Anda di halaman 1dari 44

REFERAT ILMIAH

APENDISITIS

Diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan Senior di Bagian Ilmu Bedah

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh :

Yanuarius Alvin Pratama Budianto

22010117220089

Pembimbing :

dr. Muryanto, M.Si.Med, Sp. B

KEPANITERAAN SENIOR ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BATANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Yanuarius Alvin Pratama Budianto

NIM : 22010117220089

Judul Referat : Apendisitis

Pembimbing : dr. Muryanto, M.Si.Med, Sp. B

Diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan Senior di Bagian Ilmu Bedah Fakultas

Kedokteran Universitas Diponegoro.

Batang, 6 Oktober 2018

dr. Muryanto, M.Si.Med, Sp. B


BAB I

PENDAHULUAN

Apendisitis atau yang disebut juga dengan istilah umbai cacing/usus buntu dalam

masyarakat awam adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermiformis. Apendiks

merupakan organ tubular yang terletak pada pangkal usus besar yang berada di perut kanan

bawah. Organ yang umumnya tidak diketahui fungsinya ini ternyata seringkali menimbulkan

masalah bagi kesehatan. Apendisitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling

sering ditemukan. Peradangan akut pada apendiks / appendicitis akuta dapat mengenai semua

kelompok usia, hanya saja jarang dilaporkan kasus apendiks pada anak kurang dari umur satu

tahun. Insidensi tertinggi apendisitis terjadi pada kelompok usia 20-30 tahun, dengan rasio

laki-laki : perempuan adalah 1:1.

WHO menyatakan angka kematian akibat apendisitis di dunia ± 0.2-0.8% dengan

angka kejadian sebesar 30-35 juta kasus/tahun. Di Asia Tenggara, Indonesia menempati

urutan pertama sebagai negara dengan angka kejadian apendisitis tertinggi yaitu 0,05%

mengalahkan Filipina dan Vietnam. Pada tahun 2014, juga dilaporkan bahwa angka kejadian

kasus apendisitis yang dirawat di rumah sakit berjumlah 4351 kasus. Insidensi apendisitis

akut juga lebih tinggi pada negara maju daripada negara berkembang, namun dalam 30-40

tahun terakhir kejadiannya menurun secara bermakna, hal ini diduga disebabkan oleh

meningkatnya konsumsi makanan berserat dalam gaya hidup masyarakat sehari-hari.

Apendisitis akut tidak menunjukkan gambaran klinis yang khas. Hal ini membuat

beberapa kasus apendisitis terlambat di diagnosis sehingga pasien seringkali ditemukan

sudah dalam tahap komplikasi yaitu sudah terjadi peritonitis dan sepsis. Peradangan akut

pada apendiks memerlukan tindakan pembedahan segera untuk mencegah komplikasi

berbahaya yang mungkin terjadi dan menurunkan angka mortalitas.


Oleh karena itu, penyusunan referat ini diharapkan dapat digunakan sebagai bekal

bagi calon dokter umum agar mampu menegakkan diagnosis dengan cepat dan tepat agar

terapi yang relevan dapat segera diberikan sehingga dapat mengurangi angka morbiditas dan

mortalitas pada kasus-kasus apendisitis.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10 cm

(kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal

dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk

kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini

mungkin menjadi sebab rendahnya insidensi apendisitis pada usia ini. Apendiks

mempunyai mesenterium berbentuk segitiga yang disebut mesoappendix

(mesenteriolum) yang bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum

terminale. Pada mesoappendix terdapat pembuluh darah apendiks dan saraf.

Orificiumnya terletak 2,5 cm dari katup ileocaecal. Apendiks terletak di kuadran

kanan bawah abdomen, tepatnya di ileocaecum dan merupakan pertemuan ketiga

taenia coli (taenia libera, taenia colica, dan taenia omentum). Dari topografi anatomi,

letak pangkal apendiks berada pada titik Mc Burney, yaitu titik yang berjarak 1/3

lateral dari garis antara umbilicus dan SIAS kanan.

Gambar 1. Anatomi Apendiks


Apendiks merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara ileum

dan colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan apendiks

terlihat pada minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada caeacum. Awalnya

apendiks berada pada apeks caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih

medial dekat dengan plica ileocaecalis. Dalam proses perkembangannya, usus

mengalami rotasi. Caecum berakhir pada kuadran kanan bawah perut. Apendiks

selalu berhubungan dengan Taenia caecalis. Oleh karena itu, lokasi akhir apendiks

ditentukan oleh lokasi caecum.

Posisi apendiks sangat bervariasi. Pada 65% kasus, apendiks terletak

intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak, dan ruang

geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus

selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang

kolon ascendens, atau di tepi lateral kolon ascendens. Jadi meskipun dasar apendiks

berhubungan dengan Taenia caecalis pada dasar caecum, ujung apendiks memiliki

variasi lokasi seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini. Variasi lokasi inilah yang

akan mempengaruhi lokasi nyeri perut yang terjadi apabila apendiks mengalami

peradangan.

Gambar 2. Variasi lokasi Appendix Vermiformis


Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. Vagus yang mengikuti a.

Mesenterika superior dan a. Apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal

dari n. Torakalis X. Karena itu nyeri visceral pada apendisitis bermula di sekitar

umbilikus. Perdarahan apendiks berasal dari a. Apendikularis yang merupakan arteri

tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi,

appendiks akan mengalami gangren. A. Appendikularis ini merupakan cabang dari a.

Ileocolica yang berasal dari a. Mesenterika superior. Sedangkan caecum mendapat

darah dari a. caecalis dan appendix vermiformis dari a. appendicularis, keduanya

cabang dari a. ileocolica. Rasa nyeri dari apendiks dialirkan melalui serabut afferen

masuk ke medulla spinalis setinggi T10.

Apendiks menunjukkan adanya sejumlah folikel limfoid pada submukosanya.

Pada usia 15 tahun didapatkan sekitar 200 atau lebih nodul limfoid. Lumen apendiks

biasanya mengalami obliterasi pada orang dewasa.

Gambar 3. Potongan transversal Apendiks

Gambaran mikroskopis appendix vermiformis secara struktural mirip

dengan kolon. Terdapat empat lapisan yaitu, mukosa, submukosa, tunika


muskularis, dan tunika serosa. Mukosa apendiks terdiri dari selapis epitel di

permukaan. Pada epitel ini terdapat sel-sel absorbtif, sel-sel goblet, sel-sel neuro

endokrin dan beberapa sel paneth. Lamina propia dari mukosa adalah lapisan

seluler dengan dengan banyak komponen sel-sel migratory dan agregasi limfoid.

