Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN APPENDISITIS


AKUT DI RUANG EDELWEIS RSD. dr SOEBANDI JEMBER

disusun guna memenuhi tugas pada Program Studi Pendidikan Profesi Ners
(PSP2N) Stase Keperawatan Bedah

Oleh

Imrotul Koiriyah, S.Kep

NIM. 202311101027

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Tugas Program Studi Profesi Ners Stase Keperawatan Bedah yang disusun
oleh:

Nama : Imrotul Koiriyah, S.Kep.

NIM : 202311101027

Judul : Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan


Appendisitis Akut Di Ruang Edelweis RSD. dr Soebandi Jember

Telah diperiksa dan disahkan pada:

Hari :

Tangga :

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Fakultas Keperawatan Ruang Edelweis
Universitas Jember RSD dr. Soebandi Jember

Ns. Mulia Hakam, M.Kep., Sp.Kep.MB Ns. Eka Yufi, S.Kep.


NIP. 19810319 201404 1 001 NIP. 19800412 200604 1 002

Mengetahui,
Kepala Ruang Edelweis
RSD dr. Soebandi Jember

Ns. Eka Yufi, S.Kep.


NIP. 19800412 200604 1 002
LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN APPENDISITIS


AKUT
Oleh: Imrotul Koiriyah, S.Kep

BAB 1. KONSEP DASAR PENYAKIT

1.1. Anatomi Fisiologi Apendiks


a. Anatomi Apendiks
Apendiks atau yang sering disebut dengan usus buntu merupakan kantung
kecil berlubang yang terletak di dinding posteromedical sekum sekitar 1,7 cm
dibawah katup ileocecal, yang memiliki panjang 8,21 cm. Persyarafan pada
apendiks disediakan oleh saraf vagus. Serabut sensorik aferen mengikuti saraf
simpatis untuk memasuki sumsum tulang belakang. Apendiks biasanya terletak di
kanan bawah kuadran perut. Apendiks memiliki 4 lapisan dinding diantaranya
Serosa (bagian terluar), lapisan otot, submukosa, dan bagian terdalam (mukosa)
(Kuntoadi, 2019).

Gambar 1. Anatomi Appendix


Apendiks terletak di regio iliaka dekstra dan pangkal diproyeksikan ke
dinding anterior abdomen pada titik sepertiga bawah garis yang menghubungkan
spina iliaca anterior superior kanan dan umbilikus. Ujung apendiks mudah bergerak
dan mungkin ditemukan pada tempat-tempat berikut ini:

1) Tergantung ke bawah ke dalam pelvis berhadapan dengan dinding pelvis kanan,


2) Melengkung di belakang sekum,
3) Menonjol ke atas sepanjang pinggir lateral sekum, dan
4) Di depan atau di belakang pars terminalis ileum.
Posisi pertama dan kedua merupakan posisi yang paling sering ditemukan
(Barlow dkk., 2015).

Gambar 2. Posisi Apendiks

b. Fisiologi Apendiks
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran
lender di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis appendicitis.
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid
tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA.
Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun
demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena
jumlah jaringan limfosit disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di
saluran cerna dan di seluruh tubuh. Disimpulkan bahwa apendiks dapat berfungsi
sebagai semacam “rumah aman” bakteri, yang memungkinkan kelangsungan hidup
simbiosis flora selama serangan diare yang parah. Diare karena virus gastroenteritis
(rotavirus) dan malnutrisi, lazim terjadi di negara berkembang (Haryono dan Utami,
2019).
1.2. Definisi Penyakit
Appendisitis akut merupakan inflamasi atau peradangan akibat infeksi
mikroorganisme yang masuk ke lapisan submukosa apendiks dan akhirnya
melibatkan seluruh lapisan dindingnya. Peradangan akut dapat menimbulkan
sumbatan lumen apendiks, sehingga menyebabkan bendungan darah vena dan
penutupan arteri. Hal ini mengakibatkan terjadinya gangren bagian ujung atau
tempat sumbatan yang terjadi (Wibowo dkk., 2020).
Appendisitis paling sering merupakan penyakit dengan presentasi akut,
biasanya dalam waktu 24 jam, tetapi bisa juga muncul sebagai kondisi yang lebih
kronis (Bhangu dkk., 2015). Appendisitis akut merupakan penyakit yang selalu
memerlukan terapi pembedahan karena jika tidak dilakukan pengangkatan akan
menyebabkan perforasi dan menyebabkan kontaminasi peritoneal (Merdawati dan
Malini, 2019).

Gambar 3. Appendisitis Akut

1.3. Epidemiologi
Menurut Susan L.,dkk (2016) menyatakan lebih dari 250.000 apendiktomi
dilakukan per tahun, di Amerika Serikat kasus Appendisitis meliputi 11 per
10.000 populasi per tahun, dan angka kejadian ini tidak begitu berbeda di negara
berkembang. Laki-laki lebih berisiko terkena Appendisitis dibanding wanita
dengan rasio 1,4:1. Resiko terjadi kekambuhan pada laki – laki 8,6% sedangkan
perempuan 6,7% (Sarosi, 2016). World Health Organization (WHO)
menyebutkan kejadian Appendisitis di Asia dan Afrika pada tahun 2014 adalah
4,8% dan 2,6% dari total populasi penduduk.
Angka morbiditas dari appendisitis di Indonesia mencapai angka 95 per 1000
penduduk. Pada tahun 2009 telah dilaporkan bahwa terdapat sebanyak
596.132 kasus orang dengan apendiksitis, dan terus meningkat pada tahu 2010
dengan jumlah 621.435 kasus dengan presentase 3,53%. Kejadian appendisitis
meningkat di antara usia 17-25 tahun. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan
untuk jenis kelamin laki laki maupun perempuan. Namun terdapat perbedaan yang
terjadi diantara usia 20-30 tahun, dimana laki-laki lebih rentang untuk menderita
apedisitis daripada perempuan (Fransisca dkk., 2019).

