Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks vermiformis. Apendiks vermiformis
merupakan saluran kecil dengan diameter kurang lebih sebesar pensil dengan panjang 2 – 6
inci di daerah iliaka kanan, di bawah titik Mc Burney (Jamil, 2009).
Apendiks organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm), dan
berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal.
Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya
dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden
apendisitis pada usia itu. Faktor potensialnya adalah diet rendah serat dan konsumsi gula
yang tinggi, riwayat keluarga serta infeksi (Mazziotti et al., 2008).
Kejadian apendisitis 1,4 kali lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan wanita (Craig,
2010). Insidensi apendisitis lebih tinggi pada anak kecil dan lansia (Smeltzer et al, 2002).
Insiden apendisitis di Negara maju lebih tinggi dari pada di Negara berkembang. Namun
dalam tiga sampai empat dasawarsa terakhir menurun secara bermakna, yaitu 100 kasus
tiap 100.000 populasi menjadi 52 tiap 100.000 populasi.
Data dari WHO (World Health Organization) menyebutkan bahwa insiden apendisitis di
Asia dan Afrika pada tahun 2004 adalah 4,8% dan 2,6% dari total populasi penduduk. Di
Amerika Serikat, sekitar 250.000 orang telah menjalani operasi apendektomi setiap
tahunnya. Sumber lain juga menyebutkan bahwa apendisitis terjadi pada 7% populasi di
Amerika Serikat, dengan insidens 1,1 kasus per 1000 orang per tahun. Penyakit ini juga
menjadi penyebab paling umum dilakukannya bedah abdomen darurat di Amerika Serikat.
Di negara lain seperti Negara Inggris, juga memiliki angka kejadian apendisitis yang cukup
tinggi. Sekitar 40.000 orang masuk rumah sakitdi Inggris karena penyakit ini (WHO,
2004).
Data yang dirilis oleh Departemen Kesehatan RI pada tahun 2008 jumlah penderita
apendisitis di Indonesia mencapai 591.819 orang dan meningkat pada tahun 2009 sebesar
596.132 orang. Tahun 2009, tercatat 2.159 orang di Jakarta yang dirawat di rumah sakit
akibat apendisitis (Ummualya, 2008). Melihat data tersebut dan kenyataan bahwa masih
banyak kasus apendisitis yang tidak terlaporkan, Departemen Kesehatan menganggap
apendisitis merupakan isuprioritas kesehatan di tingkat lokal dan nasional karena
mempunyai dampak besar pada kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2008).
Apendisitis masih menempati prevalensi tertinggi dari akut abdomen lain di bidang
bedah yang memerlukan operasi segera baik di negara berkembang maupun di negara
maju untuk mengurangi angka kematian dan angka kesakitan salah satu upaya adalah
dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis yaitu dengan membuat
diagnosa yang tepat (Chidmat, 2005). Selain itu, juga di laporkan hasil survey angka
insidensi apendisitis, dimana terdapat 11 kasus apendisitis pada setiap 1000 orang di
Amerika (Dahmardehei, 2013). Apendisitis yang tidak segera ditatalaksana akan
menimbulkan komplikasi. Salah satu komplikasi yang paling membahayakan adalah
perforasi. Perforasi apendisitis berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Pasien
yang mengalami apendisitis akut angka kematiannya hanya 1,5%, tetapi ketika telah
mengalami perforasi angka ini meningkat mencapai 20% - 35% (Vasser, 2012; Riwanto et
al., 2010).
Penelitian yang dilakukan Bansal et al. (2012) di Children’s Hospital Colorado,
Amerika Serikat menyebutkan bahwa insiden perforasi tinggi pada anak- anak terutama
yang berusia <5 tahun (60%) dengan tingkat perforasinya berhubungan langsung dengan
umur pasien. Faktor - faktor yang memengaruhinya antara lain ketidakmampuan anak -
anak dalam menjelaskan keluhan yang mereka alami kepada orang tua mereka akan
membuat salah interpretasi. Selain itu tidak khasnya tanda dan gejala serta belum
adekuatnya penutupan omentum membuat progres perforasi menjadi lebih cepat (Bansal et
al., 2012). Sumber lain juga menyebutkan pada anak usia < 1 tahun, hampir seluruhnya
mengalami perforasi. Pada anak yang berusia < 2 tahun insidennya menurun menjadi 94%,
dan pada anak yang berusia < 6 tahun insidennya turun lagi menjadi 60% - 65% (Craig,
2012).
Kejadian ini mungkin disebabkan perubahan pola makan, yaitu negara berkembang
berubah menjadi makanan kurang serat (Santacroce,2009). Adanya riwayat konstipasi
dapat menaikkan tekanan intrasekal yang akan berakibat timbulnya sumbatan fungsional
apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Sedangkan, kebiasaan
mengonsumsi makanan rendah serat dapat menyulitkan defekasi dan menyebabkan fekalit
yang dapat menyebabkan obstruksi lumen sehingga memiliki risiko apendisitis yang lebih
tinggi (Sjamsuhidajat, 2010).
Peradangan pada apendiks selain mendapat intervensi farmakologik juga memerlukan
tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi dan memberikan implikasi pada
perawat dalam bentuk asuhan keperawatan selanjutnya kondisi apandisitis akan
meningkatkan resiko terjadinya perforasi. Masalah pembedahan yang paling sering dan
apendektomi merupakan salah satu operasi darurat yang sering dilakukan diseluruh dunia
(Paudel et al., 2010).
Perforasi apendisitis berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Pasien yang
mengalami apendisitis akut angka kematiannya hanya 1,5%, tetapi ketika telah mengalami
perforasi angka ini meningkat mencapai 20% - 35% (Vasser, 2012; Riwanto et al., 2010).
Apendektomi menjadi salah satu operasi abdomen terbanyak di dunia. Sebanyak 40%
bedah emergensi di negara barat dilakukan atas indikasi apendisitis akut (Lee et al., 2010;
Shrestha et al., 2012).
Dalam mendiagnosis apendisitis, anamnesis dan pemeriksaan memegang peranan utama
dengan akurasi 76 - 80%, tetapi dalam mencegah pasien agar tidak terjadi perforasi
tidaklah cukup hanya dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dapat juga dilakukan
Ultrasonography (USG) dan Computed Tomography (CT) scan, tetapi dikarenakan alat ini
memerlukan biaya yang tidak murah dan tidak semua unit pelayanan memilikinya,
sehingga pemeriksaan ini masih jarang untuk dilakukan (Brunicardi, 2010). Selain itu,
USG dan CT- Scan sendiri bukan untuk mencari adanya apendisitis, pemeriksaan ini untuk
membantu mencari differential diagnosis atau untuk membantu pasien yang hasil
diagnosisnya masih diragukan (Rull, 2011).Dalam menegakkan diagnosis pada pasien
dengan gejala yang tidak khas, perlu melakukan pemeriksaan penunjang, salah satunya
adalah pemeriksaan hitung jumlah leukosit.
Kemampuan dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut secara klinis sangatlah perlu
dimiliki oleh seorang dokter, selain itu dokter juga harus mampu membedakan apendisitis
akut dan perforasi, dimana keduanya memiliki cara penanganan yang berbeda dan
memiliki prognosis yang berbeda pula.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur
baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30
tahun (Mansjoer, 2010).
Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan
bawah rongga abdomen dan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat
(Smeltzer, 2005). Apendisitis adalah peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan
dinding organ tersebut (Price, 2005).
2.2 Klasifikasi
Klasifikasi apenditis menurut Nurarif.H.A dan Hardi Kusuma (2013) terbagi
menjadi 3 yakni :
A. Apendisitis akut radang mendadak umnai cacing yang memberkan tanda setempat,
disertai maupun tidak disertai rangsangn peritoneum local.
B. Apendisitis rekrens yaitu jika ada riwayat nyeri berulang diperut kanan bawah yang
mendorong dilakukannya apendictomy. kelainan ini terjadi bila serangan apedisitis
alut pertama kali sembuh spontan. Namun apedisitis tidak pernah kembali kebentuk
aslinya karena terjadi fibrosis dan jarngan parut.
C. Apendisitis kronis memiliki semua gejala riwayat nyer perut kanan bawah lebih dari
dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik (fibrosis
menyeluruh di dinding apendiks, sumbatan parsial atau lumen apendiks, adanya
jaringan parut dan ulkus lama dimukosa dan infiltasi sel inflamasi kronk), dan
keluhan menghilang setelah apendictomy.
2.3 Etiologi
Apendisitis akut merupakan merupakan infeksi bakteria. Berbagai berperan
sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan
sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan
cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat
menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti
E.histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan
menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks
dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah
timbulnya apendisitis akut. (Sjamsuhidayat, 2005).
2.4 Patofisiologi
Apendisitis biasana disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekolit,benda asing, struktur karena fikosis akibat peradangan
sebelumnya atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mucus tersebut makin
banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen, tekanan yang meningkat tersebut akan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema. Diaforesis bakteri dan ulserasi
mukosa pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandi nyeri epigastrum.
Sebagai mucus terus berlanjut, tekanan akan meningkat hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus ddnding
apendiks. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri di abdomen kanan bawah, keadaan ini disebut dengan apendisitis
sakuratif akut. Aliran arteri terganggu akan terjadi infarks dinding apendiks yang diikuti
dengan gangrene stadium ini disebut dengan apedisitis gangrenosa. Bila dinding yang
telah rapuh ini pecah akan terjadi apendisitis perforasi.
Semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu masa lokal yang disebut infiltrate
appendikularis, peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
Anak- anak karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding
apendiks lebih tipis, keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih
kurang memudahkan terjadi perforasi, sedangkan pada orangtua perforasi mudah terjadi
karena kelianan pada pembuluh darah (Mansjoer, 2003)
2.5 Manifestasi klinis
Menurut Wijaya.A.N dan Yessie (2013) tanda dan gejala apendisitis adalah :
1. Nyeri pindah ke kanan bawah (yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau
batuk) dan menunjukan tanda rangsangan peritoneum lokal di titik Mc.Burney : nyeri
tekan, nyeri lepas, defans muskuler.
2. Nyer rangsangan peritoneum tidak langsung
3. Nyeri pada kuadran kanan bawah saat kuadran dibawah ditekan (Rovsing sign)
4. Nyeri kanan bawah bila tekanan disebelah kiri dilepas (Blumberg)
5. Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk,
mengedan
6. Nafsu makan menurun
7. Demam yang tidak terlalu tinggi
8. Biasanya terdapat konstipasi, tapi kadang-kadang terjadi diare
Gejala-gejala permulaan pada apendisitis yaitu nyeri atau perasan tidak enak
sekitar umbilicus diikuti oleh anokreksi nause dan muntah, gejala ini umumnya
berlangsung lebih dari 1 atau 2 hari. Dalam beberapa jam nyeri bergeser ke kuadran
kanan bawah dan mungkin terdapat nyeri tekan sekitar Mc.Burney, kemudian dapat
timbul spasme otot dan nyeri lepas. Biasanya ditemukan demam ringan dan leukosit
meningkat bila rupture apendiks terjadi nyeri sering sekali hilang secara dramatis untuk
sementara.
2.6 Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Hitung jenis leukosit dengan hasil leukositosis.
b. Pemeriksaan urin dengan hasil sedimen dapat normal atau terdapat leukosit dan
eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau
vesika. Pemeriksaan leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi
tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang. Pada apendisitis akut dan
perforasi akan terjadi leukositosis yang lebih tinggi lagi. Hb (hemoglobin) nampak
normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan apendisitis infiltrat. Urin
rutin penting untuk melihat apakah terdapat infeksi pada ginjal.
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Apendikogram Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaS04
serbuk halus yang diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara peroral dan diminum
sebelum pemeriksaan kurang lebih 8-10 jam untuk anak-anak atau 10-12 jam untuk
dewasa, hasil apendikogram dibaca oleh dokter spesialis radiologi.
b. Ultrasonografi (USG) USG dapat membantu mendeteksi adanya kantong nanah.
Abses subdiafragma harus dibedakan dengan abses hati, pneumonia basal, atau
efusi pleura (Penfold, 2008).
2.7 Penatalaksaan
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik
dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas fisik sampai
pembedahan dilakukan ( akhyar yayan,2008 ).
Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi
(pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk
menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum
umum atau spinal, secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi yang merupakan
metode terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney banyak
dipilih oleh para ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya
dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan
bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan
laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan
operasi atau tidak (Smeltzer C. Suzanne, 2002).
2.8 Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat berkembang
menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai 32%. Insidens lebih
tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan
nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,7 0C atau lebih tinggi, penampilan
toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer C.Suzanne, 2002).
2.9 Patwhay

Hiperplasia, fekolit (masa Makanan rendah Enlamoeba


dari feses) tumor appendiks, serat hystolilica
cacing ascaris ( benda asing)

Konstipasi Erosi mukosa


appendiks

Tekanan intrasekol
Erosi mukosa
meningkat
appendiks

Pertumbuhan kuman
flora normal
Sumbatan fungsional
meningkat
appendiks

Pengosongan appendik

Apendiks terlipat
dan tersumbat

Proses inflamasi
Mucus terperangkap
pada appendik
dilumen appendik

Inflamasi lumen Peningkatan


intrakranial
Mual, muntah
inteksi
Spasme dindin
Ketidakseimbangan appendik
Suhu badan volume cairan
meningkat

Nyeri Akut Iskemik appendik


Hipertermia

Appendisitis Ulserasi pada


appendik

appendiktomi Ansietas

Sumber: Arifin (2014,


Nurarif (2015)
2.10 Pengkajian
a. Identitas
Identitas klien mencankup nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa, agama,
pendidkan, pekerjaan, status, alamat, tanggal masuk rumah sakit, cara masuk rumah
sakit, nomor medical, diagnosa serta identitas penanggung jawab
b. Riwayat kesehatan
- Riwayat penyakit sekarang
Riwayat kesehatan saat ini berupa uraian penyakit yang diderita klen dari mulai
timbulnya keluhan yang dirasakan sampai klien dibawa kerumah sakit dan apakah
pernah memeriksakannya diri ke tempat klien selain pernah sakit, pengobatan apa
yang diberikan dan bagaimana perubahannya.

- Riwayat penyakit dahulu


Riwayat kesehatan dahulu meliputi riwayat penyakit seperti hipertensi, operasi
abdomen yang lalu, apakah klien pernah masuk rumah sakit. obat-obatan yang
pernah digunakan serta riwayat alergi.
- Riwayat penyakit keluarga
Meliputi riwayat keluarga yan menderita penyakit yang sama (faktor genetik)
c. Keluhan utama
Keluhan utama yang biasa ditemukan yaitu nyeri perut kanan bawah, lemas,
meringis kesakitan
d. Pola kesehatan fungsional
- Pola persepsi dan pemulihan kesehatan
Kaji persepsi klien tentang kesehatan diri, pengetahuan dan persepsi klien tentang
penyakitnya, kemampuan klien untuk mengontrol kesehatan.
- Pola nutrisi dan metabolik
Kaji pola makanan klien sebelum dan sesudah sakit yang meliputi frekuensi, porsi
makanan, jenis makanan
- Pola eliminasi
Kaji pola BAB dan BAK pasien sebelum dan sesudah meliputi frekuensi, waktu,
warna serta jumlah
- Pola aktivitas dan latihan
Kaji dalam aktivitas baik itu mandi, makan, dan bermain. Kaji apakah ada keluhan
nyeripada daerah abdomen setelah melakukan aktivitas serta kaji apakah klien
merasa kesakitan
- Pola istirahat tidur
Kaji kebiasaan tidur meliputi waktu tidur, lama tidur, kebiasaan sebelum tidur
saat sebelum dan sesudah. Kaji adanya kesulitan dalam hal tidur (mudah
terbangun,sulit memulai tidur, merasa tidak puas, merasa nyeri abdomen sulit
tidur) sebelum dan sesudah sakit.
- Pola persepsi sensori dan kognitip
Kaji keluhan yang berkenaan dengan kemampuan sensori (seperti
penglihatan,pendengaran, penciuman, pengecapan, sensasi perabaan. Kaji
kamampuan kognitp klien (kemampuan mengingat, bicara dan memahami peran
yang diterima pengmabilan keputusn yang bersifat sederhana)

- Pola hubungan dengan orang lain


Kaji bagaimana hubungan pasien dengan orang lain (keluarga, tenaga kesehatan,
pasien lain) apakah keadaan penyakitnya mempengaruhi hubungan tersebut.
- Pola reproduksi/seksual
Kaji apakah penyakit mempengaruhi fungsi seksual
- Pola persepsi diri dan konsep diri
Kaji persepsi keluarga (hal yang dipikirkan keluarga saat ini, harapan keluarga
setelah anak menjalani perawatan, perubahan yang dirasa setelah sakit
- Pola mekanisme koping
kaji bagaimana upaya klien dan keluarga dalam menghadapi masalah
- Pola nilai kepercayaan/keyakinan
kaji bagaimana klien dan keluarga .......
e. Pemeriksaan fisik
- Kepala
Inspeksi : Bentik kepala simetris atau tidak, keadaan rambut warna rambut
Palpasi : Ada atau tidaknya benjolan
- Muka
Inspeksi : Struktur mukasimetris kiri dan kanan, Kaji apakah wajah pucat atau
tidak
Palpasi : Adakah nyeri tekan aatau benjolan atau tidak
- Mata
Periksa konjungtivita, sklera, pupil, reflek cahya,fungsi penglihatan
- Hidung dan sinus
Kebersihan hidung ada/ tidak pernafasan cupping hidung, ada atau tidak pupil
hidung, adanya septum
- Telinga
Bentuk simetris/asimetris, kebersihan telinga ada/ tidaknya serumen, fungsi
pendengaran
- Mulut
Kaji keadaan gigi ada atau tidak perdangan pada gusi, periksa kelembapan bibir
dan kebersihan lidah periksa adakah nyeri saat menelan atau tidak

