APPENDISITIS
Nim: 2114201009
BAB I
PENDAHULUAN
Appendisitis merupakan penyakit yang menjadi perhatian oleh karena angka kejadian appendisitis
tinggi di setiap negara. Resiko perkembangan appendisitis bisa seumur hidup sehingga memerlukan
tindakan pembedahan.
Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun
jarang dilaporkan. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insiden
pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun insiden laki-laki
lebih tinggi.
Keluhan appendisitis biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus
yang disertai dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, yang akan
menetap dan diperberat bila berjalan. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise, dan demam yang
tidak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi, tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual, dan
muntah. Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap. Namun
dalam beberapa jam nyeri abdomen bawah akan semakin progresif, dan dengan pemeriksaan seksama
akan dapat ditunjukkan satu titik dengan nyeri maksimal. Perkusi ringan pada kuadran kanan bawah
dapat membantu menentukan lokasi nyeri. Nyeri lepas dan spasme biasanya juga muncul.
Appendisitis yang tidak segera ditatalaksana akan menimbulkan komplikasi. Salah satu
komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi. Perforasi terjadi 24 jam setelah timbul nyeri.
Gejalanya mencakup demam dengan suhu 37,7°C atau lebih tinggi, dan nyeri abdomen atau nyeri
tekan abdomen yang kontinyu.
World Health Organization (WHO) menyebutkan insiden appendisitis di dunia tahun 2012
mencapai 7% dari keseluruhan jumlah penduduk dunia (Ambarwati, 2017) . Di Asia insidensi
appendisitis pada tahun 2013 adalah 4,8% penduduk dari total populasi. Sedangkan dari hasil Survey
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia pada tahun 2013 jumlah penderita appendisitis di
Indonesia mencapai 591.819 orang dan meningkat pada tahun 2014 sebesar 596.132 orang (Soewito,
2017).
Dampak dari appendisitis terhadap kebutuhan dasar manusia diantaranya kebutuhan dasar cairan,
karena penderita mengalami demam tinggi sehingga pemenuhan cairan berkurang. Kebutuhan dasar
nutrisi berkurang karena klien appendisitis mengalami mual, muntah, dan tidak nafsu makan.
Kebutuhan rasa nyaman penderita mengalami nyeri pada abdomen karena peradangan yang dialami
dan personal hygine terganggu karena penderita mengalami kelemahan. Kebutuhan rasa aman,
penderita mengalami kecemasan karena penyakit yang di deritanya dan bila tidak terawat, angka
kematian cukup tinggi dikarenakan oleh peritonitis dan syok ketika umbai cacing yang terinfeksi
hancur
BAB II
LANDASAN TEORI
1. DEFINISI
Appendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat
sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai
cacing yang terinfeksi.
2. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya appendiksitis menurut (Wijaya &Putri, 2013) disebabkan oleh beberapa factor sebagai
berikut: 1. Ulserasi pada mukosa 13 2. Obstruksi pada kolon oleh fecalit (feses yang keras) 3. Pemberian barium
4. Berbagai macam penyakit cacing 5. Tumor 6. Striktur karena fibrosa pada dinding usus Penyebab lain dari
appendiksitis akut disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang bakteria yang dicetuskan oleh
beberapa factor pencetus diantaranya hiperplassia jaringan limfe, fekalith, tumor appendiks, dan cacing aksaris
yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. Namun ada beberapa
factor yang mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya sebagai berikut:
1. Faktor sumbatan Factor obstruksi merupakan factor yang terpenting terjadinya appendiksitis 90% yang
diikuti oleh factor infeksi.Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan lymphoid sub mukosa,
35% karena statis fekal 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasite dan
cacing.Obstruksi yang disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendiksitis akut.
Diantaranya 65% pada kasus appendiksitis akut ganggrenosa tanpa rupture dan 90% pada kasus appendiksitis
akut dengan rupture.
2. Faktor Bakteri Infeksi bakteri merupakan factor phatogenesis primer pada appendiksitis akut.Adanya
fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi 14
peningkatan stagnasi fase dalam lumen appendiks. Pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah
kombinasi antara bacteriodes fragilis dan E.colli lalu splanchius, lacto-bacilus, pseudomonas, bacteriodes
splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob lebih
dari 10%
3. Kecenderungan familiar Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari organ,
appendiksitis yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah keluarga terutama
dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.
4. Factor ras dan diet Factor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makan sehari hari.Bangsa kulit
putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari Negara yang pola makannya
banyak serat.Namun saat sekarang kejadiannya kebalik.Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke
pola makan yang tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola
makan yang rendah serat, memiliki resiko appendiksitis yang lebih tinggi
disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa factor pencetus
diantaranya hiperplassia jaringan limfe, fekalith, tumor appendiks, dan cacing aksaris yang menyumbat. Ulserasi
mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. Namun ada beberapa factor yang mempermudah
terjadinya radang apendiks, diantaranya sebagai berikut:
1. Faktor sumbatan Factor obstruksi merupakan factor yang terpenting terjadinya appendiksitis 90% yang
diikuti oleh factor infeksi.Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan lymphoid sub mukosa,
35% karena statis fekal 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasite dan
cacing.Obstruksi yang disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendiksitis akut.
Diantaranya 65% pada kasus appendiksitis akut ganggrenosa tanpa rupture dan 90% pada kasus appendiksitis
akut dengan rupture.
2. Faktor Bakteri Infeksi bakteri merupakan factor phatogenesis primer pada appendiksitis akut.Adanya
fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi 14
peningkatan stagnasi fase dalam lumen appendiks. Pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah
kombinasi antara bacteriodes fragilis dan E.colli lalu splanchius, lacto-bacilus, pseudomonas, bacteriodes
splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob lebih
dari 10%
3. Kecenderungan familiar Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari organ,
appendiksitis yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah keluarga terutama
dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen. 4. Factor
ras dan diet Factor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makan seharihari.Bangsa kulit putih yang
dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari Negara yang pola makannya banyak
serat.Namun saat sekarang kejadiannya kebalik.Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola
makan yang tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola
makan yang rendah serat, memiliki resiko appendiksitis yang lebih tinggi
• Perut kembung
• Mual dan muntah
• Demam dan menggigil
• Hilang nafsu makan
• Tidak bisa buang gas atau kentut
• Sembelit (konstipasi)
• Diare
4. KLASIFIKASI APPENDISITIS
Klasifikasi apendisitis dapat dibagi menjadi lima berdasarkan gejala dan penyebab. Klasifikasinya
yaitu apendisitis akut, apendisitis perforata, apendisitis rekurens, apendisitis kronik, dan mukokel
apendiks (Sjamsuhidayat, 2010).
1. Apendisitis akut terjadi karena peradangan mendadak pada umbai cacing yang memberikan
tanda setempat. Gejalanya nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah
epigastrium disekitar umbilikus. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney, disini
nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
Sering disertai mual, muntah dan nafsu makan berkurang.
2. Apendistis Perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren yang menyebabkan pus
masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum.
3. Apendisitis rekurens dapat didiagnosa jika adanya riwayat serangan nyeri berulang di perut
kanan bawah yang mendorong dilakukannya apendektomi dan hasil patologi menunjukkan
peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan.
Pada apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi karena penderita sering mengalami
serangan akut.
4. Apendisitis kronik dapat menegakkan diagnosa jika ditemukan adanya riwayat nyeri perut
kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik.
Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan
parsial.
5. PATOFISIOLOGI
5. Tumor 6. Striktur karena fibrosa pada dinding usus Penyebab lain dari appendiksitis akut
disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang bakteria yang dicetuskan oleh
beberapa factor pencetus diantaranya hiperplassia jaringan limfe, fekalith, tumor appendiks,
dan cacing aksaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari
kebanyakan penyakit ini. Namun ada beberapa factor yang mempermudah terjadinya radang
apendiks, diantaranya sebagai berikut:
6. KOMPLIKASI
a. Abses
Abses merupakan peradangan apendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di
kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mulamula berupa flegmon dan
berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi apabila appendisitis
gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum. Operasi appendektomi untuk kondisi
abses apendiks dapat dilakukan secara dini (appendektomi dini) maupun tertunda
(appendektomi interval). Appendektomi dini merupakan appendektomi yang dilakukan segera
atau beberapa hari setelah kedatangan klien di rumah sakit. Sedangkan appendektomi interval
merupakan appendektomi yang dilakukan setelah terapi konservatif awal, berupa pemberian
antibiotika intravena selama beberapa minggu.
b. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya apendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke
rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat
tajam sesudah 24 jam.Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran
klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,5° C, tampak toksik, nyeri
tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama Polymorphonuclear (PMN). Perforasi baik
berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan terjadinya peritonitis.
Perforasi memerlukan pertolongan medis segera untuk membatasi 19 pergerakan lebih lanjut
atau kebocoran dari isi lambung ke rongga perut. Mengatasi peritonitis dapat dilakukan oprasi
untuk memperbaiki perforasi, mengatasi sumber infeksi, atau dalam beberapa kasus
mengangkat bagian dari organ yang terpengaruh. c. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum. Bila infeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum dapat menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oliguria. Peritonitis disertai rasa sakit
perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis. Penderita
peritonitis akan disarankan untuk menjalani rawat inap di rumah sakit. Beberapa penanganan
bagi penderita peritonitis adalah:
1) Pemberian obat-obatan. Penderita akan diberikan antibiotik suntik atau obat antijamur
bila dicurigai penyebabnya adalah infeksi jamur, untuk mengobati serta mencegah infeksi
menyebar ke seluruh tubuh. Jangka waktu pengobatan akan disesuaikan dengan tingkat
keparahan yang dialami klien.
Anda sering membeli makanan kaleng atau makanan yang diawetkan? Segala jenis makanan kalengan baik itu
daging, ikan, atau buah sebenarnya tidak baik bagi kesehatan usus. Proses pengemasan makanan tersebut belum
tentu selalu higienis meski menggunakan teknologi mesin. Makanan kalengan juga memiliki kandungan gizi
yang lebih rendah daripada makanan segar. Sebaiknya selain melihat faktor kepraktisan makanan tersebut, perlu
anda perhatikan juga faktor kesehatannya.
2. Daging unggas
Unggas yang dijual di pasaran biasanya berasal dari peternakan besar yang memang berorientasi keuntungan.
Unggas-unggas ini sebenarnya banyak yang belum sampai pada umur untuk dikonsumsi. Namun para pengusaha
menggunakan vaksin agar unggas terlihat cukup besar dan laku di pasaran. Daging unggas yang telah dipotong
pun terlihat baik-baik saja. Namun ternyata vaksin yang dimasukkan ke dalam tubuh unggas dapat
membahayakan bagi usus karena dapat merusak dinding usus dan mengakibatkan peradangan. Sebaiknya anda
waspada dalam membeli daging unggas, termasuk ayam dan bebek.
Segala jenis makanan yang dibakar, baik sate, seafood, atau daging, mengandung arang yang didapat dari proses
pengolahannya. Arang yang masuk ke dalam pencernaan, dapat melukai usus dan menyebabkan peradangan.
Selain itu, makanan yang dibakar dengan tidak memperhatikan kebersihan, menjadi tidak higienis. Selain arang,
makanan tersebut bisa saja terkontaminasi debu, kuman, atau bakteri yang tentu tidak baik bagi kesehatan
pencernaan.
Anda penyuka rasa pedas? Rasa pedas memang menggugah selera dan menambah nafsu makan. Namun
ternyata, selain membahayakan untuk penyakit maag, ternyata makanan pedas juga tidak baik bagi usus buntu.
Jika di dalam usus terjadi peradangan atau luka, makanan yang pedas dapat memperburuk kondisi tersebut
karena sistem pencernaan merasakan panas. Biji cabai terkadang juga tidak dapat dicerna dengan baik oleh
pencernaan kita sehingga dapat menyumbat usus.
Seringkali waktu kecil kita diperingatkan oleh orang tua ketika memakan jambu biji agar membuang bijinya atau
mengunyahnya hingga halus karena dapat menyebabkan sakit usus buntu. Ternyata hal tersebut memang benar.
Anda perlu waspada ketika mengonsumsi jambu biji. Biji jambu yang tidak tergiling halus oleh gigi, akan sulit
dicerna oleh sistem pencernaan. Ketika sampai ke usus, biji tersebut akan dapat menyumbat usus sehingga dapat
terjadi peradangan, konstipasi atau hal lain yang dapat membahayakan kesehatan usus.
Biji labu dan biji bunga matahari atau sering disebut kwaci, tidak berbahaya untuk dikonsumsi jika anda tidak
lupa untuk mengupas kulitnya. Anak-anak yang mungkin sering memakan jenis makanan ini dengan tidak
hatihati sehingga kulit bijinya ikut tertelan. Kulit biji kwaci tidak dapat dicerna dengan baik oleh sistem
pencernaan kita sehingga dapat menjadi penyebab usus tersumbat.
BAB III
KERANGKA KONSEP
BAB VI
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian iniadalah analitik observasional menggunakan desain Case control yang melibatkan 70 pasien
apendiksitis di RSUD Dr H. Chasan Boesirie Ternate yang dipilih secara
purposivesamplingyangdibagimenjadi2 kelompok yakni 35 pasien sebagai kelom pok kasus dan 35
pasien sebagai kelompokkontrol.
Variable penelitian dalam penelitian initerdiriatas dependen variable yakni kejadian apendiksitis dan
kedua adalah independen variable yaknipola makan. Semua variable diukur menggunakan
kuesioner.Variable kejadian apendiksitis terdiriatas 5 pertanyaan menggunakan skala gutman
sedangkan variable pola makan terdiri atas 10 pertanyaan menggunakan skala gutman.
Pengumpulan data dilakukan secara langsung oleh peneliti kepada pasien sebagai responden
penelitian.Sebelum pengumpulan data, peneliti menjelaskan tentang prosedur penelitian kepada
pasien sebagai bentuk informed consent kemudian pasien menandatangani surat pernyataan ikut
sebagai responden penelitian.
AnalisisdatamenggunakanujiOdds Ratio disebabkan data penelitian adalah kategorikal.Variable yang
memiliki p-value <0,05 dianggap signifikan.
Analisis data menggunakan aplikasi SPSS versi 16.0
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada table 1menunjukkan bahwa pada kelompok kasus dan kontrol, mayoritas responden memiliki
jenis kelamin laki-laki sebanyak 21 pasien (60%),berusia mayoritas15-25tahun dan 26-45tahun
masing-masing sebanyak 13 pasien(37,2%)
Pada table 2menunjukkan bahwa pada kelompok kasus, mayoritas memiliki frekuensi makan
<3x/hari sebanyak 19
pasien (54,2%),jenis menu sehari-hari mayoritas nasi+lauk/sayursebanyak 24pasien (68,6%),
konsumsi sayur per minggumayoritas<7x/minggusebanyak23 pasien (65,7%),konsumsi fast food
mayoritas ≥4x/bulan serbulan sebanyak 21 pasien(60%),konsumsi mie instant mayoritas ≥4x/bulan
perbulan sebanyak 28pasien(80%).
Pada kelompok kontrol,mayoritas memiliki frekuensi makan ≥3x /hari sebanyak27pasien(77,1%),
jenis menu sehari-hari mayoritas nasi+lauk/sayur/buah sebanyak 18 pasien (51,4%),konsumsi sayur
perminggu mayoritas≥7x /minggu sebanyak 20 pasien (57,1%),konsumsi fast food
mayoritas<4x/bulan serbulan sebanyak22 pasien (62,9%),konsumsi mie instant mayoritas <4x/bulan
perbulan sebanyak 22 pasien (62,9%).
Pada tabel 3 menunjukkan bahwa dari 55 responden yang memiliki kurang baik, terdapat30 responden menderita
apendiksitis, kemudian dari 15 responden yang memiliki pola makan baik, terdapat10 responden yang tidak
menderita.Hasil uji statistic menunjukkan nilai OR=14,87,artinya bahwa seseorang yang memiliki pola makan
kurang baik berpeluang menderita 14 kali menderita apendiksitis.
BAB V
KESIMPULAN
Kebiasaan konsumsi makanan rendah serat erat kaitannya dengan peningkatan kejadian apendisitis karena dapat
menyebabkan terjadinya sumbatan pada lumen appendix. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis risiko pola
makan terhadap kejadian apendiksitis.
Terdapat perbedaannya antara pola makan pada kelompok kasus dan kelompok kontrol. Seseorang yang
memiliki pola makan kurang baik berpeluang menderita 14 kali menderita apendiksitis.
DAFTAR PUSTAKA
%20II.pdf http://repository.poltekkes-kdi.ac.id/1462/6/BAB%20V.pdf