1.4. Etiologi
Appendisitis akut dapat disebabkan oleh infeksi bakteri. Sumbatan pada
lumen appendiks merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi appendisitis.
Sumbatan tersebut diakibatkan karena adanya hiperplasia jaringan limfa, fekalit,
tumor apendiks, dan cacing askariasis (Merdawati dan Malini, 2019). Penyebab lain
dari appendicitis akut ialah erosi mukosa apendiks yang diakibatkan oleh parasite
seperti E. histolytica. Kebiasaan makan makanan rendah serat dan terjadinya
konstipasi juga dapat memicu timbulnya appendicitis. Konstipasi akan
meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional
apendiks dan meningkatan pertumbuhan parasite (James, 2017).

Apendisitis akut disebabkan oleh proses radang bakteria yang dicetuskan oleh
beberapa faktor pencetus. Ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya
radang apendiks, diantaranya :

1. Faktor Obstruksi Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia


jaringan lymphoid submukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda
asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing.

2. Faktor Bakteri Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer


pada appendiksitis akut. Bakteri yang ditemukan biasanya E.coli,
Bacteriodes fragililis, Splanchicus, Lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus.

3. Kecenderungan Familiar Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya


malformasi yang herediter dari organ apendiks yang terlalu panjang,
vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang memudahkan terjadi
appendiksitis.

4. Faktor Ras dan Diet Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola
makanan sehari – hari.
5. Faktor Infeksi Saluran Pernapasan Setelah mendapat penyakit saluran
pernapasan akut terutama epidemi influenza dan pneumonitis, jumlah kasus
appendiksitis ini meningkat.
1.5. Manifestasi Klinis
Menururt (Di Saverio dkk., 2016; James, 2017) tanda dan gejala
appendisitis akut adalah sebagai berikut :
1) Nyeri abdomen, nyeri terjadi di perut bagian atas pada awalnya. Kemudian
bergerak perlahan dan terlokalisasi ke kuadran kanan bawah.
2) Demam hingga 38 ° C

3) Anoreksia atau hilangnya nafsu makan

4) Mual dan muntah

Menurut Betz, Cecily, 2000 :

1) Sakit, kram di daerah periumbilikus menjalar ke kuadran kana bawah.

2) Anoreksia.

3) Mual..

4) Muntah (tanda awal yang umum, kurang umum pada anak yang lebih besar).

5) Demam ringan di awal penyakit dapat naik tajam pada peritonotis.

6) Nyeri lepas.

7) Bising usus menurun atau tidak ada sama sekali.

8) Konstipasi.

9) Diare.

10) Disuria.

11) Iritabilitas.

12) Gejala berkembang cepat, kondisi dapat didiagnosis dalam 4 sampai 6 jam
setelah munculnya gejala pertama.
1.6. Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma (Diyono, 2016). Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi sehingga mucus yang diproduski mukosa akan mengalami
bendungan dan terjadilah peningkatan tekanan intralumen yang akan menghambat
aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa
(Di Saverio dkk., 2016). Pada saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai
oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan
apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark
dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan
apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi
apendisitis perforasi (Di Saverio dkk., 2016).
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding
apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih
kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah
terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Di Saverio dkk., 2016).
1.7. Pemeriksaan Penunjang
Menururt (Diyono, 2016) adapun pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan appendicitis akut adalah sebagai berikut :
1. Gejala appendicitis ditegakkan dengan anamnesa, ada 4 hal yang penting adalah :
a. Nyeri mula – mula di epigastrium (nyeri visceral) yang beberapa waktu
kemudian menjalar ke perut kanan bawah.
b. Muntah oleh karena nyeri visceral.
c. Panas (karena kuman yang menetap di dinding usus).
d. Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak
sakit, menghindarkan pergerakan di perut terasa nyeri.

2. Temuan pada Pemeriksaan Fisik

a. Lokalisasi. terdapat nyeri tekan pada titik Mc. Burney. Dimana ketika
dilakukan palpasi didapatkan nyeri tekan kuadran kanan bawah / titik Mc.
Burney.

b. Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah nyeri yang hebat pada kuadran
kanan bawah sesaat setelah diberikan tekanan yang perlahan dan dalam
kemudian dilepaskan secara tiba-tiba.
c. Rovsing sign adalah nyeri abdomen bagian kuadran kana bawah yang
dirasakan apabila dilakuka penekana pada bagian kiri bawah perut.
d. Psoas sign terjadi karena terdapat rangsang muskulus psoas oleh peradangan
yang terjadi di apendiks.

e. Obturator sign merupakan nyeri yang timbul ketika panggul serta lutut
difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif, hal itu
menunjukkan letak peradangan berada di hipogastrium.

f. Tes Rectal, pada pemeriksaan rectal tocher akan teraba benjolan dan penderita
merasa nyeri pada daerah prolitomi

3. Laboratorium
a. Pemeriksaan darah
1) Leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut terutama pada kasus
dengan komplikasi
2) Pasa appendicular infiltrat, LED akan meningkat.
b. Pemeriksaan urin untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam
urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis
banding seperti, infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala
klinis yang hampir sama dengan appendicitis.

