Anda di halaman 1dari 32

Appendisitis Kronis

Oleh :
Eva Nur Faridah
16014101081

Residen Pembimbing :
Dr. Leonardo Sagay

Supervisor Pembimbing :
Dr. Ferdinand Tjandra, Sp.B - KBD

BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dikoreksi dan dibacakan laporan kasus dengan judul


“ APPENDISITIS KRONIS ” pada tanggal Maret 2018

Residen Pembimbing

Dr. Leonardo Sagay

Supervisor Pembimbing

Dr. Ferdinand Tjandra, Sp.B - KBD

i
BAB I
PENDAHULUAN

Appendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang dikenal di
masyarakat awam sesungguhnya kurang tepat karena usus buntu yang sebenarnya
adalah sekum. Organ yang tidak diketahui fungsinya ini sering menimbulkan
masalah kesehatan.1
Adanya peradangan pada appendiks vermiformis disebut dengan
appendisitis.2 Appendisitis merupakan keadaan yang sering terjadi dan
membutuhkan operasi kegawatan perut untuk mencegah komplikasi. Setiap tahun
rata-rata 300.000 orang menjalani appendektomi di Amerika Serikat, dengan
perkiraan lifetime incidence berkisar dari 7-14% berdasarkan jenis kelamin,
harapan hidup dan ketepatan konfirmasi diagnosis.5 Perforasi lebih sering pada
bayi dan pasien lanjut usia, yaitu dengan periode angka kematian paling tinggi. 6
Insidens pada perempuan dan laki-laki umumnya sebanding, kecuali pada umur
20-30 tahun, ketika insidens pada laki-laki lebih tinggi.1
Menurut The Lancet perkembangan mortalitas appendisitis terlihat dimana
pada tahun 1990 tingkat mortalitas pada keseluruhan umur adalah sebanyak
875.000 kematian sedangkan pada tahun 2013 mengalami penurunan menjadi
719.000 kematian.7-8
Appendisitis kronis merupakan kelanjutan dari appendisitis akut supuratif
sebagai proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan
virulensi rendah, khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosis
appendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang diperut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik appendiks
secara makroskopik dan mikroskopik. Secara histologis, dinding appendiks
menebal, submukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat
infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada submukosa, muskularis propia dan
serosa.9-10

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI
Appendiks merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara
Ileum dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan
Appendiks terlihat pada minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada
Caecum. Awalnya Appendiks berada pada apeks Caecum, tetapi kemudian
berotasi dan terletak lebih medial dekat dengan Plica ileocaecalis. Dalam proses
perkembangannya, usus mengalami rotasi. Caecum berakhir pada kuadran kanan
bawah perut.11,12
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm 1,
diameter luar antara 3-8 mm dan diameter lumen 1-3 mm 11 dan berpangkal di
sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal.
Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya
dan menyempit kearah ujungnya.1
Apendiks mendapatkan persarafan otonom parasimpatis dari nervus vagus
dan persarafan simpatis dari nervus thorakalis. Persarafan ini menyebabkan nyeri
viseral pada radang apendiks akan dirasakan preumbilikal. Vaskularisasi apendiks
adalah oleh arteri apendikularis yang tidak memiliki kolateral. Arteri
apendikularis adalah cabang dari a.Ileocecalis yang merupakan cabang dari a.
Mesenterika Superior.1,11
Apendiks memiliki variasi lokasi seperti yang terlihat pada gambar di bawah
ini. Variasi lokasi ini yang akan mempengaruhi lokasi nyeri perut yang terjadi
apabila apendiks mengalami peradangan. Pada 65% kasus, apendiks terletak
intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang
geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus
selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di
belakang kolon asendens, atau ditepi lateral kolon asendens.

2
Gambar1. Variasi letak apendiks13

B. FISIOLOGI
Fungsi apendiks dalam tubuh manusia belum sepenuhnya dipahami. Namun
akhir-akhir ini, apendiks dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif
mensekresikan Imunoglobulin terutama Imunoglobulin A (IgA). Walaupun
apendiks merupakan komponen integral dari sistem Gut Associated Lymphoid
Tissue (GALT), fungsinya tidak signifikan penting dan pengangkatan apendiks
tidak mempengaruhi sistem imun tubuh.1,11
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir tersebut normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara apendiks tampakya berperan pada patogenesis appendisitis.1

C. KLASIFIKASI APPENDISITIS

Klasifikasi appendisitis terbagi menjadi dua yaitu, appendisitis akut dan


appendisitis kronik :
1. Appendisitis akut
Appendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak
disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala apendisitis akut ialah nyeri samar dan
tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus.
Keluhan ini sering disertai mual, muntah dan umumnya nafsu makan menurun.