Berbeda dengan di colon dimana limfoid folikel tersebar, pada apendiks folikel

limfoid ini sangat banyak dijumpai terutama pada apendiks individu berusia muda.

Lapisan terluar dari mukosa adalah muskularis mukosa, yang merupakan lapisan

fibromuskular yang kurang berkembang pada apendiks.

Lapisan submukosa memisahkan mukosa dengan muskularis eksterna.

Lapisan ini tersusun longgar oleh jaringan serat kolagen dan elastin serta fibroblast.

Lapisan submukosa juga dapat mengandung sel-sel migratory seperti makrofag,

sel-sel limfoid, sel-sel plasma serta sel mast. Pembuluh darah dan limfe merupakan

komponen yang dominan pada lapisan ini. Pembuluh limfatik terdapat jelas

dibawah dasar dari folikel limfoid. Dilapisan ini juga terdapat struktur neural

berupa pleksus meissner.

Lapisan otot polos yang tebal berada diantara submukosa dan serosa,

merupakan lapisan muskularis eksterna dari apendiks. Lapisan ini terpisah menjadi

dua bagian yaitu lapisan sirkular di dalam dan lapisan longitudinal di sebelah luar.

Diantara dua lapisan otot ini terdapat pleksus auerbach yang serupa secara

morfologi dan fungsi dengan pleksus meisner di lapisan submukosa. Lapisan

terluar dari apendiks adalah lapisan serosa. Lapisan serosa ini merupakan selapis

sel-sel mesotelial kuboid, yang terdapat pada lapisan tipis jaringan fibrosa.
Gambar 4. Histologi apendiks

2.2 FISIOLOGI

Apendiks menghasilkan 1-2 ml lendir per hari. Lendir ini secara normal

dialirkan ke apendiks dan caecum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks

diduga berperan pada patogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang

dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat di

sepanjang saluran cerna termasuk apendiks yaitu IgA. Imunoglobulin ini sangat

efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Pada seseorang yang telah dilakukan

pengangkatan apendiks, hal itu tidak akan mempengaruhi sistem imun tubuh

karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan

jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.

2.3 DEFINISI APENDISITIS

Apendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada Appendix vermiformis.

Apendisitis merupakan penyebab bedah akut abdomen yang sering ditemukan. Dalam

kasus ringan apendisitis dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus
memerlukan laparotomi untuk mengambil apendiks yang terinfeksi. Bila tidak

dikelola secara cepat dan tepat, apendiks yang terinfeksi dapat mengalami perforasi

sehingga dapat mengakibatkan infeksi pada peritoneum/peritonitis dan syok yang

berakhir pada kematian.

2.4 EPIDEMIOLOGI APENDISITIS

Kejadian apendisitis akut di negara maju ternyata lebih tinggi daripada di

negara berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun

secara bermakna. Hal ini disebabkan oleh perubahan gaya hidup orang-orang di

negara maju yaitu peningkatan konsumsi makanan berserat. Di Amerika Serikat

sendiri terdapat sekitar 250.000 kasus apendisitis yang terjadi setiap tahunnya.

Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, namun pada anak usia kurang dari 1

tahun, kejadiannya jarang dilaporkan. Insidensi pada laki-laki dan perempuan

umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi laki-laki yang

mengalami apendisitis lebih besar.

2.5 ETIOLOGI APENDISITIS

Beberapa hal yang dapat menjadi faktor pencetus apendisitis akut yaitu :

 Obstruksi

Obstruksi lumen apendiks merupakan penyebab utama terjadinya

apendisitis. Hal-hal yang dapat menyebabkan obstruksi pada lumen

apendiks antara lain fekalit, hiperplasia jaringan limfe, biji, tumor apendiks,

barium yang mengering pada pemeriksaan radiologi, cacing askaris dan

enterobius vermicularis. Gejala-gejala obstruksi berkembang karena sekresi

mukosa yang terjadi terus menerus sampai melebihi kapasitas lumen normal

yaitu 0,1 mL dan akibat adanya multiplikasi cepat dari bakteri dalam

apendiks. Kemudian, distensi merangsang serat nyeri aferen viseral


sehingga akhirnya menimbulkan nyeri abdomen bawah dan tengah yang

samar-samar, tumpul, dan difus. Distensi mendadak dapat menyebabkan

peristaltik dengan kram. Tekanan vena berlebihan dan aliran arteriol ke

dalam menyebabkan kongesti vaskular apendiks, dengan refleks mual.

Pembendungan serosa merangsang peradangan pada peritoneum parietalis

dengan pergeseran atau nyeri yang lebih hebat ke kuadran kanan bawah.

Distensi apendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang

dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat

nyeri tumpul di dermatom Th 10. Distensi yang semakin bertambah

menyebabkan mual dan muntah dalam beberapa jam setelah timbul nyeri

perut. Jika mual muntah timbul mendahului nyeri perut, dapat dipikirkan

diagnosis lain.

 Mikroorganisme

Apendiks yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik

bagi perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan

intraluminal, terjadi gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang

lebih hebat. Hal-hal tersebut semakin meningkatkan tekanan intraluminal

apendiks. Akhirnya, peningkatan tekanan ini menyebabkan gangguan aliran

sistem vaskularisasi apendiks yang menyebabkan iskhemia jaringan

intraluminal, infark, dan gangren. Setelah itu, bakteri melakukan invasi ke

dinding apendiks diikuti demam, takikardia, dan leukositosis akibat

pelepasan mediator inflamasi karena iskemia jaringan. Ketika eksudat

inflamasi yang berasal dari dinding apendiks berhubungan dengan

peritoneum parietal, serabut saraf somatik akan teraktivasi dan nyeri akan

dirasakan lokal pada lokasi apendiks, khususnya di titik Mc Burney. Jarang


terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri

visceral sebelumnya. Pada apendiks yang berlokasi di retrocaecal atau di

pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak

mengenai peritoneum parietal sebelum terjadi perforasi apendiks dan

penyebaran infeksi. Nyeri pada apendiks yang berlokasi di retrocaecal dapat

timbul di punggung atau pinggang. Apendiks yang berlokasi di pelvis, yang

terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan

peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter

atau Vesica urinaria akibat penyebaran infeksi apendisitis dapat

menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine.

Perforasi apendiks akan menyebabkan terjadinya abses lokal atau

peritonitis difus. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah

perforasi dan kemampuan tubuh pasien berespon terhadap perforasi tersebut.

Tanda perforasi apendiks meliputi peningkatan suhu melebihi 38.6oC,

leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien

dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap

hingga > 48 jam tanpa perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada

bayi karena bayi tidak memiliki jaringan lemak omentum, sehingga tidak ada

jaringan yang melokalisir penyebaran infeksi akibat perforasi. Perforasi yang

terjadi pada anak yang lebih tua atau remaja, lebih memungkinkan untuk

terjadi abses. Abses tersebut dapat diketahui dari adanya massa pada palpasi

abdomen pada saat pemeriksaan fisik. Selain itu gangguan mukosa yang

terjadi dapat disebabkan oleh erosi mukosa apendiks akibat parasit seperti

E. hystolitica.
Flora pada apendiks yang meradang berbeda dengan flora apendiks

normal. Sekitar 60% cairan aspirasi yang didapatkan dari apendisitis

didapatkan bakteri jenis anaerob, dibandingkan yang didapatkan dari 25%

cairan aspirasi apendiks yang normal. Diduga lumen merupakan sumber

organisme yang menginvasi mukosa ketika pertahanan mukosa terganggu

oleh peningkatan tekanan lumen dan iskemia dinding lumen. Flora normal

kolon memainkan peranan penting pada perubahan apendisitis akut ke

apendisitis gangrenosa dan appendicitis perforata.

Apendisitis merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa kasus

didapatkan lebih dari 14 jenis bakteri yang berbeda dikultur pada pasien yang

mengalami perforasi. Flora normal pada apendiks sama dengan bakteri pada

kolon normal. Flora pada apendiks akan tetap konstan seumur hidup kecuali

Porphyomonas gingivalis. Bakteri ini hanya terlihat pada orang dewasa.

Bakteri yang umumnya terdapat di appendiks, apendisitis akut dan apendisitis

perforasi adalah Eschericia coli dan Bacteriodes fragilis. Namun berbagai

variasi dan bakteri fakultatif dan anaerob dan Mycobacteria dapat ditemukan.

 Gaya hidup

Penelitian epidemiologi menunjukkan kebiasaan konsumsi makanan

rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.

Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya

sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora

kolon biasa.

2.6 KLASIFIKASI APENDISITIS

 Apendisitis akut

1. Apendisitis akut sederhana (Cataral Appendicitis)


Proses peradangan terjadi di mukosa dan sub mukosa

disebabkan oleh obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen

apendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang

mengganggu aliran limfe, mukosa apendiks menjadi menebal,

edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah

umbilikus, mual, muntah, anoreksia, dan demam ringan. Pada

apendisitis cataral terjadi leukositosis dan apendiks terlihat normal,

hiperemia, edema, dan tidak ditemukan eksudat serosa.

2. Apendisitis akut purulen (supurative appendicitis)

Tekanan dalam lumen terus bertambah disertai edema

menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan

menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemik dan

edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di kolon berinvasi

ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga

serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada

apendiks dan mesoapendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam

lumen terdapat eksudat fibrinopurulen.

Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri

tekan, nyeri lepas di titik Mc.Burney, defans muskuler, dan nyeri

pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi

pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.

3. Apendisitis akut gangrenosa

Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri

mulai terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain

didapatkan tanda-tanda supuratif, apendiks mengalami gangren pada


bagian tertentu. Dinding apendiks berwarna ungu hijau keabuan atau

merah kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat

mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.

 Apendisitis infiltrat

Appendicitis infiltrat adalah proses peradangan apendiks yang

penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, ileum, caecum, kolon dan

peritoneum sehingga membentuk gumpalan masa flegmon yang melekat

erat satu dengan yang lainnya.

 Apendisitis abses

Terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya

di fossa iliaka kanan, lateral dari caecum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic.

 Apendisitis perforasi

Adalah pecahnya apendiks yang sudah mengalami gangren yang

menyebabkan pus masuk kedalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis

umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh

jaringan nekrotik.

 Apendisitis kronis

Merupakan lanjutan apendisitis akut supuratif sebagai proses radang

yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah,

khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosis apendisitis kronis

baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut

kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik appendiks secara

makroskopik dan mikroskopik. Secara histologis, dinding appendiks

menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat

infiltrat sel radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa, muskularis
propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak mengalami dilatasi.

2.7 PATOLOGI APENDISITIS

Dapat dimulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding

apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Upaya pertahanan tubuh berusaha

membatasi proses radang ini dengan menutup apendiks dengan omentum, usus

halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikuler yang lebih dikenal

dengan infiltrat apendiks. Di dalamnya, dapat terjadi nekrosis jaringan berupa

abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses apendisitis akan

sembuh dan masa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan

mengurai diri secara lambat. Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh

dengan sempurna tetapi membentuk jaringan parut yang melengket dengan jaringan

sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan

bawah. Suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan akut lagi dan dinyatakan

mengalami eksaserbasi akut.

2.8 MANIFESTASI KLINIS APENDISITIS

Apendisitis akut sering muncul dengan gejala khas yang didasari oleh

terjadinya peradangan mendadak pada umbai cacing yang memberikan tanda

setempat, baik disertai maupun tidak disertai dengan rangsang peritoneum lokal.

Gejala klasik apendisitis yaitu nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri

viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual

dan kadang ada muntah. Umumnya, pasien mengeluh adanya penurunan nafsu

makan. Dalam beberapa jam, nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc

Burney. Disini, nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga

merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak didapatkan nyeri epigastrium,

tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar.


Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi.

Bila terdapat perangsangan peritoneum, biasanya pasien mengeluh sakit perut bila

berjalan/batuk. Bila apendiks terletak retrosekal retroperitoneal, tanda nyeri perut

kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal karena

apendiks terlindung oleh sekum. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri

timbul saat berjalan karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal.

Radang pada apendiks yang terletak di rongga pelvis dapat menimbulkan

gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat dan

pengosongan rektum menjadi lebih cepat serta berulang. Jika apendiks tadi

menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing akibat

rangsangan apendiks terhadap dinding kandung kemih. Gejala apendisitis akut pada

anak tidak spesifik. Pada awalnya, anak sering hanya menunjukkan gejala rewel dan

tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Beberapa jam

kemudian, anak akan muntah sehingga menjadi lemah dan letargik. Karena gejala

yang tidak khas tadi, apendisitis sering baru diketahui setelah terjadi perforasi. Pada

bayi, 80-90% apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.

Tanda awal apendisitis meliputi nyeri yang dimulai di daerah epigastrium/ulu

hati atau regio umbilikus disertai mual dan anoreksia, kemudian nyeri menjalar dan

pindah ke daerah kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal

di titik Mc Burney, terdapat nyeri tekan di titik Mc Burney, nyeri lepas (Blumberg

sign) di titik Mc Burney, nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung berupa nyeri

daerah kanan bawah pada tekanan perut kiri bawah (Rovsing sign), nyeri kanan

bawah bila tekanan sebelah kiri dilepaskan (Blumberg sign), dan nyeri kanan bawah

bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk, dan mengedan.

Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak


ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya, pada orang berusia

lanjut, gejalanya sering samar-samar saja sehingga banyak pasien baru dapat

didiagnosis setelah terjadi perforasi. Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis

adalah nyeri perut, mual, dan muntah. Hal ini perlu dicermati karena pada

kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan

lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak

dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih di regio lumbal kanan.

Tanda-tanda apendisitis ditentukan oleh posisi dari apendiks dan apakah

apendiks mengalami ruptur. Tanda vital memperlihatkan takikardi ringan atau

kenaikan temperatur 1º C. Posisi yang nyaman bagi pasien adalah posisi seperti

fetus atau telentang dengan tungkai ditarik, terutama tungkai kanan. Apendiks

anterior akan memberikan nyeri tekan maksimum, kekakuan otot (defans muskular),

dan nyeri lepas pada titik Mc Burney. Hiperestesa kutaneus mungkin dapat

ditemukan dini dalam daerah yang dipasok oleh saraf spinalis kanan T10, T11, T12.

Tanda rovsing (nyeri kuadran kanan bawah dengan palpasi dalam kuadran kiri

bawah) menandakan adanya iritasi peritoneum. Tanda psoas (dengan perlahan paha

kanan pasien diekstensikan pada saat berbaring pada sisi kiri) memperlihatkan

inflamasi di dekatnya pada saat meregangkan otot iliopsoas. Tanda obturator (rotasi

internal pasif dari paha kanan yang difleksikan dengan pasien dalam posisi

telentang) menandakan iritasi di dekat m. Obturator internus. Apendisitis

retrocaecal dapat timbul dengan nyeri hebat. Apendisitis pelvikum dapat

memberikan nyeri pada pemeriksaan rektum, dengan penekanan pada kantong

Douglas.

2.9 DIAGNOSIS APENDISITIS

A. Anamnesis
 Nyeri/sakit perut

Nyeri terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi, dan

terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada

seluruh perut (tidak pin-point). Mula-mula nyeri dirasakan pada daerah

epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney. Apabila telah terjadi

inflamasi (> 6 jam) penderita dapat menunjukkan letak nyeri, karena

bersifat somatik.

Gejala utama appendicitis akut adalah nyeri abdomen. Setiap anak

dengan gejala nyeri abdomen yang belum pernah mengalami appendiktomy

seharusnya dicurigai menderita appendicitis. Anak yang sudah besar dapat

menerangkan dengan jelas permulaan gejala nyeri abdomen dan dapat

menerangkan lokasi yang tepat.

Perasaan nyeri pada appendicitis biasanya datang secara perlahan

dan makin lama makin hebat. Nyeri abdomen yang ditimbulkan oleh karena

adanya kontraksi appendix, distensi dari lumen appendix ataupun karena

tarikan dinding appendix yang mengalami peradangan. Pada mulanya

terjadi nyeri visceral, yaitu nyeri yang sifatnya hilang timbul seperti kolik

yang dirasakan di daerah umbilikus dengan sifat nyeri ringan sampai berat.

Hal tersebut timbul oleh karena appendix dan illeum mempunyai persarafan

yang sama, maka nyeri visceral itu akan dirasakan mula-mula di daerah

epigastrium (selama 4-6 jam) dan periumbilikal. Seterusnya akan menetap

di kuadran kanan bawah dan pada keadaan tersebut sudah terjadi nyeri

somatik yang berarti sudah terjadi rangsangan pada peritoneum parietale

dengan sifat nyeri terlokalisir.


 Muntah (rangsangan viseral), akibat aktivasi N. Vagus.

Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam

sesudahnya, merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat

permulaan. Hampir 75% penderita disertai dengan vomitus, kebanyakan

vomitus hanya sekali atau dua kali. Gejala disuria timbul apabila

peradangan appendix dekat dengan vesika urinaria.

 Obstipasi, karena penderita takut mengejan.

Penderita appendicitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum

datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare, hal tersebut

timbul biasanya pada letak appendix pelvikal yang merangsang daerah

rectum.

 Demam (infeksi akut), bila timbul komplikasi.

Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara

37,5° – 38,5°C. Bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.

 Pada anak-anak

Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan.

Seringkali anak tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam

kemudian akan terjadi muntah- muntah dan anak menjadi lemah dan letargi.

Karena ketidakjelasan gejala ini, sering appendicitis diketahui setelah

perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % appendicitis baru diketahui setelah

terjadi perforasi.

 Pada orang tua berusia lanjut

Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari
separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.

 Pada wanita

Gejala appendicitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang

gejalanya serupa dengan appendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses

ovulasi, menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada

wanita hamil dengan usia kehamilan trimester, gejala appendicitis berupa

nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa

timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan

appendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di

perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.

B. Pemeriksaan Fisik

Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5ºC. Bila suhu

lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu

aksilar dan rektal sampai 1ºC.

1. Inspeksi

Penderita berjalan dengan posisi bungkuk dan memegang perut.

Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran

spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi

perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses

appendikuler. Pada appendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal

swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi

perut.

2. Palpasi

Dengan palpasi di daerah titik Mc.Burney didapatkan tanda-tanda


peritonitis lokal yaitu:

 Nyeri tekan di titik Mc Burney

 Nyeri lepas/Rebound tenderness adalah rasa nyeri yang hebat (dapat

dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat tekanan

secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan

yang perlahan dan dalam di titik Mc Burney.

 Defans Muscular lokal. Defans muscular menunjukkan adanya

rangsangan peritoneum parietal. Pada appendiks letak retroperitoneal,

defans muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri pinggang.

 Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung

- Nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing). Rovsing sign

adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah, apabila kita

melakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini

diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi

peritoneal pada sisi yang berlawanan

- Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan

(Blumberg)

- Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam,

berjalan, batuk, mengedan.


Appendisitis infiltrat atau adanya abses appendikuler terlihat dengan adanya

penonjolan di perut kanan bawah. Psoas sign. Nyeri pada saat paha kanan pasien

Gambar 5. Psoas sign

diekstensikan. Pasien dimiringkan kekiri. Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien,

pada saat itu ada hambatan pada pinggul/pangkal paha kanan. Dasar anatomi dari tes

psoas: Appendiks yang mengalami peradangan kontak dengan otot psoas yang

meregang saat dilakukan manuver.

Gambar 6. Rovsing sign

Tes Obturator. Nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat paha pasien

difleksikan. Pemeriksa menggerakkan tungkai bawah kelateral, pada saat itu ada

tahanan pada sisi samping dari lutut, menghasilkan rotasi femur kedalam. Dasar

Anatomi dari tes obturator: Peradangan appendix dipelvis yang kontak dengan otot
obturator internus yang meregang saat dilakukan manuver.

Gambar 7. Obturator Sign

Pemeriksaan colok dubur: pemeriksaan ini dilakukan pada appendicitis,

untuk menentukan letak appendix, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat

dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan appendix yang

meradang terletak didaerah pelvis.

Pada pemeriksaan didapat tonus musculus sfingter ani baik, ampula kolaps,

nyeri tekan pada daerah jam 9-12, serta terdapat massa yang menekan rectum (jika

ada abses). Pada appendicitis pelvika tanda perut sering meragukan maka kunci

diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.

3. Perkusi

Perkusi abdomen pada appendicitis akan didapatkan bunyi

timpani. Pada peritonitis umum terdapat nyeri di seluruh abdomen,

pekak hati menghilang. Pada appendicitis retrocaecum atau

retroileum terdapat nyeri pada pinggang kanan atau angulus

kostovertebralis punggung.
4. Auskultasi

Pada auskultasi biasanya didapatkan bising usus positif

normal. Peristaltik dapat menghilang karena ileus paralitik pada

peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.

C. Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan Laboratorium

o Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein

(CRP). Darah lengkap didapatkan leukositosis ringan umumnya

pada appendicitis akut tanpa komplikasi dan sering dijumpai sel

neutrofil >75%. Jumlah leukosit lebih dari 13.000/mm3

umumnya ada pada appendisitis perforasi. Tidak adanya

leukositosis tidak menyingkirkan appendicitis. Hitung jenis

leukosit terdapat pergeseran ke kiri.6 Pada CRP ditemukan

jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen

protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya

proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum

protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan

90%.

o Pada pemeriksaan urin, sedimen dapat normal atau terdapat

leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila appendix yang

meradang menempel pada ureter atau vesika.

 Pemeriksaan Radiologi

o Foto Abdomen Polos

 Gambaran perselubungan “ileal atau caecal ileus” (gambaran


garis permukaan cairan – udara di sekum atau ileum)

 Patognomonik bila terlihat gambaran fekalith

 Foto polos pada appendicitis perforasi:

- Gambaran perselubungan lebih jelas dan dapat tidak

berbatas di kuadran kanan bawah

- Penebalan dinding usus di sekitar lemak appendiks,

seperti caecum dan ileum

- Garis lemak pre-peritoneal menghilang

- Skoliosis ke kanan

Gambar 8. Appendikogram

o USG atau CT Scan

 USG dilakukan khususnya untuk melihat keadaan kuadran

kanan bawah atau nyeri pada pelvis pada pasien anak atau

wanita. Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang

pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks Adanya

peradangan pada appendiks menyebabkan ukuran appendiks

lebih dari normal (diameter 6mm). Kondisi penyakit lain pada

kuadran kanan bawah seperti inflammatory bowel disease,

diverticulitis cecal, divertikulum meckel’s, endometriosis dan


Pelvic Inflammatory Disease (PID) dapat menyebabkan positif

palsu pada hasil USG.

Gambar 9. Ultrasonogram appendiks pada potongan longitudinal

 Pada CT Scan khususnya appendiceal CT, lebih akurat dibanding

USG. pada pemeriksaan ini ditemukan bagian yang menyilang

dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami

inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Selain dapat

mengidentifikasi appendiks yang mengalami inflamasi. (diameter

lebih dari 6 mm) juga dapat melihat adanya perubahan akibat

inflamasi pada periappendiks.


Gambar 10. CT Scan abdomen. Kiri : Appendisitis perforata dengan abses dan

kumpulan cairan di pelvis. Kanan : Penebalan Appendiks (panah) dengan

appendicolith

o Laparoskopi

Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang

dimasukan dalam abdomen, appendiks dapat divisualisasikan

secara langsung. Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh

anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan

peradangan pada appendiks maka pada saat itu juga dapat

langsung dilakukan pengangkatan appendix.

o Histopatologi

Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold

standard) untuk diagnosis appendicitis akut. Ada beberapa

perbedaan pendapat mengenai gambaran histopatologi apendisitis

akut. Perbedaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa belum

adanya kriteria gambaran histopatologi appendicitis akut secara

universal dan tidak ada gambaran histopatologi apendisitis akut


pada orang yang tidak dilakukan operasi. Definisi histopatologi

apendisitis akut :

 Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus

di lapisan epitel.

 Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel.

 Sel granulosit dalam lumen appendix dengan infiltrasi ke

dalam lapisan epitel.

 Sel granulosit diatas lapisan serosa appendix dengan abses

apendikuler, dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukosa.

 Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses

mukosa dan keterlibatan lapisan mukosa, bukan apendisitis

akut tetapi periapendisitis.

SISTEM SCORING
2.9 DIAGNOSIS BANDING APENDISITIS

Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai

diagnosis banding :

 Gastroenteritis. Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului

rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas.

Hiperperistalsis sering ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol

dibandingkan appendiksitis akut.

 Demam dengue (DHF). Demam dengue dapat dimulai dengan rasa sakit

perut di epigastrium mirip peritonitis, juga disertai mual muntah.

Didapatkan hasil tes positif untuk Rumple leede, trombositopenia, dan

hematokrit meningkat. Demamnya bersifat saddle type, hal ini

membedakannya dengan demam akibat appendisitis.

 Demam Typhoid. Gejalanya hampir mirip dengan appendisitis yaitu ada

nyeri perut, mual, muntah, demam tinggi intermitten. Perbedaannya, pada

demam thyfoid lidah penderita tampak kotor.

 Limfadenitis mesenterika. Biasa didahului oleh enteritis atau gastrienteritis

ditandai dengan nyeri perut, terutama kanan disertai dengan perasaan mual,

nyeri tekan perut samar, terutama sebelah kanan.

 Kelainan ovulasi. Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin

memberikan rasa nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus

menstruasi. Pada anamnesis, nyeri yang sama pernah timbul lebih dulu.

Tidak ada tanda radang, dan nyeri biasanya hilang dalam waktu 24 jam,

tetapi mungkin dapat mengganggu selama dua hari. Jarang disertai dengan

demam dan leukositosis.


 Infeksi panggul. Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan

appendiksitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan

nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya

disertai keputihan dan ditemukan bakteri diplococcus pada sekret dan

infeksi urin. Pada colok vagina, akan timbul nyeri hebat di panggul jika

uterus diayunkan. Pada gadis dapat dilakukan colok dubur jika perlu untuk

diagnosis banding.

 Kehamilan di luar kandungan. Hampir selalu ada riwayat terlambat haid

dengan keluhan yang tidak menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus

kehamilan di luar rahim dengan perdarahan, akan timbul nyeri yang

mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik.

Pada pemeriksaan vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan rongga

Douglas dan pada kuldosentesis didapatkan darah.

 Kista ovarium terpuntir. Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang

tinggi dan teraba massa dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut,

colok vagina, atau colok rektal. Tidak terdapat demam. Pemeriksaan USG

dapat menentukan diagosis.

 Endometriosis eksterna. Endometrium diluar rahim akan memberikan

gejala nyeri di tempat endometriosis tersebut berada, dan darah menstruasi

terkumpul di tempat itu karena tidak ada jalan keluar.

 Urolitiasis pielum/ureter kanan. Adanya riwayat kolik dari pinggang ke

perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas.

Eritrosituria sering ditemukan. Foto polos perut atau urografi intravena

dapat memastikan penyakit tersebut. Pielonefritis sering disertai dengan

demam tinggi, menggigil, nyeri kostovertebral di sebelah kanan, dan


piuria.

 Penyakit saluran cerna lainnya. Penyakit lain yang perlu diperhatikan

adalah peradangan perut, seperti divertikulitis Meckel, perforasi tukak

duodenum atau lambung, kolesistisis akut, pankreatitis, divertikulitis

kolon, obstruksi usus awal, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis,

karsinoid, dan mukokel appendiks.

2.10 TATALAKSANA APENDISITIS

Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-

satunya pilihan yang baik adalah dengan dilakukan apendektomi. Pada apendisitis

tanpa komplikasi, biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis

gangrenosa atau apendisitis perforata. Penundaan tindakan bedah sambil

memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.

Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka atau dengan laparoskopi. Bila

apandektomi terbuka, insisi Mc Burney paling banyak dipilih. Pada penderita yang

diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan observasi terlebih dahulu.

Pemeriksaan laboratorium dan USG dapat dilakukan bila dalam observasi masih

timbul keraguan. Bila tersedia laparoskopi, tindakan laparoskopi diagnostik pada

kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi/tidak.

Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman

Gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik

perlu dilakukan sebelum tindakan pembedahan. Perlu dilakukan laparatomi dengan

insisi panjang supaya dapat dilakukan pencucian rongga peritoneum dari pus

maupun pengeluaran fibrin yang adekuat secara mudah serta pembersihan kantong

nanah.

Terapi Medikamentosa
Inisial kesuksesan terapi dengan medikamentosa sebesar 95%, akan tetapi

dengan follow up yang singkat didapatkan angka rekurensi sebesar 35%. Karena

adanya rekurensi yang tinggi inilah, standar terapi untuk appendicitis akut adalah

operatif.

Open Appendectomy

Insisi dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :

1. Incisi Mc Burney (incisi oblique)

2. Incisi Rocky – Davis (incisi transversal)

Keduanya dilakukan dengan

memisahkan serat-serat otot sesuai dengan

arahnya (muscle splitting incision / grid

incision). Incisi ini dilakukan pada bagian

tengah dari garis midclavicula. Sayatan ini

mengenai cutis, subcutis, dan fascia. Otot-otot dinding perut dibelah secara

tumpul menurut arah serabutnya. Setelah itu akan tampak peritoneum

parietal yang disayat secukupnya untuk meluksasi caecum. Teknik inilah

yang paling sering dikerjakan karena keuntungannya tidak terjadi benjolan

dan tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi minimum pada alat-alat

tubuh dan masa istirahat pasca bedah yang lebih pendek karena

penyembuhan lebih cepat. Kerugiannya adalah lapangan operasi terbatas,

sulit diperluas, dan waktu operasi lebih lama. Lapangan operasi dapat

diperluas dengan memotong otot secara tajam.

3. Incisi Roux (muscle cutting incision)


Lokasi dan arah sayatan sama dengan Mc Burney, hanya sayatannya

langsung menembus otot dinding perut tanpa memperdulikan arah serabut

sampai tampak peritoneum. Keuntungannya adalah lapangan operasi lebih

luas, mudah diperluas, sederhana, dan mudah. Sedangkan kerugiannya adalah

diagnosis yang harus tepat sehingga lokasi dapat dipastikan, lebih banyak

memotong saraf dan pembuluh darah sehingga perdarahan menjadi lebih

banyak, masa istirahat pasca bedah lebih lama karena adanya benjolan yang

mengganggu pasien, nyeri pasca operasi lebih sering terjadi, kadang-kadang

ada hematoma yang terinfeksi, dan masa penyembuhan lebih lama.

4. Incisi paramedian / pararektal. Tetapi jenis incisi ini jarang dilakukan.

Dilakukan sayatan pada garis batas lateral m. Rectus abdominis dextra

secara vertikal dari kranial ke kaudal sepanjang 10 cm. Keuntungannya,

teknik ini dapat dipakai pada kasus-kasus appendiks yang belum pasti dan

kalau perlu sayatan dapat diperpanjang dengan mudah. Sedangkan

kerugiannya, sayatan ini tidak secara langsung mengarah ke appendiks atau

caecum, kemungkinan memotong saraf dan pembuluh darah lebih besar, dan

untuk menutup luka operasi diperlukan jahitan penunjang.

Appendektomi laparoskopi

Pertama kali dikerjakan oleh Semm pada tahun 1983.

Appendektomi laparoskopi dilakukan dengan anestesi

umum. Biasanya memerlukan 3 lubang masuk – 4 lubang

masuk pada appendiks retrocaecal. Trocar I (10 mm)

diletakkan di umbilicus, trocar II (10 – 12 mm) diletakkan


di suprapubic, dan trocar III (5 mm) dapat diletakkan bervariasi, biasanya bisa di kuadran kiri

bawah, epigastrium, dan kuadran kanan atas tergantung lokasi dari appendiks.

Kontraindikasi relatif untuk dilakukan appendektomi laparoskopi antara lain :

 Infeksi dan / atau abses yang ekstensif

 Appendiks yang mengalami perforasi

 Obesitas

 Adanya riwayat operasi pada abdomen yang

meninggalkan bekas

 Tidak dapat melihat jelas organ-organ abdomen

 Ada masalah perdarahan selama operasi

Bila hal-hal tersebut tejadi, maka lebih baik dilakukan open appendektomi.

Tabel 3. Perbandingan Open Appendectomy dan Appendektomi Laparoskopi

Open appendectomy Appendektomi laparoskopi

Lama operasi Butuh waktu sebentar Lebih lama

Alat yang dibutuhkan Lebih sedikit Lebih banyak

Harga Lebih murah Lebih mahal

Infeksi luka operasi Lebih sering Lebih jarang

Abses intraabdominal Lebih jarang 3x lebih sering

Nyeri post operasi Lebih lama Lebih cepat

Reaktivitas Lebih lama Lebih cepat


Pada appendicitis yang mengalami perforasi, penanganannya hampir

sama dengan appendicitis gangrenosa. Kebanyakan dari pasien-pasien ini

mengalami penurunan volume cairan sehingga membutuhkan waktu 2 jam

atau lebih untuk resusitasi cairan sebelum operasi. Pasien dengan appendicitis

perforasi sudah mengalami peritonitis dan membutuhkan antibiotik spektrum

luas secara intravena yang harus diberikan sesegera mungkin. Perawatannya

membutuhkan waktu lebih lama, bisa 7 sampai 10 hari atau setelah pasien

bebas panas dengan leukosit yang normal.

The Surgical Infection Society menganjurkan pemberian antibiotik

profilaksis sebelum pembedahan dengan menggunakan antibiotik spektrum

luas kurang dari 24 jam untuk appendicitis non perforasi dan kurang dari 5 jam

untuk apendisitis perforasi.

 Resusitasi

Penggantian cairan dan elektrolit, mengontrol sepsis, antibiotik

sistemik adalah pengobatan pertama yang utama pada peritonitis difus

termasuk akibat appendicitis dengan perforasi. Cairan yang secara masif ke

rongga peritonium harus di ganti segera dengan cairan intravena, jika

terbukti terjadi toksik sistemik, atau pasien tua atau kesehatan yang buruk

harus dipasang pengukur tekanan vena sentral. Cairan atau berupa ringer

laktat harus di infus secara cepat untuk mengkoreksi hipovolemia dan

mengembalikan tekanan darah serta pengeluaran urin pada level yang baik.

Darah diberikan bila mengalami anemia dan atau dengan perdarahan secara

bersamaan.

 Antibiotik
Pemberian antibiotik intravena diberikan untuk antisipasi bakteri

patogen, antibiotik initial diberikan termasuk generasi ke-3 cephalosporin,

ampicillin- sulbaktam, dll dan metronidazol atau klindamisin untuk bakteri

anaerob. Pemberian antibiotik post operasi harus diubah berdasarkan kultur

dan sensitivitas. Antibiotik tetap diberikan sampai pasien tidak demam

dengan normal leukosit.

Setelah memperbaiki keadaan umum dengan infus, antibiotik serta

pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan pembedahan sebagai terapi

definitif dari appendicitis perforasi. Tindakan yang paling tepat apabila

diagnosa klinik sudah jelas adalah appendektomi. Penundaan tindakan

bedah sambil dilakukan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses

atau perforasi.

Indikasi untuk appendektomi adalah appendicitis akut, appendicitis

infiltrat dalam stadium tenang, appendicitis kronis dan appendicitis

perforasi. Pada appendicitis perforasi dilakukan segera dengan laparatomi.

Appendicitis akut yang terdiagnostik lebih dari 48 jam memerlukan

tindakan, karena tindakan operasi pada kasus ini lebih sulit dan banyak

manipulasi karena sudah banyak perlengketan, dapat merusak barier yang

sudah ada sehingga infeksi mudah menyebar. Pada waktu pengambilan

appendix dapat mengakibatkan pecahnya appendix dan mesoappendix

dalam keadaan edema sehingga jahitan operasi tidak rapat.

Operasi appendix hari ke 3-7 angka mortalitasnya tinggi walau sudah

diberi antibiotik. Terapi adalah konservatif dulu baru dilakukan operasi bila

sudah tenang. Appendisitis dengan komplikasi peritonitis generalisata perlu


dieksplorasi dan membuang appendiks tersebut yang menjadi sumber

infeksi.

2.11 KOMPLIKASI APENDISITIS

Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan appendicitis. Faktor

keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita

meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan

diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat

melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka

morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi appendicitis 10-32%, Paling sering

terjadi pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di

bawah 2 tahun dan 40-75% pada orang tua. Anak-anak memiliki dinding appendiks

yang masih tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna sehingga

memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan

pembuluh darah. Adapun jenis komplikasi diantaranya:

 Massa Periapendikuler

Teraba massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Hal ini terjadi

bila appendicitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum. Massa

periapendikuler ini mula-mula berupa flegmon dan dengan pembentukan dinding

yang belum sempurna dapat terjadi penyebaran pus ke ke seluruh rongga peritoneum

jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa

periapendikuler yang masih bebas (mobile) sebaiknya segera dioperasi untuk

mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasinya masih mudah. Pada anak,

dipersiapkan operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa

periapendikuler yang terpancang dengan pendindingan yang sempurna sebaiknya

dirawat terlebih daulu dan diberi antibiotik sambil dilakukan pemantauan terhadap
suhu tubuh, ukuran massa, dan luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam,

massa periapendikuler hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan

apendektomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat

perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk

abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi,

bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, dan kenaikan leukosit.

Apendektomi dilakukan pada infiltrat periapendikuler tanpa pus yang telah

ditenangkan. Sebelumnya, pasien diberi antibiotik kombinasi yang aktif terhadap

kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, 6-8 minggu kemudian

dilakukan apendektomi. Pada anak kecil, wanita hamil, dan usia lanjut, jika cara

konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan untuk

dilakukan operasi secepatnya. Bila sudah terjadi abses, dianjurkan untuk dilakukan

drainase dan apendektomi dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika, pada saat

dilakukan drainase bedah, apendiks mudah diangkat, dianjurkan sekaligus dilakukan

apendektomi.

 Perforasi

Perforasi adalah komplikasi paling berbahaya pada apendisitis. Adanya fekali

di dalam lumen, umur (orang tua/anak kecil), dan keterlambatan diagnosis

merupakan faktor yang berperan penting pada terjadinya perforasi. Insidensi

perforasi pada usia di atas 60 tahun dilaporkan terjadi sekitar 60%. Pada orangtua,

gejala yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi apendiks

berupa penyempitan lumen, dan arteriosklerosis menjadi faktor yang

mempengaruhi tingginya insidensi perforasi. Sedangkan pada anak disebabkan

oleh dinding apendiks yang masih tipis, anak kurang komnikatif sehingga

memperpanjang waktu diagnosis, dan proses pendindingan yang kurang sempurna


akibat perforasi yang cepat dan omentum anak belum berkembang.

Perforasi yang terjadi dapat berupa perforasi bebas maupun perforasi pada

apendiks yang telah mengalami pendindingan sehingga berupa massa yang terdiri

dari kumpulan apendiks, caecum, dan lekuk usus halus. Perforasi jarang terjadi

dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam.

Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang

timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50 C, tampak toksik, nyeri

tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama polymorphonuclear (PMN).

Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan

peritonitis.

 Peritonitis

Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya

yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Pecahnya appendiks yang

berisi pus menyebabkan bakteri menyebar ke rongga perut atau peritonitis

purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat pada seluruh

perut, dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskular

juga terjadi di seluruh perut, dengan punctum maksimum di regio iliaca kanan,

peristaltik usus dapat menurun sampai hilang akibat ileus paralitik. Dapat juga

mengakibatkan hilangnya cairan elektrolit sehingga pasien dapat mengalami

dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit

perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.

2.11 PROGNOSIS APENDISITIS

Mortalitas apendisitis adalah 0,1% jika apendisitis akut tidak pecah, dan

15% jika pecah pada orang tua. Kematian biasanya disebabkan oleh sepsis, emboli

paru, atau aspirasi. Prognosis membaik dengan diagnosis dini sebelum ruptur dan
pemberian antibiotik dan pembedahan. Keterlambatan diagnosis akan

meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang

dapat terjadi bila appendix tidak diangkat.

Hal-hal lain yang mempengaruhi tinggi rendahnya angka kematian akibat

appendicitis adalah usia pasien dan terjadinya perforasi. Pada orang tua dengan

komplikasi perforasi maka angka kematiannya menjadi jauh lebih tinggi

dbandingkan dengan orang muda tanpa perforasi. Tingkat kematian pada anak-

anak berkisar antara 0,1% sampai 1%; pada pasien yang lebih tua dari 70 tahun,

tingkat naik di atas 20%, terutama karena keterlambatan diagnostik dan terapeutik.

Risiko kematian apendisitis akut tetapi tidak gangren kurang dari 0,1%, namun

risiko naik menjadi 0,6% pada apendisitis gangren.


BAB III

KESIMPULAN

Appendix vermiformis merupakan saluran seperti umbai cacing dengan

panjang yang sangat bervariasi, yaitu 2-15 cm. Peradangan yang terjadi pada

appendix vermicularis disebut appendicitis. Appendicitis merupakan kasus bedah

abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa. Penyebab

terjadinya appendicitis karena adanya obstruksi, mikroorganisme, dan gaya hidup.

Gejala khas dari penyakit ini adalah nyeri di kuadran kanan bawah abdomen

disertai demam, mual, dan muntah. Pada pemeriksaan rovsing sign, psoas sign

serta obturator sign didapatkan hasil positif dan pada pemeriksaan leukosit

ditemukan jumlah leukosit lebih dari 10.000/mm3.

Terapi yang dapat dilakukan meliputi terapi secara konservatif dan operatif.

Terapi konservatif dilakukan sebelum melakukan tindakan appendectomy/operatif.

Dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik dan resusitasi cairan.

Prognosis membaik dengan diagnosis dini sebelum ruptur dan pemberian

antibiotik dan pembedahan. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas

dan mortalitas bila terjadi komplikasi.


DAFTAR PUSTAKA

1. Jaffe, B M., Berger, D H. 2005. The appendix. In Schwartz’s Principles of Surgery. 8th

Edition. McGraw Hill. United States of America. Page 1119 - 34.

2. Kartono, D. 1995. Apendisitis Akuta. In Reksoprodjo, S (Ed). Kumpulan Kuliah Ilmu

Bedah. Bagian Bedah Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Page 110, 112.

3. Schwartz’s. Principles of Surgery 9th Edition. United States. Mc-Graw Hill.

2011. P. 124-1257

4. Snell RS. Clinical Anatomy by Regions. Philadelphia: Lippincott Williams

& Wilkins. P. 229-231

5. Sjamsuhidayat R, De Jong Wim. Usus halus, apendiks, kolon, dan anorektum.

Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2013. p. 756-762

6. Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, W I., Setiowulan W. 2000. Apendisitis. In Kapita

Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Jilid 2. Media Aesculapius. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Jakarta. Page 310.

7. Way, L W. 2006. Appendix. In Doherty, G M (Ed). A Lange Medical Book. Current

Surgical Diagnosis and Treatment. International Edition. 12th Edition. McGraw Hill.

United States of America. Page 648 – 52.

8. Sabiston. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC. 1995. Hal 490-499

9. Zhang SX. An Atlas of Histology. Lexington. Springer. 1999. P. 234-236

10. Mescher AL. The Male Reproductive System In Junqueira’s Basic Histology Text

and Atlas, 12th Edition. USA. Mc-Graw-Hill. 2010. P. 383-385.

11. Laparoscopic Appendectomy. 2006. Available at : http://www.sages.org/sages

publication.php?doc=PI08.

12. Widjaja IH. Anatomi Abdomen. Jakarta: EGC. 2008. Hal 87-94

Anda mungkin juga menyukai