4. Radiologi
a. Foto polos abdomen
Pada appendicitis akut yang terjadi lambat dan telah terjadi komplikasi
(misalnya peritonitis) tampak :
1) Scoliosis ke kanan.
2) Psoas shadow tak tampak.
3) Bayangan gas usus kanan bawah tak tampak
4) Garis retroperitoneal fat sisi kanan tubuh tak tampak
5) 5% dari penderita menunjukkan fecalith radio-opak.
b. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG,
terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat
dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik,
adnecitis dan sebagainya.
c. Barium enema
Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui
anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi – komplikasi dari
appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis
banding.
d. CT-Scan
Dapat menunjukkan tanda – tanda dari appendicitis. Selain itu, juga dapat
menunjukkan komplikasi dari appendicitis seperti bila terjadi abses.
e. Laparoscopi
Yaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan
dalam abdomen, appendix dapat divisualisasikan secara langsung. Teknik ini
dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan
tindakan ini didapatkan peradangan pada appendix maka pada saat itu juga
dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix (appendectomy).

1.8. Penatalaksanaan
Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi appendisitis
akut menurut Mansjoer, (2010) antara lain:
1. Pre-Operatif
a) Pemasangan sonde lambung untuk dekmopresi
b) Pemasangan kateter untuk control produksi urin.
c) Rehidrasi.
d) Berikan antibiotic dan cairan intravena sampai pembedahan dilakukan.
antibiotik telah diusulkan sebagai pengobatan tunggal untuk apendisitis tanpa
komplikasi. Sebagian besar protokol pengobatan termasuk rangkaian awal
antibiotik intravena selama 1-3 hari, diikuti dengan antibiotik oral selama 7
hari. Biasanya, kombinasi dari sefalosporin dan tinidazol atau penisilin
spektrum luas yang dikombinasikan dengan betalaktam. Inhibitor sedang
diberikan.
e) Obat-obatan penurun panas, phenergan sebagai anti menggigil, largaktil
untuk membuka pembuluh – pembuluh darah perifer diberikan setelah
rehidrasi tercapai.
f) Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi.
2. Intra Operatif.
a) Appendiktomi
b) Appendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforasi bebas, maka abdomen
dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika.
c) Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massanya mungkin mengecil
atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa hari.
Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif sesudah 6 minggu
sampai 3 bulan.
3. Post Operatif
a) Observasi TTV.
b) Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan
lambung dapat dicegah.
c) Baringkan pasien dalam posisi semi fowler.
d) Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama
pasien dipuasakan.
e) Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi, puasa
dilanjutkan sampai fungsi usus kembali normal.
f) Berikan minum mulai15 ml/jam selama 4 – 5 jam lalu naikkan menjadi 30
ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya
diberikan makanan lunak.
g) Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat
tidur selama 2×30 menit.
h) Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.
i) Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang
Penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel
limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
Clinical Pathway Prosedur Terdapat luka
akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma postoperasi
Preoperatif
Intraoperatif
Menyebabkan obstruksi sehingga mucus yang Risiko Perdarahan
Postoperatif diproduski akan menyebabkan bendungan

Risiko Infeksi
menghambat aliran peningkatan tekanan
Sel melepaskan mediator nyeri:
prostaglandin dan sitokinin
limfe yang intralumen
mengakibatkan Nyeri Akut
edema, diapedesis Akumulasi monosit,
Impuls ke pusat nyeri diotak bakteri, dan APPENDISITIS AKUT magrofag sel T helper
ulserasi mukosa Gangguan
Integritas Jaringan
Nyeri dipersepsikan Kurang paparan informasi Pelepasan sitokin
Peradangan pada mengenai penyakit dan
dinding apenndiks prosedur pembedahan Depolarisasi bakteri ke
Nyeri < 3 bulan Mensekresi interleukin sistem GI
1 dan 6
Cemas dan takut dengan
Nyeri Akut Mengganggu proses
kondisi penyakit kronis
ibadah Gangguan lambung dan
yang dialami Merangsang saraf
mengingkatkan HCl
Tubuh merespon stresor melalui vagus
mekanisme hipotalamus-pititari- Risiko Distres Ansietas
aksis (HPA) Spiritual Reaksi mual
Pembentukan
prostaglandin otak
Gangguan Pola Tidur
corticotropin releasing hormone Ketidakpahaman klien Nausea
(CRH) merangsang hipofisis dengan penyakit dan
menghasilkan adrenocorticotropic Merangsang hipotalamus
prosedur penanganan
Kondisi terus terjaga meningkatkan set pointm Keengganan untuk
hormone (ACTH)
makan

ACTHdilepas ke darah Defisit Pengetahuan


Kortisol meningkat Suhu meningkat
Risiko Defisit Nutrisi

Hipertemia
BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1. Pengkajian Keperawatan