3
Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik Mc Burney. Nyeri dirasakan
lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
Apendisitis akut dibagi menjadi :
a. Appendisitis Akut Sederhana

Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan


obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen apendiks dan terjadi
peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa
appendiks menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa
nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise dan demam
ringan.

b. Appendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)

Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan


terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan menimbulkan
trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks.
Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding
apendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram
karena dilapisi eksudat dan fibrin. Apendiks dan mesoappendiks terjadi
edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen.
Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri
lepas di titik Mc Burney, defans muskuler dan nyeri pada gerak aktif dan
pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai
dengan tanda-tanda peritonitis umum.

c. Appendisitis Akut Gangrenosa

Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-
tanda supuratif, apendiks mengalami gangren pada bagian tertentu.
Dinding apendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman.
Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan
cairan peritoneal yang purulen.

4
d. Appendisitis Infiltrat

Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya


dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum
sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu
dengan yang lainnya.

e. Apendisitis Abses

Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah
(pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal,
subsekal dan pelvikal.

f. Appendisitis Perforasi

Appendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren yang


menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi
peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi
dikelilingi oleh jaringan nekrotik.

2. Appendisitis kronik
Diagnosis appendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks
secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik
adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen
apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan adanya sel
inflamasi kronik. Appendisitis kronik kadang-kadang dapat menjadi akut lagi dan
disebut apendisitis kronik dengan eksaserbasi akut yang tampak jelas sudah
adanya pembentukan jaringan ikat.

C. ETIOLOGI
Appendisitis merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai
faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan
sebagai faktor pencetus.12 Di samping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor
apendiks, dan cacing ascaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain

5
yang diduga dapat menimbulkan appendisitis ialah erosi mukosa apendiks akibat
parasit E. histolytica.1,11
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendisitis. Konstipasi
akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon.1

D. PATOFISIOLOGI
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.1,11-13
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa
apendiks yang distensi. Obstruksi tersebut menyebabkan mucus yang diproduksi
mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya
sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intralumen
sekitar 60 cmH20. Manusia merupakan salah satu dari sedikit mahluk hidup yang
dapat mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi
gangren atau terjadi perforasi.1,12,13
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami
hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri.
Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin
iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks).
Pada saat inilah terjadi appendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri
epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi
waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak
faktor.1,11-13
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum

6
setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut
dengan appendisitis supuratif akut.11,12
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan appendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi appendisitis perforasi.12
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang
disebut infiltrat appendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses
atau menghilang.1,12
Infiltrat appendikularis merupakan tahap patologi appendisitis yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48
jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses
radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa
sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis
jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses,
appendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.1
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang,
dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh
yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi.1,11

E. GEJALA KLINIS
Gejala klasik appendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang
merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium di sekitar umbilicus. Keluhan ini
sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya, nafsu makan menurun.
Dalam beberapa jam, nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc Burney.
Di sini nyeri dirasa lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri
somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi
sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Bila terdapat rangsangan
peritoneum, biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk.1,11,14
Bila letak apendiks retrosekal di luar rongga perut, tanda nyeri di titik
McBurney tidak begitu jelas karena apendiks terlindung oleh sekum. Rasa nyeri
lebih ke arah perut sisi kanan, atau bisa juga dirasakan saat berjalan karena

7
kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal. Apendiks yang terletak di
rongga pelvis, bila meradang dapat menimbulkan tanda dan gejala dari
rangsangan sigmoid atau rektum, menyebabkan peningkatan peristaltik, dan
pengosongan rektum juga akan menjadi lebih cepat. Apabila apendiks menempel
pada kandung kemih maka frekuensi berkemih akan meningkat, karena terjadi
rangsangan pada dindingnya.1,13,14

F. PEMERIKSAAN FISIK
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37.5-38.5 oC dan pulsasi nadi
normal atau meningkat sedikit. Bila suhu naik lebih tinggi dari 1 oC mungkin
sudah terjadi perforasi. Kembung sering terlihat pada penderita yang sudah
mengalami perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau
abses apendikuler.1,11-13
Pada palpasi, didapatkan nyeri yang terbatas pada region iliaka kanan, biasa
disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum parietale. Pada penekanan perut kiri bawah, akan dirasakan nyeri di
perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing. Pada appendisitis retrosekal atau
retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri.1,11-13
Peristaltik usus sering normal tetapi juga dapat menghilang akibat adanya
ileus paralitik pada peritonitis generalisata yang disebabkan oleh appendisitis
perforata.1
Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi dapat
dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada appendisitis pelvika karena tanda
perut pada appendisitis pelvika sering meragukan.1,12,13
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih
ditujukkan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif
sendi panggul kanan kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang
menempel di otot psoas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji
obturator digunakan untuk melihat bilamana apendiks meradang bersentuhan
dengan otot obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan
fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan
nyeri appendisitis pelvika.1,11-14

