disusun guna memenuhi tugas pada Program Studi Pendidikan Profesi Ners
(PSP2N) Stase Keperawatan Bedah
Oleh
NIM. 202311101027
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2021
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Tugas Program Studi Profesi Ners Stase Keperawatan Bedah yang disusun
oleh:
NIM : 202311101027
Hari :
Tangga :
Mengetahui,
Kepala Ruang Edelweis
RSD dr. Soebandi Jember
b. Fisiologi Apendiks
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran
lender di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis appendicitis.
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid
tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA.
Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun
demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena
jumlah jaringan limfosit disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di
saluran cerna dan di seluruh tubuh. Disimpulkan bahwa apendiks dapat berfungsi
sebagai semacam “rumah aman” bakteri, yang memungkinkan kelangsungan hidup
simbiosis flora selama serangan diare yang parah. Diare karena virus gastroenteritis
(rotavirus) dan malnutrisi, lazim terjadi di negara berkembang (Haryono dan Utami,
2019).
1.2. Definisi Penyakit
Appendisitis akut merupakan inflamasi atau peradangan akibat infeksi
mikroorganisme yang masuk ke lapisan submukosa apendiks dan akhirnya
melibatkan seluruh lapisan dindingnya. Peradangan akut dapat menimbulkan
sumbatan lumen apendiks, sehingga menyebabkan bendungan darah vena dan
penutupan arteri. Hal ini mengakibatkan terjadinya gangren bagian ujung atau
tempat sumbatan yang terjadi (Wibowo dkk., 2020).
Appendisitis paling sering merupakan penyakit dengan presentasi akut,
biasanya dalam waktu 24 jam, tetapi bisa juga muncul sebagai kondisi yang lebih
kronis (Bhangu dkk., 2015). Appendisitis akut merupakan penyakit yang selalu
memerlukan terapi pembedahan karena jika tidak dilakukan pengangkatan akan
menyebabkan perforasi dan menyebabkan kontaminasi peritoneal (Merdawati dan
Malini, 2019).
1.3. Epidemiologi
Menurut Susan L.,dkk (2016) menyatakan lebih dari 250.000 apendiktomi
dilakukan per tahun, di Amerika Serikat kasus Appendisitis meliputi 11 per
10.000 populasi per tahun, dan angka kejadian ini tidak begitu berbeda di negara
berkembang. Laki-laki lebih berisiko terkena Appendisitis dibanding wanita
dengan rasio 1,4:1. Resiko terjadi kekambuhan pada laki – laki 8,6% sedangkan
perempuan 6,7% (Sarosi, 2016). World Health Organization (WHO)
menyebutkan kejadian Appendisitis di Asia dan Afrika pada tahun 2014 adalah
4,8% dan 2,6% dari total populasi penduduk.
Angka morbiditas dari appendisitis di Indonesia mencapai angka 95 per 1000
penduduk. Pada tahun 2009 telah dilaporkan bahwa terdapat sebanyak
596.132 kasus orang dengan apendiksitis, dan terus meningkat pada tahu 2010
dengan jumlah 621.435 kasus dengan presentase 3,53%. Kejadian appendisitis
meningkat di antara usia 17-25 tahun. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan
untuk jenis kelamin laki laki maupun perempuan. Namun terdapat perbedaan yang
terjadi diantara usia 20-30 tahun, dimana laki-laki lebih rentang untuk menderita
apedisitis daripada perempuan (Fransisca dkk., 2019).
1.4. Etiologi
Appendisitis akut dapat disebabkan oleh infeksi bakteri. Sumbatan pada
lumen appendiks merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi appendisitis.
Sumbatan tersebut diakibatkan karena adanya hiperplasia jaringan limfa, fekalit,
tumor apendiks, dan cacing askariasis (Merdawati dan Malini, 2019). Penyebab lain
dari appendicitis akut ialah erosi mukosa apendiks yang diakibatkan oleh parasite
seperti E. histolytica. Kebiasaan makan makanan rendah serat dan terjadinya
konstipasi juga dapat memicu timbulnya appendicitis. Konstipasi akan
meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional
apendiks dan meningkatan pertumbuhan parasite (James, 2017).
Apendisitis akut disebabkan oleh proses radang bakteria yang dicetuskan oleh
beberapa faktor pencetus. Ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya
radang apendiks, diantaranya :
4. Faktor Ras dan Diet Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola
makanan sehari – hari.
5. Faktor Infeksi Saluran Pernapasan Setelah mendapat penyakit saluran
pernapasan akut terutama epidemi influenza dan pneumonitis, jumlah kasus
appendiksitis ini meningkat.
1.5. Manifestasi Klinis
Menururt (Di Saverio dkk., 2016; James, 2017) tanda dan gejala
appendisitis akut adalah sebagai berikut :
1) Nyeri abdomen, nyeri terjadi di perut bagian atas pada awalnya. Kemudian
bergerak perlahan dan terlokalisasi ke kuadran kanan bawah.
2) Demam hingga 38 ° C
2) Anoreksia.
3) Mual..
4) Muntah (tanda awal yang umum, kurang umum pada anak yang lebih besar).
6) Nyeri lepas.
8) Konstipasi.
9) Diare.
10) Disuria.
11) Iritabilitas.
12) Gejala berkembang cepat, kondisi dapat didiagnosis dalam 4 sampai 6 jam
setelah munculnya gejala pertama.
1.6. Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma (Diyono, 2016). Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi sehingga mucus yang diproduski mukosa akan mengalami
bendungan dan terjadilah peningkatan tekanan intralumen yang akan menghambat
aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa
(Di Saverio dkk., 2016). Pada saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai
oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan
apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark
dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan
apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi
apendisitis perforasi (Di Saverio dkk., 2016).
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding
apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih
kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah
terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Di Saverio dkk., 2016).
1.7. Pemeriksaan Penunjang
Menururt (Diyono, 2016) adapun pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan appendicitis akut adalah sebagai berikut :
1. Gejala appendicitis ditegakkan dengan anamnesa, ada 4 hal yang penting adalah :
a. Nyeri mula – mula di epigastrium (nyeri visceral) yang beberapa waktu
kemudian menjalar ke perut kanan bawah.
b. Muntah oleh karena nyeri visceral.
c. Panas (karena kuman yang menetap di dinding usus).
d. Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak
sakit, menghindarkan pergerakan di perut terasa nyeri.
a. Lokalisasi. terdapat nyeri tekan pada titik Mc. Burney. Dimana ketika
dilakukan palpasi didapatkan nyeri tekan kuadran kanan bawah / titik Mc.
Burney.
b. Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah nyeri yang hebat pada kuadran
kanan bawah sesaat setelah diberikan tekanan yang perlahan dan dalam
kemudian dilepaskan secara tiba-tiba.
c. Rovsing sign adalah nyeri abdomen bagian kuadran kana bawah yang
dirasakan apabila dilakuka penekana pada bagian kiri bawah perut.
d. Psoas sign terjadi karena terdapat rangsang muskulus psoas oleh peradangan
yang terjadi di apendiks.
e. Obturator sign merupakan nyeri yang timbul ketika panggul serta lutut
difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif, hal itu
menunjukkan letak peradangan berada di hipogastrium.
f. Tes Rectal, pada pemeriksaan rectal tocher akan teraba benjolan dan penderita
merasa nyeri pada daerah prolitomi
3. Laboratorium
a. Pemeriksaan darah
1) Leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut terutama pada kasus
dengan komplikasi
2) Pasa appendicular infiltrat, LED akan meningkat.
b. Pemeriksaan urin untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam
urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis
banding seperti, infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala
klinis yang hampir sama dengan appendicitis.
4. Radiologi
a. Foto polos abdomen
Pada appendicitis akut yang terjadi lambat dan telah terjadi komplikasi
(misalnya peritonitis) tampak :
1) Scoliosis ke kanan.
2) Psoas shadow tak tampak.
3) Bayangan gas usus kanan bawah tak tampak
4) Garis retroperitoneal fat sisi kanan tubuh tak tampak
5) 5% dari penderita menunjukkan fecalith radio-opak.
b. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG,
terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat
dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik,
adnecitis dan sebagainya.
c. Barium enema
Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui
anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi – komplikasi dari
appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis
banding.
d. CT-Scan
Dapat menunjukkan tanda – tanda dari appendicitis. Selain itu, juga dapat
menunjukkan komplikasi dari appendicitis seperti bila terjadi abses.
e. Laparoscopi
Yaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan
dalam abdomen, appendix dapat divisualisasikan secara langsung. Teknik ini
dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan
tindakan ini didapatkan peradangan pada appendix maka pada saat itu juga
dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix (appendectomy).
1.8. Penatalaksanaan
Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi appendisitis
akut menurut Mansjoer, (2010) antara lain:
1. Pre-Operatif
a) Pemasangan sonde lambung untuk dekmopresi
b) Pemasangan kateter untuk control produksi urin.
c) Rehidrasi.
d) Berikan antibiotic dan cairan intravena sampai pembedahan dilakukan.
antibiotik telah diusulkan sebagai pengobatan tunggal untuk apendisitis tanpa
komplikasi. Sebagian besar protokol pengobatan termasuk rangkaian awal
antibiotik intravena selama 1-3 hari, diikuti dengan antibiotik oral selama 7
hari. Biasanya, kombinasi dari sefalosporin dan tinidazol atau penisilin
spektrum luas yang dikombinasikan dengan betalaktam. Inhibitor sedang
diberikan.
e) Obat-obatan penurun panas, phenergan sebagai anti menggigil, largaktil
untuk membuka pembuluh – pembuluh darah perifer diberikan setelah
rehidrasi tercapai.
f) Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi.
2. Intra Operatif.
a) Appendiktomi
b) Appendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforasi bebas, maka abdomen
dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika.
c) Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massanya mungkin mengecil
atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa hari.
Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif sesudah 6 minggu
sampai 3 bulan.
3. Post Operatif
a) Observasi TTV.
b) Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan
lambung dapat dicegah.
c) Baringkan pasien dalam posisi semi fowler.
d) Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama
pasien dipuasakan.
e) Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi, puasa
dilanjutkan sampai fungsi usus kembali normal.
f) Berikan minum mulai15 ml/jam selama 4 – 5 jam lalu naikkan menjadi 30
ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya
diberikan makanan lunak.
g) Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat
tidur selama 2×30 menit.
h) Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.
i) Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang
Penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel
limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
Clinical Pathway Prosedur Terdapat luka
akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma postoperasi
Preoperatif
Intraoperatif
Menyebabkan obstruksi sehingga mucus yang Risiko Perdarahan
Postoperatif diproduski akan menyebabkan bendungan
Risiko Infeksi
menghambat aliran peningkatan tekanan
Sel melepaskan mediator nyeri:
prostaglandin dan sitokinin
limfe yang intralumen
mengakibatkan Nyeri Akut
edema, diapedesis Akumulasi monosit,
Impuls ke pusat nyeri diotak bakteri, dan APPENDISITIS AKUT magrofag sel T helper
ulserasi mukosa Gangguan
Integritas Jaringan
Nyeri dipersepsikan Kurang paparan informasi Pelepasan sitokin
Peradangan pada mengenai penyakit dan
dinding apenndiks prosedur pembedahan Depolarisasi bakteri ke
Nyeri < 3 bulan Mensekresi interleukin sistem GI
1 dan 6
Cemas dan takut dengan
Nyeri Akut Mengganggu proses
kondisi penyakit kronis
ibadah Gangguan lambung dan
yang dialami Merangsang saraf
mengingkatkan HCl
Tubuh merespon stresor melalui vagus
mekanisme hipotalamus-pititari- Risiko Distres Ansietas
aksis (HPA) Spiritual Reaksi mual
Pembentukan
prostaglandin otak
Gangguan Pola Tidur
corticotropin releasing hormone Ketidakpahaman klien Nausea
(CRH) merangsang hipofisis dengan penyakit dan
menghasilkan adrenocorticotropic Merangsang hipotalamus
prosedur penanganan
Kondisi terus terjaga meningkatkan set pointm Keengganan untuk
hormone (ACTH)
makan
Hipertemia
BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3. Defisit pengetahuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Edukasi prosedur tindakan (1.12442):
(D.0111) b.d kurang selama 1x24 jam, defisit pengetahuan Definisi:
terpapar informasi terkait pada pasien dapat teratasi, dengan Memberikan informasi tentang tindakan yang akan
dilakukan kepada pasien, baik bertujuan untuk
prosedur operasi kriteria hasil: diagnostik maupun untuk terapi
4. Hipertermi (D.0130) b.d Setelah dilakukan perawatan ........ 24 Manajemen Hipertermia (I.15506)
proses infeksi penyakit jam, pasien tidak mengalami hipertermi Definisi:
dengan kriteria hasil: Mengidentifikasi dan mengolah peningkatan suhu
tubuh akibat disfungsi termoregulasi
Termoregulasi (L.14134)
Tindakan:
1. Monitor suhu tubuh
Indikator Skala Skala 2. Monitor kadar elektrolit
Awal Akhir 3. Sediakan lingkungan yang dingin
4. Longgarkan atau lepaskan pakaian
Pasien tidak 1 5 5. Kompres dingin jika dibutuhkan
menggigil 6. Berikan cairan oral
Suhu tubuh dalam 1 5 7. Anjurkan tirah baring
rentang normal 8. Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit
(36,5-37,5) intravena jika perlu
9. Kolaborasi pemberian obat penurun demam
Kulit tidak 1 5
(paracetamol)
kemerahan
No. Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil (SLKI) Intervensi (SIKI)
Intra Operatif (SDKI)
1. Risiko infeksi (D.0142) Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pencegahan Infeksi (1.14539):
b.d efek prosedur invasive selama 1x24 jam, resiko infeksi pada Definisi:
pasien dapat teratasi, dengan kriteria Mengidentifikasi dan menurunkan risiko terserang
organisme patogenik.
hasil:
Tindakan:
Kontrol resiko (L.14128): 1) Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan
sistemik
Indikator Skor Skor 2) Batasi jumlah pengunjung
saat yang 3) Cuci tangan sebelum dan sesudan kontak dengan
ini dicapai pasien dan lingkungan pasien
4) Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko
Mengidentifikasi 2 5 tinggi
faktor resiko 5) Anjurkan peningkatan asupan nutrisi
infeksi 6) Anjurkan peningkatkan asupan cairan
Kemampuan 2 5
melakukan
strategi kontrol
resiko
Kemampuan 2 5
merubah perilaku
Menghindari 2 5
faktor resiko
terkait infeksi
No. Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Post Operatif
1. Nyeri akut (D0077) b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Nyeri (1.08238):
agen pecedera fisik: proses selama 2x24 jam nyeri akut pada pasien Definisi:
penyembuhan luka, dapat berkurang, dengan kriteria hasil: Mengidentifikasi dan mengolah pengalaman sensorik
atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan
prosedur operasi
Kontrol nyeri (L.08063): jaringan aktual atau fungsional, dengan onset
mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga
Indikator Skor Skor berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
saat yang Tindakan:
ini dicapai 1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
Melaporkan nyeri 2 5 kualitas, intensitas nyeri, skala nyeri, respon nyeri
terkontrol non verbal dan faktor yang memperberat dan
Kemampuan 2 5 memperingan nyeri
mengenali 2) Ajarkan teknik nonfarmakologis ((mis. TENS,
penyebab nyeri hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback,
Kemampuan 2 5 terapi pijat, aroma terapi, teknik imajinasi
penggunaan terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain
teknik non dan teknik massase punggung)
farmakologi 3) Fasilitasi istirahat dan tidur
Keluhan nyeri 4 1 4) Edukasi penyebab, periode dan pemicu nyeri
Terapi Relaksasi (1.09326):
Tingkat Nyeri (L.08066): Definisi:
Menggunakan teknik peregangan untuk mengurangi
Indikator Skor Skor tanda dan gejala ketidaknyamanan seperti nyeri,
saat yang ketegangan otot dan kecemasan.
ini dicapai
Keluhan nyeri 2 5 Tindakan:
1) Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif
Frekuensi nafas 2 5
digunakan
Tekanan darah 2 5 2) Jelaskan tujuan, manfaat, batasan, dan jenis,
relaksasi yang tersedia (mis. music, meditasi,
napas dalam, relaksasi otot progresif)
3) Anjurkan sering mengulang atau melatih teknik
yang dipilih
4) Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi (mis.
napas dalam, pereganganm atau imajinasi
terbimbing)
2. Risiko infeksi (D.0142) Setelah dilakukan tindakan keperawatan Perawatan area insisi (1.14558):
b.d luka efek prosedur selama 1x24 jam, resiko infeksi pada Definisi:
invasive pasien dapat teratasi, dengan kriteria Mengidentifikasi dan meningkatkan penyembuhan
luka yang ditutup dengan jahitan, klip atau staples.
hasil:
Tindakan:
Kontrol resiko (L.14128): 1) Periksa lokasi insisi adanya kemerahan, bengkak
atau tanda dehisen atau eviserasi
Indikator Skor Skor 2) Monitor proses penyembuhan area insisi
saat yang 3) Monitor tanda dan gejala infeksi
ini dicapai 4) Jelaskan kepada pasien dengan menggunakan alat
Mengidentifikasi 2 5 bantu
faktor resiko 5) Bersihkan area insisi denan pembersih yang tepat
infeksi 6) Usapkan area insisi dari area yang bersih menuju
Kemampuan 2 5 area yang kurang bersih
melakukan 7) Berikan salep antiseptik
strategi kontrol 8) Ganti balutan luka sesuai jadwal
resiko 9) Ajarkan cara merawat area insisi
Kemampuan 2 5 10) Ajarkan meminimalkan tekanan pada daerah
merubah perilaku insisi.
Menghindari 2 5
faktor resiko
terkait infeksi
3. Gangguan intregritas Setelah diberikan asuhan keperawatan Perawatan area insisi (1.14558):
jaringan (D.0129) b.d selama ... x24 jam, integritas kulit dapat Definisi:
tindakan pembedahan Mengidentifikasi dan meningkatkan penyembuhan
membaik. luka yang ditutup dengan jahitan, klip atau staples.
Tindakan:
Kriteria Hasil: 1. Periksa lokasi insisi adanya kemerahan, bengkak
atau tanda dehisen atau eviserasi
2. Monitor proses penyembuhan area insisi
Integritas jaringan (L.14125)
3. Monitor tanda dan gejala infeksi
4. Jelaskan kepada pasien dengan menggunakan alat
bantu
Indikator Awal Akhir 5. Bersihkan area insisi denan pembersih yang tepat
6. Usapkan area insisi dari area yang bersih menuju
Kerusakan 1 5 area yang kurang bersih
jaringan 7. Berikan salep antiseptik
Kemerahan 2 5 8. Ganti balutan luka sesuai jadwal
5 9. Ajarkan cara merawat area insisi
Nyeri 2
10. Ajarkan meminimalkan tekanan pada daerah
Perfuji jaringan 1 5 insisi.
Suhu kulit 1 5
29
2.4. Evaluasi
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah klien
diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian, diagnosa
keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi keperawatan. Evaluasi
keperawatan ditulis dengan format SOAP, yaitu:
1. S (subjektif) yaitu respon klien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. O (objektif) yaitu data klien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
3. A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada klien apakah sudah teratasi, teratasi
sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
4. P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau
dimodifikasi
DAFTAR PUSTAKA
Di Saverio, S., dkk. 2016. WSES jerusalem guidelines for diagnosis and treatment
of acute appendicitis. World Journal of Emergency Surgery. 11(1):1–25.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI) Edisi 1. Jakarta: Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI)
Edisi 1. Jakarta: Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI) Edisi 1. Jakarta: Persatuan Perawat Nasional Indonesia.