Anda di halaman 1dari 40

Presentasi Kasus Farmasi

SEORANG ANAK 17 TAHUN DENGAN


POST OPERASI APPENDECTOMY

disusun oleh:

Sandy Akbar Perdana Putra G992003133

periode:
11 – 24 Januari 2021

pembimbing:
dr. Maryani, M.Si, Sp.MK

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RUMAH SAKIT UNS
SURAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis,


dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering.1 Apendiks disebut
juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang selama ini dikenal dan digunakan di
masyarakat kurang tepat, karena yang merupakan usus buntu sebenarnya adalah
sekum. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti apa fungsi apendiks
sebenarnya. Namun demikian, organ ini sering sekali menimbulkan masalah
kesehatan.2
Kejadian apendisitis di Indonesia menurut Kementrian Kesehatan RI pada
tahun 2009 sebesar 596.132 orang dengan presentasi 3.36% dan meningkat pada
tahun 2010 menjadi 621.435 orang dengan presentase 3.53%. Apendisitis termasuk
penyakit tidak menular tertinggi kedua di Indonesia pada rawat inap di rumah sakit
pada tahun 2009 dan 2010.3
Apendisitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering
ditemukan dan dapat mengenai semua kelompok usia, serta masih menempati
prevalensi tertinggi dari akut abdomen lain dibidang bedah yang memerlukan
operasi segera baik di negara berkembang maupun maju. Semua kasus appendisitis
memerlukan tindakan pengangkatan dari appendiks yang terinflamasi, baik dengan
laparotomi maupun laparoskopi. Oleh sebab itu apabila tidak dilakukan tindakan
pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan karena
peritonitis dan syok.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks
vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering.1
Apendisitis akut menjadi salah satu pertimbangan pada pasien yang
mengeluh nyeri perut atau pasien yang menunjukkan gejala iritasi
peritoneal. Apendisitis akut adalah frekuensi terbanyak penyebab persisten,
progressive abdominal pain pada remaja. Belakangan ini gejalanya kadang-
kadang dibingungkan karena akut abdomen dapat menyerang semua usia.
Tidak ada jalan untuk mencegah perkembangan dari apendisitis. Satu
satunya cara untuk menurunkan morbiditas dan mencegah mortalitas adalah
apendiktomi sebelum perforasi ataupun gangrene.5

B. EPIDEMIOLOGI
Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di
negara berkembang. Namun dalam tiga-empat dasawarsa terakhir
kejadiannya turun secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh oleh
meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari.
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang
dari satu tahun jarang dilaporkan. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-
30 tahun, setelah itu menurun. Insiden pada lelaki dan perempuan umumnya
sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insiden lelaki lebih tinggi.3

C. ANATOMI
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira
10 cm, dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan
melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk
kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan
ini mungkin menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada usia itu.4
Appendiks dipersarfi oleh parasimpatis dan simpatis. Persarafan
parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri

mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan


simpatis berasal dari nervus torakalis 10. Oleh karena itu, nyeri viseral pada
apendisitis bermula di sekitar umbilikus.4
Pendarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang
merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena
thrombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangrene.4 Persarafan
sekum dan apendiks vermiformis berasal dari saraf simpatis dan
parasimpatis dari plekxus mesenterica superior. Serabut saraf simpatis
berasal dari medula spinalis torakal bagian kaudal, dan serabut parasimpatis
berasal dari kedua nervus vagus. Serabut saraf aferen dari apendiks
vermiformis mengiringi saraf simpatis ke segmen medula spinalis thorakal
10.6
Posisi apendiks terbanyak adalah retrocaecal (65%), pelvical (30%),
patileal (5%), paracaecal (2%), anteileal (2%) dan preleal (1%) (R.Putz dan
R.Pabst, 2006). Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal, yang
memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada
panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks
terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon
asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.7
Secara histologis, appendiks mempunyai basis stuktur yang sama
seperti usus besar. Glandula mukosanya terpisahkan dari vascular
submucosa oleh mucosa maskularis. Bagian luar dari submukosa adalah
dinding otot yang utama. Appendiks terbungkus oleh tunika serosa yang
terdiri atas vaskularisasi pembuluh darah besar dan bergabung menjadi satu
di mesoappendiks. Jika apendik terletak retroperitoneal, maka appendiks
tidak terbungkus oleh tunika serosa.7
Histologis:
- Tunika mucosa : memiliki kriptus tapi tidak memiliki villus.
- Tunika submucosa : banyak folikel lymphoid.
- Tunika muscularis : stratum sirculare sebelah dalam dan stratum
longitudinale ( gabungan tiga tinea coli) sebelah luar.
- Tunika serosa : bila letaknya intraperitoneal asalnya dari
peritoneum viscerale

D. FISIOLOGI
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu
normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum.
Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada
patogenesis appendisitis.1
Dinding appendiks terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan
bagian dari sistem imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin
sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang
terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah IgA.
Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun
demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh
karena jumlah jaringan limfonodi di sini kecil sekali jika dibandingkan
dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.4
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2
minggu setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap
saat dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60
tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di apendiks dan terjadi obliterasi
lumen apendiks komplit.7

E. ETIOLOGI
Penyebab penyakit apendisitis secara pasti belum diketahui. Tetapi,
terjadinya apendisitis ini umumnya karena bakteri. Selain itu, terdapat
banyak faktor pencetus terjadinya penyakit ini diantaranya sumbatan lumen
apendiks, hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing
askaris yang dapat menyebabkan sumbatan.8 Penyebab lain yang diduga
dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit
seperti E. histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran
kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi
terhadap timbulnya apendisitis juga merupakan faktor pencetus terjadinya
penyakit ini. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan
kuman flora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah timbulnya
apendisitis akut.4
F. PATOFISIOLOGI
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur
karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.8
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada
bagian proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari
mukosa apendiks yang distensi. Obstruksi tersebut menyebabkan mucus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus
tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas
lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat
meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH20. Manusia merupakan
salah satu dari sedikit makhluk hidup yang dapat mengkompensasi
peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau
terjadi perforasi.7
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks
mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan
invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah
(edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah
intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal
yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat
terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap
pasien karena ditentukan banyak faktor.4
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat.
Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan
bakteri akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah.
Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.1
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis
perforasi.4
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local
yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang.4
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang
dimulai dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam
waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan
membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus
halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya
dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami
perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa
periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri
secara lambat.4
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan
daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi.
Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada
gangguan pembuluh darah.7
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks,
omentum, usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti
vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses
peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi
perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah
selesai tetapi masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan
dalam cavum abdominalis, oleh karena itu pendeita harus benar-benar
istirahat (bedrest).8
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna,
tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan
dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan
berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang
akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.4

G. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain9
1. Nyeri abdominal
Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri
dirasakan samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di
daerah epigastrium atau sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri
berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah (titik Mc Burney).
Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga berupa
nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritonium
biasanya penderita akan mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan
atau batuk.
2. Mual-muntah biasanya pada fase awal.
3. Nafsu makan menurun.
4. Obstipasi dan diare pada anak-anak.
5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi
biasanya tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º C
Gejala appendisitis akut pada anak-anak tidak spesifik. Gejala
awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak
bisa melukiskan rasa nyerinya. Karena gejala yang tidak spesifik ini
sering diagnosis appendisitis diketahui setelah terjadi perforasi.

Kelainan patologi Keluhan dan tanda


Peradangan awal Kurang enak ulu hati/daerah pusat,
mungkin kolik
Appendisitis mukosa Nyeri tekan kanan bawah
(rangsangan automik)
Radang di seluruh ketebalan Nyeri sentral pindah ke kanan
dinding bawah, mual dan muntah
Appendisitis komplet radang Rangsangan peritoneum lokal
peritoneum parietale appendiks (somatik), nyeri pada gerak aktif dan
pasif, defans muskuler lokal
Radang alat/jaringan yang Genitalia interna, ureter, m.psoas,
menempel pada appendiks kantung kemih, rektum
Perforasi Demam sedang, takikardia, mulai
toksik, leukositosis
Infiltrat
Tidak berhasil demam tinggi, dehidrasi, syok,
toksik
Berhasil Keadaan umum berangsur membaik
Abses demam remiten, keadaan umum
toksik, keluhan dan tanda setempat

Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja,


tidak jarang terlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separo penderita baru
dapat didiagnosis setelah perforasi. Pada kehamilan, keluhan utama
apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan muntah. Yang perlu diperhatikan
ialah, pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual dan
muntah. Pada kehamilan lanjut sekum dengan apendiks terdorong ke
kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi
lebih ke regio lumbal kanan.9

H. PEMERIKSAAN FISIK
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5C. Bila
suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan
suhu aksilar dan rektal sampai 1C.4
1. Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan
memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak
ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita
dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa
dilihat pada massa atau abses appendikuler.
2. Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda
peritonitis lokal yaitu:
− Nyeri tekan di Mc. Burney
− Nyeri lepas
− Defans muscular lokal. Defans muscular menunjukkan
adanya rangsangan peritoneum parietal.
Pada appendiks letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak
ada, yang ada nyeri pinggang.
Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
− nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)
− nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan
(Blumberg)
− nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas
dalam, berjalan, batuk, mengedan.
Appendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler terlihat dengan
adanya penonjolan di perut kanan bawah.
3. Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus
paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.

Pemeriksaan colok dubur akan didapatkan nyeri kuadran kanan pada


jam 9-12. Pada appendisitis pelvika akan didapatkan nyeri terbatas
sewaktu dilakukan colok dubur.9
Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci
diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur
pada anak tidak dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator
merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak
apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan m. psoas lewat
hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila apendiks yang meradang menempel di
m.psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator
digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan
m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Dengan
gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, pada
apendisitis pelvika akan menimbulkan nyeri.
Psoas sign. Nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan. Pasien
dimiringkan kekiri. Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien, pada saat itu
ada hambatan pada pinggul / pangkal paha kanan.4
Dasar anatomi dari tes psoas. Apendiks yang mengalami peradangan kontak
dengan otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver (pemeriksaan).
Rovsing’s sign. Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini
menggambarkan iritasi peritoneum. Sering positif pada appendisitis akut
namun tidak spesifik.7
Tes Obturator. Nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat paha pasien
difleksikan. Pemeriksa menggerakkan tungkai bawah kelateral, pada saat itu
ada tahanan pada sisi samping dari lutut (tanda bintang), menghasilkan
rotasi femur kedalam.
Dasar Anatomi dari tes obturator : Peradangan apendiks di pelvis yang
kontak dengan otot obturator internus yang meregang saat dilakukan

manuver.7

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium10
a. Pemeriksaan darah : akan didapatkan leukositosis pada
kebanyakan kasus appendicitis akut terutama pada kasus dengan
komplikasi, C-reaktif protein meningkat. Pada appendicular
infiltrat, LED akan meningkat.
b. Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan
bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam
menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih
atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama
dengan appendisitis.
2. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab
appendisitis. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.
3. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan
USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan
USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti
kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya.
4. Barium enema
Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon melalui
anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari
appendisitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan
diagnosis banding. Appendicogram memiliki sensitivitas dan tingkat
akurasi yang tinggi sebagai metode diagnostik untuk menegakkan
diagnosis appendisitis khronis. Dimana akan tampak
pelebaran/penebalan dinding mukosa appendiks, disertai penyempitan
lumen hingga sumbatan usus oleh fekalit.11
5. CT-scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain itu juga dapat
menunjukkan komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi abses.
6. Laparoscopi
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang
dimasukan dalam abdomen, appendiks dapat divisualisasikan secara
langsung. Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila
pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada
appendiks maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan
pengangkatan appendiks.11

Grade Laparoscopic findings15, 16

Grade 0 Tampak appendiks normal


Grade 1 Hiperemis dan edema
Grade 2 Fibrinous eksudate
Grade 3A Segmental nekrosis
Grade 3B Base nekreosis
Grade 4A Absess
Grade 4B Regional Peritonitis
Grade 5 Difuse Peritonitis

7. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk
diagnosis appendisitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat
mengenai gambaran histopatologi appendisitis akut. Perbedaan ini
didasarkan pada kenyataan bahwa belum adanya kriteria gambaran
histopatologi appendisitis akut secara universal dan tidak ada gambaran
histopatologi apendisitis akut pada orang yang tidak dilakukan operasi.
Riber et al, pernah meneliti variasi diagnosis histopatologi appendisitis
akut. Hasilnya adlah perlu adanya komunikasi antara ahli patologi dan
antara ahli patologi dengan ahli bedahnya.12
Sistem skor Alvarado
Diagnosis appendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya
berdasarkan gambaran klinis, hal ini disebabkan sulitnya komunikasi
antara anak, orang tua dan dokter. Anak belum mampu untuk
mendiskripsikan keluhan yang dialami, suatu hal yang relatif lebih mudah
pada umur dewasa. Keadaan ini menghasilkan angka appendiktomi negatif
sebesar 20% dan angka perforasi sebesar 20-30%. Salah satu upaya
meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis ialah membuat
diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara untuk menurunkan
insidensi apendiktomi negatif, salah satunya adalah dengan instrumen skor
Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa
dilakukan dengan mudah, cepat dan kurang invasif. Alvarado tahun 1986
membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala , tiga tanda dan
dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan pra
operasi dan untuk menilai derajat keparahan apendisitis. Dalam sistem
skor Alvarado ini menggunakan faktor risiko meliputi migrasi nyeri,
anoreksia, nausea dan atau vomitus, nyeri tekan di abdomen kuadran
kanan bawah, nyeri lepas tekan , temperatur lebih dari 37,20C, lekositosis
dan netrofil lebih dari 75%. Nyeri tekan kuadran kanan bawah dan
lekositosis mempunyai nilai 2 dan keenam sisanya masing-masing
mempunyai nilai 1, sehingga kedelapan faktor ini memberikan jumlah skor
10.13
Skor Alvarado untuk diagnosis appendisitis akut:
Gejala dan tanda: Skor
Nyeri berpindah 1
Anoreksia 1
Mual-muntah 1
Nyeri fossa iliaka kanan 2
Nyeri lepas 1
Peningkatan suhu > 37,30C 1
Jumlah leukosit > 10x103/L 2
Jumlah neutrofil > 75% 1
__________________________________________________
Total skor: 10

Keterangan Alavarado score :

▪ Dinyatakan appendicitis akut bila > 7 point


▪ Modified Alvarado score (Kalan et al) tanpa observasi of Hematogram:
1 – 4 dipertimbangkan appendicitis akut
5–6 possible appendicitis tidak perlu operasi
7–9 appendicitis akut perlu pembedahan
▪ Penanganan berdasarkan skor Alvarado :
1 – 4 :observasi
5 – 6 :antibiotic
7– 10: operasi dini

J. DIAGNOSIS BANDING

1. Gastroenteritis

Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit.


Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik
sering ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol
dibandingkan dengan appendisitis.

2. Limfadenitis mesenterica

Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai


dengan nyeri perut yang samar-samar terutama disebelah kanan,
dan disertai dengan perasaan mual-muntah.

3. Ileitis akut

Berkaitan dengan diare dan sering kali riwayat kronis, tetapi tidak
jarang anorexia, mual, muntah. Jika ditemukan pada laparotomi,
appendiktomi insidental diindikasikan utntuk menghilangkan
gejala yang membingungkan.

4. Peradangan pelvis
Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang
kedua organ ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-
ooforitis atau adnecitis. Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini
didapatkan riwayat kontak sexual. Suhu biasanya lebih tinggi
daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus.
Biasanya disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus
diayunkan maka akan terasa nyeri.

5. Kehamilan ektopik

Ada riwayat terhambat menstruasi dengan keluhan yang tidak


menentu. Jika terjadi ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan
perdarahan akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis
dan mungkin akan terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan
colok vagina didapatkan nyeri dan penonjolan di cavum Douglas,
dan pada kuldosentesis akan didapatkan darah.

6. Batu ureter atau batu ginjal

Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal


kanan merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering
ditemukan. Foto polos abdomen atau urografi intravena dapat
memastikan penyakit tersebut.

K. TATALAKSANA
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah
ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk
membatasi aktivitas fisik sampai pembedahan dilakukan. Analgetik dapat
diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan
untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk
menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah
anestesi umum atau spinal, secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi
yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi
terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah. Pada
penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu.
Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam
observasi masih terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan
laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan
akan dilakukan operasi atau tidak.11
Penatalaksanaan apendisitis adalah sebagai berikut:13
1. Tindakan medis
a. Observasi terhadap diagnosa
Dalam 8 – 12 jam pertama setelah timbul gejala dan tanda
apendisitis, sering tidak terdiagnosa, dalam hal ini sangat
penting dilakukan observasi yang cermat. Penderita dibaringkan
ditempat tidur dan tidak diberi apapun melalui mulut. Bila
diperlukan maka dapat diberikan cairan aperviteral. Hindarkan
pemberian narkotik jika memungkinkan, tetapi obat sedatif
seperti barbitural atau penenang tidak karena merupakan kontra
indikasi. Pemeriksaan abdomen dan rektum, sel darah putih dan
hitung jenis di ulangi secara periodik. Perlu dilakukan foto
abdomen dan thorak posisi tegak pada semua kasus apendisitis,
diagnosa dapat jadi jelas dari tanda lokalisasi kuadran kanan
bawah dalam waktu 24 jam setelah timbul gejala.
b. Intubasi
Dimasukkan pipa nasogastrik preoperatif jika terjadi peritonitis
atau toksitas yang menandakan bahwa ileus pasca operatif yang
sangat menggangu. Pada penderita ini dilakukan aspirasi kubah
lambung jika diperlukan. Penderita dibawa kekamar operasi
dengan pipa tetap terpasang.
c. Antibiotik
Pemberian antibiotik preoperatif dianjurkan pada reaksi
sistematik dengan toksitas yang berat dan demam yang tinggi .
2. Terapi bedah
Pada apendisitis tanpa komplikasi, apendiktomi dilakukan segera
setelah terkontrol ketidakseimbangan cairan dalam tubuh dan
gangguan sistematik lainnya. Biasanya hanya diperlukan sedikit
persiapan. Pembedahan yang direncanakan secara dini baik
mempunyai praksi mortalitas 1 % secara primer angka morbiditas
dan mortalitas penyakit ini tampaknya disebabkan oleh komplikasi
ganggren dan perforasi yang terjadi akibat yang tertunda.
3. Terapi pasca operasi
Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui
terjadinya perdarahan didalam, syok hipertermia, atau
gangguan pernapasan angket sonde lambung bila pasien telah
sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan
pasien dalam posisi fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12
jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila
tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau
peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali
normal. Kemudian berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5
jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya diberikan
makan saring, dan hari berikutnya diberikan makanan lunak. Satu
hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat
tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan
duduk diluar kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan
pasien diperbolehkan pulang.

L. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik
berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah
mengalami pendindingan berupa massa yang terdiri atas kumpulan
apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.14
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu
peritonitis generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :
• nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri
abdomen menyeluruh
• Suhu tubuh naik tinggi sekali.
• Nadi semakin cepat.
• Defance Muskular yang menyeluruh
• Bising usus berkurang
• Perut distended

Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :


1. Pelvic Abscess
2. Subphrenic absess
3. Intra peritoneal abses lokal.

Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk


kerongga abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan
kematian.

M. PROGNOSIS
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan tingkat mortalitas
dan morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan
berulang dapat terjadi bila appendiks tidak diangkat.14
BAB III
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. R
Umur : 17 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Kartasura, Sukoharjo
Tanggal Masuk : 9 Januari 2021
No. RM : 072XXX

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri Perut
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat RS UNS dengan keluhan
nyeri perut di kanan bawah sejak 3 hari yang lalu. Nyeri dirasakan
hilang timbul. Pasien juga mengeluhkan adanya demam dan muntah
sejak 3 hari yang lalu. Kemudian pasien merasa buang air besar dan
kencing tidak lampias sejak kemarin. Pasien merasa sesak karena sakit
perutnya yang tidak sembuh ini. Pasien belum pernah ke dokter saat
keluhan ini muncul. Keluhan lain seperti batuk, nyeri tenggorok, pilek,
anosmia, mimisan, dan bintik kemerahan di kulit disangkal. Pasien
tidak pernah mengalami rawat jalan di rumah sakit dan tidak pernah
dilakukan operasi perut.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat penyakit lain : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat penyakit lain : disangkal
5. Riwayat Kebiasaan dan Gizi
Pasien makan tiga kali sehari dengan nasi, sayur, dan lauk pauk. Pasien
jarang berolahraga. Kebiasaan merokok disangkal.
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang pelajar dan berobat dengan menggunakan
fasilitas jaminan kesehatan BPJS non-PBI.

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis, GCS E4V5M6
Gizi : kesan cukup
2. Tanda Vital dan Status Gizi
Tekanan darah : 99/70 mmHg
Nadi : 142 kali/menit, isi cukup, irama teratur, simetris
Respirasi : 22 kali/menit
Suhu : 37.7oC
SpO2 : 99%
Berat badan : 52 kg

3. Kulit
Warna sawo matang, pucat(-), ikterik(-), petekie(-), purpura(-),
ekimosis(-), striae(-), hiperpigmentasi(-), hipopigmentasi(-)
4. Kepala
Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, tidak mudah rontok, luka(-),
hematom(-)
5. Mata
Konjungtiva anemis(-/-), sklera ikterik(-/-), refleks cahaya langsung
dan tidak langsung(+/+), pupil isokor(3mm/3mm), oedem palpebra(-/-
), sekret(-/-), cowong(-/-)
6. Hidung
Nafas cuping hidung(-), deformitas(-), darah(-/-), sekret(-/-)
7. Telinga
Deformitas(-/-), darah(-/-), sekret(-/-)
8. Mulut
Bibir kering(-), sianosis(-), lidah kotor(-), lidah simetris, stomatitis(-),
gusi berdarah(-)
9. Leher
Simetris, trakea di tengah, step off(-), JVP tidak meningkat, limfonodi
tidak membesar, nyeri tekan(-), benjolan(-)
10. Thoraks
a. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJI BJII normal, reguler, bising(-)
b. Paru
Inspeksi : Pengembangan dada kanan=kiri, retraksi(-)
Palpasi : Fremitus kanan=kiri
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler(+) seluruh lapang paru
11. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sama dengan dinding dada
Auskultasi : peristaltik(+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan kanan bawah (+), McBurney sign (+), rebound
tenderness (+)
12. Ekstremitas
Edema Akral dingin
- - - -
- - - -

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Darah Rutin
IGD (9 Januari 2020)
PEMERIKSAAN HASIL F UNIT NILAI NORMAL
HEMATOLOGI
Darah Lengkap
Leukosit 16.08 H 103/uL 4.5-14.5
Eritrosit 5.02 106/uL 3.9-5.3
Hemoglobin 14.9 g/dL 11.5-15.5
Hematokrit 42.4 H % 34-40
MCV 84.5 fL 79.0-99.0
MCH 29.7 pg 27.0-31.0
MCHC 35.1 % 33.0-37.0
Trombosit 178 103/uL 150-450
RDW-CV 12.9 % 11.5-14.5
PDW 11.1 fL 9.0-13.0
MPV 10.3 fL 7.2-11.1
Hitung Jenis
Limfosit 6.7 L % 20-40
Monosit 5.5 % 0-6
Neutrofil 87.4 H % 50-70
Eosinofil 0.2 % 0-4
Basofil 0.2 % 0-1
Neutrophil 13.11 H
Lymphocyte Ratio
Absolute 1060 L /uL >1500
Lymphocyte Count
HFLC 0.1 % 0-1.4

E. RESUME
1. Resume Anamnesis
a. Nyeri perut kanan bawah
b. Demam disertai muntah
c. BAB cair dan kencing tidak lampias
2. Resume Pemeriksaan Fisik
a. Tanda vital: tekanan darah 99/70 mmHg, nadi 142 kali/menit, laju
napas 22 kali/menit, suhu 37.7oC
b. Nyeri tekan pada perut kanan bawah, McBurney sign (+), Rebound
Tenderness (+)
3. Resume Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium: Leukositosis

F. DIAGNOSIS
Diagnosis Pre Operasi : Abdominal pain et causa Appendicitis
Diagnosis Pasca Operasi : Appedicitis Akut Grade IV dengan Peritoneal
Abses, Post Appendectomy Retrograde

G. PENATALAKSANAAN
1. Terapi non-medikamentosa
Tirah baring
Tindakan Bedah Appendectomi Retrograde
2. Terapi medikamentosa
a. IGD (Advis dr. NR Sp.B)
1) IVFD RL 20 tpm
2) Injeksi Ranitidine 50 mg/12 jam
3) Injeksi Ceftriaxone 2g/24 jam
4) Injeksi Ketorolac 30mg/8jam
Program Op CITO besok 10-01-2021 pagi
b. Bangsal
DPH-0
1) Infus tutofucin 20 tpm
2) Injeksi Ceftriaxon 2g/24jam
3) Injeksi Ranitidine 50mg/12 jam
4) Injeksi Ketorolac 30mg/8 jam
DPH-1
1) Infus tutofucin 20 tpm
2) Injeksi Ceftriaxon 2g/24jam
3) Injeksi Ranitidine 50mg/12 jam
4) Injeksi Ketorolac 30mg/8 jam

DPH-2
1) Infus RL 20 tpm
2) Injeksi ceftriaxone 2 gr/12jam
3) Ranitidine 2x1 PO
4) Asam Mefenamat 3x1 PO

H. PENULISAN RESEP

1. IGD
RS UNS Surakarta
9 Januari 2021
Dokter : dr. NR Sp.B

R/ Ringer laktat inf 500 mL fl No III


Cum IV cateter No. 22 No.I
IV 3000 No.I
Threeway No.I
Infus set No.I
S i.m.m. IV 20 tpm
R/ Ranitidine inj 50 mg amp No II
Cum spuit 3 cc No I
S i.m.m. 50mg/12 jam IV
R/ Ceftriaxone inj 1 g amp No IV
Cum aquabidest fl No I
Spuit 10 cc No II
S i.m.m. IV 2 g/12 jam
R/ Ketoroloac inj mg 30 amp No III
Cum spuit 3 cc No I
S i.m.m 30mg/ 8 jam IV
Pro : An. R (17 tahun)
Alamat: Kartasura

2. Bangsal DPH-0
RS UNS Surakarta
10 Januari 2021
Dokter : dr. NR Sp.B

R/ Tutofucin inf 500 mL fl No III


Cum IV cateter No. 22 No.I
IV 3000 No.I
Threeway No.I
Infus set No.I
S i.m.m. IV 20 tpm
R/ Ceftriaxone inj 1 g amp No IV
Cum aquabidest fl No I
Spuit 10 cc No II
S i.m.m. IV 2 g/12 jam
R/ Metronidazole inj 500 mg amp No III
Cum spuit 3 cc No I
S i.m.m. 500mg/8 jam IV
R/ Ranitidine inj 50 mg amp No II
Cum spuit 3 cc No I
S i.m.m. 50mg/12 jam IV
R/ Ketoroloac inj mg 30 amp No III
Cum spuit 3 cc No I
S i.m.m 30mg/ 8 jam IV
Pro : An. R (17 tahun)
Alamat: Kartasura

3. Bangsal DPH-1
RS UNS Surakarta
11 Januari 2021
Dokter : dr. NR Sp.B

R/ Tutofucin inf 500 mL fl No III


Cum IV cateter No. 22 No.I
IV 3000 No.I
Threeway No.I
Infus set No.I
S i.m.m. IV 20 tpm
R/ Ceftriaxone inj 1 g amp No IV
Cum aquabidest fl No I
Spuit 10 cc No II
S i.m.m. IV 2 g/12 jam
R/ Metronidazole inj 500 mg amp No III
Cum spuit 3 cc No I
S i.m.m. 500mg/8 jam IV
R/ Ranitidine inj 50 mg amp No II
Cum spuit 3 cc No I
S i.m.m. 50mg/12 jam IV
R/ Ketoroloac inj mg 30 amp No III
Cum spuit 3 cc No I
S i.m.m 30mg/ 8 jam IV
Pro : An. R (17 tahun)
Alamat: Kartasura

4. Bangsal DPH-2
RS UNS Surakarta
12 Januari 2021
Dokter : dr. NR Sp.B

R/ Ringer laktat inf 500 mL fl No III


Cum IV cateter No. 22 No.I
IV 3000 No.I
Threeway No.I
Infus set No.I
S i.m.m. IV 20 tpm
R/ Ceftriaxone inj 1 g amp No IV
Cum aquabidest fl No I
Spuit 10 cc No II
S i.m.m. IV 2 g/12 jam
R/ Metronidazole inj 500 mg amp No III
Cum spuit 3 cc No I
S i.m.m. 500mg/8 jam IV
R/ Ranitidine tab mg 150 No II
S 2 dd tab 1
R/ Asam mefenamat tab mg 500 No III
S 3 dd tab 1
Pro : An. M (17 tahun)
Alamat: Kartasura
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Ringer Laktat
1. Definisi
Ringer laktat adalah larutan kristaloid isotonik yang mengandung
air dan elektrolit, yaitu natrium laktat, kalium klorida, dan kalsium
klorida. Biasanya untuk menggantikan cairan ekstraseluler yang hilang
(Singh et al., 2020).
2. Indikasi
Ringer laktat sebagian besar digunakan dalam resusitasi volume
agresif dari kehilangan darah atau luka bakar. Ringer lactat adalah cairan
yang baik untuk penggantian cairan yang agresif dalam banyak situasi
klinis, termasuk pada sepsis dan pankreatitis akut.
3. Kontraindikasi
Bukan kontraindikasi absolut, namun perlu pertimbangan
pemberian Ringer laktat pada pasien dengan disfungsi hepar. Sebagian
besar laktat dimetabolisme di hepar, dan setiap disfungsi akan terjadi
penimbunan laktat. Ini dapat membingungkan interpretasi tingkat laktat.
Pasien dengan edema serebral yang membutuhkan terapi osmotik
harus menghindari semua cairan hipotonik atau isotonik, termasuk
Ringer's lactate, dalam keadaan akut. Tujuan terapi adalah untuk
mengeluarkan air bebas dari parenkim otak dengan menggunakan
pemberian cairan hipertonik.
4. Dosis
Dosis pemberian ringer laktat berbeda-beda tergantung kondisi yang
mendasari, berat badan pasien, status asam-basa, dan usia. Pemberian
terlalu banyak cairan kristaloid menyebabkan kelebihan cairan yang
dapat muncul sebagai edema perifer dan paru yang semakin memburuk.
Pada pasien syok, ringer laktat dapat diberikan sebanyak 10-20
ml/kgBB dalam 10 menit, dapat diberikan secara bolus bila diperlukan.
5. Efek Samping Obat
Pada setiap pemberain cairan IV, terdapat kemungkinan terjadinya
bengkak dan edema, terutama pada pasien gagal jantung, penyakit ginjal
kronis, sirosis hepar, dan hipoalbuminemia. Selain itu, dapat terjadi
reaksi alergi dari kemerahan ringan secara lokal hingga selulitis regional
yang dapat berlanjut menjadi infeksi sitemik bila tidak segera ditangani.
6. Bentuk Sediaan
Bentuk sediaan yang tersedia adalah cairan infus 250 ml, cairan
infus 500 ml, dan cairan infus 1000 ml.

B. Ranitidin
1. Definisi
Ranitidine merupakan antagonis reseptor H2. Penghambatan
reversibel reseptor-H2 dalam sel parietal lambung menghasilkan
penurunan volume dan konsentrasi asam lambung. Ranitidine dapat
menghambat sekresi lambung akibat perangsangan obat muskarinik,
stimulasi vagus, atau gastrin. Efeknya lebih terlihat untuk sekresi asam
basal dan nokturnal daripada untuk sekresi asam yang dirangsang oleh
makanan. Efek tambahan tidak langsung dari ranitidine adalah
penurunan sekresi pepsin dan peningkatan flora bakteri pereduksi nitrat
(Morgan & Ahlawat, 2020).
2. Indikasi
Indikasi utama pengunaan ranitidine adalah ulserasi lambung,
ulserasi duodenum, erosi esofagitis, kondisi hipersekresi, Gangguan
refluks lambung-esofagus (GERD), dan gejala non-ulserasi (dispepsia,
gangguan pencernaan, heartburn, dan asam lambung).
Selain itu, ratidine juga dapat diberikan untuk anafilaksis, profilaksis
ulserasi akibat AINS dan stres, profilaksis urtikaria terkait taxane, dan
profilaksis aspirasi selama anestesi obstetri.
3. Kontraindikasi
Ranitidin dikontraindikasikan pada pasien yang sebelumnya pernah
mengalami reaksi hipersensitivitas terhadap ranitidin Beberapa H2-
blocker juga memiliki risiko reaktivitas silang. Selain itu, pasien dengan
riwayat porfiria akut. Ranitidine juga tidak boleh digunakan pada
pengguna pengurang asam lain, penyakit ginjal, atau pada pasien berusia
di bawah 12 tahun.
4. Dosis
Dosis penggunaan ranitidine bervariasi bergantung penyakit. Secara
umum, dosis penggunaan peroral adalah 1-2 x 150 mg. Untuk
pemberian secara injeksi, dosisnya dalah 50 mg IM atau IV bolus lambat
dan dosis untuk ana-anak adalah 0,5-1mg/kgBB.
5. Efek Samping Obat
Efek samping dari ranitidine antara lain malaise, pusing, vertigo,
insomnia, agitasi, gangguan denyut jantung, konstipasi, diare, mual
muntah, gangguan hepar, meningkatnya kreatinin serum, reaksi alergi,
dan anafilaksis. Selain itu, ranitidine juga berpotensi memicu delirium
pada pasien di atas 65 tahun dan berkaitan dengan defisiensi vitamin
B12 pada penggunaan lebih dari 2 tahun.
6. Bentuk Sediaan
Bentuk sediaan yang tersedia adalah tablet 150 mg, tablet 300 mg,
larutan injeksi 25 mg/ml, dan larutan injeksi 50 mg/2 ml.

C. Ceftriaxone
1. Definisi
Ceftriaxone merupakan antibiotik beta-laktam, sefalosporin
generasi ke-3. Ceftriaxone berikatan dan menginaktivasi penicillin-
binding protein pada membran sel bakteri gram positif dan gram negatif
(Scholar, 2007).
2. Indikasi
Ceftriaxone diindikasikan untuk pengobatan pada infeksi yang
disebabkan oleh mikroorganisme yang sensitif seperti:
a. Infeksi saluran napas bawah
b. Infeksi kulit dan jaringan lunak
c. Goneore tanpa komplikasi
d. Penyakit radang rongga panggul
e. Septikemia bacterial
f. Infeksi tulang dan sendi
g. Infeksi intra-abdominal
h. Meningitis
Profilaksis operasi yaitu 1g dosis tunggal ceftriaxone dapat
mengurangi angka kejadian infeksi pasca operasi pada pasien yang
berpotensi terkontaminasi (misalnya histerektoni vaginal atau
abdominal) dan operasi pada lokasi yang bila terinfeksi menyebabkan
risiko yang serius (misalnya operasi lintas arteri koroner).
3. Kontraindikasi
Ceftriaxone dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat alergi
terhadap golongan cephalosporin.
4. Dosis
Dosis lazim harian untuk orang dewasa adalah 1-2 gram sekali
sehari (atau dibagi dalam 2 dosis) tergantung dari jenis dan beratnya
infeksi. Dosis total harian tidak boleh melebihi 4 gram. Untuk
profilaksis opersai, dosis yang dianjurkan adalah 1g sebagai dosis
tunggal dan diberikan 0,5-2 jam sebelum operasi.
Secara umum terapi dengan ceftriaxone harus dilanjutkan paling
tidak 2 hari setelah tanda dan gejala infeksi menghilang. Lama
pengobatan terapi umumnya adalah 4-14 hari, dimana pada infeksi yang
disertai dengan komplikasi terapi yang diperlukan akan lebih lama.
5. Efek Samping Obat
Secara umum ceftriaxone dapat ditoleransi dengan baik. Efek
samping yang dapat ditemukan adalah reaksi lokal berupa indurasi atau
nyeri tekan pada tempat suntikan dan phlebitis setelah pemberian
intravena. Dapat pula muncul sakit kepala dan pusing. Pada hematologi,
dapat terjadi eosinofilia, trombositosis, lekopenia dan kadang-kadang
anemia, anemia hemolitik, netropenia, limfopenia, trombositopenia dan
pemanjangan waktu protrombia. Pada saluran cerna dapat terjadi diare,
mual, muntah, disgeusia. Selain itu, dapat terjadi peningkatan SGOT
atau SGPT, peningkatan fosfatase alkali dan bilirubin, peningkatan
BUN dan kreatinin, serta dapat terjadi hipersensitivitas.
6. Bentuk Sediaan
Bentuk sediaan yang tersedia adalah vial 1 g.

D. Ketorolac
1. Definisi
Ketorolac adalah obat anti inflamasi non steroid yang digunakan
untuk meredakan peradangan dan rasa nyeri. Obat ini bekerja dengan
cara menghambat kerja dari enzim siklooksigenasi (COX) dimana
enzim ini berfungsi dalam membantu pembentukan prostaglandin saat
terjadinya luka dan menyebabkan rasa sakit serta peradangan. Ketika
kerja enzim COX terhalangi, maka produksi prostaglandin lebih sedikit,
sehingga rasa sakit dan peradangan akan berkurang.
2. Indikasi
Ketorolac diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek
terhadap nyeri akut sedang sampai berat sedang atau setelah prosedur
bedah. Durasi total Ketorolac tidak boleh lebih dari lima hari.
3. Kontraindikasi
Alergi OAINS, tukak peptik akut, perdarahan KV, diastesis
hemoragik, hamil dan menyusui, anak < 16 tahun
4. Dosis
Ketorolac suntik atau infus
Dosis awal 10 mg, diikuti dengan 10-30 mg tiap 4-6 jam. Jika
diperlukan, pemberian ketorolac dapat dilakukan tiap 2 jam. Dosis
maksimal 90 mg per hari. Pada pasien dengan berat <50 kg, dosis
maksimal 60 mg per hari.
Ketorolac tablet
Dosis awal 10-20 mg, diikuti 10 mg tiap 4-6 jam. Jika diperlukan, dosis
dapat ditingkatkan hingga dosis maksimal 40 mg per hari.
5. Efek Samping Obat
Efek samping ketorolac bersifat individual namun umumnya mencakup
gangguan saluran cerna seperti sakit perut, muntah, kembung, sembelit,
dan diare.
6. Bentuk Sediaan
Ketorolac tersedia dalam bentuk tablet dan ampul injeksi. Satu tablet
mengandung dosis 10 mg dan satu ampul injeksi mengandung dosis 30
mg/mL.

E. Tutofusin
1. Definisi
Tutofusin merupakan sediaan infus yang berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan air dan elektrolit lengkap pada keadaan dehidrasi hipotonis
(kehilangan cairan intraseluler), sebelum dan sesudah operasi. Sorbitol
berperan sebagai nitrogen-sparing melindungi dari pemecahan protein.
2. Indikasi
Tutofusin Ops berfungsi untuk memenuhi kebutuhan air dan
elektrolit lengkap pada keadaan dehidrasi hipotonis (kehilangan cairan
intraseluler), sebelum dan sesudah operasi. Selain itu, tutofusin juga
berfungsi memenuhi kebutuhan karbohidrat secara parsial
3. Kontraindikasi
Tutofusin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan ginjal,
intoleransi terhadap fruktosa atau sorbitol, defisiensi fruktosa-1-6-
diphosphatase, dan keracunan, methyl alkohol
4. Dosis
Dosis harian adalah 30 mL/kgBB/hari
5. Efek Samping Obat
Demam, Nyeri pada tempat injeksi, thrombosis vena, flebitis,
ekstravasasi, dan hypervolemia
6. Bentuk Sediaan
Larutan infus 500 mL dalam flexy bag.

F. Asam Mefenamat
1. Definisi
Asam mefenamat adalah obat golongan AINS yang bekerja
menghambat sintesis prostaglandin dalam jaringan tubuh dengan
menghambat produksi enzim siklooksigenase. Efek dari obat ini adalah
meredakan nyeri kepala, nyeri haid, nyeri akibat trauma, nyeri otot, dan
nyeri pasca operasi
2. Indikasi
Asam mefenamat diindikasikan untuk pasien dengan nyeri ringan
hingga sedang seperti sakit kepala, sakit gigi, nyeri haid, nyeri akibat
trauma, nyeri otot, dan nyeri pasca operasi
3. Kontraindikasi
• Pasien yang memiliki riwayat hipersensitif terhadap Asam
Mefenamat
• Penderita penyakit radang usus, gagal jantung berat, riwayat
asma, bronkospasme, rinitis, angioedema, urtikaria, atau tipe
alergi reaksi setelah minum aspirin atau obat anti inflamasi non
steroid lainnya
• Kehamilan (trimester ketiga).
• Pasien dengan riwayat aktif atau riwayat ulkus peptikum /
perdarahan berulang, riwayat perdarahan atau perforasi
gastrointestinal (terkait dengan terapi obat anti inflamasi non
steroid sebelumnya)
4. Dosis
Dosis harian adalah pada dewasa dan anak lebih dari 14 tahun adalah
500mg dan dapat diminum 3 kali sehari
5. Efek Samping Obat
Efek samping yang mungkin timbul adalah
• Sistem pencernaan: mual, muntah, diare, dan rasa sakit pada
abdominal.
• Sistem hematopoietik: leukopenia, eosinofilia, trombositopenia,
dan agranulositopenia
• Sistem saraf: rasa mengantuk, pusing, pengihatan kabur, dan
insomnia
6. Bentuk Sediaan
Tablet 500mg dan sirup 50mg/5mL

G. Metronidazol
1. Definisi
Sediaan obat antimikroba dengan aktivitas yang sangat baik
terhadap bakteri anaerob dan protozoa. Obat ini digunakan sebagai
amubisida, bakterisida, dan trikomonasida. Obat ini digunakan untuk
mengobati infeksi trichomonas vaginalis, bakterial vaginosis (Infeksi
Gardnerella vaginalis) dan infeksi Entamoeba histolytica dan Giardia
lamblia (penyakit Giardiasis). Obat ini juga digunakan untuk
pembedahan dan sepsis ginekologi dengan aktivitas utama terhadap
bakteri anaerob kolon. Inhibisi sintesis asam nukleat.
2. Indikasi
Asam mefenamat diindikasikan untuk pasien dengan menangani
infeksi akibat bakteri atau parasit di sistem reproduksi dan saluran
pencernaan
3. Kontraindikasi
Hipersensitivitas, kehamilan, menyusui, riwayat penyakit darah,
gangguan SSP
4. Dosis
Tergantung penyebab parasit, umumnya 3 kali 500mg selama 7
hariEfek Samping Obat
5. Efek samping yang mungkin timbul adalah pusing, sakit kepala, mual
muntah, hilangnya nafsu makan, diare, sembeli
6. Bentuk Sediaan
Tablet 250mg dan 500mg, infus 500mg/100mL, injeksi 500mg/vial,
suspensi 125mg/5mL, supositoria 500mg.
BAB V
KESIMPULAN

Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada appendiks vermicularis


dan dapat ditemukan pada semua umur. Appendiks merupakan organ tubular yang
terletak pada pangkal usus besar yang berada di perut kanan bawah dan organ ini
mensekresikan IgA. Namun seringkali menimbulkan masalah bagi kesehatan.
Peradangan akut pada appendiks atau appendisitis akut menyebabkan komplikasi
yang berbahaya apabila tidak segera dilakukan tindakan bedah.
Semua kasus appendisitis memerlukan tindakan pengangkatan dari
appendiks yang terinflamasi, baik dengan laparotomi maupun laparoskopi. Apabila
tidak dilakukan tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama
disebabkan karena peritonitis dan syok.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R &de Jong W, 2005, Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 2, Jakarta,
EGC, Jakarta.
2. Pusat Data Dan Informasi Kesehatan, 2012, Buletin Jendela Data &
Informasi Kesehatan Penyakit Tidak Menular,JakartaKementerian
Kesehatan RI.
3. http://www.bedahugm.net/Bedah-Digesti/Apendik/Epidemiologi.html
4. De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC.
Jakarta.
5. http://www.medicinenet.com/appendicitis/
6. Anonim, . Ilmu Bedah dan Teknik Operasi. Bratajaya Fakultas Kedokteran
UNAIR. Surabaya.
7. Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999. Principles of Surgery sevent
edition. Mc-Graw Hill a Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma
an Enigma Electronic Publication.
8. Anonim, 2005. Appendix. PathologyOutlines.
http://www.patholoyoutlines.com
9. Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua.
Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.
10. Jehan, E., 2003. Peran C Reaktif Protein Dalam Menentukan Diagnosa
Appendisitis Akut. Bagian Ilmu bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatra Utara.
11. Itskowiz, M.S., Jones, S.M., 2004. Appendicitis. Emerg Med 36 (10): 10-15.
www.emedmag.com
12. Hardin, M., 1999. Acute Appendisitis :Review and Update. The American
Academy of Family Physicians. Texas A&M University Health Science
Center, Temple, Texas .http://www.aafg.org
13. Mansjoer, A., Suprohaita., Wardani, W.I., Setiowulan, W., editor., “Bedah
Digestif”, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, Cetakan
Kelima. Media Aesculapius, Jakarta, 2005, hlm. 307-313.
14. Anonim, 2004. Appendicitis. U.S. Department Of Health and Human
Services. National Institute of Health. NIH Publication No. 04–4547.June
2004. www.digestive.niddk.nih.gov
15. Taguchi Y, Komatsu S, Sakamoto E, Norimizu S, Shingu Y, Hasegawa H.
2015. Laparoscopic versus open surgery for complicated appendicitis in
adults: a randomized controlled trial. Surg Endosc. 2015 Aug 15. [Epub ahead
of print]
16. Gomes CA, Nunes TA, Fonseca Chebli JM, Junior CS, Gomes CC. 2012.
Laparoscopy grading system of acute appendicitis: new insight for future
trials. SurgLaparosc Endosc Percutan Tech. 22(5):463–66. doi:
10.1097/SLE.0b013e318262edf1.

Anda mungkin juga menyukai