Disusun Oleh:
Nurmansyah
N 111 16 061
Pembimbing Klinik:
dr. Sofyan Bulango, Sp.An
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering
ditemukan pada anak-anak dan remaja. Terdapat sekitar 250.000 kasus
appendicitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi
pada anak usia 6-10 tahun. Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia,
meskipun tidak umum pada anak sebelum usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan
appendicitis akut mengalami perforasi setelah dilakukan operasi. Meskipun telah
dilakukan peningkatan pemberian resusitasi cairan dan antibiotik yang lebih baik,
appendicitis pada anak-anak, terutama pada anak usia prasekolah masih tetap
memiliki angka morbiditas yang signifikan.
Tujuan dari refleksi kasus ini adalah mendiskusikan tentang manajemen
jalan napas menggunakan laryngeal Mask Airway (LMA) pada operasi
appendictomy.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Appendicitis
A. ANATOMI
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira
10cm (kisaran 3-15cm), dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di
bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi,
apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah
ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden
appendicitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal.
Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya
bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya.
Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di
belakang caecum, di belakang colon ascendens, atau di tepi lateral colon
ascendens. Gejala klinis appendicitis ditentukan oleh letak apendiks.
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterica superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendicitis
bermula di sekitar umbilicus. Pendarahan apendiks berasal dari
a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini
tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi apendiks akan
mengalami gangren.
B. FISIOLOGI
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan
aliran lender di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis
appendicitis.
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut
associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna
4
termasuk apendiks, ialah IgA. Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfa disini kecil
sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh
tubuh.
C. Epidemiologi
Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi di Amerika
Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun.
Appendicitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan
dengan perbandingan 3:2. Bangsa Caucasia lebih sering terkena dibandingkan
dengan kelompok ras lainnya. Appendicitis akut lebih sering terjadi selama
musim panas.
Insidensi Appendicitis acuta di negara maju lebih tinggi daripada di
negara berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya
menurun secara bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya
penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Appendicitis dapat
ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang
dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu
menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding,
kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi lelaki lebih tinggi.
D. ETIOLOGI
Appendicitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen
appendix sehingga terjadi kongseti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya
terjadi infeksi. Appendicitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri.
Penyebab obstruksi yang paling sering adalah fecolith. Fecolith ditemukan
pada sekitar 20% anak dengan appendicitis. Penyebab lain dari obstruksi
appendiks meliputi:
1) Hiperplasia folikel lymphoid
2) Carcinoid atau tumor lainnya
3) Benda asing (pin, biji-bijian)
4) Parasit
5
Penyebab lain yang diduga menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi
mukosa appendix oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies bakteri yang
dapat diisolasi pada pasien appendicitis yaitu:
a. Bakteri aerob fakultatif: Escherichia coli, Viridans streptococci,
Pseudomonas, aeruginosa Enterococcus.
b. Bakteri anaerob: Bacteroides fragilis, Peptostreptococcus micros,
Bilophila species, Lactobacillus species.
E. PATOGENESIS
Appendicitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi,
khas dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan
pembentukkan abscess setelah 2-3 hari. Appendicitis dapat terjadi karena
berbagai macam penyebab, antara lain obstruksi oleh fecalith, gallstone,
tumor, atau bahkan oleh cacing (Oxyurus vermicularis), akan tetapi paling
sering disebabkan obstruksi oleh fecalith dan kemudian diikuti oleh proses
peradangan. Hasil observasi epidemiologi juga menyebutkan bahwa obstruksi
fecalith adalah penyebab terbesar, yaitu sekitar 20% pada ank dengan
appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi appendiks.
Hiperplasia folikel limfoid appendiks juga dapat menyababkan obstruksi
lumen. Insidensi terjadinya appendicitis berhubungan dengan jumlah jaringan
limfoid yang hyperplasia. Penyebab dari reaksi jaringan limfatik baik lokal
atau general misalnya akibat infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau
akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius
vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis juga dapat diakibatkan
oleh infeksi virus enteric atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan
cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic fibrosis memiliki peningkatan
insidensi appendicitis akibat perubahan pada kelenjar yang mensekresi
mucus. Carcinoid tumor juga dapat mengakibatkan obstruksi appendiks,
khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200
tahun, benda asaning seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan
6
dalam terjadinya appendicitis. Trauma, stress psikologis, dan herediter juga
mempengaruhi terjadinya appendicitis.
Awalnya, pasien akan merasa gejala gastrointestinal ringan seperti
berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB yang minimal, dan
kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis
appendicitis, khususnya pada anak-anak. Distensi appendiks menyebabkan
perangsangan serabut saraf visceral dan dipersepsikan sebagai nyeri di daerah
periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri dalam, tumpul, berlokasi di
dermatom Th 10. Adanya distensi yang semakin bertambah menyebabkan
mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri. Jika mual muntah
timbul lebih dulu sebelum nyeri, dapat dipikirkan diagnosis lain.
Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi bakteri
untuk berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal,
terjadi gangguan aliran limf, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya
peningkatan tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada
iskemik jaringan, infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke
dinding appendiks; diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat
kensekuensi pelepasan mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat
eksudat inflamasi dari dinding appendiks berhubungan dengan peritoneum
parietale, serabut saraf somatic akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan
lokal pada lokasi appendiks, khususnya di titik Mc Burney’s. Nyeri jarang
timbul hanya pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral
sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic biasanya
tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale
sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran infeksi. Nyeri pada appendiks
retrocaecal dapat muncul di punggung atau pinggang. Appendiks pelvic yang
terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan
peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi
ureter atau vesica urinaria pada appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat
berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine.
