Anda di halaman 1dari 24

DEPARTEMEN EMERGENCY

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN


Apendicitis

Oleh:

Angga Dwi Saputra

170070301111097

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018

1
1 Definisi Apendisitis
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Apendisitis akut menjadi salah
satu pertimbangan pada pasien yang mengeluh nyeri perut atau pasien yang menunjukkan
gejala iritasi peritoneal (Samdjuhidajat, 2005).

2 Anatomi Fisiologi Apendiks


Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-
15), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di
bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab
rendahnya insidens apendisitis pada usia itu (Soybel, 2001 dalam Departemen Bedah
UGM, 2010).
Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar submukosa dan
mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan pembuluh darah dan
kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh lamina serosa yang berjalan
pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam mesoapendiks. Bila letak apendiks
retrosekal, maka tidak tertutup oleh peritoneum viserale (Soybel, 2001 dalam Departemen
Bedah UGM, 2010).
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika
superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X.
Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus (Sjamsuhidajat,
De Jong, 2004).
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa
kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks akan
mengalami gangrene (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara
apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekreator
yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang
saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi

2
sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan
jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

3 Klasifikasi Apendisitis
 Apendisitis akut.
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak
disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut talah nyeri samar-samar
dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus.
Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney. Disini nyeri
dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik
setempat. Klasifikasi appendicitis akut:
 Appendisitis akut simple
Peradangan baru terjadi di daerah mukosa dan submukosa. Gejala diawali
dengan rasa nyeri di saerah umbilicus, mual, muntah, anoreksia, malaise,
dan semam ringan.
 Appendisitis supuratif
Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti, nyeri tekan, nyeri
lepas di titik Mc Burney, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif
 Appendisitis akut gangrenosa
Didapatkan tanda-tanda supuratif, appendiks mengalami gangren pada
bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna ungu, hijau keabuan, atau
merah kehitaman
 Apendisitis kronik.
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya: riwayat
nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara
makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis
menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya
jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden
apendisitis kronik antara 1-5% (Pieter, 2005)
 Appendisitis infiltrate

3
Appendisitis infiltrate adalah proses radang appendiks yang penyebarannya dapat
dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon, dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan masa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya
 Appendisitis abses
Appendisitis abses terjadi bila masa local yang terbentuk berisi nanah
 Appendisitis perforasi
Appendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum
 Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di
perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil patologi
menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn apendisitis akut
pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna kembali ke bentuk
aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangn
lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan
apendektomi yang diperiksa secara patologik.
Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering penderita
datang dalam serangan akut. (Doenges,Marilynn E.2005)

4 Epidemiologi Apendisitis
WHO memperkirakan kejadian apendisitis tahun 2007 di seluruh dunia mencapai
angka 7% dari keseluruhan jumlah penduduk di dunia. (Ambarwati, 2013)
Depkes RI menjelaskan angka kejadian apendisitis ditahun 2008 mencapai 591.819
dan meningkat di tahun 2009 menjadi 596.132 orang. Angka kejadian ini menempati urutan
ke 4 tertinggi penyakit terbanyak di Indonesia. (Ambarwati, 2013).
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu
tahun jarang dilaporkan. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu
menurun. Insiden pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-
30 tahun, insiden lelaki lebih tinggi.

5 Etiologi Apendisitis
Apendisitis akut merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Banyak faktor yang
menyebabkan sebagai pencetusnya. Smbatan lumen apendiks merupakan faktor yang

4
diajukan sebagaifaktor pencetus disamping hyperplasia jaringan klimfe, fekalit, tumor
apendiksdan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang
didga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit E.
histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makanmakanan rendah
serat dan pengarh konstipasi terhadap timbulnya apendiks akan menaikkan tekanan
intrasekal yang berakibat timbulnya smbatan fngsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Hal-hal tersebut mempermudah timbulnya
apendisitis.

6. Faktor Risiko Apendisitis


a. Faktor Sumbatan
Faktor sumbatan atau obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis
yang diikuti oleh infeksi
b. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenensis primerpada apendiks
c. Faktor genetic
Hal ini dihubungkan dengan adanya malformasi organ, apendiks yang terlalu
panjang,vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mdah terjadi apendisitis.
d. Faktor Diet
e. Pola konsumsi rendah serat mempunyai risiko lebih tinggi mengalami apendisitis
karena dengan terjadinya fekalit mengakibatkan obstruksi lumen.

7. Patofisiologi Apendisitis (terlampir)

8 Manifestasi Klinis Apendisitis


Ada beberapa hal yang penting dalam gejala penyakit apendisitis yaitu:
1. Nyeri mula-mula di epigastrium (nyeri viseral) yang beberapa waktu kemudian
menjalar ke perut kanan bawah. Nyeri berhubungan dengan anatomi ureter yang
berdekatan dengan apendiks oleh inflamasi.Berdasarkan letak apendiks nyeri
dibedakan yaitu:
 Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum
(terlindung oleh sekum)
Tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada
tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri
timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk,

5
dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang
menegang dari dorsal.
 Bila apendiks terletak di rongga pelvis
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul
gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).
 Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.
2. Muntah dan mual oleh karena nyeri viseral. Nutrisi kurang dan volume cairan yang
kurang dari kebutuhan juga berpengaruh dengan terjadinya mual dan muntah.
3. Suhu tubuh meningkat dan nadi cepat (karena kuman yang menetap di dinding
usus).
4. Rasa sakit hilang timbul
5. Diare atau konstipasi
6. Tungkai kanan tidak dapat atau terasa sakit jika diluruskan
7. Perut kembung
8. Hasil pemeriksaan leukosit meningkat 10.000 - 12.000 /ui dan 13.000/ui bila sudah
terjadi perforasi
9. Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak sakit,
menghindarkan pergerakan.
10. Bising usus yang bisa hilang akibat ileus paralitik jika berlanjut ke peritonitis.

Gejala apendisitis pada keadaan yang tidak jelas


Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan
diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga
biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana
gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.
1. Pada anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak
tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akanterjadi
muntah-muntah dan anak menjadi lemah. Karena ketidakjelasan gejala ini, sering
apendisitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis
baru diketahui setelah terjadi perforasi.
2. Pada orang tua berusia lanjut

6
Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh
penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.
3. Pada wanita
Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya
serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi,
menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil
dengan usiakehamilan trimester, gejala apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan
muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia
ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke
kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi
lebih ke regio lumbal kanan.

9. Pemeriksaan Penunjang Apendisitis


 Anamnesa fisik
Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini terjadi
karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran
cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau rangsangan
viseral akibat aktivasi n.vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk mengejan.
Panas akibat infeksi akut jika timbul komplikasi. Gejala lain adalah demam yang
tidak terlalu tinggi, antara 37,5-38,5 C. Tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga sudah
terjadi perforasi (Departemen Bedah UGM, 2010).
Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan membungkuk
sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi perforasi, dan
penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat pada apendikuler abses (Departemen
Bedah UGM, 2010).
Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi
dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari
tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah:
 Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran
kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.

 Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri


lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan
secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan
perlahan dan dalam di titik Mc. Burney.

7
 Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence
muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan
adanya rangsangan peritoneum parietale.

 Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan
bawah apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini
diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal
pada sisi yang berlawanan.

 Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas
oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.

 Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul
dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara
pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah
hipogastrium (Departemen Bedah UGM, 2010).

Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Auskultasi akan terdapat peristaltik
normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat
apendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan
diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar
bunyi peristaltik usus. Pada pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher) akan
terdapat nyeri pada jam 9-12 (Departemen Bedah UGM, 2010).
Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan skor Alvarado,
yaitu:
Tabel Skor Alvarado Skor
Migrasi nyeri dari abdomen sentral ke 1
fossa iliaka kanan
Anoreksia 1
Mual atau Muntah 1
Nyeri di fossa iliaka kanan 2
Nyeri lepas 1
Peningkatan temperatur (>37,5C) 1
Peningkatan jumlah leukosit ≥ 10 x 2
109/L
Neutrofilia dari ≥ 75% 1

8
Total 10

Pasien dengan skor awal ≤ 4 sangat tidak mungkin menderita apendisitis dan
tidak memerlukan perawatan di rumah sakit kecuali gejalanya memburuk.
 Laboraturium: C Reaktif protein didapatkan hasil peningkatan dikarenakan terdapat
infeksi dalam tubuh, kenaikan jumlah leukosit (10.000 – 18.000/mm3dan LED.
 Appendicogram
Appendicogram merupakan pemeriksaan berupa foto barium usus buntu yang
dapat membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) di
dalam lumen usus buntu (Sanyoto, 2007).
Teknik Pemeriksaan :
Indikasi dilakukannya pemeriksaan appendicogram adalah apendisitis kronis
atau akut. Sedangkan kontraindikasi dilakukan pemeriksaan appendicogram adalah
pasien dengan kehamilan trimester I atau pasien yang dicurigai adanya perforasi.
Persiapan Bahan:
 Larutan Barium Sulfat (± 250 gram) + 120-200 cc air.
Persiapan Pasien:
 Sehari sebelum pemeriksaan pasien diberi BaSO4 dilarutkan dalam air
masak dan diminta untuk diminum pada jam 24.00 WIB setelah itu puasa.
 Pasien di panggil masuk ke ruang pemeriksaan dalam keadaan puasa.
 Pasien diminta untuk membuka pakaian.
 Pasien diberi baju RS untuk dipakai.
Prosedur:
 Pasien naik ke atas meja pemeriksaan.
 Kaset ditempatkan di bawah meja pemeriksaan.
 Meminta pasien agar kooperatif dan menuruti perintah radiografer sehingga
pemeriksaan berjalan dengan baik.
 Sesudah pasien difoto, pasien diminta mengganti pakaian dan diminta untuk
datang keesokan harinya untuk dilakukan foto kembali selama 3 hari
berturut-turut.
 USG (Ultrasonografi)
Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis Appendicitis.
Appendix diidentifikasi/ dikenal sebagai suatu akhiran yang kabur, bagian usus yang
nonperistaltik yang berasal dari Caecum. Dengan penekanan yang maksimal,

9
Appendix diukur dalam diameter anterior-posterior. Penilaian dikatakan positif bila
tanpa kompresi ukuran anterior-posterior Appendix 6 mm atau lebih. Ditemukannya
appendicolith akan mendukung diagnosis. Gambaran USG dari Appendix normal,
yang dengan tekanan ringan merupakan struktur akhiran tubuler yang kabur
berukuran 5 mm atau kurang, akan menyingkirkan diagnosis Appendicitis acuta.
Penilaian dikatakan negatif bila Appendix tidak terlihat dan tidak tampak adanya
cairan atau massa pericaecal.Diagnosis Appendicitis acuta dengan USG telah
dilaporkan sensitifitasnya sebesar 78%-96% dan spesifitasnya sebesar 85%-98%.
 Foto polos abdomen
Foto polos abdomen jarang membantu diagnosis Appendicitis acuta, tetapi dapat
sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada pasien
Appendicitis acuta, kadang dapat terlihat gambaran abnormal udara dalam usus, hal
ini merupakan temuan yang tidak spesifik. Adanya fecalith jarang terlihat pada foto
polos, tapi bila ditemukan sangat mendukung diagnosis. Foto thorax kadang
disarankan untuk menyingkirkan adanya nyeri alih dari proses pneumoni lobus
kanan bawah.

a. Penatalaksanaan Apendisitis
Menurut Mansjoer (2000), penatalaksanaan appendisitis terdiri dari:
a. Sebelum Operasi
1) Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi
2) Pemasangan kateter untuk kontrol produksi urin
3) Rehidrasi
4) Antibiotik dengan spektrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara
intravena.Antibiotic pada apendisitis digunakan sebagai:
 Preoperative, antibiotik broad spectrum intravena diindikasikan untuk
mengurangi kejadian infeksi pasca pembedahan.
 Post operatif, antibiotic diteruskan selama 24 jam pada pasien tanpa
komplikasi apendisitis
i. Antibiotic diteruskan sampai 5-7 hari post operatif untuk kasus
apendisitis ruptur atau dengan abses.
ii. Antibiotic diteruskan sampai hari 7-10 hari pada kasus
apendisitis rupture dengan peritonitis diffuse.

10
5) Obat-obatan penurun panas, phenergen sebagai anti menggigil, largaktil
untuk membuka pembuluh-pembuluh darah perifer diberikan setelah
rehidrasi tercapai
6) Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anastesi.
b. Operasi
1) Apendiktomi: bagian appendiks dibuang
2) Jika appendiks mengalami perforate bebas, maka abdomen dicuci dengan
garam fisiologis dan antibiotika
3) Abses appendiks diobati dengan antibiotika intravena, massa mungkin
mengecil atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu
beberapa hari
4) Appendiktomi dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif sesudah 6
minggu – 3 bulan.

c. Pasca Operasi
1) Observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya pendarahan
didalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernapasan
2) Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan
lambung dapat dicegah
3) Baringkan pasien dalam posisi semi fowler
4) Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama
pasien dipuasakan
5) Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforate, puasa
dilanjutkan sampai fungsi usus kembali normal
6) Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30
ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya
makanan lunak
7) Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur
selama 2 x 30 menit
8) Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar
9) Hari ke 7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.
10) Perawatan luka dengan memperhatikan dressing yang tepata agar luka
terhidrasi dengan baik.

11
Proses penyembuhan luka
1. Fase Inflamasi
Fase ini dimulai sejak terjadinya luka sampai hari kelima, segera setelah terjadi
luka, pembuluh darah yang putus mengalami konstriksi dan retraksi disertai
reaksi homeostatis karena agregasi trombosit yang bersama jala fibrin
membekukan darah. Komponen homeostatis ini akan melepaskan dan
mengangtifkan sitokinin yang meliputi Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-
like Growth Factor (IGF), Platelet-derived Growth Factor (PDGF) dan
Transforming Growth Factor Beta (TGF-Beta) yang berperan untuk terjadinya
kemotaksis netrofil, makrofag, sel endoteliel dan fibroblast. Keadaan ini disebut
fase inflamasi. Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi dan akumulasi
leukosit polimorphonuclear (PMN). Agregat trombosit akan mengeluarkan
mediator inflamasi Transforming Growth Factor Beta 1 (TGF Beta 1) yang juga
dikeluarkan oleh makrofsg. Adanya TGF beta 1 akan mengangtifkan fibroblast
untuk mensintesis kolagen.
2. Fase poliperatif
Fase ini terjadi pada hari kelima hingga ke-21 hari setelah trauma. Keratinosit
disekitar luka mengalami perubahan fenotif. Regresi hubungan desmosomal
antara keratinosit pada membrane basal menyebabkan sel keratin bermigrasi
kea rah lateral. Keratinosit bergerak melalui interaksi dengan matriks protein
ekstraseluler (fibronectin dan kolagen tipe 1). Faktor proangiogenik dilepaskan
oleh makrofag, vascular endothelial growth factor (VEGF) sehingga terjadi
neovascularisasi dan pembentukan epitalisasi dan jaringan granulasi.
3. Fase remodeling
Remodeling merupakan fase yang paling lama pada proses penyembuhan luka,
terjadi pada hari ke-21 hingga 1 tahun. Terjadi kontraksi luka akibat
pembentukan aktin myofibroblas dengan aktin mikrofilamen yang memberikan
kekuatan kontraksi pada penyembuhan luka. Pada fase ini terjadi juga
remodeling kolagen. Kolagen tipe III digantikan kolagen tipe I yang dimediasi
matriks Metaloproteinase yang disekresi makrofag, fibroblast dan sel endotel.
Pada masa 3 minggu penyembuhan luka telah mendapatkan kembali 20%
kekuatan jaringan normal.

12
10. Komplikasi Apendisitis
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penangan apendisitis. Faktor
keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita
meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahn
diagnosa,menunda diagnosa, keterlambatan merujuk ke rumah sakit, dan terlambat
melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka
morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi apendisitis 10-32%,paling sering
pada anak kecil dan orang tua.Adapun jenis komplikasi diantaranya;
a. abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba masa lunak di
kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Masa ini berupa flegnom dan berkemabng
menjadi rongga yang mengandung pus. Hhal ini terjadi bila apendisitis gangren atau
mikroperforasi ditutupi oleh omentum
b. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya apendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar
ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak sakit, tetapi
meingkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif kasus dengan
gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38 derajat
selsius, tampak oksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis berupa perforasi
bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu
diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat
bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
1. Pengumpulan Data
a. Anamnesa
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut
atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap
tentang rasa nyeri klien digunakan:

13
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti
terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau
menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau
siang hari.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya
membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan
bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa
lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan
penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung.
Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut
maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor
predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa
keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus
menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,

14
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti
kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium
atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi
dan mobilitas klien.
c) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu
perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi
alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan
jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu
pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur,
suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
d) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi
berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji
adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan
beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain
e) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus
menjalani rawat inap
f) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat
frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image)
g) Pola Sensori dan Kognitif

15
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada
indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
h) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus
menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga,
perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
i) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul
kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak
efektif.

j) Pola Tata Nilai dan Keyakinan


Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama
frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien
b. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat
melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya
memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
1) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan
klien.
(2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur
biasanya akut.
(3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
b) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
Head to Toe
(1) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(2) Kepala

16
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri
kepala.
(3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
(4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada
lesi, simetris, tak oedema.
(5) Mata
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi perdarahan)
(6)Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(8) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(9) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(10) Paru
(a) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru.
(b) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(c) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(d) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(11) Jantung
(a) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(b) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(c) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.

17
(12) Abdomen
(a) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(b) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(c) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(d) Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
(13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
2) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status
neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse,
Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
a) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(1) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
(2) Cape au lait spot (birth mark).
(3) Fistulae.
(4) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(5) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(6) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(7) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
b) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral
(posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua
arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(1) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary refill time Normal
> 3 detik
(2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar
persendian.

18
(3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau
melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka
sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar
atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
c) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas
dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu,
agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan
ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran
metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
2. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan
sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang
yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang
dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar
indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal
yang harus dibaca pada x-ray:
1) Bayangan jaringan lunak.
2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit
divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada
satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang
vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang
dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.

19
b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik
dalam membentuk tulang.
3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino
Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c. Pemeriksaan lain-lain
1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme
penyebab infeksi.
2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi
lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

L. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


1. Nyeri akut b/d respon inflamasi dan pelepasan mediator nyeri
2. Gangguan mobilitas fisik b/d distensi abdomen dan nyeri
3. Risiko infeksi b/d post tidakan opersi, dan pajanan mikroba

20
RENCANA KEPERAWATAN
DIANGOSA
NO
KEPERAWATAN DAN TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)
DX
KOLABORASI
1 Nyeri akut b/d respon NOC NIC : Pain Management
inflamasi dan pelepasan Pain Level, Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
mediator nyeri Pain control, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
Comfort level Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
Kriteria Hasil : Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui
Mampu mengontrol nyeri (tahu pengalaman nyeri pasien
penyebab nyeri, mampu Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
menggunakan tehnik nonfarmakologi Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang
untuk mengurangi nyeri, mencari ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau
bantuan) Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan
Melaporkan bahwa nyeri berkurang dukungan
dengan menggunakan manajemen Kurangi faktor presipitasi nyeri
nyeri Ajarkan tentang teknik non farmakologi
Mampu mengenali (skala, Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
nyeri
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) Tingkatkan istirahat
Menyatakan rasa nyaman setelah Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri
nyeri berkurang tidak berhasil
Tanda vital dalam rentang normal Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri

2 Gangguan mobilitas fisik NOC : Latihan Kekuatan


b/d distensi abdomen dan Joint Movement : Active Ajarkan dan berikan dorongan pada klien untuk melakukan program
nyeri Mobility Level latihan secara rutin
Self care : ADLs Latihan untuk ambulasi
Transfer performance Ajarkan teknik Ambulasi & perpindahan yang aman kepada klien

