Anda di halaman 1dari 24

Case Report

Appendicitis
Diajukan sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada
Bagian/SMF Bedah di Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Oleh :
Munawarah
Bustanil Fadli

Preseptor :
dr. T. Yusrialdi, Sp B, Sp BA

BAGIAN/SMF BEDAH
RUMAH SAKIT UMUM DR. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
kasih dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas Laporan Kasus dalam
menjalani kepaniteraan klinik senior pada Bagian/SMF Ilmu Kardiologi dengan judul
Appendicitis dengan baik dan semaksimal mungkin.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun referat ini penulis banyak menemukan
berbagi hambatan ataupun kesulitan. Namun atas bantuan dari berbagai pihak maka
penulis pun dapat menyelesaikan tugas laporan kasus ini tepat pada waktunya. Tidak lupa
penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada kedua orangtua kami, kepada preseptor
dan pembimbing kami dr. T. Yusrialdi, Sp B, Sp BA, kepada staf perawat, administrasi,
rekan-rekan dokter muda, serta pihak-pihak lain yang telah membantu penyelesaian dari
laporan kasus ini.
Tak lupa penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila ada kesalahan dalam
penulisan laporan kasus ini. Kiranya buku laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi dunia
kesehatan untuk bangsa dan negara.

Banda Aceh, 20 Juni 2017

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan


merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa.
Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada
anak-anak dan remaja. Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi di
Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun.
Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum pada
anak sebelum usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan appendicitis akut mengalami
perforasi setelah dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan peningkatan pemberian
resusitasi cairan dan antibiotik yang lebih baik, appendicitis pada anak-anak, terutama
pada anak usia prasekolah masih tetap memiliki angka morbiditas yang signifikan.
Diagnosis appendicitis akut pada anak kadang-kadang sulit. Diagnosis yang tepat
dibuat hanya pada 50-70% pasien-pasien pada saat penilaian awal. Angka appendectomy
negatif pada pediatrik berkisar 10-50%. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan
pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis appendicitis.
Semua kasus appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan dari appendix yang
terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy. Apabila tidak
dilakukan tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan
karena peritonitis dan shock.
Reginald Fitz pada tahun 1886 adalah orang pertama yang menjelaskan bahwa
Appendicitis acuta merupakan salah satu penyebab utama terjadinya akut abdomen di
seluruh dunia .
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10cm
(kisaran 3-15cm), dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan
melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar
pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab
rendahnya insiden appendicitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak
intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya
bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya.
Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang
caecum, di belakang colon ascendens, atau di tepi lateral colon ascendens. Gejala klinis
appendicitis ditentukan oleh letak apendiks. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang
n.vagus yang mengikuti a.mesenterica superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan
simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendicitis
bermula di sekitar umbilicus. Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang
merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis
pada infeksi apendiks akan mengalami gangren.