7
Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau
peritonitis umum. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah
perforasi dan kemampuan pasien berespon terhadap adanya perforasi. Tanda
perforasi appendiks mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC,
leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien
dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap
hingga > 48 jam tanpa perforasi. Secara umum, semakin lama gejala
berhubungan dengan peningkatan risiko perforasi. Peritonitis difus lebih
sering dijumpai pada bayi karena tidak adanya jaringan lemak omentum.
Anak yang lebih tua atau remaja lebih memungkinkan untuk terjadinya
abscess yang dapat diketahui dari adanya massa pada pemeriksaan fisik.
Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus sering dijumpai. Diare
sering didapatkan pada anak-anak, dalam jangka waktu sebentar, akibat iritasi
ileum terminal atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya
abscess pelvis.
F. MANIFESTASI KLINIS
Nyeri merupakan gejala yang pertama kali muncul. Seringkali
dirasakan sebagai nyeri tumpul, nyeri di periumbilikal yang samar-samar, tapi
seiring dengan waktu akan berlokasi di abdomen kanan bawah. Terjadi
peningkatan nyeri yang gradual seiring dengan perkembangan penyakit.
Variasi lokasi anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang terjadi.
Pada anak-anak, dengan letak appendiks yang retrocecal atau pelvis, nyeri
dapat mulai terjadi di kuadran kanan bawah tanpa diawali nyeri pada
periumbilikus. Nyeri pada flank, nyeri punggung, dan nyeri alih pada testis
juga merupakan gejala yang umum pada anak dengan appendicitis retrocecal
arau pelvis.
Jika inflamasi dari appendiks terjadi di dekat ureter atau bladder,
gejala dapat berupa nyeri saat kencing atau perasaan tidak nyaman pada saat
menahan kencing dan distensi kandung kemih. Anorexia, mual, dan muntah
biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah onset terjadinya nyeri. Muntah
8
biasanya ringan. Diare dapat terjadi akibat infeksi sekunder dan iritasi pada
ileum terminal atau caecum. Gejala gastrointestinal yang berat yang terjadi
sebelum onset nyeri biasanya mengindikasikan diagnosis selain appendicitis.
Meskipun demikian, keluhan GIT ringan seperti indigesti atau perubahan
bowel habit dapat terjadi pada anak dengan appendicitis.
Pada appendicitis tanpa komplikasi biasanya demam ringan (37,5 -
38,5 oC). Jika suhu tubuh diatas 38,6 0 C, menandakan terjadi perforasi. Anak
dengan appendicitis kadang-kadang berjalan pincang pada kaki kanan.
Karena saat menekan dengan paha kanan akan menekan Caecum hingga isi
Caecum berkurang atau kosong. Bising usus meskipun bukan tanda yang
dapat dipercaya dapat menurun atau menghilang.
Anak dengan appendicitis biasanya menghindari diri untuk bergerak
dan cenderung untuk berbaring di tempat tidur dengan kadang-kadang lutut
diflexikan. Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak jarang menderita
appendicitis, kecuali pada anak dengan appendicitis retrocaecal, nyeri seperti
kolik renal akibat perangsangan ureter.
G. PEMERIKSAAN FISIK
Pada Apendicitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,
sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut. Secara
klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik: ·
1) Rovsing’s sign: dikatakan posiif jika tekanan yang diberikan pada LLQ
abdomen menghasilkan sakit di sebelah kanan (RLQ), menggambarkan
iritasi peritoneum. Sering positif tapi tidak spesifik. ·
2) Psoas sign: dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah
kiri sendi pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini
menggambarkan iritasi pada otot psoas kanan dan indikasi iritasi
retrocaecal dan retroperitoneal dari phlegmon atau abscess. Dasar
anatomis terjadinya psoas sign adalah appendiks yang terinflamasi yang
terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada saat
dilakukan manuver ini.
9
3) Obturator sign: dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian
gerakan endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada cara
ini menunjukkan peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis. Perlu
diketahui bahwa masing-masing tanda ini untuk menegakkan lokasi
Appendix yang telah mengalami radang atau perforasi. Dasar anatomis
terjadinya psoas sign adalah appendiks yang terinflamasi yang terletak
retroperitoneal akan kontak dengan otot obturator internus pada saat
dilakukan manuver ini.
4) Blumberg’s sign: nyeri lepas kontralateral (tekan di LLQ(Left Lower
Quadrant) kemudian lepas dan nyeri di RLQ) ·
5) · Dunphy sign: nyeri ketika batuk.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Laboratorium Jumlah
leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak dengan
appendicitis akuta. Jumlah leukosit pada penderita appendicitis berkisar
antara 12.000-18.000/mm3. Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift to
the left) dengan jumlah normal leukosit menunjang diagnosis klinis
appendicitis. Jumlah leukosit yang normal jarang ditemukan pada pasien
dengan appendicitis.
Pemeriksaan urinalisis membantu untuk membedakan appendicitis
dengan pyelonephritis atau batu ginjal. Meskipun demikian, hematuria ringan
dan pyuria dapat terjadi jika inflamasi appendiks terjadi di dekat ureter.
2) Ultrasonografi Ultrasonografi
sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk menunjang
diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala appendicitis. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan
spesifitasnya lebih dari 90%. Gambaran USG yang merupakan kriteria
diagnosis appendicitis acuta adalah appendix dengan diameter anteroposterior
7 mm atau lebih, didapatkan suatu appendicolith, adanya cairan atau massa
periappendix.
10
False positif dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder appendix
sebagai hasil dari salphingitis atau inflammatory bowel disease. False negatif
juga dapat muncul karena letak appendix yang retrocaecal atau rongga usus
yang terisi banyak udara yang menghalangi appendix.
3) CT-Scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas.sensitifitas dan
spesifisitasnya kira-kira 95-98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi
klinis tidak jelas, dan curiga adanya abscess, maka CT-scan dapat digunakan
sebagai pilihan test diagnostik.
