Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Fisiologi Ginjal
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan
komposisi kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengekresikan zat
terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma
darah melalui glomerulus dengan reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam
jumlah yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air di
eksresikan keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpulan urin (Price dan
Wilson, 2005).
Price dan Wilson (2005) menjelaskan secara singkat fungsi utama ginjal
yaitu :
Fungsi Eksresi
o Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mili Osmol
dengan mengubah-ubah ekresi air.
o Mempertahankan volume ECF dan tekanan darah dengan
mengubah-ubah ekresi natrium.
o Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit
individu dalam rentang normal.
o Mempertahankan derajat keasaman/pH plasma sekitar 7,4
dengan mengeluarkan kelebihan hidrogen dan membentuk
kembali karbonat.
o Mengeksresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein
(terutama urea, asam urat dan kreatinin).
o Bekerja sebagai jalur eksretori untuk sebagian besar obat.
Fungsi Non eksresi
o Menyintesis dan mengaktifkan hormon
Renin

: penting dalam pengaturan tekanan darah

Universitas Sumatera Utara

Eritropoitin

: merangsang produksi sel darah merah


oleh sumsum tulang

1,25-dihidroksivitamin D3 sebagai hidroksilasi akhir vitamin


D3 menjadi bentuk yang paling kuat.
Prostaglandin

: sebagian besar adalah vasodil;ator


bekerja secara lokal dan melindungi
dari kerusakan iskemik ginjal

Degradasi

hormon

polipeptida,

insulin,

glukagon,

parathormon, prolaktin, hormon pertumbuhan, ADH, dan


hormon gastrointestinal.
Sistem eksresi terdiri atas dua buah ginjal dan saluran keluar urin. Ginjal
sendiri mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri yang masuk ke
medialnya. Ginjal akan mengambil zat-zat yang berbahaya dari darah dan
mengubahnya menjadi urin. Urin lalu akan dikumpulkan dan dialirkan ke ureter.
Dari ureter, urin akan ditampung terlebih dahulu di kandung kemih. Bila orang
tersebut merasakan keinginan mikturisi dan keadaan memungkinkan, maka urin
yang ditampung dikandung kemih akan di keluarkan lewat uretra (Sherwood,
2001).
Unit fungsional ginjal terkecil yang mampu menghasilkan urin disebut
nefron. Tiap ginjal bisa tersusun atas 1 juta nefron yang saling disatukan oleh
jaringan ikat. Nefron ginjal terbagi 2 jenis, nefron kortikal yang lengkung
Henlenya hanya sedikit masuk medula dan memiliki kapiler peritubular, dan
nefron jukstamedulari yang lengkung Henlenya panjang ke dalam medulla dan
memiliki Vasa Recta. Vasa Recta adalah susunan kapiler yang panjang
mengikuti bentuk tubulus dan lengkung Henle. Secara makroskopis, korteks
ginjal akan terlihat berbintik-bintik karena adanya glomerulus, sementara
medula akan terlihat bergaris-garis karena adanya lengkung Henle dan tubulus
pengumpul (Sherwood, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu
filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi. Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi
sejumlah besar cairan yang hampir bebas protein dari kapiler glomerulus ke
kapsula Bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali protein, di filtrasi
secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula
bowman hampir sama dengan plasma. Awalnya zat akan difiltrasi secara bebas
oleh kapiler glomerulus tetapi tidak difiltrasi. Kemudian di reabsorpsi parsial,
reabsorpsi lengkap dan kemudian akan dieksresi. Setiap proses filtrasi
glomerulus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus diatur menurut kebutuhan
tubuh (Guyton, 2007).

2.2.

Penyakit ginjal kronik


2.2.1. Batasan dan Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Uremia
adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua
organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik
(Skorecki, 2005).
Kriteria penyakit ginjal kronik adalah (Suwitra, 2006):
1.

Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan


struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG), dengan manifestasi klinis :
Kelainan patologis
Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi
darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)

2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2


selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Universitas Sumatera Utara

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan
LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk kriteria
penyakit ginjal kronik.
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara
dengan negara lain (Suwitra, 2006). Secara umum etiologi penyakit
ginjal kronik mencakup diabetes melitus, hipertensi, penyakit glomerular
non diabetek, penyakit ginjal polikistik, dan penyakit tubulointerstitial.
Diabetes melitus dan hipertensi adalah penyebab yang paling utama
(Skorecki, 2005). Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun
2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang mengalami hemodialisis di
Indonesia adalah glomerulonefritis, diabetes melitus, obstruksi dan
infeksi, hipertensi, dan sebab lain (Suwitra, 2006).

2.2.2. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas
dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG) yang dihitung dengan mempergunakan rumus
Kockeroft-Gault sebagai berikut (Suwitra, 2006).

*pada perempuan dikalikan 0,85

Berdasarkan LFG, penyakit ginjal kronik diklasifikasikan sebagai


(Lydia, 2006) :
1. Derajat 1 bila telah terjadi kerusakan ginjal namun nilai LFG
masih normal ( 90 ml/mnt/1,73 m 2).

Universitas Sumatera Utara

2. Derajat 2 bila telah terjadi kerusakan ginjal dengan LFG turun


ringan ( 60-89 ml/mnt/1,73 m2.
3. Derajat 3 bila telah terjadi kerusakan ginjal dengan LFG turun
sedang ( 30-59 ml/mnt/1,73 m2).
4. Derajat 4 bila telah terjadi kerusakan ginjal dengan LFG turun
berat ( 15-29 ml/mnt/1,73 m2).
5. Derajat 5 bila telah terjadi gagal ginjal dengan LFG turun <15
ml/mnt/1,73 m2 atau sudah membutuhkan terapi hemodialisis.

2.2.3.

Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya
proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal
mengakibatkan hipertrofi. Struktural dan fungsional nefron yang masih
tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang
diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors.
Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses
adaptasi ini berlangsung singkat dan pada akhirya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini
diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun
penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas
aksis

renin-angiotensin-aldosteron

intrarenal,

ikut

memberikan

kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas


tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotansin-aldosteron,
sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth
factor. Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya
progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia, dan dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual

Universitas Sumatera Utara

untuk

terjadinya

sklerosis

dan

fibrosis

glomerulus

maupun

tubulointerstitial (Suwitra, 2006).


Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan
daya cadang ginjal, pada keadaan mana LFG basal masih normal atau
malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi
penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah
terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan
lemah mual nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai
pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda
uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah,
gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, muntah dan lain
sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran
kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan
terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia,
gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada
LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih
serius, dan pasien sudah memerlukan tetapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy) antara lain dialisis atau tansplantasi ginjal. Pada
keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal
(Suwitra, 2006)

2.2.4

Manifestasi Klinis
Suwitra (2006) membagi Gambaran klinis pasien Penyakit Ginjal
Kronik menjadi :
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus,
infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,

Universitas Sumatera Utara

hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain


sebagainya.
2. Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload),
neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejangkejang sampai koma.
3. Gejala

komplikasinya

antara

lain,

hipertensi,

anemia,

osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan


keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).

2.2.5

Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin.
Penatalaksanaan PGK dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah
tindakan konservatif, untuk meredakan atau memperlambat gangguan
fungsi ginjal progresif, mencegah dan mengobati komplikasi yang
terjadi. Penanganan konservatif PGK meliputi: 1) Pengaturan diet; 2)
Pencegahan dan pengobatan komplikasi berupa pengobatan hipertensi,
hiperkalemi,

hiperuresimia, anemia, asidosis, osteodistrofi renal,

neuropati perifer dan infeksi (Price dan Wilson, 2005).


