R DENGAN
DIAGNOSA APENDISITIS KRONIS DENGAN TINDAKAN APENDIKTOMI DI
INSTALASI BEDAH SENTRAL RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WATES,
KULON PROGO, YOGYAKARTA
Disusun Oleh :
Eryan Riadinata, S.Kep., Ns
Fajar Arifin, S.Kep., Ns
Fitria Isvandary, Amd. Kep
Yheni Erya Setyaputri, Amd. Kep
Disusun Oleh :
Eryan Riadinata, S.Kep., Ns
Fajar Arifin, S.Kep., Ns
Fitria Isvandary, Amd. Kep
Yheni Erya Setyaputri, Amd. Kep
Pembimbing Klinik
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan ini
dengan baik. Laporan ini berjudul “Asuhan Keperawatan Perioperatif Pada Nn. R
Dengan Diagnosa Apendisitis Kronis Dengan Tindakan Apendiktomi Di Instalasi Bedah
Sentral Rumah Sakit Umum Daerah Wates Kulonprogo Yogyakarta”. Laporan makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok dan diajukan untuk memenuhi standar
proses pembelajaran pelatihan BSCORN.
Dalam penyusunan laporan makalah ini penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada pihak-pihak yang senantiasa memberi dukungan dan masukan dalam proses
penyusunan laporan makalah ini. Meskipun telah berusaha segenap kemampuan namun
penulis menyadari bahwa laporan makalah ini masih belum sempurna oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak demi kebaikan
dikemudian hari. Akhir kata penulis mengharapkan laporan ini dapat bermanfaat dalam
proses pembelajaran dan bagi siapapun yang membacanya.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tingkat kejadian apendisitis di negara maju lebih tinggi di bandingkan dengan negara
berkembang. Apendisitis dapat terjadi pada laki – laki dan perempuan pada segala usia
tapi pada umumnya saat usia remaja yaitu sekitar usia 20 – 30 tahun. Apendisitis pada
umumnya terjadi pada laki – laki (Kowalak, 2011).
Data dari WHO (World Health Organization) menyebutkan bahwa insiden apendisitis
kronis di Asia pada tahun 2007 adalah 4,8% dari total populasi penduduk di dunia
berjumlah 25.340 kasus dan masih banyak kasus apendisitis kronis yang tidak
terlaporkan, sedangkan dilakukan tindakan apendiktomi 25.330 kasus (Peter, 2010).
Pada penelitian Haider Kamran 1997 di Ayub Teaching Hospital Pakistan,
menunjukkan dari 100 pasien apendisitis kronis, 58% adalah laki-laki dan 42% adalah
perempuan (Marisa, 2009). Menurut Departemen Republik Indonesia (2009),
menunjukan bahwa setiap tahunnya apendisitis kronis menyerang jutaan penduduk
Indonesia (Lubis, 2008), saat ini morbiditas angka apendisitis di Indonesia mencapai
angka tertinggi diantara negara ASEAN.
Dari survey di 12 provinsi tahun 2008 menunjukan jumlah apendisitis kronis yang
dirawat inap di rumah sakit sebanyak 4.251 kasus. Jumlah ini meningkat drastis
dibanding dengan tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 2.236 orang. Diawal tahun 2009,
tercatat 3.159 orang di Jakarta yang dirawat dirumah sakit akibat apendisitis kronis.
Melihat data tersebut dan kenyataan bahwa masih banyak kasus apendisitis kronis yang
tidak terlaporkan. Dinkes Jateng menyebutkan pada tahun 2009 jumlah kasus apendisitis
kronis di Jawa Tengah sebanyak 980 penderita. (Dinkes, 2009).
Di RSUD Wates Kabupaten Kulonprogo sendiri tercacat selama 3 bulan terakhir (3
Juni 2019 – 13 September 2019) didapatkan data apendisitis sebanyak 20 kasus dengan
tindakan apendiktomi (Buku Register RSUD IBS Wates). Tindakan operasi atau
pembedahan merupakan pengalaman yang sulit bagi semua hampir pasien. Berbagai
kemungkinan buruk yang akan membahayakan pasien bisa terjadi sehingga diperlukan
peran penting perawat dalam setiap tindakan pembedahan mulai dari pre, intra dan post
pembedahan dengan melakukan intervensi keperawatan yang tepat untuk mempersiapkan
klien baik secara fisik maupun psikis. Tingkat keberhasilan pembedahan sangat
tergantung pada setiap tahapan yang dialami dan saling ketergantungan antara tim
kesehatan yang terkait (dokter bedah, dokter anestesi, perawat). Disamping peranan
pasien yang kooperatif selama proses perioperatif .