Gambar 1. Variasi lokasi Appendix


2.2 FISIOLOGI
Apendiks menghasilkan lender 1-2ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan
ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lender di muara
apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis appendicitis. Immunoglobulin sekretoar
yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang
saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.
2.3 INSIDENSI
Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap
tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Appendicitis lebih banyak
terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:2. Bangsa
Caucasia lebih sering terkena dibandingkan dengan kelompok ras lainnya. Appendicitis
akut lebih sering terjadi selama musim panas. Insidensi Appendicitis acuta di negara
maju lebih tinggi daripada di Negara berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka
kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya
penggunaan makanan berserat dalam menu sehari -hari.
Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari
satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun,
setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding,
kecuali pada umur 20 -30 tahun, insidensi lelaki lebih tinggi.
2.4 ETIOLOGI
Appendicitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendix sehingga
terjadi kongseti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi. Appendicitis
umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab obstruksi yang paling sering adalah
fecolith. Fecolith ditemukan pada sekitar 20% anak dengan appendicitis. Penyebab lain
dari obstruksi appendiks meliputi: Hiperplasia folikel lymphoid, carcinoid atau tumor
lainnya, benda asing (pin, biji-bijian), terkadang parasit 1 Penyebab lain yang diduga
menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi mukosa appendix oleh parasit E. histolytica.
Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien appendicitis yaitu: Bakteri
aerob fakultatif, Bakteri anaerob Escherichia coli, Viridans streptococci, Pseudomonas
aeruginosa, Enterococcus, Bacteroides fragilis, Peptostreptococcus micros, Bilophila
species Lactobacillus species.
2.5 KLASIFIKASI APENDISITIS
Berdasarkan perjalanan patofisiologisnya, apendisitis terbagi menjadi 4, yaitu :
1. Appendisitis Mukosa
Appendiks menghasilkan lender 1-2 ml per hari. Saat dalam keadaan normal,
lender dicurahkan ke dalam lumen dan mengalir ke sekum. Namun, karena
obstrukssi, sekresi mukosa akan terbendung, lalu menyebabkan distensi lumen akut.
Kemudian terjadi kenaikan tekanan intralumen yang dapat mengganggu drainase
limfe dan menekan pembuluh darah. Keadaan tersebut menyebabkan mukosa
appendiks menjadi edema, resistensi selaput lender berkurang, terjadi kongesti vena
dan iskemia arteri. Appendiks rentan mengalami iskemia karena pembuluh darahnya
merupakan end entry. Kondisi ini dapat menimbulkan luka dan ulserasi mukoasa
appendiks yang mengundang invasi bakteri dari usus besar dan menyebabkan proses
radang akut yang disebut appendicitis mukosa, terjadi proses irreversibel meskipun
faktor obstruksi telah dihilangkan.
2. Appendisitis Supuratif
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah menimbulkan thrombosis pembuluh
darah appendiks dan memperberatiskemia serta edema. Invasi bakteri terus terjadi ke
dalam dinding appendiks menimbukan infeksi serosa. Selanjutnya, eksudasi netrofil
pada dinding appendiks semakin banyak sampai lapisan muskularis yang disebut
appendicitis akut flegmanosa, pada kondisi ini terdapat fokus-fokus purulen dan
nekrosis pada mukosa. Bertambah buruknya reaksi inflamasi menyebabkan
pembentukan abses pada dinsing dan pus dalam lumen serta terjadu ulserasi. Tahap
ini lapisan serosa dilapisi oleh eksudat fibrinoid supuratif disertai nekrosis local dan
disebut appendicitis supuratif akut.
3. Appendisitis Gangrenosa
Kelanjutan dari reaksi diatas adalah pada appendiks terjadi hiperemi berlebihan
dan edema dengan tanda-tanda perdarahan dibawah lapisan serosa, dari luar tampak
eksudat bercampur fibrin dan mesoappendiks yang membengkak. Iskemia dan
nekrosis sepanjang dinding sampai lapisan serosa akan semakin parah yang kemudian
mengakibatkan terjadinya infark. Infark pun terus berlanjut menjadi gangrene
warnanya menjadi hitam kehijauan yang sangat potensial rupture, tahap ini disebut
appendicitis akut gangrenosa.
4. Appendisitis Perforasi
Tahap ini appendiks telah rupture, pecah dan berlubang, dan pus yang terdapat di
dalam lumen dapat keluar menyebar ke organ-organ lain maupun di dalam fossa
appendiks vermiformis yang dapat mengakibatkan peritonitis. Pus yang tercurah ke
rongga peritoneum menyebabkan peradangan peritoneum parietal.

