TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Fisiologi Ginjal
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan
komposisi kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengekresikan zat
terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma
darah melalui glomerulus dengan reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam
jumlah yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air di
eksresikan keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpulan urin (Price dan
Wilson, 2005).
Price dan Wilson (2005) menjelaskan secara singkat fungsi utama ginjal
yaitu :
Fungsi Eksresi
o Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mili Osmol
dengan mengubah-ubah ekresi air.
o Mempertahankan volume ECF dan tekanan darah dengan
mengubah-ubah ekresi natrium.
o Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit
individu dalam rentang normal.
o Mempertahankan derajat keasaman/pH plasma sekitar 7,4
dengan mengeluarkan kelebihan hidrogen dan membentuk
kembali karbonat.
o Mengeksresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein
(terutama urea, asam urat dan kreatinin).
o Bekerja sebagai jalur eksretori untuk sebagian besar obat.
Fungsi Non eksresi
o Menyintesis dan mengaktifkan hormon
Renin
Eritropoitin
Degradasi
hormon
polipeptida,
insulin,
glukagon,
Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu
filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi. Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi
sejumlah besar cairan yang hampir bebas protein dari kapiler glomerulus ke
kapsula Bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali protein, di filtrasi
secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula
bowman hampir sama dengan plasma. Awalnya zat akan difiltrasi secara bebas
oleh kapiler glomerulus tetapi tidak difiltrasi. Kemudian di reabsorpsi parsial,
reabsorpsi lengkap dan kemudian akan dieksresi. Setiap proses filtrasi
glomerulus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus diatur menurut kebutuhan
tubuh (Guyton, 2007).
2.2.
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan
LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk kriteria
penyakit ginjal kronik.
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara
dengan negara lain (Suwitra, 2006). Secara umum etiologi penyakit
ginjal kronik mencakup diabetes melitus, hipertensi, penyakit glomerular
non diabetek, penyakit ginjal polikistik, dan penyakit tubulointerstitial.
Diabetes melitus dan hipertensi adalah penyebab yang paling utama
(Skorecki, 2005). Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun
2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang mengalami hemodialisis di
Indonesia adalah glomerulonefritis, diabetes melitus, obstruksi dan
infeksi, hipertensi, dan sebab lain (Suwitra, 2006).
2.2.2. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas
dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG) yang dihitung dengan mempergunakan rumus
Kockeroft-Gault sebagai berikut (Suwitra, 2006).
2.2.3.
Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya
proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal
mengakibatkan hipertrofi. Struktural dan fungsional nefron yang masih
tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang
diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors.
Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses
adaptasi ini berlangsung singkat dan pada akhirya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini
diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun
penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas
aksis
renin-angiotensin-aldosteron
intrarenal,
ikut
memberikan
untuk
terjadinya
sklerosis
dan
fibrosis
glomerulus
maupun
2.2.4
Manifestasi Klinis
Suwitra (2006) membagi Gambaran klinis pasien Penyakit Ginjal
Kronik menjadi :
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus,
infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,
komplikasinya
antara
lain,
hipertensi,
anemia,
2.2.5
Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin.
Penatalaksanaan PGK dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah
tindakan konservatif, untuk meredakan atau memperlambat gangguan
fungsi ginjal progresif, mencegah dan mengobati komplikasi yang
terjadi. Penanganan konservatif PGK meliputi: 1) Pengaturan diet; 2)
Pencegahan dan pengobatan komplikasi berupa pengobatan hipertensi,
hiperkalemi,
tindakan
memperpanjang
usia
yang
dapat
penderita.
dilakukan
Hemodialisis
sebagai
upaya
tidak
dapat
Rencana tatalaksana
GFR
(ml/mt/1,73 m)
> 90
perburukan
fungsi
ginjal,
memperkecil
risiko kardiovaskuler
2
60 89
30 89
15 29
< 15
2.3 Hemodialisis
Hemodialisis adalah proses dimana terjadi difusi partikel terlarut (salut) dan
air secara pasif melalui satu kompartemen cair yaitu darah menuju kompartemen
cair lainya yaitu cairan dialisat melewati membran semi permeabel dalam dialiser
(Price dan Wilson, 2005). Tujuan utama hemodialisis adalah menghilangkan
gejala yaitu mengendalikan uremia, kelebihan cairan, dan ketidakseimbangan
elektrolit yang terjadi pada pasien PGK dengan End Stage Renal Disease
(ESRD). Hemodialisis efektif mengeluarkan cairan, elektrolit dan sisa
metabolisme
tubuh,
sehingga
secara
tidak
langsung
bertujuan
untuk
berfungsi mirip dengan cara kerja ginjal, tindakan ini hanya mampu
menggantikan sekitar 10% kapasitas ginjal normal (Sherwood, 2001).
Prosedur mencakup pemompaan darah pasien yang telah diberi heparin
melewati dialyzer dengan kecepatan 300-500 mL/min, sementara cairan dialisat
dialirkan secara berlawanan arah dengan kecepatan 500-800mL/min. Darah dan
dialisat sendiri hanya dipisahkan oleh suatu membran semipermeabel (Singh dan
Brenner, 2005)
Departemen Internal Medicine Lund hospital (2005) mengatakan bahwa
prosedur dialisis pertama kali disusun oleh Dr. Willem Kolff pada tahun 1943 dan
lalu disempurnakan oleh Dr. Nils Alwall pada tahun 1946. Sampai sekarang ,
prosedur ini tetap menjadi terapi utama pada pasien dengan End Stage Renal
Failure (ESRF) dan indikasi dialisis mencakup adanya sindrom uremik,
hiperkalemi yang tak teratasi cara umum, penambahan volume ekstraseluler,
asidosis yang tidak teratasi, diathesis perdarahan, dan clearance kreatinin yang
kurang dari 10 mL/min per 1,73 m2 (Singh dan Brenner, 2005).
Prinsip utama hemodialisis adalah difusi partikel melewati suatu membran
semipermeabel. Cairan dialisat dikondisikan sedemikian sehingga memiliki
gradien konsentrasi yang lebih rendah daripada darah sehingga zat-zat sisa akan
berdifusi ke dialisat. Kecepat
an difusi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain besar gradien
konsentrasi, luas membran, dan koefisien transfer dari membran. Berat molekul
juga berpengaruh dalam menentukan kecepatan difusi. Selain itu, transfer zat-zat
ini juga bisa dibantu dengan tekanan ultrafiltrasi. Sementara air dan larutan lain
yang berlebih akan ikut terbuang karena tekanan osmosis (Singh dan Brenner,
2005).
Ada tiga komponen utama yang terlibat dalam proses hemodialisis, yaitu alat
dialyzer, cairan dialisat, dan sistem penghantaran darah. Dialyzer adalah alat
dalam proses dialisis yang mampu mengalirkan darah dan dialisat dalam
kompartemen-kompartemen di dalamnya, dengan dibatasi membran. Pada pasien
dewasa, luas permukaan membran ini berkisar antara 0,8-1,2 m2 (Singh dan
Brenner, 2005). Dialisat adalah cairan yang terdiri atas air dan elektrolit utama
dari serum normal yang dipompakan melewati dialiser ke darah pasien (Hudak
dan Gallo, 1999; Thomas dan Smith, 2003 dalam Armiyati, 2009). Komposisi
cairan dialisat diatur sedemikian rupa sehingga mendekati komposisi ion darah
normal dan sedikit dimodifikasi agar dapat memperbaiki gangguan cairan dan
elektrolit pasien ESRD. Renal Association (1999) merekomendasikan unit dialisis
menggunakan dialisat
bikarbonat
Darah mulai mengalir dibantu oleh pompa darah. Cairan normal salin diletakkan
sebelum pompa darah untuk mengantisipasi adanya hipotensi intradialisis. Infus
heparin diletakkan baik sebelum atau setelah pompa darah tergantung peralatan
yang digunakan (Hudak dan Gallo, 1999 dalam Armiyati, 2009). Darah mengalir
dari tubuh melalui akses arterial menuju kedialiser sehingga terjadi pertukaran
darah dan zat sisa. Saat hemodialisis, darah sebenarnya tidak mengalir melalui
mesin hemodialisis, melainkan melalui selang darah dan dialiser. Proses
selanjutnya darah akan meninggalkan dialiser.
Darah yang meninggalkan dialiser melewati detektor udara yang akan
menghentikan pompa jika ada udara. Darah yang telah disaring kemudian
dialirkan kembali ke dalam tubuh melalui akses venosa atau selang postdialiser
(Hudak dan Gallo, 1999 dalam Armiyati, 2009).
Darah yang sudah dibersihkan kemudian dikembalikan ke dalam tubuh
melalui vena. Dialisis diakhiri dengan menghentikan darah dari pasien, membuka
selang normal salin dan membilas selang untuk mengembalikan darah pasien.
Pada
akhir
terapi dialisis,
sisa akhir
2.4 Pruritus
2.4.1. Definisi dan Fisiologi
Pruritus adalah istilah medis untuk gatal. Gatal sendiri merupakan suatu
hasil stimulasi gradasi ringan pada serat saraf. Bila gradasi meningkat, maka
sensasi yang akan timbul adalah nyeri (Djuanda S, 2008). Secara sifat, gatal
bisa dibagi menjadi dua, yaitu gatal yang terlokalisasi dan singkat, dan gatal
yang tersebar dan sulit terlokalisasi yang akan menyebabkan daerah
sekitarnya ikut gatal. Tipe yang pertama disebut gatal spontan, sementara
tipe yang kedua disebut gatal kulit.
Ada dua jenis teori tentang pruritus. Teori yang pertama menyatakan
bahwa pruritus berbeda dari nyeri, sementara teori kedua menyatakan bahwa
nyeri adalah rangsang pruritus yang lebih kuat dan berada di bagian kulit
yang lebih dalam. Telah terbukti pula bahwa baik rangsang pruritus maupun
nyeri sama-sama menggunakan jalur serabut saraf c. Zat-zat kimia yang
dapat menimbulkan pruritus mencakup histamin, endopeptida, turunan kina,
maupun opioid. Dari semua zat itu, zat stimulan pruritus yang paling umum
adalah histamin yang disekresikan oleh sel mast (Sherwood, 2001; Patrick
dalam Prasetya, 2009).
Tujuan fisiologis dari pruritus sendiri sebenarnya masih belum diketahui
dengan pasti, namun beberapa spekulasi mencakup menyingkirkan kotoran
yang menempel di kulit atau memberi sinyal adanya reaksi inflamasi.
Terlepas dari tujuannya, pruritus sendiri bisa didefinisikan sebagai suatu rasa
sakit yang terlalu lemah sehingga tidak menimbulkan inhibisi lateral.
Gerakan menggarukakan memperkuat rangsang nyeri ini sehingga rasa
pruritus yang awalnya terasa menyebar akan terlokalisasi menjadi tajam
karena inhibisi lateral. Sensasi yang baru ini akan diterjemahkan sebagai
nyeri yang menyebabkan eliminasi sensasi pruritus (Sherwood, 2001).
Di medula spinalis sendiri tidak ditemukan adanya suatu jaras khusus
untuk pruritus. Rangsang pruritus yang sampai ke otak umumnya lebih
ditentukan oleh kombinasi urutan dan frekuensi rangsang saraf tertentu yang
tidak khusus untuk pruritus. Rangsang ini lalu akan diteruskan ke daerah
korteks persepsi dan premotor. Korteks akan langsung mengaktifkan refleks
ingin menggaruk daerah yang gatal. Refleks menggaruk ini sebenarnya bisa
juga hanya berupa refleks spinalis saja. Selain itu, rasa ingin menggaruk juga
bisa disebabkan adanya rangsang korteks tanpa rangsang pruritus
sesungguhnya. Keadaan ini menyebabkan puritus psikologis (Widiana,
Lydia, Prodjosudjadi, 2003 dalam Prasetya, 2009 ). Beberapa keadaan
patologis yang bisa menyebabkan pruritus mencakup Penyakit Ginjal Kronik,
cholestasis, defisiensi besi, penyakit endokrin, keganasan, polisitemia,
dermatitis, dan penuaan (Sherwood, 2001; Patrick, 1999 dalam Prasetya,
2009).
Faktor resiko untuk pruritus sendiri masih belum jelas. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa pruritus tidak dipengaruhi oleh faktor usia, jenis kelamin,
penyakit ginjal yang mendasari, dan lama HD (Giovambattista, 2003; Kato et al,
2000; Mesic E et al, 2004 ) Walaupun begitu, Kentaro et al (2001) menyatakan
sebaliknya. Dugue et al (2006) dalam Prasetya (2009) menyebutkan juga bahwa
pruritus dipengaruhi oleh lama HD, di mana lama HD yang semakin lama akan
meningkatkan resiko timbulnya pruritus. Beberapa faktor telah diduga untuk
etiologi dan patogenesisnya, termasuk hipertiroid, hipofosfatemia, dan peningkatan
akumulasi dari kalsium dan fosfat di kulit, peningkatan serum level dari histamin
dan skin mast cells dan peningkatan reseptor opioid. Tetapi tidak ada studi
manapun yang telah menemukan kebenaran faktor mana yang paling
menyebabkan pruritus pada pasien HD (Razeghi et al, 2008).
Xerosis kutis biasanya disebabkan karena retensi vitamin A karena
berkurangnya fungsi ginjal untuk mengekskresikan zat ini. Maka vitamin A akan
menumpuk di jaringan subkutan kulit. Vitamin yang terlalu berlebih ini akan
menyebabkan atrofi kalenjar sebasea dan kalenjar keringat sehingga kulit menjadi
kering dan gatal (Sherwood, 2001; Akhyani et al, 2005) Beberapa sumber juga
menyebutkan adanya peningkatan histamin pada penyakit ginjal kronik, walau
mekanismenya belum diketahui pasti. Anemia defisiensi besi juga disebut-sebut
sebagai salah satu pencetus pruritus, namun menurut salah satu penelitian
dikatakan tidak ada hubungan antara pruritus dengan kadar hemoglobin pasien
(Akhyani et al, 2005).
Hiperfosfatemia, hiperkalsemia, dan hipermagnesia adalah mekanisme yang
banyak diterima sebagai penyebab pruritus. Kalsium dan magnesium darah dalam
kadar tinggi akan berikatan dengan fosfat sehingga membentuk kristal. Kristal ini
akan terdeposit di kulit dan menimbulkan rangsangan terhadap serabut saraf c
yang akan menyebabkan sensasi gatal. (Skorecki, 2005; Giovambattista, 2003).
Salah satu literatur menyebutkan bahwa pembentukan kristal kalsium fosfat
terutama akan terjadi bila perkalian kadar kalsium dan fosfat serum (masingmasing dalam mg/dl) lebih dari 70.
Seperti etiologinya, terapi untuk mengatasi pruritus pada pasien penyakit
ginjal kronik juga masih belum memiliki standar baku. Cara yang cukup efektif
adalah dengan memberikan agen pengikat fosfat oral. Contoh yang sering
digunakan adalah kalsium karbonat atau kalsium asetat (Akhyani et al, 2005 ;
Skorecki, 2005). Cara lain adalah dengan memberikan obat-obat imunosupresi
untuk menekan reaksi gatal (Skorecki, 2005).