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merumuskan masalah yaitu “Bagaimana Asuhan
Keperawatan Perioperatif Pada Nn. R Dengan Diagnosa Apendisitis Kronis Dengan
Tindakan Apendiktomi Di Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Umum Daerah Wates
Kulonprogo Yogyakarta”.
C. RUANG LINGKUP
1. Ruang Lingkup Tempat Dan Waktu
Penulis membatasi data asuhan keperawatan perioperatif pada Nn. R dengan
Appendikitis Kronis dengan tindakan Apendiktomi yang meliputi pre, intra, post
operasi di lingkungan kerja kamar operasi RSUD WATES.
2. Lingkup Asuhan Keperawatan
Penulis melakukan asuhan keperawatan menggunakan proses keperawatan yang
meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi
keperawatan perioperatif.
D. TUJUAN
Tujuan penulisan meliputi tujuan umum dan tujuan khusus:
1. Tujuan umum :
Untuk memberikan gambaran secara nyata dalam melaksanakan asuhan
keperawatan perioperatif pada Nn. R dengan Apendisitis Kronis yang di lakukan
tindakan Apendiktomi di Instalasi Bedah Sentral RSUD Wates tahun 2019.
2. Tujuan khusus:
a. Dapat menjelaskan konsep dasar teori Apendisitis
b. Dapat menjelaskan konsep dasar teori asuhan keperawatan dengan pasien yang
dilakukan Apendiktomi
c. Mengerti tentang instrumentasi pada tindakan operasi apendiktomi
E. MANFAAT
1. Secara teoritis
Meningkatkan pengetahuan dalam bidang keperawatan terutama konsep dasar
penyakit dan konsep asuhan keperawatan perioperatif apendiktomi.
2. Secara aplikatif
a. Bagi penulis
1) Meningkatkan keterampilan pemberian asuhan keperawatan pada pasien
perioperatif apendiktomi.
2) Meningkatkan ketrampilan instrumentasi pada tindakan asuhan keperawatan
apendiktomi
b. Bagi rumah sakit
Sebagai acuan untuk pelaksanaan asuhan keperawatan perioperatif apendiktomi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Apendisitis adalah radang apendiks, suatu tambahan seperti kantung yang tak
berfungsi terletak pada bagian inferior dari sekum. Penyebab yang paling umum dari
apendisitis adalah obstruksi lumen oleh feses yang akhirnya merusak suplai aliran darah
dan mengikis mukosa menyebabkan inflamasi (Wilson & Goldman, 2011). Sedangkan
menurut Mansjoer (2010), Apendisitis adalah peradangan dari apendiks fermivormis, dan
merupakan penyebab nyeri abdomen yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai
semua umur baik laki-laki maupun perempuan.
Apendisitis kronis adalah penyebab paling umum inflamasi kronis pada kuadran
bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat
(Smeltzer, 2008). Sedangkan menurut Ovedolf (2009), Apendisitis kronis adalah infeksi
pada apendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu feses) dan hiperplasi
jaringan limfoid. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis kronis. Erosi
membran mukosa apendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica,
Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis.
Apendiktomi adalah pembedahan untuk mengangkat apendiks yang dilakukan
sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. (Smeltzer Suzanne, C., 2009).
Sedangkan menurut Mediskus 2010, Apendiktomi yaitu suatu prosedur operasi untuk
memotong dan membuang apendiks (usus buntu).
B. ANATOMI FISIOLOGI
Menurut Mohamad Judha & Rizky Erwanto 2011, anatomi fisiologi apendiks yaitu:
1. Anatomi apendiks
Apendiks merupakan organ yang panjang kira-kira 10 cm dan berpangkal pada
sekum. Apendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke
delapan yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan
postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi apendiks yang akan
berpindah dari medial menuju katup ileocaecal. Apendiks berupa pipa buntu yang
terbentuk seperti cacing dan berhubungan dengan sekum di sebelah kaudal peralihan
ileosekal (ileocecal junction). Apendiks memiliki meso-apendiks yang
menggantungnya pada mesenterium bagian akhir ileum. Apendiks terletak pada
regioiliaca kanan. Dasar apendiks terletak pada 1/3 atas garis yang menghubungkan
spina iliaca anterior superior dengan umbilicus (titik McBurney) dan pangkal
apendiks lebih ke dalam dari titik pada batas antara bagian sepertiga lateral dan dua
pertiga medial garis miring antara spina iliaca anterior superior dan anulus umbilicalis
(titik McBurney).