2.5 PATOGENESIS
Appendicitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-
36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukkan abscess
setelah 2-3 hari Appendicitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara lain
obstruksi oleh fecalith, gallstone, tumor, atau bahkan oleh cacing (Oxyurus vermicularis),
akan tetapi paling sering disebabkan obstruksi oleh fecalith dan kemudian diikuti oleh
proses peradangan. Hasil observasi epidemiologi juga menyebutkan bahwa obstruksi
fecalith adalah penyebab terbesar, yaitu sekitar 20% pada anak dengan appendicitis akut
dan 30-40% pada anak dengan perforasi appendiks. Hiperplasia folikel limfoid appendiks
juga dapat menyababkan obstruksi lumen.
Insidensi terjadinya appendicitis berhubungan dengan jumlah jaringan limfoid
yang hyperplasia. Penyebab dari reaksi jaringan limfatik baik lokal atau general misalnya
akibat infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti
Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris.
Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enteric atau sistemik, seperti
measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic fibrosis memiliki
peningkatan insidensi appendicitis akibat perubahan pada kelenjar yang mensekresi
mucus. Carcinoid tumor juga dapat mengakibatkan obstruksi appendiks, khususnya jika
tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, benda asaning seperti pin,
biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya appendicitis. Trauma, stress
psikologis, dan herediter juga mempengaruhi terjadinya appendicitis. Awalnya, pasien
akan merasa gejala gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan
kebiasaan BAB yang minimal, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting
pada diagnosis appendicitis, khususnya pada anak-anak. Distensi appendiks
menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral dan dipersepsikan sebagai nyeri di
daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri dalam, tumpul, berlokasi di dermatom
Th 10. Adanya distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah, dalam
beberapa jam setelah nyeri. Jika mual muntah timbul lebih dulu sebelum nyeri, dapat
dipikirkan diagnosis lain. Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi
bakteri untuk berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi
gangguan aliran limfe, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan tekanan
menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada iskemik jaringan, infark, dan
gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke dinding appendiks; diikuti demam,
takikardi, dan leukositosis akibat kensekuensi pelepasan mediator inflamasi dari jaringan
yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari dinding appendiks berhubungan dengan
peritoneum parietale, serabut saraf somatic akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan l
okal pada lokasi appendiks, khususnya di titik Mc Burneys. Nyeri jarang timbul hanya
pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada appendiks
retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak
mengenai peritoneum parietale sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran infeksi.
Nyeri pada appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung atau pinggang.
Appendiks pelvic yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat
menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi
ureter atau vesica urinaria pada appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih,
atau nyeri seperti terjadi retensi urine. Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya
abscess lokal atau peritonitis umum. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas
ke arah perforasi dan kemampuan pasien berespon terhadap adanya perforasi. Tanda
perforasi appendiks mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000,
dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi
perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi.
Secara umum, semakin lama gejala berhubungan dengan peningkatan risiko
perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena tidak adanya jaringan
lemak omentum. Anak yang lebih tua atau remaja lebih memungkinkan untuk terjadinya
abscess yang dapat diketahui dari adanya massa pada pemeriksaan fisik. Konstipasi
jarang dijumpai tetapi tenesmus sering dijumpai. Diare sering didapatkan pada anak-
anak, dalam jangka waktu sebentar, akibat iritasi ileum terminal atau caecum. Adanya
diare dapat mengin dikasikan adanya abscess Pelvis.
Gambar 3. Patogenesis Appendisitis