8
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Leukositosis biasa terjadi pada kisaran 12000 sampai 17000 dengan
neutrofilia. Pemeriksaan urinalisis berguna dalam kasus yang meragukan, karena
dapat mendiagnosis infeksi saluran kemih. Namun, piuria dapat terjadi karena
iritasi kandung kemih atau ureter oleh apendiks yang meradang. Foto polos
abdomen jarang membantu dalam menegakkan diagnosis. Foto polos abdomen
mungkin dapat mendeteksi perubahan yang tidak spesifik yang menyarankan pada
kelainan intraabdominal, seperti lokalisasi ileus di kuadran kanan bawah, adanya
udara bebas atau fekalit di area apendiks. USG dapat menunjukkan dinding usus
yang menebal dengan adanya dilatasi lumen. Sensitivitas dan spesifisitas untuk
appendisitis menggunakan ultrasound masing-masing adalah 55% sampai 96%
dan 85% sampai 98%. CT scan sangat efektif dan akurat dalam menentukan
diagnosis appendisitis. CT scan menunjukan sensitivitas 99%-100% dan
spesifisitas 91%-99%.12,13

H. DIAGNOSIS
Diagnosis appendisitis bergantung pada hasil klinis dari anamnesis,
pemeriksaan fisik untuk menemukan tanda dan gejala yang khas pada
appendisitis. Anamnesis mengenai gejala nyeri perut serta perjalanan penyakit,
gejala penyerta seperti mual, muntah dan ada tidaknya gejala gastrointestinal.15
Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh. Pemeriksaan abdomen juga
ditambahkan beberapa pemeriksaan yaitu palpasi titik Mc Burney, uji Rovsing, uji
Blomberg, uji Psoas dan uji Obturator. Pemeriksaan penunjang laboratorium
dapat memperlihatkan gambaran leukositosis dengan neutrophilia. Pemeriksaan
radiologi foto polos abdomen bisa terlihat adanya fekalit namun tidak bermakna
dalam diagnosis.12,14,15
Dengan penemuan klinis dan pemeriksaan laboratorium, dapat digunakan
suatu alat bantu untuk diagnosis apendisitis akut yaitu Alvarado Score. Pasien
dengan skor 7-10 dipersiapkan untuk apendektomi cito, skor 5-6 dilakukan
observasi dan pemberian antibiotik, skor 1-4 diberikan pengobatan simptomatik
dan dipulangkan.16

Tabel 1. Alvarado Scoring System15


Characteristic Scor

9
e
M = Migration of pain to the 1
RLQ
A = Anorexia 1
N = Nausea and vomiting 1
T = Tenderness in RLQ 2
R = Rebound pain 1
E = Elevated temperature 1
L = Leukocytosis 2
S = Shift of WBC to the left 1
Total 10

I. DIAGNOSIS BANDING

1.Gastroenteritis, ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare mendahului


rasa sakit. Sakit perut lebih ringan, panas dan leukositosis kurang menonjol
dibandingkan, apendisitis akut.

2. Limfadenitis Mesenterika, biasanya didahului oleh enteritis atau


gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan perasaan
mual dan nyeri tekan perut. 3. Demam dengue, dimulai dengan sakit perut
mirip peritonitis dan diperoleh hasil positif untuk Rumple Leede,
trombositopeni, dan hematokrit yang meningkat. 4. Infeksi Panggul dan
salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya
lebih tinggi dari pada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus.
Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin. 5.
Gangguan alat reproduksi wanita, folikel ovarium yang pecah dapat
memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklusmenstruasi.
Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam. 6.
Kehamilan ektopik, hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan
yang tidak jelas seperti ruptur tuba dan abortus. Kehamilan 18 di luar rahim
disertai pendarahan menimbulkan nyeri mendadak difus di pelvik dan bisa
terjadi syok hipovolemik. 7. Divertikulosis Meckel, gambaran klinisnya hampir
sama dengan apendisitis akut dan sering dihubungkan dengan komplikasi yang
mirip pada apendisitis akut sehingga diperlukan pengobatan serta tindakan
bedah yang sama. 8. Ulkus peptikum perforasi, sangat mirip dengan apendisitis
jika isi gastroduodenum mengendap turun ke daerah usus bagian kanan sekum.