D. PATOFISIOLOGI
Menurut Mansjoer 2009, Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin
banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan penekanan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi
mukosa. Pada saat inilah terjadi terjadi apendisitis kronis fokal yang ditandai oleh nyeri
epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan
apendisitis supuratif kronis. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark
dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis
gangrenosa.
Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua
proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah
apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendiksularis.
Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak,
karena omentum lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis.
Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan
terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada
gangguan pembuluh darah.
Menurut Smeltzer (2009), Apendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai
akibat tersumbat, kemungkinan oleh fekalit (massa keras dari feses), tumor atau benda
asing. Proses inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal yang akan menghambat aliran
limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri dan ulserasi mukosa menimbulkan
nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif, dalam beberapa jam,
terlokalisasi dikuadran kanan bawah dari abdomen. Akhirnya apendiks yang terinflamasi
berisi pus.
E. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Schwart, (2009) menyatakan tanda dan gejala klasik adalah berawal
anoreksia, diikuti dengan periumbilical konstan derajat sedang dengan pergeseran dalam
4-6 jam menjadi nyeri tajam pada kuadran kanan bawah, selanjutnya dapat terjadi
episode muntah bersama dengan obstipasi atau diare, takikardi dan peningkatan suhu
tubuh
Menurut Betz, Cecily, 2008 tanda dan gejala apendisitis kronis yaitu :
1. Nyeri dikuadran kanan bawah
2. Anoreksia
3. Mual, Muntah
4. Demam ringan di awal penyakit dapat naik tajam pada peritonotis.
5. Nyeri lepas
6. Bising usus menurun atau tidak ada sama sekali.
7. Konstipasi
8. Gejala berkembang cepat, kondisi dapat didiagnosis dalam 4 sampai 6 jam setelah
munculnya gejala pertama.
Manifestasi klinis menurut Mansjoer, (2009) keluhan apendiks kronis biasanya
bermula dari nyeri di daerah umbilicus atau periumbilikus yang berhubungan dengan
muntah. Dalam 2-12 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, yang akan menetap
dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise, dan
demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi, tetapi kadang-kadang
terjadi diare, mual, dan muntah. Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan
abdomen yang menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen bawah akan
semakin progresif, dan dengan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan satu titik
dengan nyeri maksimal. Perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat membantu
menentukan lokasi nyeri. Nyeri lepas dan spasme biasanya juga muncul. Bila tanda
Rovsing, psoas, dan obturator positif, akan semakin meyakinkan diagnosa klinis.
Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari : mual, muntah
dan nyeri yang hebat di perut kanan bagian bawah. Nyeri bisa secara mendadak dimulai
di perut sebelah atas atau di sekitar pusar, lalu timbul mual dan muntah. Setelah beberapa
jam, rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika dokter
menekan daerah ini, penderita merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan ini
dilepaskan, nyeri bisa bertambah tajam. Demam bisa mencapai 37,8-38,8°C. Pada bayi
dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut. Pada orang tua dan
wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu
terasa. Bila usus buntu pecah, nyeri dan demam bisa menjadi berat. Infeksi yang
bertambah buruk bisa menyebabkan syok.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah lengkap : Hb, Hmt normal. Differential telling bergeser ke kiri, LED
meningkat pada apendisitis kronis.
2. Rontgen
3. USG
4. CT-Scan
5. Barium enema
Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukan barium ke colon melalui
anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukan komplikasi- komplikasi dari apendisitis
kronis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosa banding
(Schwart, 2007).
6. Laparascopi
Yaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukan
dalam abdomen, apendiks dapat divisualisasikan secara langsung. Bila pada saat
melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada apendiks maka dapat langsung
dilakukan pengangkatan apendiks (www.medicastore.com, 2008).
7. Apendicogram, hasil positif bila berupa : Non filling, partial filling, mouse tail, cut
off. Bila rontgen abdomen tidak menolong kecuali telah terjadi peritonitis (Sari, dkk.
2008)
G. KOMPLIKASI
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan apendisitis. Faktor
keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita meliputi
pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan diagnosa, menunda
diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan.
Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi
komplikasi apendisitis 10-32%, paling sering pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi
93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75% pada orang tua. CFR
komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan orang tua. Anak-anak memiliki
dinding apendiks yang masih tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang
sempurna memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan
pembuluh darah. Adapun jenis komplikasi diantaranya:
1. Abses
Abses merupakan peradangan apendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di
kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula- mula berupa flegmon dan
berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila apendisitis
gangrene atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya apendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar
kerongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi
meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70%
kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih
dari 38,5oC, tampak toksik, nyerit tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama
polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
3. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang
dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya
cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen,
demam, dan leukositosis.
H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi (Brunner & Suddarth, 2012)
1. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian
antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita apendisitis perforasi,
sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian
antibiotik sistemik.
2. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan apendisitis maka tindakan yang
dilakukan adalah operasi membuang apendiks (apendiktomi). Penundaan apendiktomi
dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses
apendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
Apendiktomi merupakan pembedahan untuk mengangkat appendik yang
dilakukan untuk menurunkan perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan secara terbuka
atau laparoskopi. Apendiktomi terbuka dilakukan insisi McBurnney yang biasanya
dilakukan oleh para ahli. Pada apendisitis yang tanpa komplikasi maka tidak perlu
diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis perforata. Penundaan tindakan bedah
yang diberikan antibiotik dapat menimbulkan abses atau perforasi. Terapi
farmakologis preoperatif antibiotik untuk menurunkan resiko infeksi pasca bedah.
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa yang keperawatan yang akan muncul pada pasien apendisitis kronis yaitu
NANDA (2015-2017) :
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis
2. Ansietas berhubungan dengan rencana operasi
3. Resiko infeksi dengan faktor resiko prosedur invasif (Operasi apendiktomi)
4. Resiko Jatuh dengan faktor resiko agen farmaseutikal (efek anestesi)
BAB III
B. DATA FOKUS
1. Keluhan utama
Klien mengatakan nyeri skala 5 di perut sebelah kanan bawah sejak seminggu
yang lalu, sempat demam hari selasa, mual dan muntah, nyeri pinggang kanan dan
nyeri pada ulu hati, nyeri senut-senut dan terasa hilang timbul.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien mengatakan merasakan nyeri perut skala 5 di perut sebelah kanan bawah
sejak seminggu yang lalu, sempat demam hari selasa, mual dan muntah, nyeri
pinggang kanan dan nyeri pada ulu hati, nyeri senut-senut dan terasa hilang timbul
dan memeriksakannya tanggal 6 September 2019 sore ke IGD RSUD Wates,
dilakukan pemeriksaan laboratorium dan masuk rawat inap pada tanggal 6
September 2019.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Klien mengatakan belum pernah mengalami riwayat penyakit yang sama
sebelumnya, tidak mempunyai riwayat hipertensi, diabetes, asma, maupun penyakit
jantung.
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Klien mengatakan dalam keluarga tidak ada yang mempunyai riwayat penyakit
menurun dan tidak ada yang memiliki riwayat penyakit menular.
5. Pemeriksaan fisik
a. Kesadaran : Compos Mentis E4 V5 M6
b. Vital sign : TD : 114/84 mmHg, suhu : 36,8oC, nadi : 110 x/menit, RR : 18
x/menit, SpO2 : 98%
c. Berat badan : 38 kg
d. Tinggi badan : 147 cm
e. Kepala : tidak ada keluhan pada kepala, rambut tampak bersih.
f. Mata : Kanan kiri simetris, sklera tidak ikterik, konjungtiva pink.
g. Hidung : Simetris, bersih, dan tidak ada benjolan maupun luka
h. Telinga : Simetris, tidak ada serumen, dan tidak ada gangguan pendengaran.
i. Mulut dan gigi : Bersih, lembab, gigi tampak rapi, ada gigi palsu berjumlah 2.
j. Leher : Leher tampak simetris, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
k. Thorax :
I : Tidak ada retraksi dada, tidak ada penggunaan otot bantu nafas
P : Tidak ada nyeri tekan, tidak teraba adanya massa tambahan.
P : Paru sonor, jantung pekak, tidak ada efusi.
A : Suara paru vesikuler, jantung regular dan tidak terdapat suara tambahan
l. Abdomen :
I : Tampak bersih, tidak ada lesi, tidak ada benjolan
A: Peristaltik usus 12x/menit
P: Suara tympani
P: Ada nyeri tekan pada daerah kuadran kanan bawah
m. Perkemihan
Tidak merasa nyeri saat BAK
n. Integumen :
Akral hangat, turgor baik kembali < 2 detik, tidak oedema, tidak ada lesi.
o. Ekstremitas
1) Kekuatan otot : Skala kekuatan otot 5/5 untuk ekstremitas atas dan bawah,
artinya bebas bergerak dapat melawan tahanan, terpasang infus pada tangan
kiri.