2.6 GAMBARAN KLINIS


Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia. Meskipun sangat jarang
pada neonatus dan bayi, appendicitis akut kadang-kadang dapat terjadi dan diagnosis
appendicitis jauh lebih sulit dan kadang tertunda. Nyeri merupakan gejala yang pertama
kali muncul. Seringkali dirasakan sebagai nyeri tumpul, nyeri di periumbilikal yang
samar-samar, tapi seiring dengan waktu akan berlokasi di abdomen kanan bawah. Terjadi
peningkatan nyeri yang gradual seiring dengan perkembangan penyakit. Variasi lokasi
anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang terjadi. Pada anak-anak, dengan
letak appendiks yang retrocecal atau pelvis, nyeri dapat mulai terjadi di kuadran kanan
bawah tanpa diawali nyeri pada periumbilikus. Nyeri pada flank, nyeri punggung, dan
nyeri alih pada testis juga merupakan gejala yang umum pada anak dengan appendicitis
retrocecal arau pelvis. Jika inflamasi dari appendiks terjadi di dekat ureter atau bladder,
gejal dapat berupa nyeri saat kencing atau perasaan tidak nyaman pada saat menahan
kencing dan distensi kandung kemih. Anorexia, mual, dan muntah biasa nya terjadi
dalam beberapa jam setelah onset terjadinya nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare dapat
terjadi akibat infeksi sekunder dan iritasi pada ileum terminal atau caecum. Gejala
gastrointestinal yang berat yang terjadi sebelum onset nyeri biasanya mengindikasikan
diagnosis selain appendicitis. Meskipun demikian, keluhan GIT ringan seperti indigesti
atau perubahan bowel habit dapat terjadi pada anak dengan appendicitis. Pada
appendicitis tanpa komplikasi biasanya demam ringan (37,5 -38,5 0 C). Jika suhu tubuh
diatas 38,6 0 C, menandakan terjadi perforasi. Anak dengan appendicitis kadang-kadang
berjalan pincang pada kaki kanan. Karena saat menekan dengan paha kanan akan
menekan Caecum hingga isi Caecum berkurang atau kosong. Bising usus meskipun
bukan tanda yang dapat dipercaya dapat menurun atau menghilang. Anak dengan
appendicitis biasanya menghindari diri untuk bergerak dan cenderung untuk berbaring di
tempat tidur dengan kadang-kadang lutut diflexikan. Anak yang menggeliat dan
berteriak-teriak jarang menderita appendicitis, kecuali pada anak dengan appendicitis
retrocaecal, nyeri seperti kolik renal akibat perangsangan ureter.
2.7 PEMERIKSAAN FISIK
Pada Apendicitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga
pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut. Secara klinis, dikenal
beberapa manuver diagnostik:
Rovsings sign: dikatakan posiif jika tekanan yang diberikan pada LLQ abdomen
menghasilkan sakit di sebelah kanan (RLQ), menggambarkan iritasi peritoneum.
Sering positif tapi tidak spesifik.
Psoas sign: dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri sendi
pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini menggambarkan iritasi pada
otot psoas kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal dari
phlegmon atau abscess. Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah appendiks
yang terinflamasi yang terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas
pada saat dilakukan manuver ini.
Obturator sign: dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian gerakan
endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada cara ini menunjukkan
peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis. Perlu diketahui bahwa masing-
masing tanda ini untuk menegakkan lokasi Appendix yang telah mengalami
radang atau perforasi dasar anatomis terjadinya Obturator sign.
Blumbergs sign: nyeri lepas kontralateral (tekan di LLQ kemudian lepas dan
nyeri di RLQ).
Wahls sign: nyeri perkusi di RLQ di segitiga Scherren menurun.
Baldwin test: nyeri di flank bila tungkai kanan ditekuk.
Defence musculare: bersifat lokal, lokasi bervariasi sesuai letak Appendix.
Nyeri pada daerah cavum Douglas bila ada abscess di rongga abdomen atau
Appendix letak pelvis.
Nyeri pada pemeriksaan rectal tooucher.
Dunphy sign: nyeri ketika batuk.
Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor <6>6. Selanjutnya dilakukan
Appendectomy, setelah operasi dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix
dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: radang akut dan bukan radang
akut. Tabel Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis Manifestasi Skor
Gejala Adanya migrasi nyeri 1 Anoreksia 1 Mual/muntah 1 Tanda Nyeri RLQ 2 Nyeri
lepas 1 Febris 1 Laboratorium Leukositosis 2 Shift to the left 1 Total poin 10
Keterangan: 0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil 5-6 : bukan diagnosis Appendicitis 7-
8 : kemungkinan besar Appendicitis 9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis Bila skor
5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan bedah
sebaiknya dilakukan.