A. Pengkajian Umum
Pengkajian merupakan langkah awal darimproses keperawatan. Tujuan
pengkajian adalah memberikan suatu gambaran yang terus menerus mengenai
kesehata klien. Tahap pengkajian dari proses keperawatan merupakan proses
dinamis yang terorganisasi yang meliputi tiga aktivitas atas dasar yaitu
mengumpulkan data secara sistematis, memilah dan mengatur data yang
dikumpulkan dan mendokumentasikan data dalam format yang dapat dibuka
kembali
a. Identitas klien
Identitas klien terdiri dari nama, jenis kelamin, umur, tanggal lahir,
suku/bangsa, status perkawinan, pendidikan, alamat, nomor register, tanggal
datang ke rumah sakit, dan tanggal pengkajian.
b. Keluhan utama
Merupakan keluhan paling mengganggu yang dirasakan klien sehingga klien
datang ke rumah sakit. Keluhan utama yang dialami oleh penderita apendisitis
yaitu keluarnya darah pada saat defekasi yang menyebabkan penderita merasa
takut, ada rasa ketidaknyamanan saat duduk karena adanya nyeri yang
dirasakan, dan juga terdapat pruritis yang menyebabkan gatal.
c. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan kronologis peristiwa terkait penyakit klien yang sekarang dialami
sejak klien mengalami keluhan pertama kalinya sampai klien memutuskan ke
rumah sakit. Kronologis kejadian yang harus diceritakan meliputi waktu
kejadian, cara/proses, tempat, suasana, manifestasi klinis, riwayat
pengobatan, persepsi tentang penyebab dan penyakit. Jika terdapat keluhan
nyeri maka disertai pengkajian nyeri PQRST. Biasanya tanda yang awal
muncul pada penderita apendisitis yaitu adanya rasa ketidaknyamanan saat
defekasi karena terdapat benjolan dan jika tidak ditangani lama- kelamaan
dapat menjadi prolaps. Apabila sudah parah maka akan muncul keluhan
keluar darah saat defekasi, nyeri, dan gatal disekitar daerah anus.
d. Riwayat penyakit dahulu
1) Penyakit yang pernah dialami
2) Riwayat penyakit terdahulu yang berhubungan dengan penyakit
apendisitis, contohnya adanya riwayat kontispasi yang sering dialami lebih
dari satu kali. Dapat ditanyakan juga penggunaan jenis obat-obatan, dosis
obat, dan lama penggunaannya. Riwayat atau pengalaman tentang
kesehatan atau penyakit yang pernah dialami, riwayat masuk rumah sakit,
riwayat operasi, dan riwayat kecelakaan.
3) Alergi
Klien mungkin mengalami alergi yang bisa menimbulkan reaksi inflamasi
seperti peningkatan mucus atau yang lain
4) Imunisasi: Klien umumnya memiliki imunisasi lengkap
5) Life sytle
Kebisaan menahan BAB
6) Obat yang dikonsumsi
Diperlukan informasi terkait obat yang dikonsumsi oleh klien, antibiotik
atau yang berkaitan dengan peradangan
e. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat keluarga ada tidaknya yang pernah menderita apendisitis. Digambar
melalui genogram minimal 3 generasi terdahulu dan diberi tanda sesuai
format yang ditentukan
B. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1. Persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
Klien mendeskripsikan bagaimana pola kesehatan dan kesejahteraan klien.
Contohnya menjelaskan pada saat klien sakit apa klien lakukan memilih
berobat dengan meminum obat yang dibeli di warung atau ke klinik terdekat.
Pada klien dengan apendisitis yang datang ke tenaga kesehatan biasanya yang
sudah parah sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari Pola Nutrisi dan
Metabolik. Berisi tentang pola makan klien, berat badan, intake dan output
makanan makanan. Pada klien dengan apendisitis biasanya pola makan yang
dianut sebelum sakit memiliki kandungan serat yang rendah sehingga
menimbulkan apendisitis.
2. Pola nutrisi
Mengkaji berdasarkan Antopometri, Biomedical sign, clinical sign, dan Diet
makan. Umumnya klien bisa mengalami penurunan energi yang
menyebabkan munculnya masalah mual muntah, dan perubahan nutrisi:
kurang dari kebutuhan tubuh
3. Pola eliminasi
Berisi tentang karakteristik urin dan feses yang dikeluarkan. Karakteristik
tersebut meliputi frekuensi, jumlah, warna, bau, berat jenis. Selain itu
gangguan BAK dan BAB perlu diperhatikan. Pada klien dengan apendisitis
saat defekasi mengalami kesulitan karena fesesnya keras dan terdapat darah
segar pada saat defekasi.
4. Pola aktivitas dan latihan
Mengkaji terkait kemandirian klien dalam melakukan ADL dan bagaimana
kemampuan oksigenasi dan energi dalam melakukan aktivitas. Umumnya
klien akan mengalami intoleransi aktivitas
5. Pola tidur dan istirahat
Klien dengan apendisitis kemungkinan akan terganggu saat istirahat karena
adanya nyeri. Setiap klien memiliki ambang batas nyeri yang berbeda
sehingga terdapat klien yang tidurnya terganggu ataupun tidak karena merasa
nyeri.
6. Pola kognitif dan persepsi
Saat pengkajian berlangsung klien dengan apendisitis biasanya masih tetap
sadar tetapi pada saat ditanya mungkin lama menjawab atau kurang lengkap
menjawab karena adanya nyeri dan rasa gatal pada area anus yang
mengganggu.
7. Pola persepsi diri
Gambaran diri, identitas diri, harga diri, ideal diri, dan peran diri. Dampak
yang timbul pada klien yang mengalami appendisitis akut yaitu ketakutan
akan dampak dari sakitnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal dan pandangan akan dirinya yang salah.
Pada klien dengan apendisitis gambaran diri dan harga diri mungkin
terganggu
8. Pola peran dan hubungan
Mengkaji terkait support system yang dimiliki klien, seperti keluarga yang
menunggu atau hubungan dengan teman. Dikarenakan klien harus menjalani
hospitalisasi kemungkinan klien akan mengalami masalasah interaksi sosial
9. Pola manajemen koping dan stres
Manajemen koping setiap individu berbeda-beda tergantung dari berbagai
faktor. Pada klien dengan apendisitis stresor yang mungkin perlu
ditanggulangi mengenai masalah masalah ansietas
10. Sistem nilai dan keyakinan
Sistem nilai dan kepercayaan ini pada penderita apendisitis berkaitan dengan
klien percaya ia dapat sembuh atau tidak dan ia mampu melakukan semua
tindakan untuk kesembuhan dirinya.
C. Pengkajian Fisik
1. Keadaan umum
Klien tampak sakit ringan/sedang/berat. Berat badan Sebagai indicator untuk
menentukan pemberian obat. Pada klien dengan apendisitis juga sama dengan
klien lainnya pemeriksaan TTV meliputi pemeriksaan nadi, tekanan darah,
pola pernapasan, dan suhu tubuh. Tanda-tanda vital pada klien dengan
apendisitis biasanya pada pemeriksaan nadi melemah karena adanya
perdarahan yang terjadi terus-menerus sehingga menyebabkan syok.
2. Kepala
I: bentuk kepala simetris, persebaran rambut merata, warna rambut hitam,
rambut tidak berbau, tidak ada ketombe atau kutu
P : tidak ada penonjolan tulang kepala, tidak ada nyeri tekan
