BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Faktor perilaku keluarga yang bisa menyebabkan kejadian ISPA pada balita
diantaranya adalah asap di dalam rumah, ada anggota keluarga yang menderita
ISPA di rumah yang mempunyai kebiasaan kurang baik (tidak menutup mulut pada
saat batuk atau bersin dekat balita), kebersihan rumah yang kurang, menggunakan
obat nyamuk bakar, membawa anak pada saat memasak. Tidak adanya kemampun
menyediakan lingkungan perumahan yang sehat pada golongan masyarakat yang
berpenghasilan rendah akan meningkatkan kerentanan balita terhadap serangan
berbagai penyakit menular, termasuk ISPA (Andriani, 2014).
World Health Organization (WHO) memperkirakan insidensi ISPA di
negara berkembang 0,29% (151 juta jiwa) dan negara industri 0,05% (5 juta jiwa)
(WHO, 2013). Jumlah kasus keseluruhan ISPA di Indonesia menurut hasil
RISKESDAS tahun 2013 menunjukkan bahwa jumlah ISPA yang tertinggi terjadi
pada kelompok umur 1-4 tahun (25,8%) (Kemenkes RI, 2013). Data yang diperoleh
dari dinas kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah tentang kejadian ISPA yaitu pada
tahun 2015 berjumlah 115.185 kasus dan pada tahun 2016 meningkat menjadi
120.177 kasus. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas
Donggala jumlah kasus ISPA pada tahun 2017 adalah 1.025 kasus, tahun 2016
sebanyak 1.650 kasus, tahun 2015 sebanyak 1.170 kasus, tahun 2014 sebanyak
1.466 kasus, tahun 2013 sebanyak 2.632 kasus (Puskesmas Donggala, 2018).
Dengan demikian cukup banyak kejadian ISPA di Puskesmas Donggala, baik pada
bayi, pada anak balita maupun semua umur. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang “Hubungan Perilaku Merokok Orang Tua Dan
Anggota Keluarga Yang Tinggal Serumah Dengan Kejadian ISPA Pada
Balita Di Puskesmas Donggala Kecamatan Banawa”.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas maka rumusan masalah yaitu apakah ada hubungan
perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga yang tinggal serumah dengan
kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Donggala Kecamatan Banawa?
C. Tujuan Penelitian
3
1. Tujuan Umum
Tujuan umum pada penelitian ini adalah untuk megetahui hubungan
perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga yang tinggal serumah dengan
kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Donggala Kecamatan Banawa.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga yang
tinggal serumah di Puskesmas Donggala Kecamatan Banawa.
b. Untuk mengetahui kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Donggala
Kecamatan Banawa.
c. Untuk mengetahui hubungan perilaku merokok orang tua dan anggota
keluarga yang tinggal serumah dengan kejadian ISPA pada
balita di Puskesmas Donggala Kecamatan Banawa.
D. Manfaat Penelitian
4. Bagi Peneliti
4
A. Telaah Pustaka
1. Tinjauan Tentang ISPA
a. Pengertian ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) sering disebut juga dengan
Infeksi Respiratori Akut (IRA). Infeksi respiratori akut terdiri dari Infeksi
Respiratori Atas Akut (IRAA) dan Infeksi Respiratori Bawah Akut (IRBA).
Disebut akut, jika infeksi berlangsung hingga 14 hari (Tanto, 2016). Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah radang akut saluran pernapasan
atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri,
virus, maupun reketsia tanpa atau disertai dengan radang parenkim paru
(Wijayaningsih, 2013).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran
pernapasan yang bersifat akut dengan berbagai macam gejala (sindrom).
Penyakit ini disebabkan oleh berbagai sebab (multi faktorial). Meskipun
organ saluran pernapasan yang terlibat adalah hidung, laring, tenggorok,
bronkus, trakea, dan paru-paru tetapi yang menjadi fokus adalah paru-paru.
Titik perhatian ini disepakati karena tingginya tingkat mortalitas radang
paru-paru (Widoyono, 2011).
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan suatu infeksi
yang bersifat akut yang menyerang salah satu atau lebih saluran pernafasan
mulai dari hidung sampai alveolus termasuk adneksanya (sinus, rongga
telinga tengah, pleura) (Kemenkes RI, 2012).
Infeksi Saluran Pernafasan Akut mempunyai pengertian sebagai
berikut (Depkes, 2005 dalam Rahmayatul, 2013):
1) Infeksi adalah proses masuknya kuman atau mikroorganisme lainnya ke
dalam tubuh manusia dan akan berkembang biak sehingga akan
menimbulkan gejala suatu penyakit.
2) Saluran pernafasan adalah suatu saluran yang berfungsi dalam proses
respirasi mulai dari hidung hingga alveolus beserta adneksanya seperti
sinus-sinus, rongga telinga tengah, dan pleura.
6
1) Ventilasi Rumah
Ventilasi adalah suatu lubang udara di dalam rumah yang
berfungsi untuk perputaran udara keluar masuk ruangan, sehingga
terjadi perputaran udara secara bebas. Ventilasi disamping berfungsi
7
3) Pencahayaan
Untuk memperoleh cahaya yang cukup pada siang hari, diperlukan
luas jendela minimum 20% luas lantai. Cahaya ini sangat penting karena
dapat membunuh bakteri patogen di dalam rumah misalnya, basil TB.
Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya
yang cukup. Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali
8
lilin atau kurang lebih 60 lux. Semua jenis cahaya dapat mematikan
kuman hanya berbeda dari segi lamanya proses mematikan kuman untuk
setiap jenisnya. Cahaya yang sama apabila dipancarkan melalui kaca
tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktu yang lebih cepat
dibandingkan dengan kaca berwarna (Yusup, 2005).
4) Kebiasaan merokok
Merokok diketahui mempunyai hubungan dalam meningkatkan
resiko untuk terkena penyakit kanker paru-paru, jantung koroner dan
bronkitis kronis. Dalam satu batang rokok yang dihisap akan
dikeluarkan sekitar 4.000 bahan kimia berbahaya, di antaranya yang
paling berbahaya adalah Nikotin, Tar, dan Carbon Monoksida (CO).
Asap rokok merupakan zat iritan yang dapat menyebabkan infeksi pada
saluran pernapasan. Asap rokok mengandung ribuan bahan kimia
beracun dan bahan-bahan yang dapat menimbulkan kanker
(karsinogen). Bahkan bahan berbahaya dan racun dalam rokok tidak
hanya mengakibatkan gangguan kesehatan pada orang yang merokok,
namun juga kepada orang-orang di sekitarnya yang tidak merokok yang
sebagian besar adalah bayi, anak-anak dan ibu-ibu yang terpaksa
menjadi perokok pasif oleh karena ayah atau suami mereka merokok di
rumah. Kebiasaan merokok di dalam rumah dapat meningkatkan resiko
terjadinya ISPA sebanyak 2,2 kali (Yusup, 2005).
5) Berat badan lahir rendah (BBLR)
Berat badan lahir memiliki peran penting terhadap kematian akibat
ISPA. Di negara berkembang, kematian akibat pneumonia berhubungan
dengan BBLR. Sebanyak 22% kematian pada pneumonia di perkirakan
terjadi pada BBLR. Meta-analisis menunjukkan bahwa BBLR
mempunyai RR kematian 6,4 pada bayi yang berusia di bawah 6 bulan,
dan 2,9 pada bayi berusia 6-11 bulan (Wijaya, 2014).
6) Imunisasi
Campak, pertusis dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan
resiko terkena ISPA dan memperberat ISPA itu sendiri, tetapi
9
sebetulnya hal ini dapat di cegah. Di india, anak yang baru sembuh dari
campak, selama 6 bulan berikutnya dapat mengalami ISPA enam kali
lebih sering dari pada anak yang tidak terkena campak. Campak,
pertusis, dan difteri bersama-sama dapat menyebabkan 15-25% dari
seluruh kematian yang berkaitan dengan ISPA. Vaksin campak cukup
efektif dan dapat mencegah kematian hingga 25% usaha global dalam
meningkatkan cakupan imunisasi campak dan pertusis telah mengurangi
angka kematian ISPA akibat kedua penyakit ini. Vaksin Pneomokokus
dan H. Influenzae type B saat ini sudah di berikan pada anak-anak
dengan efektivitas yang cukup baik (Wijaya, 2014).
7) Status gizi
Status gizi anak merupakan faktor resiko penting timbulnya
pneumonia. Gizi buruk merupakan faktor predisposisi terjadinya ISPA
pada anak. Hal ini di karenakan adanya gangguan respon imun. Vitamin
A sangat berhubungan dengan beratnya infeksi. Grant melaporkan
bahwa anak dengan defisiensi vitamin A yang ringan mengalami ISPA
dua kali lebih banyak daripada anak yang tidak mengalami defisiensi
vitamin A. Oleh karena itu, selain perbaikan gizi dan perbaikan ASI,
harus dilakukan pula perbaikan terhadap defisiensi vitamin A untuk
mencegah ISPA (Wijaya, 2014).
d. Penyebab
Etiologi ISPA lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan jamur. Bakteri p
enyebabnya antara lain dari genus Streptococcus, Staphylococcus, Pneumo
coccus, Haemophillus, Bordetella, dan Corynebacterium. Virus penyebabn
ya antara lain golongan Mikovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus
, Mikoplasma, Herpes virus (Wijayaningsih, 2013).
Etiologi ISPA terdiri dari agen infeksius dan agen non-infeksius. Age
10
d) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37oC atau jika dahi anak
diraba dengan punggung tangan terasa panas
e) Jika anak menderita ISPA ringan maka perawatan cukup dilakukan
di rumah tidak perlu dibawa ke dokter atau Puskesmas. Di rumah
dapat diberi obat penurun panas yang dijual bebas di toko-toko atau
Apotek tetapi jika dalam dua hari gejala belum hilang, anak harus
segera di bawa ke dokter atau Puskesmas terdekat (Djojodibroto,
2009).
2) Gejala ISPA sedang
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai
gejala ISPA ringan dengan disertai gejala sebagai berikut :
a) Pernapasan lebih dari 50 kali/menit pada anak umur kurang dari satu
tahun atau lebih dari 40 kali/menit pada anak satu tahun atau lebih
b) Suhu lebih dari 390C
c) Tenggorokan berwarna merah
d) Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak
e) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
f) Pernafasan berbunyi seperti mendengkur
g) Pernafasan berbunyi seperti mencuit-cuit
f) Dari gejala ISPA sedang ini, orang tua perlu hati-hati karena jika
anak menderita ISPA ringan, sedangkan anak badan panas lebih dari
390C, gizinya kurang, umurnya empat bulan atau kurang maka anak
tersebut menderita ISPA sedang dan harus mendapat pertolongan
petugas kesehatan (Djojodibroto, 2009).
3) Gejala ISPA berat
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika ada gejala
ISPA ringan atau sedang disertai satu atau lebih gejala sebagai berikut:
a) Bibir atau kulit membiru
b) Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu
bernapas
c) Anak tidak sadar atau kesadarannya menurun
12
g. Pengobatan
Apabila anak sudah positif terserang ISPA, sebaiknya orang tua tidak
memberikan makanan yang dapat merangsang rasa sakit pada tenggorokan,
misalnya minuman dingin, makanan yang mengandung vetsin atau rasa
gurih, bahan pewarna, pengawet dan makanan yang terlalu manis. Anak
yang terserang ISPA, harus segera dibawa ke dokter. Pengobatan pada ISPA
dapat dibagi menjadi: (Djojodibroto, 2009).
1) Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik melalui
jalur infus, diberi oksigen dan sebagainya.
13
a. Konsep Perilaku
Perilaku dipandang dari segi biologis adalah suatu kegiatan atau
aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada
hakekatnya adalah suatu aktivitas dari pada manusia itu sendiri. Oleh karena
itu perilaku manusia mempunyai rentang yang sangat luas, mencakup
berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian dan lain sebagainya. Bahkan
kegiatan internal sendiri seperti berpikir, persepsi dan emosi juga
merupakan perilaku manusia (Notoatmodjo, 2010).
b. Perilaku Merokok
1) Definisi Rokok
Rokok adalah hasil olahan tembakau yang terbungkus, dihasilkan
dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya
atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa
bahan tambahan. Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian
dihisap isinya, baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa
(Tawbariah et al., 2014).
4. Kerangka Teori
Faktor Lingkungan :
1. Tingkat pendidikan
2. orang tua orang tua
Pendapatan
5. Kerangka Konsep
Asap rokok dari orang tua atau penghuni rumah yang satu atap dengan
balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang tempat tinggal yang serius
serta akan menambah resiko kesakitan dari bahan toksik pada anak-anak.
Paparan yang terus-menerus akan menimbulkan gangguan pernapasan terutama
memperberat timbulnya infeksi saluran pernafasan akut dan gangguan paru-
paru pada saat dewasa. Untuk lebih jelasnya, kerangka konsep tersebut dibuat
dalam skema sebagaimana gambar di bawah ini:
Keterangan : Diteliti
Mencari Hubungan
B. Landasan Teori
Asap rokok yang dikeluarkan oleh seorang perokok mengandung bahan
toksik yang berbahaya dan akan menimbulkan penyakit serta menambah resiko
kesakitan dari bahan toksik tersebut. Pada uji statistik penelitian Lindawaty (2010)
menyatakan bahwa balita yang tinggal bersama penghuni yang merokok beresiko
2,04 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibanding dengan balita yang tidak
terdapat penghuni rumah yang merokok (Rahmayatul, 2013).
Kandungan rokok yang diduga bertanggung jawab menimbulkan ISPA
yaitu Nikotin dan Tar. Nikotin bersifat toksik terhadap jaringan saraf dan
mengakibatkan pemakaian oksigen pada tubuh bertambah. Di dalam Tar pada
rokok dijumpai zat-zat karsinogenik seperti polisiklik hidrokarbon aromatis yang
dapat menyebabkan terjadinya kanker paru-paru. Tar juga dapat merangsang jalan
nafas dan akan tertimbun di saluran nafas yang akan mengakibatkan batuk-batuk,
sesak nafas, kanker jalan nafas, lidah atau bibir (Cahyaningtias, 2015).
ISPA dapat disebabkan oleh tiga faktor, yaitu faktor individu anak, faktor
perilaku dan faktor lingkungan. Faktor individu anak meliputi: umur anak, berat
badan lahir, status gizi, vitamin A dan status imunisasi. Faktor perilaku meliputi
perilaku pencegahan dan penanggulangan ISPA pada bayi atau peran aktif
keluarga/masyarakat dalam menangani penyakit ISPA. Faktor lingkungan meliputi:
pencemaran udara dalam rumah (asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan
bakar untuk memasak dengan konsentrasi yang tinggi), ventilasi rumah dan
kepadatan hunian (Milo et al., 2015).
Kebiasaan merokok orang tua di dalam rumah menjadikan balita sebagai
perokok pasif yang selalu terpapar asap rokok. Rumah yang orang tuanya
mempunyai kebiasaan merokok berpeluang meningkatkan kejadian ISPA sebesar
7,83 kali dibandingkan dengan rumah balita yang orang tuanya tidak merokok di
25
dalam rumah. Sementara itu jumlah perokok dalam suatu keluarga cukup tinggi
(Milo et al., 2015).
C. Hipotesis
Nursalam (2014) mengatakan bahwa hipotesis adalah jawaban sementara dari
rumusan masalah atau pertanyaan penelitian. Hipotesis pada penelitian ini yaitu:
H1 : Ada hubungan perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga yang
tinggal serumah dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Donggala Kecamatan Banawa.
H0 : Tidak ada hubungan perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga
yang tinggal serumah dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Donggala Kecamatan Banawa.
B A B III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Desain penelitian adalah semua proses yang diperlukan dalam perencanaan
dan pelaksanaan penelitian. Desain dalam perencanaan penelitian bertujuan untuk
melaksanakan penelitian, sehingga dapat diperoleh suatu logika, baik dalam
pengujian hipotesis maupun dalam membuat kesimpulan (Arikunto, 2010 dalam
Hidayat, 2011). Desain penelitian yang dipakai adalah penelitian analitik, dengan
pendekatan cross sectional yaitu penelitian yang dilakukan pada saat yang
bersamaan antara variabel independen dan variabel dependen. Pada penelitian ini,
peneliti akan melakukan penelitian tentang hubungan perilaku merokok orang tua
dan anggota keluarga yang tinggal serumah dengan kejadian ISPA pada
balita di Puskesmas Donggala Kecamatan Banawa.
26
Keterangan :
N = besar populasi
n = besar sampel
d = tingkat kesalahan absolute yang dikehendaki 10%
27
Dimana : N = 529
d = 10% (0,1)
529
n =
1 + 529 (0,1)2
529
n =
1 + 529 (0,01)
529
n =
1 + 5,29
529
n = 6,29 n = 84,10 sampel
E. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati
dari sesuatu yang didefinisikan tersebut. Karakteristik yang dapat diamati (diukur)
itulah yang merupakan kunci definisi operasional. Dapat diamati artinya
memungkinkan bagi peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara
cermat terhadap suatu objek atau fenomena yang kemudian dapat diulang oleh
orang lain (Nursalam, 2014).
1. Variabel Independen
Perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga yang tinggal serumah
Definisi : Kebiasaan merokok yang dilakukan oleh orang tua dan
anggota keluarga yang tinggal serumah yang menyebabkan
anaknya menjadi perokok pasif.
Alat ukur : Kuesioner
Cara ukur : Membagi kuesioner
Skala ukur : Ordinal
2. Variabel Dependen
Penyakit ISPA pada Balita
Definisi : Penyakit ISPA merupakan kejadian ISPA bada balita
berdasarkan hasil wawancara dengan responden tentang tanda
dan gejala penyakit ISPA yang pernah dialami dalam waktu
≤ 2 minggu terakhir.
Alat Ukur : Ceklist
Cara ukur : Pengisian Ceklist
Skala ukur : Ordinal
Hasil ukur : Pernah Menderita ISPA (jawaban responden lebih dari atau
sama dengan 3 tanda dan gejala seperti batuk, pilek/flu,
demam, sesak nafas).
29
F. Instrumen Penelitian
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang
diadopsi dari jurnal penelitian terdahulu yang disusun oleh Cahyaningtias (2015).
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang berisi berisi
10 pertanyaan tentang perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga yang
tinggal serumah dan 5 pertanyaan tentang kejadian ISPA.
H. Pengolahan Data
30
I. Analisa Data
1. Analisis Univariat
Analisa data yang dilakukan dengan cara analisis univariat, yang
dilakukan terhadap tiap variabel penelitian. Dalam analisis ini hanya
menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap variabel. Analisa data
dilakukan dengan formulasi distribusi frekuensi dengan rumus sebagai berikut
(Notoatmodjo, 2010):
P = x 100%
Keterangan : P = Presentase
f = Frekuensi
n = Sampel
2. Analisis Bivariat
Dilakukan untuk melihat kemaknaan hubungan antara variabel bebas
dengan variabel terikat. Uji yang digunakan adalah uji Chi-Square (X2)
mengunakan fasilitas pengolahan data program SPSS dengan derajat
31
J. Etika Penelitian
3. Confidentiality (kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh
peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil
penelitian (Nursalam, 2014).
32
BAB IV
HASIL PENELITIAN
kelurahan yaitu Kelurahan Logi Oge dengan jumlah penduduk 1.790 jiwa,
Kelurahan Loli Saluran 984 jiwa, Kelurahan Loli Pesua 1.448 jiwa, Kelurahan
Loli Tasiburi 1.899 jiwa, Kelurahan Loli Dondo 1.338 jiwa, Kelurahan
Kabonga Besar 2.755 jiwa, Kelurahan Kabonga Kecil 2.852 jiwa, Kelurahan
Gunung Balle 2.416 jiwa, Kelurahan Tanjung batu 2.680 jiwa, Kelurahan
Labuan Bajo 2.616 jiwa, Kelurahan Boneoge 3.230 jiwa, Kelurahan Boya 2.975
jiwa, Kelurahan Maleni 2.632 jiwa dan Kelurahan Ganti 3.837 jiwa.
Program kegiatan puskesmas mengacu pada program kesehatan nasional
dengan visi Indonesia Sehat, dengan mempertimbangkan paradigma
masyarakat, dimana masyarakat semakin sadar akan tuntutan pelayanan
kesehatan yang lebih optimal, dengan dilandasi oleh kesadaran dan keyakinan
bahwa kesehatan merupakan hak azasi manusia, sehingga pemerintah dalam hal
ini lembaga pelayanan kesehatan dituntut peka terhadap berbagai permasalahan
kesehatan yang berkembang di masyarakat serta memberikan pelayanan lebih
optimal kepada masyarakat.
Dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan, maka tugas puskesmas
dibagi ke dalam beberapa program dengan masing-masing program memiliki
cakupan kegiatan masing-masing. Beberapa program tersebut:
1. Program Kesehatan Lingkungan
2. Program KIA dan Keluarga Berencana
3. Program Promosi Kesehatan
4. Program Gizi
5. Program Pencegahan Penyakit Menular (P2M)
6. Program Keperawatan Kesehatan Masyarakat
7. Program Kesehatan Jiwa
8. Program Pelayanan Kesehatan Gigi
9. Program Penyakit Tidak Menular
10. Program Kesehatan Olahraga
11. Program Kesehatan Lansia
12. Program Keselamatan Kerja
34
B. Hasil Penelitian
Hasil penelitian tentang hubungan perilaku merokok dengan terjadinya
penyakit ISPA pada balita dari 85 responden yang dilakukan di Puskesmas
Donggala pada bulan Agustus tahun 2018 dianalisis secara univariat dan
analisis bivariat yaitu sebagai berikut :
1. Analisis Univariat
Pada penelitian ini, hasil analisis univariat akan menggambarkan
variabel independen perilaku merokok serta variabel dependen yaitu
kejadian ISPA pada balita.
a. Perilaku Merokok
Gambaran distribusi responden menurut perilaku merokok dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Perilaku Merokok di
Puskesmas Donggala
No. Perilaku Merokok Frekuensi Persen (%)
(f)
1. Menjadi Perokok pasif 76 89,4
2. Bukan perokok pasif 9 10,6
Jumlah 85 100
Sumber: Data Primer Tahun 2018
Pada tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari 85 responden, balita yang
menjadi perokok pasif lebih besar jumlahnya yaitu 76 responden
(89,4%), sedangkan balita yang bukan perokok pasif yaitu 9 responden
(10,6%).
2. Analisis Bivariat
Dalam penelitian ini, hasil analisis bivariat dilakukan untuk memberi
gambaran hubungan antara variabel indepenen dan variabel dependen. Pada
penelitian ini digunakan uji statiatik Chi-square dengan tingkat kemaknaan
95%. Pada analisis bivariat ini dilakukan pengujian untuk melihat hubungan
perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga yang tinggal serumah
dengan kejadian ISPA pada balita yang dapat diuraikan sebagai berikut:
Pada tabel 4.3 di atas dapat dilihat bahwa balita yang menderita
penyakit ISPA banyak terjadi pada anak yang menjadi perokok pasif yaitu
100%, sedangkan balita yang menderita penyakit ISPA pada balita yang
bukan perokok pasif yaitu 77,8%.
Hasil uji statistic Chi Square didapatkan nilai p=0,000 (p Value
<0,05), ini berarti secara statistik ada hubungan perilaku merokok dengan
terjadinya penyakit ISPA pada balita (H0 ditolak). Dengan nilai Odd Ratio
(OR) 1,286 berarti ISPA pada anak berpeluang 1,286 kali terjadi pada anak
yang menjadi perokok pasif dibandingkan dengan anak yang bukan perokok
pasif.
BAB V
PEMBAHASAN
A. Analisis Univariat
1. Perilaku Merokok
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 85 responden, balita yang
menjadi perokok pasif lebih besar jumlahnya dari pada balita yang bukan
37
perokok pasif. Artinya sebagian besar balita menjadi perokok pasif. Hal ini
terjadi karena balita besar di lingkungan orang yang merokok dan hal ini
sangat berbahaya bagi kesehatan anak.
Menurut asumsi peneliti anak yang tinggal serumah dengan orang
yang merokok sangat berbahaya karena asap rokok dari orang tua atau
penghuni rumah yang satu atap dengan balita merupakan bahan pencemaran
dalam ruang tempat tinggal yang serius serta akan menambah resiko
kesakitan dari bahan toksik pada anak-anak. Paparan yang terus-menerus
akan menimbulkan gangguan pernapasan terutama memperberat timbulnya
infeksi saluran pernafasan akut dan gangguan paru-paru pada saat dewasa.
Semakin banyak rokok yang dihisap oleh keluarga semakin besar
memberikan resiko terhadap kejadian ISPA.
Sejalan dengan analisis WHO (Tawbariah et al., 2008) yang
menunjukkan bahwa efek buruk asap rokok lebih besar bagi perokok pasif
dibandingkan perokok aktif. Ketika perokok membakar sebatang rokok dan
menghisapnya, asap yang diisap oleh perokok disebut asap utama
(mainstream), dan asap yang keluar dari ujung rokok (bagian yang terbakar)
dinamakan sidestream smoke atau asap samping. Asap samping ini terbukti
mengandung lebih banyak hasil pembakaran tembakau dibanding asap
utama. Asap ini mengandung karbon monoksida 5 kali lebih besar, tar dan
nikotin 3 kali lipat, ammonia 46 kali lipat, nikel 3 kali lipat, nitrosamine
sebagai penyebab kanker kadarnya mencapai 50 kali lebih besar pada asap
sampingan disbanding dengan kadar asap utama.
B. Analisis Bivariat
Hubungan Perokok Pasif Dengan Terjadinya Penyakit ISPA Pada Bayi
Berdasarkan hasil uji statistic Chi Square didapatkan nilai p=0,000 (p
Value <0,05), ini berarti secara statistik ada hubungan perilaku merokok dengan
kejadian ISPA pada balita. ISPA pada balita lebih banyak terjadi pada balita
yang menjadi perokok pasif dibandingkan dengan balita yang bukan perokok
pasif.
Menurut asumsi peneliti hal ini terjadi karena kebiasaan merokok orang
tua di dalam rumah menjadikan balita sebagai perokok pasif yang selalu
terpapar asap rokok. Rumah yang orang tuanya mempunyai kebiasaan merokok
berpeluang meningkatkan kejadian ISPA. Faktor perilaku keluarga yang bisa
menyebabkan kejadian ISPA pada balita.
Sejalan dengan pendapat Yusup (2005) yang mengatakan bahwa asap
rokok dapat mengganggu saluran pernafasan bahkan meningkatkan penyakit
infeksi pernafasan termasuk ISPA, terutama pada kelompok umur balita yang
memiliki daya tahan tubuh masih lemah, sehingga bila ada paparan asap, maka
balita lebih cepat terganggu sistem pernafasannya seperti ISPA. Kebiasaan
merokok di dalam rumah dapat meningkatkan resiko terjadinya ISPA 2,2 kali.
Didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cahyaningtias
(2015), menunjukkan bahwa ada hubungan antara perilaku merokok orang tua
39
terhadap kejadian ISPA pada anak. Hal ini menunjukan dengan semakin berat
perilaku merokok orangtua maka semakin besar potensi anak balitanya
menderita ISPA. Adapun menurut Kemenkes RI (2012) balita yang menempati
rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko untuk
terjadinya ISPA sebesar 2,7 kali dibandingkan dengan balita yang menempati
rumah dengan ventilasi yang memenuhi syarat. Hal ini sejalan dengan pendapat
Milo et al. (2015) bahwa kebiasaan merokok orang tua di dalam rumah
menjadikan balita sebagai perokok pasif yang selalu terpapar asap rokok.
Rumah yang orang tuanya mempunyai kebiasaan merokok berpeluang
meningkatkan kejadian ISPA sebesar 7,83 kali dibandingkan dengan rumah
balita yang orang tuanya tidak merokok di dalam rumah.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
40
1. Terdapat bahwa dari 85 responden, balita yang menjadi perokok pasif lebih
besar jumlahnya yaitu 76 responden (89,4%), sedangkan balita yang bukan
perokok pasif yaitu 9 responden (10,6%).
2. Terdapat bahwa dari 85 responden, balita yang pernah menderita ISPA lebih
besar jumlahnya yaitu 83 responden (97,6%), sedangkan balita yang tidak
pernah menderita ISPA yaitu 2 responden (2,4%).
3. Berdasarkan hasil uji statistic Chi Square didapatkan nilai p=0,000 (p Value
<0,05), ini berarti secara statistik ada hubungan perilaku merokok dengan
terjadinya penyakit ISPA pada balita (H0 ditolak). Dengan nilai Odd Ratio
(OR) 1,286. Berarti ISPA pada anak berpeluang 1,286 kali terjadi pada anak
yang menjadi perokok pasif dibandingkan dengan anak yang bukan perokok
pasif.
B. Saran
1. Bagi Puskesmas Donggala Kecamatan Banawa
Perlu ditingkatkan mengenai program penanggulangan penyakit ISPA yang
dapat bekerja sama dengan beberapa lintas program agar dapat melakukan
promosi kesehatan mengenai bahaya rokok terhadap balita agar dapat
mencegah kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Donggala.
2. Bagi Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako
Penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan untuk penelitian selanjutnya yang
berhubungan dengan penyakit ISPA.
3. Bagi Masyarakat
Masyarakat diharapkan dapat berperan serta untuk mewujudkan lingkungan
sehat bagi anak-anak terutama lingkungan yang terbebas akan asap rokok,
sehingga kejadian ISPA dapat berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
Andriani, Defita, 2014. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu Terhadap Kejadian
ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tigo Baleh Bukit Tinggi Tahun
2014. Jurnal Publikasi. Bukit Tinggi.
41
Anggraini, F.D. 2013. Hubungan Larangan Merokok di Tempat Kerja dan Tahapan
Smoking Cessation Terhadap Intensitas Merokok pada Kepala Keluarga di
Kelurahan Labuhan Ratu Raya Kota Bandar Lampung Tahun 2013. (Skripsi).
Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Hidayat, A. A., 2011. Metode Penelitian Kesehatan dan Tehnik Analisis Data.
Salemba Medika, Jakarta.
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011. Pedoman Pelayanan Medis Edisi II. Ikatan
Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
KBBI, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Setiati, S. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Interna Publishing,
Jakarta.
Tawbariah, L., Apriliana, E., Wintoko, R., Sukohar, A., 2014. The Corelation of
Consuming Cigarette with Blood Pressure of The Society in Pasaran Island
Kota Karang Village East Teluk Betung Sub-District Bandar Lampung.
Medical Journal Of Lampung University. Vol 3.
Yusup, N.A., Sulistyorini, L., 2005. Hubungan Sanitasi Rumah Secara Fisik
dengan Kejadian ISPA pada Anak Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan.
Jakarta.