Gambar 2. Alvarado Score


2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak dengan
appendicitis akuta. Jumlah leukosit pada penderita appendicitis berkisar antara
12.000-18.000/mm3. Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift to the left)
dengan jumlah normal leukosit menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah
leukosit yang normal jarang ditemukan pada pasien dengan appendicitis. Pemeriksaan
urinalisis membantu untuk membedakan appendicitis dengan pyelonephritis atau batu
ginjal. Meskipun demikian, hematuria ringan dan pyuria dapat terjadi jika inflamasi
appendiks terjadi di dekat ureter.
2. Ultrasonografi
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk menunjang
diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala appendicitis. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari
90%. Gambaran USG yang merupakan kriteria diagnosis appendicitis acuta adalah
appendix dengan diameter anteroposterior 7 mm atau lebih, didapatkan suatu
appendicolith, adanya cairan atau massa periappendix. False positif dapat muncul
dikarenakan infeksi sekunder appendix sebagai hasil dari salphingitis atau
inflammatory bowel disease. False negatif juga dapat muncul karena letak appendix
yang retrocaecal atau rongga usus yang terisi banyak udara yang menghalangi
appendix1.
3. CT -Scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
appen dicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas.sensitifitas dan spesifisitasnya kira -
kira 95-98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga
adanya abscess, maka CT -scan dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostik.
Diagnosis appendicitis dengan CT-scan ditegakkan jika appendix dilatasi lebih dari 5-
7 mm pada diameternya. Dinding pada appendix yang terinfeksi akan mengecil
sehingga memberi gambaran halo .
2.9 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari Appendicitis dapat bervariasi tergantung dari usia dan
jenis kelamin. Pada anak-anak balita ntara lain intususepsi, divertikulitis, dan
gastroenteritis akut. Intususepsi paling sering didapatkan pada anak -anak berusia
dibawah 3 tahun. Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan Appendicitis. Nyeri
divertikulitis hampir sama dengan Appendicitis, tetapi lokasinya berbeda, yaitu pada
daerah periumbilikal. Pada pencitraan dapat diketahui adanya inflammatory mass di
daerah abdomen tengah. Diagnosis banding yang agak sukar ditegakkan adalah
gastroenteritis akut, karena memiliki gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis, yakni
diare, mual, muntah, dan ditemukan leukosit pada feses. Pada anak -anak usia sekolah
yaitu gastroenteritis, konstipasi, infark omentum. Pada gastroenteritis, didapatkan gejala-
gejala yang mirip dengan appendicitis, tetapi tidak dijumpai adanya leukositosis.
Konstipasi, merupakan salah satu penyebab nyeri abdomen pada anak-anak, tetapi tidak
ditemukan adanya demam. Infark omentum juga dapat dijumpai pada anak -anak dan
gejala-gejalanya dapat menyerupai appendicitis. Pada infark omentum, dapat terraba
massa pada abdomen dan nyerinya tidak berpindah Pada pria dewasa muda Diagnosis
banding yang sering pada pria dewasa muda adalah Crohns disease, klitis ulserativa, dan
epididimitis. Pemeriksaan fisik pada skrotum dapat membantu menyingkirkan diagnosis
epididimitis. Pada epididimitis, pasien merasa sakit pada skrotumnya. Pada wanita usia
muda Diagnosis banding appendicitis pada wanita usia muda lebih banyak berhubungan
dengan kondisi-kondisi ginekologik, seperti pelvic inflammatory disease (PID), kista
ovarium, dan infeksi saluran kencing. Pada PID, nyerinya bilateral dan dirasakan pada
abdomen bawah. Pada kista ovarium, nyeri dapat dirasakan bila terjadi ruptur ataupun
