Anda di halaman 1dari 14

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Appendistis

1. Definisi Appendistis

Menurut Wlm de Jong et all. (2005), Apendistis adalah proses

peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbi cacing atau disebut

appendikss. Infeksi ini biasa mengakibatkan komplikasi apabila tidak segera

untuk penanganannya. (Hariyanto.A dan Sulistyowati.R, 2015:71).

Appendistis adalah ujung seperti jari kecil panjangnya kira-kira 10 cm

94 inci, melekat pada sekum tepat dibawah katup ileosekal. Appendikss berisi

makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena

pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil, appendikss cenderung

menjadi tersumbat dan rentang terhadap infeksi. Appendistis merupakan

peradangan pada appendikss (umbai cacing). (Ratu.A dan Adwan.M,2013:86).

Karson dan Susilawati (2018) menyatakan bahwa Appendistis adalah

peradangan pada appendikss vermiformis dan merupakan penyebab akut

abdomen yang paling sering. Appendistis adalah penyebab paling umum

inflamasi akut pada kuadran kanan bawah rongga abdomen dan penyebab

paling umum untuk abdomen paling darurat. Appendisitis adalah peradangan

appendikss yang mengenai semua lapisan dinding organ tersebut. Appendisitis

adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalit (batu

feses), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus.


8

Peradangan pada appendikss memerlukan tindak bedah segera untuk

mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya. Peradaangan pada

appendikss merupakan kuasa laparotomi tersering pada anak dan orang

dewasa. Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur tetapi paling banyak

ditemukan pada usia 20-30 tahun, pada anak terutama terjadi pada usia 6-10

tahun dan pada anak yang kurang dari satu tahun jarang dilaporkan karena

appendiks pada bayi berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan

menyempit kearah ujungnya. Angka insiden appendisitis akut paling banyak

ditemukan pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan 1,4: 1. Rata-rata

mortalitas akibat appendisitis akut ini secara keseluruhan dapat mencapai

0,3% dan meningkat menjadi 6,5% apabila terjadi appendisitis komplikata.

Pada appendisitis akut ada dua klasifikasi berdasarkan klinikopatologis yaitu

non komplikata (appendistis kataralis dan supuratif) dan komplikata

(gangrenosa dan perforasi).

Gambar 1. Lokasi Appendiks


9

2. Klasifikasi

Karson dan Susilawati (2018:317) Klasifikasi apendisitas berdasar

periode kejadian terbagi menjadi dua yaitu, appendistis akut dan appendistis

kronik.

a) Appendistis akut

Appendistis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh

radang mendadak pada appendikss yang memberikan tanda setempat, disertai

maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala appendistis akut

ialah nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah

epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual, muntah dan

umumnya nafsu makan menurun. Dalam berapa jam nyeri akan berpindah ke

titik Mc.Burney. nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga

merupakan nyeri somantik setempat.

b) Appendistis kronik

Diagnosis appendistis kronik baru dapat dapat ditegakkan jika

ditemukan adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu,

radang kronik appendikss secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria

mikroskopik appendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding

appendikss, sumbatan parsial atau total lomen appendikss, adanya jaringan

perut dan ulkus lama di mukosa dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden

apendisitius kronik antara 1-5%. Appendistis kronik kadang-kadang dapat

menjadi akut lagi dan disebut appendisitis kronik dengan eksaserbasi akut

yang tampak jelas sudah adanya pembentukan jaringan ikat.


10

3. Etiologi

Karson dan Susilawati (2018:320) faktor resiko yang mempengaruhi

terjadinya appendistis ditinjau dari teori Blum dibedakan menjadi empat

faktor, yaitu:

a) Faktor biologi antara lain usia, jenis kelamin.

b) Faktor lingkungan terjadi akibat obstruksi lumen akibat infeksi bakteri,

virus parasit, cacing dan benda asing dan sanitasi lingkungan yang kurang

baik.

c) Faktor pelayanan kesehatan juga menjadi resiko appendistis baik dilihat

dari pelayanan kesehatan yang diberikan oleh layanan kesehatan baik dari

fasilitas maupun non-fasilitas.

d) Faktor perilaku seperti asupan rendah serat yang dapat mempengearuhi

defekasi dan fekalit yang menyebapkan obstuksi lumen sehingga memiliki

resiko appendistis yang lebih tinggi.

Penyebab utama apendisitis akut adalah oleh karena adanya

penyumbatan pada lumen apendik yang diikuti dan terjadinya peradangan

akut. Dimana sumbatan ini dapat terjadi oleh karena fekalit, hiperplasia

limfoid, benda asing, parasit, adanya sturuktur atau tumor pada dinding

apendik. Penyebab obstruksi yang paling sering adalah fekalit. Fekalith

ditemukan pada sekitaran 20% anak dengan appendisitis. Penyebap lain dari

obstruksi apendiks meliputi: hiperplasia folikel Iymphoid carcinoid atau tumur

lainya, benda asing (pin, biji-bijian), kadan parasit yang diduga menimbulkan

appendisitis adalah parasit E. Histolytica. Berbagi special bakteri yang dapat


11

disolasi pada pasien Appendisitis yaitu: Bakteri aerob fakultatif Bakteri

anaerob Escherichia coli, viridans streptococci, Pseudomonas aeruginosa,

Enterococcus, Bacteroides fragilis, Peptostreptococcus micros, Bilophilia

species, Lactobacillus special.

Akibat dari penyumbatan lumen appendiks yang mengikuti mekanisme

“close loop obstruction” menyebapkan penumpukan mukus dan meningginya

tekanan intra lumen dan distensi lumen appendik. Peninggian tekanan

intralumen ini akan menyebabkan hambatan aliran limfe, sehingga terjadi

edema disertai hambatan aliran vena dan arteri apendik. Keadaan ini

menyebabkan terjadinya iskemik dan nekrosis, bahkan dapat terjadi perforasi.

Pada saat terjadi obstruksi akan terjadi proses sekresi mukus yang akan

menyebabkan peningkatan tekanan intraluminer dan distensi lumen maka

kondisi ini akan menstimulasi serat saraf eferen viseral yang kemudian

diteruskan menuju korda spinalis TH8 – TH10, sehingga akan timbul

penjalaran nyeri di daerah epigastrium dan preumbilikal. Nyeri viseral ini

bersifat ringan, sukar dilokalisasi dan lamanya sekitar 4-6 jam disertai

timbulnya anoreksia, mual dan muntah.

Peningkatan tekanan intraluminar akan menyebapkan peningkatan

tekanan perfusi kapiler, yang akan menimbulkan pelebaran vena, kerusakan

arteri dan iskemi jaringan. Dengan rusaknya barier dari epitel mukusa maka

bakteri yang sudah berkembnag biak dalam lumen akan mengivasi dinding

apendik sehingga akan terjadi inflamasi transmural. Selanjutnya iskemia

jaringan yang berlanjut akan menimbulkan infark dan perforasi. Proses


12

inflamasi akan meluas ke peritoneum parietalis dan jaringan sekitarnya,

termasuk ileum terminal, sekum, dan organ pelvis.

4. Patofisiologi

Karson dan Susilawati (2018:322) Appendistis terjadi dari proses

inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-36 jam setelah setelah

munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukan abscess setelah 2-3

hari Appendisitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara lain

obstruksi oleh fecalith, gallstone, tumor, atau bahkan oleh cacing (Oxyurus

vermicularis), akan tetapi paling sering disebabkan obstruksi oleh fecalith dan

kemudian diikuti oleh proses peradangan. Hasil observasi epidemilogi juga

menyebutkan bahwa obstruksi fecalith adalah penyebab terbesar, yaitu sekitar

20% pada anak dengan appendisitis akut dan 30-40% pada anak dengan

perforasi appendikss. Hiperplasia folikel limfoid appendikss juga dapat

menyebabkan obstruksi lumen. Insidensi terjadinya apedisitis berhubungan

dari reaksi jaringan limfatik baik lokal atau general misalya akibat infeksi

yersinia salmonella dan shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba,

Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau

ascaris.Appendistis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau

sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Pasien dengan

cyctic flibrosis memiliki peningkatan insidensi appendisitis akibat perubahan

pada kalenjer yang mensekresi mucus. Carcinoid tumor juga dapat

mengakibatkan obstruksi appendikss, khusunya jika tumor berlokasi di 1/3

proksimal. Selama lebih 200 tahun, benda asing seperti pin, biji sayuran, dan
13

batu cherry dilibatkan dalam terjadinya appendisitis. Trauma, stres psikologis,

dan herediter juga mempengaruhi terjadinya appendisitis. Awalnya pasien

akan merasa gejala gastrointestinal ringan seperti berkurangnya napsu makan,

perubahan kebiasaan BAB yang minimal, dan kesalahan pencernaan.

Anoreksia berperan penting pada diagnosis appendistis, khususnya pada anak-

anak.

B. Tinjauan Tentang Faktor Resiko Penderita Appendisitis

Faktor biologi antara lain usia, jenis kelamin.

Usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan

suatu benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Appendistis

bisa terjadi pada semua usia namun jarang terjadi pada usia dewasa akhir dan

balita, kejadian appendistis ini meningkat pada usia remaja dan dewasa.Usia

20 – 30 tahun bisa dikategorikan sebagai usia produktif, Dimana orang yang

berada pada usia tersebut melakukan banyak sekali kegiatan. Hal ini

menyebabkan orang tersebut mengabaikan nutrisi makanan yang

dikonsumsinya. Akibatnya terjadi kesulitan buang air besar yang akan

menyebabkan peningkatan tekanan pada rongga usus dan pada akhirnya

menyebabkan sumbatan pada saluran appendikss. (Adhar Arifuddin, Lusia

Salmawati, 2017)

Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur tetapi paling banyak

ditemuka usia 20-30 tahun, pada anak terutama terjadi pada usia 6-10 tahun

dan pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan karena appendiks pada

bayi berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah


14

ujungnya. Angka inseden appendistis paling banyak ditemukan pada laki-laki

dibandingkan wanita 1,4 : 1. (Karson dan Susilawati, 2018)

Jenis kelamin adalah perbedaan bentuk, sifat, dan fungsi biologi laki-laki

dan perempuan yang menentukan perbedaan peran meraka dalam

menyelenggarakan upaya meneruskan garis keturunanan.

Kejadian appendicitis bisa terjadi sebanyak 7 % dari populasi. Pada pria

resikonya cenderung lebih tinggi dibandingkan wanita. (Manurung N, 2018)

Penelitian Indri U, dkk (2014), mengatakan risiko jenis kelamin pada

kejadian penyakit appendistis terbanyak berjenis kelamin laki-laki dengan

presentase 72,2% sedangkan berjenis kelamin perempuan hanya 27,8%. Hal

ini dikarenakan laki-laki lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah

untuk bekerja dan lebih cenderung mengkonsumsi makanan cepat saji,

sehingga hal ini dapat menyebabkan beberapa komplikasi atau obstruksi pada

usus yang bias menimbulkan masalah pada system pencernaan salah satunya

yaitu appendistis.

Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran feces.

Makanan yang mengandung serat penting untuk memperbesar volume feces

dan makan yang teratur mempengaruhi defekasi. Faktor Individu yang makan

pada waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon

fisiologi pada pemasukan makanan dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di

kolon sehingga menyebabkan terjadinya appendistis. Frekuensi defekasi yang

jarang akan mempengaruhi konsistensi feces yang lebih padat sehingga terjadi

konstipasi. Konstipasi menaikkan tekanan intracaecal sehingga terjadi


15

sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal

kolon. Pengerasan feces memungkinkan adanya bagian yang terselip masuk ke

saluran appendiks dan menjadi media kuman/bakteri berkembang biak sebagai

infeksi yang menimbulkan peradangan pada appendiks tersebut.

Serat makanan adalah polisakarida yang terdapat dalam semua makanan

nabati. Serat tidak dapat di cerna olch enzim cerna tapi dapa pengaruh baik

untuk kesehatan. Serat terdiri atas cua golongan, yaitu serai larut air dan tidak

larut air. Serat tidak larut air adalah selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang

banyak terdapat dalam dedak beras, gandum, sayuran dan buah-buahan.

Serat golongsn ini dapat melancarkan defekasi sehingga mencegah

konstipasi, appendistis dan hemoroid. Serat larut air yaitu pectin dan mukilase

yang banyak terdapat dalam kacang-kacangan, sayur dan buah- buahan. Serat

dalam golongan ini dapat mengikat asam empedu sehingga dapat menerunkan

absorbsi lemak dan kolesterol darah, schingga menurunkan risiko dan

memberikan beberapa manfaat penting dari mengkonsumsi makanan berseral,

antar lain: mencegah sembelit, membantu menurunkan kadar kolesterol,

mencegah atau meringankan penyakit jantung koroner, mencegah kanker usus,

membantu menurunkan berat badan , menjaga kadar gula darah tetap stabil,

mengurangi risiko stroke dan hipertensi, menurunkan risiko obesitas,

menurunkan risiko terkena wasir, serta dapat mencegah kanker kolon dengan

mengikat dan mengeluarkan bahan-bahan karsinogen dalam usus (Ramlina

Sitti, 2015).

Konsumsi harian yang disarankan untuk serat adalah:


16

a. anak-anak berusia 1–3 tahun: 19 gram

b. anak-anak berusia 4–8 tahun: 25 gram

c. anak laki-laki berusia 9–13 tahun: 31 gram

d. pria berusia 14–50 tahun: 38 gram

e. pria berusia 51 tahun ke atas: 30 gram

f. perempuan berusia 9–18 tahun: 26 gram

g. wanita berusia 19–50 tahun: 25 gram

h. wanita berusia 51 tahun ke atas: 21 gram

i. wanita hamil: 28 gram

j. wanita menyusui: 29 gram

Rata-rata konsumsi serat penduduk indonesia adalah 10,5 gram perhari.

Asupan serat pangan yang rendah sering menyebabkan masalah kesehatan

pada negara berkembang. Hal ini kerana sumber serat pangan tidak

diperkenalkan sejak dini serta suasana dan penyajian yang kurang menarik

menyebabkan terjadi pergeseran ke arah makanan siap saji. Pola makanan

tersebut cenderung menyebabkan kita menderita penyakit sistem

gastrointestinal yang paling banyak adalah appendistis. Makanan merupakan

kebutuhan pokok bagi kita semua orang. Tuntutan agar dapat memenuhi

kebutuhan terhadap makanan dirasakan secara naluriah sejak bayi hingga

manula atau lansia.Tanpa diajarkan terlebih dahulu, setiap orang pasti bersaha

memenuhi kebutuhan terhadap makanan.Makanan merupakan kebutuhan

primer yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Fungsi pangan

yang paling utama bagi manusia adalah memenuhi kebutuhan zat-zat gizi
17

tubuh yang sesuai dengan jenis kelamin, usia, aktivitas fisik, dan bobot tubuh.

Fungsi pangan demikian dikenal dengan istilah fungsi primer (primary

function) (Denny Indra Praja Hadisaputra, 2012:12).

Menurut Ulandari R. 2014 mengatakan bahwa pola makan yang kurang

serat menyebabkan appendistis,selain itu bahan makanan yang dikonsumsi

dan cara pengolahan serta waktu makan yang tidak teratur sehingga hal ini

dapat menyebabkan appendistis. kebiasaan pola makan yang kurang dalam

mengkonsumsi serat yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional appendiks

dan meninggkatkan pertumbuhan kuman, sehingga terjadi peradangan pada

Appendikss.

Penerapan pola hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari belum

sepenuhnya diterapkan terutama yang berkaitan dengan kesehatan perorangan.

Salah satu contohnya adalah masyarakat yang kurang mengkonsumsi serat

(diet rendah serat). Hal ini sering di jumpai pada masyarakat perkotaan yang

mengadopsi kebiasaan masyarakat modern di Negara-negara maju. Kebiasaan

kurang yang mengkonsumsi serat ini sering mengakibatkan tinja yang

mengeras. Tinja yang mengeras pada umumnya dapat mengakibatkan tekanan

di dalam sekum. Hal ini berakibat timbulnya sumbatan fungsional appendikss.

Oleh karena itu karena itu untuk memenuhi beberapa fungsi tersebut, harus

makan makanan yang bergizi dan berserat tinggi. Makan yang bergizi yaitu

makan yang mengandung zat-zat yang di perlukan oleh tubuh. (Ulandari R.

2014)
18

Tabel 1

Sintetis hasil penelitian sebelumnya

Judul Jenis
Populasi dan Sampel Hasil Penelitian
Penelitian Penelitian
Hubungan Penelitian Populasiyang Kebiasaan makan
Kebiasaan observasional melibatkan 114 menunjukkan
Makan dan dengan responden berusia 6- hubungan
Status Gizi rancangan 15 tahun yang bermakna terhadap
Terhadap penelitian dibagi menjadi dua kejadian
Kejadian case control kelompok. Kelompok appendistis pada
Appendistis . kasus adalah pasien anak p=0,001
pada Anak di anak pasca operasi (OR=14,87;
Yogyakarta appendistis di RS IK95%:3,28-
(Atikasari, Khusus Anak 45, 67,43). Status gizi
2015) RSUP Dr. Sardjito, menunjukkan
RS PKU hubungan
Muhammadiyah bermakna terhadap
Yogyakarta, dan kejadian
RSKIA Bhakti Ibu, appendistis pada
sedangkan kelompok anak p=0,042
kontrol adalah anak (OR=2,60;
yang belum pernah IK95%:1,02-6,65).
menjalani operasi
appendistis dan
bertempat tinggal satu
wilayah dengan
kelompok kasus
Hubungan Desain Sampel dalam Hasil penelitian ini
Konsumsi penelitian penelitian ini dari 30
Makanan yang berjumlah 60 Responden
19

Berserat digunakan orang yaitu 30 sebagai kelompok kasus


Dengan adalah studi kelompok kasus dan didapatkan 29
Appendistis kasus-kontrol. 30 orang sebagai responden (96,7%)
Pada Anak Di Data kelompok kontrol. mengkonsumsi
Rumah Sakit dianalisis makanan serat
Umum denganFisherâ rendah.
Daerah Dr. €™s Exact Disimpulkan
Zainoel Test. bahwa terdapat
Abidin Banda hubungan antara
Aceh. (Free et konsumsi makanan
al., 2013) berserat dengan
kejadian
appendistis pada
anak (p > 0,013).
Faktor Risiko Berdasarkan Populasi pada Hasil penelitian
Kejadian permasalahan penelitian ini adalah didapatkan bahwa
Appendistis yang diteliti, semua pasien dengan faktor pola makan
Di Rumah maka jenis diagnosa appendistis (p = 0,133) tidak
Sakit Umum penelitian ini berdasarkan hasil mempunyai nilai
Daerah adalah non laboratorium yang ada statistic sehingga
Kab. Pangkep. eksperimen di Rumah Sakit faktor ini tidak
( Sirma F, dengan Umum Daerah Kab. memiliki
dkk, 2013) metode Pangkep. Pengambilan hubungan dengan
pendekeatan data dilakukan dengan kejadian
cross menggunakan appendistis.
sectional. kuesioner. Sebanyak Sedangkan faktor
36 responden. Data jenis makanan
yang diperoleh (p=0,001)
diolah dengan uji memiliki
statistik Chi-square.. hubungan dengan
dengan tingkat kejadian
20

kemaknaan signifikan appendistis di


α <0.05 dengan p<α Rumah Sakit
maka hipotesis Umum Daerah
diterima. Kab. Pangkep
Faktor observasional Jumlah sampel sebesar Hasil penelitian
Risiko analitik 54 pasien appendistis menunjukkan usia
Kejadian dengan dan 108 pasien non (OR = 4,717 pada
Appendist pendekatan appendistis,diambil CI 95% 2,331 -
is Di case dengan menggunakan 9,545) dan pola
Bagian controlstudy teknik accidental makan (OR =
Rawat sampling. Data 3,455 pada CI 95%
Inap dianalisis secara 1,717 – 6,949)
Rumah analisis univariat serta merupakan faktor
Sakit analisis bivariat risiko terhadap
Umum dengan menggunakan appendistis dan
Anutapur uji Odd Ratio (OR), jenis kelamin (OR
a Palu pada taraf = 0,657 pada CI
(Adhar kepercayaan 95%. 95% 0,337 –
Arifuddin 1,284) bukan
, Lusia merupakan risiko
Salmawat appendistis
i, 2017)

Anda mungkin juga menyukai