3. Mata
I: mata simetris kanan dan kiri, tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis, sklera
putih, pupil bereaksi terhadap cahaya, reflek cahaya positif ka/ki : 3/3, pupil
dekstra dan sinistra isokor, mata tampak lelah
P: tidak ada penonjolan pada area mata, tidak ada nyeri tekan pada area mata
4. Telinga
I: telinga simetris kanan dan kiri, tidak ada lesi, tidak ada cairan yang keluar
seperti nanah atau darah (bloody otorhea)
P: tidak ada nyeri tekan pada area telinga
5. Hidung
I: hidung kanan dan kiri simetris, tidak ada lesi, menggunakan pernafasan
cuping hidung, terdapat mucus, memakai bantuan terapi O2
P: tidak ada nyeri tekan pada area hidung
6. Mulut
I: mukosa bibir kering, warna bibir pucat, lidah terlihat kotor, area sekitar
mulut, ada pursed lip breathing.
P: tidak ada nyeri tekan pada area mulut
7. Dada
Paru
I : Pernapasan reguler, tampak benjolan abnormal, bentuk dada simetris,
tidak ada pernapasan cuping hidung.
P : tidak ada nyeri tekan, traktil fremitus seimbang dan tidak ada benjolan.
P : sonor dari ICS 1-6 dekstra, suara sonor dari ICS 1-4 sinistra
A : adakah suara tambahan ronchi dan wheezing pada lapang paru.
Jantung
I: ictus cordis tidak terlihat, tidak ada jejas, warna kulit sama dengan kulit
sekitarnya
P: ictus cordis teraba di ICS 5
P: pekak
A : terdengar bunyi S1 dan S2 tunggal
8. Abdomen:
Pemeriksaan abdomen meliputi pemeriksaan pada bentuk perut, dinding
perut, bising usus, kaji adanya nyeri tekan serta dilakukan palpasi pada organ
hati, limfa, ginjal, kandung kemih, yang ditentukan ada tidaknya nyeri pada
pembesaran pada organ tersebut, kemudian pada daerah anus, rectum, dan
genitalia. Pada klien dengan apendisiitis akan ditemukan Distensi abdomen,
nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada
bising usus. Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang
meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena
berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah
karena posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak.
9. Ekstremitas:
Atas:
Inspeksi : bentuk simetris, ada atau tidak deformitas, kulit bersih, telapak
tangan anemis atau tidak, ada rambut halus atau tidak, tidak ada tanda lahir,
tidak ada keterbatasan rentang gerak, tidak tampak ada kekauan.
Palpasi : teraba deformitas, crepitasi, nyeri tekan, kekakuan sendi, ROM aktif
baik atau tidak, teraba benjolan
Bawah:
Inspeksi : bentuk simetris, deformitas, kulit bersih, ada bekas lesi, telapak
tangan anemis atau tidak, ada rambut halus, tidak ada keterbatasan rentang
gerak, tidak tampak ada kekauan.
Palpasi : deformitas, crepitasi, nyeri tekan, tidak ada kekakuan sendi, ROM
aktif baik atau tidak, teraba benjolan pada paha.
10. Kulit dan kuku
Pemeriksaan warna kulit biasanya warna sesuai dengan warna kulit normal,
warna kuku normal serta CRT < 2 detik.. Namun apabila terjadi pendarahan
maka warna kulit dan kuku akan pucat, serta CRT > 2 detik.
11. Keadaan local
Pengkajian terfokus pada kondisi local. Pada klien dengan apendisitis
pengkajian pada keadaan lokal yaitu di daerah abdomen. Pada penderita
apendisitis apabila dilakukan serangkaian tes maka akan didapati Distensi
abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada bising
usus. Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang meningkat
berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena berjalan,
bersin, batuk, atau napas dalam.
2.2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat diangkat sesuai dengan pathway
adalah sebagai berikut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017):
1. Pre Operatif
a. Nyeri akut (D0077) b.d infiltrasi tumor/ kondisi muskuloskeletal kronis
b. Ansietas (D.0080) b.d kurang terpapar informasi (prosedur pemberdahan),
krisis situasional dan ancaman terhadap kematian
c. Defisit pengetahuan (D.0111) b.d kurang terpapar informasi terkait prosedur
operasi
d. Hipertermi (D.0130) b.d proses infeksi penyakit
e. Resiko Defisit Nutrisi (D.0032) b.d peningkatan kebutuhan metabolisme
f. Gangguan Pola Tidur (D.0055) b.d nyeri
g. Risiko Distres Spiritual (D.0100). b.d kondisi penyalit kronis
h. Nausea (D.0076) b.d efek agen farmakologi
2. Intra Operatif
a. Risiko infeksi (D.0142) b.d efek prosedur invasive
b. Risiko perdarahan (D.0012) b.d tindakan pembedahan
3. Post Operatif
a. Nyeri akut (D0077) b.d agen pecedera fisik: proses penyembuhan luka,
prosedur operasi
b. Risiko infeksi (D.0142) b.d luka efek prosedur invasive
c. Gangguan intregritas jaringan (D.0129) b.d tindakan pembedahan
2.3. Intervensi Keperawatan
No. Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil (SLKI) Intervensi (SIKI)
Pre Operatif (SDKI)
1. Nyeri akut (D0077) b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Nyeri (1.08238):
proses inflamasi selama 1x24 jam nyeri akut pada pasien Definisi:
dapat berkurang, dengan kriteria hasil: Mengidentifikasi dan mengolah pengalaman sensorik
atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan
jaringan aktual atau fungsional, dengan onset
Kontrol nyeri (L.08063): mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga
Indikator Skor Skor berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
saat yang Tindakan:
ini dicapai 1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
Melaporkan nyeri 2 5 kualitas, intensitas nyeri, skala nyeri, respon nyeri
non verbal dan faktor yang memperberat dan
terkontrol
memperingan nyeri
Kemampuan 2 5 2) Ajarkan teknik nonfarmakologis ((mis. TENS,
mengenali hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback,
penyebab nyeri terapi pijat, aroma terapi, teknik imajinasi
Kemampuan 2 5 terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain
penggunaan dan teknik massase punggung)
teknik non 3) Fasilitasi istirahat dan tidur
4) Edukasi penyebab, periode dan pemicu nyeri
farmakologi
Keluhan nyeri 4 1
Terapi Relaksasi (1.09326):
Definisi:
Menggunakan teknik peregangan untuk mengurangi
Tingkat Nyeri (L.08066): tanda dan gejala ketidaknyamanan seperti nyeri,
Indikator Skor Skor ketegangan otot dan kecemasan.
saat yang Tindakan:
1) Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif
ini dicapai
digunakan
Keluhan nyeri 2 5 2) Jelaskan tujuan, manfaat, batasan, dan jenis,
Frekuensi nafas 2 5 relaksasi yang tersedia (mis. music, meditasi,
Tekanan darah 2 5 napas dalam, relaksasi otot progresif)
3) Anjurkan sering mengulang atau melatih teknik
yang dipilih
4) Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi (mis.
napas dalam, pereganganm atau imajinasi
terbimbing)

Pemberian Analgesik (1.09314):


Definisi:
Menyediakan dan memberikan agen farmakologis
untuk mengurngi atau menghilangkan nyeri.
Tindakan:
1) Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik,
sesuai indikasi
2) Identifikasi kesesuaian jenis analgesik (mis.
Narkotika, non-narkotika, atau NSAID) dengan
tingkat keparahan nyeri
3) Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
4) Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah
pemberian analgesik.
2. Ansietas (D.0080) b.d Setelah dilakukan tindakan Reduksi Ansietas (1.09314):
kurang terpapar informasi keperawatan selama 1x 24 jam, ansietas Definisi:
(prosedur pemberdahan), pada pasien dapat teratasi, dengan Meminimalkan kondisi individu dan pengalaman
subjektif individu terhadap objek yang tidak jelas dan
krisis situasional dan kriteria hasil:
spesifik akibat antisipasi bahaya yang memungkinkan
ancaman terhadap individu melakukan tindakan untuk menghadapi
kematian ancaman
Tingkat Ansietas (L.09093):
Tindakan:
Indikator Skor Skor 1) Identifikasi saat tingkat anxietas berubah (mis.
saat yang Kondisi, waktu, stressor)
ini dicapai 2) Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
Verbalisasi 2 5 3) Monitor tanda ansietas (verbal dan non verbal)
khawatir akibat 4) Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien,
kondisi yang jika perlu
dihadapi menurun 5) Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak
Perilaku gelisah 2 5 kompetitif, sesuai kebutuhan
menurun 6) Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
Perilaku tegang 2 5 7) Latih kegiatan pengalihan, untuk mengurangi
menurun ketegangan
Konsentrasi 2 5 8) Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri
membaik yang tepat
Pola tidur 2 5 9) Latih teknik relaksasi
membaik

3. Defisit pengetahuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Edukasi prosedur tindakan (1.12442):
(D.0111) b.d kurang selama 1x24 jam, defisit pengetahuan Definisi:
terpapar informasi terkait pada pasien dapat teratasi, dengan Memberikan informasi tentang tindakan yang akan
dilakukan kepada pasien, baik bertujuan untuk
prosedur operasi kriteria hasil: diagnostik maupun untuk terapi

Tingkat Pengetahuan (L.12111): Tindakan:

Indikator Skor Skor 1) Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima


saat yang informasi
ini dicapai 2) Jelaskan tujuan dan manfaat tindaakan yang akan
dilakukan (pembedahan)
Kemampuan 2 4 3) Jelaskan perlunya tindakan dilakukan
menjelaskan 4) Jelaskan keuntungan dan kerugian jika tindakan
tentang suatu dilakukan
topik 5) Jelaskan langkah-langkah tindaakan yang akan
Perilaku sesuai 2 4 dilakukan
dengan 6) Jelaskan persiapan pasien sebelum tindaakan yang
akan dilakukan
pengetahuan
7) Ajarkan teknik untuk mengantisipasi
Persepsi keliru 2 4 ketidaknyamanan akibat tindakan, jika perlu
terhadap masalah
menurun
Perilaku membaik 2 4