torsi. Pada usia lanjut Appendicitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis.
Diagnosis banding yang sering terjadi pada kelompok usia ini adalah keganasan dari
traktus gastrointestinal dan saluran reproduksi, divertikulitis, perforasi ulkus, dan
kolesistitis. Keganasan dapat terlihat pada CT Scan dan gejalanya muncul lebih lambat
daripada appendicitis. Pada orang tua, divertikulitis sering sukar untuk dibedakan dengan
appendicitis, karena lokasinya yang berada pada abdomen kanan. Perforasi ulkus dapat
diketahui dari onsetnya yang akut dan nyerinya tidak berpindah. Pada orang tua,
pemeriksaan dengan CT Scan lebih berarti dibandingkan dengan pemeriksaan
laboratorium.
2.9 KOMPLIKASI
1. Appendicular infiltrat: Infiltrat / massa yang terbentuk akibat mikro atau makro
perforasi dari Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum,
usus halus atau usus besar.
2. Appendicular abscess: Abses yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi
dari Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus,
atau usus besar.
3. Perforasi
4. Peritonitis
5. Syok septik
6. Mesenterial pyemia dengan Abscess Hepar
7. Gangguan peristaltik
8. Ileus
2.11 PENATALAKSANAAN
Untuk pasien yang dicurigai Appendicitis: Puasakan dan Berikan analgetik dan
antiemetik jika diperlukan untuk mengurangi gejala. Penelitian menunjukkan bahwa
pemberian analgetik tidak akan menyamarkan gejala saat pemeriksaan fisik.
Pertimbangkan DD/ KET terutama pada wanita usia reproduksi. n Berikan antibiotika IV
pada pasien dengan gejala sepsis dan yang membutuhkan Laparotomy Perawatan
appendicitis tanpa operasi. Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat
berguna untuk Appendicitis acuta bagi mereka yang sulit mendapat intervensi operasi
(misalnya untuk pekerja di laut lepas), atau bagi mereka yang memilki resiko tinggi untuk
dilakukan operasi Rujuk ke dokter spesialis bedah.
Antibiotika preoperative. Pemberian antibiotika preoperative efektif untuk
menurunkan terjadinya infeksi post operasi Diberikan antibiotika broadspectrum dan juga
untuk gram negative dan anaerob n Antibiotika preoperative diberikan dengan order dari
ahli bedah. Antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya
digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau Cefepime
dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi bakteri yang terlibat, termasuk
Escherichia coli, Pseudomonasaeruginosa, Enterococcus, Streptococcus viridans,
Klebsiella, dan Bacteroides.
Teknik operasi Appendectomy ada dua, yaitu:
A. Open Appendectomy
1. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik.
2. Dibuat sayatan kulit: Horizontal Oblique
3. Dibuat sayatan otot, ada dua cara:
a. Pararectal/Paramedian Sayatan pada vaginae tendinae M. rectus abdominis
lalu otot disisihkan ke medial. Fascia diklem sampai saat penutupan
vagina M. rectus abdominis karena fascia ada 2 supaya jangan tertinggal
pada waktu penjahitan karena bila terjahit hanya satu lapis bisa terjadi
hernia cicatricalis. 2 lapis M.rectus abdominalis sayatan.
b. Mc Burney/ Wechselschnitt/ muscle splitting Sayatan berubah-ubah
sesuai serabut otot. Lokasi insisi yang sering digunakan pada
Appendectomy
B. Laparoscopic Appendectomy
Pertama kali dilakukan pada tahun 1983. Laparoscopic dapat dipakai sarana
diagnosis dan terapeutik untuk pasien dengan nyeri akut abdomen dan suspek
Appendicitis acuta. Laparoscopic kemungkinan sangat berguna untuk pemeriksaan
wanita dengan keluhan abdomen bagian bawah. Membedakan penyakit akut ginekologi
dari Appendicitis acuta sangat mudah dengan menggunakan laparoskop
BAB III
STATUS PASIEN
IDENTITAS
Nama : MA
No. CM : 1132615
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 5 Tahun
Status : Belum Menikah
Agama : Islam
Alamat : Peusangan, Bireun
Tgl. Masuk RS : 18 Juni 2017