2) Kulit dan kuku : kulit tampak kering, turgor elastis, kuku jari tangan/kaki
tampak kotor dan panjang, CRT 3 detik
6. Pengkajian pola fungsional
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
SMRS : Pasien mengatakan akan berobat ke puskesmas atau rumah sakit ketika
sakit. Pasien mandi 2x dalam sehari.
MRS : Pasien mengatakan mandi 1x sehari
b. Pola aktivitas dan latihan
SMRS :
Tabel 3.1 Pola aktivitas dan latihan SMRS
Makan / minum √
√
Mandi
√
Toileting
√
Berpakaian
√
Mobilisasi
√
Berpindah
√
Ambulasi ROM
MRS :
Makan / minum √
√
Mandi
√
Toileting
√
Berpakaian
√
Mobilisasi
√
Berpindah
√
Ambulasi ROM
Keterangan :
Skala 0 : Mandiri
Skala 1 : Alat Bantu
Skala 2 : Dibantu oranglain
Skala 3 : Dibantu orang lain dan alat
Skala 4 :Tergantung secara total
c. Pola Nutrisi dan Metabolisme
SMRS : Pasien mengatakan biasa makan 3x sehari dengan porsi normal, minum 8
gelas/hari, tidak ada diet khusus, tidak ada kesulitan menelan.
MRS : Pasien mengatakan makan 3x sehari habis setengah porsi rumah sakit,
minum 5 gelas/hari. Saat ini pasien sudah puasa selama 8 jam mulai dari jam
01.00 WIB.
d. Pola Eliminasi
SMRS : Pasien BAB 1x/hari dengan konsistensi konsistensi padat lunak, warna
kuning kecoklatan. Pasien mengatakan tidak ada kesulitan dan kesakitan saat
BAK, warna urine kuning.
MRS : Pasien mengatakan BAB 2 hari sekali, pasien tidak merasa nyeri saat BAK
Pola Tidur dan Istirahat
SMRS : Pasien mengatakan tidur ±8 jam/hari dan tidak ada gangguan pola tidur
MRS : Pasien mengatakan selama di rumah sakit pasien tidur selama 6-7 jam,
namun sehari sebelum operasi mengalami sulit tidur dan memulai tidur karena
merasa cemas.
7. Aspek psiko-sosio-spiritual
a. Pola konsep diri
SMRS : Klien berperan sebagai anak dan menjalankan perannya dengan baik.
MRS : Selama menjalani pengobatan di RS klien tidak dapat menjalankan tugas
dan perannya dengan maksimal.
b. Pola Seksual dan Reproduksi
Selama dirawat dirumah sakit pasien tidak sedang mengalami menstruasi.
c. Pola Mekanisme Koping
Pasien menyatakan walaupun cemas pasien punya keyakinan kalau semua yang
dialami ada hikmahnya asal tawakal dan berdo’a.
d. Pola Persepsi Diri
Pasien mengatakan siap menghadapi operasi dan berharap semoga operasi ini bisa
berjalan dengan lancar.
e. Pola Peran dan Hubungan
Pasien mampu berkomunikasi baik dengan keluarga dan tenaga kesehatan, pasien
mendapat dukungan terhadap kesembuhannya dari keluarga terutama
orangtuanya. Pasien tampak kooperatif dan mau bekerjasama dengan tim medis.
f. Pola Nilai dan Kepercayaan
Pasien senantiasa berdoa supaya operasi yang akan dijalaninya dapat berjalan
dengan lancar dan pasien bisa cepat sembuh.
g. Kecemasan Skala HARS (Hamilton Anxietas Rating Scale)
Tabel 3.3 Skala HARS
1 Perasaan cemas 0 1 2 3 4
Cemas √
Firasat buruk √
Takut akan pikiran sendiri √
Mudah tersinggung √
2 Ketegangan 0 1 2 3 4
√
Merasa tegang dan lesu
√
Tidak bisa istirahat tenang
√
Mudah terkejut
√
Mudah menangis
√
Gemetar
√
Gelisah
3 Ketakutan 0 1 2 3 4
√
Takut terhadap gelap
√
Terhadap orang asing
√
Takut ditinggal sendiri
4 Gangguan tidur 0 1 2 3 4
Sukar memulai tidur √
Tidur tidak pulas √
√
Lesu
√
Mimpi buruk
5 Gangguan kecerdasan 0 1 2 3 4
√
Penurunan daya ingat
√
Mudah lupa
√
Sulit konsentrasi
6 Perasaan depresi 0 1 2 3 4
√
Hilangnya minat
√
Sedih
√
Bangun dini hari
Perasaan berubah-ubah √
7 Gejala somatic 0 1 2 3 4
√
Nyeri pada otot dan kaku
√
Kedutan pada otot
√
Gertakan gigi
Suara tidak stabil √
8 Gejala somatic (sensorik) 0 1 2 3 4
√
Tinitus (telinga berdenging)
√
Penglihatan kabur
Muka merah dan pucat √
9 Gejala kardiovaskuker 0 1 2 3 4
√
Takikardi
√
Nyeri dada
Berdebar-debar √
√
Denyut nadi mengeras
√
Rasa lemas (pingsan)
10 Gejala raspiratori 0 1 2 3 4
√
Rasa tertekan di dada
√
Perasaan tercekik
Sering menarik nafas panjang √
Merasa nafas pendek √
11 Gejala gastrointestinal (pencernaan) 0 1 2 3 4
√
Sulit menelan
√
Berat badan menurun
Mual dan muntah √
√
Nyeri lambung
√
Perasaan panas di perut
12 Gejala urogenital (perkemihan) 0 1 2 3 4
√
Sering kencing
√
Tidak dapat menahan kencing
13 Gejala vegetative 0 1 2 3 4
√
Mulut kering
√
Mudah berkeringat
√
Muka merah
√
Kepala berat
14 Perilaku 0 1 2 3 4
Gelisah √
Tidak tenang √
√
Jari-jari gemetar
√
Kerut kening
Muka tegang √
Otot tegang mengeras √
9. Persiapan Operasi
Persiapan pasien yang dilakukan di ruang penerimaan IBS RSUD Wates Kulon
Progo meliputi pemeriksaan fisik dan administrasi. Pasien datang ke IBS pada pukul
09.20 WIB. Perawat yang bertugas di ruang penerimaan mengganti baju pasien
dengan baju khusus operasi dari IBS, dan memakaikan topi operasi atau penutup
kepala kepada pasien kemudian perawat melakukan serah terima pasien dengan
perawat bangsal.
a. Persiapan fisik pasien
Perawat mengkaji ulang :
1) Benar pasien (identitas pasien)
2) Gelang identitas terpasang (lengkap, benar)
3) Penandaan lokasi operasi (ada)
4) Puasa sesuai ketentuan (pasien puasa sejak pukul 01.00 WIB)
5) Perhiasan (pasien tidak memakai perhiasan)
6) Gigi palsu (pasien memakai gigi palsu sejumlah 2)
7) Riwayat alergi (pasien tidak mempunyai riwayat alergi)
8) Sesak nafas (pasien tidak mempunyai riwayat sesak nafas)
9) IV line, dower cateter (pasien terpasang Infus RL 500cc, tidak terpasang
kateter)
10) Pemberian antibiotik profilaksis (ceftriaxon 1gr pada pukul 10.00 WIB)
Sudah dilakukan skin test di Ruang Anggrek, hasil skin test negatif, obat
sudah disertakan.
DO :
Pasien tampak menahan nyeri
Pasien tampak memegangi area perut
kanan bawah
Vital sign :
TD : 114/84 mmHg
Suhu : 36,8oC
Nadi : 110 x/menit
RR : 18 x/menit
SpO2 : 98%
Skala nyeri : 5
2 DS : Ansietas Perubahan dalam
status kesehatan
Pasien mengatakan cemas akan (tindakan operasi)
dilakukan operasi
DO :
Pasien bertanya “operasinya
bagaimana dan berapa lama ?”
Skala kecemasan pasien dengan skala
HARS skor 21 (kecemasan sedang)
Vital sign :
TD : 114/84 mmHg
Suhu : 36,8oC
Nadi : 110 x/menit
RR : 18 x/menit
SpO2 : 98%
Diagnosa Keperawatan
b. Menggunakan srategi koping yang f. Nilai respon verbal dan non verbal dari
efektif untuk mengurangi cemas tanda-tanda kecemasan
4 3 A
D C
2
E 1
6 5
F
Keterangan :
1. Perawat sirkuler A. Mesin anestesi
2. Dokter anestesi B. Mesin ESU
3. Dokter operator C. Meja operasi
4. Asisten 2 D. Suction
5. Asisten 1 E. Meja instrument
6. Perawat instrument F. Meja linen
C. Diagnosa Keperawatan
Resiko jatuh berhubungan dengan agen farmaseutikal (efek anestesi)