4. Hipertermi (D.0130) b.d Setelah dilakukan perawatan ........ 24 Manajemen Hipertermia (I.15506)
proses infeksi penyakit jam, pasien tidak mengalami hipertermi Definisi:
dengan kriteria hasil: Mengidentifikasi dan mengolah peningkatan suhu
tubuh akibat disfungsi termoregulasi
Termoregulasi (L.14134)
Tindakan:
1. Monitor suhu tubuh
Indikator Skala Skala 2. Monitor kadar elektrolit
Awal Akhir 3. Sediakan lingkungan yang dingin
4. Longgarkan atau lepaskan pakaian
Pasien tidak 1 5 5. Kompres dingin jika dibutuhkan
menggigil 6. Berikan cairan oral
Suhu tubuh dalam 1 5 7. Anjurkan tirah baring
rentang normal 8. Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit
(36,5-37,5) intravena jika perlu
9. Kolaborasi pemberian obat penurun demam
Kulit tidak 1 5
(paracetamol)
kemerahan

No. Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil (SLKI) Intervensi (SIKI)
Intra Operatif (SDKI)
1. Risiko infeksi (D.0142) Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pencegahan Infeksi (1.14539):
b.d efek prosedur invasive selama 1x24 jam, resiko infeksi pada Definisi:
pasien dapat teratasi, dengan kriteria Mengidentifikasi dan menurunkan risiko terserang
organisme patogenik.
hasil:
Tindakan:
Kontrol resiko (L.14128): 1) Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan
sistemik
Indikator Skor Skor 2) Batasi jumlah pengunjung
saat yang 3) Cuci tangan sebelum dan sesudan kontak dengan
ini dicapai pasien dan lingkungan pasien
4) Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko
Mengidentifikasi 2 5 tinggi
faktor resiko 5) Anjurkan peningkatan asupan nutrisi
infeksi 6) Anjurkan peningkatkan asupan cairan
Kemampuan 2 5
melakukan
strategi kontrol
resiko
Kemampuan 2 5
merubah perilaku
Menghindari 2 5
faktor resiko
terkait infeksi

2. Risiko perdarahan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pencegahan Perdarahan (1.02067):


Definisi:
(D.0012) b.d tindakan selama 1x24 jam, resiko syok pada
pasien dapat teratasi, dengan kriteria Mengidentifikasi dan menurunkan risiko atau
pembedahan kompliksi stimulasi yang menyebabkaan perdarahan
hasil:
dan risiko perdarahan.
Tingkat perdarahan (L.02017): Tindakan:
1) Monitor tanda dan gejala perdarahan
Indikator Skor Skor 2) Monitor nilai hematrokrit/ hemoglobin sebelum
saat yang dan sesudah kehilangan darah
ini dicapai 3) Pertahankan bedrest selama perdarahan
Hemoglobin 2 5 4) Jelaskan tanda dan gejala perdarahan
Tekanan darah 2 5 5) Anjurkan peningkatkan asupan cairan untuk
Hematokrit 2 5 menghindari konstipasi
Dentut nadi 2 5 6) Anjurkan segera melapor jika terjadi perdarahan
apikal 7) Kolaborasikan obat pengontrol perdarahan
Suhu tubuh 2 5 8) Kolaborasikan pemberikan produk darah
Perdarahan paska 2 5 9) Kolaborasikan pemberian pelunak tinja
operasi

No. Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Post Operatif

1. Nyeri akut (D0077) b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Nyeri (1.08238):
agen pecedera fisik: proses selama 2x24 jam nyeri akut pada pasien Definisi:
penyembuhan luka, dapat berkurang, dengan kriteria hasil: Mengidentifikasi dan mengolah pengalaman sensorik
atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan
prosedur operasi
Kontrol nyeri (L.08063): jaringan aktual atau fungsional, dengan onset
mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga
Indikator Skor Skor berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
saat yang Tindakan:
ini dicapai 1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
Melaporkan nyeri 2 5 kualitas, intensitas nyeri, skala nyeri, respon nyeri
terkontrol non verbal dan faktor yang memperberat dan
Kemampuan 2 5 memperingan nyeri
mengenali 2) Ajarkan teknik nonfarmakologis ((mis. TENS,
penyebab nyeri hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback,
Kemampuan 2 5 terapi pijat, aroma terapi, teknik imajinasi
penggunaan terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain
teknik non dan teknik massase punggung)
farmakologi 3) Fasilitasi istirahat dan tidur
Keluhan nyeri 4 1 4) Edukasi penyebab, periode dan pemicu nyeri
Terapi Relaksasi (1.09326):
Tingkat Nyeri (L.08066): Definisi:
Menggunakan teknik peregangan untuk mengurangi
Indikator Skor Skor tanda dan gejala ketidaknyamanan seperti nyeri,
saat yang ketegangan otot dan kecemasan.
ini dicapai
Keluhan nyeri 2 5 Tindakan:
1) Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif
Frekuensi nafas 2 5
digunakan
Tekanan darah 2 5 2) Jelaskan tujuan, manfaat, batasan, dan jenis,
relaksasi yang tersedia (mis. music, meditasi,
napas dalam, relaksasi otot progresif)
3) Anjurkan sering mengulang atau melatih teknik
yang dipilih
4) Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi (mis.
napas dalam, pereganganm atau imajinasi
terbimbing)

2. Risiko infeksi (D.0142) Setelah dilakukan tindakan keperawatan Perawatan area insisi (1.14558):
b.d luka efek prosedur selama 1x24 jam, resiko infeksi pada Definisi:
invasive pasien dapat teratasi, dengan kriteria Mengidentifikasi dan meningkatkan penyembuhan
luka yang ditutup dengan jahitan, klip atau staples.
hasil:
Tindakan:
Kontrol resiko (L.14128): 1) Periksa lokasi insisi adanya kemerahan, bengkak
atau tanda dehisen atau eviserasi
Indikator Skor Skor 2) Monitor proses penyembuhan area insisi
saat yang 3) Monitor tanda dan gejala infeksi
ini dicapai 4) Jelaskan kepada pasien dengan menggunakan alat
Mengidentifikasi 2 5 bantu
faktor resiko 5) Bersihkan area insisi denan pembersih yang tepat
infeksi 6) Usapkan area insisi dari area yang bersih menuju
Kemampuan 2 5 area yang kurang bersih
melakukan 7) Berikan salep antiseptik
strategi kontrol 8) Ganti balutan luka sesuai jadwal
resiko 9) Ajarkan cara merawat area insisi
Kemampuan 2 5 10) Ajarkan meminimalkan tekanan pada daerah
merubah perilaku insisi.
Menghindari 2 5
faktor resiko
terkait infeksi

3. Gangguan intregritas Setelah diberikan asuhan keperawatan Perawatan area insisi (1.14558):
jaringan (D.0129) b.d selama ... x24 jam, integritas kulit dapat Definisi:
tindakan pembedahan Mengidentifikasi dan meningkatkan penyembuhan
membaik. luka yang ditutup dengan jahitan, klip atau staples.
Tindakan:
Kriteria Hasil: 1. Periksa lokasi insisi adanya kemerahan, bengkak
atau tanda dehisen atau eviserasi
2. Monitor proses penyembuhan area insisi
Integritas jaringan (L.14125)
3. Monitor tanda dan gejala infeksi
4. Jelaskan kepada pasien dengan menggunakan alat
bantu
Indikator Awal Akhir 5. Bersihkan area insisi denan pembersih yang tepat
6. Usapkan area insisi dari area yang bersih menuju
Kerusakan 1 5 area yang kurang bersih
jaringan 7. Berikan salep antiseptik
Kemerahan 2 5 8. Ganti balutan luka sesuai jadwal
5 9. Ajarkan cara merawat area insisi
Nyeri 2
10. Ajarkan meminimalkan tekanan pada daerah
Perfuji jaringan 1 5 insisi.
Suhu kulit 1 5
29

2.4. Evaluasi
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah klien
diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian, diagnosa
keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi keperawatan. Evaluasi
keperawatan ditulis dengan format SOAP, yaitu:
1. S (subjektif) yaitu respon klien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. O (objektif) yaitu data klien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
3. A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada klien apakah sudah teratasi, teratasi
sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
4. P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau
dimodifikasi

2.5. Discharge Planning


Pelaksanaan discharge planning pada klien dan keluarga bertujuan untuk
menyiapkan klien dan keluarga menjalani perawatan mandiri di rumah, antara lain
dengan :
1. Informasikan tentang penyakit pada keluarga dan klien.
2. Ajarkan keluarga dan klien jadwal meminum obat yang tepat waktu.
3. Ajarkan keluarga cara merawat klien dan memenuhi kebutuhan dasarnya.
4. Anjurkan keluarga untuk mendorong kemandirian klien semampu klien, dan
dibantu bila klien tidak mampu.
5. Anjurkan klien untuk istirahat yang adekuat
6. Anjurkan menjaga masukan nutrisi yang seimbang
7. Anjurkan keluarga untuk rutin memeriksakan kesehatan klien di pelayanan
kesehatan terdekat.
30

DAFTAR PUSTAKA

Barlow, A., M. Muhleman, J. Gielecki, P. Matusz, R. S. Tubbs, dan M. Loukas.


2015. The vermiform appendix: a review. Clinical Anatomy. 26(7):833–
842.

Bhangu, A., K. Søreide, S. Di Saverio, J. H. Assarsson, dan F. T. Drake. 2015.


Acute appendicitis: modern understanding of pathogenesis, diagnosis, and
management. The Lancet. 386(10000):1278–1287.

Di Saverio, S., dkk. 2016. WSES jerusalem guidelines for diagnosis and treatment
of acute appendicitis. World Journal of Emergency Surgery. 11(1):1–25.

Diyono. 2016. Keperawatan Medikal Bedah Sistem Perencanaan. Jakarta: Prenada


Media Group.

Fransisca, C., I. M. Gotra, dan N. M. Mahastuti. 2019. Karakteristik pasien dengan


gambaran histopatologi apendisitis di rsup sanglah denpasar tahun 2015-
2017. Jurnal Medika Udayana. 8(7):2.

Haryono, R. dan M. P. S. Utami. 2019. Keperawatan Medikal Bedah 2.


Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

James, M. 2017. Acute appendicitis. Surgery. 29(8):372–376.

Kuntoadi, G. B. 2019. BUKU AJAR ANATOMI FISIOLOGI: Untuk Mahasiswa


APIKES – Semester 1. Bandung: Pantera Publishing

Merdawati, L. dan H. Malini. 2019. Keperawatan Medikal Bedah II. Padang:


Rajawali Pers.

Petroianu, A. dan T. V. Villar Barroso. 2016. Pathophysiology of acute


appendicitis. JSM Gastroenterology And Hepatology. 4(3):4–7.

Satwik, A. dan N. Naveed. 2015. Anesthesia – a review. Journal of


Pharmaceutical Sciences and Research. 7(4):182–184.
31

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI) Edisi 1. Jakarta: Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI)
Edisi 1. Jakarta: Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI) Edisi 1. Jakarta: Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Wibowo, W. J., T. O. R. Wahid, dan H. Masdar. 2020. Hubungan onset keluhan


nyeri perut dan jumlah leukosit dengan tingkat keparahan apendisitis akut
pada anak. Health & Medical Journal. 2(2):26–36.

Anda mungkin juga menyukai