10
9. Batu ureter, jika diperkirakan mengendap dekat appendiks dan menyerupai
apendisitis retrosekal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum, penis, hematuria dan
terjadi demam atau leukositosis.

J. PENATALAKSANAAN
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-
satunya pilihan yang baik adalah appendektomi. Pada appendisitis tanpa
komplikasi, biasanya tidak perlu diberikan antibiotik kecuali pada appendisitis
gangrenosa atau appendisitis perforates. Penundaan tindak bedah sambil
memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.1,11-13
Perbaikan keadaan umum dengan infus serta pemberian antibiotik
profilaksis dapat diberikan sebelum operasi, biasanya antibiotik sefalosporin
generasi kedua atau ketiga dan metronidazole.13
Appendektomi biasa dilakukan secara terbuka atau dengan laparaskopi. Bila
apendektomi terbuka, insisi Mc Burney paling banyak dipilih oleh ahli bedah.
Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan observasi
terlebih dulu. Pemeriksaan laboratorium dan USG dapat dilakukan bila dalam
observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparaskopi, tindakan laparaskopi
diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan
operasi atau tidak.1

BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : NNA
Umur : 31 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan

11
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Desa Tambala Jaga IV
Suku/Bangsa : Minahasa/ Indonesia
Agama : Kristen Protestan

B. ANAMNESIS
a. Keluhan utama
Nyeri perut kanan bawah

b. Riwayat penyakit sekarang


Nyeri perut kanan bawah dirasakan pasien sejak  5 Jam sebelum
masuk Rumah Sakit. Awalnya pasien merasakan nyeri di ulu hati
kemudian berpindah di perut kanan bawah. Nyeri dirasakan hilang timbul
dengan durasi  30-60 menit. Ketika sakit pasien sampai tidak bisa
berjalan. Menurut pasien keluhan seperti ini sudah dirasakan sejak lama
dan pasien sempat dirawat di RS pada bulan oktober 2017 dengan
diagnosis appendisitis + adnexitis namun hanya diberikan terapi
konservatif. Pasien mengatakan keluhan seperti ini selalu kambuh setiap
bulan. Keluhan nyeri ulu hati dirasakan sejak 1 tahun yang lalu dan pasien
rutin mengkonsumsi antasida. Nyeri memberat bila batuk. Nyeri saat
berhubungan (+), nyeri saat haid (-).
Riwayat demam (+) sumer-sumer, hilang timbul, mual dan muntah (+),
Nafsu makan berkurang (-), BAB (+), konsistensi keras/padat, 2x
seminggu, BAK (+) dbn. Riwayat keputihan (+) sejak  1 tahun yang lalu,
berbau, warna kuning kehijauan, HPHT 20 Januari 2018.

c. Riwayat penyakit dahulu


Riwayat keluhan serupa (+), hipertensi, DM, asma, sakit jantung, asam
urat, alergi disangkal pasien. Riwayat operasi (+) dengan tumor payudara
2 tahun yang lalu.

12
d. Riwayat penyakit keluarga
Hanya pasien yang menderita penyakit seperti ini dalam keluarga.

C. Pemeriksaan Fisik Umum


Status Generalis
Keadaan Umum : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu Badan : 36,70C
Jantung : Iktus cordis tidak terlihat, teraba(+) SI-SII regular,
murmur(-), gallop(-)
Paru : Suara pernapasan vesikuler, Rhonki(-/-)
wheezing (-/-)
Abdomen : Inspeksi : Datar
Palpasi : Lemas, NTE (+) , nyeri tekan titik McBurney
(+), Rovsing Sign (+), defans muskular (-), Psoas Sign (-),
Obturator Sign (-), Blumberg Sign (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat, capillary refill time <2 detik

Status Lokalis
Perut kanan bawah (RLQ) : NT (+), Nyeri lepas (-), DM (-) Rovsing (+),
blumberg (-), psoas (-), obturator (-)
RT : Tonus spincter ani cekat, mukosa licin, ampula
kosong, NT (-)
ST : feses (-), darah (-), lendir (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

13
Laboratorium 29/01/2018
Leukosit 10.600 /uL
Eritrosit 4.40 10^6/uL
Hemoglobin 13.7 g/dL
Hematokrit 39.5%
Trombosit 310 10^3/uL
MCH 31.1 pg
MCHC 34.7 g/dL
MCV 89.8 fL
SGOT 12 U/L
SGPT 7 U/L
Ureum darah 19 mg/dL
Creatinin darah 0.6 mg/dL
GDS 73 mg/dL
Chlorida darah 104.5 mEq/L
Kalium darah 4.45 mEq/L
Natrium darah 138 mEq/L
PT 15.5 : 13.5 detik
INR 1.19 : 1.00 detik
APPT 34.8 : 36.2 detik