21
Kriteria Hasil : dan keluarga.
Klien meningkat dalam aktivitas fisik Sediakan alat bantu untuk klien seperti kruk, kursi roda, dan walker
Mengerti tujuan dari peningkatan Beri penguatan positif untuk berlatih mandiri dalam batasan yang
mobilitas aman.
Memverbalisasikan perasaan dalam Latihan mobilisasi dengan kursi roda
meningkatkan kekuatan dan Ajarkan pada klien & keluarga tentang cara pemakaian kursi roda &
kemampuan berpindah cara berpindah dari kursi roda ke tempat tidur atau sebaliknya.
Memperagakan penggunaan alat Dorong klien melakukan latihan untuk memperkuat anggota tubuh
Bantu untuk mobilisasi (walker) Ajarkan pada klien/ keluarga tentang cara penggunaan kursi roda
Latihan Keseimbangan
Ajarkan pada klien & keluarga untuk dapat mengatur posisi secara
mandiri dan menjaga keseimbangan selama latihan ataupun dalam
aktivitas sehari hari.
Perbaikan Posisi Tubuh yang Benar
Ajarkan pada klien/ keluarga untuk mem perhatikan postur tubuh yg
benar untuk menghindari kelelahan, keram & cedera.
Kolaborasi ke ahli terapi fisik untuk program latihan.
3 Risiko infeksi b/d post NOC : NIC : Infection Control (Kontrol infeksi)
tidakan opersi, dan Immune Status Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
pajanan mikroba Risk control Pertahankan teknik isolasi
Batasi pengunjung bila perlu
Kriteria Hasil : Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat
Klien bebas dari tanda dan gejala berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien
infeksi Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
Menunjukkan kemampuan untuk Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan kperawtan
mencegah timbulnya infeksi Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
Jumlah leukosit dalam batas normal Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat

22
Menunjukkan perilaku hidup sehat Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan
petunjuk umum
Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung
kencing
Tingktkan intake nutrisi
Berikan terapi antibiotik bila perlu
Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)
Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
Monitor hitung granulosit, WBC
Monitor kerentanan terhadap infeksi
Batasi pengunjung
Saring pengunjung terhadap penyakit menular
Partahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko
Pertahankan teknik isolasi k/p
Berikan perawatan kuliat pada area epidema
Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas,
drainase
Ispeksi kondisi luka / insisi bedah
Dorong masukkan nutrisi yang cukup
Dorong masukan cairan
Dorong istirahat
Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep
Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
Ajarkan cara menghindari infeksi
Laporkan kecurigaan infeksi
Laporkan kultur positif

23
DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati. 2013. Apendiktomi dan Laparotomi. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan St. Elisabet,
Semarang.
Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S. Bedah digestif. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran,
Edisi 3, Jilid: 2. Jakrta: Media Aesculapius FKUI; 2000.h 302-21.

Cole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition. AppeltonCentury Corp, Hal
784-795

Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis & Treatment 12ed. USA:
The McGraw-Hill Companies, Inc
Guyton, Arthur C. 1996. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Jakarta:EGC
Jaffe BM, Berger DH. 2005. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery Volume 2. 8th
edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock
RE. New York: McGraw Hill Companies Inc.
Mansjoer, A., Suprohaita, Wardani, W.I., Setiowulan, W. 2005. “Bedah Digestif”, dalam Kapita
Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, Cetakan Kelima.Jakarta: Media
Aesculapius
Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ. 2004. Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 17th edition.
Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Philadelphia: Elsevier
Saunders.
Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed: Ke-6. Jakarta:
EGC.
Prinz RA, Madura JA. 2001. Appendicitis and Appendiceal Abscess. In: Mastery of Surgery Vol
II. 4th edition. Ed: Baker RJ, Fiscer JE. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins.
Prosedur Tetap dan Standar Operasional Prosedur RSUD Dr. Pirngadi Medan. 2011
Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. Abdomen akut. Dalam: Radiologi Diagnostik. Jakarta:
Gaya Baru; 1999.h.256-7.

Schwartz, S.I et al, Principal of Surgery, 9th edition, 2006, USA : McGraw Hill Company;
Hal1459-1467
Schwartz, et al, 2000, Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, Edisi Keenam, EGC Jakarta

Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D. 2005. “Usus Halus, Apendiks, Kolon, Dan Anorektum”, dalam
Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta: EGC

24

Anda mungkin juga menyukai