Diagnosis appendicitis dengan CT-scan ditegakkan jika appendix
dilatasi lebih dari 5-7 mm pada diameternya. Dinding pada appendix yang
terinfeksi akan mengecil sehingga memberi gambaran “halo”.
I. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari Appendicitis dapat bervariasi tergantung dari
usia dan jenis kelamin Pada anak-anak balita àntara lain intususepsi,
divertikulitis, dan gastroenteritis akut. Intususepsi paling sering didapatkan
pada anak-anak berusia dibawah 3 tahun. Divertikulitis jarang terjadi jika
dibandingkan Appendicitis. Nyeri divertikulitis hampir sama dengan
Appendicitis, tetapi lokasinya berbeda, yaitu pada daerah periumbilikal. Pada
pencitraan dapat diketahui adanya inflammatory mass di daerah abdomen
tengah. Diagnosis banding yang agak sukar ditegakkan adalah gastroenteritis
akut, karena memiliki gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis, yakni
diare, mual, muntah, dan ditemukan leukosit pada feses. · Pada anak-anak
usia sekolahan gastroenteritis, konstipasi, infark omentum. Pada
gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis,
tetapi tidak dijumpai adanya leukositosis. Konstipasi, merupakan salah satu
penyebab nyeri abdomen pada anak-anak, tetapi tidak ditemukan adanya
demam. Infark omentum juga dapat dijumpai pada anak-anak dan
gejalagejalanya dapat menyerupai appendicitis. Pada infark omentum, dapat
11
terraba massa pada abdomen dan nyerinya tidak berpindah · Pada pria dewasa
muda Diagnosis banding yang sering pada pria dewasa muda adalah Crohn’s
disease, klitis ulserativa, dan epididimitis. Pemeriksaan fisik pada skrotum
dapat membantu menyingkirkan diagnosis epididimitis. Pada epididimitis,
pasien merasa sakit pada skrotumnya. · Pada wanita usia muda Diagnosis
banding appendicitis pada wanita usia muda lebih banyak berhubungan
dengan kondisi-kondisi ginekologik, seperti pelvic inflammatory disease
(PID), kista ovarium, dan infeksi saluran kencing. Pada PID, nyerinya
bilateral dan dirasakan pada abdomen bawah. Pada kista ovarium, nyeri dapat
dirasakan bila terjadi ruptur ataupun torsi. · Pada usia lanjut Appendicitis
pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Diagnosis banding yang
sering terjadi pada kelompok usia ini adalah keganasan dari traktus
gastrointestinal dan saluran reproduksi, divertikulitis, perforasi ulkus, dan
kolesistitis. Keganasan dapat terlihat pada CT Scan dan gejalanya muncul
lebih lambat daripada appendicitis. Pada orang tua, divertikulitis sering sukar
untuk dibedakan dengan appendicitis, karena lokasinya yang berada pada
abdomen kanan. Perforasi ulkus dapat diketahui dari onsetnya yang akut dan
nyerinya tidak berpindah. Pada orang tua, pemeriksaan dengan CT Scan lebih
berarti dibandingkan dengan pemeriksaan laboratorium.
J. KOMPLIKASI
1) Appendicular infiltrat: Infiltrat / massa yang terbentuk akibat mikro atau
makro perforasi dari Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi
oleh omentum, usus halus atau usus besar.
2) Appendicular abscess: Abses yang terbentuk akibat mikro atau makro
perforasi dari Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh
omentum, usus halus, atau usus besar.
3) Perforasi
4) Peritonitis
5) Syok septik
12
K. PENATALAKSANAAN
1) Untuk pasien yang dicurigai Appendicitis :
Puasakan
Berikan analgetik dan antiemetik jika diperlukan untuk
mengurangi gejala
Penelitian menunjukkan bahwa pemberian analgetik tidak akan
menyamarkan gejala saat pemeriksaan fisik.
Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang
membutuhkan Laparotomy
2) Perawatan appendicitis tanpa operasi
Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat
berguna untuk Appendicitis acuta bagi mereka yang sulit
mendapat intervensi operasi (misalnya untuk pekerja di laut
lepas), atau bagi mereka yang memilki resiko tinggi untuk
dilakukan operasi.
3) Rujuk ke dokter spesialis bedah: appendictomy
13
Dibawah ini tabel 2 keuntungan dan kerugian pemakaian LMA jika
dibandingkan dengan ventilasi facemask atau intubasi ET 6 :
14
Dibawah ini tabel 3 dengan berbagai ukuran LMA dengan
volume cuff yang berbeda yang tersedia untuk pasien-pasien ukuran
berbeda ( 3 )
b. Macam-macam LMA
LMA dapat dibagi menjadi 4 6 :
1. Clasic LMA
Merupakan suatu peralatan yang digunakan pada airway
management yang dapat digunakan ulang dan digunakan sebagai
alternatif baik itu untuk ventilasi facemask maupun intubasi ET.
LMA juga memegang peranan penting dalam penatalaksanaan
difficult airway. Jika LMA dimasukkan dengan tepat maka tip LMA
berada diatas sfingter esofagus, cuff samping berada di fossa
pyriformis, dan cuff bagian atas berlawanan dengan dasar lidah.
Dengan posisi seperti ini akan menyebabkan ventilasi yang efektif
dengan inflasi yang minimal dari lambung 5
15
2. Fastrach LMA (Intubating LMA)
16
suara serak biasanya ringan, namun lebih sering terjadi pada
pemakaian ILMA dibandingkan cLMA. ILMA memegang peranan
penting dalam managemen kesulitan intubasi yang tidak terduga.
Juga cocok untuk pasien dengan cedera tulang belakang bagian
cervical. Dan dapat dipakai selama resusitasi cardiopulmonal. 5
Respon hemodinamik terhadap intubasi dengan ILMA mirip
dengan intubasi konvensional dengan menggunakan laryngoscope.
Kemampuan untuk insersi ILMA dari belakang, depan atau dari
samping pasien dan dengan posisi pasien supine, lateral atau bahkan
prone, yang berarti bahwa ILMA merupakan jalan nafas yang cocok
untuk insersi selama mengeluarkan pasien yang terjebak ( 5 )
ILMA merupakan alat yang mahal dengan harga kira-kira
500 dollar America dan dapat digunakan sampai 40 kali.
17
LMA Proseal mempunyai 2 gambaran design yang
menawarkan keuntungan lebih dibandingkan LMA standar selama
melakukan ventilasi tekanan positif. Pertama, tekanan seal jalan
nafas yang lebih baik yang berhubungan dengan rendahnya tekanan
pada mukosa. Kedua, LMA Proseal terdapat pemisahan antara
saluran pernafasan dengan saluran gastrointestinal, dengan
penyatuan drainage tube yang dapat mengalirkan gas-gas esofagus
atau memfasilitasi suatu jalur tube orogastric untuk dekompresi
lambung 5
PLMA diperkenalkan tahun 2000. PLMA mempunyai
“mangkuk” yang lebih lunak dan lebih lebar dan lebih dalam
dibandingkan cLMA. Terdapat drainage tube yang melintas dari
ujung mask, melewati “mangkuk” untuk berjalan paralel dengan
airway tube. Ketika posisinya tepat, drain tube terletak dipuncak
esofagus yang mengelilingi cricopharyngeal, dan “mangkuk” berada
diatas jalan nafas. Lebih jauh lagi, traktus GI dan traktus respirasi
secara fungsi terpisah 5
PLMA di insersi secara manual seperti cLMA. Akhirnya saat
insersi sulit dapat melalui suatu jalur rel melalui suatu bougie yang
dimasukkan kedalam esofagus. Tehnik ini paling invasif tetapi
paling berhasil dengan misplacement yang kecil.
Terdapat suatu teori yang baik dan bukti performa untuk
mendukung gambaran perbandingan antara cLMA dengan PLMA,
berkurangnya kebocoran gas, berkurangnya inflasi lambung, dan
meningkatnya proteksi dari regurgitasi isi lambung. Akan tetapi,
semua ini sepenuhnya tergantung pada ketepatan posisi alat tersebut
5
18
inflasi yang tinggi dan mengakibatkan kebocoran. Modifikasi baru,
Proseal LMA telah dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan ini
dengan cuf yang lebih besar dan tube drain yang memungkinkan
insersi gastric tube. Versi ini sering lebih sulit untuk insersinya dan
pabrik merekomendasikan dengan bantuan introduser kaku. (
Gambar 3 )
19
harus diperiksa secara periodik dan dipertahankan lebih rendah dari
60 cmH2O. Akhirnya resiko terjadinya inflasi lambung harus secara
aktif disingkirkan dengan mendengarkan daerah leher dan abdomen
dengan menggunakan stetoskop ( 8 )
4. Flexible LMA
Bentuk dan ukuran mask nya hampir menyerupai cLMA,
dengan airway tube terdapat gulungan kawat yang menyebabkan
fleksibilitasnya meningkat yang memungkinkan posisi proximal end
menjauhi lapang bedah tanpa menyebabkan pergeseran mask.
Berguna pada pembedahan kepala dan leher, maxillo facial dan
THT. fLMA memberikan perlindungan yang baik terhadap laryng
dari sekresi dan darah yang ada diatas fLMA.
Populer digunakan untuk pembedahan nasal dan pembedahan
intraoral, termasuk tonsilektomy. Airway tube fLMA lebih panjang
dan lebih sempit, yang akan menaikkan resistensi tube dan work of
breathing. Ukuran fLMA : 2 – 5. Insersi fLMA dapat lebih sulit dari
cLMA karena flexibilitas airway tube. Mask dapat ber rotasi 180
pada sumbu panjangnya sehingga masknya mengarah ke belakang.
Harga fLMA kira-kira 30 % lebih mahal dari cLMA dan
direkomendasikan untuk digunakan 40 kali.
c. Teknik Anestesi LMA
1. Indikasi 4 :
- Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk
airway management. LMA bukanlah suatu penggantian ET,
ketika pemakaian ET menjadi suatu indikasi.
- Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang
tidak diperkirakan.
- Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang
tidak sadarkan diri.
20
2. Kontraindikasi 4 :
- Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung ( penggunaan
pada emergency adalah pengecualian ).
- Pasien-pasien dengan penurunan compliance sistem pernafasan,
karena seal yang bertekanan rendah pada cuff LMA akan
mengalami kebocoran pada tekanan inspirasi tinggi dan akan
terjadi pengembangan lambung. Tekanan inspirasi puncak harus
dijaga kurang dari 20 cm H2O untuk meminimalisir kebocoron
cuff dan pengembangan lambung.
- Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik
jangka waktu lama.
- Pasien-pasien dengan reflex jalan nafas atas yang intack karena
insersi dapat memicu terjadinya laryngospasme.
d. Efek Samping
21
trauma oleh karena reflex proteksi yang di tumpulkan, atau mungkin
malah akan meningkatkan trauma yang berhubungan dengan jalan
nafas yang relax/menyempit jika manuver jaw thrust tidak dilakukan
8
22
dilakukan dengan cara menaruh tangan dibawah occiput pasien dan
dilakukan ekstensi ringan pada tulang belakang leher bagian atas.
cLMA dipegang seperti memegang pensil pada perbatasan mask dan
tube. Rute insersi cLMA harus menyerupai rute masuknya makanan.
Selama insersi, cLMA dimajukan ke arah posterior sepanjang
palatum durum kemudian dilanjutkan mengikuti aspek posterior-
superior dari jalan nafas. Saat cLMA ”berhenti” selama insersi,
ujungnya telah mencapai cricopharyngeus ( sfingter esofagus bagian
atas ) dan harusnya sudah berada pada posisi yang tepat. Insersi
harus dilakukan dengan satu gerakan yang lembut untuk meyakinkan
”titik akhir” ter-identifikasi 5
23
- Garis hitam di belakang cLMA tetap digaris tengah.
- Cuff cLMA tidak tampak dimulut.
Jumlah udara yang direkomendasikan untuk inflasi cuff
tergantung dari pembuat LMA yang bervariasi sesuai dengan ukuran
cLMA. Penting untuk dicatat bahwa volume yang direkomendasikan
adalah volume yang maksimum. Biasanya tidak lebih dari setengah
volume ini yang dibutuhkan. Volume ini dibutuhkan untuk mencapai
sekat bertekanan rendah dengan jalan nafas. Tekanan didalam cuff
tidak boleh melebihi 60 cmH2O. Inflasi yang berlebihan akan
meningkatkan resiko komplikasi pharyngolaryngeal, termasuk
cedera syaraf ( glossopharyngeal, hypoglossal, lingual dan laryngeal
recuren ) dan biasanya menyebabkan obstruksi jalan nafas 5
Setelah cLMA di insersikan, pergerakan kepala dan leher akan
membuat perbedaan kecil terhadap posisi cLMA dan dapat
menyebabkan perubahan pada tekanan intra cuff dan sekat jalan
nafas. N2O jika digunakan akan berdifusi kedalam cuff cLMA
sampai tekanan partial intracuff sama dengan tekanan campuran gas
anestesi. Hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan didalam
cuff pada 30 menit pertama sejak pemberian N2O. Tekanan cuff
yang berlebihan dapat dihindari dengan mem-palpasi secara
intermiten pada pilot ballon 5
Setelah insersi, patensi jalan nafas harus di test dengan cara
mem-bagging dengan lembut. Yang perlu diingat, cuff cLMA
menghasilkan sekat bertekanan rendah sekitar laryng dan tekanan
jalan nafas diatas sekat ini akan menyebabkan kebocoran gas
anestesi dari jalan nafas. Dengan lembut, ventilasi tangan akan
menyebabkan naiknya dinding dada tanpa adanya suara ribut pada
jalan nafas atau kebocoran udara yang dapat terdengar. Saturasi
oksigen harus stabil. Jika kantung reservoir tidak terisi ulang
kembali seperti normalnya, ini mengindikasikan adanya kebocoran
24
yang besar atau obstruksi jalan nafas yang partial, jika kedua hal tadi
terjadi maka cLMA harus dipindahkan dan di insersi ulang.
Pemakaian LMA sendiri dapat juga menimbulkan obstruksi.
Untuk itu diperlukan suatu algoritme untuk memfasilitasi diagnosis
dan penatalaksanaan obstruksi jalan nafas dengan LMA :
25
karena tidak hanya menyebabkan kebocoran gas dari cLMA tetapi
juga melebihi tekanan sfingter esofagus. Pada tekanan jalan nafas
yang rendah, tekanan gas keluar lewat mulut, tetapi pada tekanan
yang lebih tinggi, gas akan masuk ke esofagus dan lambung yang
5
akan meningkatkan resiko regurgitasi dan aspirasi
Selama fase maintenance anestesi, cLMA biasanya
menyediakan jalan nafas yang bebas dan penyesuaian posisi jarang
diperlukan. Biasanya pergeseran dapat terjadi jika anestesi kurang
dalam atau pasien bergerak. Kantung reservoir sirkuit anestesi harus
tampak dan di monitoring dengan alarm yang tepat harus digunakan
selama tindakan anestesi untuk meyakinkan kejadian-kejadian ini
terdeteksi. Jika posisi pasien butuh untuk di ubah, akan bijaksana
untuk melepas jalan nafas selama pergerakan. Saat pengembalian
posisi telah dilakukan, sambungkan kembali ke sirkuit anestesi dan
periksa ulang jalan nafas 5
g. Teknik Ekstubasi
Pada akhir pembedahan, cLMA tetap pada posisinya
sampai pasien bangun dan mampu untuk membuka mulut sesuai
perintah, dimana reflex proteksi jalan nafas telah normal pulih
kembali. Melakukan penghisapan pada pahryng secara umum tidak
diperlukan dan malah dapat men-stimuli dan meningkatkan
komplikasi jalan nafas seperti laryngospasme. Saat pasien dapat
membuka mulut mereka, cLMA dapat ditarik. Kebanyakan sekresi
akan terjadi pada saat-saat ini dan adanya sekresi tambahan atau
darah dapat dihisap saat cLMA ditarik jika pasien tidak dapat
menelan sekret tersebut. Beberapa kajian menyebutkan tingkat
komplikasi akan lebih tinggi jika cLMA ditarik saat sadar, dan
beberapa saat ditarik ”dalam”. Jika cLMA ditarik dalam kondisi
masih ”dalam”, perhatikan mengenai obstruksi jalan nafas dan
hypoksia. Jika ditarik dalam keadaan sadar, bersiap untuk batuk
dan terjadinya laryngospasme 5
26
h. Komplikasi Pemakaian LMA
cLMA tidak menyediakan perlindungan terhadap aspirasi
paru karena regurgitasi isi lambung dan juga tidak bijaksana untuk
menggunakan cLMA pada pasien-pasien yang punya resiko
meningkatnya regurgitasi, seperti : pasien yang tidak puasa,
emergensi, pada hernia hiatus simtomatik atau refluks gastro-
esofageal dan pada pasien obese.
Pada penelitian Turan et all, LMA dibandingkan dengan
beberapa alat yang juga digunakan untuk menjaga patensi jalan
nafas ( laryngeal tube dan perilaryngeal airway ) dan dihasilkan (
Tabel 4 )
27
anteriornya, tapi kemudian bergabung di bagian posterior dalam faring.
Faring berbentuk U dengan struktur fibromuskuler yang memanjang dari
dasar tengkorak menuju kartilago krikoid pada jalan masuk ke esofagus.
Bagian depannya terbuka ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring,
orofaring dan laringofaring (pars laryngeal).
Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi mengarah ke
posterior. Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis memisahkan orofaring
dari laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah terjadinya aspirasi
dengan menutup glotis- gerbang laring- pada saat menelan. Laring adalah
suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh
9 kartilago: tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang) aritenoid, kornikulata
dan kuneiforme.
28
masuk (inflow) atau aliran keluar (outflow) oksigen yang berlebihan.
Kesulitan laringoskopi terjadi bila tidak ada bagian glotis yang terlihat setelah
usaha laringoskopi dilakukan banyak kali.
Pasien dianggap memiliki kesulitan jalan nafas jika anestesiolog
mengalami kesulitan untuk memberikan ventilasi dengan facemask pada jalan
nafas bagian atas, kesulitan mengintubasi trakea , atau keduanya. Untuk
memperkirakan adanya kesulitan mask ventilation atau kesulitan intubasi
endotrakea, setiap pasien yang menerima perawatan anestesi harus menjalani
anamnesis dan pemeriksaan fisis jalan nafas yang komprehensif. Pasien harus
ditanyai mengenai komplikasi jalan nafas pernah terjadi sewaktu dianestesi
dulu. Riwayat trauma selama penanganan jalan nafas sebelumnya pada bibir,
gigi, gusi, atau mulut pasien dapat menandakan adanya kesulitan jalan nafas.
Berbagai hasil pemeriksaan fisis telah dihubungkan dengan kesulitan
jalan nafas:
Komponen pemeriksaan fisis jalan nafas preoperatif.
Komponen Temuan yang mencurigakan
- Panjang incisivus atas - Relatif panjang
- Hubungan incisivus maksilla - “Overbite” yang jelas (incisivus
dan mandibula saat rahang maksilla di anterior terhadap incisivus
dikatupkan biasa mandibula)
- Hubungan incisivus maksilla - Incisivus mandibula pasien di anterios
dan mandibula saat rahang (di depan) incisivus maksilla <3 cm
dibuka - Tidak terlihat saat lidah dijulurkan saat
- Jarak antar - incisivus pasien dalam posisi duduk (misalnya
(pembukaan mulut) Mallampati kelas >II)
- Kemampuan uvula terlihat - Sangat melengkung atau sempit
- Bentuk palatum - Kaku, berindurasi, ditutupi massa, atau
- Kelainan ruang tidak kenyal
submandibula - <3 buku jari atau 6-7 cm
- Jarak tiromentalis - Pendek
- Panjang leher - Tebal (ukuran leher >17 inci)
- Ketebalan leher - Pasien tidak bisa menyentuh ujung
- Kisaran gerakan kepala dan dagu pada dada atau tidak bisa
leher mengekstensikan lehernya
Diproduksi kembali atas izin Caplan RA, Benumof JA, Berry FA
(2003) Practice guidelines for the management of the kesulitan jalan nafas an
updated report by the American Society of Anesthesiologist’sTask Force
29
Gambar. Sistem klasifikasi Mallampati
30
Selama anestesi, angka terjadinya kesulitan intubasi berkisar 3-18%.
Kesulitan dalam intubasi ini berhubungan dengan komplikasi yang serius,
terutama bila intubasi tersebut gagal. Hal ini merupakan salah satu
kegawatdaruratan yang akan ditemui oleh dokter anestesi.
Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal biasanya
dijumpai pada pasien-pasien dengan :
1. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
2. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak
antara mental symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar
memerlukan depresi rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi.
3. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi
4. Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).
5. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang
sendi temporomandibuler, spondilitis servical spine.
6. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi
kepala pada leher di sendi atlantooccipital.
7. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan
fleksi leher.
31
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : An. Wahyu
2. Jenis Kelamin : Laki-laki
3. Usia : 12 Tahun
4. Berat Badan : 38 kg
5. Agama : Islam
6. Pekerjaan : Siswa
7. Alamat : Desa Sibualong
8. Tanggal Operasi : 22 / 05/ 2017
9. Diagnosa Pra Bedah : Appendicitis Akut
10. Tindakan : Appendictomy
11. Jenis anestesi : Anestesi umum (General Anestesi)
12. Teknik anestesi : Laryngeal Mask Airway (LMA)
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RS dengan dengan keluhan nyeri perut kanan
bawah yang dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Nyeri dirasakan hilang
timbul yang terutama dirasakan pada area umbilikus dan menjanlar ke
perut kanan bawah. Pasien juga mengeluh mual dan muntah. Suhu tubuh
37,5oC. BAK sedikit-sedikit dan pasien merasa tidak tuntas setelah
berkemih. Nafsu makan pasien berkurang. Pasien juga mengeluhkan
lemas, sesak(-), nyeri dada (-). BAB biasa.
Riwayat Penyakit Sebelumnya
o Riwayat alergi (-)
o Riwayat asthma (-)
32
o Riwayat hipertensi (-)
o Riwayat operasi sebelumnya (-)
Riwayat pengobatan
Pasien tidak pernah menggunakan obat dalam jangka panjang sebelum
keluhan nyeri perut kanan bawah. Nyeri perut kanan bawah pasien
semakin buram seiring dengan berjalannya waktu.
