Anda di halaman 1dari 15

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Apendisitis akut merupakan peradangan apendiks vermiformis yang memerlukan


pembedahan dan biasanya ditandai dengan nyeri tekan lokal di perut bagian kanan bawah
(Anderson, 2002). Komplikasi utama pada apendisitis adalah perforasi apendiksyang
dapatberkembang menjadi peritonitisatau abses.
Insidens perforasi berkisar 10%sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan
lansia(Smeltzer & Bare, 2002).
Berdasarkan dari data di Amerika Serikat pada tahun 1993-2008 menunjukkan bahwa
ada peningkatan apendisitis dari 7,68% menjadi 9,38% dari 10.000 orang. Frekuensi tertinggi
ditemukan pada rentang usia 10-19 tahun, namun angka kejadian pada kelompok ini mengalami
penurunan sebesar 4,6%. Sedangkan pada rentang usia 30-69 tahun mengalami peningkatan
kejadian apendisitis sebesar 6,3%. Angka kejadiannya lebih tinggi terjadi pada pria dibanding
wanita (Buckius, et al., 2011).
Dari 150 kasus di RS Rawalpindi, Islamabad, Pakistan diketahui 47 kasus (31,3%)
memiliki apendisitis perforasi, sementara 103 kasus (69,7%) memiliki apendisitis sederhana.
Dari kasus tersebut 90 pasien diantaranya adalah laki-laki sementara 60 sisanya adalah
perempuan.Diketahui 40 pasien (85,1%) dari apendisitis perforasi memiliki gejala selama lebih
dari 24 jam, sementara 7 pasien (14,9%) lainnya memiliki gejala kurang dari 24 jam. Komplikasi
yang tinpadaapendisitis perforasi dapat dibandingkan dengan apendisitis non perforasi dan tidak
ditemukan pasien yang mengalami (Dian, et al., 2011).
Faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan penanganan apendisitis akut dapat
mengakibatkan timbulnya komplikasi.Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pasien maupun
dari tenaga medis.Faktor yang berasal dari pasien meliputi pengetahuan & mahalnya biaya yang
harus dikeluarkan.Sedangkan faktor keterlambatan penanganan yang berasal dari tenaga medis
adalah kesalahan diagnosis, keterlambatan merujuk ke rumah sakit, dan penundaan tindakan
bedah (Rahmawati, 2009). Penundaan pada pengobatan apendisitis dapat menyebabkan
peningkatan resiko perforasi 60-80% sehingga bakteri dapat meningkat sehingga menyebabkan

1
sepsis dan kematian (Brennan, 2006). Hal yang menyebabkan sulitnya membuat diagnosis yang
tepat pada masa awal penyakitadalah karena gejala awal apendisitis pada waktu awal tidak
spesifik. Selain itu, upaya mencari diagnosis yang tepat dan rasa keinginan menghindari
apendisitis dapat menyebabkan penundaan operasi dan meningkatkan kemungkinan perforasi
dan morbiditas.Keterlambatan diagnosis apendisitis lebih banyak terjadi pada pasien yang datang
dengan keluhan sedikit nyeri pada kuadran kanan bawah, kurangnya pemeriksaan fisik secara
menyeluruh dan pasien yang menerima analgesia narkotik. Diagnostik alat bantuyang dapat
mengurangi apendisektomi negatif dan perforasi adalah laparoskopi, sistem penilaian,
ultrasonografi dan computed tomography (Saber,et al., 2011).
Kasus apendisitis ditandai dengan adanya perasaan tidak nyaman pada daerah
periumbilikus, diikuti dengan anoreksia, mual dan muntah yang disertai dengan nyeri tekan
kuadran kanan bawah juga rasa pegal dalam atau nyeri pada kuadran kanan bawah. Demam dan
lekositosis juga dapat terjadi pada awal penyakit. Apendisitis mungkin tidak menunjukkan gejala
pada usia lanjut dan tidak adanya nyeri pada kuadran kanan bawah (Robbins, et al., 2007).
Saat ini telah banyak dikemukakan cara untuk menurunkan insidensi apendektomi negative,
salah satunya adalah dengan skor Alvarado.
Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah,
cepat, dan kurang invasive(Saleem MI, 1998). Alfredo Alvarado (1986) membuat sistem skor
yang didasarkan pada tiga gejala, tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini dibuat
berdasarkan temuan pre-operasi dan digunakan untuk menilai derajat keparahan apendisitis.
Sistem skor ini menggunakan tanda dan gejala yang meliputi migrasi nyeri, anoreksia, mual,
muntah, nyeri tekan abdomen kuadran kanan bawah,nyeri lepas tekan, suuhu badan lebih dari
37,2 C, lekositosis dan netrofil lebih dari 75%. Nyeri tekan pada kuadran kanan bawah dan
lekositosis memiliki nilai 2 dan enam lainnya masing-masing memiliki nilai 1, sehingga
kedelapan faktor ini memberikan jumlah skor 10 (Rice, et al., 1999).

