Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix


vermicularis. Appendix merupakan organ tubular yang terletak pada
pangkal usus besar yang berada di perut kanan bawah dan organ ini
mensekresikan IgA namun seringkali menimbulkan masalah bagi
kesehatan. Peradangan akut Appendix atau Appendicitis acuta
menyebabkan komplikasi yang berbahaya apabila tidak segera dilakukan
tindakan bedah.

Apendisitis akut adalah kondisi bedah akut yang paling umum dari
abdomen. Diagnosis ini dibuat berdasarkan keseluruhan riwayat klinis,
pemeriksaan dan didukung oleh pemeriksaan penunjang. Diagnosis dan
penatalaksanaan yang tepat dan cepat dapat mengurangi risiko perforasi
dan mencegah komplikasi lainnya.

Semua kasus appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan dari


Appendix yang terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan
laparoscopy. Apabila tidak dilakukan tindakan pengobatan, maka angka
kematian akan tinggi, terutama disebabkan karena peritonitis dan syok.
Reginald Fitz pada tahun 1886 adalah orang pertama yang menjelaskan
bahwa Appendicitis acuta merupakan salah satu penyebab utama terjadinya
akut abdomen di seluruh dunia.

Appendicitis merupakan penyebab tersering dari nyeri abdomen yang


progresif dan menetap pada semua golongan umur, kegagalan menegakkan
diagnosa dan keterlambatan penatalaksanaannya akan menyebabkan
peningkatan morbiditas dan mortalitas.

1.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI

Pada orang dewasa, rata-rata panjang apendiks adalah 6 hingga 9 cm;


namun, dapat bervariasi antara <1 dan >30 cm. Diameter luarnya bervariasi
antara 3 dan 8 mm, sedangkan diameter luminal antara 1 dan 3 mm.

GAMBAR ILUSTRASI LETAK ANATOMIS APENDIKS VERMIFORMIS

Apendiks mendapat vaskularisasi dari appendicular branch dari


ileocolic artery. Arteri ini berasal dari belakang ileum terminal, memasuki
mesoapendiks dekat dengan basis apendiks. Drainase limfatik dari apendiks
mengalir ke kelenjar getah bening (KGB) yang berada sepanjang ileocolic
artery. Inervasi apendiks berasal dari elemen simpatis oleh pleksus

2
mesenterik superior (T10-L1) dan aferen dari elemen parasimpatis oleh
nervus vagus.

GAMBAR ILUSTRASI LETAK ANATOMIS APENDIKS VERMIFORMIS

Secara histologis, apendiks dibungkus oleh 3 lapisan, yaitu lapisan luar


serosa, merupakan ekstensi dari peritoneum; lapisan muskularis, yang tidak
well defined dan bisa tidak ada pada lokasi tertentu; dan lapisan submukosa
dan mukosa. Agregrat limfoid terjadi pada lapisan submukosa dan dapat
menyebar hingga muskularis mukosa. Saluran limfatik terlihat jelas pada
daerah agregat limfoid ini. Mukosanya mirip dengan kolon, kecuali
densitas dari folikel limfoidnya. Kriptusnya berukuran dan berbentuk
ireguler, kontras dengan kriptus kolon yang tampak lebih seragam.
Kompleks neuroendokrin terbentuk oleh sel ganglion, sel Schwann, serat
neural, dan sel neurosekretorik yang terletak tepat di bawah kriptus.

Pada 65% kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu


memungkinkan appendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada
panjang mesoappendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, appendiks
terletak retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di belakang

3
kolonasendens, atau di tepi lateral kolon asendens. Gejala klinis
appendicitis ditentukan oleh letak appendiks.

 Promontorik; ujung appendiks menunjuk ke arah promontorium sacri.


 Retrocolic; appendiks berada di belakang kolon ascenden dan biasanya
retroperitoneal.
 Antecaecal; appendiks berada di depan caecum.
 Paracaecal; appendiks terletak horizontal di belakang caecum.
 Pelvic Descenden; appendiks menggantung ke arah pelvis minor.
 Retrocaecal; intraperitonal atau retroperitoneal; appendiks berputar ke
atas ke belakang caecum.

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti


a.mesenterika superior dan a.appendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendicitis
bermula di sekitar umbilikus. Pendarahan appendiks berasal dari a.
appendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini
tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, appendiks akan
mengalami gangren.

Secara histologis, appendiks mempunyai basis struktur yang sama


seperti usus besar. Glandula mukosanya terpisahkan dari vaskular
submukosa oleh mukosa maskularis. Bagian luar dari submukosa adalah
dinding otot yang utama. Appendiks terbungkus oleh tunika serosa yang
terdiri atas vaskularisasi pembuluh darah besar dan bergabung menjadi satu
di mesoapendiks. Jika appendiks terletak di retroperitoneal, maka
appendiks tidak terbungkus oleh tunika serosa.

2.2. FISIOLOGI

Selama beberapa tahun, apendiks secara keliru diyakini sebagai organ


vestigial tanpa fungsi yang diketahui. Saat ini apendiks dianggap sebagai
organ imunologik yang secara aktif ikut berpartisipasi dalam sekresi
imunoglobulin, khususnya imunoglobulin A.

4
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara
appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendicitis.
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated
Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk
appendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil
sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh
tubuh.

Apendiks dapat berfungsi sebagai tempat penyimpanan untuk


rekolonisasi kolon dengan bakteri sehat. Satu penelitian retrospektif
membuktikan bahwa apendektomi sebelumnya mungkin memiliki
hubungan terbalik dengan infeksi Clostridium difficile berulang. Namun,
pada penelitian retrospektif lain, apendektomi sebelumnya tidak
mempengaruhi terjadinya infeksi C. difficile. Peran apendiks dalam
merekolonisasi kolon tetap dicari kejelasannya.