Pasien mengonsumsi obat untuk mengatasi nyeri perut kanan bawah,
yakni asam mefenamat
33
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Lab
Range
Parameter Hasil Satuan
Normal
SGOT 19 U/L 0-35
SGPT 20 U/L 0-45
a. Pemeriksaan Penunjang
EKG : Sinun ritme, heart rate 80x/menit
b. Diagnosis Kerja
Appendicitis akut
c. Nama operasi
Appendictomy
34
3.2. Persiapan Pre-Operatif
a. Di Ruangan
35
A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau
pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini me
36
Waktu Sistole (mmHg) Diastole (mmHg) Pulse (x/m)
0 (13.00) 132 80 80
5 (13.05) 128 79 84
10 (13.10) 131 81 79
15 (13.15) 129 78 67
20 (13.20) 132 82 80
25 (13.25) 127 78 76
30 (13.30) 131 81 79
35 (13.35) 128 79 74
40 (13.40) 127 77 71
45 (13.45) 126 81 67
50 (13.50) 132 78 72
55 (13.55) 129 79 63
60 (14.00) 131 82 71
Tabel 1. Tanda-tanda vital selama operasi
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
0
5
Propofol 150 mg x
Fentanyl 70 ug x
Sevofluran 2% x
Midazolam x
02 4 lpm x x x x x x x x x x x x x
Tabel 2. Penggunaan obat anestesi selama operasi
37
Parameter Skor
Aktivitas Motorik: 2
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan 2
Dua ekstremitas dapat digerakkan 1
Tidak dapat bergerak 0
Respirasi: 1
Dapat bernapas dalam dan batuk 2
Dangkal namun pertukaran udara adekuat 1
Apneu atau obstruksi 0
Sirkulasi: 2
Tekanan darah menyimpang < 20 mmHg
dari tekanan darah pre anestesi 2
Tekanan darah menyimpang 20-50 mmHg
dari tekanan darah pre anestesi 1
Tekanan darah menyimpang >50 mmHg
dari tekanan darah pre anestesi 0
Kesadaran: 2
Sadar, siaga, orientasi 2
Bangun namun cepat kembali tertidur 1
Tidak berespon 0
Saturasi Oksigen: 2
SaO2 >90% dengan oksigen ruangan 2
SaO2 >90% dengan oksigen tambahan 1
SaO2 <90% dengan oksigen tambahan 0
Total 9
38
- M : Maintenance, 30-50cc/kgBB/24jam
- O : prediksi cairan yang hilang selama operasi dapat dihitung dari jenis
operasi x BB
Operasi kecil : 2-4 ml x BB
Operasi sedang: 4-6 ml x BB
Operasi besar : 6-8 ml x BB
- P : Lamanya puasa dihitung dari jumlah jam puasa x maintenance
Perhitungan cairan menggunakan rumus:
Jam I : M + O + 1/2 P
Jam II-III : M + O + 1/4 P
Jam IV :M+O
39
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada dasarnya tujuan anestesi adalah sama, yaitu menghilangkan rasa sakit
dan membuat nyaman pasien selama operasi berlangsung dan setelahnya. General
anesthesia merupakan jenis anestesi yang sering digunakan untuk pasien yang
akan menjalani operasi. Selama operasi berlangsung, tanda vital akan dipantau
melalui monitor fungsi tubuh secara umum yaitu denyut nadi, nafas, tekanan
darah, dan saturasi oksigen. Selain itu, intubasi diperlukan untuk membuka jalan
nafas pada anestesi umum.
Anastesi yang digunakan pada kasus ini adalah dengan general anastesi
dimana lebih menguntungkan pada kasus ini. Sedangkan tekniknya dengan
menggunakan Laryngeal Mask Airway (LMA).
Sebelum dilakukan operasi, pasien diperiksa terlebih dahulu, meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang untuk menentukan status
fisik (ASA), serta ditentukan rencana jenis anestesi yang akan dilakukan yaitu
general anestesi dengan LMA. Setelah dilakukan pemeriksaan tentang keadaan
umum pada pasien ini, pemeriksaan fisik menunjukkan adanya gangguan
penurunan jumlah hematokrit yaitu 33,9% (normal 37,0-47,0 %). sehingga
pasien tergolong dalam status fisik ASA II.
Sebelum dilakukan operasi pasien diberikan cairan RL 500 cc. Pemberian
cairan pre operatif ini bertujuan untuk mengganti hilangnya cairan selama 8 jam
puasa yang dilakukan sebelum operasi. Pemberian maintenance cairan sesuai
dengan berat badan pasien yaitu (4x10kg) + (2x10kg) + (1x32), sehingga
kebutuhan cairan maintenance pasien selama operasi adalah sekitar 79 cc.
Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 8 jam. Tujuan puasa untuk
mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada
saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat-obat anastesi
yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan selama anestesia.
Penggantian puasa juga harus dihitung dalam terapi cairan ini yaitu 8 x
40
maintenance. Sehingga kebutuhan cairan yang harus dipenuhi selama 8 jam ini
adalah 632 cc/8jam.
Pada kasus ini, obat obatan medikasi tambahan yang diberikan adalah
Midazolam 3 mg untuk efek sedatif. Midazolam merupakan golongan
benzodiazepin merupakan agen obat antiansietas yang bekerja dengan cara
berikatan dengan reseptor di beberapa tempat di sistem saraf pusat termasuk
sistem limbik dan formatio retikularis, menghasilkan efek sedasi yang dimediasi
oleh sistem reseptor GABA, meningkatkan permeabilitas membran neuron yaitu
pertukaran ion Cl- sehingga menghambat efek inhibisi GABA. Kemudian pasien
diberikan Fentanil 70 µg intravena digunakan sebagai analgesi opioid. Fentanil
adalah analgesik narkotik yang poten, bisa digunakan sebagai tambahan untuk
general anastesi yang memiliki kerja cepat dan efek durasi kerja kurang lebih 30
menit setelah dosis tunggal.
Pada pasien ini, dilakukan teknik anestesi dengan pemasangan clasic
Laryngeal Mask Airway (LMA). Untuk melakukan insersi cLMA membutuhkan
kedalaman anestesi yang lebih besar. Kedalaman anestesi merupakan suatu hal
yang penting untuk keberhasilan selama pergerakan insersi cLMA dimana jika
kurang dalam sering membuat posisi mask yang tidak sempurna.