Laboratorium 06/02/2018
Leukosit 12.00 /uL
Eritrosit 3.88 10^6/uL
Hemoglobin 11.9 g/dL
Hematokrit 34.6%
Trombosit 256 10^3/uL
MCH 30.7 pg
MCHC 34.4 g/dL
MCV 89.2 fL
Chlorida 107.0 mEq/L
Kalium 4.60 mEq/L

14
Natrium 138 mEq/L

E. SKORING
Alvarado Score
Characteristic Scor Keteranga
e n
M = Migration of pain to the 1 +
RLQ
A = Anorexia 1 -
N = Nausea and vomiting 1 +
T = Tenderness in RLQ 2 +
R = Rebound pain 1 -
E = Elevated temperature 1 +
L = Leukocytosis 2 -
S = Shift of WBC to the left 1 -
Total 10 5

F.DIAGNOSIS
Appendisitis Kronis

G. PENATALAKSANAAN
- IVFD NaCl 0,9% 500cc/24jam IV
- Ceftriaxone 1 gr /12jam IV (ST)
- Ranitidine 50 mg / 12 jam IV
- Ketorolac 30 mg/12 jam IV
- Konsul Obsgyn
- Rx Laparaskopi Appendektomi

H. LAPORAN OPERASI
Laparaskopi Apendektomi dilakukan pada tanggal 6 Februari 2018 di
Instalasi Bedah Sentral RS Prof. R. D. Kandou Manado dengan operator Dr.

15
Ferdinand Tjandra, Sp.B-KBD Diagnosis pra-bedah adalah Apendisitis Kronis
dan jenis operasi yang dilakukan adalah Laparaskopi Apendektomi. Operasi
berlangsung selama 1 jam, dimulai pada pukul 09.35 wita dan berakhir pada
pukul 10.35 wita.

Uraian Pembedahan:
- Pasien tidur terlentang dalam general anestesi
- Asepsis dan antisepsis lapangan operasi
- Dilakukan insisi intraumbilikalis 1cm di perdalam sampai peritonium
- Masukkan single port
- Isi gas
- Masukkan kamera
- Tampon adneksa bekas peradangan
- Identifikasi caecum
- Identifikasi Appendiks
- Dilakukan pembebasan appendiks dijaringan sekitar
- Tampon appendiks, panjang  7cm, hiperemis (+), perforasi (-), dilakukan
appendektomi
- Singel port dikeluarkan
- Luka operasi di tutup lapis demi lapis
- Operasi selesai
- Identifikasi appendiks : Appendiks dibelah tumpul, fekalit (+), hiperemis
(+), perforasi (-), panjang  7cm
- Appendiks diperiksa di PA

16
17
18
19
Foto Appendiks

I. FOLLOW UP
Tgl 07-02-2018
S: Nyeri Luka Operasi (+) , Flatus (+) , Intake oral
O: TD : 120/80 N : 82 kali / menit R : 20 kali / menit Sb : 36,5º C
Kepala CA-/-, SI-/-
Abdomen: Inspeksi : Datar, luka post op : (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Lemas, NT (-)
Perkusi : Tympani
A: Post Laparascopy Appendectomy ec Appendisitis kronis (H1)
P : IVFD NaCl 0,9% 500 cc / 24 jam IV
Cefixime 2x100 mg (PO)
Ranitidine 2x150 mg (PO)
Asam Mefenamat 3x500 mg (PO)
Diet Lunak
Mobilisasi

Tgl 08-02-2018
S: Nyeri Luka Operasi (+) 
O: TD : 120/80 N : 82 kali / menit R : 18 kali / menit Sb : 36,5º C
Kepala CA-/-, SI-/-
Abdomen: Inspeksi : Datar, luka post op : (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Lemas, NTE (+)
Perkusi : Tympani
A: Post Laparascopy Appendectomy ec Appendisitis kronis (H2)

20
P: Aff Infus
Cefixime 2x100 mg (PO)
Ranitidine 2x150 mg (PO)
Asam Mefenamat 3x500 mg (PO)
Diet Lunak
Mobilisasi
Tgl 09-02-2018
S: Nyeri Luka Operasi (+) 
O: TD : 120/80 N : 82 kali / menit R : 18 kali / menit Sb : 36,5º C
Kepala CA-/-, SI-/-
Abdomen: Inspeksi : Datar, luka post op : (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Lemas, NTE (+)
Perkusi : Tympani
A: Post Laparascopy Appendectomy ec Appendisitis kronis (H3)
P: Cefixime 2x100mg (PO)
Ranitidine 2x150 mg (PO)
Asam mefenamat 3x500 mg (PO)
Rawat luka

Tgl 10-02-2018
S: Nyeri Luka Operasi (-)
O: TD : 120/80 N : 82 kali / menit R : 18 kali / menit Sb : 36,5º C
Kepala CA-/-, SI-/-
Abdomen: Inspeksi : Datar, luka post op : Pus (-), Perdarahan (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Lemas
Perkusi : Tympani
A: Post Appendectomy ec Appendisitis akut
P: Cefixime 2x100 mg (PO)
Ranitidine 2x150 mg (PO)
Asam Mefenamat 3x500 mg (PO)

21
Diet Lunak
Mobilisasi
Rawat Luka
Rawat jalan

J. PROGNOSIS
o Quo ad vitam: Bonam
o Quo ad functionam: Bonam
o Quo ad sanationam: Bonam

22
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis appendisitis kronik ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis yang
didapat, seorang pasien perempuan berumur 31 tahun datang dengan keluhan
nyeri perut sebelah kanan yang dirasakan ±5 jam sebelum masuk rumah sakit.
Awalnya pasien mengeluhkan nyeri di ulu hati kemudian berpindah ke kanan
bawah. Nyeri dirasakan hilang timbul. Nyeri perut meningkat apabila pasien
batuk. Menurut pasien keluhan seperti ini sudah dirasakan sejak lama dan pasien
sempat dirawat di RS pada bulan oktober 2017 dengan diagnosis appendisitis +
adnexitis namun hanya diberikan terapi konservatif. Pasien mengatakan keluhan
seperti ini selalu kambuh setiap bulan. Hal ini sesuai dengan teori yang
mengatakan bahwa gejala klasik appendisitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di
daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. 1-3 Nyeri ini dirasakan
di sekitar umbilikus atau periumbilikus karena persarafan apendiks berasal dari
thorakal 10 yang lokasinya di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Maka nyeri
pada umbilikus atau periumbilikus merupakan suatu reffered pain.4 Kemudian
dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc
Burney. Dititik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya sehingga merupakan
nyeri somatik setempat.1-3 Nyeri bertambah jika pasien mengalami batuk. Hal ini
menunjukkan telah terjadi inflamasi pada peritoneum parietal.5 Keluhan lain yang
ditemukan adalah adanya rasa mual, bahkan muntah. Menurut literatur, keluhan
mual ditemukan sekitar 75% dari pasien yang menderita appendisitis.6

23
Pemeriksaan fisik pada kasus didapati pasien tampak sakit sedang. Tekanan
darah 120/80 mmHg, nadi 80x/menit, respirasi 20x/menit dan suhu badan 36,7°C.
Pada pemeriksaan abdomen terdapat nyeri tekan kudran kanan bawah, nyeri lepas
(-), defans muskular (-), Rovsing sign (+), blumberg sign (-), psoas sign (-),
obturator sign (-). Secara teori, pada pemeriksaan fisik umum didapati pasien
tampak sakit dan terdapat demam sumer-sumer. 13 Pada palpasi, terdapat nyeri
tekan di daerah kuadran kanan bawah. Defans muskuler menunjukkan adanya
rangsangan peritoneum parietale. Pada penekanan perut kiri bawah, akan
dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing.1,11-14
Pemeriksaan psoas dan obturator dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang
meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas dengan cara
hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan,
kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel di m.
Psoas mayor maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan uji
obturator dilakukan dengan cara gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada
posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan m. Obturator
internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan
menimbulkan nyeri.1-3 Tidak ditemukan tanda obturator karena letak apendiks
pada pasien ini antecaecal. Tanda psoas dan obturator umumnya didapati pada
apendisitis letak retrocaecal karena adanya perangsangan dari otot psoas dan
obturator.
Menurut pasien keluhan seperti ini sudah sering terjadi. Sebelumnya pasien
juga sempat dirawat di RS pada bulan oktober 2017 dengan keluhan yang sama
dan di diagnosis dengan appendisitis + adneksia. Dari anamnesis yang didapat
pada saat itu pasien tidak dioperasi dikarenakan ususnya masih menempel dan
pasien hanya diberikan terapi konservatif. Dari anamnesis yang didapatkan,
appendisitis yang terjadi pada pasien ini adalah appendisitis kronik dimana proses
yang terjadi pada saat stadium perforasi ada usaha dari tubuh untuk melokalisir
tempat infeksi dengan cara walling off oleh omentum, lengkung usus halus,
caecum, colon dan peritonium sehingga terjadi gumpalan masa plekmon yang
melekat erat. Usaha tubuh untuk melokalisir infeksi bisa sempurna atau tidak
sempurna, baik karena infeksi yang berjalan terlalu cepat atau kondisi penderita

24
yang kurang baik. Perforasi mungkin masih terjadi pada walling off yang
sempurna sehingga akan terbentuk abses primer. Sedangkan pada walling off
yang belum sempurna akan terbentuk abses sekunder yang bisa menyebabkan
peritonitis umum.15
Pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan leukosit yang tidak
meningkat pada jumlah yang signifikan dengan hasil 10.600 /uL. Secara teori
leukositosis moderat biasanya sering terjadi pada pasien (75%) dengan
appendisitis dengan jumlah leukosit berkisar antara 10.000-18.000 sel/mL dengan
pergeseran ke kiri dan didominasi oleh sel polimorfonukler. Sekalipun demikian,
tidak adanya leukositosis tidak menutup kemungkinan terhadap appendisitis.16
Skoring diagnosis apendisitis menggunakan Alvarado Score. Pada kasus
didapati jumlah skor 5, yaitu nyeri berpindah nilai 1, mual muntah nilai 1, nyeri
kuadran kanan bawah nilai 2, demam nilai 1. Dengan nilai interpretasi 1- 4  :
sangat mungkin bukan apendisitis akut, 5-7 : sangat mungkin apendisitis akut, 8-
10 : pasti apendisitis akut .17,19

Tabel 2. Alvarado Scoring System17


Characteristic Scor
e
M = Migration of pain to the 1
RLQ
A = Anorexia -
N = Nausea and vomiting 1
T = Tenderness in RLQ 2
R = Rebound pain -
E = Elevated temperature 1
L = Leukocytosis -
S = Shift of WBC to the left -
Total 5

Diagnosis diferensial KET dapat disingkirkan karena HPHT tanggal 20


Januari 2018 dan selesai haid 3 hari sebelum masuk RS. Dilakukan pemeriksaan
vagina toucher dan USG oleh SpOG dan didapatkan hasil tidak ada kelainan
obstetri dan ginekologi. Pelvic inflamasi disease dapat disingkirkan karena tidak
ada riwayat keputihan dan nyeri panggul. BAK pasien normal ditambah pada

25
pemeriksaan CVA tidak ada kelainan sehingga dapat menyingkirkan nefrolithiasis
atau urolithiasis.
Penanganan kasus diberikan terapi cairan IVFD NaCl 0,9%, pemberian
antibiotik cefixime, ranitidine dan asam mefenamat. Serta dikonsulkan untuk
dilakukan Laparaskopi Appendektomi.11-13
Laparaskopi adalah prosedur pembedahan dengan fiberoptik yang
dimasukkan ke dalam abdomen melalui insisi kecil yang dibuat pada dinding
abdomen. Dengan laparaskopi kita bisa melihat langsung apendiks, organ
abdomen dan pelvis yang lain. Jika appendisitis ditemukan, apendiks dapat
langsung diangkat melalui insisi kecil tersebut. Laparaskopi dilakukan dengan
general anestesi. Keuntunganya setelah operasi, nyerinya akan lebih sedikit karena
insisinya lebih kecil serta pasien bisa kembali beraktivitas lebih cepat.
Keuntungan lain dengan laparaskopi ini ahli bedah dapat melihat abdomen
terlebih dahulu jika diagnosis appendisitis diragukan.16
Jika pada pembedahan, dokter menemukan apendiks yang terlihat normal,
dan tidak ada penyebab lain dari masalah pasien, lebih baik mengangkat apendiks
yang terlihat normal tersebut daripada melewatkan apendiks yang awal atau kasus
appendisitis yang ringan.16

26
BAB V
KESIMPULAN

Appendisitis merupakan peradangan pada apendiks. Peradangan pada


apendiks berawal dari adanya sumbatan pada lumen apendiks, yang menyebabkan
pertumbuhan bakteri dan peningkatan tekanan intraluminal.
Diagnosis appendisitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Gejala yang sering muncul adalah adanya nyeri
di epigastrium yang nantinya berpindah ke kuadran kanan bawah. Nyeri dapat
disertai dengan mual dan muntah, konstipasi dan juga anoreksia. Pemeriksaan
laboratorium menunjukkan hasil peningkatan leukosit yang tidak signifikan,
namun hal tersebut tidak bisa menyingkirkan diagnosis appendisitis. Sistem
scoring apendisitis dikenal dengan Alvarado Score. Pada pasien ini didapatkan
hasil Alvarado Score 5 dimana menunjukkan interpretasi sangat mungkin
apendisitis akut.
Penatalaksanaan appendisitis kronik pada pasien ini adalah dengan
tindakan pembedahan laparaskopi appendektomi.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, De Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah (3rd ed). Jakarta:

EGC, 2010; p. 755-60.

2. Hartman, G.E., 2012. Nelson Ilmu Kesehatan Anak: Apendisitis akut.

Edisi 12, vol 2. Alih bahasa oleh Wahab A.S., Noerhayati, Soebono H., et

al. Jakarta: EGC.

3. Dorland WAN. In: Mahode AA et al, penerjemah. Dorland's Illustrated

Medical Dictionary. 11th ed

4. Budiman, Mahyono. Gambaran Penderita Apendisitis pada Anak di RSUP

H. Adam Malik pada Tahun 2013-2014. USU IR. 2016 Jan 25

5. Flum D. Acute Appendicitis — Appendectomy or The “Antibiotics First”

Strategy. N Eng J Med. 2015;372:1937.

6. Gearhart S, Silen W. In: Longo D, Fauci A, editors. Harrison

Gastroenterologi & Hepatologi. Jakarta: EGC, 2013; p. 202

7. Naghavi M, Wang H, Lozano R, Davis A, Liang X, Zhou M, et al. Global,

Regional, and National Age–sex Specific All-cause and Cause-specific

28
Mortality For 240 Causes of Death, 1990–2013: A Systematic Analysis for

the Global Burden of Disease Study 2013. Lancet. 2015;385:136.

8. Thomas G, Lahunduitan I, Tangkilisan A. Angka kejadian apendisitis di

RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Oktober 2012 – September

2015. ECL. 2016;4:231-6

9. Shogilev D, Duus N, Odom S, Shapiro N. Diagnosing Appendicitis:

Evidence-Based Review of The Diagnostic Approach in 2014. Western

Journal of Emergency Medicine. 2014;15:860

10. Momin RS, Azhar MA, Salma M. Study of Predictive Value of Clinical,

Labaoratory and Radiological Data in the Diagnosis of Acute AppendicitsJ

of Evolution of Med and Dent Sci. 2015:4;58:10092-118

11. Liang MK, Andersson RE, Jaffe BM, Berger DH. Schwartz’s Principle of

Surgery: The Appendix. 10th ed. New York: McGraw-Hill Education.

2015. p1241-59

12. Townsend CM, Evers BM, Beauchamp RD, Mattox KL. Sabiston

Textbook of Surgery. 20th ed. Philadelphia: Elsevier. 2017. p1296-311

13. Tjandra JJ, Clunie GJA, Kaye AH, Smith JA. Textbook of Surgery. 3 rd ed.

Oxford, UK: Blackwell Publishing Ltd. 2006. P179-83

14. O’Neil J Jr, Grosfeld JL, Fonkalsrud EW, Coran AG, Calamone AA.

Principles of Pediatric Surgery.2nd ed. USA: Mosby, Inc. 2004. p565-72

15. Priyatno JE. Kontroversi Pengelolaan Apendikuler Infiltrat ( Tinjauan

Kepustakaan Dan Laporan Kasus). Laboratorium/UPF Ilmu Bedah

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/Rumah Sakit Dokter

Kariadi. Semarang. 1992;7-8

29
16. Eylin. Karakteristik Pasien Dan Diagnosis Histologi Pada Kasus

Apendisitis Berdasarkan Data Registasi Di Departemen Patologi Anatomi

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Umum Pusat

Nasional Cipto Mangunkusumo Pada Tahun 2003-2007. Fakultas

Kedokteran Program Studi Kedokteran Umum Universitas Indonesia

Jakarta. 2009;11-16

17. ERTÜRK A, TUNCER IS, BALCI O, KARAMAN İ, KARAMAN A,

AFŞARLAR CE, et al. The Value of Pediatric Appendicitis Score and

Laboratory Findings on the Diagnosis of Pediatric Appendicitis. Turkish J

Pediatr Dis.2015;2:79-84

18. Winn R, Laura S, Douglas C, et al: Protocol based approach to suspected

appendicitis, incorporating the Alvorado Score and outpatients Antibiotics.

ANZ J. Surg; 2004. 321:921-22.

19. Saucier A, Huang EY, Emeremni CA, Pershad J. Prospective Evaluation

of a Clinical Pathway for Suspected Appendicitis. Pediatrics

2014;133;p88-95

20. Burge DM, Griffiths DM, Steinbrecher HA, Wheeler RA. Paediatric

Surgery. 2nd ed. London: Hodder education. p234

30

Anda mungkin juga menyukai