Anda di halaman 1dari 26

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

GANGGUAN REMATOID ATRITIS

Diajukan untuk memenuhi salah satu Tugas pada


Mata Kuliah : Keperawatan Medikal Bedah III
Dosen : Shelfi Dwi, M.Kep

Disusun oleh :

Disusun Oleh

Kunti Lia Eka Wardani


20191420146008

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

STIKES BAHRUL ULUM TAMBAK BERAS JOMBANG

2021 - 2022
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Konsep Rheumatoid Artritis

1.1.1 Definisi Rheumatoid Artritis


Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun sistemik (Symmons, 2006).
RA merupakan salah satu kelainan multisistem yang etiologinya belum diketahui secara
pasti dan dikarakteristikkan dengan destruksi sinovitis (Helmick, 2008). Penyakit ini
merupakan peradangan sistemik yang paling umum ditandai dengan keterlibatan sendi
yang simetris (Dipiro, 2008). Penyakit RA ini merupakan kelainan autoimun yang
menyebabkan imflamasi sendi yang berlangsung kronik dan mengenai lebih dari lima
sendi (poliartritis) (Pradana, 2012).

1.1.2 Etiologi Rheumatoid Arthritis

Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiaannya dikorelasikan


dengan interaksi yang kompleks antara factor genetik dan lingkungan (Suarjana, 2009).
1. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB 1 dan faktor ini memiliki angka
kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60% (Suarjana, 2009).
2. Hormon sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental Corticotraonin
Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron (DHEA), yang merupakan
substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Dan stimulus esterogen dan
progesterone pada respon imun humoral (TH2) dan menghambat respon imun selular
(TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron
mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini (Suarjana,
2009).
3. Faktor infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk semang (host)
dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya penyakit RA
(Suarjana, 2009).

1
4. Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai respon terhadap
stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amini homolog. Diduga terjadi
fenomena kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada
agen infeksi dan sel Host. Sehingga menyebabkan terjadinya reaksi silang limfosit
dengan sel Host sehingga mencetuskan reaksi imunologis (Suarjana, 2009).
5. Faktor lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok (Longo, 2012).

1.1.3 Klasifikasi Klinis


Buffer (2010) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu:

1. Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala sendi
yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
2. Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala sendi
yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
3. Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala
sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
4. Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan gejala
sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 3 bulan.

1.1.4 Patofisiologi Rheumatoid Arthritis

Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit autoimun sistemik yang menyerang


sendi.reaksi autoimun terjadi dalam jaringan synovial. Kerusakan sendi dimulai terjadi dari
proliferasi makrofag dan fibroblast synovial. Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular
dan terjadi proliferasi sel-sel endotel kemudian terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah
pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan kecil atau sel-sel inflamasi.
Terbentuknya pannusakibat terjadinya pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial
yang mengalami inflamasi.

2
Pannus kemudian menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang respon
imunologi melibatkan peran sitokin, interleukin, proteinase, dan faktor pertumbuhan. Sel T
dan sel B merupakan respon imunologi spesifik selular berupa Th1, Th2, Th17, Treg, Tdth,
CTL/Tc, NKT. Sitokin dan sel B merupakan respon imunologi spesifik humoral, sel B
berupa IgG, IgA, IgM, IgE, IgD (Baratwidjaja, 2012). Peran sel T pada RA diawali oleh
interaksi antara respon sel T dengan share epitop dari major histocompability complex
class II (MHCII-SE) dan peptide para antigen- presenting cell (APC) pada sinovium atau
sistemik. Dan peran sel B dalam imunopatologis RA belum diketahui secara pasti
(Suarjana, 2009).

3
1.1.5 Pathway Inflamasi non – bacterial disebabkan oleh
infeksi, endokrin, autoimun, metabolic dan
faktor genetik, serta faktor lingkungan

Artritis Reumatoid

Sinovili Tenosinovitis Kelainan pd Kelainan pd jaringan Gambaran khas


s tulang ekstra - artikular nodul subkutan

Hiperemia & Invasi kolagen


pembengkak Erosi tl. & Miopati Sistemik saraf Kelenjar limfe Inflamasi
an kerusakan keluar ekstra
pd tl. rawan - artikular

Atrofi otot
Neuropati
Instabilitas dan Splenomegali perifer
Nekrosis & Ruptur tendo deformitas
kerusakan dlm secara parsial sendi Anemia
ruang sendi atau lokal Osteoporosis Mk : Gangguan
generalisata Sensorik
Perikarditis,
Mk : Hambatan Gangguan Kelemahan fisik miokarditis
Mk : Nyeri
mobilitas fisik mekanis & dan radang
fungsional pd katup jantung
sendi Mk : Defisit
Perawatan diri Mk : Resiko
Perubahan bentuk tubuh Trauma
Gambaran khas Kegagalan
pada tl. dan sendi
nodul subkutan fungsi jantung
Gambar 2.1 Pathway Rheumatoid Arthritis (Nurarif dan Kusuma, 2015).
Mk : Gangguan
Mk : Ansietas Mk : Kebutuhan Konsep Diri, Citra Diri
Informasi 4
1.1.6 Manifestasi Klinis Rheumatoid Arthritis

Gejala awal terjadi pada beberapa sendi sehingga disebut poli artritis rheumatoid.
Persendian yang paling sering terkena adalah sendi tangan, pergelangan tangan, sendi
lutut, sendi siku, pergelangan kaki, sendi bahu serta sendi panggul dan biasanya
bersifatbilateral/simetris. Tetapi kadang-kadang hanya terjadi pada satu sendi disebut
rheumatoid arthritis mono-artikular (Chairuddin, 2003).
1. Stadium awal
Malaise, penurunan BB, rasa capek, sedikit demam dan anemia. Gejala lokal yang
berupa pembengkakan, nyeri dan ganggun gerak pada sendi matakarpofalangeal.
Pemeriksaan fisik : tenosinofitas pada daerah ekstensor pergelangan tangan an
fleksor jari-jari. Pada sendi besar (misalnya sendi lutut) gejala peradangan lokal
berupa pembengkakan nyeri serta tand-tanda efusi sendi.
2. Stadium lanjut
Kerusakan sendi dan deformitas yang bersifat permanen, selanjutnya timbul/ketidak
stabilan sendi akibat rupture tendo/ligament yang menyebabkan deformitas
rheumatoid yang khas berupa deviasi ulnar jari-jari , deviasi radial/volar
pergelangan tangan serta valgus lutut dan kaki. Untuk menegakkan diagnosis
dipakai kriteria diagnosis dari ACR tahun 1987 dimana untuk mendiagnosis RA
diperlukan 4 dari 7 kriteria tersebut.

5
2.1 Tabel Kriteria 1-4 tersebut harus minimal diderita selama 6 minggu.

Kriteria Definisi

Kaku pagi hari Kekakuan pada pagi hari pada persendian dan
sekitarnya sekurang-kurangnya selama 1 jam
sebelum perbaikan maksimal.
Arthritis pada 3 Perkembangan jaringan lunak atau persendian atau
daerah persendian lebih efusi (bukan pertumbuhan tulang) pada
atau lebih sekuang-kuangnya pada 3 sendi secara bersamaan
yang diobservasi oleh seoang doker.
Arthritis pada Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan suatu
persendian tangan persendian tangan seperti yang tertera diatas.
Arthritis simetris Keterlibatan sendi yang sama (sperti krieria yang
tertera 2 pada kedua belah sisi (keterlibatan PIP,
MCP, atau MTP bilateral.
Nodul rheumatoid Nodul subkutan pada penonjolan tulang atau
permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler
yang di observasi oleh seoang dokter.
Faktor rheumatoid Terdapatnya titer abnormal faktor rheumatoid serum
yang diperiksa dengan cara memberikan hasil positif
Serum positif kurang dari 5% kelompok kontrol yang diperiksa.
Pemeriksaan hasilnya tidak menyingkirkan adanya
RA.
Perubahan Perubahan gambaran radiologis yang khas bagi
gambaran rheumatoid arthritis pada pemeriksaan sinar x tangan
radiologis posterior atau pergelangan tangan yang harus
menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang
yang berlokasi pada sendi, atau daerah yang
berdekatan dengan sendi.

6
1.1.7 Penatalaksanaan Rheumatoid Arthritis

Tujuan penatalaksanan Reumatoid Arthritis adalah mengurangi nyeri, mengurangi


inflamasi, menghentikan kerusakan sendi dan meningkatkan fungsi dan kemampuan
mobilisasi penderita (Lemone & Burke, 2001).
1. Pemberian terapi
Pengobatan pada Rheumatoid Arthritis meliputi pemberian aspirin untuk mengurangi
nyeri dan proses inflamasi, NSAIDs untuk mengurangi inflamasi, pemberian
corticosteroid sistemik untuk memperlambat destruksi sendi dan imunosupressive
terapi untuk menghambat proses autoimun.
2. Pengaturan aktivitas dan istirahat Pada kebanyakan penderita, istirahat secara teratur
merupakan hal penting untuk mengurangi gejala penyakit. Pembebatan sendi yang
terkena dan pembatasan gerak yang tidak perlu akan sangat membantu dalam
mengurangi progresivitas inflamasi. Namun istirahat harus diseimbangkan dengan
latihan gerak untuk tetap menjaga kekuatan otot dan pergerakan sendi.
3. Kompres panas dan dingin Kompres panas dan dingin digunakan untuk mendapatkan
efek analgesik dan relaksan otot. Dalam hal ini kompres hangat lebih efektif dari pada
kompres dingin.
4. Diet Untuk penderita rheumatoid arthritis disarankan untuk mengatur dietnya. Diet
yang disarankan yaitu asam lemak omega-3 yang terdapat dalam minyak ikan.
5. Terapi konservatif kepada pasien, pengaturan gaya hidup, apabila pasien termasuk
obesitas harus mengurangi berat badan, jika memungkinkan tetap berolah raga (pilihan
olaraga yang ringan seperti bersepeda, berenang).
6. Fisioterapi Fisioterapi untuk pasien (RA) Reumatoid Arthritis termasuk traksi,
stretching, akupuntur, transverse friction (teknik pemijatan khusus untuk penderita
(RA), latihan stimulasi otot, elektroterapi.
7. Pertolongan ortopedi. Pertolongan ortopedi kadang-kadang penting dilakukan seperti
sepatu yang bagian dalam dan luar di desain khusus pasien (RA), Rheumatoid Arthritis
juga digunakan untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi sendi (Michael et.
al, 2010).

7
8. Analgesik anti-inflammatory agents. Memiliki efek anti inflamasi spesifik. Keamanan
dan kemanjuran dari obat anti inflamasi harus selalu dievaluasi agar tidak
menyebabkan toksisitas. Contoh: Ibuprofen : untuk efek anti inflamasi dibutuhkan
dosis 1200-2400 mg sehari. Naproksen : dosis untuk terapi penyakit sendi adalah 2 x
250 - 375 mg sehari. Bila perlu diberikan 2 x 500 mg sehari.
9. Glucocorticoids Injeksi glukokortikoid intra artikular dapat menghilangkan perfusi
sendi akibat inflamasi. Contoh: Injeksi triamsinolon asetonid 40mg/ml suspensi
hexacetonide 10 mg atau 40 mg.
10. Pembedahan makoterapi Artroskopi merupakan prosedur minimal operasi dan
menyebabkan rata infeksi yang rendah (di bawah 0,1%). Pasien dimasukkan ke dalam
kelompok 1 debridemen artroskopi, yang signifikan khondroplasti: menghilangkan
fragmen kartilago. Prosedur digunakan untuk mengurangi gejala osteofit pada
kerusakan meniskus.
11. Celecoxib adalah obat yang lebih spesefik dan memiliki efek samping yang lebih kecil
terhadap lambung.
12. Golongan obat (Kortikosteroid) digunakan sebagai obat anti peradangan. Obat ini
dapat menekan sistem kekebalan tubuh sehingga reaksi radang pada rematik
berkurang.
13. Senam Rematik Senam rematik merupakan metode senam yang dapat membantu
mengurangi resiko timbulnya rematik dan berfungsi sebagai terapi tambahan bagi
penderita rematik dalam fase tenang. Tetapi senam ini adalah program olaraga ringan
yang terdiri dari beberapa tahapan seperti pemanasan, latihan inti satu ( low impact
untuk menguatkan kerja jantung dan paruparu). Latihan inti dua ( dasar pencegahan
dan terapi rematik). Dan pendinginan dengan melakukan latihan ini secara teratur,
diharapkan dapat mengurangi gejala kekakuan sendi dan nyeri pada rematik ( Smart,
2010).
14. Terapi Pemijatan Terapi ini sering dipilih oleh sebagian besar orang untuk
menghilangkan rasa dan linu yang juga dapat melancarkan peredaran darah.
Sebenarnya manfaat pemijatan bukan hanya itu. Pemijatan juga berfungsi untuk
mengobati rematik. Jenis pemijatan yang dapat digunakan untuk mengobati rematik
adalah jenis chiropractic. Jenis pemijatan ini menggunakan teknik terapi jasmani yaitu
yaitu perpaduan antara gerakan pijat spesifik, massage, dan jenis gerakan pijat yang
dapat mengatasi masalah tulang syaraf ( Smart, 2010).

8
15. Untuk membantu meredakan nyeri pada sendi, anda bisa menggunakan obat oles
berbentuk krim ke bagian yang sedang sakit. Salah satu obat yang bisa digunakan
adalah Voltaren. Voltaren aman digunakan oleh dewasa dan anak-anak di atas umur 12
tahun karena mengandung zat non-steroid dan anti peradangan (NSAID). Selain itu,
krim ini juga mengandung diklofenak yang dapat membantu meredakan rasa nyeri,
melawan peradangan serta mempercepat proses penyembuhan.

1.1.8 Komplikasi
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus
peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti inflamasi
nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit (disease modifying
anti rheumatoid drugs, (DMRAD) yang menjadi penyebab mordibitas dan
mortalitas utama pada artitis reumatoid.
1. Komplikasi syaraf yang terjadi tidak memberikan gambaran jelas, sehingga
sukar dibedakan antara akibat lesi artikular dan lesi neuropatik. Umumnya
berhubungan dengan mielopati akibat ketidakstabilan verterbra servikal dan
neuropati iskemik akibat vaskulitis. (Mansjoer, 2001). Vaskulitis (inflamasi
sistem vaskuler) dapat menyebabkan trombosis dan infark.
2. Nodulus reumatoid ekstrasinovial dapat terbentuk pada katup jantung atau
pada paru, mata, atau limpa. Fungsi pernapasan dan jantung dapat terganggu.
Glaukoma dapat terjadi apabila nodulus yang menyumbat aliran keluar cairan
okular terbentuk pada mata.
3. Penurunan kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari , depresi,
dan stres keluarga dapat menyertai eksaserbasi penyakit. (Corwin, 2009).
1) Osteoporosis.
2) Nekrosis sendi panggul.
3) Deformitaas sendi.
4) Kontraktur jaringan lunak.
5) Sindrom Sjogren (Bilotta, 2011)

9
1.1.9 Pemeriksaan Penunjang
Untuk menentukan diagnostik (RA), Reumatoid Arthritis selain melalui
pemeriksaan fisik juga diperlukan pemeriksaan penunjang seperti radiologis dan
pemeriksaan laboratorium. Foto polos dapat digunakan untuk membantu
penegakan diagnosis (RA) walaupun sensivitasnya rendah terutama pada (RA)
tahap Reumatoid Arthritis awal. USG juga menjadi pilihan untuk menegakkan
diagnosis (RA) karena selain murah, mudah diakses serta lebih aman dibanding
sinar-X, CT-scan atau MRI (Amoako dan Pujalte, 2014).
Radiologi setiap sendi yang menyangga berat badan dapat terkena, seperti
panggul, lutut, selain itu bahu, tangan, pergelangan tangan, dan tulang belakang
juga sering terkena. Gambaran radiologi (RA) Reumatoid Arthritis sebagai
berikut, pembentukan osteofit pertumbuhan tulang baru (semacam taji) yang
terbentuk di tepi sendi. Penyempitan rongga sendi hilangnya kartilago akan
menyebabkan penyempitan rongga sendi yang tidak sama. Badan yang longgar
terjadi akibat terpisahnya kartilago dengan osteofit.
Kistasubkondral dan sklerosis peningkatan densitas tulang di sekitar sendi
yang terkena dengan pembentukan kista degenerative bagian yang sering terkena
RA lutut dan sering terjadi hilangnya kompartemen femorotibial kompartemen
bagian medial merupakan penyangga tubuh yang utama, tekanannya lebih besar
sehingga hampir selalu menunjukkan terjadi penyempitan rongga diskus. Badan
sering terjadi hilangnya kompartemen femorotibial kompartemen bagian medial
merupakan penyangga tubuh yang utama, tekanannya lebih besar sehingga
hampir selalu menunjukkan penyempitan paling dini. Tulang belakang terjadi
penyempitan rongga diskus.

10
Pembentukan tulang baru (spuring/ pembentukan taji) antara vertebra yang
berdekatan sehingga dapat menyebabkan keterlibatan pada akar syaraf atau
kompresi medula spinalis pada sklerosis dan osteofit pada sendi-sendi apofiseal
invertebrata. Penyempitan pada sendi disebabkan karena menyangga berat badan
yang terlalu berat, sehingga disertai pembentukan osteofit femoral dan
asetabular. sklerosis dan pembentukan kista subkondral. penggantian total sendi
panggul menunjukkan ( RA) Rheumatoid Arthritis panggul yang sudah berat
yaitu:
1) Biasanya mengenai bagian basal metakarpal pertama.
2) Sendi-sendi interfalang proksimal ( Nodus Bouchard ).
3) Sendi-sendi interfalang distal ( Nodus Heberden Patel, 2007).
4) Klasifikasi Menurut Kellgren dan Lawrence (RA) Reumatoid Arthritis dalam
pemeriksaan radiologis.

11
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Rematoid Atritis

2.1.1 Pengkajian
1. Identitas Klien
Meliputi : Nama, Alamat, Jenis kelamin (nyeri sendi lebih banyak menyerang
wanita daripada pria), Umur (RA dapat terjadi pada usia berapa pun, namun
lebih sering terjadi pada usia 40 sampai 60 tahun), Agama, riwayat pendidikan,
pekerjaan, dan penanggung jawab (Wahid, 2013).
2. Keluhan Utama
Pada RA klien mengeluh nyeri pada persendian yang terkena yaitu, sendi
pergelangan tangan, lutut, kaki (sendi diartrosis), sendi siku, bahu, sterno
klavikula, panggul dan pergelangan kaki. Keluhan sering berupa kaku sendi di
pagi hari, pembengkakan, dan nyeri sendi (Putra dkk, 2013).
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Riwayat kesehatan sekarang berupa uraian mengenai penyakit yang diderita
oleh klien dari mulai timbulnya keluhan yang dirasakan sampai klien dibawa
ke Rumah Sakit, dan apakah pernah memeriksakan diri ke tempat lain selain
Rumah Sakit umum serta pengobatan apa yang pernah diberikan dan
bagaimana perubahanya dari data yang di dapatkan saat pengkajian.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Seperti riwayat penyakit muskuloskeletal sebelumnya, riwayat penggunaan
obat-obatan, riwayat mengkonsumsi alkohol dan merokok.
5. Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Menggambarkan persepsi, pemeliharaan, dan penanganan kesehatan.
2) Pola Nutrisi
Pada penyakit RA biasanya dianjurkan untuk melakukan pola diet
mediteranian yang dapat memperbaiki inflamasi pada RA. Mediteranian
adalah pola makan yang terutama mengandung ikan, sayur, dan minyak
olive dibandingkan unsur makanan yang lain. Pada klien RA gangguan
gastrointestinal yang sering adalah mual, nyeri lambung, yang menyebabkan
klien tidak nafsu makan dan terjadi penurunan berat badan, terutama klien
yang menggunakan obat reumatik dan NSAID. Dan peristaltik yang
menurun juga menyebabkan klien jarang defekasi.

12
3) Pola Eliminasi
Produksi urine biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan pada sistem
perkemihan. Dan umumnya klien RA tidak mengalami gangguan eliminasi. Meski
demikian perlu dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feses dan urine.
4) Pola Tidur dan Istirahat
Menggambarkan pola tidur, istirahat, dan persepsi terhadap energi, jumlah jam tidur
siang dan malam, masalah tidur. Biasanya pada penderita RA rasa nyeri dapat
menganggu pola tidur dan istirahatnya.
5) Pola aktivitas dan latihan
Menggambarkan pola latihan, aktivitas, fungsi pernafasan, dan sirkulasi pada
penderita RA.
6) Pola Hubungan dan Peran
Menggambarkan dan mengetahui hubungan dan peran klien terhadap anggota
keluarga dan masyarakat tempat tinggal, pekerjaan, tidak punya rumah, dan masalah
keuangan.
7) Pola Sensori dan Kognitif
Menjelaskan persepsi sensori dan kognitif. Pola persepsi sensori meliputi pengkajian
penglihatan, pendengaran, perasaan dan pembau.
8) Persepsi dan Konsep Diri
Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi terhadap kemampuan konsep
diri. Konsep diri menggambarkan gambaran diri, harga diri, peran, dan identitas diri.
9) Pola seksual dan Reproduksi
Menggambarkan kepuasan atau masalah terhadap seksual pada penderita RA.
10) Pola Mekanisme atau Penanggulangan Stress dan Koping
Menggambarkan kemampuan untuk menangani stress pada penderita RA.
11) Pola Nilai dan Kepercayaan
Menggambarkan dan menjelaskan pola, nilai keyakinan termasuk spiritual.

13
6. Riwayat Psikososial
Pasien dengan RA mungkin merasakan adanya kecemasan yang cukup tinggi,
pada pasien yang mengalami deformitas pada sendi- sendi karena ia merasakan
adanya kelemahan-kelemahan pada dirinya dan merasakan kegiatan sehari-hari
menjadi berubah. Perawat dapat melakukan pengkajian terhadap konsep diri
klien khusunya body image dan harga diri klien.
7. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
1. Kesadaran biasanya compos mentis
2. GCS yang meliputi : Eye, Verbal, Motorik
3. TTV : Tekanan darah, nadi mungkin meningkat, respirasi, dan suhu.
2) Inspeksi dan palpasi persendian untuk masing-masing sisi (bilateral), amati
warna kulit, ukuran, lembut tidaknya kulit, dan pembengkakan.
3) Lakukan pengukuran passive range of motion pada sendi-sendi synovial
1. Catat bila ada deviasi (keterbatasan gerak sendi),
2. Catat bila ada krepitasi (suara berderak atau mendedas),
3. Catat bila terjadi nyeri saat sendi digerakkan.
4) Lakukan inspeksi dan palpasi otot-otot skelet secara bilateral
1. Catat bila ada atrofi, tonus yang berkuran,
2. Ukur kekuatan otot.
5) Kaji tingkat nyeri, derajat, dan mulainya
6) Kaji aktivitas dan kegiatan sehari-hari
7) Neurosensori
Akan timbul gejala kesemutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada
jaringan, dan pembengkakan sendi simetris.
8) Kelainan di luar sendi
1) Kepala dan Wajah : biasanya ada sianosis
2) Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang di dapatkan, namun
40% pada autopsy RA didapatkan kelainan perikard (Putra dkk, 2013).
3) Paru : kelainan yang sering ditemukan berupa paru obstruktif dan
kelainan pleura (efusi pleura, nodul subpleura) (Putra dkk, 2013).
4) Saraf : berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis yang sering
terjadi berupa kehilangan rasa sensoris di ektremitas dengan gejala foot
or wrist drop (Putra dkk, 2013). Vaskulitis, terjadi pada <1% penderita
dan pada penderita penyakit RA yang sudah kronis (Longo, 2012).

14
5) Kulit : nodul rheumatoid umumnya timbul pada fase aktif dan terbentuk di bawah
kulit terutama pada lokasi yang banyak menerima tekanan seperti olekranon,
permukaan ekstensor lengan dan tendon Achilles.
6) Hematologi berupa anemia normositik, immune mediated thrombocytopenia dan
keadaan dengan trias berupa neutropenia, splenomegaly, dan nodular RA yang
sering disebut dengan felty syndrome. Sindrom ini terjadi pada penderita RA tahap
akhir (Longo, 2012).
Beberapa keadaan yang diasosiakan dengan mordibitas dan mortalitas pada pasien RA
adalah penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, dan hipoandrogenisme (Longo, 2012).
i. Pemeriksaan Muskuloskeletal (Ekstremitas)
Inspeksi : amati warna kulit, ukuran, lembut tidaknya kulit, pembengkakan, anggota
gerak lengkap.
Palpasi : kekuatan otot 4 (dapat bergerak dan dapat melawan hambatan yang ringan,
edema pada kaki di persendian. Untuk mengetahui skala nyeri pada pasien dengan
menggunakan numeric.

Gambar 2.2 Pengukuran Skala Nyeri (Andarmoyo,S.(2013). Konsep & Proses


Keperawatan Nyeri, Jogjakarta: Ar-Ruzz).

15
2.2.2 Diagnosa Keperawatan (menjelaskan jenis diagnosa keperawatan actual, resiko,

dan sejahtera / potensial)

Diagnosa keperawatan adalah keputusan tentang respon keluarga tentang


masalah kesehatan actual atau potensial, sebagai dasar seleksi intervensi
keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan keluarga sesuai
dengan kewenangan perawat.
1. Struktur Diagnosa Keperawatan
1) Problem/masalah
2) Etiologi/penyebab
3) Sign and symptom/tanda dan gejala
2. Tipe dan Komponen Diagnosa Keperawatan Keluarga
1) Aktual (terjadi defisit/gangguan kesehatan)
Menjelaskan masalah nyata saat ini sesuai data yang ditemukan yaitu ciri dari
pengkajian didapatkan tanda dan gejala dari gangguan kesehatan. Diagnosa
keperawatan actual memiliki tiga komponen diantaranya adalah problem,
etiologi, dan symptom.
1. Problem
Yang mengacu pada permasalahan yang dihadapi klien.
2. Etiologi (faktor yang berhubungan)
Faktor penyebab yang dapat mempengaruhi perubahan status kesehatan.
3. Symptom (batasan karakteristik)
Yang menentukan karakteristik yang mengacu pada petunjuk klinis, tanda
subyektif, dan obyektif.
2) Resiko (ancaman kesehatan)
Masalah ini sudah ditunjang dengan data yang akan mengarah pada timbulnya
masalah kesehatan bila tidak segera ditangani.
3) Potensial/ sejahtera
Status kesehatan berada pada kondisi sehat dan ingin meningkat lebih optimal.
Diagnosa yang terdapat diteori adalah:
1. Nyeri akut
2. Hambatan mobilitas fisik
3. Gangguan citra tubuh
4. Defisit perawatan diri

16
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan artitis reumatoid,
adalah:

1. Nyeri akut/kronis berhubungan dengan desrtuksi sendi akibat akumulasi cairan


sinovial dan proses peradangan
Di tandai dengan: keluhan nyeri, kekakuan dalam pergerakan, aktivitas terganggu

Tujuan: nyeri berkurang dan klien mampu mengontrol rasa nyerinya, dengan kriteria
hasil:

a. Klien mengatakan rasa nyeri berkurang


b. Klien mampu berrelaksasi dan melakukan aktivitas yang dapat ditolerir
c. Klien terlihat/dapat tenang dan mampu beristirahat dengan maksimal
Rencana tindakan:

a. Observasi sifat, intensitas, lokasi dan durasi tingkat nyeri


b. Beri obat non steroi anti inflamasi (analgeisk), antipiretik sesqui program
observasi catat adanya toksisitas dari obat, seperti mual muntah
c. Anjurkan klien istirahat dengan adekuat dan imobilisasikan persendian yang sakit
dengan alas yang khusus.
d. Beri kompres hangat untuk mengurangi kekakuan dan nyeri pada persendian
e.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kekakuan, deformitas fungsi sendi
Di tandai dengan: pergerakan lambat, ROM menurun, koordinasi terganggu, kekuatan
otot menurun dan adanya rasa nyeri

Tujuan: klien mampu mempertahankan posisi, gerakan sendi yang optimal serta
deformitas minimal, dengan kriteria hasil:

a. Klien mengatakan nyeri berkurang saat melakukan aktivitas/pergerakan


b. Klien dapat meningkatkan aktivitas secara bertahap
Rencana tindakan:

a. Observasi kesimetrisan sendi, bentuk dan tanda-tanda inflamasi


b. Kaji kemampuan klien dalam melakukan ROM aktif maupun pasif, kolaborasi
dengan fisioterapi untuk rehabilitasi
c. Observasi kekakuan pada pagi hari serta beberapa lama
d. Bantu klien saat melakukan aktivitas seperti duduk, berjalan/memindah benda

17
3. Ketidakmampuan melakukan perawatan diri berhubungan dengan deformitas sendi,
rasa nyeri, penurunan kekuatan sendi
Ditandai dengan: pergerakan yang kaku, nyeri, lelah

Tujuan: klen dapat memperlihatkan kemampuan untuk memenuhi ADL dan


menunjukkan penurunan tingkat ketergantungan, dengan kriteria hasil:
a. Rasa nyeri minimal
b. Klien mampu memenuhi kebutuhan ADL
Rencana tindakan:
a. Tentukan tingkat ketergantungan klien dengan menggunakan skala
ketergantungan
b. Pertahankan mobilitas kontrol nyeri dan program latihan
c. Ajarkan klien posisi duduk dan berdiri sesuai dengan body alignment
d. Ingatkan kepada keluarga untuk memberi kesempatan pada kilen untuk memenuhi
ADL-nya secara mandiri sesuai dengan kemampuan klien dan cegah terjadi
cedera jatuh.

18
2.2.3 Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan merupakan semua tindakan asuhan yang perawat lakukan atas nama klien. Tindakan ini termasuk intervensi yang
diprakarsai oleh perawat, dokter, atau intervensi kolaboratif (McCloskey & Bulechek, 1994).
2.3 Tabel Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi

1. a. Nyeri akut NOC NIC


Definisi : pengalaman sensori dan
1. Pain Level Pain Management
emosional yang tidak menyenangkan
2. Pain control
yang muncul akibat kerusakan 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
3. Comfort level
jaringan yang actual atau potensial komprehensif termasuk lokasi,
Kriteria Hasil :
atau digambarkan dakam hal karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
kerusakan sedemikian rupa 1. Mampu mengontrol nyeri (tahu dan faktor presipitasi
(international Assosiation for the penyebab nyeri, mampu 2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidak
study of Pain); awitan yang tiba-tiba menggunakan tehnik nyamanan
atau lambat dari intensitas ringan nonfarmakologi untuk mengurangi 3. Anjurkan pasien untuk mandi air
hingga berat dengan akhir yang dapat nyeri, mencari bantuan) hangat. Mengompres sendi-sendi yang
diantisipasi atau diprediksi dan 2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang nyeri dengan air hangat.
berlangsung <6 bulan. dengan menggunakan manajemen 4. Berikan massase yang lembut
Batasan Karakteristik : nyeri 5. Gunakan tehnik komunikasi terapeutik
1) Perubahan selera makan 3. Mampu mengenali nyeri (skala, untuk mengetahui pengalaman nyeri
2) Perubahan tekanan darah intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) pasien

19
3) Perubahan frekuensi jantung 4. Menyatakan rasa nyaman setelah 6. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
4) Perubahan frekuensi pernafasan nyeri berkurang 7. Kurangi faktor presipitasi nyeri
5) Laporan isyarat 8. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
6) Diaphoresis (farmakologi, non farmakologi dan inter
7) Perilaku distraksi (mis, berjalan personal)
mondar mandir mencari orang 9. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
lain dan atau aktivitas lain, menentukan intervensi
aktivitas yang berulang) 10. Ajarkan teknik non farmakologi
8) Mengekspresikan perilaku 11. Berikan analgesic untuk mengurangi
(mis, gelisah, merengek, nyeri
menangis) 12. Tingkatkan istirahat
9) Masker wajah (mis, mata 13. Kolaborasikan dengan dokter jika ada
kurang bercahaya, tampak keluhan dan tindakan nyeri tidak
kacau, gerakan mata berpencar berhasil
atau tetap pada satu focus 14. Monitor penerimaan pasien tentang
meringis) manajemen nyeri
10) Sikap melindungi area nyeri Analgesic Administration
11) Focus menyempit (mis,
1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas,
gangguan persepsi nyeri,
dan derajat nyeri sebelum pemberian
hambatan proses berfikir,
obat
penurunan interaksi dengan
2. Cek intruksi dokter tentang jenis obat,
orang dan lingkungan)
dosis, dan frekuensi

20
12) Indikasi nyeri yang dapat diamati 3. Cek riwayat alergi
13) Perubahan posisi untuk 4. Pilih analgesic yang diperlukan atau
menghindari nyeri kombinasi dari analgesic ketika
14) Sikap tubuh melindungi pemberian lebih dari satu
15) Dilatasi pupil 5. Tentukan pilihan analgesic tergantung
16) Melaporkan nyeri secara verbal tipe dan beratnya nyeri
17) Gangguan tidur 6. Tentukan analgesic pilihan, rute
pemberian, dan dosis optimal
7. Pilih rute pemberian secara IV, IM
untuk pengobatan nyeri secara teratur
8. Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesic pertama kali
9. Berikan analgesic tepat waktu terutama
saat nyeri hebat
10.Evaluasi efektivitas analgesic, tanda
dan gejala

Sumber : Bulecheck, Gloria.dkk (2016), Moorhead, Sue.dkk (2016), Herdman, T. H; Kamitsuru Shigemi (2018).

21
2.2.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan aktualisasi dari perencanaan yang telah disusun
sebelumnya. Prinsip yang mendasari implementasi keperawatan keluarga
antara lain :
1. Implementasi mengacu pada rencana perawatan yang dibuat.
2. Implementasi dilakukan dengan tetap mempertahankan prioritas masalah.
3. Kekuatan-kekuatan keluarga berupa finansial, motivasi, dan sumber-sumber
pendukung lainnya jangan diabaikan.
4. Pendokumentasian implementasi keperawatan keluarga janganlah terlupakan
dengan menyertakan tanda tangan petugas sebagai bentuk tanggung gugat dan
tanggung jawab.

Beberapa prinsip atau pedoman dalam pelaksanaan implementasi keperawatan


menurut Kozier, dkk (2010) dalam Deden Dermawan (2012) adalah sebagai

berikut :
1. Berdasarkan respons klien
2. Berdasarkan ilmu pengetahuan, hasil penelitian keperawatan, standart pelayanan
professional, hukum dank ode etik keperawatan.
3. Berdasarkan penggunaan sumber-sumber yang tersedia.
4. Sesuai dengan tanggung jawab dan tanggung gugat profesi keperawatan.
5. Mengerti dengan jelas pesanan-pesanan yang ada dalam rencana intervensi
keperawatan.
6. Harus dapat menciptakan adaptasi dengan klien sebagai individu dalam upaya
meningkatkan peran serta untuk merawat diri sendiri (self care).
7. Menekkankan pada aspek pencegahan dan upaya peningkatan kesehatan.
8. Dapat menjaga rasa aman dan harga diri dan melindungi klien.
9. Memberi pendidikan dan dukungan dan bantuan.
10. Bersifat holistic.
11. Kerjasama dengan profesi lain.
12. Melakukan dokumentasi.

22
2.2.5 Evaluasi Keperawatan
1. Sifat Evaluasi
Evaluasi merupakan tahapan terakhir dan proses keperawatan keluargaa.
Evaluasi merupakan tahapan yang menentukan apakah tujuan dapat
tercapai sesuai yang ditetapkan dalam tujuan direncana perawatan.
Apabila setelah dilakukan evaluasi tujuan tidak tercapai maka ada
beberapa kemungkinan yang perlu ditinjau kembali yaitu :

1. Tujuan tidak realistis.


2. Tindakan keperawatan tidak tepat.
3. Faktor-faktor lingkungan yang tidak bisa diatasi.
2. Kriteria dan Standar

Kriteria akan memberikan gambaran tentang faktor-faktor tidak tepat


yang memberikan petunjuk bahwa tujuan telah tercapai. Standart telah
menunjukkan tingkat pelaksanaan yang diinginkan untuk
membandingkan dengan pelaksanaan yang sebenarnya.

3. Evaluasi kuantitatif dan Kualitatif

Dalam evaluasi kuantitatif menekankan pada jumlah pelayanan atau


kegiatan yang telah diberikan, misalnya : jumlah imunisasi, kunjungan
ANC pada ibu hamil. Evaluasi kuantitatif kelemahannya hanya
mementingkan jumlah, padahal belum tentu banyaknya kegiatan yang
dilakukan akan berbanding lurus dengan hasil yang memuaskan.
Evaluasi kualitatif dapat dilihat dari :
1. Evaluasi Struktur
Contoh :
1) Penguasaan materi bagi petugas.
2) Sumber-sumber keluarga
3) Penyediaan media untuk keluarga
4) Tersedianya tempat
2. Evaluasi Proses Berhubungan dengan tenaga atau bahan yang diperlukan dalam
suatu kegiatan.
Evaluasi yang dilakukan selama kegiatan berlangsung. Contoh :
1) Penyuluhan sesuai dengan strategi penyampaian
2) Waktu pelaksanaan tepat.
3) Keluarga antusias saat penyuluhan berlangsung

23
3. Evaluasi Hasil
Merupakan hasil dari pemberian asuhan keperawatan :

Contoh :
1) Keluarga mampu menyebutkan kembali pengertian RA dengan
menggunakan bahasa sendiri.
2) Keluarga mampu mendemonstrasikan cara mengompres yang
benar.
4. Metode-metode Evaluasi
1. Observasi langsung.
2. Memeriksa laporan dan observasi langsung.
3. Wawancara
4. Latihan stimulasi.
5. Catatan Perkembangan
Catatan perkembangan keperawatan keluarga merupakan indikator keberhasilan
tindakan keperawatan yang diberikan pada keluarga oleh petugas kesehatan.
Karakteristik evaluasi dengan pedoman SOAP memberikan tuntunan pada
perawat dengan uraian sebagai berikut :
1. Subjektif
Pernyataan atau uraian keluarga, klien atau sumber lain tentang perubahan yang
dirasakan baik kemajuan kemunduran setelah diberikan tindakan keperawatan.

2. Objektif

Data yang bisa diamati dan diukur melalui teknik observasi, palpasi, perkusi,
atau auskultasi sehingga dapat dilihat kemajuan kemunduran pada sasaran
perawatan sebelum dan setelah diberikan tindakan keperawatan.
3. Analisa
Pernyataan yang menunjukkan sejauh mana masalah keperawatan dapat
tertanggulangi.
4. Planning
Rencana yang ada dalam catatan perkembangan merupakan rencana tindakan hasil
evaluasi tentang dilanjutkan dan modifikasi bagi perawat.

24
DAFTAR PUSTAKA

Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits, Felson T, Bingham III CO et al.


(2010). Rematoid Arthritis Classification Criteria An American
College of Rheumatology/European League Against Rheumatism
Collaborative Initiative. Arthritis Rheum, vol.62, pp.2569 – 81

Bresnihan B. (2002). Rheumatoid Arthritis: Principles of Early Treatment.


The Journal of Rheumatology, vol.29, no.66, pp.9-12

Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid


Arthritis Ankle Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta

Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al. Ed.4.(2014). Jakarta:


Media Aesculapius, pp 835-839

Nainggolan,Olwin. (2009). Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di


Indonesia. Maj Kedokt Indon, vol.59, no.12, pp.588-594

Pradana,S.Y. (2012). Sensitifitas Dan Spesifisitas Kriteria ACR 1987 dan


ACR/EULAR 2010 pada Penderita Artritis Reumatoid di RSUP Dr.
Kariadi Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan


Terapi Ilmu Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah

Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan


Pengelolaan Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia.
ISBN

Rudan, I., et al. (2015). Prevalence Of Rheumatoid Arthritis In Low– And


Middle–Income Countries: A Systematic Review And Analysis.
Journal of Global Health, vol.5, no.1, pp.1-10

Suarjana, I.N. (2009). Artritis Reumatoid. dalam Sudoyo, A.W., Setiyohadi,


B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. (editor). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi V, FKUI, Jakarta, pp.2495-508

Sumariyono, H.I. (2010). Predictor Of Joint Damage In Rheumatoid Arthritis.


Indonesian Journal of Rheumatology, vol.03, no.02, pp. 15-20

25

Anda mungkin juga menyukai