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Apendisitis
2.1.1. Anatomi dan Fisiologi Apendiks
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15),
dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal.
Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit
kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada usia
itu (Soybel, 2001 dalam Departemen Bedah UGM, 2010).
Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar submukosa dan
mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan pembuluh darah dan kelenjar
limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh lamina serosa yang berjalan pembuluh darah
besar yang berlanjut ke dalam mesoapendiks. Bila letak apendiks retrosekal, maka tidak tertutup
oleh peritoneum viserale (Soybel, 2001 dalam Departemen Bedah UGM, 2010).
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika
superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh
karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus (Sjamsuhidajat, De Jong,
2004).
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral.
Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami
gangrene (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004). Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir
itu normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis. Imunoglobulin
sekreator yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di
sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi
sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan
jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004)

3
Gambar 2.1. Apendiks (Indonesian Children, 2009)

2.1.2. Definisi dan Klasifikasi Apendisitis


Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis akut adalah
penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah rongga abdomen, penyebab
paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001 dalam Docstoc, 2010).
Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat
sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran
umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi dikarenakan oleh
peritonitis dan syok ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur (Anonim, 2007 dalam Docstoc,
2010).
Klasifikasi Apendisitis
Apendisitis akut , dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah
sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis purulenta difusi yaitu sudah bertumpuk nanah
(Docstoc, 2010). Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah
sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu apendiks miring, biasanya
ditemukan pada usia tua (Docstoc, 2010).

4
2.1.3. Etiologi
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai faktor
pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus
disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula
menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi
mukosa apendiks karena parasit seperti E. histolytica (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan
intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis
akut (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

2.1.4. Morfologi Apendisitis


Pada stadium paling dini, hanya sedikit eksudat neutrofil ditemukan di seluruh mukosa,
submukosa, dan muskularis propria. Pembuluh subserosa mengalami bendungan dan sering
terdapat infiltrat neutrofilik perivaskular ringan. Reaksi peradangan mengubah serosa yang
normalnya berkilap menjadi membrane yang merah, granular, dan suram. Perubahan ini
menandakan apendisitis akut dini bagi dokter bedah. Kriteria histologik untuk diagnosis
apendisitis akut adalah infiltrasi neutrofilik muskularis propria. Biasanya neutrofil dan ulserasi
juga terdapat di dalam mukosa (Crawford, Kumar, 2007)

2.1.5. Patofisiologi
Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang disebabkan oleh feses
yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai dengan pengamatan epidemiologi bahwa
apendisitis berhubungan dengan asupan serat dalam makanan yang rendah (Burkitt, Quick,
Reed,2007). Pada stadium awal dari apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa.
Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan muskular dan serosa
(peritoneal).
Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa dan berlanjut ke
beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan, seperti usus atau dinding abdomen,
menyebabkan peritonitis lokal (Burkitt, Quick, Reed, 2007). Dalam stadium ini mukosa

5
glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam lumen, yang menjadi distensi dengan pus.
Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks menjadi bertrombosit dan apendiks yang kurang
suplai darah menjadi nekrosis atau gangren. Perforasi akan segera terjadi dan menyebar ke
rongga peritoneal. Jika perforasi yang terjadi dibungkus oleh omentum, abses lokal akan terjadi
(Burkitt, Quick, Reed, 2007).

2.1.6. Gambaran Klinis


Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak
umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang
peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan
nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan
kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan
berpindah ke kanan bawah ke titik Mc. Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas
letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi
terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap
berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya terlindung oleh sekum,
tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak tanda rangsangan peritoneal. Rasa
nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi m.psoas
mayor yang menegang dari dorsal (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004). Apendiks yang terletak di
rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau
rektum sehingga peristaltis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan
berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan
frekuensikencing karena rangsangan dindingnya (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

2.1.7. Diagnosis
Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini terjadi karena
hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran cerna,sehingga nyeri
viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus.
Obstipasi karena penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul

6
komplikasi. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5-38,5C. Tetapi jika
suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi perforasi (Departemen Bedah UGM, 2010).
Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan membungkuk sambil
memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi perforasi, dan penonjolan perut bagian
kanan bawah terlihat pada apendikuler abses (Departemen Bedah UGM, 2010).
Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi dinding
abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari
lokasi nyeri. Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah :
Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah
atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.
Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah
nyeri yang hebat di abdo men kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah
sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan dalam di titik Mc. Burney.
Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence muscular adalah nyeri
tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila
dilakukan penekanan pada abdo men bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri
lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.
Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan
yang terjadi pada apendiks.
Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut
difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan
peradangan apendiks terletak pada daerahhipogastrium. (Departemen Bedah UGM, 2010)
Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Auskultasi akan terdapat peristaltik normal,
peristaltic tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat apendisitis
perforata. Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi
kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus. Pada pemeriksaan
colok dubur (Rectal Toucher) akan terdapat nyeri pada jam 9-12 (Departemen Bedah UGM,
2010).

7
Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan skor Alvarado, yaitu:

Tabel 2.1. Skor Alvarado


Pasien dengan skor awal 4 sangat tidak mungkin menderita apendisitis dan tidak
memerlukan perawatan di rumah sakit kecuali gejalanya memburuk (Burkitt, Quick, Reed,
2007).

2.1.8. Pemeriksaan Penunjang


Pada pemeriksaan laboratorium darah, biasanya didapati peningkatan jumlah leukosit (sel
darah putih). Urinalisa diperlukan untuk menyingkirkan penyakit lainnya berupa peradangan
saluran kemih. Pada pasien wanita, pemeriksaan dokter kebidanan dan kandungan diperlukan
untuk menyingkirkan diagnosis kelainan peradangan saluran telur/kista indung telur kanan atau
KET (kehamilan diluar kandungan) (Sanyoto, 2007).
Pemeriksaan radiologi berupa foto barium usus buntu (Appendicogram) dapat membantu
melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) didalam lumen usus buntu.
Pemeriksaan USG (Ultrasonografi) dan CT scan bisa membantu dakam menegakkan adanya
peradangan akut usus buntu atau penyakit lainnya di daerah rongga panggul (Sanyoto, 2007)
Namun dari semua pemeriksaan pembantu ini, yang menentukan diagnosis apendisitis
akut adalah pemeriksaan secara klinis. Pemeriksaan CT scan hanya dipakai bila didapat keraguan
dalam menegakkan diagnosis. Pada anak-anak dan orang tua penegakan diagnosis apendisitis
lebih sulit dan dokter bedah biasanya lebih agresif dalam bertindak (Sanyoto, 2007).

8
2.1.9. Diagnosis Banding
Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding, seperti:
Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan
tidak berbatas tegas. Hiperperistaltis sering ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol
dibandingkan dengan apendisitis akut.
Demam Dengue
Dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini didapatkan hasil tes positif untuk
Rumpel Leede, trombositopenia, dan hematokrit meningkat.
Kelainan ovulasi
Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin memberikan nyeri perut kanan bawah pada
pertengahan siklus menstruasi.
Infeksi panggul
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi
daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut lebih difus.
Kehamilan di luar kandungan
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Jika ada rupture
tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan pendarahan, akan timbul nyeri yang mendadak
difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik.
Kista ovarium terpun t ir
Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa dalam rongga pelvis
pada pemeriksaan perut, colok vaginal, atau colok rektal.
Endometriosis ovarium eksterna
Endometrium di luar rahim akan memberikan keluhan nyeri di tempat endometriosis berada, dan
darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena tidak ada jalan keluar.
Urolit iasis pielum/ ureter kanan
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran
yang khas. Eritrosituria sering ditemukan.

9
Penyakit saluran cerna lainnya
Penyakit lain yang perlu diperhatikan adalah peradangan di perut, seperti divertikulitis Meckel,
perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistitis akut, pankreatitis, divertikulitis kolon,
obstruksi usus awal, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid, dan mukokel
apendiks.(Sjamsuhidajat, De Jong, 2004)

2.1.10. Penatalaksanaan
Pengobatan tunggal yang terbaik untuk usus buntu yang sudah meradang/apendisitis akut
adalah dengan jalan membuang penyebabnya (operasi appendektomi). Pasien biasanya telah
dipersiapkan dengan puasa antara 4 sampai 6 jam sebelum operasi dan dilakukan pemasangan
cairan infus agar tidak terjadi dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan oleh dokter ahli anastesi
dengan pembiusan umum atau spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik konvensional operasi
pengangkatan usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut kanan bawah di atas daerah
apendiks (Sanyoto, 2007).
Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman gram negatif
dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan sebelum
pembedahan (Sjamsuhidajat, DeJong, 2004).
Alternatif lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah laparoskopi.
Operasi ini dilakukan dengan bantuan video camera yang dimasukkan ke dalam rongga perut
sehingga jelas dapat melihat dan melakukan appendektomi dan juga dapat memeriksa organ
organ di dalam perut lebih lengkap selain apendiks. Keuntungan bedah laparoskopi ini selain
yang disebut diatas, yaitu luka operasi lebih kecil, biasanya antara satu dan setengah sentimeter
sehingga secara kosmetik lebih baik (Sanyoto, 2007).

2.1.11. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas
maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami perdindingan sehingga berupa massa
yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan letak usus halus (Sjamsuhidajat, De Jong,
2004). Komplikasi usus buntu juga dapat meliputi infeksi luka, perlengketan, obstruksi usus,
abses abdomen/pelvis, dan jarang sekali dapat menimbulkan kematian (Craig, 2011).

10
Selain itu, terdapat komplikasi akibat tidakan operatif. Kebanyakan komplikasi yang
mengikuti apendisektomi adalah komplikasi prosedur intra-abdomen dan ditemukan di tempat-
tempat yang sesuai, seperti: infeksi luka, abses residual, sumbatan usus akut , ileus paralitik,
fistula tinja eksternal, fistula tinja internal, dan perdarahan dari mesenterium apendiks
(Bailey,1992).

2.1.12. Prognosis
Kebanyakan pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan tanpa penyulit, namun
komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan tertunda atau telah terjadi peritonitis/peradangan di
dalam rongga perut. Cepat dan lambatnya penyembuhan setelah operasi usus buntu tergantung
dari usia pasien, kondisi, keadaan umum pasien, penyakit penyerta misalnya diabetes mellitus,
komplikasi dan keadaan lainya yang biasanya sembuh antara 10 sampai 28 hari (Sanyoto, 2007).
Alasan adanya kemungkinan ancaman jiwa dikarenakan peritonitis di dalam rongga perut
ini menyebabkan operasi usus buntu akut/emergensi perlu dilakukan secepatnya. Kematian
pasien dan komplikasi hebat jarang terjadi karena usus buntu akut. Namun hal ini bisa terjadi bila
peritonitis dibiarkan dan tidak diobati secara benar (Sanyoto, 2007).

2.2.Appendicogram
2.2.1. Definisi
Appendicogram merupakan pemeriksaan berupa foto barium usus buntu yang dapat
membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) di dalam lumen usus buntu
(Sanyoto, 2007).
2.2.2. Teknik Pemeriksaan
Indikasi dilakukannya pemeriksaan appendicogram adalah apendisitis kronis atau akut.
Sedangkan kontraindikasi dilakukan pemeriksaan appendicogram adalah pasien dengan
kehamilan trimester I atau pasien yang dicurigai adanya perforasi.
Persiapan Bahan:
- Larutan Barium Sulfat ( 250 gram) + 120-200 cc air.

11
Persiapan Pasien:
Sehari sebelum pemeriksaan pasien diberi BaSO4 dilarutkan dalam air masak dan
diminta untuk diminum pada jam 24.00 WIB setelah itu puasa.
Pasien di panggil masuk ke ruang pemeriksaan dalam keadaan puasa.
Pasien diminta untuk membuka pakaian.
Pasien diberi baju RS untuk dipakai.
Prosedur:
- Pasien naik ke atas meja pemeriksaan
- Kaset ditempatkan di bawah meja pemeriksaan.
- Meminta pasien agar kooperatif dan menuruti perintah radiografer sehingga pemeriksaan
berjalan dengan baik.
- Sesudah pasien difoto, pasien diminta mengganti pakaian dan diminta untuk datang
keesokan harinya untuk dilakukan foto kembali selama 3 hari berturut-turut. (Prosedur
Tetap dan Standar Operasional Prosedur RSUD Dr. Pirngadi Medan, 2011)

2.2.3. Gambaran Radiologis


Appendicogram dengan non-filling apendiks (negatif appendicogram) merupakan
apendisitis akut. Appendicogram dengan partial filling (parsial appendicogram) diduga sebagai
apendisitis dan appendicogram dengan kontras yang mengisi apendiks secara total (positif
appendicogram) merupakan apendiks yang normal (Sibuea, 1996).
Appendicogram sangat berguna dalam diagnosis apendisitis akut, karena merupakan
pemeriksaan yang sederhana dan dapat memperlihatkan visualisasi dari apendiks dengan derajat
akurasi yang tinggi (Sibuea, 1996).

12
Gambar 2.2. Gambaran dari Pemeriksaan Appendicogram

13
BAB 3

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Dari pengertian diatas dapat simpulkan bahwa apendiks adalah termasuk ke dalam salah
satu organ sistem pencernaan yang terletak tepat dibawah dan melekat pada sekum yang
berfungsi sebagai imun. Apendisistis merupakan inflamasi akut pada apendiks yang disebabkan
oleh fekalit (massa keras dari feces), tumor atau benda asing di dalam tubuh, namun ulserasi
mukosa oleh parasit E.

Histolytica juga dapat menyebabkan apendisitis. Gaya hidup individu pun dapat
menyebabkan terjadinya apendisitis, kebiasaan individu mengkonsumsi makanan rendah serat
dapat menyebabkan konstipasi yang akan menyebabkan meningkatnya tekanan intraluminal
yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman
flora kolon biasa dan terjadilah apendisitis.

3.2. SARAN

Dalam menangani appendicitis sebaiknya jangan terlalu banyak makan zat non
hidrohenik, seperti cabai-cabaian. Bila sering makan satu cabai, maka zat ini akan awet dalam
tubuh sampai meninggal dunia, tidak keluar; sehingga tidak ada gantian zat. Pasca operasi
hindari makan makanan yang dapat menyebabkan alergi, konsumsi makanan anti-oksidan
(tomat, dll.) Hindari konsumsi makanan yang menstimulasi (kopi, alkohol, rokok), dan minum
air 6-8 gelas/hari.

14
DAFTAR PUSTAKA

Alhadrami S. Acute Appendicitis. http://learningcenter.insancendekia org/artikel/acute-


appendicitis

Craig Sandy, Lober Williams. Appendicitis, Acute. Diakses dari www.emedicine.com


Grace, Pierce. A., Neil R. Borley., At a Glance, Edisi 3. Erlangga, Jakarta, 2007, hlm.106-107.

Katz S Michael, Tucker Jeffry. Appendicitis. Diakses dari: www.emedicine.com


L.Ludeman.2002. The pathology of diverticulardisease (online)(linkinghub.elsevier.com/retrieve
Mansjoer, A., Suprohaita., Wardani, W.I., Setiowulan, W., editor., Bedah Digestif, dalam
Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, Cetakan Kelima. Media Aesculapius, Jakarta,
2005, hlm. 307-313.

Mansjoer, Arif, dkk (editor). 2000. Kapita Selekta Kedokteran. EGC: Jakarta.
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Jilid II. EGC :
Jakarta.
Sabiston, Devid C. 1994. Buku Ajar Bedah. EGC:Jakarta.
Schwartz I Samuor : Appendicitis In Principles of Surgery 7th. New York.
McGraw-Hill Companies.1999, pp1191-1225

She Warts, Seymour I. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. EGC: Jakarta
Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., Usus Halus, Apendiks, Kolon, Dan Anorektum, dalam
Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta, 2005,hlm.639-645.

Zeller, J.L., Burke, A.E., Glass, R.M., Acute Appendicitis in Children, JAMA, http://jama.ama-
assn.org/cgi/reprint/298/4/482, 15 Juli 2007, 298(4): 482.

15

Anda mungkin juga menyukai