ANAMNESIS

Keluhan Utama :

Nyeri seluruh lapangan perut

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien rujukan dari RSU Jeumpa Hospital Bireun, datang ke IGD RSUDZA dengan
keluhan nyeri di seluruh lapangan perut yang dialami sejak 2 hari sebelum masuk rumah
sakit. Awalnya pasien mengeluhkan nyeri perut kanan bawah 4 hari yang lalu, dan dalam
2 hari terakhir menjalar hingga ke seluruh lapangan perut. Pasien mengeluhkan adanya
riwayat demam , mual dan muntah.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien mengaku tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya, riwayat operasi
sebelumnya (-), hipertensi (-), diabetes melitus (-), gastritis (-), hemorroid (-).

Riwayat Penyakit Keluarga :

Dikeluarga tidak ada yang sakit seperti ini, riwayat keganasan tidak ada.

Riwayat Pengobatan :

Pasien mengaku belum pernah berobat.


Riwayat Psikososial :

Pasien merupakan anak dengan tumbuh kembang yang baik

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital
Tekanan Darah :-
Nadi : 100 x/menit
Napas : 20 x/menit
Suhu : 39,7o C
Berat Badan : 15 kg
Tinggi Badan : 106 cm
Status Generalisata
Kepala : Normocephal, rambut warna hitam, rontok (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Hidung : Tidak tampak adanya deformitas, tidak tampak adanya secret, tidak tampak
adanya perdarahan/epistaksis.
Leher : Pembesaran KGB, pembesaran tiroid (-), pembesaran KGB supraklavikula (-).
Thorax
Paru-paru
Inspeksi : normochest, pergerakan dada simetris, tidak ada luka bekas operasi
Palpasi : tidak ada pergerakan dada yang tertinggal, nyeri tekan (-), vokal fremitus
sama simetris dekstra sinistra.
Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : vesikular (+/+) normal, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung
BJ I dan II murni regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : simetris, distensi abdomen (+), luka bekas operasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Palpasi : defans mukuler (+) di seluruh lapangan perut
Perkusi : timpani di seluruh kuadran abdomen

Ekstremitas atas : akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-)
Ekstremitas bawah : akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

HEMATOLOGI

Hematologi Rutin
Hemoglobin 12.4 12-16 g/L
Hematokrit 35 37-47 %
Eritrosit 4,7 4,2-5,4 10 /L

Leukosit 13,2 4,8-10,8 10 /L


Trombosit 275 150-450 10 /L

KIMIA KLINIK

Glukosa Darah
GDS 57 <200 Mg/dl
Fungsi ginjal
Ureum 15 10-50 Mg%
Kreatinin 0,40 0,5-1,0 Mg%
Albumin 3,13 Gr/dl
Elektrolit
Natrium (Na) 128 135-148 mEq/L
Kalium (K) 3,5 3,50-5,30 mEq/L
Calium ion 103 1,15-1,29 Mmol/L
IMUNOSEROLOGI
Hepatitis marker
HbsAg Reaktif Non reaktif Index
Clothing Time 8 detik
Bleeding Time 3 Detik

Assesment :

General Peritonitis ec Suspect Appendicitis Perforasi + Hiponatremia

Terapi :
1. NGT dekompresi
2. Pasang catheter urine
3. IVFD RL 1250 cc/24 jam
4. IV ceftriaxone 750 mg/12 jam
5. IV mekimizol sodium 150 mg/8 jam
6. Drip paracetamol 150 mg/8 jam
Konsultasi Divisi Bedah Anak:
1. Persiapan laparotomi eksplorasi
2. Koreksi Natrium:
NaCl 3% 150 cc habis dalam 1 jam, dilanjutkan NaCl 0,9% 150 cc habis dalam 1 jam
3. Drip metronidazole 100 mg setelah koreksi Natrium

Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad bonam
BAB !V
PEMBAHASAN

Anak usia 5 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri di seluruh lapangan perut
yang dialami sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya pasien mengeluhkan
nyeri perut kanan bawah 4 hari yang lalu, dan dalam 2 hari terakhir menjalar hingga ke
seluruh lapangan perut. Pasien mengeluhkan adanya riwayat demam , mual dan muntah.