2.3. EPIDEMIOLOGI

Resiko seumur hidup timbulnya apendisitis adalah 8,6% untuk laki-


laki dan 6,7% untuk perempuan, dengan insiden tertinggi pada dekade
kedua dan ketiga. Jumlah apendektomi untuk apendisitis telah menurun
sejak 1950an pada sebagian besar negara. Di Amerika, mencapai jumlah
insiden terendah menjadi 15 per 10.000 penduduk pada tahun 1990an.
Sejak saat itu, terjadi kenaikan insidensi apendisitis non-perforasi.
Alasannya tidak jelas, tetapi disarankan bahwa peningkatan penggunaan
pencitraan diagnostik menyebabkan deteksi yang lebih tinggi dari
apendisitis ringan yang mungkin tidak terdeteksi.

2.4. DEFINISI

Appendicitis merupakan peradangan pada appendix vermiformis.


Peradangan akut appendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk
mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya.

5
2.5. ETIOPATOGENESIS

Etiologi dan patogenesis dari apendisitis tidak sepenuhnya dimengerti.


Obstruksi lumen karena fecaliths atau hipertrofi dari jaringan limfoid
disarankan sebagai faktor etiologik utama dari apendisitis akut. Frekuensi
obstruksi meningkat seiring dengan keparahan proses imflamatorik.
Fecaliths dan calculi ditemukan pada 40% kasus apendisitis akut simpel,
pada 65% kasus apendisitis gangrenosa tanpa ruptur dan pada hampir 90%
gangrenosa dengan ruptur.

Dahulu diyakini bahwa terdapat tahapan kejadian yang dapat


diprediksi yang pada akhirnya berujung ruptur apendiks. Obstruksi
proksimal pada lumen apendiks menyebaban closed-loop obstruction, dan
sekresi normal yang terus-menerus oleh mukosa apendiks menyebabkan
distensi. Distensi apendiks menstimulasi ujung saraf dari visceral afferent
stretch fibers, menyebabkan nyeri tidak jelas, tumpul, menyebar pada regio
umbilikus atau bagian bawah epigastrium. Distensi akan bertambah dengan
sekresi mukosa terus-menerus dan multiplikasi cepat dari bakteri yang
tinggal di apendiks. Hal ini menyebabkan refleks mual dan muntah, dan
nyeri viseral bertambah. Seiring dengan bertambahnya tekanan pada organ,
melebihi tekanan vena. Kapiler dan vena teroklusi tetapi aliran arteri tetap
berlanjut, menyebabkan pembengkakan dan kongesti vaskular. Lalu proses
inflamasi mengikutsertakan serosa apendiks, selanjutnya peritoneum
parietalis. Hal ini menggambarkan karakteristik gejala perpindahan nyeri ke
kuadran kanan bawah.

Mukosa apendiks rentan terhadap gangguan perfusi, sehingga


integritasnya terganggu di awal proses, memberi peluang invasi bakteri.
Daerah dengan perfusi yang paling sedikit yang paling terpengaruh: infark
elipsoidal berkembang pada batas antimesenterik. Dengan berkembangnya
distensi, invasi bakterial, gangguan perfusi, dan infarksi, perforasi terjadi,
biasanya pada batas antimesenterik tepat setelah titik obstruksi. Tahapan ini
tidak bisa dihindari, namun pada beberapa episode apendisitis akut dapat
sembuh dengan sendirinya.

6
2.6. MIKROBIOLOGI

Apendisitis dapat terjadi menimbulkan sekelompok gejala secara


bersamaan, menyarankan asalnya infeksi. Namun, asosiasinya dengan
bakteri kontagius dan virus telah ditemukan dalam sebagian kecil pasien
apendisitis. Flora normal pada apendiks yang meradang berbeda dengan
pada apendiks normal. Sekitar 60% aspirat dari apendiks yang meradang
memiliki anaerob, dibandingkan dengan 25% aspirat dari apendiks normal.
Sampel jaringan dari dinding apendiks yang meradang (bukan aspirat
luminal) secara visual semua menumbuhkan spesies Escherichia coli dan
Bacteroides pada kultur. Fusobacterium nucleatum/necrophorum, yang
tidak ditemukan pada flora normal caecum, telah diidentifikasi pada 62%
apendiks yang meradang. Sebagai tambahan untuk spesies biasa lainnya
(Peptostreptococcus, Pseudomonas, Bacteroides splanchicus, Bacteroides
intermedius, Lactobacillus), bacillus anaerob gram negatif yang
sebelumnya tidak dilaporkan telah ditemukan. Pasien apendisitis dengan
gangren atau perforasi tampaknya memiliki lebih banyak invasi jaringan
oleh Bacteroides.

2.7. MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS

Apendisitis umumnya dimulai dengan nyeri menyebar di sekitar


umbilikus yang nantinya terlokalisasi pada kuadran kanan bawah
(sensitivitas 81%, spesifisitas 53%). Walaupun nyeri kuadran kanan bawah
adalah salah satu tanda paling sensitif dari apendisitis, nyeri pada lokasi
atipikal atau nyeri minimal sering menjadi presentasi awal. Variasi lokasi
anatomis dari apendiks dapat berperan dalam membedakan perbedaan
presentasi dari fase somatis nyeri.

Apendisitis juga memiliki hubungan dengan gejala gastrointestinal


seperti mual (sensitivitas 58%, spesifisitas 45%) dan anoreksia (sensitivitas
68%, spesifisitas 36%). Gejala gastrointestinal yang timbul sebelum
timbulnya nyeri menyarankan etiologi yang berbeda seperti gastroenteritis.
Banyak pasien mengeluhkan sensasi obstipasi sebelum gejala nyeri timbul

7
dan merasa bahwa defekasi dapat meredakan gejala nyeri abdomen. Diare
dapat terjadi berhubungan dengan perforasi, terutama pada anak-anak.

2.7.1. GEJALA DAN TANDA

Awalnya, tanda vital dapat berubah secara minimal. Suhu


tubuh dan nadi dapat normal atau sedikit meningkat. Perubahan
yang lebih besar mengindikasikan terjadinya komplikasi atau
diagnosa lain perlu dipertimbangkan.

Penemuan fisik ditentukan dari ada tidaknya iritasi peritoneum


dan dipengaruhi oleh ruptur tidaknya organ saat pertama kali
diperiksa. Pasien apendisitis biasanya bergerak perlahan dan lebih
memilih berbaring telentang karena iritasi peritoneum. Pada
palpasi abdomen, ditemukan nyeri tekan maksimal pada atau
sekitar titik McBurney. Pada palpasi dalam, sering dirasakan
adanya resisten muskular (guarding) pada fossa iliaca dextra, lebih
jelas dibandingkan dengan sisi sinistra. Saat tekanan dari tangan
pemeriksa dilepaskan secara mendadak, pasien merasakan nyeri
mendadak, yang disebut sebagai nyeri lepas (rebound tenderness).
Nyeri tekan tidak langsung (Rovsing’s sign) dan nyeri lepas tidak
langsung (nyeri pada kuadran kanan bawah saat kuadran kiri
bawah dipalpasi) adalah bukti kuat terjadinya iritasi peritoneum.
Nyeri lepas dirasa sangat tajam dan tidak nyaman bagi pasien.
Sehingga disarankan untuk memulai memeriksa nyeri lepas tidak
langsung dan nyeri ketok langsung terlebih dahulu.

Variasi anatomis pada apendiks yang meradang berujung pada


deviasi penemuan fisik yang umum. Dengan apendiks retrocecal,
penemuan pada abdomen bisa menjadi kurang jelas, dan nyeri
tekan paling jelas pada pinggang (flank). Saat apendiks tergantung
di dalam pelvis, penemuan pada abdomen bisa sama sekali tidak
ditemukan, dan diagnosa apendisitis dapat terlewatkan. Nyeri
rektal sisi kanan dikatakan dapat membantu dalam situasi ini, tetapi

8
nilai diagnostiknya rendah. Nyeri pada ekstensi dari kaki kanan
(psoas sign) mengindikasikan adanya fokus iritasi pada bagian
proksimal dari muskulus psoas (menunjukkan apendiks retrosekal).
Peregangan muskulus obturator internus melalui rotasi internal dari
paha terfleksi (obturator sign) menyarankan inflamasi di dekat otot
(menunjukkan apendiks pelvis). Peningkatan nyeri yang dirasakan
saat batuk disebuy Dunphy’s sign.

Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik dalam


pemeriksaan yang berhubungan dengan apendisitis, antara lain:

 Rovsing’s Sign
Penekanan pada abdomen kuadran kiri bawah akan
menimbulkan nyeri di abdomen kuadran kanan bawah. Hal ini
disebabkan oleh karena iritasi dari peritoneum. Disebut juga
nyeri tekan kontralateral. Sering positif pada appendicitis
namun tidak spesifik.

 Blumberg Sign
Manuver dikatakan positif apabila penderita merasakan nyeri
di kuadran kanan bawah saat pemeriksa menekan di abdomen
kuadran kiri bawah lalu melepaskannya. Disebut juga nyeri
lepas kontralateral.

 Psoas Sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan pemeriksa memegang
lutut pasien dan tangan kiri menstabilkan pinggulnya.

9
Kemudian tungkai kanan pasien digerakkan ke arah
anteroposterior. Nyeri pada manuver ini menunjukkan
appendiks mengalami peradangan kontak dengan otot psoas
yang meregang saat dilakukan manuver.

 Obturator Test
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada
telapak kaki kanan pasien sedangkan tangan kiri di sendi
lututnya. Kemudian pemeriksa memposisikan sendi lutut
pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam posisi
endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini positif bila pasien
merasakan nyeri di hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri pada
manuver ini menunjukkan adanya perforasi apendiks, abses
lokal, iritasi m.obturatorius oleh appendiks dengan letak
retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.

2.7.2. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Apendisitis berasosiasi dengan respon inflamasi yang


berhubungan erat dengan keparahan penyakitnya. Sehingga
pemeriksaan laboratorium adalah bagian penting dari diagnosa.

10
Leukositosis ringan sering timbul pada pasien dengan apendisitis
akut tanpa komplikasi dan biasanya dibarengi dengan
polymorphonuclear prominence. Jarang ditemukan leukosit
>18.000 sel/mm3 pada apendisitis tanpa komplikasi. Jumlah
melebihi level ini meningkatkan kemungkinan dari apendiks yang
perforasi dengan atau tanpa abses. Peningkatan konsentrasi C-
reactive protein (CRP) adalah indikator kuat apendisitis, terutama
apendisitis dengan komplikasi.

Leukosit bisa rendah karena lymphophenia atau reaksi septik,


tetapi dalam situasi ini, proporsi neutrofil umumnya sangat tinggi.
Maka seluruh variabel inflamasi harus dilihat secara bersamaan.
Kemungkinan kecil adalah apendiks jika leukosit, proporsi
neutrofil dan CRP dalam batas normal. Respon inflamasi pada
apendisitis akut adalah proses dinamis. Awalnya, respon inflamasi
bisa lemah. Elevasi CRP, pada umumnya, dapat terjadi penundaan
hingga 12 jam. Respon inflamasi yang berkurang dapat
mengindikasikan resolusi spontan.

Urinalisis dapat berguna untuk menyingkirkan saluran kencing


sebagai sumber infeksi; namun, leukosit atau eritrosit dapat
ditemukan dari iritasi ureter atau buli. Bakteriuria umumya tidak
tampak.

2.7.3. SKORING KLINIS

Diagnosis klinis apendisitis akut merupakan estimasi subjektif


dari kemungkian apendisitis berdasarkan beberapa variabel yang
secara individual diskriminator lemah; namun, digunakan secara
bersamaan, memiliki nilai prediksi yang tinggi. Proses ini dapat
dibuat menjadi lebih objektif dengan penggunaan sistem skoring
klinis, berdasarkan variabel yang terbukti dapat membedakan dan
diberi bobot yang sesuai. Skor Alvarado merupakan sistem
penilaian yang paling tersebar luas. Khususnya berguna untuk

11
menyingkirkan diagnosis apendisitis dan memilah pasien untuk
manajemen diagnostik lanjutan.

2.7.4. PEMERIKSAAN PENCITRAAN

Foto polos abdomen dapat menunjukkan adanya fecalith dan


feses di dalam cecum berhubungan dengan apendisitis tetapi jarang
membantu mendiagnosa apendisitis akut, namun dapat berguna
dalam menyingkirkan patologi lain. Radiografi thoraks dapat
membantu menyingkirkan nyeri alih dari lobus kanan bawah paru.
Jika apendiks terisi barium enema, kecil kemungkinan apendisitis;
namun pemeriksaan ini tidak diindikasikan pada keadaan akut.

Ultrasonografi (USG) dan computed tomography (CT) scan


adalah pencitraan yang paling sering digunakan pada pasien
dengan nyeri abdomen, terutama pada evaluasi kemungkinan
apendisitis. Meta-analisis multipel telah dilakukan untuk
membandingkan kedua modalitas. Rata-rata, CT-scan lebih sensitif

12
dan spesifik dibandingkan dengan USG dalam mendiagnosa
apendisitis.

Graded compression USG tidak mahal, dapat dapat dilakukan


dengan cepat, tidak membutuhkan medium kontras dan dapat
digunakan pada pasien hamil. Apendiks diidentifikasi sebagai
bowel loop buntu non-peristaltik berasal dari cecum. Dengan
kompresi maksimal, diameter apendiks diukur dengan arah
anterior-posterior. Penebalan dinding apendiks dan adanya cairan
periappendiceal kemungkinan besar menyarankan apendisitis.
Apendiks yang mudah dikompresi berdiameter <5 mm
menyingkirkan diagnosa apendisitis. Struktur lumen yang tidak
dapat dikompresi (lesi target) dapat menjadi gambaran terjadinya
apendisitis. Diagnosis sonografis apendisitis akut telah dilaporkan
memiliki sensitivitas 55-95% dan spesifisitas 85-98%. USG juga
efektif pada anak-anak dan perempuan hamil, walaupun
aplikasinya terbatas pada akhir kehamilan. USG memiliki limitasi,
terutama pada hasil yang operator-dependent.

Dengan CT-scan resolusi tinggi, apendiks yang meradang


tampak terdilatasi (>5 mm) dan dindingnya menebal. Sering
ditemukan tanda-tanda inflamasi, yaitu periappendicial fat
stranding, penebalan mesoapendiks, periappendiceal phlegmon,
dan cairan bebas. Fecaliths sering terlihat; namun keberadaannya
bukan patognomonik apendisitis. CT-scan juga baik digunakan
untuk mengidentifikasi proses inflamasi lainnya yang mirip
apendisitis. Beberapa teknik CT telah digunakan, termasuk CT-
scan fokus dan non-fokus dan CT-scan kontras dan non-kontras.
Secara mengejutkan, semua teknik ini memiliki akurasi diagnostik
yang identik : sensitivitas 92-97%, spesifisitas 84-85% dan akurasi
90-98%. Penambahan penggunaan kontras rektal tidak
memperbaik hasil CT-scan.

13
Dibandingkan potensial kegunaan CT-scan, terdapat kerugian
yang signifikan. CT-scan mahal, memaparkan pasien pada radiasi
signifikan dan memiliki limitasi pada kehamilan. Alergi pada iodin
atau kontras melimitasi pemberian kontras pada beberapa pasien,
dan beberapa tidak bisa mentolerir konsumsi oral kontras luminal.

Dibandingkan dengan peningkatan penggunaan USG dan CT-


scan, peluang kesalahan diagnosa apendisitis tetap konstan (15%).
Persentase kesalahan diagnosa apendisitis secara signifikan lebih
tinggi pada perempuan dibanding laki-laki (22% dibanding 9,3%).

2.8. DIAGNOSA BANDING

Diagnosa banding apendisitis akut secara esensial adalah diagnosis


akut abdomen. Gambaran klinis identik dapat disebabkan oleh banyak
proses akut di dalam rongga peritoneum yang menghasilkan kelainan
fisiologis sama seperti apendisitis akut.

Akurasi diagnosis pre-operatif seharunys lebih tinggi dari 85%. Jika


kurang dari itu, akan sering terjadi operasi yang tidak diperlukan dan
diperlukan diagnosa banding pre-operatif yang lebih teliti.

Penemuan umum pada kasus diagnosa pre-operatif apendisitis yang


salah–bersama-sama terjadi pada lebih dari 75% kasus– dalam urutan
menurun dalam frekuensi adalah adenitis mesenterik akut, tidak ada kondisi
patologis organik, pelvic inflammatory disease (PID) akut, kista ovarium
terpuntir atau ruptur folikel graaf, dan gastroenteritis akut.

Diagnosa banding apendisitis akut bergantung pada 4 faktor mayor:


lokasi anatomis dari apendiks yang meradang, tahapan dari proses (tanpa
atau dengan komplikasi), usia, dan jenis kelamin pasien.

Divertikulitis atau karsinoma cecum (atau bagian sigmoid yang berada


pada abdomen kanan bawah) perforata bisa jadi mustahil dibedakan dengan
apendisitis. Hal ini perlu dipertimbangkan, terutama pada pasien yang lebih
tua. CT-scan sering kali bermanfaat dalam menegakkan diagnosa pada

14
pasien yang lebih tua dengan nyeri perut kanan bawah dan presentasi klinis
atipikal. Pada pasien yang ditatalaksana secara konservatif, dianjurkan
melakukan pemantauan berkala kolon (kolonoskopi atau barium enema).

Penyakit organ reproduksi internal perempuan yang dapat


disalahartikan sebagai apendisitis (dalam urutan frekuensi menurun) adalah
PID, ruptur folikel graaf, kista atau tumor ovarium terpuntir, endometriosis,
dan kehamilan ektopik terganggu (KET). Alhasil, peluang salah diagnosa
tetap lebih tinggi pada perempuan.

Pada PID, infeksi biasanya bilateral, tetapi jika hanya pada tuba kanan
maka dapat menyerupai apendisitis akut. Mual dan muntah terjadi pada
pasien apendisitis tetapi hanya sekitar 50% pada PID. Nyeri dan nyeri tekan
biasanya lebih rendah dan terdapat nyeri goyang serviks. Diplokokus
intraselular dapat tampak pada apusan sekret purulen vagina. Perbandingan
kasus apendisitis dengan PID rendah pada perempuan di awal fase
menstruasi dan tinggi pada fase luteal. Penggunaan hal ini secara teliti
menurunkan insidensi penemuan negatif dalam laparoskopi pada
perempuan muda hingga 15%.

Ovulasi biasanya menyebabkan tumpahnya sejumlah darah dan cairan


folikuler yang cukup untuk menghasilkan nyeri perut bawah yang singkat
dan ringan. Jika jumlah cairan cukup banyak dan berasal dari ovarium
kanan, maka dapat menstimulasi apendisitis. Nyeri dan nyeri tekan
biasanya menyebar, dan leukositosis dan demam biasa ringan atau tidak
ada. Karena nyeri ini terjadi pada titik tengah siklus menstruasi, sering
dinamakan mittelschmerz.

Kista serosa ovarium umum terjadi dan biasanya tidak menimbulkan


gejala. Ketika kista sisi kanan mengalami ruptur atau torsio, manifestasinya
serupa dengan apendisitis. Pasien mengalami nyeri perut kuadran kanan
bawah, nyeri tekan, nyeri lepas, demam, dan leukositosis. Baik USG
transvaginal dan CT-scan bisa membantu diagnosa.

15
Torsio memerlukan tatalaksana operatif darurat. Jika torsio yang
terjadi komplit atau lama, pedicle mengalami trombosis, dan ovarium serta
tuba menjadi gangren dan memerlukan reseksi. Namun, simple detorsion,
fenestrasi kista dan fiksasi ovarium sebagai intervensi utama, diikuti
dengan laparoskopi beberapa hari setelahnya, dapat dianjurkan karena
sering kali sulit untuk menentukan secara pre-operatif viabilitas ovarium.

Implantasi blastokista pada tuba fallopii (biasanya pada bagian


ampulla) dan ovarium. Ruptur tuba kanan atau kehamilan ovarium dapat
menyerupai apendisitis. Pasien dapat memiliki riwayat menstruasi
abnormal, baik melewatkan satu atau dua siklus atau hanya sedikit
perdarahan vaginal. Sayangnya, pasien tidak selalu menyadari dirinya
hamil. Timbulnya nyeri kuadran kanan bawah atau nyeri pelvis bisa
menjadi gejala pertama. Diagnosa KET seharusnya relatif mudah. Adanya
massa pelvis dan peningkatan kadar human chorionic gonadotropin (hCG)
merupakan karakteristiknya. Walaupun jumlah leukosit sedikit meningkat,
kadar hematokrit menurun sebagai akibat dari perdarahan intra-abdomen.
Pada pemeriksaan vagina didapatkan nyeri goyang serviks dan nyeri tekan
adneksa, dan diagnosa lebih pasti dapat ditegakkan dengan culdocentesis.
Adanya darah dan khususnya jaringan desidua adalah patognomonik.
Tatalaksana KET adalah operasi darurat.

2.9. PENATALAKSANAAN

Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat appendiks menjadi


dilindungi oleh omentum dan gulungan usus halus di dekatnya. Mula-mula,
massa yang terbentuk tersusun atas campuran membingungkan bangunan-
bangunan ini dan jaringan granulasi dan biasanya dapat segera dirasakan
secara klinis. Jika peradangan pada appendiks tidak dapat mengatasi
rintangan-rintangan sehingga penderita terus mengalami peritonitis umum,
massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera
menjadi abses yang jelas batasnya.

16
Bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, akan dilakukan
tindakan operasi untuk membuang appendiks yang mungkin gangren dari
dalam massa perlekatan ringan yang longgar dan sangat berbahaya, dan
bilamana karena massa ini telah menjadi lebih terfiksasi dan vascular,
sehingga membuat operasi berbahaya maka harus menunggu pembentukan
abses yang dapat mudah didrainase.

Massa appendiks terjadi bila terjadi appendicitis gangrenosa atau


mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus
halus. Pada massa periappendikular yang dindingannya belum sempurna,
dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi
diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa
periappendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk
mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak,
dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa
dengan massa periapendikular yang terpancang dengan pendindingan
sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil
diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah
tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal,
penderita boleh pulang dan appendectomy elektif dapat dikerjakan 2-3
bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil
mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses appendiks. Hal ini
ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri,
dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit.

Massa appendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya


dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena
dikhawatirkan akan terjadi abses appendiks dan peritonitis umum.
Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat
penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada appendicitis
sederhana tanpa perforasi.

Pada periappendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut,


tindakan bedah apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih

17
banyak, lebih-lebih bila massa appendiks telah terbentuk lebih dari satu
minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila
dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum.

Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada


anak kecil, wanita hamil,dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif
tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi
secepatnya.

Bila pada waktu membuka perut terdapat periappendikular infiltrat


maka luka operasi ditutup lagi, appendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif
pada periappendikular infiltrat :
 Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
 Diet lunak bubur saring.
 Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang
aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang,
yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan appendectomy. Kalau
sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja dan appendectomy
dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada
keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laboratorium
tidak menunjukkan tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan
membatalkan tindakan bedah.

Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi.
Biasanya 48 jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya
terjadi perforasi maka harus dipertimbangkan appendectomy. Batas dari
massa hendaknya diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya pada hari
ke 5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga
mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa harus segera dibuka
dan didrainase.

Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral


dimana nyeri tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai
secara ekstraperitoneal, bila appendiks mudah diambil, lebih baik diambil

18
karena appendiks ini akan menjadi sumber infeksi. Bila appendiks sukar
dilepas, maka appendiks dapat dipertahankan karena jika dipaksakan akan
ruptur dan infeksi dapat menyebar. Abses di drainase dengan selang yang
berdiameter besar, dan dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase
didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drain
dapat diputar dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci tiap hari.
Antibiotik sistemik dilanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi.
Untuk mengecek pengecilan abses tiap hari penderita diperiksa colok
dubur.

Penderita periappendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu


tentang :
 LED
 Jumlah leukosit
 Massa periappendikular infiltrat dianggap tenang apabila :
1. Anamesis : penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri
abdomen.
2. Pemeriksaan Fisik :
a. Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu
tubuh (diukur di rektal dan aksiler).
b. Tanda-tanda appendisitis sudah tidak terdapat.
c. Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada
tetapi lebih kecil dibanding semula.
3. Laboratorium : LED kurang dari 20, Leukosit normal.

Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak
ada perbaikan, operasi tetap dilakukan. Bila ada massa periappendikular
yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan terapi adalah drainase.

2.10. PROGNOSIS

Dengan diagnosis yang akurat dan tatalaksana pembedahan, dapat


menurunkan tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini. Keterlambatan
diagnosis akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas terutama bila telah

19
terjadi komplikasi. Serangan berulang juga dapat terjadi bila appendiks
tidak diangkat.

20
BAB III

LAPORAN KASUS

3.
3.1. ANAMNESA
3.1.1. IDENTITAS

Inisial : tn. AS
Jenis Kelamin : laki-laki
Tanggal Lahir : 16 Mei 1990
Usia : 29 tahun
Pekerjaan : karyawan mini market
Status Pernikahan : belum menikah
Agama : Kristen protestan
Pendidikan Terakhir : SMA
Tanggal MRS : 16 Januari 2020, pukul 03.00 WIT

3.1.2. RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT

Keluhan Utama
Nyeri pada perut bagian kanan sejak 3 hari yang lalu

Kronologis
Pasien datang ke IGD RSUD Jayapura dengan keluhan nyeri perut
kanan sejak ± 3 hari SMRS. Awalnya ± 1 minggu yang lalu nyeri
dirasakan di sekitar ulu hati yang kadang disertai dengan mual,
namun tidak muntah. Nyeri dirasakan hilang timbul, tidak disertai
demam. Buang air besar dan buang air kecil seperti biasa tanpa
keluhan. Karena nyeri yang semakin sering, pasien dianjurkan oleh
rekan kerjanya untuk meminum obat Ranitidine tablet namun tidak
ada perubahan, pasien masih merasakan nyeri perut hilang timbul.

21
± 3 hari SMRS, nyeri yang dirasakan semakin bertambah kuat dan
menjalar ke bagian perut sebelah kanan. Nyeri bertambah parah
ketika pasien hendak bangun dari tempat tidur dan membaik ketika
pasien diam dan beristirahat. Pasien juga mengeluhkan rasa mual
yang semakin sering dan muntah 1 kali. Sejak timbulnya gejala,
nafsu makan pasien berkurang. 2 hari SMRS pasien mengalami
demam dan meminum obat Paracetamol tablet. Demam reda saat
pasien mengkonsumsi Paracetamol tablet. Pasien menyangkal
adanya gangguan buang air kecil ataupun gangguan pola buang air
besar. Tidak ada riwayat penurunan berat badan drastis dalam
beberapa bulan terakhir.

Karena rasa nyeri yang semakin sering, pasien dibawa ke IGD


RSUD Jayapura. Nyeri perut semakin hebat terutama di perut
sebelah kanan saat disentuh.

3.1.3. RIWAYAT SAKIT SEBELUMNYA

Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.


Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, maaq, asma, dan penyakit
jantung disangkal.

3.1.4. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

Pasien tidak mengetahui mengenai gejala serupa pada anggota


keluarganya.

3.2. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : tampak sakit sedang


Kesadaran : compos mentis (E4V5M6)
Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/60 mmHg
Denyut Nadi : 98 kali/menit
Laju Nafas : 23 kali/menit
Suhu Tubuh : 36.9 °C

22
Saturasi O2 : 98 %

3.2.1. STATUS GENERALIS


 Kepala : simetris, normocephali, rambut hitam
 Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-),
refleks pupil (+/+), pupil bulat isokor 3mm/3mm,
secret(-/-)
 Telinga : deformitas (-), otorrhea (-)
 Hidung : deformitas (-), mukosa hiperemis (-), rhinorrhea (-)
 Leher : trakea letak normal, pembesaran KGB (-)
 Thorax
 Pulmo
I simetris, ikut gerak napas, retraksi interkostalis (-), jejas (-)
P vocal fremitus (D=S)
P sonor di kedua lapang paru
A suara napas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
 Cor
I iktus kordis tidak tampak
P iktus kordis tak teraba
P pekak (batas jantung dalam batas normal)
A SI-SII reguler, murmur (-) S3 gallop (-)
 Abdomen (Status Lokalis)
I tampak datar, simetris, jejas (-)
A bising usus (+) 2 kali/menit
P supel, shifting dullness (-), undulasi (-)
nyeri tekan (+) pada daerah RLQ (titik McBurney),
nyeri lepas tekan RLQ (+) (rebound tenderness)
nyeri tekan alih (+) (Rovsign’s sign)
nyeri lepas tekan alih (+) (Blumberg sign)
defans muskuler (+)
hepar tidak teraba besar, lien tidak teraba besar
P timpani (+)
 Genitalia

23
dalam batas normal

 Pemeriksaan Fisik Khusus


Psoas Sign (+)
Obturator Sign (+)

3.2.2. PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Laboratorium

HEMATOLOGI
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Kadar Hemoglobin 13.4 11.0-14.7 g/dL
Hematokrit 40.4 35.2-46.7 %
Jumlah Leukosit 11.59 3.37-8.38 x103/uL
Jumlah Trombosit 225 140-400 x103/uL
Jumlah Eritrosit 5.10 3.69-5.46 x106/uL
Sel basofil 0.4 0.3-1.4
Sel eosinofil 1.2 0.6-5.4
Sel neutrofil 79.1 39.8-70.5
Sel limfosit 9.4 23.1-49.9
Sel monosit 8.9 4.3-10.0
Malaria (DDR) Negatif
KIMIA DARAH
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Gula Darah Sewaktu 130 <=140
SGOT 6.1 <=40
SGPT - <=41
BUN 7.2 7-18
Creatinin - <=0.95
Albumin 2.3 3.5-5.2
KOAGULASI
PT 14.3 10.2-12.1
APTT 55.7 24.8-34.4
URINE LENGKAP

24
Warna kuning
pH 6.0 4.6-8.5
Berat Jenis 1.030 1005-1030
Protein negatif negatif
Glukosa negatif negatif
Urobilin negatif negatif
Bilirubin negatif negatif
Nitrit negatif negatif
Keton negatif negatif
Leukosit Esterase negatif negatif
Darah/Blood negatif negatif
SEDIMEN URIN
Leukosit 1-2 /lpb
Eritrosit 0-1 /lpb
Epitel +1 /lpb
Bakteri +1 /lpb
Silinder 0 /lpb
Kristal 0 /lpb
Lain-lain 0 /lpb

 Pemeriksaan Radiologis

25
3.2.3. SKORING KLINIS

ALVARADO’S SCORE
adanya migrasi nyeri 1
anoreksia 0
mual/muntah 1
nyeri RLQ 2
nyeri lepas 1
febris 1
leukositosis 2
shift to the left 1
JUMLAH 9

3.2.4. RESUME

Pasien laki-laki, berusia 29 tahun, datang ke IGD RSUD Jayapura


pada tanggal 16 Januari 2020. Pasien datang dengan keluhan nyeri
pada perut bagian kanan sejak 3 hari yang lalu. Awalnya nyeri
dirasakan di sekitar ulu hati yang kemudian menjalar ke perut
bagian kanan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan status lokalis
nyeri tekan pada titik McBurney (+), rebound tenderness (+),

26
Rovsign’s sign (+), Blumberg sign (+), defans muskuler (+), serta
pemeriksaan khusus Psoas sign (+) dan Obturator sign (+).

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan adanya leukositosis dan


hipoalbuminemia yang ditunjukkan oleh hasil laboratorium
leukosit 11.59 × 103/µL, albumin 2.3, PT 14.3 detik, APTT 55.7
detik. Berdasarkan skoring klinis Alvarado’s Score
diinterpretasikan sebagai sangat mungkin appendisitis akut.

3.2.5. DIAGNOSIS KERJA


 Leukositosis
 Hipoalbuminemia
 Appendisitis Akut

3.2.6. DIAGNOSIS BANDING

 Gastroenteritis
 Divertikulitis
 Kolesistitis

3.2.7. PENATALAKSANAAN

 Medikamentosa (PreOp)
IVFD RL 28 tpm
inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
inj. Omeperazole 50 mg/12 jam
inj. Antrain 1000 mg/8 jam

 Tindakan Bedah
Laparotomi Eksplorasi + Apendiktomi

 Medikamentosa (PotsOp)
IVFD RL 32 tpm
inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
inj. Metronidazole 500 mg/12 jam
inj. Omeperazole 50 mg/12 jam

27
inj. Ketorolac 30 mg/8 jam

3.2.8. LAPORAN OPERASI

Pasien supine di atas meja operasi dalam anastesi umum.


Asepsis dan antisepsis daerah lapangan operasi dan sekitarnya.
Medan operasi dipersempit dengan duk steril
Dilakukan identifikasi rongga peritoneum, tampak pus
Insisi midline infraumbilical sampai dengan 2 jari di atas simfisis
Perdalam sampai dengan peritoneum, tampak pus (+), tampak
perforasi apendiks
Ligasi peritoneal atau cavum abdomen kemudian dilakukan
apendektomi secara retrograde (+)
Pasang drain peritoneal 1 buah
Jahit luka sampai dengan kulit
Operasi selesai.

Diagnosis Pasca Bedah


Apendisitis Perforasi

Instruksi Pasca Operasi


IVFD RL 32 tpm
inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
inj. Metronidazole 500 mg/12 jam
inj. Omeperazole 50 mg/12 jam
inj. Ketorolac 30 mg/8 jam

3.2.9. PROGNOSIS

Quo ad Vitam : ad bonam


Quo ad Fungtionam : ad bonam
Quo ad Sanationam : ad bonam

28
29
BAB IV

PEMBAHASAN

4.

Pada anamnesa didapatkan pasien mengeluh nyeri di perut daerah ulu hati,
sekitar pusar, dan perut kanan bawah. Nyeri tersebut merupakan nyeri visceral
yang sifatnya difus, terletak pada mid-line, sekitar umbilikal, tidak dapat
ditunjukkan, bersifat tumpul dan tidak jelas, tidak menetap. Referred pain sesuai
persarafan yang terjadi akibat regangan organ. Nyeri visceral pada appendicitis ini
bermula di sekitar umbilicus sesuai dengan persarafan dari N.Thorakalis X. Nyeri
disebabkan oleh karena obstruksi lumen appendiks yang akan menyebabkan
peningkatan sekresi normal mukus dari mukosa appendiks yang distensi. Makin
lama mucus makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan
yang meningkat tersebut akan menyebabkan appendiks mengalami hipoksia,
menghambat aliran limfe dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan
appendiks bertambah (edema). Pada saat inilah terjadi appendicitis akut fokal
yang ditandai oleh nyeri epigastrium.

Pasien juga mengeluhkan nyeri perut kanan bawah yang hilang timbul, nyeri
tersebut merupakan nyeri visceral yang berubah menjadi nyeri somatis. Nyeri ini
disebabkan oleh sekresi mukus yang terus berlanjut, tekanan akan terus
meningkat. Kemudian hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema
bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul akan
meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri daerah
kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan appendicitis supuratif akut.

Keluhan mual dan muntah pasien disebabkan oleh inflamasi dan tekanan
yang berlebihan pada appendiks yang distensi sehingga pusat muntah akan
diaktifkan dari saluran pencernaan melalui aferen nervus vagus.

30
Nyeri tekan daerah McBurney terjadi karena translokasi bakteri yang
menyebabkan nyeri somatis.

Illiopsoas sign menunjukkan peradangan dari appendiks yang letaknya dekat


dengan otot psoas. Obturator test juga positif karena gerakan rotasi dari pinggang
juga menghasilkan nyeri pada pasien dengan appendiks yang juga terletak
berdekatan dengan otot obturator eksternus.

Leukositosis yang didapatkan dari pemeriksaan darah lengkap menunjukkan


respon tubuh terhadap infeksi.

Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan tindakan pembedahan dini sesuai


Alvarado score dengan total skor 9, yaitu perlu dilakukan operasi dini bila skor 7-
10.

SKOR
YANG SKOR
PENILAIAN DIDAPAT AJUAN

-Nyeri beralih 1 1

GEJALA -Anoreksia 0 1

-Mual / muntah 1 1

-Nyeri perut kanan bawah 2 2


(Mc Burney point)

TANDA -Nyeri lepas


1 1
-Kenaikkan temperature
1 1
(> 37.5 oC)

LABORATORIUM -Leukositosis (> 2 2


10.000/ul)
1 1
-Neutrofil bergeser ke kiri

31
(> 72%)

Total Skor 9 10

Pemberian obat Ceftriaxone yaitu, antibiotik spektrum luas golongan


sefalosporin generasi 3 pada pasien ini untuk mencegah infeksi berat dan
diantaranya memiliki aktivitas melawan bakteri aerob dan anaerob. Ceftriaxon
lebih dapat digunakan untuk mengurangi risiko infeksi luka operasi.

Metronidazole merupakan obat antibakteri dan anti protozoa sintetik derivate


niroimidazole yang mempunyai aktivitas bakterisid, amebisid, dan trikomonosid.
Metronidazol dapat digunakan karena untuk melawan bakteri anaerob serta
bakteri Bacteroides fragilis yang ditemui pada operasi gastrointestinal

Penggunaan antibiotik kombinasi secara umum bertujuan untuk menghindari


atau mengurangi adanya resistensi antibiotik terhadap antibiotik monoterapi
(tunggal) yang mungkin telah kehilangan daya kerjanya terhadap bakteri, dan
mencegah adanya efek toksik. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa kerja antibiotik
yang diinginkan hanya bisa diperoleh dengan adanya peningkatan dosis sampai
mendekati dosis toksik sehingga jika menggunakan dua antibiotik, kedua dosis
obat bisa diturunkan untuk mendapatkan efek yang sama.

32
BAB V

PENUTUP

5.
5.1. KESIMPULAN

Appendicitis adalah peradangan pada appendix vermicularis.


Appendicitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering
dijumpai. Faktor predisposisi dan etiologinya bisa bermacam-macam,
namun obstruksi lumen adalah penyebab utamanya.

Gejala klinis meliputi nyeri perut kanan bawah tepatnya di titik


McBurney disertai nyeri epigastrium, dapat pula nyeri di seluruh perut pada
fase tertentu. Dapat dijumpai mual, muntah, anoreksia, dan demam. Dapat
dilakukan manuver Rovsing’s sign, Blumberg sign, Illiopsoas sign, dan
Obturator test dalam membantu penegakan diagnosis.

Pada pasien ini, berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang yang dilakukan maka diagnosisnya adalah
appendicitis akut, namun setelah dilakukan tindakan pembedahan didapati
adanya perforasi dari apendisitis yang ditandai dengan adanya pus dalam
kavum peritoneum. Dari hasil pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada
pasien ini sudah cukup terpenuhi. Penatalaksanan pada pasien ini sesuai
dengan teori. Kondisi pasien saat pulang telah dalam keadaan stabil.
Prognosis pada pasien ini adalah ad bonam.

33

Anda mungkin juga menyukai