Jika kondisi ginjal sudah tidak berfungsi diatas 75 % (gagal ginjal
terminal atau tahap akhir), proses cuci darah atau hemodialisis
merupakan hal yang sangat membantu penderita. Proses tersebut
merupakan

tindakan

memperpanjang

usia

yang

dapat

penderita.

dilakukan
Hemodialisis

sebagai

upaya

tidak

dapat

menyembuhkan penyakit gagal ginjal yang diderita pasien tetapi


hemodialisis dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang
gagal ginjal (Sherwood, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1. Tata laksana PGK


Derajat

Rencana tatalaksana

GFR
(ml/mt/1,73 m)

> 90

Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,


evaluasi

perburukan

fungsi

ginjal,

memperkecil
risiko kardiovaskuler
2

60 89

Menghambat perburukan fungsi ginjal

30 89

Evaluasi dan terapi komplikasi

15 29

Persiapan untuk penggantian ginjal

< 15

Terapi pengganti ganja

(Sumber: National Kidney Foundation, 2002)

2.3 Hemodialisis
Hemodialisis adalah proses dimana terjadi difusi partikel terlarut (salut) dan
air secara pasif melalui satu kompartemen cair yaitu darah menuju kompartemen
cair lainya yaitu cairan dialisat melewati membran semi permeabel dalam dialiser
(Price dan Wilson, 2005). Tujuan utama hemodialisis adalah menghilangkan
gejala yaitu mengendalikan uremia, kelebihan cairan, dan ketidakseimbangan
elektrolit yang terjadi pada pasien PGK dengan End Stage Renal Disease
(ESRD). Hemodialisis efektif mengeluarkan cairan, elektrolit dan sisa
metabolisme

tubuh,

sehingga

secara

tidak

langsung

bertujuan

untuk

memperpanjang umur pasien (Kallenbach et al, 2005). Walaupun hemodialisis

Universitas Sumatera Utara

berfungsi mirip dengan cara kerja ginjal, tindakan ini hanya mampu
menggantikan sekitar 10% kapasitas ginjal normal (Sherwood, 2001).
Prosedur mencakup pemompaan darah pasien yang telah diberi heparin
melewati dialyzer dengan kecepatan 300-500 mL/min, sementara cairan dialisat
dialirkan secara berlawanan arah dengan kecepatan 500-800mL/min. Darah dan
dialisat sendiri hanya dipisahkan oleh suatu membran semipermeabel (Singh dan
Brenner, 2005)
Departemen Internal Medicine Lund hospital (2005) mengatakan bahwa
prosedur dialisis pertama kali disusun oleh Dr. Willem Kolff pada tahun 1943 dan
lalu disempurnakan oleh Dr. Nils Alwall pada tahun 1946. Sampai sekarang ,
prosedur ini tetap menjadi terapi utama pada pasien dengan End Stage Renal
Failure (ESRF) dan indikasi dialisis mencakup adanya sindrom uremik,
hiperkalemi yang tak teratasi cara umum, penambahan volume ekstraseluler,
asidosis yang tidak teratasi, diathesis perdarahan, dan clearance kreatinin yang
kurang dari 10 mL/min per 1,73 m2 (Singh dan Brenner, 2005).
Prinsip utama hemodialisis adalah difusi partikel melewati suatu membran
semipermeabel. Cairan dialisat dikondisikan sedemikian sehingga memiliki
gradien konsentrasi yang lebih rendah daripada darah sehingga zat-zat sisa akan
berdifusi ke dialisat. Kecepat
an difusi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain besar gradien
konsentrasi, luas membran, dan koefisien transfer dari membran. Berat molekul
juga berpengaruh dalam menentukan kecepatan difusi. Selain itu, transfer zat-zat
ini juga bisa dibantu dengan tekanan ultrafiltrasi. Sementara air dan larutan lain
yang berlebih akan ikut terbuang karena tekanan osmosis (Singh dan Brenner,
2005).
Ada tiga komponen utama yang terlibat dalam proses hemodialisis, yaitu alat
dialyzer, cairan dialisat, dan sistem penghantaran darah. Dialyzer adalah alat
dalam proses dialisis yang mampu mengalirkan darah dan dialisat dalam
kompartemen-kompartemen di dalamnya, dengan dibatasi membran. Pada pasien

Universitas Sumatera Utara

dewasa, luas permukaan membran ini berkisar antara 0,8-1,2 m2 (Singh dan
Brenner, 2005). Dialisat adalah cairan yang terdiri atas air dan elektrolit utama
dari serum normal yang dipompakan melewati dialiser ke darah pasien (Hudak
dan Gallo, 1999; Thomas dan Smith, 2003 dalam Armiyati, 2009). Komposisi
cairan dialisat diatur sedemikian rupa sehingga mendekati komposisi ion darah
normal dan sedikit dimodifikasi agar dapat memperbaiki gangguan cairan dan
elektrolit pasien ESRD. Renal Association (1999) merekomendasikan unit dialisis
menggunakan dialisat

bikarbonat

untuk mengurangi komplikasi. Mesin

hemodialisis merupakan perpaduan dari komputer dan pompa, yang mempunyai


fungsi untuk mengatur dan memonitor. Pompa dalam mesin hemodialisis
berfungsi untuk mengalirkan darah dari tubuh ke dialiser dan mengembalikan
kembali ke dalam tubuh (Thomas dan Smith, 2003 dalam Armiyati, 2009).
Agar efektifitas hemodialisis tercapai, hemodialisis idealnya dilakukan tiga
kali seminggu dengan lama setiap hemodialisis 4-5 jam atau paling sedikit 10-12
jam seminggu (Australia and New Zealand Dialysis and Transplant Registry,
2005; Black dan Hawk, 2005). Variasi waktu tergantung ukuran pasien, tipe
dialiser, kecepatan aliran darah, pilihan pasien dan faktor lain (Black dan Hawk,
2005). Hemodialisis di Indonesia biasa dilakukan dua kali seminggu dengan lama
5 jam, ada juga dialisis yang dilakukan tiga kali seminggu dengan lama 4 jam
(Raharjo, Susalit dan Suharjono, 2006 dalam Sudoyo, 2006)
Sebelum melakukan hemodialisis, perawat melakukan pengkajian pradialisis.
Langkah selanjutnya adalah menghubungkan pasien ke mesin hemodialisis
dengan memasang blood line dan jarum ke akses vaskular pasien, yaitu akses
untuk jalan keluar darah ke dialiser dan akses untuk masuk darah ke dalam tubuh.
Arteri venosa (AV) fistula adalah akses vaskuler yang paling direkomendasikan
karena cenderung lebih aman dan juga nyaman untuk pasien (Thomas dan Smith,
2003 dalam Armiyati, 2009).
Setelah blood line dan akses vaskuler terpasang, proses hemodialisis dimulai.
Saat hemodialisis, darah dialirkan ke luar tubuh dan disaring di dalam dialiser.

Universitas Sumatera Utara

Darah mulai mengalir dibantu oleh pompa darah. Cairan normal salin diletakkan
sebelum pompa darah untuk mengantisipasi adanya hipotensi intradialisis. Infus
heparin diletakkan baik sebelum atau setelah pompa darah tergantung peralatan
yang digunakan (Hudak dan Gallo, 1999 dalam Armiyati, 2009). Darah mengalir
dari tubuh melalui akses arterial menuju kedialiser sehingga terjadi pertukaran
darah dan zat sisa. Saat hemodialisis, darah sebenarnya tidak mengalir melalui
mesin hemodialisis, melainkan melalui selang darah dan dialiser. Proses
selanjutnya darah akan meninggalkan dialiser.
Darah yang meninggalkan dialiser melewati detektor udara yang akan
menghentikan pompa jika ada udara. Darah yang telah disaring kemudian
dialirkan kembali ke dalam tubuh melalui akses venosa atau selang postdialiser
(Hudak dan Gallo, 1999 dalam Armiyati, 2009).
Darah yang sudah dibersihkan kemudian dikembalikan ke dalam tubuh
melalui vena. Dialisis diakhiri dengan menghentikan darah dari pasien, membuka
selang normal salin dan membilas selang untuk mengembalikan darah pasien.
Pada

akhir

terapi dialisis,

sisa akhir

metabolisme telah dikeluarkan,

keseimbangan elektrolit sudah dipulihkan dan buffer system juga telah


,diperbaharui (Smeltzer et al, 2008 dalam Armiyati,2009).
Berbagai komplikasi intradialisis dapat dialami oleh pasien saat menjalani
hemodialisis. Komplikasi intradialisis merupakan kondisi abnormal yang terjadi
pada saat pasien menjalani hemodialisis. Komplikasi yang umum terjadi saat
pasien menjalani hemodialisis adalah hipotensi, kram, mual dan muntah, sakit
kepala, nyeri dada, nyeri punggung, gatal, demam dan menggigil (Holley et al,
2007; Barkan et al, 2006).

