Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN OTITIS MEDIA

AKUT DAN KRONIK

Oleh:

Amalia Dita Lestari 201914201004

Dosen:

Ns. Shelfi D.R Putri S., M.Kep

PRODI S1 KEPERAWATAN

STIKES BAHRUL ULUM JOMBANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat Nya
penyusun masih diberi kesehatan sehingga makalah ini dapat terselesaikan
tepat pada waktunya. Makalah yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN
OTITIS MEDIA AKUT DAN KRONIK” ini disusun untuk memenuhi tugas
mahasiswa dari mata kuliah keperawatan medikal bedah III program studi ilmu
keperawatan.

Penulis menyadari bahwa makalah ini tidaklah sempurna. Oleh karena


itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan demi
kesempurnaan makalah ini dimasa akan datang.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya.


Semoga makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk menambah
pengetahuan para mahasiswa dan masyarakat dan pembaca.

Jombang, 09 Oktober 2021

Amalia Dita Lestari

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.........................................................................................................

KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii

DAFTAR ISI...................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1

1.1. Latar belakang............................................................................................................1


1.2. Rumusan masalah.......................................................................................................1
1.3. Tujuan.........................................................................................................................1

BAB II TINJAUAN TEORITIS.....................................................................................3

2.1..................................................................................................................... Fisioligo pendengaran


3
2.2........................................................................................................................Konsep dasar teori
3
2.2.1 Pengertian........................................................................................................3
2.2.2 Etiologi............................................................................................................4
2.2.3 Patofisiologi.....................................................................................................4
2.2.4 WOC................................................................................................................7
2.2.5 Manifestasi klinis.............................................................................................8
2.2.6 Pemeriksaan penunjang...................................................................................8
2.2.7 Konplikasi........................................................................................................9
2.2.8 Penatalaksanaan...............................................................................................9
2.3....................................................................................................................... Konsep dasar askep
11
2.3.1 Pengkajian teoritis..........................................................................................11
2.3.2 Diagnosa keperawatan prioritas yang mungkin muncul.................................13
2.3.3 Rencana asuhan keperawatan (NCP)..............................................................14

BAB III PENUTUP........................................................................................................23

3.1.............................................................................................................................Kesimpulan
23

iii
3.2.................................................................................................................................. Saran
23

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................24

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Otitis media sebenarnya radang telinga tengah. Nama keren ini berasal dari kata
oto yang artinya telinga, itis berarti radang, dan media yang menunjukkan bagian
tengah. Jadi, otitis media itu peradangan sebagian atau seluruh telinga tengah.
Telinga dibagi atas tiga bagian, yakni telinga luar, tengah, dan dalam. Telinga luar
meliputi daun telinga sampai membran timpani atau gendang telinga, yang menjadi
pembatas antara dunia luar dengan rongga telinga tengah. Rongga telinga ini juga
menjadi muara tuba eustachius, saluran yang menghubungkan daerah nasofaring di
rongga mulut dengan rongga telinga. Tuba eustachius memiliki peranan cukup penting.
Selain sebagai ventilasi agar tekanan di rongga telinga sama dengan tekanan udara luar,
saluran ini juga merupakan penghalang masuknya kuman dari nasofaring ke telinga
tengah. Secara normal tuba dalam keadaan tertutup. Kalau telinga tengah perlu oksigen,
ketika mengunyah, menelan, atau menguap, saluran ini baru terbuka. Di telinga tengah
juga terdapat tiga tulang pendengaran yang saling bersambungan dan menghubungkan
gendang telinga dan rumah siput (koklea) di telinga dalam. Rumah siput merupakan
tujuan akhir getaran suara sebelum diteruskan melalui saraf pendengaran dan
keseimbangan ke otak.
Telinga tengah biasanya steril. Di dalam tuba eustachius ada mekanisme
pertahanan untuk mencegah masuknya mikroba dari rongga mulut ke rongga telinga.
Namun, dalam kondisi tertentu, ketika pertahanan terganggu, infeksi di telinga tengah
bisa terjadi. Kuman masuk ke telinga tengah seolah tanpa perlawanan. Kuman inilah
yang menimbulkan otitis media.
Maka dari uraian di atas, penulis mencoba mengangkat masalah tentang Otitis
media akut dan kronik.

1.2. Tujuan

1.2.1. Tujuan Umum

Untuk mempelajari tentang asuhan keperawatan pada klien dengan Otitis


media akut dan kronik.

1
1.2.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui konsep dasar teoritis otitis media akut dan kronik.
2. Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan pada klien dengan otitis
media akut, kronik dan serosa yang meliputi pengkajian, diagnosa
keperawatan, dan intervensi.

2
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Fisiologi Pendengaran

Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang dialirkan keliang telinga dan
mengenai membran timpani, sehingga membran timpani bergetar. Getaran ini
diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain. Selanjutnya
stapes menggerakkan tingkap lonjong (foramen ovale) yang juga menggerakkan
perilimf dalam skala vestibuli. Getaran diteruskan melalui membran Reissener yang
mendorong endolimfe dan membran basal kearah bawah, perilimfe dalam skala timpani
akan bergerak sehingga tingkap (forame rotundum) terdorong ke arah luar.

Skala media yang menjadi cembung mendesak endolimf dan mendorong membran
basal, sehingga menjadi cembung kebawah dan menggerakkan perilimf pada skala
timpani. Pada waktu istirahat ujung sel rambut berkelok-kelok, dan dengan berubahnya
membran basal ujung sel rambut menjadi lurus. Rangsangan fisik tadi diubah oleh
adanya perbedaan ion Kalium dan ion Natrium menjadi aliran listrik yang diteruskan ke
cabang-cabang n.VII, yang kemudian meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik
pendengaran diotak ( area 39-40) melalui saraf pusat yang ada dilobus temporalis.
2.2 Konsep dasar teori
2.2.1 Penngertian
Otitis media merupakan peradangan sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid (Buku Ajar
Ilmu penyakit THT, 1998:hal.50). atau dalam sebutan sehari-hari disebut
“congek”.
Ada 3 ( tiga ) jenis otitis media yang paling umum ditemukan di klinik, yaitu:
1) Otitis media akut merupakan infeksi akut telinga tengah (Keperawatan
Medikal-Bedah Volume 3, 2002:hal.2050).
Otitis media akut adalah keadaan dimana terdapatnya cairan di dalam
telinga tengah dengan tanda dan gejala infeksi (Buku Ajar Ilmu penyakit
THT, 1998)
2) Otitis media kronik adalah kondisi yang berhubungan dengan patologi
jaringan ireversibel dan biasanya disebabkan karena episode berulang otitis
media akut. (Keperawatan Medikal-Bedah Volume 3, 2002:hal.2052).

3
Otitis media kronik ialah infeksi kronik di telinga tengah dengan perforasi
membrane timpani dan secret yang keluat terus menerus atau hilang timbul.
(Buku Ajar Ilmu penyakit THT, 1998)
2.2.2 Etiologi
1) Otitis media akut
Penyebab utama : bakteri Streptococcus pnemoniae, Hemophylus
influenza, dan Moraxella catarrhalis. Paling sering terjadi bila terjadi ISPA,
Inflamasi jaringan sekitarnya, dan reaksi alergi.

Factor resiko: bayi dan anak-anak karena tuba eustachii pada anak-
anak relative luas, lurus dan pendek sehingga radang hidung dan
tenggorokan lebih lekas mencapai telinga tengah
Factor lain: Perforasi membrane timpani bisa akibat trauma akibat
ledakan, pukulan, dan kesalahan dalam penggunaan pengorek kuping
sampai menyebabkan luka dan pecahnya membrane timpani (gendang
telinga), sehingga bakteri mudah masuk ke dalam telinga tengah.
2) Otitis media kronik
Disebabkan karena infeksi berulang otitis media akut.

2.2.3 Patofisiologi
1) Otitis media akut
Bakteri yang umum ditemukan sebagai organisme penyebab adalah
bakteri Streptococcus pnemoniae, Hemophylus influenza, dan Moraxella
catarrhalis. Paling sering terjadi disfungsi tuba eustachii seperti obstruksi
yang diakibatkan oleh infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), inflamasi
jaringan sekitarnya (eg: sinusitis, hipertropi adenoid), atau reaksi alergi (eg:
rhinitis alergika). Bakteri tersebut menyebar ke telinga tengah yang
normalnya steril melewati tuba eustachii sehingga menyebabkan obstruksi
tuba eustachii dan terjadi disfungsi tuba eustachii. Kita ketahui bahwa tuba
eustachii merupakan penghubung daerah nasofaring di rongga mulut dengan
rongga telinga yang fungsinya adalah :
 Menjaga keseimbangan tekanan udara di dalam telinga dan
menyesuaikan dengan tekanan udara di luar.
 Sebagai sawar kuman yang mungkin akan masuk ke dalam telinga
tengah.
4
Karena fungsi tuba eustachius terganggu , pencegahan invasi kuman ke
dalam telinga tengah juga terganggu, sehingga bakteri menyebar ke dalam
telinga tengah dan terjadi infeksi, respon inflamasi yang ditandai dengan
pembengkakan dan kemerahan di sekitar tuba eustachii menyebabkan tuba
eustachii semakin tersumbat, lalu sel-sel darah beraksi melawan bakteri
dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah
eksudat purulen (nanah) dalam telinga tengah. Selain itu pembengkakan
jaringan sekitar saluran Eustachius menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-
sel di telinga tengah terkumpul di belakang membrane timpani (gendang
telinga). Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat
terganggu karena gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung
gendang telinga dengan organ pendengaran di telinga dalam tidak dapat
bergerak bebas. Dan juga bisa menyebabkan perforasi pada membrane
timpani (gendang telinga) akibat tekanan yang berlebihan.
Penyakit ini sering ditemukan pada bayi dan anak-anak, karena tuba
eustachii pada anak-anak relative luas, lurus dan pendek, sehingga radang
hidung dan tenggorokan lebih lekas mencapai telinga tengah dan menyebar
ke tuba eustachii sehingga menyebabkan otitis media akut.
Bakteri juga mudah masuk ke telinga tengah bila ada perforasi
membrane timpani (terbentuknya lubang yang abnormal pada membrane
timpani). Perforasi membrane timpani bisa diakibatkan trauma akibat
ledakan, pukulan, dan kesalahan dalam penggunaan pengorek kuping
sampai menyebabkan luka dan pecahnya membrane timpani (gendang
telinga).

2) Otitis media kronik


Otitis media kronik disebabkan karena episode berulang otitis media
akut. Sering berhubungan dengan perforasi menetap membrane timpani.
Infeksi kronik telinga tengah tak hanya mengakibatkan kerusakan membran
timpani tetapi juga hampir selalu melibatkan mastoid. Infeksi kronik telinga
tengah dapat menjalar ke tulang mastoid melalui auditus ad antrum sehingga
terjadi mastoiditis. Dan juga dapat mengakibatkan pembentukan
kolesteatoma, yang merupakan pertumbuhan kulit ke dalam (epitel
skuamosa) dari lapisan luar membran timpani ke telinga tengah. Kulit dari
membran timpani lateral membentuk kantong luar, yang akan berisi kulit
5
yang telah rusak dan bahan sebaseus. Kantong dapat melekat ke struktur
telinga tengah dan mastoid. Bila tidak ditangani, kolesteatoma ddapat
tumbuh terus dan menyebabkan paralisis nervus fasialis, kehilangan
pendengaran sensorineural/ gangguan keseimbangan dan abses otak. Selain
itu akibat dari kolesteatoma yang tumbuh terus menerus, semakin membesar
dapat menekan jaringan tulang sekitar sehingga menyebabkan destruksi
osikulus (tulang-tulang telinga).

6
2.2.4 WOC

Bakteri (streptococcus trauma akibat ledakan, pukulan, Pasien setelah radioterapi


Factor resiko
pneumonia, hemophylus dan kesalahan dalam
(bayi & anak-anak) dan barotraumas
influenza, moraxella penggunaan pengorek kuping (eg:penyelam)
catarrhalis)
Iritasi/ luka
Tuba eustachii >luas,
Terjadi perubahan
ISPA, Inflamasi jaringan lurus & pendek
Perforasi membran timpani tekanan barometrik
sekitar, reaksi alergi
Perubahan tekanan
Menyebar ke telinga tengah mendadak
melewati tuba eustachii
Tuba gagal utk membuka
Obstruksi tuba eustachii
Disfungsi tuba eustachii Cairan terperangkap dlm
telinga tengah
Pencegahan invasi kuman
ked lm telinga terganggu Kehilangan pendengaran
konduktif
Bakteri menyebar ke
dalam telinga tengah
MK: Resti MK: Intoleransi MK: Gangguan
infeksi
penyebaran infeksi aktivitas sensori-persepsi
pendengaran
Sel darah putih melawan bakteri dg
mengorbankan diri mereka sendiri
Terbentuk eksudat purulen MK: Nyeri
Otalgia (nyeri telinga)
(nanah) dlm telinga tengah
Merangsang
inflamasi Suhu tubuh  Demam MK: Hipertermia
hipotalamus

Episode berulang OTITIS MEDIA KRONIK


OTITIS MEDIA AKUT Menjalar ke tulang
mastoid melalui
auditus ad antrum
Produksi Eksudat  tekanan dlm Kulit dr membran timpani lateral
purulen semakin  telinga tengah membentuk kantong luar berisi
mastoiditis
kulit yg telah rusak
Perforasi membran
Membran timpani & tulang” timpani Otalgia (nyeri telinga)
kecil penghubung membran Kantong melekat ke struktur
timpani dg telinga dalam tdk telinga tengah & mastoid
Menetap (OMK)
dapat bergerak bebas MK: Nyeri
Kolesteatoma
Menekan jaringan tulang
Kehilangan pendengaran
sekitar Tumbuh terus-menerus
konduktif

Destruksi osikulus Paralisis nervus fasialis


(tulang” telinga)
MK: Gangguan Kehilangan pendengaran
komunikasi sensorineural
Kerusakan pd
telinga tengah
MK: Gangguan
komunikasi
MK: Gangguan
sensori-persepsi 7
pendengaran
2.2.5 Manifestasi klinis
1) Otitis media akut
Gejala otitis media dapat bervariasi menurut beratnya infeksi dan
bisa sangat ringan dan sementara atau sangat berat.
 Otalgia (nyeri telinga)
 Keluarnya cairan dari telinga
 Demam
 Kehilangan pendengaran
 Tinitus (bising telinga)
 Pada pemeriksaan otoskopis, kanalis auditorius eksternus sering tampak
normal dan tak terjadi nyeri bila aurikula digerakkan.
 Membrane timpani tampak merah dan sering menggelembung

2) Otitis media kronik


 Kehilangan pendengaran
 Terdapat otorea (cairan dalam telinga) intermitten dan persisten yang
berbau busuk
 Biasanya tidak ada nyeri, kecuali pada kasus mastoiditis akut, dimana
daerah post-aurikuler menjadi nyeri tekan dan bahkan merah dan edema.
 Kolesteatoma biasanya tidak menyebabkan nyeri
 Evaluasi otoskopik membrane timpani menunjukkan adanya perforasi
 Kolesteatoma dapat terlihat sebagai massa putih di belakang membrane
timpani atau keluar kanalis eksternus melalui lubang perforasi.
2.2.6 Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan dengan atoskop (alat untuk memeriksa liang-liang gendang
telinga dengan jelas).
2) Melihat ada tidaknya gendang telinga yang menggembung, perubahan
warna gendang telinga menjadi kemerahan / agak kuning dan suram, serta
cairan di liang telinga.
3) Otoskopi pneumatik (pemeriksaan telinga dengan otoskop untuk melihat
gendang telinga yang dilengkapi dengan udara kecil). Untuk menilai respon
gendang telinga terhadap perubahan tekanan udara.

8
Tujuan: untuk melihat berkurangnya atau tidak ada sama sekali gerakan
gendang telinga.
Timpanogram è untuk mengukur kesesuaian dan kekuatan membran
timpani.
Kultur dan uji sensitifitas dilakukan timpano sintesis (aspirasi jarum dari
telinga tengah melalui membran timpani).

2.2.7 Komplikasi
Komplikasi yang serius adalah :
 Infeksi pada tulang sekitar telinga tengah (mastoiditis atau petrositis).
 Labirinitis (infeksi pada kanalis semisirkuler).
 Tuli
 Peradangan pada selaput otak (meningitis).
 Abses otak.

2.2.8 Penatalaksanaan
Hasil penatalaksanaan otitis media bergantung pada efektivitas terapi
(mis: dosis antibiotika oral yang diresepkan dan durasi terapi), virulensi
bakteri, dan status fisik pasien. Dengan terapi antibiotika spectrum luas yang
tepat dan awal, otitis media dapat hilang tanpa gejala sisa yang serius. Bila
terjadi pengeluaran cairan, biasanya perlu diresepkan preparat, otik antibiotika.
Kondisi bisa berkembang menjadi subakut (mis: berlangsung 3 minggu sampai
3 bulan), dengan pengeluaran cairan purulen menetap dari telinga. Jarang
sekali terjadi kehilangan pendengaran permanen. Komplikasi sekunder
mengenai mastoid dan komplikasi intracranial serius, seperti meningitis atau
abses otak, dapat terjadi meskipun jarang. Insisi pada membrane timpani
dikenal sebagai miringotomi atau timpanotomi. Membrane timpani dianastesi
menggunakan anestesi local seperti fenol atau menggunakan iontoforesis. Pada
iontoforesis suatu arus elektris mengalir melalui larutan lidokain-epinefrin
untuk membuat liang telinga dan membrane timpani kebas. Prosedur ini tidak
menimbulkan nyeri dan berlangsung tidak sampai lima belas menit. Di bawah
mikroskop kemudian dibuat insisi melalui membrane timpani untuk
mengurangi tekanan dan mengalirkan cairan serosa atau purulen dari telinga
tengah. Normalnya, prosedur ini tidak diperlukan untuk otitis media akut;

9
namun, perlu dilakukan bila nyeri menetap. Miringotomi juga memungkinkan
identifikasi organism infeksi dan menentukan sensitivitasnya terhadap agens
antibiotika. Insisi akan menyembuh dalam 24 atau 72 jam. Bila episode otitis
media akut terjadi berulang dan tidak ada kontraindikasi, dapat dipasang
tabung ventilasi atau penyeimbang tekanan (PE, Pressure equalizing). Tabung
ventilasi secara temporer mengambil alih tugas tuba eustachii dalam
menyeimbangkan tekanan dan dipertahankan selama 6 sampai 18 bulan.
Tabung ventilasi lama kelamaan akan diekstrusi oleh migrasi kulit normal
membrane timpani, dan lubang dapat menyembuh pada hampir setiap kasus.
Tabung ventilasi lebih sering digunakan untuk menangani episode otitis media
akut berulang pada anak daripada dewasa.
Pada otitis media kronik, penanganan local meliputi pembersihan hati-
hati telinga menggunakan mikroskop dan alat pengisap. Pemberian tetes
antibiotika atau pemberian bubuk antibiotika sering membantu bila ada cairan
purulen. Antibiotika sistemik biasanya tidak diresepkan kecuali pada kasus
infeksi akut. Berbagai prosedur pembedahan dapat dilakukan bila dengan
penanganan obat tidak efektif. Yang paling sering adalah timpanoplasti-
rekonstruksi bedah membrane timpani dan osikulus. Tujuan timpanoplasti
adalah mengembalikan fungsi telinga tengah, menutup lubang perforasi telinga
tengah, mencegah infeksi berulang, dan memperbaiki pendengaran. Dalam
sejarah ada 5 tipe timpanoplasti. Prosedur bedah yang paling sederhana, tipe I
(Miringoplasti), dirancang untuk menutup lubang perforasi pada membrane
timpani. Prosedur lain, tipe II sampai V, meliputi perbaikan yang lebih intensif
struktur telinga tengah. Struktur dan derajat keterlibatannya bisa berbeda,
namun bagian semua prosedur timpanoplasti meliputi pengembalian
kontinuitas mekanisme konduksi suara. Timpanoplasti dilakukan melalui
kanalis auditorius eksternus, baik secara transkanal atau melalui insisi
postaurikuler. Isi telinga tengah diinspeksi secara teliti, dan hubungan antara
osikulus dievaluasi. Terputusnya rantai osikulus adalah yang paling sering
pada otitis media, namun masalah rekonstruksi juga akan muncul dengan
adanya malformasi telinga tengah dan dislokasi osikuler akibat cedera kepala.
Perbaikan dramatis pendengaran dapat terjadi setelah penutupan lubang
perforasi dan perbaikan kembali osikulus. Pembedahan biasanya dilakukan
pada pasien rawat jalan dengan anesthesia umum. Selanjutnya mastoidektomi,
tujuan pembedahan mastoid adalah untuk mengangkat kolesteatoma, mencapai
10
struktur yang sakit, dan menciptakan telinga yang aman, kering dan sehat. Bila
mungkin, osikulus direkonstruksi selama prosedur pembedahan awal. Namun,
kadang beratnya penyakit mengharuskan hal ini dilakukan sebagai bagian
operasi kedua yang terencana. Mastoidektomi biasanya dilakukan melalui
insisi post-aurikuler, dan infeksi dihilangkan dengan mengambil secara
sempurna sel udara mastoid. Nervus fasialis berjalan melalui telinga tengah
dan mastoid dan dapat mengalami bahaya selama pembedahan mastoid,
meskipun jarang mengalami cidera. Begitu pasien bangun dari pembiusan,
harus diperhatikan setiap tanda paresis fasialis yang harus segera dilaporkan ke
dokter. Bila terjadi kelemahan fasial, balutan mastoid harus dilonggarkan dan
pasien dikembalikan ke meja operasi, luka dibuka, dan nervus fasialis
didekompresi untuk melonggarkan kanalis tulang yang mengelilingi nervus
fasialis. Mastoidektomi kedua mungkin diperlukan 6 bulan setelah yang
pertama untuk mengecek kekambuhan kolesteatoma. Mekanisme pendengaran
dapat direkonstruksi pada saat ini bila kolesteatoma telah dieradikasi
sempurna. Angka keberhasilan untuk mengkoreksi kehilangan pendengaran
konduktif ini sekitar 50% sampai 60%.
2.3 Konsep dasar Askep
2.3.1 Pengkajian teoritis

1. Identitas klien
(Nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama,
suku bangsa, tanggal dan jam masuk RS, no register dan diagnosis medis).
2. Keluhan utama

Klien masuk rumah sakit dengan keluhan Otalgia (nyeri telinga),


Keluarnya cairan dari telinga, Demam, Kehilangan pendengaran, Tinitus
(bising telinga), Pada pemeriksaan otoskopis, kanalis auditorius eksternus
sering tampak normal dan tak terjadi nyeri bila aurikula digerakkan,
Membrane timpani tampak merah dan sering menggelembung.

3. Riwayat Kesehatan Sekarang


Biasanya klien mengeluh nyeri (otalgia), gangguan pendengaran
disertai keluarnya cairan dari dalam telinga (otore).
4. Riwayat Kesehatan Dahulu
 Pernah mempunyai riwayat ISPA yang berulang
11
 Pernah mempunyai riwayat alergi
5. Riwayat Kesehatan Keluarga

Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang lalu yang
mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.

6. Data Dasar pengkajian


 Kaji adanya perilaku nyeri
 Kaji adanya peningkatan suhu
 Kaji status nutrisi dan keadekuatan asupan cairan berkalori
 Kaji adanya pembesaran kelenjar limfe di daerah leher
 Kaji kemungkinan tuli.
7. Pemeriksaan fisik telinga
 Perawat menginspeksi dan memalpasi struktur telinga luar, inspeksi
telinga tengah dengan otoskop dan menguji telinga dalam dengan
mengukur ketajaman pendengaran.
 Pemeriksaan harus dimulai dengan inspeksi dan palpasi aurikula dan
jaringan sekitarnya. Liang telinga juga harus diperiksa, mula – mula
tanda speculum sebelum memeriksa membrane timpani. Liang telinga
tidak berjalan lurus untuk meluruskannya pada pemeriksaan, pegang
aurikula dan tarik sedikit ke belakang dan keatas pada orang dewasa, dan
ke arah bawah pada bayi.
 Speculum telinga yang dipegang dengan tangan digunakan bersama
dengan suatu kaca kepala dan sumber cahaya. Berdinding tipis dan
berbentuk corong, permukaannya besifat tidak memantulkan serta
tersedia dalam berbagai ukuran. Karena lubang telinga kecil maka
speculum perlu digerakan ke dalam liang telinga untuk dapat melihat
seluruh membrane timpani. Otoskop dapat memperbesar pandangan
terhadap membrane timpani.Otoskopi pneumatic dengan mudah
menditeksi adanya perforasi membrane timpani atau cairan dalam telinga
tengah.
 Uji Webber, memanfaatkan konduksi tulang untuk menguji adanya
lateralisasi suara. Sebuah garpu tala dipegang erat pada gagangnya dan
pukulkan pada lutut atau pergelangan tangan pemeriksa, letakan pada
dahi atau gigi pasien. Tanyakan apakah terdengar suara di tengah kepala,
12
di telinga kanan, atau telinga kiri. Individu dengan pendengaran normal
akan mendengar suara seimbang pada kedua telinga atau terpusat pada
tengah kepala. Bila ada kehilangan pendengarn konduktif ( otosklerosis,
otitis media ), suara akan jelas terdengar pada sisi yang sakit. Bila terjadi
kehilangan sensorineural, suara akan mengalami lateralisasi ke telinga
yang pendengarannya lebih baik. Uji Webber berfungsi untuk kasus
kehilangan pendengaran unilateral ( Smeltzer, 2002 ).
 Uji Rinne, gagang garputala yang bergetar diletakan di belakang aurikula
pada tulang mastoid samapi pasien tidak mampu lagi mendengar suara.
Kemudian pindahkan ke dekat telinga sisi yang sama. Telinga normal
masih akan mendengar suara melalui hantaran udara yang menunjukan
konduksi udara belangsung lebih lama dari konduksi tulang. Pada
kehilangan pendengaran konduktif, konduksi tulang akan melebihi
konduksi udara. Kehilangan pendengaran sensorineural memungkinkan
suara dihantarkan melalui udara lebih baik dari tulang, meskipun
keduanya merupakan konduktor yang buruk dan segala suara diterima
seperti sanagt jauh dan lemah.
 Uji Schwabach, membandingkan hantaran tulang pasien dengan
pemeriksa. pasien diminta melaporkan saat penala bergetar yang
ditempelkan pada mastoidnya tidak lagi dapat didengar. Pada saat itu
pemeriksa memindahkan penala ke mastoidnya sendiri dan menghitung
berapa lama ia masih dapat menangkap gelombang bunyi. Uji ini
dikatakan normal bila hanatran tulang pasien dan pemeriksa hampir
sama. Uji ini dikatakan memanjang atau meningkat bila hantaran tulang
pasien lebih lama dibandingkan pemeriksa, misalnya pada kasus
kehilangan pendengarn konduktif. Dan dikatakan memendek jika
pemeriksa masih bias mendengar penala setelah pasien tidak lagi
mendengar.
2.3.2 Diagnosa keperawatan prioritas yang mungkin muncul
1) Nyeri berhubungan dengan inflamasi pada jaringan tengah telinga
2) Gangguan sensori-persepsi berhubungan dengan kerusakan pada telinga
tengah
3) Gangguan berkomunikasi berhubungan dengan efek kehilangan
pendengaran.

13
4) Gangguan citra diri berhubungan dengan paralysis nervus fasialis (nervus
kranialis VII)
5) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan nyeri
6) Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan mengenai
pengobatan dan pencegahan kekambuhan.
2.3.3 Rencana Asuhan Keperawatan (NCP)
Diagnosa Kriteria
No Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan Hasil
1 Nyeri Setelah  Nyeri  Dorong pasien  Mencoba untuk
berhubungan dilakukan berkurang. untuk melaporkan mentoleransi
dengan inflamasi intervensi  Meminta nyeri nyeri
pada jaringan keperawatan analgetik  Kaji laporan  Perubahan pada
tengah telinga selama 3 x sesuai nyeri, catat lokasi, karakteristik
24 jam kebutuhan lamanya, nyeri dapat
diharapkan  TTV DBN: intensitas (0-10). menunjukkan
nyeri - TD: Selidiki dan penyebaran
berkurang 110/70- laporkan penyakit/
120/80 perubahan terjadinya
mmHg karakteristik nyeri komplikasi.
- ND: 60- MANDIRI
100 x/i  kaji ulang factor-  Dapat
- RR: 16-24 faktor yang menunjukkan
x/i meningkatkan dengan tepat
- S: 36,5- atau pencetus atau
37,5°C menghilangkan factor pemberat
nyeri atau
mengidentifikas
i terjadinya
komplikasi.
 izinkan pasien
untuk memulai
posisi nyaman
 berikan tindakan  Meningkatkan
nyaman relaksasi,
memfokuskan
14
kembali
perhatian, dan
meningkatkan
kemampuan
koping.
 kompres dingin  Meredakan
sekitar area nyeri
telinga

KOLABORASI
 Berikan analgetik  Untuk
meredakan
nyeri

2 Gangguan Setelah  Klien akan  mengurangi  Membantu


sensori-persepsi dilakukan mengalami kegaduhan pada pendengaran
berhubungan intervensi peningkatan lingkungan klien
dengan kerusakan keperawatan persepsi/sen  Memandang klien  Agar klien
pada telinga selama 3 x soris ketika sedang mengerti apa
tengah 24 jam pendengaran berbicara yang
diharapkan sampai pada  Berbicara jelas dibicarakan
sensori- tingkat dan tegas pada
persepsi fungsional klien tanpa perlu
membaik  TTV DBN: berteriak
 Dengan
- TD:  Memberikan
memperhatikan
110/70- pencahayaan yang
gerak bibir
120/80 memadai bila
ketika sedang
mmHg klien bergantung
berbicara dapat
- ND: 60- pada gerak bibir
membantu
100 x/i
pasien dalam
- RR: 16-24
komunikasi
x/i
-S:36,5-  Membantu
 Menggunakan
37,5°C lancarnya
tanda – tanda
komunikasi
nonverbal ( mis.
15
Ekspresi wajah, pada klien
menunjuk, atau gangguan
gerakan tubuh ) sensori persepsi
dan bentuk
komunikasi
lainnya.
 Instruksikan
kepada keluarga
atau orang
terdekat klien
tentang
bagaimana teknik
komunikasi yang
efektif sehingga
mereka dapat
saling berinteraksi
dengan klien
 Bila klien
menginginkan
dapat digunakan
alat bantu
pendengaran.

3 Gangguan Setelah  Klien akan  Dapatkan apa  Metode


berkomunikasi dilakukan memakai alat metode komunikasi
berhubungan intervensi bantu dengar komunikasi yang untuk
dengan efek keperawatan (jika sesuai). dinginkan dan membantu
kehilangan selama 3 x  Menerima catat pada rencana kesulitan
pendengaran 24 jam pesan melalui perawatan metode berkomunikasi
diharapkan metoda yang digunakan
komunikasi pilihan (misal oleh staf dan
membaik/ : komunikasi klien, seperti
gangguan tulisan, :Tulisan,Berbicara
komunikasi bahasa ,Bahasa isyarat.
berkurang. lambang, Kaji kemampuan
16
berbicara untuk menerima
dengan jelas pesan secara
pada telinga verbal.
yang baik. 1. Jika ia dapat
mendegar pada
satu telinga,
berbicara dengan
perlahan dan
dengan jelas
langsung ke
telinga yang baik
(hal ini lebih baik
daripada berbicara
dengan keras).
2. Tempatkan
klien dengan
telinga yang baik
berhadapan
dengan pintu.
3. Dekati klien
dari sisi telinga
yang baik.

Jika klien dapat


membaca ucapan:
1. Lihat langsung
pada klien dan
bicaralah lambat
dan jelas.
2. Hindari berdiri  karena dapat
di depan cahaya menyebabkan
Perkecil distraksi klien tidak dapat
yang dapat membaca bibir
menghambat anda.
konsentrasi klien.
17
 Minimalkan
percakapan jika
klien kelelahan
atau gunakan
komunikasi
tertulis.
 Tegaskan
komunikasi
penting dengan
menuliskannya.
 Jika ia hanya
mampu bahasa
isyarat, sediakan
penerjemah.
 Alamatkan semua
komunikasi pada
klien, tidak
kepada
penerjemah. Jadi
seolah-olah
perawat sendiri
yang langsung
berbicara kepada
klien dengan
mengabaikan
keberadaan
penerjemah
 Gunakan faktor-
faktor yang
meningkatkan
pendengaran dan
pemahaman.
 Bicara dengan
jelas, menghadap

18
individu.
 Ulangi jika klien
tidak memahami
seluruh isi
pembicaraan.
 Gunakan rabaan
dan isyarat untuk
meningkatkan
komunikasi.
 Validasi
pemahaman
individu dengan
mengajukan
pertanyaan yang
memerlukan
jawaban lebih dari
ya dan tidak.

4 Gangguan citra Setelah  klien dapat  Kaji tingkat  Untuk


diri berhubungan dilakukan melakukan kecemasan dan mengurangi
dengan paralysis intervensi upaya untuk mekanisme pikiran negative
nervus fasialis keperawatan mengatasi koping klien klien terhadap
(nervus kranialis selama 3 x penyakitnya terlebih dahulu penyakitnya
VII) 24 jam  klien dapat  Beritahukan pada  Agar klien
diharapkan melakukan klien mengerti proses
klien aktivitas fisik kemungkinan penyakitnya dan
memiliki dan social terjadinya fasial berusaha
gambaran sehari-hari palsy akibat menghilangkan
diri yang tindak lanjut dari pikiran negative
positif penyakit tersebut terhadap
penyakitnya
 Informasikan  Membantu
bahwa keadaan meringankan
ini biasanya rasa takut klien
hanya bersifat terhadap
19
sementara dan penyakitnya
akan hilang
dengan
pengobatan yang
teratur dan rutin.

5 Ansietas Setelah  Klien  Observasi  Ansietas ringan


berhubungan dilakukan tampak tingkah laku dapat
dengan intervensi rileks yang ditunjukkan
kurangnya keperawatan  Melaporkan menunjukkan dengan peka
pengetahuan selama 3 x ansietas tingkat ansietas. rangsang dan
mengenai 24 jam berkurang insomnia.
pengobatan dan diharapkan  Mampu Ansietas berat
pencegahan klien merasa mengidentifi yang
kekambuhan aman dan kasi cara berkembang
tidak ansietas hidup sehat kedalam
lagi dengan keadaan panic
membagikan dapat
perasaannya menimbulkan
. perasaan
terancam,
terror,
ketidakmampu
an untuk
berbicara dan
bergerak,
berteriak-
teriak.
 Tinggal bersama  Menegaskan
pasien, pada pasien
mempertahanka atau orang
n sikap yang terdekat bahwa
tenang. walaupun
Mengakui atau perasaan pasien
menjawab di luar control,
20
kekhawatiranny lingkungannya
a dan tetap aman.
mengizinkan
perilaku pasien
yang umum.  Memberikan
 Bicara singkat informasi
dengan kata akurat yang
sederhana. dapat
menurunkan
distorsi/
kesalahan
interpretasi
yang dapat
berkenaan pada
reaksi ansietas.
 Rentang
 Kurangi perhatian
stimulasi dari mungkin
luar menjadi
pendek,
konsentrasi
berkurang,
yang
membatasi
kemampuan
untuk
mengasimilasi
informasi.
 Menciptakan
 Diskusikan lingkungan
dengan pasien yang
atau orang terapeutik.
terdekat
penyebab
emosional yang
21
labil  Memahami
 Tekankan bahwa tingkah
harapan bahwa laku didasarkan
pengendalian atas fisiologis
emosi itu harus dapat
tetap diberikan memungkinkan
sesuai dengan respon yang
perkembangan berbeda
terapi obat.

BAB III
PENUTUP
2.2 Kesimpulan
Otitis media akut merupakan infeksi akut telinga tengah yang disebabkan oleh
masuknya bakteri Streptococcus pnemoniae, Hemophylus influenza, dan Moraxella

22
catarrhalis ke dalam telinga tengah yang normalnya steril. Paling sering terjadi bila
terjadi ISPA, Inflamasi jaringan sekitarnya, dan reaksi alergi. Dengan gejala Otalgia
(nyeri telinga), Keluarnya cairan dari telinga, Demam, Kehilangan pendengaran, Tinitus
(bising telinga), Pada pemeriksaan otoskopis, kanalis auditorius eksternus sering tampak
normal dan tak terjadi nyeri bila aurikula digerakkan, Membrane timpani tampak merah
dan sering menggelembung.
Otitis media kronik adalah kondisi yang berhubungan dengan patologi jaringan
ireversibel dan biasanya disebabkan karena episode berulang otitis media akut.
3.2 Saran
Diharapkan kepada mahasiswa dapat mempelajari dan memahami tentang
penyakit otitis media akut dan kronik dan pencegahannya.
Dalam bidang keperawatan, mempelajari suatu penyakit itu penting, dan
diharapkan kepada mahasiswa mampu membuat konsep teoritis suatu penyakit tersebut
beserta asuhan keperawatannya

DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddart. 2002. Keperawatan Medical-Bedah. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Volume 3.

23
Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. 1998. Buku Ajar Ilmu penyakit THT.

FKUI:Jakarta.

Herawati, sri, dkk. 2003. Buku ajar Ilmu penyakit telinga hidung tenggorok untuk mahasiswa
Fakultas Kedokteran Gigi. EGC : Jakarta

Iskandar, Nurbaiti. 2006. Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok untuk perawat, edisi 2.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta

Doenges Marilynn, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3 . EGC : Jakarta.

Ramli Ahmad, dkk. 2000. Kamus Kedokteran. Djambatan : Jakarta.

Dorlan W.A. Nawman. 2002. Kamus Kedokteran Darkin. Edisi 29. EGC : jakarta.

http://moveamura.wordpress.com/medical-surgical-nursing/askep-otitis-media/

24

Anda mungkin juga menyukai