Sebelum insersi, kondisi pasien harus sudah tidak berrespon dengan
mandibula yang relaksasi dan tidak ber-respon terhadap tindakan jaw thrust.
Tetapi, insersi cLMA tidak membutuhkan pelumpuh otot. Hal lain yang dapat
mengurangi tahanan yaitu pemakaian pelumpuh otot. Meskipun pemakaian
pelumpuh otot bukan standar praktek di klinik, dan pemakaian pelumpuh otot
akan mengurangi trauma oleh karena reflex proteksi yang di tumpulkan, atau
mungkin malah akan meningkatkan trauma yang berhubungan dengan jalan nafas
yang relax/menyempit jika manuver jaw thrust tidak dilakukan.
Propofol merupakan agen induksi yang paling tepat karena propofol dapat
menekan refleks jalan nafas dan mampu melakukan insersi cLMA tanpa batuk
atau terjadinya gerakan. Introduksi LMA ke supraglotis dan inflasi the cuff akan
menstimulasi dinding pharing akan menyebabkan peningkatan tekanan darah dan
41
nadi. Perubahan kardiovaskuler setelah insersi LMA dapat ditumpulkan dengan
menggunakan dosis besar propofol yang berpengaruh pada tonus simpatis jantung.
Induksi pada pasien ini dilakukan dengan anastesi intravena yaitu Propofol
150 mg I.V Larutan emulsi dengan konsentrasi 1%, metabolisme sangat cepat
terutama karena biotransformasi, memiliki efek induksi yang cepat, dengan
distribusi dan eliminasi yang cepat. Selain itu juga propofol dapat menghambat
transmisi neuron yang hancur oleh GABA. Obat anestesi ini mempunyai efek
kerjanya yang cepat dan dapat dicapai dalam waktu 30 detik. Onset dan
pemulihan cepat seperti halnya pentothal, tetapi tidak ada hangover dan gangguan
psikomotor. Insidens mual dan muntah yang rendah menyebabkan penderita lebih
cepat imobilisasi.
Setelah insersi, patensi jalan nafas harus di test dengan cara mem-bagging
dengan lembut. Yang perlu diingat, cuff cLMA menghasilkan sekat bertekanan
rendah sekitar laryng dan tekanan jalan nafas diatas sekat ini akan menyebabkan
kebocoran gas anestesi dari jalan nafas. Dengan lembut, ventilasi tangan akan
menyebabkan naiknya dinding dada tanpa adanya suara ribut pada jalan nafas atau
kebocoran udara yang dapat terdengar. Saturasi oksigen harus stabil. Jika kantung
reservoir tidak terisi ulang kembali seperti normalnya, ini mengindikasikan
adanya kebocoran yang besar atau obstruksi jalan nafas yang partial, jika kedua
hal tadi terjadi maka cLMA harus dipindahkan dan di insersi ulang.
Setelah LMA terfiksasi dilaksanakan pembedahan yang diikuti dengan
rumatan atau yang biasa dikenal dengan maintenance menggunakan O2 +
Sevofluran ditambah dengan pemberian cairan parenteral yakni kristaloid untuk
mensubstitusi cairan, baik darah maupun cairan tubuh lainnya, yang keluar selama
pembedahan.
Pemeliharaan atau maintanance adalah tahapan dimana pembedahan dapat
berlangsung dengan baik (untuk para ahli bedah). Yang digunakan adalah anestesi
inhalasi sebab eksresinya melalui sistem respirasi sehingga dengan adanya
gangguan fungsi ginjal tidak akan merubah obat-obat tersebut, obat-obat yang
bisa dipakai antara lain isoflouran, halotan, desfluran, dan sevofluran. Pada pasien
ini digunakan pemeliharaan dengan Sevofluran. Sevofluran merupakan obat
42
anestesi inhalasi berbentuk cairan yang mudah menguap, berbau harum, dan tidak
mudah terbakar, sevofluran adalah suatu obat anestesi umum inhalasi derivat eter
dengan kelarutan dalam darah yang lebih rendah dari halotan, enfluran dan
isofluran. Rendahnya kelarutan serta tidak adanya bau yang menyengat
menyebabkan induksi inhalasi berjalan dengan cepat dan mulus, juga kelarutan
dalam darah yang rendah menyebabkan pemulihan berjalan dengan cepat.
Efek depresinya terhadap SSP sesuai dengan dosis yang diberikan. Pada
dosis anestesi tidak menimbulkan vasodilatasi dan perubahan sirkulasi serebrum
serta mekanisme autoregulasi aliran darah otak tetap stabil. Kelebihan lain yang
dimiliki oleh sefofluran adalah penurunan konsumsi oksigen otak.
Pada pasien dengan appendicitis yang dilakukan tindakan operasi, dapat
mempengaruhi system pernafasan yakni kemmapuan untuk mengatasi keadaan
hipoksia ventilasi sangat rendah, dan pengendalian terhadap hiperkapnia ventilasi
juga sering terganggu. Salah satu factor yang terlibat sebagai penyebab gangguan
fungsi pernafasan adalah kelemahan otot pernapasan yang merupakan hasil
intrinsic dan disfungsi dari safar frenikus. Sehingga pada pasien ini, sangat cocok
untuk dilakukan pemasangan LMA yang tidak membutuhkan pelumpuh otot.
Beberapa hal yang harus dipertimbangakan selama operasi adalah
adekuatnya ventilasi pada pasien selama intra operatif sampai pasca operatif
sehingga sangat penting untuk memperhatikan jalan nafas pada pasien dengan
appendicitis.
Beberapa saat setelah pasien dikeluarkan dari ruang operasi, didapatkan
pada pemeriksaan fisik tekanan darah 110/ 70 mmHG, nadi 66 x/menit, dan laju
respirasi 16 x/menit.
43
BAB V
KESIMPULAN
44
DAFTAR PUSTAKA
45