Anda di halaman 1dari 12

1.

1 Apendisitis
1.1.1 Anatomi dan Fisiologi Apendiks
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm
(kisaran 3-15), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal
dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk
kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini
mungkin menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada usia itu
(Sjamsuhidajat, De Jong, 2010).
Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar
submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan
pembuluh darah dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh
lamina serosa yang berjalan pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam
mesoapendiks. Bila letak apendiks retrosekal, maka tidak tertutup oleh
peritoneum viserale (Sjamsuhidajat, De Jong, 2010).
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal
dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di
sekitar umbilikus (Sjamsuhidajat, De Jong, 2010).
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri
tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi,
apendiks akan mengalami gangrene (Sjamsuhidajat, De Jong, 2010).
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis.
Imunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid
tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA.
Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun,
demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena
jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di
saluran cerna dan di seluruh tubuh (Sjamsuhidajat, De Jong, 2010).

Gambaran apendiks diperlihatkan gambar 1.1.


Gambar 1.1. Apendiks
(Indonesian Children, 2009)

1.1.2 Definisi dan Klasifikasi Apendisitis


Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur
baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia
10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Smeltzer C. Suzanne
(2001), Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran
bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan penyebab paling umum untuk
bedah abdomen darurat.
Jadi, dapat disimpulkan apendisitis adalah kondisi dimana terjadi infeksi
pada umbai apendiks dan merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering
terjadi.
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut
dan apendisitis kronik (Sjamsuhidajat, De Jong, 2010).

1. Apendisitis akut.

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun
tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut talah nyeri
samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium
disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah.
Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah
ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya
sehingga merupakan nyeri somatik setempat.

2. Apendisitis kronik.

Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan


adanya : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik
apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik
apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan
parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama
dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara
1-5%.

1.1.3 Etiologi
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai
faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan
sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks,
dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga
dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.
histolytica (Sjamsuhidajat, De Jong, 2010).
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah
serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan
menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional
apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini
akan mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidajat, De Jong, 2010).

1.1.4 Morfologi Apendisitis

Pada stadium paling dini, hanya sedikit eksudat neutrofil ditemukan di seluruh
mukosa, submukosa, dan muskularis propria. Pembuluh subserosa mengalami
bendungan dan sering terdapat infiltrat neutrofilik perivaskular ringan. Reaksi
peradangan mengubah serosa yang normalnya berkilap menjadi membran yang merah,
granular, dan suram. Perubahan ini menandakan apendisitis akut dini bagi dokter
bedah. Kriteria histologik untuk diagnosis apendisitis akut adalah infiltrasi neutrofilik
muskularis propria. Biasanya neutrofil dan ulserasi juga terdapat di dalam mukosa
(Crawford, Kumar, 2013).

1.1.5 Patofisiologi
Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang disebabkan
oleh feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai dengan pengamatan
epidemiologi bahwa apendisitis berhubungan dengan asupan serat dalam makanan yang
rendah (Burkitt, Quick, Reed, 2007).
Pada stadium awal dari apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa.
Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan muskular dan
serosa (peritoneal). Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa
dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan, seperti usus atau
dinding abdomen, menyebabkan peritonitis lokal (Burkitt, Quick, Reed, 2007).
Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam lumen,
yang menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks menjadi
bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi nekrosis atau gangren.
Perforasi akan segera terjadi dan menyebar ke rongga peritoneal. Jika perforasi yang
terjadi dibungkus oleh omentum, abses lokal akan terjadi (Burkitt, Quick, Reed, 2007)

1.1.6 Gambaran Klinis


Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak
disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar
dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus.
Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc.
Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan
nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi
sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap
berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi (Sjamsuhidajat, De Jong,
2010).
Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya terlindung oleh
sekum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak tanda rangsangan
peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat
berjalan karena kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal (Sjamsuhidajat,
De Jong, 2004).
Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan
gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltis meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks
tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing
karena rangsangan dindingnya (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

1.1.7 Diagnosis

Anamesis

a. Keluhan Umum

Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan yang pertama


nyeri atau sakit perut (Ini terjadi karena hiperperistaltik untuk
mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga
nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut). Kemudian muntah atau
rangsangan viseral (Yang di akibatkan aktivasi n.vagus). Obstipasi
(Karena penderita takut untuk mengejan). Panas (Akibat infeksi akut
jika timbul komplikasi). Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu
tinggi, antara 37,5 -38,5 C. Tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga sudah
terjadi perforasi (Departemen Bedah UGM, 2010).

b. Gejala Klasik & Gejala Atipikal


Pada permulaan apendisitis, pasien bisa tidak demam atau
subfebris. Peningkatan suhu yang lebih tinggi dihubungkan dengan
apendisitis perforasi (Lee, 2013). Berdasarkan anamnesis dapat
ditemukan 2 (dua) jenis gejala apendisitis, yaitu:

 Gejala klasik
Gejala klasik hanya dijumpai pada 55 % kasus, yaitu jika
apendiks berada di anterior (Lee, 2013). Gejala diawali oleh nyeri
perut di periumbilikus yang memberat dalam 24 jam. Nyeri menjadi
lebih tajam dan berpindah ke fosa iliaka kanan, lalu menetap.
Ditemukan juga gejala hilangnya nafsu makan, mual, muntah, dan
konstipasi (Lee, 2013 dan DynaMed, 2013). Berdasarkan sebuah
penelitian, muntah dan demam lebih sering ditemukan pada anak
dengan diagnosis apendisitis daripada penyebab lain nyeri abdomen
(Minkes, 2013). Gambar 2.3. Lokasi nyeri klasik apendisitis akut
(Zadeh, 2013)

 Gejala atipikal
Gejala atipikal berhubungan dengan variasi letak anatomi
apendiks (Lee, 2013 dan DynaMed, 2013). Nyeri tumpul sering
muncul ketika ujung apendiks terletak di retrosekal. Jika ujung
apendiks terletak di pelvis, pasien akan mengeluhkan disuria, sering
berkemih, dan nyeri di suprapubis karena apendiks yang inflamasi
mengiritasi kandung kemih. Pasien juga dapat mengeluhkan diare
atau tenesmus jika ujung apendiks yang inflamasi dekat dengan
rektum (Lee, 2013). Namun, jika ditanya lebih lanjut, biasanya diare
berupa buang air besar yang lunak, sedikit-sedikit, tetapi sering
(Minkes, 2013).
Sebuah penelitian yang dilakukan pada 63 pasien apendisitis
usia kurang dari 3 tahun melaporkan bahwa awalnya 57 %
mengalami salah diagnosis. Sebanyak 33 % memiliki keluhan utama
diare. Sebanyak 84 % telah mengalami perforasi dan/ atau gangren
(DynaMed, 2013). Berdasarkan penelitian cohort pada 755 anak,
apendisitis pada anak-anak dapat menunjukkan gejala atipikal.
Gejala klasik hanya ditemukan pada 50 – 68 % anak (DynaMed,
2013).

1.1.8 Pemeriksaan Penunjang


Pada pemeriksaan laboratorium darah, biasanya didapati peningkatan
jumlah leukosit (sel darah putih). Urinalisa diperlukan untuk menyingkirkan
penyakit lainnya berupa peradangan saluran kemih. Pada pasien wanita, pemeriksaan
dokter kebidanan dan kandungan diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis
kelainan peradangan saluran telur/kista indung telur kanan atau KET (kehamilan
diluar kandungan) (Sanyoto, 2007).

Pemeriksaan radiologi berupa foto barium usus buntu (Appendicogram)


dapat membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) didalam
lumen usus buntu. Pemeriksaan USG (Ultrasonografi) dan CT scan bisa membantu
dakam menegakkan adanya peradangan akut usus buntu atau penyakit lainnya di
daerah rongga panggul (Sanyoto, 2007)

Namun dari semua pemeriksaan pembantu ini, yang menentukan diagnosis


apendisitis akut adalah pemeriksaan secara klinis. Pemeriksaan CT scan hanya
dipakai bila didapat keraguan dalam menegakkan diagnosis. Pada anak-anak dan
orang tua penegakan diagnosis apendisitis lebih sulit dan dokter bedah biasanya
lebih agresif dalam bertindak (Sanyoto, 2007)

1.1.9 Penatalaksanaan
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan.
Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas
fisik sampai pembedahan dilakukan. Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa
ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan
sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat
dilakukan dibawah anestesi umum atau spinal, secara terbuka ataupun dengan cara
laparoskopi yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi
terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah. Pada penderita yang
diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan
laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih
terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada
kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak
(Smeltzer C. Suzanne, 2002).
Menurut Arief Mansjoer (2000), penatalaksanaan apendisitis adalah sebagai
berikut:
1. Tindakan medis
a. Observasi terhadap diagnosa
Dalam 8 – 12 jam pertama setelah timbul gejala dan tanda apendisitis,
sering tidak terdiagnosa, dalam hal ini sangat penting dilakukan observasi
yang cermat. Penderita dibaringkan ditempat tidur dan tidak diberi apapun
melalui mulut. Bila diperlukan maka dapat diberikan cairan aperviteral.
Hindarkan pemberian narkotik jika memungkinkan, tetapi obat sedatif
seperti barbitural atau penenang tidak karena merupakan kontra indikasi.
Pemeriksaan abdomen dan rektum, sel darah putih dan hitung jenis di ulangi
secara periodik. Perlu dilakukan foto abdomen dan thorak posisi tegak pada
semua kasus apendisitis, diagnosa dapat jadi jelas dari tanda lokalisasi
kuadran kanan bawah dalam waktu 24 jam setelah timbul gejala.
b. Intubasi
Dimasukkan pipa naso gastrik preoperatif jika terjadi peritonitis atau
toksitas yang menandakan bahwa ileus pasca operatif yang sangat
menggangu. Pada penderita ini dilakukan aspirasi kubah lambung jika
diperlukan. Penderita dibawa kekamar operasi dengan pipa tetap terpasang.
c. Antibiotik
Pemberian antibiotik preoperatif dianjurkan pada reaksi sistematik dengan
toksitas yang berat dan demam yang tinggi .
2. Terapi bedah
Pada apendisitis tanpa komplikasi, apendiktomi dilakukan segera setelah
terkontrol ketidakseimbangan cairan dalam tubuh dan gangguan sistematik lainnya.
Biasanya hanya diperlukan sedikit persiapan. Pembedahan yang direncanakan
secara dini baik mempunyai praksi mortalitas 1 % secara primer angka morbiditas
dan mortalitas penyakit ini tampaknya disebabkan oleh komplikasi ganggren dan
perforasi yang terjadi akibat yang tertunda.
3. Terapi pasca operasi
Perlu dilakukan obstruksi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya
perdarahan didalam, syok hipertermia, atau gangguan pernapasan angket sonde
lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah.
Baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam
tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih
besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai
fungsi usus kembali normal. Kemudian berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-
5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya diberikan makan saring,
dan hari berikutnya diberikan makanan lunak. Satu hari pasca operasi pasien
dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua
pasien dapat berdiri dan duduk diluar kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat
dan pasien diperbolehkan pulang.

1.1.10 Pengobatan
Pengobatan tunggal yang terbaik untuk usus buntu yang sudah
meradang/apendisitis akut adalah dengan jalan membuang penyebabnya (operasi
appendektomi). Pasien biasanya telah dipersiapkan dengan puasa antara 4 sampai
6 jam sebelum operasi dan dilakukan pemasangan cairan infus agar tidak terjadi
dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan oleh dokter ahli anastesi dengan pembiusan
umum atau spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik konvensional operasi
pengangkatan usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut kanan bawah di atas
daerah apendiks (Sanyoto, 2007).

Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman


gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik
perlu dilaku kan sebelum pembedahan (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Alternatif lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah
laparoskopi. Operasi ini dilakukan dengan bantuan video camera yang
dimasukkan ke dalam rongga perut sehingga jelas dapat melihat dan melakukan
appendektomi dan juga dapat memeriksa organ-organ di dalam perut lebih
lengkap selain apendiks. Keuntungan bedah laparoskopi ini selain yang disebut
diatas, yaitu luka operasi lebih kecil, biasanya antara satu dan setengah sentimeter
sehingga secara kosmetik lebih baik (Sanyoto, 2007).

1.1.11 Pencegahan apendisitis

A. Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko
terhadap kejadian appendicitis. Upaya pencegahan primer dilakukan secara
menyeluruh kepada masyarakat. Upaya yang dilakukan antara lain:
a. Diet tinggi serat
Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi
serat dan insidens timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian
membuktikan bahwa diet tinggi serat mempunyai efek proteksi untuk
kejadian penyakit saluran pencernaan.
Serat dalam makanan mempunyai kemampuan mengikat air,
selulosa, dan pektin yang membantu mempercepat sisi-sisa makanan
untuk diekskresikan keluar sehingga tidak terjadi konstipasi yang
mengakibatkan penekanan pada dinding kolon.
b. Defekasi yang teratur
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran
feces. Makanan yang mengandung serat penting untuk memperbesar
volume feces dan makan yang teratur mempengaruhi defekasi. Individu
yang makan pada waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu
keteraturan waktu, respon fisiologi pada pemasukan makanan dan
keteraturan pola aktivitas peristaltik di kolon.
Frekuensi defekasi yang jarang akan mempengaruhi konsistensi
feces yang lebih padat sehingga terjadi konstipasi. Konstipasi menaikkan
tekanan intracaecal sehingga terjadi sumbatan fungsional appendiks dan
meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Pengerasan feces
memungkinkan adanya bagian yang terselip masuk ke saluran appendiks
dan menjadi media kuman/bakteri berkembang biak sebagai infeksi yang
menimbulkan peradangan pada appendiks.

B. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder meliputi diagnosa dini dan pengobatan yang
tepat untuk mencegah timbulnya komplikasi.

Pra bedah Pasca bedah


 Diet pra bedah bertujuan untuk  Diet pasca bedah bertujuan untuk
mempersiapkan kondisi fisik dan memulihkan kondisi fisik dan
status gizi pasien dalam keadaan mempertahankan atau mencapai
optimal untuk persiapan status gizi pada pasien setelah
pembedahan menjalani pembedahan.
 Diet pra bedah dilihat dari sifat  Makanan diusahakan secepat
operasi darurat atau cito sehingga mungkin kembali seperti biasa atau
sebelum pembedahan tidak normal. Makanan yang diberikan
diberikan diet tertentu. Sedangkan berupa air putih atau teh manis.
pada pra bedah berencana atau Makanan ini diberikan dalam waktu
elektif pasien dipuasakan 4-5 jam sesingkat mungkin karena kurang
sebelum pembedahan. dalam semua zat gizi.
 Bentuk makanan juga disesuaikan  Prinsip diet yang diberikan adalah
dengan keadaan pasien pra bedah. tinggi energi tinggi protein.
 Prinsip diet yang diberikan adalah Kebutuhan energi pasien meningkat
tinggi energi tinggi protein. Energi setelah mengalami pembedahan.
yang diberikan disesuaikan dengan Untuk itu diberikan diet tinggi
kondisi pasien. Pemberian diet tinggi energi agar dapat memenuhi
energi untuk mencegah pasien kebutuhan energi pasien. Diet tinggi
mengalami penurunan status gizi protein diberikan untuk
setelah operasi. Diet tinggi protein mempercepat proses penyembuhan
bertujuan untuk meningkatkan luka.
pembentukan jaringan otot sehingga  Bahan makanan yang dianjurkan.
setelah operasi pasien tidak Sumber karbohidrat, seperti nasi,
mengalami penurunan masa otot jagung, singkong, ubi, roti, mie,
secara berlebihan. kentang. Sumber protein,
diutamakan dari protein hewani
karena mudah diserap
Daftar Pustaka

Appendicitis. In DynaMed [database online]. EBSCO Information Services.


http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&site=DynaMed&id=115548. Updated
November 21, 2013. Accessed February 19, 2017.

Arif, Mansjoer, dkk., ( 2000), Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Medica Aesculpalus,
FKUI, Jakarta.

Burkitt, H.G., Quick, C.R.G., and Reed, J.B., 2007. Appendicitis. In: Essential Surgery
Problems, Diagnosis, & Management. Fourth Edition. London: Elsevier, 389-398

Clare-Salzler, MJ., Crawford, JM., Kumar, Vinay. 2013. Kumar, Cotran, Robbins. Buku
Ajar Patologi. Edisi 9. Jakarta : EGC

Lee SL. Vermiform appendix. Medscape reference.


http://emedicine.medscape.com/article/195652-overview . Updated
October 18, 2013. Accessed February 19, 2017.

Marijata. Apendisitis Akut. Nyeri Abdomen Akut. Yogyakarta: Sub Bagian Bedah Digesti
Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada; 2009.

Minkes RK. Pediatric appendicitis. Medscape reference.


http://emedicine.medscape.com/article/926795. Updated April 25, 2013. Accessed
February 19, 2017.

Pierce dan Neil. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Ed : 3. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Sanyoto, D., 2007. Masa Remaja dan Dewasa. Dalam: Utama, Hendra, ed. Bunga Rampai
Masalah Kesehatan dari dalam Kandungan sampai Lanjut Usia.Jakarta: Balai Penerbit FK
UI, 297-300.

Suzanne, C. Smeltzer. (2001). Keperawatan medikal bedah, edisi 8. Jakarta : EGC

Sjamsuhidajat, R., De Jong, W., 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah . Edisi 3. Jakarta: EGC

Zadeh. Appendicitis. Zadeh Surgical Inc Website.


http://www.zadehsurgical.com/general-surgery-services-encino/appendicitis. Accessed
February 19, 2017.

Anda mungkin juga menyukai