2.4 Pruritus
2.4.1. Definisi dan Fisiologi
Pruritus adalah istilah medis untuk gatal. Gatal sendiri merupakan suatu
hasil stimulasi gradasi ringan pada serat saraf. Bila gradasi meningkat, maka

Universitas Sumatera Utara

sensasi yang akan timbul adalah nyeri (Djuanda S, 2008). Secara sifat, gatal
bisa dibagi menjadi dua, yaitu gatal yang terlokalisasi dan singkat, dan gatal
yang tersebar dan sulit terlokalisasi yang akan menyebabkan daerah
sekitarnya ikut gatal. Tipe yang pertama disebut gatal spontan, sementara
tipe yang kedua disebut gatal kulit.
Ada dua jenis teori tentang pruritus. Teori yang pertama menyatakan
bahwa pruritus berbeda dari nyeri, sementara teori kedua menyatakan bahwa
nyeri adalah rangsang pruritus yang lebih kuat dan berada di bagian kulit
yang lebih dalam. Telah terbukti pula bahwa baik rangsang pruritus maupun
nyeri sama-sama menggunakan jalur serabut saraf c. Zat-zat kimia yang
dapat menimbulkan pruritus mencakup histamin, endopeptida, turunan kina,
maupun opioid. Dari semua zat itu, zat stimulan pruritus yang paling umum
adalah histamin yang disekresikan oleh sel mast (Sherwood, 2001; Patrick
dalam Prasetya, 2009).
Tujuan fisiologis dari pruritus sendiri sebenarnya masih belum diketahui
dengan pasti, namun beberapa spekulasi mencakup menyingkirkan kotoran
yang menempel di kulit atau memberi sinyal adanya reaksi inflamasi.
Terlepas dari tujuannya, pruritus sendiri bisa didefinisikan sebagai suatu rasa
sakit yang terlalu lemah sehingga tidak menimbulkan inhibisi lateral.
Gerakan menggarukakan memperkuat rangsang nyeri ini sehingga rasa
pruritus yang awalnya terasa menyebar akan terlokalisasi menjadi tajam
karena inhibisi lateral. Sensasi yang baru ini akan diterjemahkan sebagai
nyeri yang menyebabkan eliminasi sensasi pruritus (Sherwood, 2001).
Di medula spinalis sendiri tidak ditemukan adanya suatu jaras khusus
untuk pruritus. Rangsang pruritus yang sampai ke otak umumnya lebih
ditentukan oleh kombinasi urutan dan frekuensi rangsang saraf tertentu yang
tidak khusus untuk pruritus. Rangsang ini lalu akan diteruskan ke daerah
korteks persepsi dan premotor. Korteks akan langsung mengaktifkan refleks
ingin menggaruk daerah yang gatal. Refleks menggaruk ini sebenarnya bisa

Universitas Sumatera Utara

juga hanya berupa refleks spinalis saja. Selain itu, rasa ingin menggaruk juga
bisa disebabkan adanya rangsang korteks tanpa rangsang pruritus
sesungguhnya. Keadaan ini menyebabkan puritus psikologis (Widiana,
Lydia, Prodjosudjadi, 2003 dalam Prasetya, 2009 ). Beberapa keadaan
patologis yang bisa menyebabkan pruritus mencakup Penyakit Ginjal Kronik,
cholestasis, defisiensi besi, penyakit endokrin, keganasan, polisitemia,
dermatitis, dan penuaan (Sherwood, 2001; Patrick, 1999 dalam Prasetya,
2009).

2.5 Pruritus yang terjadi akibat Hemodialisis


Pruritus merupakan masalah yang paling sering dialami pasien peritoneal
dialisis maupun hemodialisis (HD) dan prevalensinya dilaporkan antara 50-90 %
mulai dari yang lokal, umum, ringan dan berat (Narita et al, 2008). Pruritus dapat
menyebar dan bersifat menetap (Razeghi et al, 2008).
Akhyani et al (2005) melaporkan prevalensi pruritus mencapai 41,9% pada
suatu penelitian di Iran. Sementara Giovambattitsta (2003) melaporkan prevalensi
pruritus sebesar 50% pada pasien penyakit ginjal kronik di sebuah rumah sakit di
Italia. Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Widiana et al di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo Jakarta menunjukkan bahwa 71,4% pasien penyakit ginjal
kronik yang menjalani hemodialisis rutin ternyata mengalami pruritus (Prasetya,
2009).
Penilaian pruritus pada pasien penyakit ginjal kronik umumnya dilakukan
dengan Visual Analog Scale (VAS), dengan skala 0 tidak ada pruritus, dan 10
adalah pruritus yang sangat berat (Elman et al, 2010). Beberapa faktor telah di
duga untuk etiologi dan patogenesisnya, termasuk hipertiroid, hipofosfatemia, dan
peningkatan akumulasi dari kalsium dan fosfat di kulit, peningkatan serum level
dari histamin dan skin mast cells dan peningkatan opioid reseptor. Tetapi tidak ada
studi manapun yang telah menemukan kebenaran faktor mana yang paling
menyebabkan pruritus pada pasien HD (Razeghi et al, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Faktor resiko untuk pruritus sendiri masih belum jelas. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa pruritus tidak dipengaruhi oleh faktor usia, jenis kelamin,
penyakit ginjal yang mendasari, dan lama HD (Giovambattista, 2003; Kato et al,
2000; Mesic E et al, 2004 ) Walaupun begitu, Kentaro et al (2001) menyatakan
sebaliknya. Dugue et al (2006) dalam Prasetya (2009) menyebutkan juga bahwa
pruritus dipengaruhi oleh lama HD, di mana lama HD yang semakin lama akan
meningkatkan resiko timbulnya pruritus. Beberapa faktor telah diduga untuk
etiologi dan patogenesisnya, termasuk hipertiroid, hipofosfatemia, dan peningkatan
akumulasi dari kalsium dan fosfat di kulit, peningkatan serum level dari histamin
dan skin mast cells dan peningkatan reseptor opioid. Tetapi tidak ada studi
manapun yang telah menemukan kebenaran faktor mana yang paling
menyebabkan pruritus pada pasien HD (Razeghi et al, 2008).
Xerosis kutis biasanya disebabkan karena retensi vitamin A karena
berkurangnya fungsi ginjal untuk mengekskresikan zat ini. Maka vitamin A akan
menumpuk di jaringan subkutan kulit. Vitamin yang terlalu berlebih ini akan
menyebabkan atrofi kalenjar sebasea dan kalenjar keringat sehingga kulit menjadi
kering dan gatal (Sherwood, 2001; Akhyani et al, 2005) Beberapa sumber juga
menyebutkan adanya peningkatan histamin pada penyakit ginjal kronik, walau
mekanismenya belum diketahui pasti. Anemia defisiensi besi juga disebut-sebut
sebagai salah satu pencetus pruritus, namun menurut salah satu penelitian
dikatakan tidak ada hubungan antara pruritus dengan kadar hemoglobin pasien
(Akhyani et al, 2005).
Hiperfosfatemia, hiperkalsemia, dan hipermagnesia adalah mekanisme yang
banyak diterima sebagai penyebab pruritus. Kalsium dan magnesium darah dalam
kadar tinggi akan berikatan dengan fosfat sehingga membentuk kristal. Kristal ini
akan terdeposit di kulit dan menimbulkan rangsangan terhadap serabut saraf c
yang akan menyebabkan sensasi gatal. (Skorecki, 2005; Giovambattista, 2003).
Salah satu literatur menyebutkan bahwa pembentukan kristal kalsium fosfat

Universitas Sumatera Utara

terutama akan terjadi bila perkalian kadar kalsium dan fosfat serum (masingmasing dalam mg/dl) lebih dari 70.
Seperti etiologinya, terapi untuk mengatasi pruritus pada pasien penyakit
ginjal kronik juga masih belum memiliki standar baku. Cara yang cukup efektif
adalah dengan memberikan agen pengikat fosfat oral. Contoh yang sering
digunakan adalah kalsium karbonat atau kalsium asetat (Akhyani et al, 2005 ;
Skorecki, 2005). Cara lain adalah dengan memberikan obat-obat imunosupresi
untuk menekan reaksi gatal (Skorecki, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai