Operatif (SDKI)
1. Risiko infeksi (D.0142) Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pencegahan Infeksi (1.14539):
b.d efek prosedur invasive selama 1x24 jam, resiko infeksi pada Definisi:
pasien dapat teratasi, dengan kriteria Mengidentifikasi dan menurunkan risiko terserang
hasil: organisme patogenik.
Tindakan:
Kontrol resiko (L.14128): 1) Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan
sistemik
Indikator Skor Skor 2) Batasi jumlah pengunjung
saat yang 3) Cuci tangan sebelum dan sesudan kontak dengan
ini dicapai pasien dan lingkungan pasien
4) Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko
Mengidentifikasi 2 5 tinggi
faktor resiko 5) Anjurkan peningkatan asupan nutrisi
infeksi 6) Anjurkan peningkatkan asupan cairan
Kemampuan 2 5
melakukan
strategi kontrol
resiko
Kemampuan 2 5
merubah perilaku
Menghindari 2 5
faktor resiko
terkait infeksi

2. Risiko perdarahan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pencegahan Perdarahan (1.02067):


Definisi:
(D.0012) b.d tindakan selama 1x24 jam, resiko syok pada
pasien dapat teratasi, dengan kriteria Mengidentifikasi dan menurunkan risiko atau
pembedahan kompliksi stimulasi yang menyebabkaan perdarahan
hasil:
dan risiko perdarahan.
Tingkat perdarahan (L.02017): Tindakan:
1) Monitor tanda dan gejala perdarahan
2) Monitor nilai hematrokrit/ hemoglobin sebelum
dan sesudah kehilangan darah
3) Pertahankan bedrest selama perdarahan
4) Jelaskan tanda dan gejala perdarahan
5) Anjurkan peningkatkan asupan cairan untuk
menghindari konstipasi
Indikator Skor Skor
saat yang
ini dicapai
Hemoglobin 2 5
Tekanan darah 2 5
Hematokrit 2 5
Dentut nadi 2 5 6) Anjurkan segera melapor jika terjadi perdarahan
apikal 7) Kolaborasikan obat pengontrol perdarahan
Suhu tubuh 2 5 8) Kolaborasikan pemberikan produk darah
Perdarahan paska 2 5 9) Kolaborasikan pemberian pelunak tinja
operasi

No. Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Post Operatif

1. Nyeri akut (D0077) b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Nyeri (1.08238):
agen pecedera fisik: proses selama 2x24 jam nyeri akut pada pasien Definisi:
penyembuhan luka, dapat berkurang, dengan kriteria hasil: Mengidentifikasi dan mengolah pengalaman sensorik
atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan
prosedur operasi
Kontrol nyeri (L.08063): jaringan aktual atau fungsional, dengan onset
mendadak atau lambat dan berintensitas ringan
hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
Tindakan:
1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas nyeri, skala nyeri, respon nyeri
non verbal dan faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri
2) Ajarkan teknik nonfarmakologis ((mis. TENS,
hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback,
terapi pijat, aroma terapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi
bermain dan teknik massase punggung)
3) Fasilitasi istirahat dan tidur
4) Edukasi penyebab, periode dan pemicu nyeri
Indikator Skor Skor
saat yang
ini dicapai
Melaporkan nyeri 2 5
terkontrol
Kemampuan 2 5
mengenali
penyebab nyeri
Kemampua 2 5
n
penggunaan
teknik non
farmakologi
Keluhan nyeri 4 1
Terapi Relaksasi (1.09326):
Tingkat Nyeri (L.08066): Definisi:
Menggunakan teknik peregangan untuk mengurangi
Indikator Skor Skor tanda dan gejala ketidaknyamanan seperti nyeri,
saat yang ketegangan otot dan kecemasan.
ini dicapai
Keluhan nyeri 2 5 Tindakan:
Frekuensi nafas 2 5 1) Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif
Tekanan darah 2 5 digunakan
2) Jelaskan tujuan, manfaat, batasan, dan jenis,
relaksasi yang tersedia (mis. music, meditasi,
napas dalam, relaksasi otot progresif)
3) Anjurkan sering mengulang atau melatih teknik
yang dipilih
4) Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi (mis.
napas dalam, pereganganm atau imajinasi
terbimbing)

2. Risiko infeksi (D.0142) Setelah dilakukan tindakan keperawatan Perawatan area insisi (1.14558):
b.d luka efek prosedur selama 1x24 jam, resiko infeksi pada Definisi:
invasive pasien dapat teratasi, dengan kriteria Mengidentifikasi dan meningkatkan penyembuhan
luka yang ditutup dengan jahitan, klip atau staples.
hasil:
Tindakan:
Kontrol resiko (L.14128): 1) Periksa lokasi insisi adanya kemerahan, bengkak
atau tanda dehisen atau eviserasi
2) Monitor proses penyembuhan area insisi
3) Monitor tanda dan gejala infeksi
Indikator Skor Skor
saat yang
ini dicapai 4) Jelaskan kepada pasien dengan menggunakan alat
Mengidentifikasi 2 5 bantu
faktor resiko 5) Bersihkan area insisi denan pembersih yang tepat
infeksi 6) Usapkan area insisi dari area yang bersih menuju
Kemampuan 2 5 area yang kurang bersih
melakukan 7) Berikan salep antiseptik
strategi kontrol 8) Ganti balutan luka sesuai jadwal
resiko 9) Ajarkan cara merawat area insisi
Kemampuan 2 5 10) Ajarkan meminimalkan tekanan pada daerah
merubah perilaku insisi.
Menghindari 2 5
faktor resiko
terkait infeksi

3. Gangguan intregritas Setelah diberikan asuhan keperawatan Perawatan area insisi (1.14558):
jaringan (D.0129) b.d selama ... x24 jam, integritas kulit dapat Definisi:
tindakan pembedahan Mengidentifikasi dan meningkatkan penyembuhan
membaik. luka yang ditutup dengan jahitan, klip atau staples.
Tindakan:
Kriteria Hasil: 1. Periksa lokasi insisi adanya kemerahan, bengkak
atau tanda dehisen atau eviserasi
2. Monitor proses penyembuhan area insisi
Integritas jaringan (L.14125)
3. Monitor tanda dan gejala infeksi
4. Jelaskan kepada pasien dengan menggunakan alat
bantu
5. Bersihkan area insisi denan pembersih yang tepat
6. Usapkan area insisi dari area yang bersih menuju
area yang kurang bersih

Indikator Awal Akhir

Kerusakan 1 5
jaringan 7. Berikan salep antiseptik
Kemerahan 2 5 8. Ganti balutan luka sesuai jadwal
Nyeri 2 5 9. Ajarkan cara merawat area insisi
10. Ajarkan meminimalkan tekanan pada daerah
Perfuji jaringan 1 5
insisi.
Suhu kulit 1 5
2.4. Evaluasi
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah klien
diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian, diagnosa
keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi keperawatan. Evaluasi
keperawatan ditulis dengan format SOAP, yaitu:
1. S (subjektif) yaitu respon klien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. O (objektif) yaitu data klien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
3. A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada klien apakah sudah teratasi,
teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
4. P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau
dimodifikasi

2.5. Discharge Planning


Pelaksanaan discharge planning pada klien dan keluarga bertujuan untuk
menyiapkan klien dan keluarga menjalani perawatan mandiri di rumah, antara lain
dengan :
1. Informasikan tentang penyakit pada keluarga dan klien.
2. Ajarkan keluarga dan klien jadwal meminum obat yang tepat waktu.
3. Ajarkan keluarga cara merawat klien dan memenuhi kebutuhan dasarnya.
4. Anjurkan keluarga untuk mendorong kemandirian klien semampu klien, dan
dibantu bila klien tidak mampu.
5. Anjurkan klien untuk istirahat yang adekuat
6. Anjurkan menjaga masukan nutrisi yang seimbang
7. Anjurkan keluarga untuk rutin memeriksakan kesehatan klien di pelayanan
kesehatan terdekat.
DAFTAR PUSTAKA

Barlow, A., M. Muhleman, J. Gielecki, P. Matusz, R. S. Tubbs, dan M. Loukas.


2015. The vermiform appendix: a review. Clinical Anatomy. 26(7):833–
842.

Bhangu, A., K. Søreide, S. Di Saverio, J. H. Assarsson, dan F. T. Drake. 2015.


Acute appendicitis: modern understanding of pathogenesis, diagnosis, and
management. The Lancet. 386(10000):1278–1287.

Di Saverio, S., dkk. 2016. WSES jerusalem guidelines for diagnosis and treatment
of acute appendicitis. World Journal of Emergency Surgery. 11(1):1–25.

Diyono. 2016. Keperawatan Medikal Bedah Sistem Perencanaan. Jakarta: Prenada


Media Group.

Fransisca, C., I. M. Gotra, dan N. M. Mahastuti. 2019. Karakteristik pasien


dengan gambaran histopatologi apendisitis di rsup sanglah denpasar tahun
2015-2017. Jurnal Medika Udayana. 8(7):2.

Haryono, R. dan M. P. S. Utami. 2019. Keperawatan Medikal Bedah 2.


Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

James, M. 2017. Acute appendicitis. Surgery. 29(8):372–376.

Kuntoadi, G. B. 2019. BUKU AJAR ANATOMI FISIOLOGI: Untuk Mahasiswa


APIKES – Semester 1. Bandung: Pantera Publishing

Merdawati, L. dan H. Malini. 2019. Keperawatan Medikal Bedah II. Padang:


Rajawali Pers.

Petroianu, A. dan T. V. Villar Barroso. 2016. Pathophysiology of acute


appendicitis. JSM Gastroenterology And Hepatology. 4(3):4–7.

Satwik, A. dan N. Naveed. 2015. Anesthesia – a review. Journal of


Pharmaceutical Sciences and Research. 7(4):182–184.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI) Edisi 1. Jakarta: Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI) Edisi 1. Jakarta: Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI) Edisi 1. Jakarta: Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Wibowo, W. J., T. O. R. Wahid, dan H. Masdar. 2020. Hubungan onset keluhan


nyeri perut dan jumlah leukosit dengan tingkat keparahan apendisitis akut
pada anak. Health & Medical Journal. 2(2):26–36.

Anda mungkin juga menyukai