Apendisitis adalah Peradangan mendadak dari appendiks vermiformis dan


merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering. Jika tidak segera ditangani dapat
menjadi perforasi. Penyebab tersering akibat obstruksi lumen appendiks. Keluhan yang
dirasakan pasien adalah nyeri perut kanan bawah yang bermula dari epigastrium atau
umbilikus yang menjalar ke Mc Burney.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik ditemukan nyeri perut kanan


bawah berupa nyeri somatik, vomitus, nausea, anoreksia, febris dan diare. McBurney sign
(+), nyeri tekan lepas (Blumberg sign) (+), dan dumphy sign (+). Pada pemeriksaan
laboratorium, ditemukan leukosit 13.200/mm3 .

Gejala klasik appendisitis adalah tidak nyaman di perut, berupa nyeri. Nyeri
dilaporkan terasa di daerah periumbilikus pada awalnya lalu berpindah ke kuadran kanan
bawah. Seiring dengan menyebarnya peradangan ke permukaan peritoneum parietal, nyeri
semakin somatik, menetap dan lebih parah serta diperberat oleh gerakan atau batuk
(Dunphy sign +). Gejala klinis yang sering dijumpai adalah mual-muntah, anoreksia,
disuria, obstipasi atau diare, demam, leukositosis, nyeri tekan Mc Burney, Rovsing sign,
Psoas sign, obturator sign.

Pada appendisitis akut, tindakan pembedahan segera dilakukan dengan pilihan


tindakan appendektomi laparatomi atau appendektomi laparoskopi. Pada kasus ini,
tindakan yang dipilih adalah appendektomi laparoskopi. Untuk prognosis pada pasien
appendendisitis akut, prognosis ad vitam, ad funcional dan ad sanationam biasanya bonam.
Appendiktomi mutlak dilakukan setelah penegakan diagnosis appendisitis akut.
Jika tidak ditangani segera dapat menyebabkan perforasi. Prognosis pada umumnya bonam.
Namun, angka kematian pada appendisitis non-perforasi adalah 0,1 %, sedangkan
appendisitis dengan perforasi, angka kematiannya adalah 3 % (dapat mencapai 15 % pada
pasien lansia).
BAB V
KESIMPULAN
Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa.
Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada
anak-anak dan remaja Gejala appendicitis akut pada anak tidak spesifik . Gejala awalnya
sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa
nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anaka akan
menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, appendicitis sering
diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi, 80 -90% appendicitis baru diketahui
setelah terjadi perforasi. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik
merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis appendicitis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R, De Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah (3rd ed). Jakarta: EGC, 2010; p. 755-
60.
2. Dorland WAN. In: Mahode AA et al, penerjemah. Dorland's Illustrated Medical
Dictionary (11th ed). Indonesia: Elsevier; 2007; p. 137.
3. Kartono D. Apendisitis akuta. In: Reksoprodjo S, editor. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah
Bagian Ilmu Bedah FKUI. Jakarta: Binarupa Aksara, p.115.
4. Lee J. The Influence of Sex and Age on Appendicitis in Children and Young Adults.
[Thesis]. London: Social Medicine Research Unit London Hospital, 2009.
5. Townsend, Courtney M. 2007. Sabiston Textbook of Surgery, 18th ed. Saunders, An
Imprint of Elsevier.
6. Debas, Haile T. 2003. Gastrointestinal Surgery : Pathofisiology and Management. New
York : Springer. Hal : 311-318
7. Brunicardi, F. Charles. 2010. Schwartzs Principles of Surgery, ninth edition. The
McGraw-Hill Companies, Inc. United States of America.
8. Stead, G. Latha. 2003. Firts Aid for the Surgery Clerkship. McGraw-Hill Companies, Inc.
United States of America.
9. Klingensmith, Mary E dkk. 2008. Washington Manual of Surgery, 5th Edition. Lippincott
Williams & Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai