Anda di halaman 1dari 42

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering


terjadi pada anak. ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan
pasien di sarana kesehatan. Sebanyak 40%-50% kunjungan berobat di puskesmas
dan 15%-30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan inap di rumah sakit
disebabkan oleh ISPA. Salah satu penyakit ISPA yang menjadi target program
pengendalian ISPA adalah pneumonia (Setyati, 2014). Upaya pengendalian ISPA
yaitu meningkatkan kualitas pelayanan melalui peningkatan kemampuan sumber
daya, penemuan kasus dilakukan secara aktif, peningkatan peran serta masyarakat
deteksi dini pneumonia balita, adanya pencatatan dan pelaporan, dan monitoring
dan evaluasi dilakukan secara berkala (Kemenkes RI, 2012).
Rokok, sebagai salah satu resiko timbulnya pneumonia merupakan masalah
yang sangat sulit untuk di minimalisir. Sementara itu berdasarkan data Depkes RI,
jumlah perokok dalam suatu keluarga cukup tinggi, Dan orang yang berada di
sekitar seorang perokok atau perokok pasif justru mempunyai resiko kesehatan
yang lebih tinggi dibandingkan perokok aktif. Pusat Komunikasi Publik Sekretariat
Jenderal Kementerian Kesehatan RI, memberitakan sebanyak 62 juta perempuan
dan 30 juta laki-laki Indonesia menjadi perokok pasif di Indonesia, dan yang paling
menyedihkan adalah anak-anak usia 0-4 tahun yang terpapar asap rokok berjumlah
11,4 juta anak. Rokok merupakan masalah yang kian menjerat anak, remaja dan
wanita di Indonesia (Wijaya, 2014).
Kebiasaan merokok orang tua di dalam rumah menjadikan balita sebagai
perokok pasif yang selalu terpapar asap rokok. Rumah yang orang tuanya
mempunyai kebiasaan merokok berpeluang meningkatkan kejadian ISPA sebesar
7,83 kali dibandingkan dengan rumah balita yang orang tuanya tidak merokok di
dalam rumah. Sementara itu jumlah perokok dalam suatu keluarga cukup tinggi
(Rahmayatul, 2013).
2

Faktor perilaku keluarga yang bisa menyebabkan kejadian ISPA pada balita
diantaranya adalah asap di dalam rumah, ada anggota keluarga yang menderita
ISPA di rumah yang mempunyai kebiasaan kurang baik (tidak menutup mulut pada
saat batuk atau bersin dekat balita), kebersihan rumah yang kurang, menggunakan
obat nyamuk bakar, membawa anak pada saat memasak. Tidak adanya kemampun
menyediakan lingkungan perumahan yang sehat pada golongan masyarakat yang
berpenghasilan rendah akan meningkatkan kerentanan balita terhadap serangan
berbagai penyakit menular, termasuk ISPA (Andriani, 2014).
World Health Organization (WHO) memperkirakan insidensi ISPA di
negara berkembang 0,29% (151 juta jiwa) dan negara industri 0,05% (5 juta jiwa)
(WHO, 2013). Jumlah kasus keseluruhan ISPA di Indonesia menurut hasil
RISKESDAS tahun 2013 menunjukkan bahwa jumlah ISPA yang tertinggi terjadi
pada kelompok umur 1-4 tahun (25,8%) (Kemenkes RI, 2013). Data yang diperoleh
dari dinas kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah tentang kejadian ISPA yaitu pada
tahun 2015 berjumlah 115.185 kasus dan pada tahun 2016 meningkat menjadi
120.177 kasus. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas
Donggala jumlah kasus ISPA pada tahun 2017 adalah 1.025 kasus, tahun 2016
sebanyak 1.650 kasus, tahun 2015 sebanyak 1.170 kasus, tahun 2014 sebanyak
1.466 kasus, tahun 2013 sebanyak 2.632 kasus (Puskesmas Donggala, 2018).
Dengan demikian cukup banyak kejadian ISPA di Puskesmas Donggala, baik pada
bayi, pada anak balita maupun semua umur. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang “Hubungan Perilaku Merokok Orang Tua Dan
Anggota Keluarga Yang Tinggal Serumah Dengan Kejadian ISPA Pada
Balita Di Puskesmas Donggala Kecamatan Banawa”.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas maka rumusan masalah yaitu apakah ada hubungan
perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga yang tinggal serumah dengan
kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Donggala Kecamatan Banawa?

C. Tujuan Penelitian
3

1. Tujuan Umum
Tujuan umum pada penelitian ini adalah untuk megetahui hubungan
perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga yang tinggal serumah dengan
kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Donggala Kecamatan Banawa.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga yang
tinggal serumah di Puskesmas Donggala Kecamatan Banawa.
b. Untuk mengetahui kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Donggala
Kecamatan Banawa.
c. Untuk mengetahui hubungan perilaku merokok orang tua dan anggota
keluarga yang tinggal serumah dengan kejadian ISPA pada
balita di Puskesmas Donggala Kecamatan Banawa.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Puskesmas Donggala Kecamatan Banawa


Penelitian kiranya dapat digunakan sabagai bahan pertimbangan dalam
rangka meningkatkan program penyuluhan kesehatan terutama tentang
hubungan perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga yang tinggal
serumah dengan kejadian ISPA pada balita.
2. Bagi Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan ilmu pengetahuan dan
merupakan salah satu bacaan bagi peneliti berikutnya terutama tentang ISPA
pada balita.
3. Bagi Masyarakat
Penelitian ini kiranya menambah wawasan masyarakat tentang bahaya
merokok bagi tubuh manusia dan kesehatan.

4. Bagi Peneliti
4

Penelitian ini kiranya dapat menambah pengalaman dan pengetahuan


dalam bidang penelitian.
E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang berkaitan dengan hubungan merokok dengan kejadian ISPA


pada balita yang telah dilakukan oleh Rahmayatul (2013) dengan judul penelitian
yaitu Hubungan Lingkungan Dalam Rumah Terhadap ISPA Pada Balita di
Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan Tahun 2013. Penelitian ini bersifat
analitik dengan pendekatan cross sectional, sampel pada penelitian ini sebanyak 88
sampel, hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa sebesar 51,5% atau sebanyak
45 balita mengalami ISPA dan 43 balita atau 48,9% tidak mengalami ISPA.
Penelitian yang lain yaitu penelitian yang telah dilakukan oleh
Cahyaningtias (2015) dengan judul Hubungan Perilaku Merokok Anggota
Keluarga Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita di
Kampung Nelayan Muara Angke Kelurahan Pluit-Jakarta Utara. Penelitian ini
menggunakan metode cross sectional, populasi pada penelitian ini adalah para ibu
yang memiliki balita, jumlah populasi yaitu 72 orang. Uji statistik yang digunakan
yaitu uji Chi-Square. Hasil penelitian sebagian besar keluarga di tempat penelitian
memiliki perilaku merokok berat dari 72 responden terdapat 49 balita menderita
ISPA dan 23 balita tidak menderita ISPA. Hasil uji statistik menunjukan adanya
hubungan yang signifikan antara kejadian penyakit ISPA pada balita dengan
perilaku perokok anggota keluarga (p = 0,039 ; p < 0,05).
Kedua penelitian diatas sama-sama meneliti tentang penyebab kejadian
ISPA pada balita, hanya saja pada penelitian kali ini peneliti meneliti pada tempat
yang berbeda yaitu pada Puskesmas Donggala Kecamatan Banawa. Selain tempat
penelitian, waktu penelitian juga berbeda yaitu bulan Agustus tahun 2018. Populasi
dan sampel penelitian yaitu jumlah orang tua yang memiliki balita dengan tehnik
pengambilan sampel yang digunakan adalah non random sampling dengan cara
accidental sampling.
B A B II
TINJAUAN PUSTAKA
5

A. Telaah Pustaka
1. Tinjauan Tentang ISPA
a. Pengertian ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) sering disebut juga dengan
Infeksi Respiratori Akut (IRA). Infeksi respiratori akut terdiri dari Infeksi
Respiratori Atas Akut (IRAA) dan Infeksi Respiratori Bawah Akut (IRBA).
Disebut akut, jika infeksi berlangsung hingga 14 hari (Tanto, 2016). Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah radang akut saluran pernapasan
atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri,
virus, maupun reketsia tanpa atau disertai dengan radang parenkim paru
(Wijayaningsih, 2013).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran
pernapasan yang bersifat akut dengan berbagai macam gejala (sindrom).
Penyakit ini disebabkan oleh berbagai sebab (multi faktorial). Meskipun
organ saluran pernapasan yang terlibat adalah hidung, laring, tenggorok,
bronkus, trakea, dan paru-paru tetapi yang menjadi fokus adalah paru-paru.
Titik perhatian ini disepakati karena tingginya tingkat mortalitas radang
paru-paru (Widoyono, 2011).
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan suatu infeksi
yang bersifat akut yang menyerang salah satu atau lebih saluran pernafasan
mulai dari hidung sampai alveolus termasuk adneksanya (sinus, rongga
telinga tengah, pleura) (Kemenkes RI, 2012).
Infeksi Saluran Pernafasan Akut mempunyai pengertian sebagai
berikut (Depkes, 2005 dalam Rahmayatul, 2013):
1) Infeksi adalah proses masuknya kuman atau mikroorganisme lainnya ke
dalam tubuh manusia dan akan berkembang biak sehingga akan
menimbulkan gejala suatu penyakit.
2) Saluran pernafasan adalah suatu saluran yang berfungsi dalam proses
respirasi mulai dari hidung hingga alveolus beserta adneksanya seperti
sinus-sinus, rongga telinga tengah, dan pleura.
6

3) Infeksi akut merupakan suatu proses infeksi yang berlangsung sampai


14 hari. Batas 14 hari menunjukkan suatu proses akut meskipun untuk
beberapa penyakit yang dapat digolongkan ISPA ini dapat berlangsung
lebih dari 14 hari.
b. Klasifikasi penyakit ISPA menurut (Widoyono, 2011) :
1) Bukan Pneumonia, mencakup kelompok pasien balita dengan batuk
yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekwensi napas dan tidak
menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke arah dalam.
Contohnya adalah common cold, faringitis, tonsilitis, dan otitis.
2) Pneumonia, didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas.
Diagnosis gejala ini berdasarkan usia. Batas frekwensi napas cepat pada
anak berusia dua bulan sampai <1 tahun adalah 50 kali per menit dan
untuk anak usia 1 sampai <5 tahun adalah 40 kali per menit.
3) Pneumonia berat, didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran
bernapas disertai sesak napas atau tarikan dinding dada bagian bawah
ke arah dalam (chest indrawing) pada anak berusia 2 bulan sampai <5
tahun. Untuk anak berusia <2 bulan, diagnosis pneumonia berat ditandai
dengan adanya napas cepat yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali
per menit atau lebih, atau adanya tarikan yang kuat pada dinding dada
bagian bawah ke arah dalam (severe chest indrawing).
c. Faktor Risiko Penyakit ISPA
Terdapat banyak faktor yang mendasari perjalanan penyakit ISPA
pada anak. Hal ini berhubungan dengan host, agent penyakit dan
environment (Kemenkes RI, 2012). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan
kejadian risiko penyakit ISPA antara lain:

1) Ventilasi Rumah
Ventilasi adalah suatu lubang udara di dalam rumah yang
berfungsi untuk perputaran udara keluar masuk ruangan, sehingga
terjadi perputaran udara secara bebas. Ventilasi disamping berfungsi
7

sebagai lubang pertukaran udara juga dapat berfungsi sebagai lubang


masuknya cahaya alami atau matahari ke dalam ruangan (KBBI, 2008).
Kurangnya udara segar yang masuk ke dalam ruangan dan kelembaban
yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan resiko kejadian ISPA.
Ventilasi merupakan determinan dari kejadian ISPA pada anak balita.
Adapun besarnya risiko untuk terjadinya ISPA pada anak balita yang
menempati rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat sebesar
2,7 kali lebih besar dari pada anak balita yang menempati rumah dengan
ventilasi yang memenuhi syarat (Kemenkes RI, 2012).
2) Kepadatan Hunian
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di
dalamnya. Artinya, luas lantai bangunan rumah tersebut harus
disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan
overload. Hal ini tidak sehat karena disamping menyebabkan kurangnya
oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi,
akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain. Persyaratan
kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam
m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif bergantung dari
kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana
luasnya minimum 10 m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai
minimum 3 m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan
jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum
90 cm. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali
untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun (Yusup, 2005).

3) Pencahayaan
Untuk memperoleh cahaya yang cukup pada siang hari, diperlukan
luas jendela minimum 20% luas lantai. Cahaya ini sangat penting karena
dapat membunuh bakteri patogen di dalam rumah misalnya, basil TB.
Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya
yang cukup. Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali
8

lilin atau kurang lebih 60 lux. Semua jenis cahaya dapat mematikan
kuman hanya berbeda dari segi lamanya proses mematikan kuman untuk
setiap jenisnya. Cahaya yang sama apabila dipancarkan melalui kaca
tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktu yang lebih cepat
dibandingkan dengan kaca berwarna (Yusup, 2005).
4) Kebiasaan merokok
Merokok diketahui mempunyai hubungan dalam meningkatkan
resiko untuk terkena penyakit kanker paru-paru, jantung koroner dan
bronkitis kronis. Dalam satu batang rokok yang dihisap akan
dikeluarkan sekitar 4.000 bahan kimia berbahaya, di antaranya yang
paling berbahaya adalah Nikotin, Tar, dan Carbon Monoksida (CO).
Asap rokok merupakan zat iritan yang dapat menyebabkan infeksi pada
saluran pernapasan. Asap rokok mengandung ribuan bahan kimia
beracun dan bahan-bahan yang dapat menimbulkan kanker
(karsinogen). Bahkan bahan berbahaya dan racun dalam rokok tidak
hanya mengakibatkan gangguan kesehatan pada orang yang merokok,
namun juga kepada orang-orang di sekitarnya yang tidak merokok yang
sebagian besar adalah bayi, anak-anak dan ibu-ibu yang terpaksa
menjadi perokok pasif oleh karena ayah atau suami mereka merokok di
rumah. Kebiasaan merokok di dalam rumah dapat meningkatkan resiko
terjadinya ISPA sebanyak 2,2 kali (Yusup, 2005).
5) Berat badan lahir rendah (BBLR)
Berat badan lahir memiliki peran penting terhadap kematian akibat
ISPA. Di negara berkembang, kematian akibat pneumonia berhubungan
dengan BBLR. Sebanyak 22% kematian pada pneumonia di perkirakan
terjadi pada BBLR. Meta-analisis menunjukkan bahwa BBLR
mempunyai RR kematian 6,4 pada bayi yang berusia di bawah 6 bulan,
dan 2,9 pada bayi berusia 6-11 bulan (Wijaya, 2014).
6) Imunisasi
Campak, pertusis dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan
resiko terkena ISPA dan memperberat ISPA itu sendiri, tetapi
9

sebetulnya hal ini dapat di cegah. Di india, anak yang baru sembuh dari
campak, selama 6 bulan berikutnya dapat mengalami ISPA enam kali
lebih sering dari pada anak yang tidak terkena campak. Campak,
pertusis, dan difteri bersama-sama dapat menyebabkan 15-25% dari
seluruh kematian yang berkaitan dengan ISPA. Vaksin campak cukup
efektif dan dapat mencegah kematian hingga 25% usaha global dalam
meningkatkan cakupan imunisasi campak dan pertusis telah mengurangi
angka kematian ISPA akibat kedua penyakit ini. Vaksin Pneomokokus
dan H. Influenzae type B saat ini sudah di berikan pada anak-anak
dengan efektivitas yang cukup baik (Wijaya, 2014).
7) Status gizi
Status gizi anak merupakan faktor resiko penting timbulnya
pneumonia. Gizi buruk merupakan faktor predisposisi terjadinya ISPA
pada anak. Hal ini di karenakan adanya gangguan respon imun. Vitamin
A sangat berhubungan dengan beratnya infeksi. Grant melaporkan
bahwa anak dengan defisiensi vitamin A yang ringan mengalami ISPA
dua kali lebih banyak daripada anak yang tidak mengalami defisiensi
vitamin A. Oleh karena itu, selain perbaikan gizi dan perbaikan ASI,
harus dilakukan pula perbaikan terhadap defisiensi vitamin A untuk
mencegah ISPA (Wijaya, 2014).

d. Penyebab
Etiologi ISPA lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan jamur. Bakteri p
enyebabnya antara lain dari genus Streptococcus, Staphylococcus, Pneumo
coccus, Haemophillus, Bordetella, dan Corynebacterium. Virus penyebabn
ya antara lain golongan Mikovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus
, Mikoplasma, Herpes virus (Wijayaningsih, 2013).
Etiologi ISPA terdiri dari agen infeksius dan agen non-infeksius. Age
10

n infeksius yang paling umum dapat menyebabkan infeksi saluran pernafas


an akut adalah virus, seperti Respiratory Syncytial Virus (RSV), Nonpolio e
nterovirus (coxsackieviruses A dan B), Adenovirus, Parainfluenza, dan Hu
man metapneumoviruses. Agen infeksius selain virus juga dapat menyebab
kan ISPA, seperti β-hemolytic streptococci, Staphylococcus, Haemophilus i
nfluenza, Chlamydia trachomatis, Mycoplasma, dan Pneumococcus (IDAI,
2011).
e. Tanda dan Gejala
Djojodibroto (2009) mengatakan bahwa derajat keparahan ISPA dapat
dibagi menjadi tiga golongan yaitu:
1) ISPA ringan bukan pneumonia
2) ISPA sedang, pneumonia
3) ISPA berat, pneumonia berat
Khusus untuk bayi di bawah dua bulan, hanya dikenal ISPA berat dan
ISPA ringan (tidak ada ISPA sedang). Batasan ISPA berat untuk bayi
kurang dari dua bulan adalah bila frekuensi nafasnya cepat (60 kali per
menit atau lebih) atau adanya tarikan dinding dada yang kuat. Pada dasarnya
ISPA ringan dapat berkembang menjadi ISPA sedang atau ISPA berat jika
keadaan memungkinkan misalnya pasien kurang mendapatkan perawatan
atau daya tahan tubuh pasien sangat kurang. Gejala ISPA ringan dapat
dengan mudah diketahui orang awam sedangkan ISPA sedang dan berat
memerlukan beberapa pengamatan sederhana (Djojodibroto, 2009).

1) Gejala ISPA ringan


Seorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan
gejala sebagai berikut :
a) Batuk
b) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara
(misalnya pada waktu berbicara atau menangis)
c) Pilek yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung
11

d) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37oC atau jika dahi anak
diraba dengan punggung tangan terasa panas
e) Jika anak menderita ISPA ringan maka perawatan cukup dilakukan
di rumah tidak perlu dibawa ke dokter atau Puskesmas. Di rumah
dapat diberi obat penurun panas yang dijual bebas di toko-toko atau
Apotek tetapi jika dalam dua hari gejala belum hilang, anak harus
segera di bawa ke dokter atau Puskesmas terdekat (Djojodibroto,
2009).
2) Gejala ISPA sedang
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai
gejala ISPA ringan dengan disertai gejala sebagai berikut :
a) Pernapasan lebih dari 50 kali/menit pada anak umur kurang dari satu
tahun atau lebih dari 40 kali/menit pada anak satu tahun atau lebih
b) Suhu lebih dari 390C
c) Tenggorokan berwarna merah
d) Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak
e) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
f) Pernafasan berbunyi seperti mendengkur
g) Pernafasan berbunyi seperti mencuit-cuit
f) Dari gejala ISPA sedang ini, orang tua perlu hati-hati karena jika
anak menderita ISPA ringan, sedangkan anak badan panas lebih dari
390C, gizinya kurang, umurnya empat bulan atau kurang maka anak
tersebut menderita ISPA sedang dan harus mendapat pertolongan
petugas kesehatan (Djojodibroto, 2009).
3) Gejala ISPA berat
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika ada gejala
ISPA ringan atau sedang disertai satu atau lebih gejala sebagai berikut:
a) Bibir atau kulit membiru
b) Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu
bernapas
c) Anak tidak sadar atau kesadarannya menurun
12

d) Pernafasan berbunyi mengorok dan anak tampak gelisah


e) Pernafasan menciut dan anak tampak gelisah
f) Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernapas
g) Nadi cepat lebih dari 60 x/menit atau tidak teraba
g) Tenggorokan berwarna merah (Djojodibroto, 2009).
Pasien ISPA berat harus dirawat di rumah sakit atau Puskesmas
karena perlu mendapat perawatan dengan peralatan khusus seperti
oksigen dan infus (Djojodibroto, 2009).
f. Pencegahan
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit
ISPA menurut (Wijayaningsih, 2013):
1) Mengusahakan agar anak memperoleh gizi yang baik, diantaranya
dengan cara memberikan makanan kepada anak yang mengandung
cukup gizi.
2) Memberikan imunisasi yang lengkap kepada anak agar daya tahan tubuh
terhadap penyakit baik.
3) Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan agar tetap bersih.
4) Mencegah anak berhubungan dengan klien ISPA. Salah satu cara adalah
memakai penutup hidung dan mulut bila kontak langsung dengan
anggota atau orang yang sedang menderita penyakit ISPA
(Wijayaningsih, 2013).

g. Pengobatan
Apabila anak sudah positif terserang ISPA, sebaiknya orang tua tidak
memberikan makanan yang dapat merangsang rasa sakit pada tenggorokan,
misalnya minuman dingin, makanan yang mengandung vetsin atau rasa
gurih, bahan pewarna, pengawet dan makanan yang terlalu manis. Anak
yang terserang ISPA, harus segera dibawa ke dokter. Pengobatan pada ISPA
dapat dibagi menjadi: (Djojodibroto, 2009).
1) Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik melalui
jalur infus, diberi oksigen dan sebagainya.
13

2) Pneumonia: diberi obat antibiotik melalui mulut. Pilihan obatnya


Kotrimoksasol, jika terjadi alergi/tidak cocok dapat diberikan
Amoksilin, Penisilin, Ampisilin.
3) Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan
perawatan di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional
atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang merugikan.
4) Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol. Penderita
dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan tenggorokan didapat
adanya bercak nanah disertai pembesaran kelenjar getah bening di leher,
dianggap sebagai radang tenggorokan oleh kuman Streptococcuss dan
harus diberi antibiotik selama 10 hari (Djojodibroto, 2009).

2. Tinjauan Tentang Anak Balita


a. Pengertian anak balita
Anak balita yaitu mereka yang mencapai umur 0-59 bulan (infant dan
pra school). Pada usia ini sebaiknya sudah di mulai dengan pembangunan
sumber daya manusia (Susiyarlin, 2005).
b. Tugas perkembangan anak balita (Susiyarlin, 2005)
1) Berjalan
2) Belajar memakan makanan yang keras
3) Belajar berbicara
4) Belajar untuk mengatur dan mengurangi gerak-gerik tubuh yang tidak
perlu
5) Belajar mengenal perbedaan-perbedaan jenis kelamin
14

6) Belajar untuk melibatkan diri secara emosional dengan orangtua,


saudara-saudara dan orang lain.
Frankenburg (1981) melalui DDST (Denver Developmental
Screening Test) mengemukakan 4 parameter perkembangan yang dipakai
dalam menilai perkembangan anak balita yaitu (Susiyarlin, 2005):
1) Personal Social (Kepribadian/tingkah laku sosial)
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi
dan berinteraksi dengan lingkungannya.
2) Fine Motor Adaptive (Gerakan motorik halus)
Aspek yang berhubungan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu,
melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja
dan dilakukan otot-otot kecil, tetapi memerlukan koordinasi yang
cermat. Misalnya kemampuan untuk mengambar, memegang sesuatu
benda, dan lain-lain.
3) Language (Bahasa)
Kemampuan untuk memberikan respons terhadap suara, mengikuti
perintah dan berbicara spontan.
4) Gross Motor (Perkembangan motorik kasar)
Aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh.
Ada juga yang membagi perkembangan balita ini menjadi 7 aspek
perkembangan, seperti pada buku petunjuk program BKB (Bina Keluarga
dan Balita) yaitu perkembangan: (Susiyarlin, 2005)
1) Tingkah laku sosial
2) Menolong diri sendiri
3) Intelektual
4) Gerakan motorik halus
5) Komunikasi pasif
6) Komunikasi aktif
7) Gerakan motorik kasar
Pada prinsipnya cara membagi aspek perkembangan anak tersebut di
atas sama saja, hanya penjabarannya berbeda. Frankenburg membagi lebih
15

sederhana, sedangkan yang pada program BKB tersebut lebih dijabarkan


lagi (Susiyarlin, 2005).
c. Perkembangan Anak Balita (Susiyarlin, 2005)
Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan
fungsi tubuh yang lebih komplek dalam pola yang teratur dan dapat
diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Disini menyangkut
adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ
dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-
masing dapat memenuhi fungsinya, termasuk juga perkembangan emosi,
intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya
(Susiyarlin, 2005).
Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita.
Karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan
menentukan perkembangan anak selanjutnya. Pada masa balita ini
perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial,
emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan
perkembangan berikutnya. Perkembangan moral serta dasar-dasar
kepribadian juga dibentuk pada masa ini (Susiyarlin, 2005).
Sehingga setiap kelainan/penyimpangan sekecil apapun apabila tidak
terdeteksi apalagi tidak ditangani dengan baik akan mengurangi kualitas
sumber daya manusia kelak kemudian hari. Dalam perkembangan anak
terdapat masa kritis, dimana diperlukan rangsangan/stimulus yang berguna
agar potensi anak berkembang, sehingga perlu mendapat perhatian.
Perkembangan psiko-sosial sangat dipengaruhi lingkungan dan interaksi
antara anak dengan orang tuanya/orang dewasa lainnya. Perkembangan
anak akan optimal bila interaksi sosial diusahakan sesuai dengan kebutuhan
anak pada berbagai tahap perkembangannya, bahkan sejak bayi masih di
dalam kandungan. Sedangkan lingkungan yang tidak mendukung akan
menghambat perkembangan anak (Susiyarlin, 2005).

3. Tinjauan Tentang Perilaku Merokok


16

a. Konsep Perilaku
Perilaku dipandang dari segi biologis adalah suatu kegiatan atau
aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada
hakekatnya adalah suatu aktivitas dari pada manusia itu sendiri. Oleh karena
itu perilaku manusia mempunyai rentang yang sangat luas, mencakup
berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian dan lain sebagainya. Bahkan
kegiatan internal sendiri seperti berpikir, persepsi dan emosi juga
merupakan perilaku manusia (Notoatmodjo, 2010).
b. Perilaku Merokok
1) Definisi Rokok
Rokok adalah hasil olahan tembakau yang terbungkus, dihasilkan
dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya
atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa
bahan tambahan. Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian
dihisap isinya, baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa
(Tawbariah et al., 2014).

2) Bahan Baku Rokok


Bahan baku yang digunakan untuk membuat rokok adalah
sebagai berikut Tawbariah et al. (2014):
a) Tembakau
Jenis tembakau yang dibudidayakan dan berkembang di
Indonesia termasuk dalam spesies Nicotiana tabacum.
b) Cengkeh
Bagian yang biasa digunakan adalah bunga yang belum mekar.
Bunga cengkeh dipetik dengan tangan oleh para pekerja, kemudian
dikeringkan di bawah sinar matahari, kemudian cengkeh ditimbang
dan dirajang dengan mesin sebelum ditambahkan ke dalam
campuran tembakau untuk membuat rokok kretek.
c) Saus Rahasia
17

Saus ini terbuat dari beraneka rempah dan ekstrak buah-


buahan untuk menciptakan aroma serta cita rasa tertentu. Saus ini
yang menjadi pembeda antara setiap merek dan varian kretek.
3) Kandungan Rokok
Menurut Tawbariah et al. (2014) racun rokok yang paling utama
adalah sebagai berikut:
a) Nikotin
Nikotin dapat meningkatkan adrenalin yang membuat jantung
berdebar lebih cepat dan bekerja lebih keras, frekuensi jantung
meningkat dan kontraksi jantung meningkat sehingga menimbulkan
tekanan darah meningkat.
b) Tar
Tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan
menempel pada paru-paru, mengandung bahan-bahan karsinogen.
c) Karbon monoksida (CO)
Merupakan gas berbahaya yang terkandung dalam asap
pembuangan kendaraan. CO menggantikan 15% oksigen yang
seharusnya dibawa oleh sel-sel darah merah. CO juga dapat merusak
lapisan dalam pembuluh darah dan meninggikan endapan lemak
pada dinding pembuluh darah, menyebabkan pembuluh darah
tersumbat.
4) Tipe Perokok
Menurut Silvan Tomkins ada 4 tipe perilaku merokok berdasarkan
Management of affect theory, keempat tipe tersebut adalah (Tawbariah
et al., 2014) :
a) Tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif
Dengan merokok seseorang merasakan penambahan rasa yang
positif. Green menambahkan 3 sub tipe ini:
(1) Pleasure relaxation, perilaku merokok hanya untuk menambah
atau meningkatkan kenikmatan yang sudah didapat, misalnya
merokok setelah minum kopi atau makan.
18

(2) Stimulation to pick them up. Perilaku merokok hanya dilakukan


sekedarnya untuk menyenangkan perasaan.
(3) Pleasure of handling the cigarette. Kenikmatan yang diperoleh
dengan memegang rokok, misalnya merokok dengan pipa.
b) Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif
Banyak orang menggunakan rokok untuk mengurangi
perasaan negatif, misalnya bila marah, cemas ataupun gelisah, rokok
dianggap sebagai penyelamat.
c) Perilaku merokok yang adiktif
Oleh Green disebut sebagai psychological addiction. Bagi
yang sudah adiksi, akan menambah dosis rokok yang digunakan
setiap saat setelah efek dari rokok yang dihisapnya berkurang.
Mereka umumnya akan pergi keluar rumah membeli rokok, walau
tengah malam sekalipun.
d) Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan
Mereka menggunakan rokok sama sekali bukan karena untuk
mengendalikan perasaan mereka, tetapi karena benar-benar sudah
kebiasaan rutin. Pada tipe orang seperti ini merokok merupakan
suatu perilaku yang bersifat otomatis (Tawbariah et al., 2014).
5) Faktor Penyebab Perilaku Merokok
Faktor yang menyebabkan seseorang merokok diantaranya
sebagai berikut (Tawbariah et al., 2014) :
a) Gemerlap mengenai perokok
Sebagai hasil dari kampanye besar-besaran dari rokok di media iklan
dan media cetak, maka semakin banyak pria, wanita, tua dan muda
yang menjadi perokok.
b) Kemudahan mendapatkan rokok, harganya yang relatif murah, dan
distribusinya yang merata.
c) Kurangnya pengetahuan tentang bahaya merokok bagi kesehatan.
d) Adanya anggapan bahwa merokok dapat mengatasi kesepian,
kesedihan, kemarahan dan frustasi.
19

e) Faktor sosio-kultural seperti pengaruh orang tua, teman dan


kelompoknya (Tawbariah et al., 2014).
6) Alasan Merokok
Menurut Tawbariah et al. (2014) alasan seseorang merokok ialah
sebagai berikut:
a) Khawatir tidak diterima di lingkungannya jika tidak merokok.
b) Ingin tahu, alasan ini banyak dikemukakan oleh kalangan muda,
terutama perokok wanita.
c) Untuk kesenangan, alasan ini lebih banyak diutarakan oleh perokok
pria.
d) Mengatasi ketegangan, merupakan alasan yang paling sering
dikemukakan, baik pria maupun wanita.
e) Pergaulan, karena ingin menyenangkan teman atau membuat
suasana menyenangkan, misalnya dalam pertemuan bisnis.
f) Tradisi, alasan ini hanya berlaku untuk etnis tertentu (Tawbariah et
al., 2014).

7) Dampak Rokok Bagi Kesehatan


Menurut Center of Disease Control (CDC) dalam Tawbariah et al.
(2014) merokok membahayakan setiap organ di dalam tubuh. Merokok
menyebabkan penyakit dan memperburuk kesehatan,seperti :
a) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
PPOK sudah terjadi pada 15% perokok. Individu yang
merokok mengalami penurunan pada Forced Expiratory Volume in
second (FEV1), dimana kira-kira hampir 90% perokok berisiko
menderita PPOK (Tawbariah et al., 2014).
Asap rokok dari orang tua atau penghuni rumah yang satu atap
dengan balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang tempat
tinggal yang serius serta akan menambah resiko kesakitan dari bahan
toksik pada anak-anak. Paparan yang terus-menerus akan
menimbulkan gangguan pernapasan terutama memperberat
20

timbulnya infeksi saluran pernafasan akut dan gangguan paru-paru


pada saat dewasa. Semakin banyak rokok yang dihisap oleh keluarga
semakin besar memberikan resiko terhadap kejadian ISPA
(Tawbariah et al., 2014).
Analisis WHO, menunjukkan bahwa efek buruk asap rokok
lebih besar bagi perokok pasif dibandingkan perokok aktif. Ketika
perokok membakar sebatang rokok dan menghisapnya, asap yang
diisap oleh perokok disebut asap utama (mainstream), dan asap yang
keluar dari ujung rokok (bagian yang terbakar) dinamakan
sidestream smoke atau asap samping. Asap samping ini terbukti
mengandung lebih banyak hasil pembakaran tembakau dibanding
asap utama. Asap ini mengandung karbon monoksida 5 kali lebih
besar, tar dan nikotin 3 kali lipat, ammonia 46 kali lipat, nikel 3 kali
lipat, nitrosamine sebagai penyebab kanker kadarnya mencapai 50
kali lebih besar pada asap sampingan dibanding dengan kadar asap
utama (Tawbariah et al., 2014).
Asap rokok dapat mengganggu saluran pernafasan bahkan
meningkatkan penyakit infeksi pernafasan termasuk ISPA, terutama
pada kelompok umur balita yang memiliki daya tahan tubuh masih
lemah, sehingga bila ada paparan asap, maka balita lebih cepat
terganggu sistem pernafasannya seperti ISPA (Wijaya, 2014).
b) Pengaruh Rokok terhadap Gigi
Hubungan antara merokok dengan kejadian karies, berkaitan
dengan penurunan fungsi saliva yang berperan dalam proteksi gigi.
Risiko terjadinya kehilangan gigi pada perokok, tiga kali lebih tinggi
dibanding pada bukan perokok (Muhibah, 2011).
c) Pengaruh Rokok Terhadap Mata
Rokok merupakan penyebab penyakit katarak nuklear, yang
terjadi dibagian tengah lensa. Meskipun mekanisme penyebab tidak
diketahui, banyak logam dan bahan kimia lainnya yang terdapat
dalam asap rokok dapat merusak protein lensa (Muhibah, 2011).
21

d) Pengaruh Terhadap Sistem Reproduksi


Merokok akan mengurangi terjadinya konsepsi, fertilitas pria
maupun wanita. Pada wanita hamil yang merokok, anak yang
dikandung akan mengalami penuruan berat badan, lahir prematur,
bahkan kematian janin (Anggraini, 2013).
c. Pengertian Perokok Pasif
Perokok pasif adalah orang yang ikut menghirup asap rokok yang
dikeluarkan oleh perokok aktif pada saat merokok. Menghirup asap rokok
orang lain lebih berbahaya dibandingkan menghisap rokok sendiri. Bahkan
bahaya yang harus ditanggung perokok pasif tiga kali lipat dari perokok
aktif. Penyakit yang dapat diderita perokok pasif ini tidak lebih baik dari
perokok aktif (Wijaya, 2014).
Perokok pasif adalah asap rokok yang di hirup oleh seseorang yang
tidak merokok (Pasive Smoker). Asap rokok merupakan polutan bagi
manusia dan lingkungan sekitarnya. Asap rokok lebih berbahaya terhadap
perokok pasif daripada perokok aktif. Asap rokok yang dihembuskan oleh
perokok aktif dan terhirup oleh perokok pasif, lima kali lebih banyak
mengandung karbon monoksida, empat kali lebih banyak mengandung tar
dan nikotin (Wijaya, 2014)
Perokok pasif adalah mereka yang tidak merokok tetapi menghisap
ETS (Environmental Tobacco Smoke). ETS adalah asap rokok utama dan
asap rokok sampingan yang dihembuskan kembali oleh perokok. Bagi orang
yang tidak merokok, asap rokok selalu tidak menyenangkan, berbau,
mengiritasi hidung dan mata. Risiko menghirup asap rokok orang lain tidak
sebesar menghirup asap rokok sendiri, tetapi risikonya tetap bermakna.
Berdasarkan 34 penelitian mengenai kanker paru menunjukkan suatu
kombinasi peningkatan risiko 24% lebih tinggi kejadian kanker paru pada
mereka yang terpajan asap rokok dalam rumah. Karena adanya risiko ini,
berbagai upaya dilakukan oleh banyak Negara untuk melindungi mereka
yang bukan perokok dari asap rokok. Melalui perundangan dan persuasi,
22

makin banyak alat transportasi, tempat-tempat umum, tempat kerja, dan


rumah menjadi kawasan tanpa asap rokok (Milo et al., 2015).

4. Kerangka Teori

Faktor Lingkungan :

1. Luas ventilasi kamar


2. Tipe lantai rumah
3. Kepadatan hunian
4. Tingkat kelembapan
udara
Etiologi :
Faktor Individu Balita :
Agen non-infeksius :
1. Status Nutrisi
2. Status Imunisasi 1. Aspirasi makanan dan
3. Riwayat pemberian cairan lambung
ASI eksklusif 2. Inhalasi zat asing ( misal :
4. Riwayat BBLR racun, debu, gas, asap
ISPA rokok)
23

Faktor Perilaku : Agen infeksius :


1. Kebiasaan merokok 1. Virus
anggota
keluarga 2. Bakteri
2. Kebiasaan membuka
jendela
jendela setiap pagi
dan siang hari
hari
Faktor Sosial Ekonomi :

1. Tingkat pendidikan
2. orang tua orang tua
Pendapatan

Gambar 2.1 Kerangka Teori


(Kemenkes RI, 2012; IDAI, 2011; Milo et al, 2015)

5. Kerangka Konsep
Asap rokok dari orang tua atau penghuni rumah yang satu atap dengan
balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang tempat tinggal yang serius
serta akan menambah resiko kesakitan dari bahan toksik pada anak-anak.
Paparan yang terus-menerus akan menimbulkan gangguan pernapasan terutama
memperberat timbulnya infeksi saluran pernafasan akut dan gangguan paru-
paru pada saat dewasa. Untuk lebih jelasnya, kerangka konsep tersebut dibuat
dalam skema sebagaimana gambar di bawah ini:

Variabel Independen Variabel Dependen

Perilaku Merokok Orang Tua Penyakit ISPA Pada


Dan Anggota Keluarga Yang Balita
Tinggal Serumah

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian


24

Keterangan : Diteliti
Mencari Hubungan

B. Landasan Teori
Asap rokok yang dikeluarkan oleh seorang perokok mengandung bahan
toksik yang berbahaya dan akan menimbulkan penyakit serta menambah resiko
kesakitan dari bahan toksik tersebut. Pada uji statistik penelitian Lindawaty (2010)
menyatakan bahwa balita yang tinggal bersama penghuni yang merokok beresiko
2,04 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibanding dengan balita yang tidak
terdapat penghuni rumah yang merokok (Rahmayatul, 2013).
Kandungan rokok yang diduga bertanggung jawab menimbulkan ISPA
yaitu Nikotin dan Tar. Nikotin bersifat toksik terhadap jaringan saraf dan
mengakibatkan pemakaian oksigen pada tubuh bertambah. Di dalam Tar pada
rokok dijumpai zat-zat karsinogenik seperti polisiklik hidrokarbon aromatis yang
dapat menyebabkan terjadinya kanker paru-paru. Tar juga dapat merangsang jalan
nafas dan akan tertimbun di saluran nafas yang akan mengakibatkan batuk-batuk,
sesak nafas, kanker jalan nafas, lidah atau bibir (Cahyaningtias, 2015).
ISPA dapat disebabkan oleh tiga faktor, yaitu faktor individu anak, faktor
perilaku dan faktor lingkungan. Faktor individu anak meliputi: umur anak, berat
badan lahir, status gizi, vitamin A dan status imunisasi. Faktor perilaku meliputi
perilaku pencegahan dan penanggulangan ISPA pada bayi atau peran aktif
keluarga/masyarakat dalam menangani penyakit ISPA. Faktor lingkungan meliputi:
pencemaran udara dalam rumah (asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan
bakar untuk memasak dengan konsentrasi yang tinggi), ventilasi rumah dan
kepadatan hunian (Milo et al., 2015).
Kebiasaan merokok orang tua di dalam rumah menjadikan balita sebagai
perokok pasif yang selalu terpapar asap rokok. Rumah yang orang tuanya
mempunyai kebiasaan merokok berpeluang meningkatkan kejadian ISPA sebesar
7,83 kali dibandingkan dengan rumah balita yang orang tuanya tidak merokok di
25

dalam rumah. Sementara itu jumlah perokok dalam suatu keluarga cukup tinggi
(Milo et al., 2015).

C. Hipotesis
Nursalam (2014) mengatakan bahwa hipotesis adalah jawaban sementara dari
rumusan masalah atau pertanyaan penelitian. Hipotesis pada penelitian ini yaitu:
H1 : Ada hubungan perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga yang
tinggal serumah dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Donggala Kecamatan Banawa.
H0 : Tidak ada hubungan perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga
yang tinggal serumah dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Donggala Kecamatan Banawa.

B A B III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Desain penelitian adalah semua proses yang diperlukan dalam perencanaan
dan pelaksanaan penelitian. Desain dalam perencanaan penelitian bertujuan untuk
melaksanakan penelitian, sehingga dapat diperoleh suatu logika, baik dalam
pengujian hipotesis maupun dalam membuat kesimpulan (Arikunto, 2010 dalam
Hidayat, 2011). Desain penelitian yang dipakai adalah penelitian analitik, dengan
pendekatan cross sectional yaitu penelitian yang dilakukan pada saat yang
bersamaan antara variabel independen dan variabel dependen. Pada penelitian ini,
peneliti akan melakukan penelitian tentang hubungan perilaku merokok orang tua
dan anggota keluarga yang tinggal serumah dengan kejadian ISPA pada
balita di Puskesmas Donggala Kecamatan Banawa.
26

B. Tempat dan Waktu Penelitian


1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Donggala Kecamatan Banawa.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus tahun 2018.

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subyek yang memenuhi kriteria yang telah
ditetapkan (Nursalam, 2014). Populasi dalam penelitian ini adalah semua orang
tua yang memiliki balita di Puskesmas Donggala Kecamatan Banawa berjumlah
529 orang.
2. Sampel
Sampel terdiri atas sebagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan
sebagai subyek penelitian melalui sampling. Sampling adalah proses
menyeleksi porsi dari populasi yang dapat mewakili populasi yang ada
(Nursalam, 2014). Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian populasi yaitu
sebagian orang tua yang memiliki balita di Puskesmas Donggala Kecamatan
Banawa dengan kriteria inklusi: 23
a. Orang tua bersedia menjadi responden
b. Orang tua dapat membaca dan menulis
3. Besar sampel
Besar sampel dihitung menggunakan rumus Slovin yaitu sebagai berikut
(Setiawan, 2011):
N
n=
1 + N (d2)

Keterangan :
N = besar populasi
n = besar sampel
d = tingkat kesalahan absolute yang dikehendaki 10%
27

Dimana : N = 529
d = 10% (0,1)

529
n =
1 + 529 (0,1)2
529
n =
1 + 529 (0,01)
529
n =
1 + 5,29
529
n = 6,29 n = 84,10 sampel

Jadi jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 85 responden


4. Tehnik pengambilan sampel
Dalam penelitian ini, tehnik pengambilan sampel yang digunakan adalah
non random sampling dengan cara accidental sampling, yaitu orang tua yang
memiliki anak balita dan kebetulan bertemu dengan peneliti di Puskesmas
Donggala Kecamatan Banawa dijadikan sebagai responden.
D. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari obyek yang
mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulan (Nursalam, 2014).
Klasifikasi Variabel:
1. Variabel Bebas (independent variable)
Adalah merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab
perubahan atau timbulnya variabel dependent (variabel terikat). Dalam
penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah perilaku merokok orang tua
dan anggota keluarga yang tinggal serumah.
2. Variabel Terikat (dependent variable)
Adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat, karena adanya
variabel bebas. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikatnya adalah
kejadian ISPA pada balita.
28

E. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati
dari sesuatu yang didefinisikan tersebut. Karakteristik yang dapat diamati (diukur)
itulah yang merupakan kunci definisi operasional. Dapat diamati artinya
memungkinkan bagi peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara
cermat terhadap suatu objek atau fenomena yang kemudian dapat diulang oleh
orang lain (Nursalam, 2014).
1. Variabel Independen
Perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga yang tinggal serumah
Definisi : Kebiasaan merokok yang dilakukan oleh orang tua dan
anggota keluarga yang tinggal serumah yang menyebabkan
anaknya menjadi perokok pasif.
Alat ukur : Kuesioner
Cara ukur : Membagi kuesioner
Skala ukur : Ordinal

Hasil ukur : Perokok pasif (jika skor jawaban responden ≤ 70%)


Bukan perokok pasif (jika skor jawaban responden >70%)

2. Variabel Dependen
Penyakit ISPA pada Balita
Definisi : Penyakit ISPA merupakan kejadian ISPA bada balita
berdasarkan hasil wawancara dengan responden tentang tanda
dan gejala penyakit ISPA yang pernah dialami dalam waktu
≤ 2 minggu terakhir.
Alat Ukur : Ceklist
Cara ukur : Pengisian Ceklist
Skala ukur : Ordinal
Hasil ukur : Pernah Menderita ISPA (jawaban responden lebih dari atau
sama dengan 3 tanda dan gejala seperti batuk, pilek/flu,
demam, sesak nafas).
29

Tidak Pernah Menderita ISPA (jawaban responden kurang


dari 3 tanda dan gejala seperti batuk, pilek/flu, demam, sesak
nafas).

F. Instrumen Penelitian
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang
diadopsi dari jurnal penelitian terdahulu yang disusun oleh Cahyaningtias (2015).
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang berisi berisi
10 pertanyaan tentang perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga yang
tinggal serumah dan 5 pertanyaan tentang kejadian ISPA.

G. Tehnik Pengumpulan Data


1. Jenis data yang dikumpulkan adalah sebagai berikut:
a. Data Primer
Data primer, yaitu data yang dikumpulkan langsung melalui pembagian
kuesioner pada orang tua yang memiliki balita yang menderita ISPA
di Puskesmas Donggala Kecamatan Banawa.
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari Puskesmas Donggala
Kecamatan Banawa tentang jumlah orang tua yang memiliki balita.
2. Cara pengukuran
Cara pengukuran dilakukan dengan wawancara dan observasi
menggunakan ceklist yang berisi pertanyaan tentang tentang perilaku merokok
orang tua dan anggota keluarga yang tinggal serumah dan kejadian penyakit
ISPA pada balita.

H. Pengolahan Data
30

Menurut Narbuko (2002) dalam Setiawan (2011) tahap-tahap pengolahan data


adalah sebagai berikut:
1. Editing : Memeriksa kembali data-data yang telah dikumpulkan
apakah ada kesalahan atau tidak.
2. Coding : Pemberian nomor-nomor kode atau bobot pada jawaban
yang bersifat kategori.
3. Tabulating : Penyusunan/perhitungan data berdasarkan variabel yang
diteliti.
4. Entry : Memasukkan data ke program komputer untuk keperluan
analisis.
5. Cleaning : Membersihkan data dan melihat variabel yang digunakan
apakah datanya sudah benar atau belum.
6. Describing : Menggambarkan/menerangkan data.

I. Analisa Data
1. Analisis Univariat
Analisa data yang dilakukan dengan cara analisis univariat, yang
dilakukan terhadap tiap variabel penelitian. Dalam analisis ini hanya
menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap variabel. Analisa data
dilakukan dengan formulasi distribusi frekuensi dengan rumus sebagai berikut
(Notoatmodjo, 2010):

P = x 100%

Keterangan : P = Presentase
f = Frekuensi
n = Sampel

2. Analisis Bivariat
Dilakukan untuk melihat kemaknaan hubungan antara variabel bebas
dengan variabel terikat. Uji yang digunakan adalah uji Chi-Square (X2)
mengunakan fasilitas pengolahan data program SPSS dengan derajat
31

kemaknaan 95%. Bila nilai p ≤ 0,05, berarti hasil perhitungan statistik


bermakna (signifikan) (Ho ditolak) dan nilai > 0,05, berarti hasil perhitungan
statistik tidak bermakna (signifikan) (Ho diterima) (Notoatmodjo, 2010).

J. Etika Penelitian

1. Informed Consent (lembar persetujuan)


Lembar persetujuan yang diberikan kepada responden oleh peneliti dengan
menyertakan judul penelitian agar subjek mengerti maksud dan tujuan
penelitian. Bila subjek menolak, maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap
menghargai atau menghormati hak-hak yang dimiliki responden (subjek).
2. Anonymity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan mencantumkan nama
responden tetapi lembar tersebut diberikan kode.

3. Confidentiality (kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh
peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil
penelitian (Nursalam, 2014).
32

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian


Puskesmas Donggala merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan
yang berada di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah tepatnya berada di Kabupaten
Donggala. Puskesmas Donggala berada di wilayah Kecamatan Donggala yang
memiliki luas wilayah 337,8 km2 dan secara administratif pemerintahan terdiri
atas 14 kelurahan, 33 RW serta 135 RT. Wilayah kerja Puskesmas Donggala
mencakup empatbelas kelurahan yaitu: Kelurahan Logi Oge, Kelurahan Loli
Saluran, Kelurahan Loli Pesua, Kelurahan Loli Tasiburi, Kelurahan Loli
Dondo, Kelurahan Kabonga Besar, Kelurahan Kabonga Kecil, Kelurahan
Gunung Balle, Kelurahan Tanjung batu, Kelurahan Labuan Bajo, Kelurahan
Boneoge, Kelurahan Boya, Kelurahan Maleni dan Kelurahan Ganti.
Berdasarkan data BPS Kota Palu tahun 2017, jumlah penduduk di wilayah
kerja Puskesmas Donggala adalah 33.452 jiwa yang tersebar di empatbelas
33

kelurahan yaitu Kelurahan Logi Oge dengan jumlah penduduk 1.790 jiwa,
Kelurahan Loli Saluran 984 jiwa, Kelurahan Loli Pesua 1.448 jiwa, Kelurahan
Loli Tasiburi 1.899 jiwa, Kelurahan Loli Dondo 1.338 jiwa, Kelurahan
Kabonga Besar 2.755 jiwa, Kelurahan Kabonga Kecil 2.852 jiwa, Kelurahan
Gunung Balle 2.416 jiwa, Kelurahan Tanjung batu 2.680 jiwa, Kelurahan
Labuan Bajo 2.616 jiwa, Kelurahan Boneoge 3.230 jiwa, Kelurahan Boya 2.975
jiwa, Kelurahan Maleni 2.632 jiwa dan Kelurahan Ganti 3.837 jiwa.
Program kegiatan puskesmas mengacu pada program kesehatan nasional
dengan visi Indonesia Sehat, dengan mempertimbangkan paradigma
masyarakat, dimana masyarakat semakin sadar akan tuntutan pelayanan
kesehatan yang lebih optimal, dengan dilandasi oleh kesadaran dan keyakinan
bahwa kesehatan merupakan hak azasi manusia, sehingga pemerintah dalam hal
ini lembaga pelayanan kesehatan dituntut peka terhadap berbagai permasalahan
kesehatan yang berkembang di masyarakat serta memberikan pelayanan lebih
optimal kepada masyarakat.
Dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan, maka tugas puskesmas
dibagi ke dalam beberapa program dengan masing-masing program memiliki
cakupan kegiatan masing-masing. Beberapa program tersebut:
1. Program Kesehatan Lingkungan
2. Program KIA dan Keluarga Berencana
3. Program Promosi Kesehatan
4. Program Gizi
5. Program Pencegahan Penyakit Menular (P2M)
6. Program Keperawatan Kesehatan Masyarakat
7. Program Kesehatan Jiwa
8. Program Pelayanan Kesehatan Gigi
9. Program Penyakit Tidak Menular
10. Program Kesehatan Olahraga
11. Program Kesehatan Lansia
12. Program Keselamatan Kerja
34

B. Hasil Penelitian
Hasil penelitian tentang hubungan perilaku merokok dengan terjadinya
penyakit ISPA pada balita dari 85 responden yang dilakukan di Puskesmas
Donggala pada bulan Agustus tahun 2018 dianalisis secara univariat dan
analisis bivariat yaitu sebagai berikut :
1. Analisis Univariat
Pada penelitian ini, hasil analisis univariat akan menggambarkan
variabel independen perilaku merokok serta variabel dependen yaitu
kejadian ISPA pada balita.
a. Perilaku Merokok
Gambaran distribusi responden menurut perilaku merokok dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Perilaku Merokok di
Puskesmas Donggala
No. Perilaku Merokok Frekuensi Persen (%)
(f)
1. Menjadi Perokok pasif 76 89,4
2. Bukan perokok pasif 9 10,6
Jumlah 85 100
Sumber: Data Primer Tahun 2018
Pada tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari 85 responden, balita yang
menjadi perokok pasif lebih besar jumlahnya yaitu 76 responden
(89,4%), sedangkan balita yang bukan perokok pasif yaitu 9 responden
(10,6%).

b. Kejadian ISPA Pada Balita


Untuk memperoleh gambaran distribusi menurut kejadian ISPA
pada balita dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian ISPA Pada Balita
di Puskesmas Donggala
35

No. Kejadian ISPA Pada Balita Frekuensi %


1. Pernah menderita ISPA 83 97,6
2. Tidak pernah menderita ISPA 2 2,4
Jumlah 85 100
Sumber: Data Primer Tahun 2018
Pada tabel 4.2 terlihat bahwa dari 85 responden, balita yang pernah
menderita ISPA lebih besar jumlahnya yaitu 83 responden (97,6%),
sedangkan balita yang tidak pernah menderita ISPA yaitu 2 responden
(2,4%).

2. Analisis Bivariat
Dalam penelitian ini, hasil analisis bivariat dilakukan untuk memberi
gambaran hubungan antara variabel indepenen dan variabel dependen. Pada
penelitian ini digunakan uji statiatik Chi-square dengan tingkat kemaknaan
95%. Pada analisis bivariat ini dilakukan pengujian untuk melihat hubungan
perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga yang tinggal serumah
dengan kejadian ISPA pada balita yang dapat diuraikan sebagai berikut:

Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Perilaku Merokok Dengan


Kejadian ISPA Pada Balita Di Puskesmas Donggala

Terjadinya Penyakit ISPA


Perilaku Pada Balita Total P OR
Merokok Menderita Tidak n Value (95%)
ISPA Menderita ISPA
n % n %
Menjadi 76 100 0 0 76 0,000 1,286
Perokok Pasif (0.907-
Bukan 7 77,8 2 22,2 9 1.823)
Perokok Pasif
Total 83 97,6 2 2,4 85
36

Sumber: Data Primer Tahun 2017

Pada tabel 4.3 di atas dapat dilihat bahwa balita yang menderita
penyakit ISPA banyak terjadi pada anak yang menjadi perokok pasif yaitu
100%, sedangkan balita yang menderita penyakit ISPA pada balita yang
bukan perokok pasif yaitu 77,8%.
Hasil uji statistic Chi Square didapatkan nilai p=0,000 (p Value
<0,05), ini berarti secara statistik ada hubungan perilaku merokok dengan
terjadinya penyakit ISPA pada balita (H0 ditolak). Dengan nilai Odd Ratio
(OR) 1,286 berarti ISPA pada anak berpeluang 1,286 kali terjadi pada anak
yang menjadi perokok pasif dibandingkan dengan anak yang bukan perokok
pasif.

BAB V

PEMBAHASAN

A. Analisis Univariat
1. Perilaku Merokok
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 85 responden, balita yang
menjadi perokok pasif lebih besar jumlahnya dari pada balita yang bukan
37

perokok pasif. Artinya sebagian besar balita menjadi perokok pasif. Hal ini
terjadi karena balita besar di lingkungan orang yang merokok dan hal ini
sangat berbahaya bagi kesehatan anak.
Menurut asumsi peneliti anak yang tinggal serumah dengan orang
yang merokok sangat berbahaya karena asap rokok dari orang tua atau
penghuni rumah yang satu atap dengan balita merupakan bahan pencemaran
dalam ruang tempat tinggal yang serius serta akan menambah resiko
kesakitan dari bahan toksik pada anak-anak. Paparan yang terus-menerus
akan menimbulkan gangguan pernapasan terutama memperberat timbulnya
infeksi saluran pernafasan akut dan gangguan paru-paru pada saat dewasa.
Semakin banyak rokok yang dihisap oleh keluarga semakin besar
memberikan resiko terhadap kejadian ISPA.
Sejalan dengan analisis WHO (Tawbariah et al., 2008) yang
menunjukkan bahwa efek buruk asap rokok lebih besar bagi perokok pasif
dibandingkan perokok aktif. Ketika perokok membakar sebatang rokok dan
menghisapnya, asap yang diisap oleh perokok disebut asap utama
(mainstream), dan asap yang keluar dari ujung rokok (bagian yang terbakar)
dinamakan sidestream smoke atau asap samping. Asap samping ini terbukti
mengandung lebih banyak hasil pembakaran tembakau dibanding asap
utama. Asap ini mengandung karbon monoksida 5 kali lebih besar, tar dan
nikotin 3 kali lipat, ammonia 46 kali lipat, nikel 3 kali lipat, nitrosamine
sebagai penyebab kanker kadarnya mencapai 50 kali lebih besar pada asap
sampingan disbanding dengan kadar asap utama.

2. Penyakit ISPA Pada Balita


Hasil penelitian menunjukkan bahwa 85 responden, balita yang
pernah menderita ISPA lebih besar jumlahnya dari pada balita yang tidak
pernah menderita ISPA. Menurut asumsi peneliti jumlah balita yang
menderita ISPA cukup tinggi dan hal ini kurang baik karena menderita ISPA
pada balita akan mempengaruhi kesehatan sepanjang hidupnya.
38

Sejalan dengan pendapat Djojodibroto (2009), yang mengatakan


bahwa penyakit ISPA adalah suatu penyakit yang terbanyak diderita oleh
anak-anak, baik di negara berkembang maupun di negara maju dan banyak
dari mereka perlu masuk rumah sakit karena penyakitnya cukup gawat.
Penyakit-penyakit saluran pernapasan pada masa bayi dan anak-anak dapat
pula memberi kecacatan sampai pada masa dewasa. Penyakit ISPA ringan
dapat berkembang menjadi ISPA sedang atau ISPA berat jika keadaan
memungkinkan misalnya pasien kurang mendapatkan perawatan atau daya
tahan tubuh pasien sangat kurang. Oleh karena pengetahuan sangat penting
dalam upaya mencegah terjadinya komplikasi penyakit ISPA.

B. Analisis Bivariat
Hubungan Perokok Pasif Dengan Terjadinya Penyakit ISPA Pada Bayi
Berdasarkan hasil uji statistic Chi Square didapatkan nilai p=0,000 (p
Value <0,05), ini berarti secara statistik ada hubungan perilaku merokok dengan
kejadian ISPA pada balita. ISPA pada balita lebih banyak terjadi pada balita
yang menjadi perokok pasif dibandingkan dengan balita yang bukan perokok
pasif.
Menurut asumsi peneliti hal ini terjadi karena kebiasaan merokok orang
tua di dalam rumah menjadikan balita sebagai perokok pasif yang selalu
terpapar asap rokok. Rumah yang orang tuanya mempunyai kebiasaan merokok
berpeluang meningkatkan kejadian ISPA. Faktor perilaku keluarga yang bisa
menyebabkan kejadian ISPA pada balita.
Sejalan dengan pendapat Yusup (2005) yang mengatakan bahwa asap
rokok dapat mengganggu saluran pernafasan bahkan meningkatkan penyakit
infeksi pernafasan termasuk ISPA, terutama pada kelompok umur balita yang
memiliki daya tahan tubuh masih lemah, sehingga bila ada paparan asap, maka
balita lebih cepat terganggu sistem pernafasannya seperti ISPA. Kebiasaan
merokok di dalam rumah dapat meningkatkan resiko terjadinya ISPA 2,2 kali.
Didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cahyaningtias
(2015), menunjukkan bahwa ada hubungan antara perilaku merokok orang tua
39

terhadap kejadian ISPA pada anak. Hal ini menunjukan dengan semakin berat
perilaku merokok orangtua maka semakin besar potensi anak balitanya
menderita ISPA. Adapun menurut Kemenkes RI (2012) balita yang menempati
rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko untuk
terjadinya ISPA sebesar 2,7 kali dibandingkan dengan balita yang menempati
rumah dengan ventilasi yang memenuhi syarat. Hal ini sejalan dengan pendapat
Milo et al. (2015) bahwa kebiasaan merokok orang tua di dalam rumah
menjadikan balita sebagai perokok pasif yang selalu terpapar asap rokok.
Rumah yang orang tuanya mempunyai kebiasaan merokok berpeluang
meningkatkan kejadian ISPA sebesar 7,83 kali dibandingkan dengan rumah
balita yang orang tuanya tidak merokok di dalam rumah.

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan
40

1. Terdapat bahwa dari 85 responden, balita yang menjadi perokok pasif lebih
besar jumlahnya yaitu 76 responden (89,4%), sedangkan balita yang bukan
perokok pasif yaitu 9 responden (10,6%).
2. Terdapat bahwa dari 85 responden, balita yang pernah menderita ISPA lebih
besar jumlahnya yaitu 83 responden (97,6%), sedangkan balita yang tidak
pernah menderita ISPA yaitu 2 responden (2,4%).
3. Berdasarkan hasil uji statistic Chi Square didapatkan nilai p=0,000 (p Value
<0,05), ini berarti secara statistik ada hubungan perilaku merokok dengan
terjadinya penyakit ISPA pada balita (H0 ditolak). Dengan nilai Odd Ratio
(OR) 1,286. Berarti ISPA pada anak berpeluang 1,286 kali terjadi pada anak
yang menjadi perokok pasif dibandingkan dengan anak yang bukan perokok
pasif.

B. Saran
1. Bagi Puskesmas Donggala Kecamatan Banawa
Perlu ditingkatkan mengenai program penanggulangan penyakit ISPA yang
dapat bekerja sama dengan beberapa lintas program agar dapat melakukan
promosi kesehatan mengenai bahaya rokok terhadap balita agar dapat
mencegah kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Donggala.
2. Bagi Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako
Penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan untuk penelitian selanjutnya yang
berhubungan dengan penyakit ISPA.
3. Bagi Masyarakat
Masyarakat diharapkan dapat berperan serta untuk mewujudkan lingkungan
sehat bagi anak-anak terutama lingkungan yang terbebas akan asap rokok,
sehingga kejadian ISPA dapat berkurang.

DAFTAR PUSTAKA

Andriani, Defita, 2014. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu Terhadap Kejadian
ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tigo Baleh Bukit Tinggi Tahun
2014. Jurnal Publikasi. Bukit Tinggi.
41

Anggraini, F.D. 2013. Hubungan Larangan Merokok di Tempat Kerja dan Tahapan
Smoking Cessation Terhadap Intensitas Merokok pada Kepala Keluarga di
Kelurahan Labuhan Ratu Raya Kota Bandar Lampung Tahun 2013. (Skripsi).
Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Cahyaningtias, 2015. Hubungan Perilaku Merokok Anggota Keluarga dengan


Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Kampung
Nelayan Muara Angke Kelurahan Pluit – Jakarta Utara. Skripsi. Jakarta.

Djojodibroto, D., 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). EGC, Jakarta.

Hidayat, A. A., 2011. Metode Penelitian Kesehatan dan Tehnik Analisis Data.
Salemba Medika, Jakarta.

Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011. Pedoman Pelayanan Medis Edisi II. Ikatan
Dokter Anak Indonesia, Jakarta.

KBBI, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2012. Pedoman Pengendalian Infeksi


Saluran Pernafasan Akut. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, Jakarta.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan


Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta.

Milo et al., 2015. Hubungan Kebiasaan Merokok di Dalam Rumah Dengan


Kejadian ISPA pada Anak Umur 1-5 Tahun di Puskesmas Sario Kota Manado.
Universitas Samratulangi E-journal Keperawatan (e-Kp), Volume 3 Nomor 2.
Manado.

Muhibah, F.A.B. 2011. Tingkat Pengetahuan Pelajar Sekolah Menengah Sains


Hulu Selangor Mengenaik Efek Rokok Terhadap Kesehatan. (KTI).
Universitas Sumatera Utara. Medan

Notoatmodjo, S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta,


Jakarta.

Nursalam, 2014. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan. Salemba Medika, Jakarta.

Puskesmas Donggala, 2018. Profil Kesehatan Puskesmas Donggala. Puskesmas


Donggala, Kabupaten Donggala.

Rahmayatul, 2013. Hubungan Lingkungan Dalam Rumah Terhadap ISPA Pada


Balita Di Kelurahan Ciputat Kota Rangerang Selatan Tahun 2013. Karya
Tulis Ilmiah. Jakarta.
42

Setiati, S. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Interna Publishing,
Jakarta.

Setiawan, A., 2011. Metodologi Penelitian Kebidanan. Mulia Medika. Yogyakarta.

Susiyarlin, 2005. Tumbuh Kembang Anak. EGC, Jakarta.

Tanto C., 2016. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius, Jakarta.

Tawbariah, L., Apriliana, E., Wintoko, R., Sukohar, A., 2014. The Corelation of
Consuming Cigarette with Blood Pressure of The Society in Pasaran Island
Kota Karang Village East Teluk Betung Sub-District Bandar Lampung.
Medical Journal Of Lampung University. Vol 3.

Widoyono. D.M, 2011. Penyakit Tropis. Airlangga, Jakarta.

Wijaya, Bahar, 2014. Hubungan Kebiasaan Merokok, Imunisasi dengan Kejadian


Penyakit Pneumonia pada Balita di Puskesmas Pabuaran Tumpeng Kota
Tangerang. Forum Ilmiah, Volume 11. Jakarta.

Wijayaningsih. K.S, 2013. Asuhan Keperawatan Anak. CV Trans Info Media.


Jakarta.

Yusup, N.A., Sulistyorini, L., 2005. Hubungan Sanitasi Rumah Secara Fisik
dengan Kejadian ISPA pada Anak Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai