Anda di halaman 1dari 14

PAPER

“APENDISITIS’’

Paper ini dibuat Sebagai Salah Satu Persyaratan Mengikuti


Kepaniteraan Klinik
Di Rumah Sakit Umum Haji Medan

Pembimbing :

dr. Martanta

Disusun Oleh :

REVILA AULIA

102119086

KEPANITERAAN KLINIK
RUMAH SAKIT HAJI MEDAN SUMATERA UTARA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BATAM
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb Puji dan syukur saya panjatkan ke Hadirat Allah SWT
Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya. Tak lupa pula Salawat
beserta Salam kita panjatkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa
kita dari alam Jahiliah ke alam penuh ilmu pengetahuan seperti sekarang ini. Sehingga
penulis dapat menyusun Paper dengan judul “Phthisis Bulbi” sebagai salah satu syarat
untuk memenuhi Kepaniteraan Klinik Senior Mata Dalam Program studi Kedokteran
Universitas Batam tepat pada waktunya.

Penulis makalah ingin mengucapkan terimakasih kepada dr. Ayu Nur Qomariyati,
Sp.M selaku dokter pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membantu dan
memberikan pengarahan serta bimbingan kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan benar.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan ini. Oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat
membangun. Semoga karya tulis ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan bermanfaat
bagi semua pihak yang membacanya.

Medan, 2020

(Revila Aulia)
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Apendisitis adalah salah satu kasus bedah abdomen yang paling sering terjadi di

dunia. Apendektomi menjadi salah satu operasi abdomen terbanyak di dunia. Sebanyak

40% bedah emergensi di negara barat dilakukan atas indikasi apendisitis akut (Lee et al.,

2010; Shrestha et al., 2012).

Data dari WHO (World Health Organization) menyebutkan bahwa insiden

apendisitis di Asia dan Afrika pada tahun 2004 adalah 4,8% dan 2,6% dari total populasi

penduduk. Di Amerika Serikat, sekitar 250.000 orang telah menjalani operasi

apendektomi setiap tahunnya. Sumber lain juga menyebutkan bahwa apendisitis terjadi

pada 7% populasi di Amerika Serikat, dengan insidens 1,1 kasus per 1000 orang per

tahun. Penyakit ini juga menjadi penyebab paling umum dilakukannya bedah abdomen

darurat di Amerika Serikat. Di negara lain seperti negara Inggris, juga memiliki angka

kejadian apendisitis yang cukup tinggi. Sekitar 40.000 orang masuk rumah sakit di

Inggris karena penyakit ini (WHO, 2004; Peter, 2010).

Departemen Kesehatan RI pada tahun 2006 menyebutkan bahwa apendisitis

menempati urutan keempat penyakit terbanyak di Indonesia setelah dispepsia, gastritis,

duodenitis, dan penyakit sistem cerna lain dengan jumlah pasien rawat inap sebanyak

28.040 orang. Kejadian appendisitis di provinsi Sumatera Barat tergolong cukup tinggi.

Angka kejadian apendisitis secara umum lebih tinggi di negara-negara industri

dibandingkan negara berkembang. Hal ini disebabkan oleh kurangnya asupan serat serta

tingginya asupan gula dan lemak yang dikonsumsi


oleh penduduk di negara industri tersebut. Berbeda dengan negara berkembang yang konsumsi

seratnya masih cukup tinggi sehingga angka kejadian apendisitis tidak setinggi di negara industri

(Depkes RI, 2006; Longo et al., 2012).

Insiden apendisitis pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur

20-30 tahun sedikit lebih banyak pada laki-laki dibandingkan pada perempuan dengan rasio 1,4 :

1. Insiden tertinggi terjadi pada umur ini. (Riwanto et al., 2010; Horn, 2011; Lindseth, 2002).
BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. DEFINISI

Apendisitis adalah suatu proses obstruksi yang disebabkan oleh benda asing

batu feses kemudian terjadi proses infeksi dan disusul oleh peradangan dari apendiks

verivormis (Nugroho, 2011). Apendisitis merupakan peradangan yang berbahaya jika

tidak ditangani segera bisa menyebabkan pecahnya lumen usus (Williams & Wilkins,

2011). Apendisitis adalah suatu peradangan yang berbentuk cacing yang berlokasi

dekat ileosekal (Reksoprojo, 2010).

Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai

cacing. Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan

tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya

(Sjamsuhidajat, 2010).

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan


penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur
baik laki - laki maupun perempuan tetapi lebih sering menyerang laki - laki berusia
antara 10 sampai 30 tahun ( Mansjoer,Arief,dkk, 2007 ).

B. Anatomi
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-
15cm), dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian
distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan
menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden
appendicitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu
memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks
penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang
caecum, di belakang colon ascendens, atau di tepi lateral colon ascendens. Gejala klinis
appendicitis ditentukan oleh letak apendiks. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus
yang mengikuti a.mesenterica superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendicitis bermula di sekitar
umbilicus. Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa
kolateral.
C. Etiologi

1. Penyumbatan. Sisa makanan atau kotoran yang mengeras dapat terjebak di dalam
lubang pada rongga perut yang mengisi apendiks.
2. Infeksi. Apendisitis dapat juga dikarenakan infeksi, seperti infeksi virus
gastrointestinal, atau mungkin karena jenis pembengkakan lainnya.
3. Usus buntu berbelit
4. Parasit (misalnya cacing)
5. Adhesi dinding usus
6. Kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi

Menurut Nuzulul ( 2009 ) Apendisitis belum ada penyebab yang pasti


atau spesifik tetapi ada faktor presdisposisi yaitu :
1. Faktor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi
ini terjadi di :
a. Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.

b. Adanya fekolit dalam lumen apendiks.

c. Adanya benda asing seperti biji – bijan.

d. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.

2. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E.coli &
Streptococcus.
3. Laki – laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15 – 30
tahun ( remaja dewasa ). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan
limfoid pada masa tersebut.
4. tergantung pada bentuk apendiks:
a. apendiks yang terlalu panjang
b. Masa apendiks yang pendek.
c. Penonjolan jaringan limfoid pada lumen apendiks.
d. Kelainan katup di pangkal apendiks.
D. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hyperplasia folikel limfoid , fekolit , benda asing , struktur karena fikosis
akibat peradangan sebelumnya atau neoplasma. Obstruksi tersebut
menyebabkan mucus diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama
mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
intralumen, tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe
yang mengakibatkan edema. Diaforesis bakteri dan ulserasi mukosa pada saat
inilah terjadi apendisitis akut fokal yang di tandai nyeri epigastrum.
Sekresi mucus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri
akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang timbul meluas dan
mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di abdomen
kanan bawah, keadaan ini disebut dengan apendisitis sakuratif akut. Aliran
arteri terganggu akan terjadi infrak dinding apendiks yang di ikuti dengan
gangrene stadium ini disebut dengan apediksitis gangrenosa. Bila dinding
yang telah rapuh ini pecah akan terjadi apendisitis perforasi.

Semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang


berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu masa lokal
yang disebut infiltrate appendikularis, peradangan apendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang.
Anak - anak karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, dinding apendiks lebih tipis, keadaan tersebut ditambah dengan daya
tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan
pada orangtua perforasi mudah terjadi karena telah terjadi kelainan pada
pembuluh darah (Mansjoer, 2003).
E. Manifestasi Klinis
Menurut Wijaya AN dan Putri (2013), gejala-gejala permulaan pada apendisitis

yaitu nyeri atau perasaan tidak enak sekitar umbilikus diikuti anoreksia, nausea dan

muntah, ini berlangsung lebih dari 1 atau 2 hari. Dalam beberapa jam nyeri bergeser ke

nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di

titik Mc. Burney, nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung, nyeri pada kuadran

kanan bawah saat kuadran kiri bawah ditekan, nyeri pada kuadran kanan bawah bila

peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk, dan mengedan, nafsu makan

menurun, demam yang tidak terlalu tinggi, biasanya terdapat konstipasi, tetapi kadang-

kadang terjadi diare.

F. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang post operasi apendiktomi menurut Wijaya dan Putri (2013),
yaitu:

3) Laboratorium

Pada pemeriksaan ini leukosit meningkat rentang 10.000 –hingga 18.000 / mm3,
kemudian neutrofil meningkat 75%, dan WBC meningkat sampai
20.000 mungkin indikasi terjadinya perforasi (jumlah sel darah merah)

4) Pemeriksaan Diagnostik

Radiologi yaitu pada pemeriksaan ini foto colon menunjukkan adanya batu feses
pada katup. Kemudian pada pemeriksaan barium enema
:menunjukkan apendiks terisi barium hanya sebagian.
G. Penatalaksanaan

Pada penatalaksanaan post operasi apendiktomi dibagi menjadi tiga (Brunner &
Suddarth, 2010), yaitu:

1) Sebelum operasi

a. Observasi
Dalam 8-12 jam setelah munculnya keluhan perlu diobservasi ketat karena tanda
dan gejala apendisitis belum jelas. Pasien diminta tirah baring dan dipuasakan.
Laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendisitis. Diagnosis ditegakkan
dengan lokasi nyeri pada kuadran kanan bawah setelah timbulnya keluhan.
b. Antibiotik
Apendisitis ganggrenosa atau apenditis perforasi memerlukan antibiotik, kecuali
apendiksitis tanpa komplikasi tidak memerlukan antibiotik. Penundaan tindakan
bedah sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau preforasi.

2) Operasi
Operasi / pembedahan untuk mengangkat apendiks yaitu apendiktomi. Apendiktomi
harus segera dilakukan untuk menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat
dilakukan dibawah anestesi umum dengan pembedahan abdomen bawah atau dengan
laparoskopi. Laparoskopi merupakan metode terbaru yang sangat efektif (Brunner &
Suddarth, 2010).
Apendiktomi dapat dilakukan dengn menggunakan dua metode pembedahan, yaitu
secara teknik terbuka (pembedahan konvensional laparatomi) atau dengan teknik
laparoskopi yang merupakan teknik pembedahan minimal invasive dengan metode
terbaru yang sangat efektif (Brunner & Suddarth, 2010).
a. Apendektomi
Apendektomi langsung dilakukan ketika diagnosis apendisitis ditegakkan.
Antibiotik biasanya diberikan juga segera setelah diagnosis tegak. Apendektomi
harus dilengkapi dengan pemberian antibiotik IV. Pilih antibiotik yang baik untuk
bakteri gram negatif anaerob dan enterobakter, yang banyak digunakan adalah
sefalosporin generasi ketiga. Pemberian antibiotik terutama pada apendisitis
perforasi dan diteruskan hingga suhu tubuh dan hitung jenisnya sudah kembali
normal. Pemberian antibiotik ini dapat menurunkan angka kematian.
Ada pasien yang inflamasi dan infeksinya ringan dan terlokalisasi pada daerah
yang kecil. Tubuhnya dapat menyelesaikan inflamasi tersebut. Pasien seperti ini
tidak terlalu sakit dan mengalami kemajuan setelah beberapa hari observasi.
Apendisitis ini disebut apendisitis terbatas dan dapat ditata laksana dengan antibiotik
saja. Apendiks dapat diangkat segera atau beberapa saat setelahnya.
Jika tata laksana terlambat dan ruptur telah terjadi untuk beberapa hari bahkan
beberapa minggu, abses biasanya telah terbentuk dan perforasi dapat sudah menutup.
Jika abses kecil, dapat ditatalaksana dengan antibiotik, tetapi biasanya abses
memerlukan drainase. Tabung kecil dari plastik atau karet dimasukkan lewat kulit ke
dalam abses dengan bantuan ultrasound atau CT yang menunjukkan lokasi abses.
Tabung tersebut mengalirkan pus ke luar tubuh. Apendiks dapat diangkat beberapa
minggu atau bulan setelah abses dikeluarkan. Ini disebut interval apendektomi dan
dilakukan untuk mencegah serangan apendisitis berikutnya.
Insisi sepanjang 2-3 inci dibuat pada kulit dan lapisan dinding perut diatas area
apendiks yaitu pada kuadran kanan bawah abdomen. Setelah insisi dibuat ahli bedah
akan melihat daerah sekitar apendiks, apakah ada masalah lain selain apendisitis, jika
tidak ada, apendiks akan diangkat. Pengangkatan apendiks dilakukan dengan
melepaskan apendiks dari perlekatannya dengan mesenterium abdomen dan kolon,
menggunting apendiks dari kolon, dan menjahit lubang pada kolon tempat apendiks
sebelumnya. Jika ada abses, pus akan didrainase. Insisi tersebut lalu dijahit dan
ditutup.
b. Laparoskopi

Teknik terbaru dengan laparoskopi. Laparoskopi adalah prosedur pembedahan dengan


fiberoptik yang dimasukkan ke dalam abdomen melalui insisi kecil yang dibuat pada dinding
abdomen. Dengan laparoskopi kita bisa melihat langsung apendiks, organ abdomen dan pelvis
yang lain. Jika apendisitis ditemukan, apendiks dapat langsung diangkat melalui insisi kecil
tersebut. Laparoskopi dilakukan dengan anestesi general. Keuntungannya setelah operasi,
nyerinya akan lebih sedikit karena insisinya lebih kecil serta pasien bisa kembali beraktivitas lebih
cepat. Keuntungan lain adalah dengan laparoskopi ini ahli bedah dapat melihat abdomen terlebih
dahulu jika diagnosis apendisitis diragukan. Sebagai contoh, pada wanita yang menstruasi dengan
rupture kista ovarium yang gejalanya mirip apendisitis.
Jika apendiks tidak ruptur, pasien dapat pulang dalam 1-2 hari, jika terdapat perforasi, ia
dapat tinggal selama 4-7 hari, terutama jika terjadi peritonitis. Antibiotik intravena dapat diberikan
untuk mengobati infeksi dan membantu penyembuhan abses.

Jika saat pembedahan, dokter menemukan apendiks yang terlihat normal, dan tidak ada penyebab
lain dari masalah pasien, lebih baik mengangkat apendiks yang terlihat normal tersebut daripada
melewatkan apendisitis yang awal atau kasus apendisitis yang ringan.

3) Setelah operasi

Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di


dalam, hipertermia, syok atau gangguan pernafasan. Baringkan klien dalam posisi semi
fowler. Klien dikatakan baik apabila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama itu
klien dipuasakan sampai fungsi usus kembali normal. Satu hari setelah dilakukan
operasi klien dianjurkan duduk tegak di temmpat tidur selama 2 x 30 menit. Hari kedua
dapat dianjurkan untuk duduk di luar kamar. Hari ke tujuh dapat diangkat dan
dibolehkan pulang (Mansjoer, 2010).

H. Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pada apendisitis menurut Smeltzer dan Bare (2009). yaitu :
a. Perforasi
Perforasi berupa massa yang terdiri dari kumpulan apendiks, sekum, dan

letak usus halus. Perforasi terjadi 70% pada kasus dengan peningkatan suhu 39,50C
tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut dan leukositosis meningkat akibat perforasi
dan pembentukan abses.

b. Peritonitis

Peritonitis yaitu infeksi pada sistem vena porta ditandai dengan panas tinggi 39 0C –

400C menggigil dan ikterus merupakan penyakit yang jarang.


Kesimpulan

Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan

merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa.

Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada

anak-anak dan remaja Gejala appendicitis akut pada anak tidak spesifik . Gejala awalnya

sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa

nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anaka akan

menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, appendicitis sering

diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi, 80-90% appendicitis baru diketahui setelah

terjadi perforasi. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal

yang paling penting dalam mendiagnosis appendicitis.

Anda mungkin juga menyukai