- Leher
Ada atau tidaknya pembesaran JVP, ada/tidaknya pembesaran kelenjar limfe/
kelenjar tiroid
- Thorax dan pernafasan
Inspeksi : Bentuk dada simetris kiri dan kanan, irama pernafasan mengikut
gerakan dada, frekuensi pernafasan
Palpasi : Ada atau tidak nyeri tekan
Auskultasi : Kaji suara nafas (normalnya vesikuler), kaji ada atau tidaknya bunyi
tambahan
Perkusi : Suara perkusi dada normal (soner)
- Jantung
Inspeksi : nampak atau tidak nampak ictus cordis
Palpasi : teraba atau tidak teraba denyut apeks 3 jari dibawah papila mamae
pada intra kostalis.
Perkusi : teraba atau tidak pembesaran jantung
Auskultasi: Bunyi jantung I dan II murni / ada bunyi tambahan
- Abdomen
Inspeksi : ada atau tidak pembeasaran pada abdomen, ada atau tidak bekas luka
pada abdomen
Palpasi : pada penderita appendisitis saat dilakukan palpasi ada nyeri tekan
pada titik mc.burney 1/3 abdomen kanan bawah
Auskultasi: peristaltik normal 5-15 kali/menit, pada apendisitis biasanya
peristaltik usus meningkat
Perkusi : normal suara perkusi adalah tympani
- Genetalia
Kaji ada atau tidaknya masalah
- Ekstermitas
Ada atau tidaknya clubbing fingers, ujung-ujung jari hiperemik, kaji kekuatan
otot.
f. Diagnosa Keperawatan
a. Hipertermia b.d penyakit
b. Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan elektrolit
c. Nyeri akut b.d agen cedera biologis
d. Ansietas b.d perubahan status kesehatan
g. Intervensi Keperawatan
No Diagosa Noc Nic Rasional
Keperawatan
1 Hipertemia Tujuan: Setelah 1. Monitor suhu 1. Suhu yang terlalu tinggi
b.d penyakit dilakukan sesering mungkin dapat menyebabkan
interensi kejang, peningkatan susu
keperawatan 2. Monitor tekanan diatas nrmal uga
selama 1x24 jam darah, nadi dan merupakan suatu tanda
suhu tubuh dalam pernafasan terjadinya infeksi akut.
batas normal, 3. Berikan 2. Tanda vital merupakan
Kriteia hasil: antipiretik acuan terhadap kondisi
1. Suhu tubuh pasien
dalam rentang 4. Tingkatkan
normal intake cairan dan 3. Antipiretik bekerja pada
2. Nadi dan nutrisi pusat pengatur suhu
pernafasan dihipotalamus sehingga
dalam rentang dapat menurunkan panas
normal 4. Peningkatan suhu tubuh
5. Berikan kompres
3. Tidak ada mengakibatkanpenguapan
hangat
perubahan tubuh meningkat sehingga
warna kulit meningkatkan resiko
terjadinya dehidrasi,
sehingga perlu diimbangi
dengan asupan yang cukup
5. Menurunkan panas melalui
proses konduksi sehingga
dapat menurunkan suhu
tubuh
2 Kekurngan Tujuan: setelah 1. Monitor status 1. Memonitor status hisrasi
Volume diberikan dehidrasi agar dapat mengetahui
Cairan b.d intervensi (kelembaban, tanda dehidrasi sehingga
kehilangan keperawatan membrane dapat segera dilakukan
cairan aktif selama 2x24 jam mukosa, nadi tindakan
volume cairan adekuat, tekanan
tubuh seimbang darah ortostatik)
kriteria hasil : jika diperlukan
1. Mempertahanka 2. Monitor status
n urine aoutput cairan terhambat
sesuai dengan intake dan utpur 2. Intake yang adekua dapat
usia, BB, BJ cairan mentoleransi outpuyang
urine normal, 3. Monitor ital sign berlebihan misalnya pada
HT normal 4. Berikan cairan mual dan muntah
2. Tekanan darah, iv pada suhu
nadi, suhu ruangan
dalam batas 3. Vital sign menjadi acuan
normal 5. Dorong terhadap kondisi pasien
3. Tidak ada masukan oral 4. Pemberian cairan
tanda-tanda tambahan untuk memenuhi
dehidrasi kekurangan kebutuhan
)elastisitas caiaran sehingga balance
turgor kulit cairan dapat tercapai
baik, membrane 5. Asupan caaran secara oral
mukosa lembab, dapat menambah cairan
tidak ada rasa tubuh sehingga dapat
haus yang memenuhi kebutuhan
berlebihan). cairan yang berkurang
3 Nyeri akut Tujuan : setelah 1. Lakukan 1. Agar dapat mengetahui
b.dagen diberikan pengkajian nyeri karakteristik nyeri yang
cedera intervensi secara dirasakan serta tingkat
biologis keperawatan selaa komprehensif nyeri yang dirasakan
1x24 jam nyeri termasuk lokasi, sehingga dapat
berkurang dengan karakteristik, memberikan intervensi
kriteria hasil : durasi, yang sesuai
1. Mampu frekuensi,
mengontrol kualitas dan
nyeri (tahu faktor presipitasi
penyebab 2. Observasi reaksi
nyeri, mampu non-verbal dari
menggunakan ketidaknyamana
teknik non- n 2. Reaksi non-verbal menjadi
farmakologi 3. Kontrol data objektif yang
untuk lingkungan yang menggambarkan tingkat
mengurangi dapat nyeri yang dirasakan klien
nyeri) memperbutuk
2. Melaporkan nyeri seperti 3. Lingkungan yang nyaman
bahwa nyeri suhu, dapat menfasilitasi
berkurang pencahayaan dan penurunan nyeri yang
dengan kebisingan adekuat
menggunakan 4. Ajarkan teknik
manajemen non-farmakologi
nyeri (teknik relaksasi
3. Menyatakan nafas dalam)
rasa nyaman 5. Kolaborasi
4. Teknik nn-farmakologi
setelah nyeri pemberian
dapat menurunkan nyeri
berkurang analgesik
dan meningkatkan rasa
nyaman

5. Analgesik menurunan
nyeri dengan memblok
reseptor nyeri
4 Ansietas b.d Tujuan: setelah 1. Jelaskan semua 1. Menjelaskan semua
perubahan diberikan prosedure dan prosedu dalam
status intervensi apa yang meningkatkan pengetahuan
kesehatan keperawatan dirasakan selama klien sehingga mengurangi
selama 3x24 jam prosedur kekawatiran klien
klien mampu 2. Temani pasien
mengatasi cemas untuk
Kriteria hasil : memberkan
1. Mengidentifik keamanan dan 2. Menemani pasien dapat
asi, mengurangi rasa menjadi motivasi bagi
mengungkapk takut klien
an dan 3. Dorong pasien
menunjukkan untuk
teknik untuk mengungkapkan
mengontrol perasaan,ketakut
cemas an dan persepsi 3. Mengungkapkan perasaan
2. Vital sign 4. Menciptakan dapat mengurangi beban
dalam batas ingkungan yang kecemasan yang dirasakan
normal tenang dengan klien
3. Poster tubuh, cahaya redup dan
ekpresi wajh suhu yang
bahsa tubuh senyamanan
dan tingkat mungkin
aktivitas 5. Instruksikan 4. Lingkungan yang nyaman
menunjukkan pasien dapat memberikan efek
berkurangnya menggunakan relaksasi yang dapat
kecemasan teknik relaksasi membantu menurunkan
kecemasan

5. Teknik relaksasi dapat


menurunkan kecemasan
dengan meningkatkan
kenyamana.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

1. Kasus
An.R berusia 4 tahun dirawat di ruang bedah di Rumah Sakit Abdul Aziz Singkawang
sejak tanggal 9 November 2018. Dibawa oleh orang tua ke rumah sakit karena demam,
mengeluh nyeri perut, mual, muntah dan tidak nafsu makan. Pada saat pengkajian demam
sudah tidak ada, nyeri perut masih dirasa hilang datang, nyeri seperti ditusuk-tusuk pada
daerah perut kanan bawah, kiri bawah dan ulu hati dengan skala nyeri 3. Klien juga tidak
nafsu makan, merasa mual, muntah sebanyak 1x berisi cairan dan sisa makanan. Keadaan
umum klien tampak lemah, tanda-tanda vital nadi : 94x/menit, pernafasan : 22x/menit,
suhu:36,3oC. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil membrane mukosa kering, turgor
kulit menurun dan terdapat nyeri tekan pada titik Mc.burney. Klien didiagnosa
mengalami appendicitis akut dan akan dilakukan appendectomy pada tanggal 15
November 2018
2. Pengkajian
Nama Inisial : An. R
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : 26 Januari 2014
Umur : 4 tahun
Agama : Islam
Diagnosa Medis : Appendisitis Akut
Tanggal dikaji : 12 November 2018
Tanggal masuk RS : 9 November 2018
No. Medrec : 110200
Golongan darah :B
Nama Ayah/Ibu : Tn. Suherman/ Ny. Riski Mirtha Sari
Pekerjaan Ayah/Ibu : Nelayan/ Ibu Rumah Tangga
Pendidikan Ayah/ Ibu : SD/SMK
3. Keluhan Utama/Alasan Masuk RS
a. Keluhan Utama
Klien mengeluh nyeri perut kanan bawah, kiri bawah dan ulu hati
P = nyeri saat aktivitas maupun istirahat
Q= nyeri seperti ditusuk-tusuk
R= nyeri perut kuadran kanan bawah, kiri bawah dan ulu hati
S= skala nyeri 6
T= nyeri hilang datang
Klien juga mengalamai penurunan nafsu makan, mual muntah 1x (berisi cairan dan
sedikit makanan). Ibu klien mengatakan anaknya terlihat lemah
b. Alasan Masuk RS
Klien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah, kiri dan ulu hati sejak 3 hari
sebelum masuk rumah sakit, nyeri hilang datang, nyeri perut disertai demam 3 hari.
Demam naik turun, naik saat malam hari, turun saat pagi, nafsu makan menurun.
Mual dan muntah berisi cairan.
4. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami appendisitis akut dengan keluhan nyeri perut kanan bawa, kiri bawah
dan ulu hati. Klien juga mengalami mual muntah dan penurunan nafsu makan. Klien
direncanakan operasi appendictomy tanggal 15 November 2018
5. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
a. Prenatal : ibu klien mengatakan sebelum kehamilan telah mengalami gangguan atau
penyakit apapun
b. Natal : selama kehamilan ibu tidak mengalami gangguan apapun, hanya kelelahan
mual di trimester pertama
c. Prenatal : klien lahir normal pada usia kehamilan 7 bulan lebih (prematur)
6. Riwayat penyakit Dahulu
Klien tidak pernah dirawat dirumah sakit sebelumnya, klien juga tidak memiliki riwayat
operasi dan riwayat penyakit lainnya.
7. Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluarga tidak ada menderita penyakit yang sama, maupun penyakit lain seperti
hipertensi & diabetes melitus. Ibu klien hanya pernah mengalami demam tinggi hingga
kejang saat duduk dibangku SMP.
8. Genogram

9. Riwayat imunisasi
Ibu klien mengatakan imunisasi klien lengkap dari lahir sampai sekarang
10. Riwayat psikososial
Klien terlihat cemas jika jauh dari ibunya, klien mampu beriteraksi dengan perawat
namun didampingi ibunya
11. Lingkungan dan tempat tinggal
Ibu klien mengatakan lingkungan dan tempat tinggal cukup nyaman dan bersih. Klien
dan keluarga biasa berinteraksi dengan tetangga sekitar
12. Kebutuhan dasar/pola kesehatan fungsional
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Klien dan keluarga tau jika mengalami penyakit, saat mengalami nyeri perut serta
keluhan lainnya klien dibawa keluarga ke klinik kemudian ke rumah sakit. Saat
dirumah sakit klien mengikuti semua prosedur yang dilaksanakan
b. Pola nutrisi dan metabolik
Sebelum masuk rumah sakit klien makan 3x sehari, porsi kecil setiap makan. Setelah
masuk rumah sakit klien makan 1-5 sendok dengan frekuensi 3x sehari. Klien mual
dan muntah 1 x (berisi cairan dan sedikit makanan)
c. Pola Eliminasi
Klien belum BAB sejak masuk rumah sakit. BAK lancar 5 x dalam sehari, warna
urine jernih, tidak ada nyari saat berkemih
d. Pola aktivitas dan latihan
Sebelum masuk rumah sakit klien mampu beraktivitas dan bermain. Setelah masuk
rumah sakit klien lebih banyak baring, mampu beraktivitas seperti ke toilet saat tidak
nyeri, jika nyeri klien hanya berbaring . klien biasa menonton kartun lewat handphone
saat di RS
e. Pola istirahat tidur
Sebelum masuk rumah sakit klien tidur 8 jam sehari. Saat dirumah sakit klien juga
tidur 6 jm sehari, terbangun jika ingin ke toilet atau saat nyeri namun dapat tidur
kembali
f. Pola persepsi sensori dan kognitif
Klien tidak mengalami gangguan dalam fungsi penglihatan, pendengaran, penghidu
ataupun perabaan. Klien mampu mengingat dan berbicara dengan baik
g. Pola hubungan dengan orang lain
Klien dekat dengan ibunya, klien mau berinteraksi dengan pasien lain, klien juga mau
berinteraksi dengan perawat dan tenaga kesehatan lain.
h. Pola reproduksi
Klien tidak mengalami gangguan pada reproduksinya
i. Pola persepsi diri dan konsep penyakit
Keluarga menyadari penyakit klien dan berharap agar operasi lancar dan klien segera
pulang
j. Pola mekanisme koping
Klien terlihat tenang, karena dukungan keluarga yang cukup. Keluarga juga percaya
penuh pada tenaga kesehatan dalam upaya penyembuhan klien
k. Pola nilai kepercayaan/keyakinan
Keluarga klien percaya penyakit datang atas izizn Allah dan Allah juga akan
menyembuhkannya. Keluarga klien menjalankan sholat 5 waktu, klien masih dalam
proses belajar sholat (diajarkan oleh orangtua), klien juga mulai belajar mengaji.
13. Pemeriksaan Fisik
a. Atropometri
Tinggi badan : 130cm
Berat badan :19
IMI : (umur x 2) + 8
; (4 tahun 10 bulan x 2) +8
: (8,20) + 8
: (9,8) + 8
: 17,8 kg
b. Keadaan Umum
- Kesadaran umum : klien tampak lemah
- Kesadaran : compos mentis
- GCS : E=4, V=5, M=6
c. Tanda tanda vital
Tekanan darah :-

Nadi : 90x/menit
Pernapasan : 22x/menit
Suhu : 36,5oc
d. Pemeriksaan fisik Head to toe
- Kepala
Inspeksi : bentuk kepala simetris, distribusi rambut merata, warna rambut
hitam kulit kepala bersih tidak tampak lesi dan kemerahan
Palpasi : tidak ada benjolan/ masaa
- Muka
Inspeksi : muka simetris kiri dan kanan, tidak ada sianosis
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak teraba benjolan/massa
- Mata
Inspeksi : mata simetris kiri dan kanan, konjungtiva tidak anemis, pupil
isokor, reflek cahaya (+), sklera tidak ikterik, fungsi penglihatan baik
- Hidung
Inspeksi : hidung tampak simetris, tidak tampak polip, tidak tampak
pernapasan cupping hidung
- Mulut
Inspeksi : mukosa bibir kering, tidak ada peradangan pada gusi, lidah bersih
, tidak ada nyeri saat menelan
- Leher
Inspeksi : leher tampak simetris, tidak ada lesi, kemerahan, maupun edema
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak teraba pembengkakan kelenjar tiroid
- Thorax
Inspeksi : bentuk dada simetris, saat inspirasi dan ekspirasi antara paru kiri
kanan dan kiri simetris, tidak tampak penggunaan obat bantu pernapasan
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, fokal fremitus seimbang antara paru kiri
dan kanan
Auskultasi : suara nafas vesikuler, tidak ada ronki, wheezing maupun strisor
Perkusi : saat perkusi pada daerah paru terdengar sonor
- Jantung
Inspeksi : bentuk dada simetris, ictus kordis tidak tampak
Palpasi : teraba ictus kordis di IC 4 dan 5
Auskultasi : suara s1 dan s2 terdengar seimbang, tidak ada bunyi tambahan
Perkusi : perkusi pada apek jantung terdengar redup
- Abdomen
Inspeksi : tidak tampak pembesaran pada abdomen, tidak tampak lesi,
kemerahan, tidak ada luka bekas operasi
Palpasi : nyeri tekan pada titik Mc. Burney (1/3 abdomen kanan bawah)
Auskultasi : bising usus terdengar 10x/menit
Perkusi : saat perkusi terdengar bunyi timpani
- Genetalia
Tidak ada gangguan pada daerah genetalia
- Ekstremitas
Tidak ada gangguan dalam pergerakan, tidak ada deformitas maupun kontraktur.
Skala kekuatan otot 5, klien mampu beraktivitas saat tidak nyeri, CRT < 2 detik
- Kulit
Kulit tampak sedikit kering, penurunan turgor kulit , tidak ada edema, kemerahan
maupun lesi
14. Pemeriksaan perkembangan
Klien tidak mengalami gangguan perkembangan, motorik kasar maupun motorik halus
berfungsi dengan baik. Keluarga mengatakan klien tidak mengalami keterlambatan dalam
tumbuh kembang
15. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium tanggal 19 November 2018
Hemoglobin :10,4 g/dL (nilai rujukan : 1,5-3 tahun 10,8-12,8g/dl. 5 tahun
10,7-14-7g/dl)
Jumlah leukosit : 17.200/µl (nilai rujukan : 4 tahun 5500-15.500/ µl)
Jumlah trombosit : 306.000/µl (nilai rujuakn 1-5 tahun 217.000-497000/ µl)
Hematokrit : 30,0 % (nilai rujukan 8 bulan – 3 tahun 35-43%. 5 tahun
31-43%)
Jumlah eritrosit : 3,78. 106/µl (nilai rujukan 8 bulan- 3 tahun 3,6-5,2. 106/ µl 5
tahun 3,7-5,7. 106/µl
Hitung jenis leukosit : 3 dift
Mid Cell (B, E, M) =4
Granulosit (s) = 77
Limfosit = 19
Golongan darah : B
HIV : non-reaktif
HbsAg : non-reaktif
Analisa Data

Tanggal Data Etiologi Masalah


12/11/2018 Data subjektif : Agen cidera biologis Nyeri akut
Klien mengeluh nyeri perut (inflamasi)
kanan bawah, kiri bawah dan
ulu hati
P = nyeri saat aktivitas
maupun istirahat
Q = nyeri seperti ditusuk-tusuk
R = nyeri perut kuadran kanan
bawah, kiri bawah dan ulu hati
(epigastrium)
T = nyeri hilang datang
Data Objektif
- Klien tampak meringis
- Klien menutupi area
nyeri dengan lengan
- Tanda- tanda vital
N= 90x/menit
S= 36,5oC
RR= 22x/menit
12/11/2018 Data Subjektif: Mual dan muntah Resiko kekurangan
Ibu klien mengatakan klien volume cairan
mual, muntah 1 x berisi cairan
dan sisa makanan. Ibu klien
juga mengatakan anaknya
terlihat lemah
Data Objektif :
- Kulit kering, turgor kulit
menurun
- Tanda- tanda vital
N= 90x/menit
S= 36,5oC
- RR= 22x/menit
12/11/2018 Data subjektif : Mual dan muntah Ketidakseimbangan
Ibu klien mengatakan klien nutrisi kurang dari
tidak nafsu makan, mual kebutuhan tubuh
muntah 1 x berisi caran dan
sedikit makanan
Data objektif :
- Klien tampak lemah
- Menolak ketika diberi
makan
- Bb = 19 kg
- TB = 130
- IMI = 17,8 kg
Diagnosa dan Intervensi Keperawatan

Diagnosa NOC NIC Rasional


Nyeri Akut b.d Tujuan: Setelah 1). Lakukan 1). Agar dapat
agen cedera diberikan intervensi pengkajian nyeri mengetahui
biologis (inflamasi) 3x24 jam nyeri secara karakteristik nyeri
berkurang komprehensif yang dirasakan dan
Kriteria Hasil: termasuk lokasi, dapat memberikan
1). Mampu mengontrol karakteristik, intervensi yang
nyeri (tahu durasi, frekuensi, sesuia
penyebab nyeri, kualitas dan faktor 2). Reaksi non-verbal
mampu presipitasi dapat menjadi data
menggunakan 2). Observasi reaksi objektif dari tingkat
teknik non- non-verbal dari nyeri yang
farmakologi untuk ketidaknyamanan dirasakan klien
mengurangi nyeri, 3). Kurangi faktor 3). Mengeliminas
mencari bantuan) presipitasi nyeri faktor yang
2). Melaporkan bahwa 4). Kontrol lingkungn memperberat nyeri
nyeri berkurang yang dapat dapat meningkatkan
dengan mempengaruhi keefektifan
menggunakan nyeri seperti suhu, pemberian kontrol
teknik non- pencahayaan, dan nyeri
farmakologi kebisingan 4). Lingkungan yang
3). Menyatakan rasa 5). Ajarkan teknik nyaman dengan
nyaman setelah non-farmakologi kebisingan yang
nyeri berkurang (teknik relaksasi minimal dapat
nafas dalam) membuat klien lebih
6). Kolaborasi rileks sehingga
pemberian memfasilitasi
analgesic penurunan nyeri
7). Tingkatkan 5). Teknik relaksasi
istirahat nafas dalam dapat
mengurangi nyeri
dengan
meningkatkan
kondisi relaksasi
6). Analgesic dapat
menurunkan nyeri
dengan memblok
reseptor nyeri
7). Istirahat dapat
meningkatkan rasa
nyaman sehingga
memfasilitasi
penurunan nyeri
Ketidakseimbangan Tujuan: setelah 1). Berikan informasi 1). Memberikan
nutrisi kurang dari diberikan intervensi tentang kebutuhan informasi tentang
kebutuhan tubuh 3x24 jam kebutuhan nutrisi kebutuhan nutrisi
b.d mual, muntah nutrisi klien dapat 2). Monitor mual dan dapat membuat
terpenuhi muntah klien dan keluarga
Kriteria Hasil : 3). Monitor mengerti dan
1). Berat badan ideal lingkungan selama memahami
sesuai dengan makan sehingga kebutuhan
tinggi badan 4). Libatkan keluarga nutrisi dapat
2). Mampu dalam pemenuhan terpenuhi
mengidentifikasi kebutuhan nutrisi 2). Mual dan muntah
kebutuhan nutrisi 5). Beri makanan dapat
3). Tidak ada tanda- sedikit namun mempengaruhi
tanda malnutrisi sering pemenuhan nutrisi
4). Tidak terjadi 3). Lingkungan yang
penurunan berat nyaman dapat
badan yang berarti menurunkan stress
dan lebih kondusif
untuk makan
4). Meningkatkan
peran serta keluarga
dalam pemenuhan
nutrisi untuk
mempercepat
penyembuhan
5). Makanan sedikit
dapat menurunkan
kelemahan dan
meningkatkan
masukan serta
mencegah distensi
gaster
Resiko kekurangan Tujuan: setelah 1). Monitor status 1). Agar dapat
volume cairan b.d diberikan intervensi hidrasi menentukan derajat
mual dan muntah 3x24 jam volume (kelembaban, dehidrasi klien
cairan dapat terpenuhi membrane sehingga dapat
sesuai kebutuhan mukosa, nadi memberikan
Kriteria Hasil: adekuat, tekanan intervensi yang
1). Mempertahankan darah ortostatik) sesuai
urine output sesuai 2). Monitor vital 2). Untuk mengetahui
dengan usia dan sign kondisi klien
BB, BJ urine 3). Dorong masukan 3). Masukan oral yang
normal, HT normal oral adekuat dapat
2). Tekanan darah, 4). Kolabrasi mengatasi dehidrasi
nadi, suhu dalam pemberian cairan rinan
batas normal IV 4). Cairan IV dapat
3). Elastisitas turgor memenuhi
kulit baik, kebutuhan cairan
membrane mukosa yang kurang
lembab, tidak ada
rasa haus yang
berlebihan

Implementasi Keperawatan

Tanggal/Jam Diagnosa Implementasi Evaluasi


12/11/2018 Nyeri akut b.d agen 1). Melakukan 12.00 WIB
10.00 WIB cidera biologis pengkajian nyeri S : Ibu klien mengatakan kadang-
(inflamasi) secara kadang anaknya masih
komprehensif mengeluh nyeri namun sudah
(PQRST) mulai berkurang
2). Mengobservasi P = Nyeri saat aktivitas
reaksi non-verbal maupun istirahat
dari Q = Nyeri seperti ditusuk-
ketidaknyamanan tusuk
3). Memberikan R = Nyeri perut kuadran
terapi kolaborasi kanan bahwah, kiri bawah dan
analgesik injeksi ulu hati (epigastrium)
ketorolac 3x4mg S = Skala nyeri 4
12/11/2018 4). Mengobservasi T = Nyeri hilang datang
12.00 WIB tanda-tanda vital O : Klien tampak tenang, tidak
meringis
Nadi = 94x/menit
Suhu = 36,3oC
Pernafasan = 22x/menit
A : Nyeri akut
P : Lanjutkan intervensi
- Pengkajian nyeri
komprehensif
- Kolaborasi pemberian
analgesik
- Ajarkan teknik relaksasi
nafas dalam
- Observasi tanda-tanda vital

12/11/2018 Ketidakseimbangan 1). Memonitor mual 10.20 WIB


10.15 WIB nutrisi kurang dari dan muntah S : Ibu klien mengatakan klien
kebutuhan tubuh 2). Menganjurkan makan hanya sedikit, mual,
b.d mual dan makanan dalam muntah 1x berisi cairan dan
muntah jumlah sedikit sedikit makanan
namun sering O : Klien tampak lemah,
menolak ketika diberi makan
oleh ibunya
A : Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh
P : Lanjutkan intervensi
- Anjurkan makanan dalam
jumlah sedikit namun sering
- Anjurkan memberi
makanan yang disukai
namun dalam bentuk lunak
- Monitor mual dan muntah
12/11/2018 Resiko kekurangan 1). Memonitor status 11.00 WIB
10.25 WIB volume cairan b.d hidrasi (turgor S : Ibu klien mengatakan klien
mual dan muntah kulit, membrane masih lemah
mukosa) O : Klien tampak lemah, turgor
2). Memberikan kulit menurun, membrane
terapi kolaborasi mukosa kering
cairan IV D5 ½ A : Resiko kekurangan volume
NS 20 tetes per cairan
menit P : Lanjutkan intervensi
- Monitor tanda vital
- Kolaborasi pemberian
cairan IV
- Dorong masukan oral
13/11/2018 Nyeri akut b.d agen 1). Melakukan 11.30 WIB
09.00 WIB cidera biologis pengkajian nyeri S : Klien mengatakan masih
(inflamasi) secara sedikit nyeri, ibu klien
komprehensif mengatakan nyerinya hilang
(PQRST) datang namun sudah lebih
2). Mengajarkan baik dibandingkan kemarin
klien dan keluarga P = Nyeri saat aktivitas
(ibu klien) tentang maupun istirahat
teknik relaksasi Q = Nyeri seperti ditusuk-
nafas dalam tusuk
3). Memberikan R = Nyeri perut kuadran
terapi kolaborasi kanan bawah, kiri bawah dan
analgesik injeksi ulu hati (epigastrium)
ketorolac 3x4mg S = Skala nyeri 3
O : Klien tampak tenang, klien
tidak menangis dan meringis
A : Nyeri akut
P : Lanjutkan intervensi
- Anjurkan menggunakan
teknik relaksasi nafas dalam
13/11/2018 Ketidakseimbangan 1). Memonitor mual 11.50 WIB
11.35 WIB nutrisi kurang dari dan muntah S : Ibu klien mengatakan klien
kebutuhan tubuh 2). Menganjurkan hanya makan pagi kurang
b.d mual dan makanan dalam lebih 10 sendok makan, tidak
muntah jumlah sedikit ada muntah, sedikit merasa
namun sering mual
3). Menganjurkan ibu O : Klien tampak lemah
klien meberi klien A : Ketidakseimbangan nutrisi
makanan yang kurang dari kebutuhan tubuh
disukai dalam P : Lanjutkan intervensi
bentuk lunak - Monitor mual dan muntah
- Anjurkan makan dalam
jumlah sedikit namun sering
- Anjurkan untuk memberi
makanan yang disukai
namun dalam bentuk lunak
13/11/2018 Resiko kekurangan 1). Memonitor status 12.00 WIB
11.50 WIB volume cairan b.d hidrasi (turgor S : Ibu klien mengatakan
mual dan muntah kulit, membrane anaknya cukup minum
mukosa) O : Klien tampak lemah, turgor
2). Memonitor tanda kulit baik, mebran mukosa
vital kering. Nadi = 96x/menit,
3). Menganjurkan Suhu = 37oC, Pernafasan =
klien untuk 24x/menit
meningkatkan A : Resiko kekurangan volume
asupan oral cairan
4). Memberikan P : Lanjutkan intervensi
terapi kolaborasi - Monitor status hidrasi
cairan IV D5 ½ - Monitor tanda vital
NS 20 tetes per - Kolaborasi pemberian
menit cairan IV
- Dorong masukan oral
14/11/2018 Nyeri akut b.d agen 1). Melakukan 18.00 WIB
16.00 WIB cidera biologis pengkajian nyeri S : Klien mengatakan nyeri saat
(inflamasi) secara perut kuadran kanan bawah,
komprehensif kiri bawah dan ulu hati
(PQRST) (epigastrium) dipalpasi
2). Mengajarkan P = Nyeri saat dipalpasi
klien dan keluarga Q = Nyeri seperti ditusuk-
(ibu klien) tentang tusuk
teknik relaksasi R = Nyeri perut kuadran
nafas dalam kanan bawah, kiri bawah, dan
3). Memberikan ulu hati (epigastrium)
terapi kolaborasi S = Skala nyeri 3
analgesik injeksi T = Nyeri hilang datang
ketorolac 3x4mg O : Klien tampak meringis saat
palpasi perut kuadran kanan
bawah, kiri bawah dan ulu
hati (epigastrium)
A : Nyeri akut
P : Lanjutkan intervensi
- Pengkajian nyeri
komprehensif
- Anjurkan melakukan
teknik relaksasi nafas
dalam
- Kolaborasi pemberian
analgesik
14/11/2018 Resiko kekurangan 1). Memonitor status 18.05 WIB
18.00 WIB volume cairan b.d hidrasi (turgor S : Ibu klien mengatakan
mual dan muntah kulit, membrane anaknya cukup minum
mukosa) O : Klien tampak lemah, turgor
2). Memonitor tanda kulit baik, mebran mukosa
vital lembab. Nadi = 95x/menit,
3). Menganjurkan Suhu = 37,2oC, Pernafasan =
klien untuk 22x/menit
meningkatkan A : Resiko kekurangan volume
asupan oral cairan
4). Memberikan P : Lanjutkan intervensi
terapi kolaborasi - Monitor status hidrasi
cairan IV D5 ½ - Monitor tanda vital
NS 20 tetes per - Kolaborasi pemberian
menit cairan IV
- Dorong masukan oral
14/11/2018 Ketidakseimbangan 1). Memonitor mual 18.20 WIB
18.10 WIB nutrisi kurang dari dan muntah S : Ibu klien mengatakan klien
kebutuhan tubuh 2). Menganjurkan sudah makan 2x pagi dan
b.d mual dan makanan dalam sore, makan bubur kurang
muntah jumlah sedikit lebih 10 sendok makan, tidak
namun sering ada muntah, sedikit merasa
3). Menganjurkan ibu mual
klien meberi klien O : Klien tampak lemah
makanan yang A : Ketidakseimbangan nutrisi
disukai dalam kurang dari kebutuhan tubuh
bentuk lunak P : Lanjutkan intervensi
- Monitor mual dan muntah
- Anjurkan makan dalam
jumlah sedikit namun sering
- Anjurkan untuk memberi
makanan yang disukai
namun dalam bentuk lunak
BAB IV
PEMBAHASAN

Pembahasan dalam bab ini mulai dari pengkajian sampai dengan pendokumentasian.
Sehingga dapat diketahui adanya kesenjangan antara teori dengan penatalaksanaan tindakan
asuhan keperawatan dalam kasus nyata. Selain itu juga dapat diketahui adanya faktor
penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan asuhan keperawatan An. R dengan Appendisitis
Akut.
4.1 Pembahasan Pengkajian
Pengkajian keperawatan merupakan salah satu komponen dari proses keperawatan yaitu
suatu usaha yang dilakukan oleh perawat dalam menggali permasalahan dari klien meliputi
usaha pengumpulan tentang status kesehatan seorang klien secara sistematik, menyeluruh,
akurat, singkat dan berkesinambungan (Muttaqin, 2010).
Penulis melakukan pengkajian kepada pasien dengan pendekatan kepada pasien, keluarga
pasien dan tenaga kesehatan lainnya. Pengkajian dilakukan pada tanggal 12 November 2018
dengan menggunakan metode observasi, wawancara, pemeriksaan fisik dan studi
dokumentasi baik perawatan maupun medis. Pengkajian pre operasi An. R didapatkan data
nyeri akut, resiko kekurangan volume cairan dan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan nutrisi.
1. Identitas
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kelompok usia yang paling banyak menderita
appendisitis adalah kelompok usia 17-25 tahun (remaja akhir) sebanyak 38,9% menderita
appendisitis akut dan 27,8% menderita appendisitis perforasi. Resiko perforasi meningkat
pada anak kurang dari 5 tahun diakibatkan pendidingan yang kurang sempurna, omentum
belum berkembang dan waktu diagnosis yang lama karena anak kurang dapat
menjelaskan gejala yang dirasakan (Windy & Sabir, 2016).
Hal ini terkait dengan kasus An. R dimana usia berumur 4 tahun, usia ini sangat
berisiko untuk perforasi akibat penyakit yang dideritanya.
2. Pengkajian pola gordone:
a. Pola nutrisi dan cairan
1) Sebelum sakit klien makan 3x sehari dengan porsi kecil setiap makan dengan
jenis makanan nasi, lauk dan sayur. Minum ± 4 gelas sehari dengan jenis
minuman air putih dan air gula.
2) Saat sakit An. R makan 1-5 sendok makan dengan frekuensi 3x sehari. Klien
merasakan mual dan muntah 1x (berisi cairan dan sedikit makanan) serta tidak
nafsu makan. Minum hanya 1 gelas dengan jenis minuman air putih dan air gula.
b. Pola eliminasi
1) Sebelum sakit klien BAB 1 kali sehari dengan konsistensi padat berwarna coklat
kekuningan berbau khas feses. BAK ± 5 kali sehari dengan warna kuning jernih
dan berbau khas urine, lancar, tidak ada nyeri saat berkemih.
2) Saat sakit, klien belum BAB selama masuk RS.BAK ± 5 kali sehari namun
jumlah haluaran sedikit warna kuning dan berbau khas urine, lancar, tidak ada
nyeri saat berkemih.
c. Pola aktivitas dan latihan
1) Sebelum sakit ibu klien dapat melakukan aktifitas sehari-hari sendiri secara
mandiri dan dapat bermain seperti biasanya.
2) Saat sakit klien lemas, lesu dan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-
harinya.
3. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada An. R didapatikeadaan umum pasien tampak
lesu, lemas dan banyak berkeringat. Kesadaran composmentis, hasil TTV Nadi : 90
x/menit, RR : 22x/menit, S: 36,5ºC / axila.Berat badan 19 kg. Tinggi badan 130 cm.
Muka: inspeksi: mukosa bibir kering. Abdomen:inspeksi: tidak terdapat lesi/kemerahan,
edema, palpasi: nyeri mengeluh nyeri perut kanan bawah, kiri bawah, dan ulu hati saat
beraktivitas maupun istirahat, seperti ditusuk-tusuk, skala nyeri 6 (sedang) dan hilang
datang, auskultasi: bunyi peristaltik 10 x/menit, perkusi: saat diketuk suara timpani.
Ekstremitas; pada ekstremitas terpasang RL 20 tpm.Kulit; akral teraba hangat, kulit
kering, penurunan turgor kulit.
Dari hasil pengkajian yang dilakukan pada An. R data yang muncul sesuai teori yaitu
nyeri maksimal dapat ditemukan di titik McBurney pada abdomen kuadran kanan bawah.
Dapat teraba massa jika apendiks sudah perforasi (Minkes, 2013 dan DynaMed,
2013).Temuan fisik yang paling spesifik pada apendisitis adalah nyeri lepas, nyeri pada
perkusi, dan tanda peritoneal.Walaupun nyeri abdomen kuadran kanan bawah ditemukan
pada 96 % pasien, ini bukan merupakan temuan spesifik (Craig, 2013).
Ditemukannya tanda Rovsing (nyeri pada abdomen kuadran kanan bawah setelah
dilakukan palpasi atau perkusi pada abdomen bagian kiri) menunjukkan ada iritasi
peritoneal (Minkes, 2013).Untuk memeriksa tanda Psoas, baringkan anak miring ke kiri
dan hiperekstensikan sendi panggul kanan. Ditemukannya nyeri (respon positif)
mengindikasikan adanya massa inflamasi di atas otot psoas (apendisitis retrosekal)
(Minkes, 2013).Cara lain yang dapat digunakan untuk menentukan adanya iritasi
peritoneal antara lain dengan memerintahkan pasien sit up di tempat tidur, batuk, atau
posisi berdiri dan jongkok begantian. Akan timbul nyeri yang mengindikasikan adanya
iritasi peritoneum (Minkes, 2013).
Menurut PAS (Pediatric Appendicitis Score) (Bhatt, 2008):
Indikator Diagnostik Nilai Skor
Nyeri saat batuk/ perkusi/ melompat 2
Penurunan nafsu makan 1
Peningkatan suhu tubuh 1
Mual/ muntah 1
Nyeri perut kuadran kanan bawah 2
Leukositosis lebih dari 10.000 1
Neutrofilia 1
Migrasi nyeri 1
Total 10

Anak dengan keluhan nyeri abdomen dengan PAS (Obinna, 2011 dan Wesson, 2014):
1) PAS < 5 berisiko rendah untuk terjadi apendisitis. Anak dengan PAS < 5 dapat
dirawat jalan. Namun, nyeri perut yang menetap atau adanya keluhan tambahan lain
harus dievaluasi ulang.
2) PAS > 9 berisiko tinggi untuk terjadi apendisitis komplikata. Anak dengan PAS > 9
harus dioperasi apendektomi.
3) PAS 6 – 8 lebih sering dijumpai apendisitis sederhana.Anak dengan PAS 6 – 8 juga
dioperasi apendektomi.
Selain itu, menurut Lee (2013) gejala klasik hanya dijumpai pada 55 % kasus, yaitu
jika apendiks berada di anterior. Gejala diawali oleh nyeri perut di periumbilikus yang
memberat dalam 24 jam. Nyeri menjadi lebih tajam dan berpindah ke fosa iliaka kanan,
lalu menetap.
Ditemukan juga gejala hilangnya nafsu makan, mual, muntah, dan konstipasi (Lee,
2013 dan DynaMed, 2013). Berdasarkan sebuah penelitian, muntah dan demam lebih
sering ditemukan pada anak dengan diagnosis apendisitis daripada penyebab lain nyeri
abdomen (Minkes, 2013).Namun, pada An. R tidak ditemukan adanya tanda dan gejala
seperti demam (peningkatan suhu tubuh), neutrofilia, dan konstipasi.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Radiologi
An. R ditegakkan diagnosis berdasarkan pemeriksaan USG.
1) USG
Diagnosis apendisitis ditegakkan dengan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan ultrasonography (USG) (Windy & Sabir,
2016).USG sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk menunjang
diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala apendisitis. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dai
90%. Gambaran USG yang merupakan kriteria diagnosis appendisitis akut adalah
appediks dengan diameter anteroposterior 7 mm atau lebih, didapatkan suatu
appendicolith, adanya cairan atau massa periappendik.
2) CT-Scan
CT Scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas.
a. Pemeriksaan Laboratorium
An. R dilakukan pemeriksaan darah lengkap dimana dalam kasus ini hasil
laboratorium yang dilihat yaitu Leukosit. An. R terjadi peningkatan leukosit 17.200
/µL. Pada pemeriksaan laboratorium, jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada
lebih dari 90% anak dengan apendisitis akut. Jumlah leukosit yang normal jarang
ditemukan pada pasien dengan appendisitis.Kadar leukosit secara signifikan lebih
tinggi pada kasus perforasi dibandingkan dengan tanpa perforasi. Leukositas pada
pasien appendicitis akut dapat mencapai 10.000-18.000 sel/mm3 dan jika >18.000
sel/mm3 maka umumnya terjadi peritonitis akibat perforasi (Windy & Sabir, 2016).
Pasien dengan appendisitis pada umumnya mengalami leukositosis yaitu peningkatan
jumlah leukosit diatas 10.000 sel.mm3 (Windy & Sabir, 2016).Peningkatan
persentase jumlah neutrofil dengan jumlah normal leukosit menunjang diagnosis
klinis appendisitis.
4.2 Pembahasan Diagnosa
1. Nyeri akut b.d agen cidera biologis (inflamasi)
Menurut teori Potter & Perry, nyeri merupakan suatu alasan yang paling umum orang
untuk mencari perawatan kesehatan.Nyeri juga merupakan sumber penyebab frustasi,
baik klien maupun bagi tenaga kesehatan. Asosiasi Internasional untuk penelitian nyeri
(International Association For The Study Of Pain, IASP) mendefinisikan nyeri sebagai
pengalaman sensorik dan emosional, yang sangat tidak menyenangkan yang berkaitan
dengan jaringan yang sudah terjadi atau berpotensi terjadinya kerusakan, nyeri juga
subjektif dimana hal ini merupakan sensasi yang bersifat emosional dan subjektif. Nyeri
juga dapat merupakan faktor utama yang menghambat kemampuan dan keinginan
individu untuk pulih dari suatu penyakit (Potter & Perry,2012).
Untuk perencanaan dalam mengatasi masalah pada pasien yang dengan keluhan nyeri,
perlu dilakukannya suatu pelayanan asuhan keperawatan. Dalam asuhan keperawatan
terdapat beberapa proses keperawatan yaitu suatu pengkajian hingga evaluasi. Dalam
penanganan nyeri, perawat berperan penting dalam mengkaji dan menyediakan intervensi
yang tepat.Dalam memberikan intervensi keperawatan, perawat memfokuskan pada
penurunan nyeri. Perawat perlu melakukan suatu pengkajian nyeri terlebih dahulu pada
pasien, dengan adanya suatu pengkajian akan memudahkan perawat dalam memberikan
manajemen nyerinya. Nyeri seharusnya dikaji secara rutin dan terstruktur.Pengkajian
yang tepat, akurat tentang nyeri sangat diperlukan sebagai upaya untuk mencari solusi
yang tepat dalam memberikan manajemen nyeri nya, untuk itu pengkajian harus selalu
dilakukan secara berkesinambungan, sebagai upaya mencari gambaran yang terbaru dari
nyeri yang dirasakan oleh pasien (Priambodo,2016).
Pada An. R, saat dilakukan pengkajian keperawatan, keluhan utama An. R yaitu
mengeluh nyeri perut kanan bawah, kiri bawah, dan ulu hati saat beraktivitas maupun
istirahat, seperti ditusuk-tusuk, skala nyeri 6 (sedang) dan hilang datang, sehingga nyeri
diangkat sebagai diagnosa keperawatan pertama.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual muntah
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh merupakan keadaan dimana
asupan nutrisi tidak memenuhi kebutuhan metabolik seseorang (Nurarif, 2015). Pada An.
R, ia mengeluh mual (+), muntah (+) sebanyak 1 kali berisi cairan, nafsu makan
menurun, makan hanya sedikit. Hal diatas sudah termasuk dalam batasan karaktersitik
berdasarkan NANDA NIC-NOC.
Nutrisi merupakan proses pemasukan dan pengolahan zat makanan olehtubuh yang
bertujuan menghasilkan energi dandigunakan dalam aktivitas tubuh. Nutrisi adalah zat-
zat gizi atau zat-zat lain yang berhubungan dengan kesehatan dan penyakit, termasuk
keseluruhan proses dalam tubuh manusia untuk menerima makanan atau bahan-bahan
dari lingkungan hidupnya dan menggunakan bahan- bahan dari lingkungan hidupnya
dan menggunakan bahan- bahan tersebut untukaktivitas penting dalam tubuh serta
mengeluarkan sisanya. Nutrisi juga dapat dikatakan sebagai ilmu tentang makanan,
zat-zat gizi dan zat-zat gizi lain yang terkandung, aksi, reaksi dan keseimbangan yang
berhubungan dengan kesehatan dan penyakit (Tarwoto &Wartonah, 2010).
Sumber nutrisi dalam tubuh berasal dari dalam tubuh berasal dari dalam tubuh
sendiri seperti glikogen yang terdapat dalam otot dan hati ataupun protein dan
lemak dalam jaringan dan sumber lain yang berasal dari luar tubuh seperti yang sehari-
hari dimakan oleh manusia. Faktor yang mempengaruhi kebutuhan nutrisi, yaitu
pengetahuan,prasangka, kebiasaan, kesukaan, ekonomi (Hidayat, 2006).
Abraham Masslow mengatakan bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan dasar yang
harus dipenuhi untuk mencapai kebutuhan tertinggi. Kebutuhan manusia dapat
digolongkan menjadi lima tingkat kebutuhan yaitu: kebutuhan keamanana dan
kebutuhan fisiologis (oksigen, makanan, air, tidur) dan suhu tubuh relatif konstan.
Salah satu kebutuhan dasar yang harus diperhatikan dalam asuhan pada klien
adalah kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan diri pada An. R dengan penyakit
Appendisitis.
3. Resiko kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif
Kebutuhan cairan dan elektrolit adalah suatu proses dinamik karena metabolisme
tubuh membutuhkan perubahan yang tetap dalam berespons terhadap stressor fisiologis
dan lingkungan. Cairan dan elektrolit saling berhubungan, ketidakseimbangan yang
berdiri sendiri jarang terjadi dalam bentuk kelebihan atau kekurangan (Wartonah, 2004)
Gangguan keseimbangan cairan dapat berupa defisit volume cairan merupakan
suatu kondisi ketidak seimbangan yang ditandai dengan defisiensi cairan dan elektrolit di
ruang ekstrasel, namun proporsi antara keduanya (cairan dan elektrolit) mendekati
normal. Kondisi ini dikenal dengan hipovolemia (Iqbal, 2007).
Keseimbangan dan ketidakseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa meliputi
cairan total tubuh dijelaskan dalam presentase berat badan, presentase ini beragam
pada setiap usia yaitu pada bayi, cairan total tubuh adalah 80% berat badan. Pada usia
3 tahun, cairan total tubuh adalah 65% berat badan. Pada usia 15 tahun, cairan total
cairan tubuh adalah 60% berat badan. Cairan total tubuh terdiri atas cairan dan
elektrolit yang didistribusikan diantara kompartemen cairan ekstraselular dan
intraselular. Cairan intrasellar (CIS) mencakup seluruh cairan didalam dinding sel,
kalium merupakan elektrolit utama CIS. Cairan ekstraselular (CES) mencakup semua
cairan yang berada diluar dinding sel (mis plasma, limfe, dan cairan serebrospinal),
natrium merupakan elektrolit utama CES (Muscari, 2005).
Perawat melakukan pengkajian untuk mengidentifikasi klien yang berisiko tinggi atau
yang memperlihatkan adanya tanda dan gejala ketidakseimbangan cairan. Pelaksanaan
pengkajian sangat penting. Pengkajian cairan membantu perawat dalam mengantisispasi
kebutuhan klien akan suatu asuhan keperawatan. Salah satu fungsi pengkajian
keperawatan yang paling penting adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor resiko
terjadinya ketidakseimbangan cairan. Perawat mengumpulkan riwayat keperawatan
yang berisi informasi mengenai masalah kesehatan klien dimasa lalu atau yang baru
saja terjadi, yang dapat menyebabkan resiko seperti terjadinya ketidakseimbangan (USU,
2011).
4.3 Pembahasan Perencanaan
1. Nyeri akutb.d agen cidera biologis (inflamasi)
Klien dengan appendisitis merasakan nyeridi titik McBurney pada abdomen kuadran
kanan bawah.Hal tersebut butuh penangan yang benar sehingga dapat mengatasi nyeri
yang klien rasakan. Menurut Maslow, seorang pelopor psikologi mengatakan bahwa
kebutuhan rasa nyaman merupakan kebutuhan dasar setelah kebutuhan fisiologis yang
harus terpenuhi. Seorang yang mengalami nyeri akan berdampak pada aktifitas sehari-
harinya.
Orang tersebut akan terganggu pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidurnya,
pemenuhan individual, juga aspek interaksi sosialnya yang dapat berupa menghindari
percakapan, menarik diri, dan menghindari kontak.Selain itu, seorang yang mengalami
nyeri hebat akan berkelanjutan, apabila tidak ditangani pada akhirnya dapat
mengakibatkan syok neurologik orang tersebut (Istichomah, 2007).

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


Perencanaan keperawatan antara lain berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi,
monitor mual muntah, monitor lingkungan selama makan, libatkan keluarga dalam
pemenuhan kebutuhan nutrisi, dan beri makanan sedikit namun sering (Nurarif, 2015).
Mual dan muntah biasanya merupakan gejala yang bisa disebabkan oleh banyak hal
(Porter et al, 2010). Oleh karena itu, lingkungan juga harus diperhatikan oleh keluarga
saat makan sehingga tidak memicu terjadinya mual muntah.
3. Resiko kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif
Intervensi yang dapat dilakukan yang bertujuan untuk cairan pasien dapat terpenuhi
karena Air merupakan komponen penting dalam tubuh manusia.50%-70% berat badan
seseorang dan merupakan elemen utama plasma darah, yang digunakan untuk
mengedarkan makanan, oksigen dan elektrolit keseluruh tubuh (Saputra, 2012).Sebagai
barometer keberhasilan memiliki kriteria hasil; 1).Tidak ada tanda-tanda dehidrasi. 2).
Tanda-tanda vital dalam batas normal. Tindakan yang dapat penulis lakukan berdasarkan
(Judith, 2013) yaitu 1).Kaji pemasukan dan pengeluaran cairan. 2). Kaji tanda-tanda
vital. 3). Kaji tanda-tanda dehidrasi. 4). Dorong masukan oral sesuai kebutuhan tubuh 5).
Beri terapi cairan sesuai advis dokter.(Judith, 2013).
4.3 Pembahasan Pelaksanaan
1. Nyeri akut b.d agen cidera biologis (inflamasi)
Implementasi yang dilakukan pada An. R pertama kali yaitu mengkaji skala nyeri
secara komprensif (Nurarif, 2015). Hasil ditemukan bahwa terdapat nyeri perut kanan
bawah, kiri bawah, dan ulu hati saat beraktivitas maupun istirahat, seperti ditusuk-tusuk,
skala nyeri 4 (sedang) dan hilang datang,
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuhb.d mual muntah
Implementasi yang dilakukan pada An. Rsesuai NANDA NIC-NOC (2015) yaitu
memonitor mual muntah dimana An. R mual (+), muntah (+) sebanyak 1x berisi cairan
dan sedikit sisa makanan. Sehingga dilanjutkan untuk menganjurkan makan sedikit tapi
sering untuk memuhi kebutuhan nutrisi dalam tubuh.
3. Resiko kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif
Implementasi yang dilakukan pada An. R pertama mengkaji tanda-tanda dehidrasi
tanda yang dapat menyertai dehidrasi yaitu penurunan haluan urine, kulit dan mukosa
kering, suhu meningkat,kelemahan (Judith, 2013).
Dari data yang diperoleh sesuai kasus nyata An.R mengalami mukosa bibir kering,
tampak lemas dan lesu, penurunan haluaran urine ±500 cc. Pengkajian tanda-tanda
dehidrasi dilakukan untuk mencegah terjadinya syok hipovolemik.Syok hipovolemik
merupakan syok yang terjadi akaibat berkurangnya volume plasma di intravaskuler akibat
kekurangan volume cairan ubuh.(Hardisman, 2013).Kedua mengkaji pemasukan cairan
dan pengeluaran cairan.Asupan bukan hanya terdapat pada minuman melainkan bisa
terdapat dari makanan berkuah dan sari buahbuahan.(Hidayat, 2015).
Kehilangan cairan berlebih dapat berlangsung melalui kulit, saluran pencernaan,
saluran kemih, paru atau pembulu darah (Saputra, 2012).Ketiga mengkaji tanda-tanda
vital digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis data kardiovaskuler, pernafasan
dan suhu tubuh guna menemukan dan mencegah komplikasi.Pada pengkajian tanda-
tanda vital ini dititik beratkan pada peningkatan suhu.Peningkatan suhu tubuh juga dapat
memperbesar kemungkinan untuk terjadi kekurangan volume cairan karena banyaknya
keingat yang keluar.Keringat yang banyak keluar tanpa asupan cairan yang cukup dapat
menimbulkan volume cairan tubuh berkurang, khususnya pada cairan ekstraselular
(Hapsari dkk, 2013). Suhu tubuh memiliki nilai normal yang berbedabeda tergantung
tempat pengukurannya, berikut ini tempat pengukuran suhu tubuh yaitu suhu
aksila/ketiak diatas C, suhu oral/mulut diatas C, suhu rektal/anus diatas C, suhu dahi
diatas 38 0C, suhu di membran telinga diatas 38 0 C. Sedangkan demam tinggi bila suhu
tubuh diatas C dan hiperpireksia bila suhu > C (Bahren dkk, 2013).
Keempat dorong masukan oral sesuai kebutuhan tubuh keadaan normal sebaiknya
minum antara 8–10 gelas air perhari. Namun air tersebut bisa saja terkandung didalam
makanan dan buah yang kita makan.Jadi kalau dihitung-hitung, setidaknya air putih yang
kita minum selain dari makanan adalah 8 gelas sehari.Berbeda dengan orang yang
sedang dalam keadaan sakit, mereka memerlukan air putih lebih banyak dari ukuran
normal, karena pada waku sakit lebih banyak cairan yang digunakan untuk
kegiatanmetabolisme dalam tubuh.Dua belas gelas per hari adalah ukuran minimal yang
harus diminum dalam kondisi pemulihan kesehatan (Hafiduddin dkk, 2016).Sehingga
untuk memenuhi kebutuhan setiap hari seseorang membutuhkan dukungan dan motivasi
agar memiliki semangat dalam memenuhi kebutuhan minum 8 gelas sehari.
Implementasi yang terakhir adalah beri terapi cairan sesuai advis dokter. mengganti
cairan yang hilang dan mengembalikan keseimbangan elektrolit, sehingga keseimbangan
hemodinamik kembali tercapai. Selain pertimbangan derajat dehidrasi, penanganan juga
ditujukan untuk mengoreksi status osmolaritas dan mencegah terjadinya syok
hipovolemik (Leksana, 2015).
Cairan resusitasi yang dikategorikan menjadi koloid dan larutan kristaloid.Larutan
koloid adalah suspensi molekul dalam larutan pembawa yang Pable relatif melintasi
membran kapiler sehat semipermeabel karena berat molekul dari molekul.Kristaloid
solusi ion yang bebas permeabel tapi mengandung centrations connatrium dan klorida
yang menentukan tonisitas cairan (Myburgh, 2013).
Pada tahap ini dapat diberikan cairan kristaloid isotonik, seperti ringer lactate (RL)
atau NaCl 0,9% sebesar 20 mL/kgBB. Perbaikan cairan intravaskuler dapat dilihat dari
perbaikan takikardi, denyut nadi, produksi urin, dan status mental pasien.Apabila
perbaikan belum terjadi setelah cairan diberikan dengan kecepatan hingga 60 mL/kgBB
dapat diberikan untuk mencapai kondisi rehidrasi.Saat pasien telah dapat minum atau
makan, asupan oral dapat segera diberikan (Leksana, 2015).
Jenis minuman yang dikonsumsi dibagi menjadi 5, yaitu air, minuman karbohidrat,
minuman elektrolit, minuman karbohidrat- elektrolit dan minuman berkarbonasi.Air
adalah minuman yang jernih, tidak berasa dan tidak berbau.Minuman karbohidrat adalah
minuman yang mengandung gula, contohnya teh, kopi, es, minuman rasa buah.Minuman
elektrolit adalah minuman yang mengandung beberapa elektrolit seperti natrium, kalium,
klorida, contohnya minuman ionisasi.
Minuman karbohidrat-elektrolit adalah minuman yang mengandung gula dan
beberapa elektrolit seperti natrium, kalium, klorida, contohnya jus buah atau sayuran,
susu, sport drink. Minuman berkarbonasi adalah minuman yang dibuat dengan
melarutkan gas karbondioksida dalam air minum, minuman ini sering disebut minuman
soda (Putriana, 2014).
4.4 Pembahasan Evaluasi
Pasien bernama An.R, berumur 4 tahun datang kerumah sakit dengan diagnosa mioma
uteri setelah dilakukan pengakajian selama 3 hari didapatkan evaluasi hasil dan evaluasi
proses. Evaluasi proses hanya observasi ketika setelah dilakukan tindakan asuhan
keperawatan sedangkan evaluasi hasil dibuat untuk mengetahui perkembangan pasien dari
seluruh tindakan yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk menyusun rencana lebih
lanjut. Kelompok melakukan evaluasi hasil setiap hari.
Berdasarkan pada pelaksanaan yang telah dilakukan, dari 3 diagnosa, didapatkan evaluasi
hasil yaitu ketiga diagnosa Pre Op yang tercapai dan belum tercapai selama 3x24 jam
sehingga intervensi dilanjutkan dihari berikutnya.
4.5 Pembahasan Pendokumentasian
Setiap pelaksanaan keperawatan yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi harus didokumentasikan dalam catatan keperawatan sesuai dengan
tindakan keperawatan yang dilakukan oleh perawat serta dicantumkan inisial dantanda
tangan sesuai dengan pelaksanaan tindakan.
Kegunaan dan manfaat dari dokumentasi keperawatan pun telah terlaksana seperti
sebagai alat komunikasi antar anggota perawat dan antar tim kesehatan lainnya, dokumentasi
resmi dalam sistem pelayanan kesehatan, dan alat yang dapat digunakan dalam bidang
pendidikan. Dokumentasi dilakukan selama 3 hari. Faktor pendukung pada tindakan
pendokumentasian keperawatan adalah kerjasama yang baik antara kelompok dengan
perawat serta tim kesehatan di ruangan dalam pendokumentasian.
DAFTAR PUSTAKA

Andra, S,W., Putri, Y.M (2013). Keperawatan Medkal Bedah (keperawatan Dewasa).
Yogyakarta:Nuha Medika.
Arifin, D.S. (2014). Asuhan Kepawatan Pada an.F dengan Post Operasi Apendictomy et cause
Apendisitis Akut Hari ke 2-3 di Runag Dahlia Rumah Sakit Dr. R. Goetong
Taorenadibrata Pubralingga. Skripsi. Purwekerto, Universitas Muhammadiyah
Purwekerto.
Mansjoer, A. (2007). Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 jilid II. Jakarta : Medis Aesculapius
Nurrif, A.H.(2015). Aplikasi Asuhan Keperawatn Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda
NIC-NOC Edisi Revisi Jilid 1. Yogyakarta : Mediaction.
Sanyoto, D. (2007). Masa Remaja dan Dewasa Bunga Rampai Masalah Kesehatan dari dalam
Kandungan Sampai Lanjut Usia. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Sjamsuhidajat, R., De Jong, W. (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC.
Wim De Jong., et al. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.
Bahren, dkk. (2014). Majalah Kesehatan Muslim: Menjaga Kesehatan di Musim Hujan. DI.
Yogyakarta: Pustaka Muslim.
Bhatt M. (2008). Prospective validation of the pediatric appendicitis score in a Canadian
pediatric emergency department. Thesis, McGill University.
Craig S. Appendicitis. Medscape reference. http://emedicine.medscape.com/article/773895. Di
akses tanggal 25 November 2018.
DynaMed. (2013). Appendicitis. http://search.ebscohost.com. Di akses tanggal 25 November
2018.
Hafiduddin, Muhammad dan Muhammad Azlam. (2016). Hubungan antara pengetahuan tentang
manfaat cairan dengan perilaku konsumsi air putih. Profesi, 13(2):39.
Hapsari, Oqi, Bintang., Apoina,Kartini. (2013). Pengaruh minuman karbohidrat elektrolit
terhadap produktivitas pekerja. Journal of Nutrition College, 2 (4).
Hardisman. (2013). Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik: Update dan
Penyegar. Jurnal Kesehatan Andalas, 2(3).
Hidayat, Aziz, Alimul., Musrifatul Uliyah. (2015). Pengantar kebutuhan dasar manusia edisi 2.
Jakarta: Salemba Medika.
Hidayat. A. Aziz Ahmul. (2006). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan, Aplikasi
Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Istichomah. (2007). Pengaruh Teknik Pemberian Kompres Terhadap Perubahan Skala Nyeri
Pada Klien Kontusio di RSUD Sleman. http://p3m.amikom.ac.id/p3m/85%20-
%20PENGARUH%20TEKNIK%20PEMBERIAN%20KOMPRES%20SKALA%20NY
ERI%20PADA%20KLIEN%20KONTUSIO%20DI%20RSUD%20SLEMAN.pdf.
Diakses tanggal 25 November 2018.
Judith M, Wilkingston. (2013). Buku saku diagnosa keperawatan: diagnosa NANDA, intervensi
NIC, kriteria hasil NOC. Diahli bahasakan oleh Esty Wahyuningsih. Jakarta: EGC.
Lee SL. (2013). Vermiform appendix. Medscape reference.
http://emedicine.medscape.com/article/195652-overview. Di akses tanggal 25 November
2018.
Leksana, Eri. (2015). Strategi Terapi Cairan pada Dehidrasi. SMF Anestesi, 42(1): 71.
Minkes, R.K., Betchel, K.A., Billmire, D.F.. (2013). Pediatric appendicitis. Medscape reference.
http://emedicine.medscape.com/article/926795. Di akses tanggal 25 November 2018.
Mubarak, Wahid Iqbal. (2007). Pemenuhan Kebutuhan Cairan dan Elektrolit. Jakarta: EGC.
Muscari, Mary E. (2005). Panduan Belajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EG.
Muttaqin, Arif. (2010). PengkajianKeperawatanaplikasidalampraktikklinik. Jakarta: Salemba
Medika.
Myburgh, John A., MB, B.Ch., Ph.D., dan Michael G. Mythen. Resusictation Fluids. The New
England Journal of Medicine, 369(13): 452.
Obinna O, Adibe, Oliver J, et al. (2010). Severity of appendicitis corelates with the pediatric
appendicitis score. Pediatr Surg Int, 27:655-658. Di akses tanggal 25 November 2018.
Porter, Dawn C., Gujarati, Damodar. (2010). Dasar-Dasar Ekonometrika. Jakarta: Salemba
Empat
Potter, P.A & Perry A.G. (2012). Fundamental of Nursing. Jakarta: EGC.
Priambodo, A.P. (2016). Pengkajian Nyeri pada Pasien Kritis dengan Menggunakan Critical Pain
Observation Tool(CPOT) di Intensive Care Unit (ICU).
jkp.fkep.unpad.ac.id/index.php/jkp/article/view/239. Di akses tanggal 25 November 2018.
Putriana, Dittasari., Fillah Fithra Dieny. (2014). Konsumsi cairan priode latihan dan status
hidrasi setelah latihan pada atlet sepak bola remaja. Journal of Nutrition College, 3 (4):
691.
Saputra, Lyndon. (2012). Pengantar Kebutuhan Manusia. Tanggerang Selatan: Binarupa Aksara
Publikasi.
Tarwoto & Wartonah. (2004). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan Edisi 1.
Jakarta: Salemba Jakarta.
Tarwoto & Wartonah. (2010). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan Edisi 4.
Jakarta: Salemba Jakarta.
Wesson DE, Singer JI, Wiley JF. (2014). Acute appendicitis in children.
http://www.uptodate.com/contents/acute-appendicitis-in-children. Di akses tanggal 25
November 2018.
Windy C.S & Sabir. (2016). Perbandingan Antara Suhu Tubuh, Kadar Leukosit dan Platelet
Distributuon Width (PDW) Pada Apendisitis Akut dan Apendisitis Perforasi Di Rumah
Sakit Umum Anutapura Palu Tahun 2014. Jurnal Kesehatan Tadulako Vol 2 No 2; 1-72.

Anda mungkin juga menyukai