Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

KONSEP DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DEWASA DENGAN


GANGGUAN SISTEM PERSEPSI-SENSORI
(KONJUNGTIVITIS, ENTROPION-EKSTROPION, HORDEOLUM)
Untuk Memenuhi Tugas Mata Perkuliahan Keperawatan Medikal Bedah III

Disusun Oleh :

Sri Defi Utari 20191420146015


Vira Putri Wijayanti 20191420146013

Prodi S1 Keperawatan

Dosen Pembimbing :
Ns Achmad Wahdi, S.Kep.,M.Tr.Kep

S1 KEPERAWATAN STIKES BAHRUL ULUM


TAMBAK-BERAS JOMBANG
2020-2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik dan benar tanpa kesulitan yang berarti makalah ini telah kami susun dengan
semaksimal mungkin sesuai dengan referensi yang kami dapatkan sehingga dapat membantu
kita semua agar dapat memahami isi materi dari makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tatabahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan saran dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah yang
kami buat ini.

Jombang, November 2021


DAFTAR ISI

Cover
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan
Manfaat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Dasar Medis Konjungtivitis
Konsep Dasar Medis Entropion-Ekstropion
Konsep Dasar Medis Hordeolum
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
Asuhan Keperawatan Konjungtivitis
Asuhan Keperawatan Entropion-Ekstropion
Asuhan Keperawatan Hordeolum
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Persepsi adalah proses diterimanya rangsang sampai rangsang tersebut disadari dan
dimengerti pengindraan atau sensasi. Gangguan persepsi adalah ketidakmampuan
manusia dalam membedakan antara rangsang timbul dari sumber internal (pikiran,
perasaan) dan stimulus eksternal (Dermawan dan Rusdi, 2013). Gangguan persepsi
sensori di antaranya merasakan sensasi berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan
tanpa stimulus nyata (Keliat, 2006).
Gangguan persepsi sensori merupakan perubahan persepsi terhadap ransangan yang
bersumber dari internal (pikiran, perasaan) maupun stimulus eksternal yang disertai
dengan respon yang berkurang, berlebihan, atau terdistorsi (SDKI, 2017).
Mata adalah organ penglihatan. Suatu struktur yang sangat khusus dan kompleks,
menerima dan mengirimkan data ke korteks serebral. Mata dapat terkena berbagai
kondisi diataranya bersifat primer sedang yang lain bersifat sekunder akibat kelainan
pada system organ tubuh lain. Kebanyakan kondisi tersebut dapat dicegah bila terdeteksi
awal, dapat dikontrol dan penglihatan dapat dipertahankan.
Infeksi adalah invasi dan pembiakan mikroorganisme pada jaringan tubuh, local
akibat kompetisi metabolisme, toksin, replikasi intraseluler/respon antigen antibody.
Inflamasi dan infeksi dapat terjadi pada beberapa struktur mata dan terhitung lebih dari
setengah kelainan mata. Kelainan-kelainan umum yang terjadi pada mata orang dewasa
meliputi: radang/inflamasi pada kelopak mata, konjungtiva, kornea, koroid, badan ciriary
dan iris, katarak, kekeruhan lensa, glaucoma, peningkatan tekanan dalam bola mata
(TIO), retina robek/lepas. Tetapi sebagian orang mengira penyakit radang mata/mata
merah hanya penyakit biasa cukup diberi tetes mata biasa sudah cukup. Padahal bila
penyakit radang mata tidak segera ditangani/diobati bisa menyebabkan kerusakan pada
mata/gangguan pada mata dan menimbulkan komplikasi seperti glaucoma, katarak,
maupun ablasi retina.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar medis Konjungtivitis?
2. Bagaimana konsep dasar medis Entropion-Ekstropion?
3. Bagaimana konsep dasar medis Hordeolum?
1.3 Tujuan
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Medis Konjungtivitis


A. Definisi
Konjungtivitis merupakan penyakit mata paling umum di dunia. Penyakit
konjungtivitis ini berada pada peringkat no.3 terbesar di dunia setelah penyakit
katarak dan glaukoma, khusus konjungtivitis penyebarannya sangat cepat. Penyakit
ini bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai berat dengan
sekret purulen kental. Konjungtivitis atau radang konjungtiva adalah radang selaput
lendir yang menutupi belakang kelopak dan bola mata yang dibedakan ke dalam
bentuk akut dan kronis. Konjungtivitis (pink eye) merupakan peradangan pada
konjungtiva (lapisan luar mata dan lapisan dalam kelopak mata) yang disebabkan
oleh mikro-organisme (virus, bakteri, jamur, chlamidia), alergi, iritasi dari bahan-
bahan kimia seperti terkena serpihan kaca yang debunya beterbangan sehingga
mengenai mata kita dan menyebabkan iritasi sedangkan konjungtivitis yang
disebabkan oleh mikroorganisme (terutama virus dan kuman atau campuran
keduanya) ditularkan melalui kontak dan udara (Ilyas, 2015).
Konjungtivitis merupakan penyakit paling umum yang terjadi di daerah tropis.
Penyakit ini sering disebut sebagai “mata merah muda” (Uguru dkk., 2019).
Konjungtivitis merupakan peradangan atau infeksi yang terjadi pada konjungtiva
(AAO, 2019).
B. Etiologi
Konjungtivitis dapat disebabkan oleh berbagai hal dan dapat bersifat infeksius
seperti:
a. Bakteri
b. Klamidia
c. Virus
d. Jamur
e. Parasit (oleh bahan iritatif => kimia, suhu, radiasi)
f. Maupun imunologi (pada reaksi alergi).
Menurut American Academy Of Ophthalmology (2019), konjungtivitis terjadi
akibat adanya infeksi konjungtiva. Hal ini menyebabkan dilatasi pembuluh darah
konjungtiva yang mengakibatkan hiperemia dan edema konjungtiva. Konjungtivitis
dapat dibagi menjadi penyebab infeksi dan non infeksi. Virus dan bakteri adalah
penyebab infeksi paling umum. Konjungtivitis non-infeksi meliputi konjungtivitis
alergi, toksik, serta peradangan sekunder. Penyebab konjungtivitis sekunder hingga
sistemik yaitu penyakit yang dimediasi kekebalan dan proses neoplastik (AAO,
2019).
C. Patofisiologi
Konjungtiva selalu berhubungan dengan dunia luar sehingga kemungkinan
terinfeksi dengan mikroorganisme sangat besar. Apabila ada mikroorganisme yang
dapat menembus pertahanan konjungtiva berupa tear film yang juga berfungsi untuk
melarutkan kotoran-kotoran dan bahan-bahan toksik melalui meatus nasi inferior
maka dapat terjadi konjungtivitas. Konjungtivitis merupakan penyakit mata eksternal
yang diderita oleh masyarakat, ada yang bersifat akut atau kronis. Gejala yang
muncul tergantung dari factor penyebab konjungtivitis dan factor berat ringannya
penyakit yang diderita oleh pasien. Pada konjungtivitis yang akut dan ringan akan
sembuh sendiri dalam waktu 2 minggu tanpa pengobatan. Namun ada juga yang
berlanjut menjadi kronis, dan bila tidak mendapat penanganan yang adekuat akan
menimbulkan kerusakan pada kornea mata atau komplikasi lain yang sifatnya local
atau sistemik. Konjungtiva karena lokasinya terpapar pada banyak mikroorganisme
dan factor lingkungan lain yang mengganggu. Beberapa mekanisme melindungi
permukaan mata dari substansi luar. Pada film air mata, unsure berairnya
mengencerkan materi infeksi, mucus menangkap debris dan kerja memompa dari
pelpebra secara tetap menghanyutkan air mata ke duktus air mata dan air mata
mengandung substansi antimikroba termasul lisozim. Adanya agen perusak,
menyebabkan cedera pada epitel konjungtiva yang diikuti edema epitel, kematian sel
dan eksfoliasi, hipertrofi epitel atau granuloma. Mungkin pula terdapat edema pada
stroma konjungtiva (kemosis) dan hipertrofi lapis limfoid stroma (pembentukan
folikel). Sel-sel radang bermigrasi dari stroma konjungtiva melalui epitel
kepermukaan. Sel-sel kemudian bergabung dengan fibrin dan mucus dari sel goblet,
embentuk eksudat konjungtiva yang menyebabkan perlengketan tepian palpebra saat
bangun tidur. Adanya peradangan pada konjungtiva ini menyebabkan dilatasi
pembuluhpembuluh konjungtiva posterior, menyebabkan hoperemi yang tampak
paling nyata pada forniks dan mengurang kearah limbus. Pada hiperemi konjungtiva
ini biasanya didapatkan pembengkakan dan hipertrofi papilla yang sering disertai
sensasi benda asing dan sensasi tergores, panas, atau gatal. Sensai ini merangsang
sekresi air mata. Transudasi ringan juga timbul dari pembuluh darah yang hyperemia
dan menambah jumlah air mata. Jika klien mengeluh sakit pada iris atau badan siliare
berarti kornea terkena.
D. Klasifikasi
Konjungtivitis diklasifikasikan menjadi empat berdasarkan penyebabnya
antara lain disebabkan oleh bakteri, virus, alergi, dan iritan (AAO, 2019) :
a. Konjungtivitis bakteri
Konjungtivitis bakteri yaitu konjungtivitis yang diakibatkan oleh bakteri.
Konjungtivitis bakteri ialah penyebab paling umum konjungtivitis infektif di
negara berkembang (Haq dkk., 2013). Gejala yang ditimbulkan yaitu adanya
mukosa purulen, hiperemia, edema kelopak mata, blefaritis dan bisa disertai
dengan keratitis. Konjungtivitis bakteri dapat menular ke orang lain melalui
cairan mata penderita konjungtivitis (Ilyas, 2017).
b. Konjungtivitis virus
Konjungtivitis virus disebabkan oleh adenovirus. Konjungtivitis virus yang
disebabkan oleh adenovirus sangat menular dan risiko penularan diperkirakan
10% hingga 50%. Konjungtivitis akibat adenovirus biasanya mereka
menghasilkan dua entitas klinis umum yang terkait dengan konjungtivitis virus
yaitu demam faringokonjungtiva dan keratokonjunctivitis epidemi. Demam
faringokonjungtiva ditandai oleh timbulnya demam tinggi, faringitis,
konjungtivitis bilateral mendadak, dan pembesaran kelenjar getah bening
periaurikular. Sedangkan keratokonjunctivitis epidemi lebih parah dan muncul
dengan keluarnya cairan, hiperemia, kemosis, dan limfadenopati ipsilateral
(AAO, 2019).
c. Konjungtivitis alergi
Konjungtivitis alergi adalah peradangan permukaan okular sebagai respon
terhadap alergen yang bersifat sementara atau persisten. Konjungtivitis alergi
merupakan bentuk respon hipersensitivitas tipe 1 yang disebabkan oleh alergen
berkontak dengan reseptor IgE pada permukaan sel mast. Hal ini menyebabkan
degranulasi histamin, leukotrien, protease, prostaglandin, sitokin, dan kemokin.
Semua zat ini menyebabkan kebocoran pembuluh darah sehingga mengakibatkan
infiltrasi sel eosinofil, neutrofil, dan edema seluler (AAO, 2019).
Konjungtivitis alergi biasanya terjadi pada orang yang menderita kondisi
alergi. konjungtivitis alergi disebabkan oleh sejumlah zat tertentu yang bersifat
alergen oleh individu. Alergen yang terlibat dalam penyakit ini antara lain debu,
serbuk sari, kosmetik, parfum. Jenis konjungtivitis ini sering melibatkan unsur
musiman dan lebih sering terjadi saat musim semi dan perubahan musim.
(Sahdev dkk., 2018).
d. Konjungtivitis Iritan
Konjungtivitis iritan adalah bentuk konjungtivitis yang disebabkan oleh
sumber eksternal. Sumber iritan tersebut dapat mempengaruhi konjungtiva dan
menyebabkan respon peradangan (AAO, 2019). Penyebab konjungtivitis iritan
antara lain akibat debu atau asap, produk sampo, dan air yang diklorinasi untuk
digunakan pada kolam renang. Sumber non eksternal paling umum yaitu bulu
mata yang terperangkap dan terus-menerus mengiritasi konjungtiva (Haq dkk,
2013).
E. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala khas yang sering dirasakan pada konjungtivitis bakteri
adalah mata merah, keluarnya purulen atau mukopurulen, dan penurunan
penglihatan. Selain itu, konjungtivitis bakteri sering didapatkan pembengkakan
kelopak mata, nyeri pada mata saat di palpasi, dan adenopati prearicular.
Konjungtivitis yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae membawa risiko tinggi
menyebabkan perforasi kornea (AAO, 2019).
Tanda dan gejala konjungtivitis virus yang disebabkan oleh adenovirus antara
lain demam faringokonjungtiva timbul dengan onset mendadak demam tinggi,
faringitis, konjungtivitis bilateral, dan pembesaran kelenjar getah bening
periauricular. Keratokonjungtivitis epidemi muncul lebih parah dengan keluarnya
cairan, atau membran pseudokonjungtiva, hiperemia, kemosis, dan limfadenopati
ipsilateral (AAO, 2019). Gejala khas yang sering dirasakan pada konjungtivitis alergi
adalah gatal. Infeksi virus akut dan alergi akut biasanya ditandai dengan keluarnya
sekret, sedangkan pada alergi kronis biasanya ditandai dengan mukoid. (Budiono et
al, 2012).
Tanda okular klasik dari peradangan alergi adalah pembengkakan kelopak
mata, konjungtiva kemerahan difus, pembengkakan ringan yang sering bergabung
memberikan warna merah muda, kehadiran ekskresi halus yang disebut papillae pada
konjungtiva tarsal. Tanda-tanda lain seperti dermatitis kulit kelopak mata, radang
margin kelopak mata (blepharitis), jaringan parut konjungtiva, dan keterlibatan
kornea hanya terjadi pada gangguan tertentu yang paling parah (AAO, 2019)
F. Komplikasi
Penyakit radang mata yang tidak segera ditangani/diobati bisa menyebabkan
kerusakan pada mata atau gangguan pada mata dan menimbulkan komplikasi.
Beberapa komplikasi dari konjungtivitis yang tidak tertangani diantaranya:
a. Glaukoma
b. Katarak
c. Ablasi retina
d. Komplikasi pada konjungtivitis katarak teronik merupakan segala penyulit dari
blefaritis seperti ekstropin, trikiasis.
e. Komplikasi pada konjungtivitis purulenta seringnya berupa ulkus kornea.
f. Komplikasi pada konjungtivitis membranasea dan pseudomembranasea adalah
bila sembuh akan meninggalkan jaringan parut yang tebal di kornea yang dapat
mengganggu penglihatan, lama- kelamaan orang bisa menjadi buta.
g. Komplikasi konjungtivitis vernal adalah pembentukan jaringan sikratik dapat
mengganggu penglihatan.
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan konjungtivitis menurut American Optometric Association antara
lain:
a. Pemeriksaan ketajaman visual
Konjungtivitis biasanya tidak secara signifikan mempengaruhi ketajaman
visual, kecuali dalam kasus keterlibatan kornea.
b. Pemeriksaan Neuro-Ophthalmic
Pemeriksaan ini dilakukan guna untuk mengecek respon pupil, visual
konfrontasi, dan motilitas ekstraokular karena beberapa gangguan mata yang
penting dapat menyamar sebagai konjungtivitis.
c. Pemeriksaan eksternal
Pemeriksaan ini untuk mengetahui bagaimana kondisi kelopak mata, bola
mata, konjungtiva dan limfadenopati regional.
d. Biomikroskopi
Biomikroskopi ini digunakan untuk melihat bagian kelopak mata, konjungtiva
bulbar, konjungtiva tarsal, kornea dan iris atau lensa mata.
e. Pemeriksaan fundus
Reflek fundus yang normal berwarna orange kemerahan tanpa ada bayangan
ataupun yang menghalangi didepannya.
H. Penatalaksanaan
Konjungtivitis dapat sembuh tergantung dengan faktor penyebabnya. Namun,
biasanya penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya. Penatalaksanaan
konjungtivitis dilaksanakan dengan terapi farmakologi dan non farmakologi (Sahoo
dkk., 2011).
a. Tatalaksana Farmakologi
Terapi yang dapat diberikan untuk menurunkan tigkat keparahan maupun
mencegah penularan yaitu:
1. Obat tetes mata Kloramfenikol 0,5%
2. Obat tetes mata Gentamicin 0,3%
3. Salep mata Tetrasiklin 1%
4. Obat tetes mata Iodoxamide 0,1%
5. Obat tetes mata cromolyn sodium
6. 4% Antihistamin (obat tetes mata secara oral)
7. Tetes mata steroid
b. Tatalaksana Non Farmakologi
Apabila konjungtivitis disebabkan oleh mikroorganisme, penderita
konjungtivitis dapat diajarkan tentang bagaimana cara penularan terhadap mata
yang sehat dan mata orang lain. Informasi yang diberikan seperti misalnya tidak
mengusap mata yang sakit dan kemudian menyentuh mata yang sehat, memakai
handuk atau tisu baru yang terpisah untuk membersihkan mata yang sakit. Terapi
non farmakologi biasanya dilakukan untuk mendukung terapi medis seperti
pengobatan suportif. Pengobatan suportif dapat dengan memberikan kompres
hangat dan lubrikan untuk meningkatkan kenyamanan dan mengurangi gejala
yang ditimbulkan (Vaughan dan Daniel, 2010).
I. Pencegahan Konjungtivitis
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara tidak menyentuh mata yang sehat
sesudah menyentuh mata yang sakit, segera mencuci mata setelah menyentuh mata
yang sakit, tidak berbagi handuk bersama orang lain, gunakan handuk atau tisu bersih
setiap akan membersihkan wajah dan mata, setelah menyentuh mata yang sakit
segera mencuci tangan agar tidak menularkan ke mata yang sehat dan tidak
menularkan kepada orang lain, jika sedang menggunakan lensa kontak pastikan
untuk selalu menjaga kebersihan lensa kontak sesuai dengan petunjuk dokter
spesialis mata, gunakan kacamata pelindung ketika berada diluar ruangan agar mata
terhindar dari sinar ultraviolet, debu dan iritan lainnya (AAO, 2019).
2.2 Konsep Dasar Medis Entropion-Ekstropion
2.2.1 Entropion
A. Definisi Entropion
Entropion adalah kelainan palpebra di mana terjadi pelipatan dari tepi palpebra
ke arah dalam bola mata. Entropion dapat menyebabkan bulu mata, tepi palpebra
dan kulit pada palpebra mengalami kontak dengan bola mata (Skuta GL, Cantor
LB, 2017). Gesekan terhadap kornea dapat memberikan gejala iritasi, rasa tidak
nyaman pada mata dan epifora, apabila berlangsung terus-menerus, maka dapat
menyebabkan komplikasi seperti keratitis mikroba, ulserasi kornea, formasi
pannus hingga kehilangan penglihatan (Pereira MGB, Rodrigues MA, 2010).
Entropion adalah suatu keadaan melipatnya kelopak mata bagian tepi atau
margo palpebra ke arah dalam sehingga bulu mata menggeser jaringan
konjungtiva dan kornea atau yang disebut sebagai trikiasis. Kalau yang terkena
kornea, maka terjadi iritasi kornea , dan dapat menjadi ulkus (Vaughan, Daniel G,
Taylor Asbury dan Paul Riordan Eva, 2010).
B. Etiologi
Terbentuknya jaringan parut yang terjadi pada trakoma, atau akibat mekanik
dan spasme otot orbikular terutama otot rioland pada spasme tertentu. Entropion
dapat akibat senilitas, sikatrik, dan lainnya. Kebanyakan kasus entropion terjadi
karena pengenduran jaringan kelopak mata sebagai akibat proses penuaan.
Beberapa kasus terjadi karena pembentukan jaringan parut pada permukaan
dalam kelopak mata akibat luka bakar kimia dan panas, peradangan atau reaksi
alergi. Kadang entropion merupakan bawaan lahir karena kelopak mata tidak
berbentuk secara sempurna.
C. Manifestasi Klinis
1. Air mata berlebihan
2. Mata merah dan teriritasi
3. Pergerakan kelopak mata dan keluarnya kotoran mata
4. Kesat atau terasa seperti berpasir
5. Nyeri ketika terpapar cahaya terang
6. Penglihatan buram
7. Sensivitas terhadap cahaya dan angin
8. Lendir debit dan pengerasan kulit kelopak mata
9. Kelopak mata defiasi ke dalam
10. Penurunan visi, terutama jika kornea rusak
11. Konjungtiva tampak meradang (konjungtiva bulbi merah)
12. Abrasi kornea karena gesekan dari bulumata sehingga kornea keruh atau
mungkin terjadi ulkus kornea.
D. Pemeriksaan Penunjang
Entropion dapat didiagnosis dengan pemeriksaan mata rutin dan pemeriksaan
fisik. Dokter mungkin menarik pada kelopak mata klien selama ujian, atau
meminta klien untuk menutup mata dengan tegas, untuk menilai posisi kelopak
mata klien di mana, serta otot dan sesak. Jika entropion disebabkan oleh jaringan
bekas luka atau oprasi sebelumnya, dokter akan memeriksa jaringan di sekitarnya
juga. Memahami bagaimana kondisi lainnya menyebabkan entropion adalah
penting dalam memilih perawatan yang benar atau Teknik bedah.
E. Penatalaksanaan
1. Entropion kongenital
Entropion kongenital dapat diperbaiki dengan pemasangan kembali
fasia kapsulopalpebra. Prosedur ini akan diuraikan pada bagian entropion
involusional, dan dilakukan untuk mengencangkan kelopak mata anak-anak
yang horizontal secara tidak serentak. Perbaikan epiblefaron diperlukan jika
bukti keratopati atau jika gejalanya simptomatik. Dalam banyak kasus, hal ini
dapat dilakukan tanpa harus mengangkat kulit. Goresan horizontal dibuat
1,5mm di bawah bulu mata, menyeberangi kelopak mata bawah. Sejumlah
kecil otot orbicularis pretarsal dipindahkan, agar perbatasan tarsal bawah
terbuka. Luka kemudian ditutup dengan cara memperkirakan kulit bagian atas
tetap mebingkai perbatasan tarsal bawah, kemudian tepi kulit bagian bawah
ditutup dengan jahitan 6.0 yang biasa.
2. Entropion spastik
Suntikam toksin botulinum selalu efektif untuk paralisi orbicularis.
Efek toksin botulinum bertahan hanya sekitar 3 bulan, tetapi entropion tidak
akan terulang walaupun efeknya menghilang.
3. Entropion involusional
a. Perbaiki fasia kapsulopalpebra
Pada prosedur perbaikan fascia kapsulopalpebra, setelah anestesi lokal,
dibuat goresan subsilar 2 mm di bawah luka dari bawah pungtum menuju
cabang sentral. Penutup kulit yang kecil disayat ke bawah di atas tarsus,
dan potongan otot orbikularis pretarsal disayat sampai batas tarsus.
Septum orbita digores dan dibuka, sehingga tepi fascia kapsulopalpebra
yang tipis dapat terlihat. Adanya bantalan inferior orbita memungkinkan
penutupan dengan empat buah jahitan. Potongan tarsal mengarah ke
samping menunjukkan kelemahan kelopak mata bawah dan sesuai dengan
ketegangan kelopak. Tiga jahitan dengan silk 6.0 digunakan untuk
menyambung kembali fascia kapsulopalpebra bawah dengan perbatasan
tarsal.
b. Jahitan quickert
Jika pasien yang mempunyai involusional entropion kurang mampu
dan tidak bisa melakukan pembedahan maka Teknik quickert atau tiga
jahitan dapat diguakan. Kelemahannya tingkat kekambuhan dengan
Teknik ini sangatlah tinggi. Jahitan tiga double-kromik 5-0 ditempatkan
horizontal 3mm melebar ke lateral, tengah, dan medial kelopak mata
bawah. Jahitan melewati forniks sampai batas di bawah perbatasan
inferior tarsal lalu keluar sampai kulit. Masing-masing jahitan
ditegangkan untuk koreksi.
4. Entropion sikatrik
Pada prosedur Wies (Gambar 4), anestesi lokal diberikan pada kelopak
mata dan insisi horizontal dibuat 4 mm dari kelopak sampai kulit dan
orbikularis. Dibuat atap marginal 2-4 mm dari garis tepi kelopak mata.
Kelopak kemudian diangkat, dan dalam hitungan detik dibuat insisi sampai
konjungtiva dan tarsus. Gunting Westcott atau Tenotomi digunakan untuk
memperluas blefarotom ke medial dan lateral melewati tarsus. Lalu dijahit
tiga double-armed  dengan silk 6-0 sampai tarsus, ke atas tarsus yang
kemudian keluar melalui kulit dekat bulu mata. Insisi ditutup dengan jahitan
6-0 biasa. Jahitan dan kasa penutup diangkat setelah 10-14 hari.
2.2.2 Ekstropion
A. Definisi Ekstropion
Ektropion adalah kelainan eversi dari kelopak mata (bawah) sehingga
konjungtiva terpapar ke dunia luar. Sumber lain juga mengatakan ektropion
adalah kelopak mata terbuka ke arah luar. Jadi, ektropion merupakan kelainan
posisi kelopak mata di mana tepi kelopak mata melebar atau mengarah ke luar
sehingga bagian dalam kelopak/konjungtiva tarsal berhubungan langsung dengan
dunia luar. Keadaan ini sering menyebabkan iritasi dan dapat membahayakan
integritas permukaan okular. Ektropion dapat terjadi secara kongenital tapi dapat
pula didapat sebagai akibat dari involusi, sikatriks, mekanis, atau proses paralisis.
B. Epidemiologi
Ektropion dapat terjadi pada semua umur tapi yang paling sering terjadi pada
orang dewasa tua. Biasanya terjadi pada palpebra inferior dan sering terjadi
kelemahan pada palpebra dan sekitarnya. Prevalensi yang paling sering adalah
ektropion senilis yaitu pada orang tua, frekuensinya lebih banyak pada laki-laki
dibanding perempuan karena pada laki-laki mempunyai tarsal plate lebih besar
daripada perempuan dan berjalan sesuai umur. Pada ektropion  paralisis dan
ektropion sikatrik prevalensi terjadinya sedikit. Ektropion kongenital sangat
jarang terjadi dan biasanya berhubungan dengan kelainan perkembangan dari
kelopak mata dan wajah seperti sindrom Franceschetti. Ektropion kongenital
dilaporkan ada 3 kasus dalam waktu 3 tahun, insiden tertinggi di Afrika.
Ektropion tidak terjadi pada palpebra inferior, tetapi telah ditemukan eversi
pada palpebra Superior pada sebagian penderita dengan multiple endokrine
neoplasia type 2B. Pada penderita sindrom kelopak mata yang lemah akan terjadi
eversi dari palpebra Superior secara spontan pada malam hari saat tidur dan
mudah juga untuk direposisi secara manual. Pada bayi baru lahir eversi pada
palpebra Superior hanya terjadi sementara lalu akan kembali seperti semula,
biasanya ini terjadi karena pemendekan dari Lamella anterior seperti
blefarofimosis sindrom dan kongenital iktiosis. Ektropion biasanya berhubungan
dengan epifora dan konjungtivitis kronis. Kasus yang berlangsung lama dapat
meningkatkan resiko keratopathy, dan hipertropi konjungtiva sekunder dan
keratinisasi.
C. Etiologi
Berdasarkan klasifikasinya dari frekuensi yang banyak terjadi, ektropion
disebabkan olehkelainan :
1. Ektropion involusional (senille)
Paling sering terjadi. Terjadi di palpebra inferior pada pasien orang tua,
perubahanusia berpengaruh pada kelainan ini. Karakteristik tipe ini adalah
pada horizontal palpebra lebih panjang dengan adanya kelemahan pre-tarsal
dari orbicularis. Ini biasanya berhubungan dengan kelemahan dari tendon
canthal medial dan lateral, yangdapat di coba secara klinis dengan cara
memberikan tanda pada dislokasi dari punctum bagian bawah daerah
temporal ketika kelopak di tarik ke arah lateral.
2. Ektropion paralisis (neurogenic)
Terjadi karena kelumpuhan nervus fasialis dengan hilangnya fungsi
dari M.Orbicularis oculi untuk menutup mata. Berbagai penyebabnya yaitu
Bell palsy, tumor cerebellopontine, herpes zoster opticus, dan infiltrasi atau
tumor kelenjar parotis.
3. Ektropion sikatrik
Terjadi karena bekas luka atau infeksi seperti wajah terbakar, trauma,
dermatitiskronik, eksisi kulit berlebihan (laser) dengan blefaroplasti.
Ektropion tidak ada setelah pengobatan fraktur orbita dengan cara
transkutaneus. Sedikit juga yang menyebabkanektropion sikatrik termasuk
limfoma kutaneus sel T.
4. Ektropion kongenital
Sangat jarang terjadi dan biasanya mengenai palpebra inferior.
Ektropion kongenitaldapat juga terjadi dengan sindrom blefarofimosis,
mikrofthalmos, bufthalmos, kistaorbita, sindrom down, dan iktiosis.
D. Klasifikasi
a. Ektropion Involusional/Senilis
Ektropion senilis adalah jenis ektropion yang paling umum dijumpai
pada usia lanjut dan hanya mengenai kelopak bagian bawah. Sumber lain
mengatakan bahwa ektropion involusional dapat terjadi bilateral. Jenis ini
diakibatkan kelemahan jaringan kelopak dan lemahnya tonus otot orbikularis.
b. Ektropion Sikatrikal
Ektropion sikatrikal jarang terjadi, diakibatkan oleh adanya skar atau
kontraktur pada kulit dan jaringan di bawahnya sehingga menyebabkan
tertariknya kelopak mata dan dapat mengenai satu atau kedua kelopak mata.
Penyebab yang paling sering terbentuknya jaringan parut pada kulit adalah
akibat terbakar api, bahan kimia, luka akibat trauma, dan ulkus.
c. Ektropion Paralisis
Ektropion paralisis jarang terjadi, hal ini terjadi akibat paralisis dari
nervus ketujuh yang berhubugan dengan dengan retraksi kelopak mata dan
bawah. Terutama mengenai bagian bawah kelopak mata. Dimana akhirnya
akan menyebabkan penyempitan celah palpebra Penyebab kelemahan saraf
ini diantaranya adalah Bell’s palsy, trauma kepala, dan infeksi telinga tengah.
d. Ektropion Mekanis
Ektropion mekanis jarang terjadi, diakibatkan oleh massa atau tumor
sehingga menyebabkan kelopak mata bawah tertarik ke bawah atau terdorong
ke luar dan kebawah.
e. Ektropion Kongenital
Ektropion kongenital merupakan keadaan yang jarang ditemukan,
namun bisanya terjadi pada Down syndrome dan Bleharophimosis syndrome.
Ektropion kongenital ini dapat terjadi pada kedua kelopak mata atas dan
bawah. Chlamydia trachomatis merupakan penyebab ektropion kongenital.
f. Ektropion Spastik
Ektropion spastik sangat jarang ditemukan, namun biasanya ditemukan
pada anak- anak dan dewasa muda akibat dari spasme otot orbicularis.
E. Gejala Klinis
a. Ektropion Involusional
Ektropion involusional memiliki gejala yang khas dan tidak khas.
Gejala khas ektropion involusional adalah apabila kelopak mata bawah ditarik
menjauhi letaknya maka kelopak tidak dapat kembali ke tempat semula.
Gejala tidak khas yang paling sering adalah ektropia,iritasi mata, mata
kemerahan, epifora, infeksi mata berulang, kelopak mata terbalik ke arah luar
serta iritasi konjungtiva (keratitis).
b. Ektropion Sikatrik
Gejala dari ektropion berupa jaringan parut sehingga kulit di sekitar
kelopak mata tidak elastis. Hal ini bisa disebabkan oleh trauma seperti luka
bakar akbibat panas maupun kimiawi.
c. Ektropion Paralitik
Ektropion paralitik terjadi akibat dari kelemahan otot orbikularis dan
otot wajah sehingga menyebabkan lagophtalmus di mana penderita tidak
dapat menutup matanya sehingga kornea terpapar dunia luar. Akibat dari
terpaparnya kornea menyebabkan mata menjadi merah.
d. Ektropion Mekanik
Ektropion mekanik terjadi karena adanya massa atau tumor yang
menekan kelopak mata.
e. Ektropion Kongenital
Ektropion kongential memiliki gejala seperti blepharophimosis
syndrome yaitu telechantus, epichantus serta ptosis.
F. Tatalaksana
a. Ektropion Senilis/Involusional
Tatalaksana medikamentosa untuk ektropion involusional dapat
diberikan salap lubrikasi agar mata tetap lembab, khususnya apabila korena
sudah terpapar dunia luar. Namun terapi lubrikasi ini hanya untuk
mengurangi gejala saja, terapi utamanya tetap dilakukan pembedahan. Untuk
tatalaksana pembedahannya dilakukan pada spesifik kelainan anatomi
kelopak mata. Umumnya ini memerlukan pemendekan kelopak mata pada
kelemahan horizontal. Namun pemilihan prosedur pembedahan bergantung
pada kelopak mata sendiri, tendon dan posisi canthus. Penatalaksanaan
tergantung derajat keparahannya, dapat dilakukan 3 jenis operasi:
1. Medial conjunctivoplasty. Operasi ini sangat berguna untuk kasus
ektropion yang ringan termasuk yang mengenai area punctum.
2. Horizontal lid shortening. Operasi dilakukan pada kasus ektropion yang
sedang, dilakukan eksisi pentagonal.
3. Byron Smith’s modified Kuhnt-Szymanowski Operasi ini dilakukan
untuk kasus ektropion yang tergolong berat.
b. Ektropion Sikatrikal
Sebelum langsung kepada terapi pembedahan, dapat dilakukan digital
masase yang dapat meregangkan bekas luka. Atau jika tidak berhasil, dapat
dipertimbangkan pemberian injeksi steroid. Tergantung derajat keparahannya
dapat dilakukan beberapa cara operasi seperti1:
1. V-Y operation. Operasi dilakukan untuk ektropion derajat ringan. Pada
insisi a V-shaped di kulit dan dijahit dengan bentuk Y.
2. Z-plasty (Elschnig’s operation). Operasi ini ditujukan untuk ektropion
derajat ringan sampai sedang.
3. Excision of scar tissue and full thickness skin grafting. Ini dilakukan
untuk kasus ektropion sikatrikal yang berat. Skin graft diambil dari
kelopak mata atas, belakang telinga, atau sisi dalam lengan atas.
c. Ektropion Paralisis
Terapi pembedahan untuk ektropion paralisis bergantung pada derajat
keparahan dari kelemahan palpebra. Pilihan terapi pembedahan, yatitu medial
canthoplasty, lateral tarsorrhaphy dan lid-shortening procedures.
d. Ektropion Mekanik
Ektropion mekanik dapat dikoreksi dengan mengobati penyebab
utamanya.
e. Ektropion Kongenital
Dapat diberikasn lubrikasi pada kornea. Apabila keluhan tidak
berkurang harus dipertimbangkan pemasangan sutura pada palpebra. Lateral
tarsorrhaphy dapat dilakukan jika teknik sutura tidak berhasil. Pada kasus
kongenital yang parah dapat dilakukan skin flap atau skin graft. Dari sebuah
penelitian didapatkan 80% pasien memilki hasil klinis yang baik dengan
sekali pembedahan. 15% pasien memerlukan operasi kedua, termasuk satu
pasien ektropion involusonal, dua pasien paralitik dan tiga dengan ektropion
sikatriks.
2.3 Konsep Dasar Hordeulum
A. Definisi
Hordeolum merupakan peradangan supuratif kelenjar kelopak mata.
Hordeolum yang biasanya merupakan infeksi staphylococcus pada kelenjar sebasea
kelopak biasanya sembuh sendiri dan dapat diberi hanya kompres hangat. (Ilyas,
2004).
Hordeolum adalah infeksi akut kelenjar di palpebra. Hordeolum berisi material
purulen yang menyebabkan nyeri tanjam yang menjadi tumpul. Biasanya hordeolum
menyerang hanya satu mata pada satu waktu dan visus tidak berpengaruh oleh
hordeolum. Hordeolum sering di sertai blefaritis, konjungtivitis yang menahun,
anemia, kemunduran keadaan umum dan akne vulgaris. Kebanyakan di sebabkan
oleh infeksi stafilokokus (biasanya staphilococus aureus) atau streptokokus.
(Istiqomah, 2004)
Hordeolum kebanyakan disebabkan oleh bakteri stafilokokus biasanya
staphilococcus aureus atau streptokokus. (Istiqomah, 2004)
B. Klasifikasi
Menurut (Istiqomah, 2004) Hordeolum dibagi menjadi dua jenis yaitu
hordeolum eksternum dan hordeolum internum. Pada hordeolum yang besar dapat
disertai selulitis palebra atau orbita sehingga umumnya lebih lebih terganggu.

1. Hordeolum Eksternum
Hordeolum eksternum adalah infeksi yang terjadi dekat kelenjar Zeis dan
Moll, tempat keluarnya bulu mata (pada batas palpebra dan bulu mata). Area
infeksi berbatas tegas, merah, bengkak, dan nyeri tekan pada permukaan kulit
daerah batas. Ukuran lebih kecil dan lebih superfisial daripada hordeolum
internum. Lesi ikut bergerak saat kulit bergerak. Jika mengalami supurasi dapat
pecah sendiri ke arah kulit.

2. Hordeolum Internum
Hordeolum internum adalah infeksi pada kelenjar meibom sebasea. Area kecil
seperti manik dan edematus terdapat pada konjungtiva palpebra pada perbatasan
palpebra dan bulu mata. . Lesi tidak ikut bergerak dengan pergerakan kulit. Dapat
memecah kearah kulit atau permukaan konjunctiva. Namun, karena letaknya
dalam tarsus, jarang mengalami pecah sendiri.
C. Gejala Klinis
Tanda-tanda awal hordeolum adalah munculnya benjolan kecil dengan titik
berwarna kekuningan di tengah benjolan yang kemudian berkembang menjadi nanah
dan melebar di sekitar area tersebut. Gejala-gejala lain yang dapat muncul adalah
benjolan pada kelopak mata atas ataupun bawah, bengkak yang terlokalisir pada
kelopak mata, nyeri yang terlokalisir, kemerahan, nyeri tekan, serta munculnya krusta
pada tepi kelopak mata. Selain itu, muncul gejalagejala pada bola mata seperti
sensasi terbakar pada permukaan mata, kelopak mata yang lebih rendah daripada
kelopak mata di sebelahnya, gatal, serta penurunan tajam penglihatan. Pasien juga
dapat mengeluhkan munculnya kotoran dari matanya, mata kemerahan, lebih
sensisitif terhadap cahaya, mata berair, perasaan tidak nyaman pada saat berkedip,
serta suatu sensasi benda asing pada mata.
Hordeolum interna dapat berubah menjadi kalazion, yang merupakan suatu
nodul kronis lipogranulomatosa yang mengenai kelenjar Meibom atau kelenjar Zeis.
Lesi ini dapat hilang dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan, jika isi sebaseus
mengalami drainase spontan baik secara eksternal menuju kulit kelopak mata atau
secara internal menuju tarsus atau saat lipid yang ekstrusi difagositosis dan
granuloma menghilang. Dari proses tersebut, dapat terbentuk suatu jaringan parut.
Pada saat tertentu, pasien-pasien dengan kalazion atau pun hordeolum dapat
mengalami penurunan tajam penglihatan sekunder akibat astigmatisma yang
disebabkan penekanan pada bola mata. Harus menjadi suatu catatan khusus bahwa
karsinoma sel basal, karsinoma sel skuamosa, dan karsinoma sel kelenjar dapat
muncul sebagai suatu kalazion, hordeolum, dan blefaritis kronis. Pemeriksaan
histologis dari kalazion yang persisten, rekuren, ataupun atipikal menjadi sangat
penting untuk dilakukan.
D. Pathogenesis
Infeksi umumnya muncul akibat penebalan, stasis, atau keringnya sekresi
kelenjar Zeis, Moll, atau kelenjar Meibom. Kelenjar Zeis dan Moll merupakan suatu
kelenjar siliaris dari mata. Kelenjar Zeis menyekresikan sebum dengan suatu
kandungan antiseptik yang dapat mencegah pertumbuhan bakteri. Kelenjar Moll
memproduksi imunoglobulin A, mucin 1, dan lisosom yang sangat esensial pada
pertahanan imun melawan bakteri mata. Ketika kelenjar ini mengalami suatu blokade
atau kebuntuan, maka akan terjadi gangguan pertahanan imun mata. Stasis kelenjar
ini dapat mengakibatkan terjadinya infeksi bakteri dan Staphylococcus aureus
merupakan patogen tersering yang menyebabkan hordeolum. Setelah terjadinya suatu
respons inflamasi yang ditandai infiltrasi leukosit, maka akan muncul suatu kantong
berisi nanah atau terbentuk abses.
Perjalanan alamiah dari hordeolum internum akut umumnya berlangsung
antara satu hingga 2 minggu, dimulai dengan munculnya nanah dan berakhir dengan
drainase spontan dari nanah tersebut. Oleh sebab itu terapi inisial untuk hordeolum
ditujukan untuk meningkatkan proses evakuasi nanah dari hordeolum. Penggunaan
kompres hangat dapat memfasilitasi terjadinya drainase dengan cara melunakkan
jaringan granuloma. Kompres hangat umumnya diberikan selama lima hingga
sepuluh menit beberapa kali sehari hingga hordeolum sembuh.
Scrub kelopak mata dengan menggunakan sampo bayi atau pun cairan normal
salin 0,9% dapat dilakukan sambil memberikan masase ringan pada area yang
terkena hordeolum. Teori yang mendukung terapi ini adalah penggunaan scrub
kelopak mata akan meningkatkan kebersihan kelopak mata dan mengondisikan
kelopak mata agar lebih mudah mengalami drainase dengan cara membersihkannya
dari debris-debris pada tepi kelopak mata. Membersihkan saluran kelenjar keringat
dan saluran kelenjar minyak dapat mempermudah proses drainase sama seperti
epilasi bulu mata pada kasus-kasus hordeolum eksternum. Selain itu zat-zat yang
terkandung dalam sampo dapat merusak membran bakteri yang selanjutnya dapat
menurunkan jumlah bakteri pada lokasi infeksi. Scrub kelopak mata umumnya
direkomendasikan pada penatalaksanaan infeksi bakteri pada kelopak mata seperti
blefaritis dan dapat mencegah penyebaran dari infeksi.
E. Patofisiologi
Hordeolum disebabkan oleh adanya infeksi dari bakteri stafilokokus aureus.
Yang akan menyebabkan proses inflamasi pada kelenjar kelopak mata. Dapat terjadi
di kelenjara minyak Meibom, kelenjar Zeis atau Moll. Apabila infeksi pada kelenjar
Meibom mengalami infeksi sekunder dan inflamasi supuratif dapat menyebabkan
komplikasi konjungtiva. (Mansjoer, Triyanti, Savitri, Ika Wardhani, & Setiowulan,
2001)
F. Terapi
Antibiotik topikal pada umumnya tidak efektif, oleh sebab itu tidak
diindikasikan kecuali terdapat suatu penyerta seperti blefarokonjungtivitis. Antibiotik
sistemik pada umumnya diindikasikan pada kasus-kasus langka seperti selulitis
palpebra sekunder, akan tetapi jika pasien mengalami meibomitis kronis yang
menonjol, dapat diberikan terapi doksisiklin oral. Jika hordeolum berubah menjadi
suatu kalazion dan tidak berespons terhadap kompres hangat atau pun eyelid hygiene,
maka dapat dipertimbangkan injeksi kortikosteroid intralesi (contoh: triamcinolone
40 mg/ml sebanyak 0,1–0,2 ml) atau insisi dan drainase. Injeksi kortikosteroid
intralesi pada pasien-pasien dengan kulit gelap dapat menyebabkan depigmentasi
pada kulit kelopak mata di atasnya, sehingga harus digunakan secara hati-hati.
Hordeolum umumnya tidak berbahaya pada sebagian besar kasus. Sebagian
besar kasus hordeolum dapat sembuh sendiri secara spontan. Pada beberapa kasus,
hordeolum membutuhkan terapi insisi dan drainase. Prognosis menjadi baik jika
tidak terjadi komplikasi dari hordeolum seperti infeksi pada bola mata. Jika pasien
melakukan manipulasi pada hordeolum seperti tindakan memencet atau menusuk
hordeolum dengan jarum tidak steril, maka infeksi dapat menyebar menuju area yang
lebih luas dan menyebabkan terapi penyembuhan menjadi lebih sulit. Jika hordeolum
muncul berulangulang harus dipikirkan diagnosis lainnya seperti keganasan dan di-
follow up dengan melakukan pemeriksaan histopatologis.
G. Penataaksanaan
1. Penatalaksanaan medis
a. Kompres hangat selama sekitar 10-15 menit, 4 kali sehari.
b. Antibiotik topikal (salep, tetes mata), misalnya: Gentamycin, Neomycin,
Polimyxin B, Chloramphenicol, Dibekacin, Fucidic acid, dan lain-lain. Obat
topikal digunakan selama 7-10 hari, sesuai anjuran dokter, terutama pada fase
peradangan.
c. Antibiotika oral (diminum), misalnya: Ampisilin, Amoksisilin, Eritromisin,
Doxycyclin. Antibiotik oral digunakan jika hordeolum tidak menunjukkan
perbaikan dengan antibiotika topikal. Obat ini diberikan selama 7-10 hari.
Penggunaan dan pemilihan jenis antibiotika oral hanya atas rekomendasi
dokter berdasarkan hasil pemeriksaan.
d. Adapun dosis antibiotika pada anak ditentukan berdasarkan berat badan
sesuai dengan masing-masing jenis antibiotika dan berat ringannya
hordeolum.
e. Obat-obat simptomatis (mengurangi keluhan) dapat diberikan untuk
meredakan keluhan nyeri, misalnya: asetaminofen, asam mefenamat,
ibuprofen, dan sejenisnya.
2. Penatalaksanaan bedah
Dianjurkan insisi (penyayatan) dan drainase pada hordeolum, apabila:
a. Hordeolum tidak menunjukkan perbaikan dengan obat-obat antibiotika
topikal dan antibiotika oral dalam 2-4 minggu.
b. Hordeolum yang sudah besar atau sudah menunjukkan fase abses.Setelah
insisi dianjurkan kontrol dalam seminggu atau lebih untuk penyembuhan
luka insisi agar benar-benar sembuh sempurna.
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Asuhan Keperawatan Konungtivitis
A. Pengkajian
1. Data Pasien:
Nama : Tn. M
Tempat tanggal lahir : 13 Februari 1981
Umur : 36 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidika : SMA
Pekerjaan : Wira Swasta
Alamat : Pancur batu
Warga Negara : Indonesia
Tanggal Berobat Jalan Puskesmas : 27 Mei 2019
No Registrasi : 132005
Bahasa yang digunakan : Bahasa Indonesia
2. Penanggung Jawab:
Nama : Ny. P
Umur : 34 Tahun
Alamat : Pancur batu
Hubungan dengan klien : istri
3. Keluhan Utama: Pasien datang berobat jalan ke Puskesmas pada tanggal 27 Mei
2019 dengan keluhan kelopak mata bengkak, nyeri, mata merah dan gatal-gatal.
4. Riwayat Kesehatan Sekarang
B. Diagnosa Keperawatan

C. Intervensi
D. Implementasi
E. Evaluasi
3.2 Asuhan Keperawatan Entropion
3.3 Asuhan Keperawtan Hordeolm
DAFTAR PUSTAKA
http://repository.ump.ac.id/1380/3/IRFAN%20NUR%20PATUROHMAN%20BAB
%20II.pdf
http://eprints.umpo.ac.id/7461/4/BAB%202%20%281%29.pdf
http://scholar.unand.ac.id/22205/2/BAB%20I.pdf
https://eprints.umm.ac.id/40999/3/jiptummpp-gdl-rizkyaarin-47539-3-bab2.pdf
https://pdfcoffee.com/laporan-pendahuluan-dan-asuhan-keperawatan-pada-gangguan-sistem-
persepsi-sensori-dengan-kasus-konjungtivitis-mata-kuliah-kmb-iii-pdf-free.html
file:///C:/Users/USER/Downloads/laporan-pendahuluan-konjungtivitis-ni-nah.pdf
http://repository.unissula.ac.id/16433/7/BAB%20I.pdf
https://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/52272/ectropion.pdf?
sequence=2&isAllowed=y
http://repository.unair.ac.id/91516/2/Penyakit%20Sistem
%20Lakrimal_HAKI_compressed.pdf

Anda mungkin juga menyukai