Disusun Oleh :
Prodi S1 Keperawatan
Dosen Pembimbing :
Ns. SHELFI D.R PUTRI S., M.Kep
i
Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan benar tanpa kesulitan yang berarti
makalah ini telah kami susun dengan semaksimal mungkin sesuai dengan
referensi yang kami dapatkan sehingga dapat membantu kita semua agar dapat
memahami isi materi dari makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tatabahasanya. Oleh karena itu dengan
tangan terbuka kami menerima segala saran dan saran dari pembaca agar kami
dapat memperbaiki makalah yang kami buat ini.
ii
Daftar Isi
Cover........................................................................................................................i
Kata Pengggantar..................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN
2.1 Definisi.......................................................................................................6
2.2 Etiologi.......................................................................................................6
2.3 Manifestasi Klinis......................................................................................7
2.4 Patofisiologi...............................................................................................8
2.5 WOC........................................................................................................10
2.6 Penatalaksanaan.......................................................................................12
2.7 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................12
2.8 Komplikasi...............................................................................................13
2.9 Asuhan Keperawatan...............................................................................14
2.9.1 Pengkajian......................................................................................14
2.9.2 Diagnosa.........................................................................................23
2.9.3 Intervensi........................................................................................23
2.9.4 Implementasi..................................................................................24
2.9.5 Evaluasi..........................................................................................25
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan..............................................................................................26
3.2 Saran.........................................................................................................2
6
iii
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................27
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
Di Indonesia sendiri, angka kejadian penyakit GBS kurang lebih 0,6-1,6 setiap
10.000-40.000 penduduk. Perbedaan angka kejadian di negara maju dan berkembang
tidak nampak. Kasus ini cenderung lebih banyak pada pria dibandingkan wanita. Data RS
Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan pada akhir tahun 2010-2011
tercatat 48 kasus GBS dalam satu tahun dengan berbagai varian jumlahnya per bulan.
Pada Tahun 2012 berbagai kasus di RSCM mengalami kenaikan sekitar 10% (Mikail,
2012).
Guillain-Barré syndrome (GBS) adalah penyakit sistem saraf yang dimediasi oleh
respon imun, beronset akut atau subakut, dan biasanya ditandai dengan kelemahan
progresif dari ekstremitas, parestesia ekstremitas, dan arefleksia relatif atau komplit. GBS
dikenal sebagai penyakit autoimun yang dipicu oleh infeksi bakteri atau infeksi virus
antesenden, yang paling sering yaitu infeksi saluran pernapasan atas atau infeksi saluran
pencernaan. Campylobacter jejuni sebagai bakteri yang paling berasosiasi dengan GBS,
ditemukan pada 25 – 50% pasien dewasa dengan frekuensi tinggi di negara-negara Asia.
Meskipun jarang terjadi, tetapi ada laporan yang menyatakan bahwa vaksinasi dan operasi
dapat memicu GBS. Pada tahun 1976 ketika vaksinasi untuk virus influenza A H1N1,
terdapat 1 dari 100.000 orang yang mengalami GBS. Kemudian pada tahun 2009 terdapat
1-6 kasus per 1.000.000 orang yang diberikan vaksin.
5
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana konsep asuhan keperawatan pasien GBS.
1.3 Tujuan Masalah
Untuk mengetahui bagaimana konsep asuhan keperawatan pada pasien GBS.
6
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah sindrom klinis yang penyebabnya tidak
diketahui secara pasti ditunjukkan oleh awitan akut dari gejala-gejala yang mengenai
saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinisasi dan degenerasi selaput
myelin dan saraf perifer kranial (Smeltzer, 2002).
Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit saraf, juga
merupakan salah satu polineuropati karena hingga sekarang belum dapat diapstikan
penyebabnya. Namun kebanyakan kasus terjadi sesudah proses infeksi diduga GBS
terjadi karena sistem kekebalan tidak berfungsi. Gejalanya adalah kelemahan otot (parese
hingga plegia), biasanya perlahan mulai dari bawah ke atas. Jadi gejala awalnya biasanya
tidak bisa berjalan atau gangguan berjalan. Sebaliknya penyembuhannya diawalai dari
bagian atas tubuh ke bawah sehingga bila ada gejala sisa biasanya gangguan berjalan
(Fredericks et all, dalam Ikatan Fisioterapi Indonesia, 2007).
2.2 Etiologi
Etiologi Guillain – Barre Syndrome sampai saat ini masih belum dapat diketahui
dengan pasti dan masih menjadi bahan perdebatan. Teori yang dianut sekarang ialah
suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune
mediated process. Periode laten antara infeksi dan gejala polineuritis memberi dugaan
bahwa kemungkinan kelainan yang terdapat disebabkan oleh suatu respons terhadap
reaksi alergi saraf perifer. Pada banyak kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan
namun terdapat gangguan di medula spinalis dan medula oblongata (Japardi, 2002).
7
1. Infeksi virus atau bakteri
GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi
kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan
atas atau infeksi gastrointestinal. Infeksi akut yang berhubungan dengan GBS :
2. Vaksinasi
3. Pembedahan, anestesi
4. Penyakit sistematik, seperti keganasan, Systemic Lupus Erythematosus, tiroiditis, dan
penyakit Addison
5. Kehamilan atau dalam masa nifas
6. Gangguan endokrin
2.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang jelas seperti: gejala pasti SGB yaitu kelemahan progresif
pada kaki dan tangan (dimulai dari kaki terlebih dahulu) dan hilangnya refleks pada pada
tungkai yang lemah. Gejala tambahan lainnya: fase progresif yang dimulai dari beberapa
8
hari hingga beberapa minggu (biasanya 2 minggu), kesimetrisan yang relatif antara
bagian tubuh kiri atau kanan, kelemahan pada saraf kranial terutama kelemahan saraf
fasialis bilateral, disfungsi autonomis, dan kadang disertai nyeri (Willison, Jacobs, &
Doorn, 2015).
2.4 Patofisiologis
GBS merupakan suatu demielinasi polineuropati akut yang dikenal dengan beberapa
nama lain yaitu, polineurutis akut, paralisis asenden Landry, dan polineuropati inflamasi
akut. Gambaran utama GBS adalah paralisis motorik asendens secara primer dengan
berbagai gangguan fungi sensorik. GBS adalah gangguan neuron motorik bagian bawah
dalam saraf primer, final common pathway, untuk gerakan motorik juga terlibat.
Usaha untuk memisahkan agen penyebab infeksi tidak berhasil dan penyebabnya
tidak diketahui. Namun telah diketaui bahwa GBS bukan penyakit herediter atau menular.
Walaupun mungkin tidak terdapat peristirwa pencetus, anamnesis pasien yang lengkap
sering kali memperlihatkan suatu penyakit virus biasa yang terjadi 1 hingga 3 minggu
sebelum awitan kelemahan motorik. Jenis penyakit lain yang mendahului sidrom tersebut
adalah infeksi pernapasan ringan atau infeksi GI. Pembedahan, imunisasi, penyakit
Hodgkin, atau limfoma lain, dan lupus eritomatosus. Keadaan yang paling sering
dilaporkan adalah infeksi Campylobacter jejuni yang secara khas memyebabkan penyakit
GI swasirna yang ditandai dengan diare, nyeri abdomen, dan demam.
Akibat tersering dari kejadian ini dalam petologi adalah bahwa kejadian pencetus
(virus atau proses inflamasi) merubah dalam sistem saraf sehingga sistem imun
mengenali sistem tersebut sebagai sel asing. Sesudah itu, limfosit T yang tersensitisasi
dan amkrofag akan menyerang mielin. Selain itu limfosit mengiduksi limfosit B untuk
menghasilkan antibody yang menyerang bagian tertentu daris selubung mielin,
menyebabkan kerusakan mielin (NINDS,2000).
Akibatnya adalah cedera demielinasi ringan hingga berat yang mengganggu
konduksi impuls dalam saraf perifer yang terserang. (sebaliknya, demielinasi pasda MS
hanya terbatas pada sistem saraf pusat). Perubahan patologi mengikuti pola yang tepat :
infiltrasi limfosit terjadi dalam ruang perivaskular yang berdekatan dengan saraf tersebut
dan menjadi fokus degenerasi mielin.
Demielinsi akson saraf perifer menyebabkan timbulnya gejala positif dan negatif.
Gejala positif adalah nyeri dan perestesia yang berasal dari aktivitas impuls abnormal
dalam serat sensoris atau “cross-talk” listrik antara akson abnormal yang rusak. Gejala
9
negatif adalah kelemahan atau paralisis otot, hilangnya refleks tendon, dan menurunnya
sensasi. Dua gejala negatif pertama tersebut disebabkan oleh kerusakan akson motorik;
yagn terakhir disebabkan oleh kerusakan serabut sensorik.
Pada GBS, gejala sensorik cenderung ringan dan dapat terdiri dari rasa nyeri, geli,
mati rasa, serta kelainan sensasi getar dan posisi. Namun, polineuropati merupakan
motorik dominan dan temuan klienis dapat bervarisasi mulai dari kelemahan otot hingga
paralisis otot pernapasan yang membutuhkan penanganan ventilator. Kelemahan otot
rangka sering kali sangat akut sehingga tidak terjadi atrofi otot, namun tonus otot hilang
dan mudah terdeteksi arefleksia. Kepekaan biasnya dirangsang dengan tekanan yang kuat
dan pemerasan pada otot. Lengan dapat menjdi kurus atau otot lengan kurang lemah
dibandingkan dengan otot tungkai. Gejala autonom termasuk hipotensi postural, takikardi
sinus, dan tidak kemampuan untuk berkeringat. Bila saraf kranial terlibat, paralisis akan
menyerang otot wajah, okular, dan otot orofaringeal biasanya setelah keterlibatan lengan.
Gejala saraf kranial adalah palsi wajah dan kesulitan bicara, gangguan visual dan
kesulitan menelan. Istilah palsi bulbar kadang-kadang digunakan secara khusus untuk
peralisis rahang, faring, otot lidah dan gangguan penglihatan yang disebabkan oleh
kerusakan saraf kranial III,IV,,VI,VII,IX, dan XI, yang berasal dari medula oblongata dan
biasa disebut bulb.
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada GBS masih belum diketahui dengan
pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindrom
ini adalah melalui mekanisme imun. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesis merupakan
mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindrom ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated
immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi,
2. Adanya auto-antibody terhadap sistem saraf tepi,
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh
darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demielinisasi saraf tepi pada GBS dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan
imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering
adalah infeksi virus.
10
2.5 WOC
Infeksi virus/bakteri, Vaksinasi, Pembedahan/anastasi, Penyakit
Sistematik, Gangguan endokrin , Hamil/ dalam masa nifas
Proses autoimun
Cidera dimelinasi
Konduksi salsatori tidak terjadi dan tidak ada transmisi impuls syaraf
11
Penurunan tonus
Mk.
Mk. Gg. otot sel. Tubuh, Mk. Gangguan
Ketidakefektifan
Nutrisi perubahan eliminasi
bersihan jalan napas
kurang dari estetika wajah fekal(konstipasi/diare
kebutuhan
Mk. Resiko tinggi infeksi saluran
Hambatan mobilitas fisik,
Ketidakefektifa napas bawah dan parenkim
defisit perawatan diri
n pola napas
‘ Pneumonia
Hipoksemia
Asidosis Respiratorik
Gagal Napas
Koma
Kematian
12
2.5 Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Pranata,2020) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut :
2. Pemeriksaan EMG
3. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira
kira pada hari ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran
cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus GBS.
2.6 Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan medis :
1. GBS dianggap sebagai kondisi kedarurtan medis; pasien di tangani di dalam unit
perawatan intensif.
2. Masalah pernafasan mungkin memerlukan terapi pernapasan atau ventilasi mekanis.
3. Intubasi elektif dapat diimplementasikan sebelum awitan keletihan otot pernapasan
yang ekstrem.
4. Agens antikoagulan dan stocking antiembolisme atau sepatu kompresi berurut dapat
digunakan untuk mencegah thrombosis dan emboli pulmonal.
5. Plasmaferesis (pertukaran plasma) atau immunoglobulin intravena (IVIG) dapat
digunakan untuk secara langsung mempengaruhi kadar antibodi myelin saraf perifer.
6. Pemantauan EKG secara kontinu; pantau dan tangani disritmia jantung dan
komplikasi labil lain akibat disfungsi autonom. Takikardia dan hipertensi ditangani
13
dengan obat kerja singkat, seperti agens penyekat alfa-adrenergik. Hipotensi di
tangani dengan meningkatkan jumlah cairan intravena yang diberikan. (Brunner &
Suddarth, 2011)
2) Penatalaksanaan nonmedis :
Dengan cara melakukan latihan pasif yaitu dengan menerapkan Range Of Motion.
(jurnal “Inside Guillain-Barré Syndrome: An occupational therapist's perspective” 2011)
2.7 Komplikasi
Komplikasi GBS yang signifikan adalah kegagalan ventilasi, pneumonia aspirasi,
sepsis, kontraktur sendi, dan trombosis vena dalam. Namun secara garis besar oleh Wang
dkk, 2015. mengelompokkan komplikasi GBS menjadi 2 yaitu;
1. Komplikasi jangka pendek:
a. kardiovaskuler
b. Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone (SIADH)
c. Ensefalopati
d. Komplikasi respiratori
e. Penyakit ginjal
f. Rhabdomiolisis
g. Konstipasi
2. Komplikasi jangka panjang:
a. gangguan psikologis seperti kecemasan,
b. susah tidur
c. rasa nyeri
14
2.9 Konsep Asuhan Keperawatan Guilline Barrie Syndrome
2.9.1Pengkajian
1. Data Klinis
Terdiri dari inisial pasien, nomor rekam medis, usia, jenis kelamin, diagnosa medis,
hari rawatan, dll.
2. Keluhan Utama
Kaji alasan klien dibawa ke rumah sakit, biasanya terjadi kelemahan anggota gerak,
kehilangan kemampuan berbicara, pusing, kejang, dll.
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Kondisi klien saat pengkajian, berupa data subjektif dan data objektif. Klien dengan
SGB mengalami kelemahan anggota gerak yang biasanya diawali dengan rasa kebas
dan kesemutan.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Kaji apakah sebelumnya klien pernah mengalami demam atau proses pembedahan
sebelumnya, karena SGB berkaitan dengan infeksi atau virus.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji apakah ada keluarga klien yang memiliki riwayat penyakit yang sama.
4. Pengkajian Fungsional Gordon
1) Pola Persepsi dan penanganan kesehatan
Terjadi penurunan kemampuan sensori dan persepsi sehingga mudah terjadi
injury dan terjadi disorientasi serta kesulitan dalam pengambilan keputusan.
2) Pola Nutrisi dan metabolisme
Klien mengalami disfagia atau kesulitan dalam menelan, berkurangnya sensori
di pipi, tenggorokan, dan lidah.
3) Pola Eliminasi
Setelah timbul gejala stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urin
sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan
dan ketidakmampuan mengontrol keluaran urin akrena gangguan kontrol
motorik.
4) Pola aktivitas dan olahraga
15
Klien mengalami gangguan dalam beraktivitas karena hemiplegia atau
hemiparise dan penurunan tonus otot.
5) Pola istirahat atau tidur
Klien bisa mengalami gangguan tidur karena ketidaknyamanan pada anggota
tubuh dan juga mudah lelah karena kemampuan motorik yang berkurang.
6) Pola kognitif atau persepsi
Klien mengalami gangguan kognitif dan persepsi seperti afasia (berkurangnya
kemampuan berkomunikasi), disfungsi persepsi visual, gangguan dalam
hubungan visual-spasial dan kehilangan sensori.
7) Pola peran hubungan
Kaji dukungan yang didapatkan klien dan bagaimana pengaruh penyakit
terhadap peran dan hubungan nya dengan orang terdekat
8) Pola seksualitas dan reproduksi
klien dapat mengalami gangguan reproduksi dan seksualitas karena adanya
penurunan fungsi motorik dan sensorik
9) Pola kognitif toleransi stress
Karena mengalami kelemahan pada anggota gerak, maka akan berdampak pada
kemampuan klien bertoleransi terhadap stress.
10) Pola keyakinan dan nilai
Kaji pengaruh agama terhadap kemampuan klien beradaptasi dengan penyakit.
5. Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan Neurologis
16
perintah
4. Buka mata spontan 4. Menghindari nyeri 4. Disorientasi tempat dan
waktu
5. Melokalisir nyeri 5. Orientasi baik dan
sesuai
5. Mengikuti perintah
17
klien di depan hidung
lalu minta klien
memberi tahu bau
tersebut (misal :
minyak kayu putih)
18
daerah pada wajah
dan minta klien
menyebutkan
daerah mana yang
di usap, usap
kornea dengan
kapas halus, jika
masih ada respons
klie aka menutup
mata.
6. Abdusen Menggerakkan bola mata Minta klien
ke arah lateral menggerakkan bola
: motorik
mata ke arah lateral
19
seperti pada
pengkajian telinga,
gangguan
pendengaran dapat
menyebabkan
gangguan
keseimbangan
11. Spinal aksesoris Gerakan bahu dan rotasi a. Minta klien untuk
kepala menoleh ke arah
motorik
kiri dan kanan,
menganggukkan
dan
mendongakkan
kepala
b. Minta klien
menaikkan bahu
sementara
pemeriksa
memberi tahanan
pada bahu
12. Hipoglosus Menggerakkan lidah, Minta klien untuk
membantu proses mengeluarkan lidah,
: saraf motorik
artikulasi saat berbicara mendorong pipi kiri
20
dankanan dengan
lidah. Serta kaji
artikulasi dalam
berbicara
c) Fungsi motorik
a. Masa otot bisa dengan inspeksi.
b. Kekuatan otot, dengan menyuruh pasien bergerak secara aktif melawan
tahanan, bandingkan dengan sisi yang lain. Sekala yang lazim digunakan yaitu
1) 0: tidak ada kontraksi
2) 1: hanya ada sedikit kontraksi
3) 2: gerakan yang dibatasi oleh gravitasi
4) 3: gerakan melawan gravitasi
5) 4: gerakan melawan gravitasi dengan sedikit tahanan
6) 5: gerakan melawan gravitasi dengan tahanan penuh (normal).
c. Tonus otot dengan membandingkan gerakan pasif pada otot itu bandingkan
dengan sisi yang lain, lesi neuron motorik atas terjadi peningkatan tonus
tetapi sebaliknya lesi pada neuron motorik bawah menyebabkan penurunan
tonus otot.
d. Reflek
Ada dua jenis reflek yang di periksa yaitu reflek renggang, atau tendo
profunda, dan reflek superfisial. Reflek renggang diantaranya yaitu reflek
biseps, brakioradialis, triseps, patela dan achiles bisa dinilai berdasarkan
sekala 0-4+ yaitu 0: tak ada respon, 1+: berkurang, 2+: normal, 3+:
meningkat, 4+: hiperaktif. Jika reflek hiperaktif merupakan ciri penyakit
traktus ekstrapiramidalis, kelainan elektrolit, hipertiroidisme dan kelainan
metabolik, sedangkan jika reflek berkurangnya reflek merupakan ciri kelainan
sel kornu anterior dan miopati.
Reflek superfisial yang abnormal / reflek patologis yaitu reflek babinski,
reflek chaddock, reflek openheim. Reflek babinski untuk menguji radiks saraf
pada lumbal lima sampai sacrum dua, dengan menggores bagian telapak kaki
bagian lateral dari tumit ke arah pangkal jari-jari kaki melengkung ke medial,
maka akan terjadi dorsifleksi ibu jari kakai dengan penyebaran jari-jari lainya.
21
Reflek chaddock akan terjadi dorsofleksi ketika sisi lateral kaki di gores.
Reflek openheim dengan penekanan tulang kering yang akan menyebabkan
dorsofeksi ibu jari kaki (Hendri Budi, 2010).
d) Fungsi sensorik
a. Sentuhan ringan
b. Sensasi nyeri
c. Sensasi getar
d. Propriosepsis (sensasi posisi)
e. Lokalisasi taktil.
Dapat terjadi hemihipestesi. Pada persepsi terdapat ketidakmampuan untuk
menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori
primer diantara mata dan korteks visual.
Gangguan hubungan visual-pasial ( mendapatkan hubungan dua atau lebih objek
dalam area pasial ) sering terlihat pada pasien dengan hemiplegi kiri. Pasien tidak
mampu memakai pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan mencocokan
pakaian kebagian tubuh. Kerusakan yang terjadi pada pasien stroke berupa kerusakan
sentuhan ringan atau berat, dengan kehilangan kemampuan untuk merasakan posisi
dan gerakan bagian tubuh serta kesulitan dalam menginter pretasikan stimuli visual
taktil dan audiotorius (Smeltzer & Bare, 2010).
e) Fungsi serebelar
a. Tes jari ke hidung jika terjadi gangguan di serebelum maka akan melewati
sasaran secara terus menerus dan kadang di sertai tremor.
b. Tes tumit kelutut, pasien di suruh menggeserkan tumit suatu ekstremitas bawah
menuruni tulang kering ekstremitas bawah lainya dengan dimulai dari lutut,
dalam keadaan penyakit serebelum tumitnya bergoyang-goyang dari sisi ke
sisi.
c. Gerakan yang berganti-ganti dengan cepat.
d. Tes Romberg dengan cara menyuruh pasien berdiri di depan pemeriksa,
dengan kaki di rapatkan sehingga kedua tumit dan jari-jari kaki saling
bersentuhan tes ini positif jika pasien mulai bergoyang-goyang dan harus
memindahkan kakinya untuk keseimbangan.
e. Gaya berjalan. Hemiplegi cenderung menyeret kakinya. Ataksia serebelum
berjalan dengan langkah kaki berdasar lebar, kedua kakinya sangat jauh
terpisah ketika berjalan. Foot drop dengan gaya berjalan seperti menampar
22
yang khas. Ataksia sensoris yaitu berjalan dengan langkah-langkah yang
tinggi.
6. Pengkajian fisik head to toe
a. Tanda- tanda vital
b. Pemeriksaan fisik head to toe
- Kepala : inspeksi kulit kepala untuk kebersihan kepala. Lalu inspeksi
bentuk kepala apakah ada deformitas atau benjolan
- Mata : perhatikan conjunctiva dan sklera
- Wajah : perhatikan kesimetrisan wajah, biasanya pasien dengan stroke akan
mengalami kelemahan pada wajah
- Mulut : perhatikan kesimetrisan bibir dan kemampuan pasien berbicara dan
menelan
- Leher : perhatikan apakah ada pembengkakan
- Thoraks
Paru-paru :
o Inspeksi = dada simetris kira=kanan , penggunaan otot bantu
pernafasan
o Palpasi = fremitus
o Perkusi = sonor
o Auskultasi : dapat terjadi rhonkie karena kesulitan kien
mengeluarkan sekret.
Jantung : lakukan pemeriksaan IPPA, biasanya tidak ada kelainan
- Abdomen : bisa ditemukan kembung dan penurunan peristaltik usus karena
bed rest yang lama
- Ekstremitas : klien bisa mengalami hemiplegia dan hemiparise. Kaji
kekuatan otot dan reflex.
2.9.2 Diagnosa Keperawatan
1.
Gangguan eliminasi urin b.d kerusakan rangsang defekasi D.0040 Hal. 96
2. Pola napas tidak efektif b.d Insufisiensi pernapasan D.0005 Hal. 26
3. Ancietas b.d prognosis penyakit yang kurang baik D.0080 Hal. 180
23
Sumber : Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017)
2.9.3 Intervensi
24
supositoria, jika perlu
Keterangan :
1. meningkat = 1
2. Cukup meningkat = 2
3. Sedang = 3
4. Cukup menurun = 4
5. Menurun = 5
2. Pola napas tidak Setelah dilakukan Menejemen Jalan Napas
efektif b.d intervensi keperawatan 1.01011 Hal. 186
Insufisiensi selama 3 x24 jam
diharaapkan Pola napas Observasi :
pernapasan D.0005
L.01004 Hal. 95 kriteria
Hal. 26 1. Monitor kemampuan napas
hasil :
2. Monitor adanya retensi
1. Ventilasi semenit = 5 sputum Monitor input dan
2. Kapasitas vital = 5 output cairan
3. Tekanan ekspirasi =5
Teraupetik :
4. Tekanan inspirasi = 5
1. Atur posisi semi fowler
Keterangan :
2. Pertahankan kepatenan
jalan napas
1 Menurun = 1 3. Berikan oksigen
2 Cukup menurun = 2
Edukasi :
3 Sedang = 3
1. Jelaskan tujuan dan
4 Cukup meningkat = 4 prosedur batuk efektif
2. Anjurkan tarik nafas dalam
5 Meningkat = 5 melalui hidung selama 4
detik
1. Dispnea = 5 3. Anjurkan mengulangi Tarik
2. Penggunaan oto bantu napas dalam hingga 3 kali
napas = 5
Kolaborasi :
3. Pemanjangan fase
ekspirasi = 5 Kolaborasi pemberian
Keterangan : mukolitik atau ekspetoran, jika
perlu
1. meningkat = 1
2. Cukup meningkat = 2
3. Sedang = 3
4. Cukup menurun = 4
5. Menurun = 5
25
3. Ancietas b.d Setelah dilakukan Reduksi Ancietas 1.09314
prognosis penyakit intervensi keperawatan Hal. 387
yang kurang baik selama 3 x24 jam
D.0080 Hal. 180 diharapkan Tingkat Observasi :
ancietas L.09093 Hal.
1. Identifikasi saat tingkat
132 kriteria hasil :
ancietas berubah
1. Verbalisasi kebingungan 2. Identifikasi kemampuan
=5 mengambil keputusan
2. Verbalisasi hawatir 3. Monitor tanda-tanda
akibat kondisi yang ancietas
dihadapi = 5
Teraupetik :
3. Perilaku gelisah = 5
4. 1. Ciptakan suasana terapiutik
untuk menumbuhkan
kepercayaan pasien
5. Konsentrasi = 5 2. Temani pasien untuk
6. Pola tidur =5 mengurangi kecemasan,
7. Perasaan keberdayaan = jika perlu
5
Edukasi :
8. Kontak mata = 5
1. Jelaskan prosedur dan
Keterangan :
sensasi yang mungkin di
alami
1. Menurun = 1 2. Informasikan secara faktual
2. Cukup menurun = 2 mengenai diagnosis,
pengobatan dan prognosis
3. Sedang = 3 3. Anjurkan keluarga untuk
tetap bersama pasien, jika
4. Cukup meningkat = 4 perlu
4. Latih teknik relaksasi
5. Meningkat = 5
Kolaborasi :
9. Kolaborasi pemberian obat
antlansietas, jika perlu
2.1.4 Implementasi
Implementasi adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan, kegiatannya meliputi pengumpulan data berkelanjutan,
mengobservasi respon klien selama dan sesudah pelaksanaan tindakan
(Purnomo,2016).
26
2.1.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan
klien (hasil yang dimati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap
perencanaan (Purnomo, 2016).
27
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit saraf, juga
merupakan salah satu polineuropati karena hingga sekarang belum dapat diapstikan
penyebabnya. Namun kebanyakan kasus terjadi sesudah proses infeksi diduga GBS
terjadi karena sistem kekebalan tidak berfungsi. Gejalanya adalah kelemahan otot (parese
hingga plegia), biasanya perlahan mulai dari bawah ke atas. Jadi gejala awalnya biasanya
tidak bisa berjalan atau gangguan berjalan. Sebaliknya penyembuhannya diawalai dari
bagian atas tubuh ke bawah sehingga bila ada gejala sisa biasanya gangguan berjalan
(Fredericks et all, dalam Ikatan Fisioterapi Indonesia, 2007).
3.2 Saran
Semoga dengan apa yang materi kami berikan akan menambah pengetahuan kita
dan semoga sangat bermanfaat bagi kita.
28
DAFTAR PUSTAKA
Israr, Yayan Akhyar, Juraita, dan Rahmat B.S. 2009. Sindroma Guillain Barre. Fakultas
Kedokteran Unversitas Riau Pekanbaru.
Japardi, Iskandar. 2002. Sindrom Guillain Barre. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah
Universitas Sumatera Utara.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Ed. 8. Jakarta: EGC.
Theresia.2017.LAPORAN KASUS PENANGANAN SINDROM GUILLAIN-BARRE
DENGAN TERAPI PLASMAFERESIS Nursing Current Vol. 5 No. 2, Juli 2017 –
Desember 2017. Clinical Educator Faculty of Nursing Universitas Pelita Harapan;
Tanggerang.
29