DI SUSUN OLEH :
DIERA LITA SABIVA : A21612040
T.A 2017/2018
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan pada KONJUNGTIVITIS” dengan sebaik-baiknya.
Adapun maksud dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi
“Sistem sensori dan persepsi”.
Dalam penyusunan makalah ini,penulis telah mengalami berbagai hal baik
suka maupun duka. Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak akan
selesai dengan lancar dan tepat waktu tanpa adanya bantuan, dorongan, serta
bimbingan dari berbagai pihak.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari masih banyak
kekurangan baik pada teknik penulisan maupun materi. Untuk itu kritik dan saran
dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan dapat diterapkan dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang
berhubungan dengan judul makalah ini.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Definisi Konjungtivitis
Konjungtivitis merupakan radang pada konjungtiva atau radang selaput
lender yang menutupi belakang kelopak dan boa mata.(sumber : Sindarta
Ilyas.2009.Ilmu penyakit mata.Balai penerbit FKUI:Jakarta)
Konjungtivitis adalah peradangan konjungtiva akibat suatu proses infeksi
atau respon alergi. (Corwin, 2001). Sedangkan menurut Brunner & Suddarth,
konjungtivitis adalah inflamasi konjungtiva dan ditandai dengan pembengkakan
dan eksudat. Pada konjungtivis mata nampak merah, sehingga sering disebut mata
merah. ( Sumber: Brunner dan Suddarth, 2001, Keperawatan Medikal Bedah,
Vol. III, EGC, Jakarta )
Konjunctivitis ( konjungtivitis, pink eye ) merupakan peradangan pada
konjungtiva ( lapisan luar mata dan lapisan dalam kelopak mata ) yang disebabkan
oleh mikro-organisme (virus, bakteri, jamur, chlamidia), alergi, iritasi bahan-
bahan kimia. Boleh dikata masyarakat kita sudah sangat mengenalnya. Penyakit
ini dapat menyerang semua umur. Konjungtivitis yang disebabkan oleh mikro-
organisme (terutama virus dan kuman atau campuran keduanya) ditularkan
melalui kontak dan udara. ( Sumber: www.komunitas dudungnet.com )
4
B. Anatomi dan Fisiologi
Organ eksternal oculi atau yang sering disebut dengan organ pada mata terdiri
dari:
1. Palpebrae
2. Conjungtiva
3. Apparatus lacrimalis
4. Musculi eksternal bulbi
Jenis dari conjungtiva adalah :
1. conjungtiva palpebralis
2. conjungtiva bulbi
3. conjungtiva fornix.
5
C. Etiologi
Pembagian konjungtivitis berdasarkan penyebabnya :
Konjungtivitis akut bacterial, misalnya : konjungtivitis blenore,
konjungtivitis gonore, Konjungtivitis difteri, konjungtivitis folikuler,
konjungtivitis kataral.
Konjungtivitis akut viral, misalnya : keratokonjungtivitis epidemic,
demam faringokonjungtiva, keratokonjungtivitis herpetic, konjungtivitis
akut jamur, konjungtivitis akut alergik.
Konjungtivitis kronis, misalnya : trakoma personal hygiene dan kesehatan
lingkungan yang kurang, alergi, nutrisi kurang vitamin A, iritatif (bahan
kimia, suhu, listrik, radiasi ultra violet), juga merupakan etiologi dari
konjungtivitis ( Sumber: Mansjoer, Arif dkk., 2001, Kapita Selekta
Kedokteran Edisi 3 Jilid I, Medica Aesculapius FKUI, Jakarta.)
D. Klasifikasi
1). Konjungtivitis Bakteri
Terutama disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarrhalis. Konjungtivitis bakteri sangat
menular, menyebar melalui kontak langsung dengan pasien dan sekresinya atau
dengan objek yang terkontaminasi.
2). Konjungtivitis bakteri hiperakut
Neisseria gonnorrhoeae dapat menyebabkan konjungtivitis bakteri hiperakut yang
berat dan mengancam penglihatan, perlu rujukan ke oftalmologis segera.
3). Konjungtivitis Viral
Jenis konjungtivitis ini adalah akibat infeksi human adenovirus ( yang paling
sering adalah keratokonjungtivitis epidermika ) atau dari penyakit virus sistemik
seperti mumps dan mononukleosis. Biasanya disertai dengan pembentukan folikel
sehingga disebut juga konjungtivitis folikularis. Mata yang lain biasanya tertular
dalam 24-48 jam.
6
4). Konjungtivitis Alergi
Infeksi ini bersifat musiman dan berhubungan dengan sensitivitas terhadap
serbuk, protein hewani, bulu, makanan atau zat-zat tertentu, gigitan serangga
dan/atau obat ( atropin dan antibiotik golongan Mycin). Infeksi ini terjadi setelah
terpapar zat kimia seperti hair spray, tata rias, asap rokok. Asma, demam kering
dan ekzema juga berhubungan dengan konjungtivitis alergi. Disebabkan oleh
alergen yang terdapat di udara, yang menyebabkan degranulasi sel mast dan
pelepasan histamin.. Pasien dengan konjungtivitis alergi sering memiliki riwayat
atopi, alergi musiman, atau alergi spesifik (misal terhadap kucing)
5). Konjungtivitis blenore, konjungtivitis purulen ( bernanah pada bayi dan
konjungtivitis gonore ). Blenore neonatorum merupakan konjungtivitis yang
terdapat pada bayi yang baru lahir. ( Sumber: www.dhetective.com ).
E. Patofisiologi
Konjungtiva bisa mengalami peradangan karena lokasinya terpapar pada
banyak mikroorganisme dan faktor lingkungan lain yang menganggu.
Adanya peradangan pada konjungtiva ini menyebabkan dilatasi pembuluh-
pembuluh konjungtiva posterior, menyebabkan hiperemi yang tampak paling
nyata pada forniks dan mengurang ke arah limbus. Pada hiperemia konjungtiva ini
biasanya didapatkan pembengkakan dan hipertrofi papila yang sering disertai
sensasi benda asing dan sensasi tergores, panas, atau gatal. Sensasi ini
merangsang sekresi air mata. Transudasi ringan juga timbul dari pembuluh darah
yang hiperemia dan menambah jumlah air mata. Jika klien mengeluh sakit pada
iris atau badan silier berarti kornea terkena. ( Sumber: http//dhetective-
dhetective.blogspot ).
F. Manifestasi Klinik
1) Konjungtivitis Bakteri
Gejalanya, dilatasi pembuluh darah, edema konjungtiva ringan, epifora dan rabas
pada awalnya encer akibat epifora tetapi secara bertahap menjadi lebih tebal atau
mukus dan berkembang menjadi purulen yang menyebabkan kelopak mata
menyatu dalam posisi tertutup terutama saat bangun tidur pagi hari. Eksudasi
7
lebih berlimpah pada konjungtivitis jenis ini. Dapat ditemukan kerusakan kecil
pada epitel kornea
3) Konjungtivitis Viral
Gejalanya : Pembesaran kelenjar limfe preaurikular, fotofobia dan sensasi adanya
benda asing pada mata. Epifora merupakan gejala terbanyak. Konjungtiva dapat
menjadi kemerahan dan bisa terjadi nyeri periorbital. Konjungtivitis dapat disertai
adenopati, demam, faringitis, dan infeksi saluran napas atas.
4) Konjungtivitis Alergi
Mata Gatal
Panas
Mata berair
Mata merah
Kelopak mata bengkak
5) Konjungtivitis blenore, konjungtivitis purulen ( bernanah pada bayi dan
konjungtivitis gonore ).
Tanda- tanda blenore adalah sebagai berikut:
a. ditularakn dari ibu yang menderita penyakit GO
b. merupakakan penyebab utama oftalmia neonatorum
c. memberikan sekret purulen padat sekret yang kental
d. perdarahan subkonjungtiva. ( Sumber: http//dhetective.blogspot ).
8
G. Komplikasi
Komplikasi yang sering timbul biasanya adalah:
Ulkus kornea dan menurut beberapa ahli komplikasi ini lebih cepat timbul
pada orang dewasa dari pada bayi (pada bayi komplikasi ulkus kornea timbul
sesudah minggu pertama) ulkus kornea dapat mengalami perforasi dengan
berakibat timbulnya endoftalmitis yang berakhir dengan kebutaan.
Oleh karena itu setiap penderita konjungtuvitis gonoreika perlu sekali
untuk diperiksa keadaan korneanya. Berhubung bahaya timbulnya komplikasi
yang dapat menimbulkan kebutaan, maka setiap penderita konjungtivitis
gonoreika harus dirawat dalam kamar isolasi.
Kesulitannya ialah penderita anak dan dewasa yang sulit diisolasi,
sehingga berbahaya untuk penularan sekitanya. Pengobatan dilakukan dengan
memberikan salep mata penisilin tiap ¼ jam sesudah terlebih dahulu setiap kali
mata dibersihkan dari pada sekret, selain itu juga diberikan penisilin
intramuskulus. Bila kuman telah resisten terhadap penisilin, dapat dipakai
antibiotika lain seperti kloramfenikol atau tertasiklin ( Sumber: http//dhetective-
dhetective.blogspot )
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang sering dilakukan pada penyakit konjungtivitis adalah:
1. Pemeriksaan sitologi melalui pewarnaan gram atau giemsa.
2. Pemeriksaan darah (sel-sel eosinofil) dan kadar IgE.
( Sumber: Mansjoer, Arif dkk., 2001, Kapita Selekta KedokteranEdisi 3 Jilid I,
Medica Aesculapius FKUI, Jakarta ).
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan secara langsung dari kerokan atau getah mata setelah bahan tersebut
dibuat sediaan yang dicat dengan pengecatan gram atau giemsa dapat dijumpai
sel-sel radang polimorfonuklear. Pada konjungtivitis yang disebabkan alergi pada
pengecatan dengan giemsa akan didapatkan sel-sel eosinofil.
( Sumber: www.KhaidirMuhajBlogsite.com )
9
I. Penata Laksanaan Medis dan Keperawatan
Konjungtivitis biasanya hilang sendiri. Tapi tergantung pada penyebabnya,
terapi dapat meliputi antibiotika sistemik atau topical, bahan antiinflamasi, irigasi
mata, pembersihan kelopak mata, atau kompres hangat.Bila konjugtivits
disebabkan oleh mikroorganisme, pasien harus diajari bagaimana cara
menghindari kontaminasi mata yang sehat atau mata orang lain. Perawat dapat
memberikan instruksipada pasien untuk tidak menggosok mata yang sakit
kemudian menyentuh mata yang sehat, untuk mencuci tangan setelah setiap kali
memegang mata yang sakit, dan menggunakan kain lap, handuk, dan sapu tangan
baru yang terpisah
J. Prognosis
Mata dapat terkena berbagai kondisi. beberapa diantaranya bersifat primer
sedang yang lain bersifat sekunder akibat kelainan pada sistem organ tubuh lain,
kebanyakan kondisi tersebut dapat dicegah bila terdeteksi awal dan dapat
dikontrol sehingga penglihatan dapat dipertahankan.
Bila segera diatasi, konjungtivitis ini tidak akan membahayakan. Namun
jika bila penyakit radang mata tidak segera ditangani/diobati bisa menyebabkan
kerusakan pada mata/gangguan dan menimbulkan komplikasi seperti Glaukoma,
katarak maupun ablasi retina.
Bila ditangani dengan cepat dan menghindarkan komplikasi serta
penularan terutama pada mikroorganisme, maka prognosisnya akan baik
10
Patoflow
Peradangan di konjungtiva
fungsi Hipertermi
11
Menstimulasi BPH
Resiko cidera
Afferent
Medulla spinalis
Thalamus
Korteks efferent
Sensai nyeri
Nyeri
12
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN KONJUNGTIVITIS
A. Pengkajian
1. Biodata yang meliputi: Tanggal wawancara, tanggal MRS, No. RMK.
Nama, umur, jenis kelamin, suku / bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan,
status perkawinan, alamat, penanggung jawab.
2. Keluhan Utama biasanya berupa keluhan yang dirasakan klien pada saat
itu.
3. RPS ( riwayat penyakit sekarang ) biasanya berisi tentang penyakit yang
dialami klien
4. RPK ( riwayat penyakit keluarga ) biasanya diambil dari penyakit yang
pernah diderita oleh keuarga pasien.
5. RPD ( riwayat penyakit dahulu ) diambil dari riwayat penyakit dahulu.
- Aktivitas/Istirahat
Gejala : Perubahan aktivitas biasanya/hobi sehubungan dengan gangguan
penglihatan.
- Neurosensori
Gejala : Gangguan penglihatan (kabur/tak jelas), kehilangan bertahap
penglihatan perifer.
- Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Ketidaknyamanan ringan/mata berair.
Nyeri tiba-tiba/berat, menetap atau tekanan pada dan sekitar mata, sakit kepala.
13
Diagnosa keperawatan
1. Gangguan hipertermi berhubungan dengan proses peradangan atau
konjungtivitis
2. Resiko terjadinya penyebaran infeksi berhubungan dengan proses
peradangan.
3. Resiko cidera berhubungan dengan penurunan ketajaman penglihatan
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan pembengkakan kelopak
mata
5. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya benda asing
C. Rencana Keperawatan
Intervensi Rasional
1. Kaji penyebab hipertermi 1. Hal ini perlu diketahui
2. Observasi suhu badan sebagai dasar dalam rencana
3. Beri kompres hangat pada intervensi
bagian mata 2. Proses peningkatan suhu
4. Kolaborasi dalam pemberian tubuh menunjukan proses
obat antipiretik infeksi akut
3. Untuk meredahkan nyeri
4. Obat antipiretik bekerja
sebagai pengatur panas dan
juga meredahkan nyeri
2. Resiko terjadinya penyebaran infeksi berhubungan dengan proses
peradangan.
Intervensi Rasional
1. Monitor 1. Untuk mengetahui keadaan luka
karakteristik,warna,ukuran,dan dan perkembangannya
cairan 2. Untuk memudahkan
2. Bersihkan secret dengan membersihkan secret pada mata
menggunakan air hangat 3. Agar tidak terjadi infeksi dan
3. Merawat mata engan konsep terpapar oleh kuman atau
steril bakteri
14
4. Berikan penjelasan pada klien 4. Agar keluarga pasien
dan keluarga mengenai tanda mengetahui tanda dan gejala
dan gejala pada infeksi dari infeksi
5. Kolaborasi pemberian antibiotic 5. Pemberian antibiotic untuk
mencegah timbulnya infeksi
3. Resiko cidera berhubungan dengan penurunan ketajaman penglihatan
Intervensi Rasional
1. Diskusikan apa yang terjadi 1. Kondisi mata post operasi
tentang kondisi paska mempengaruhi fisis pasien
operasi,nyeri,pembatasan 2. Posisi menentukan tingkat
aktivitas,penampilan,pembaluta kenyamanan pasien
n mata 3. Aktivitas berlebih mampu
2. Beri klien posisi meningkatkan tekenan intra
bersandar,kepala tinggi,atau okuler mata
miring kesisi yang tak sakit 4. visus mulai berkurang,resiko
sesuai keinginan cidera semakin tinggi
3. Batasi aktifitas seperti
menggerakan kepala tiba-
tiba,menggaruk
mata,membongkok
4. Ambulasi dengan bantuan
4.Gangguan citra tubuh berhubungan dengan pembengkakan kelopak mata
Intervensi Rasional
1. kaji pengetahuan klien 1. ntuk mengetahui
tentang gejala dan pengetahuan klien tentang
penyebabnya penyakitnya
2. bantu klien untuk 2. mengurangi rasa cemas,malu
mengungkapkan pada pasien karena
perasaannya tentang sakit penyakitnya
yang dialaminya 3. merasa percaya diri klien
3. bantu klien,memahami dan bahwa pembengkakkan
menerima keadaanya kelopak mata tidak
mempengaruhi
penampilannya
15
5.Gangguan rasa nyaman ( nyeri ) berhubungan dengan adanya benda
asing
Intervensi Rasional
1. kaji keluhan 1. nyeri hampir selalu ada pada
nyeri,perhatikan lokasi dan beberapa derajat beratnya
intensitasnya keterlibatan jaringan
2. berikan tindakan 2. meningkatkan
kenyamanan dasar relaksasi,menunjukkan
3. pantau TTV ketegangan otot dan
4. berikan anargensik sesuai kelelahan umum
indikasi 3. suhu merupakan salah satu
gejala terjadinya inflamasi
4. menghilangkan rasa nyeri
16
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Konjungtivitis adalah inflamasi konjungtiva dan ditandai dengan pembengkakan
dan eksudat. Pada konjungtivitis mata tampak merah, sehingga sering disebut
mata merah. (Suzzane, 2001:1991)
Konjungtivitis dapat disebabkan oleh berbagai hal dan dapat bersifat infeksius
seperti:
1. Bakteri
2. Klamidia
3. Virus
4. Jamur
5. Parasit (oleh bahan iritatif => kimia, suhu, radiasi) maupun imunologi
(pada reaksi alergi).
Gejala subjektif meliputi rasa gatal, kasr ( ngeres/tercakar ) atau terasa ada benda
asing. Penyebab keluhan ini adalah edema konjungtiva, terbentuknya hipertrofi
papilaris, dan folikel yang mengakibatkan perasaan adanya benda asing didalam
mata. Gejala objektif meliputi hyperemia konjungtiva, epifora (keluar air mata
berlebihan), pseudoptosis (kelopak mata atas seperti akan menutup), tampak
semacam membrane atau pseudomembran akibat koagulasi fibrin.
B. SARAN
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi makalah ini,
agar penulis dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
17
DAFTAR PUSTAKA
18
PENDIDIKAN KESEHATAN PADA
KONJUNGTIVITIS
Penyebab Konjungtivitis
Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan konjungtiva mengalami
peradangan dan munculnya penyakit konjungtivitis. Berikut ini adalah beberapa
penyebabnya:
1. Konjungtivitis infeksi yang terjadi akibat virus atau bakteri.
2. Konjungtivitis alergi atau reaksi alergi terhadap tungau debu atau serbuk
sari.
3. Konjungtivitis iritasi yang terjadi akibat mata terkena unsur penyebab
iritasi seperti sampo, air berklorin, atau bulu mata yang menggesek mata.
19
Gejala Konjungtivitis
Gejala konjungtivitis awalnya hanya menjangkiti satu mata, namun
biasanya setelah beberapa jam akan menjangkiti kedua mata. Konjungtivitis
memiliki gejala yang umum terjadi seperti berikut ini:
1. Sering mengeluarkan air mata dan mukus karena kelenjar yang
memproduksi keduanya menjadi terlalu aktif akibat peradangan.
2. Mata menjadi merah karena pembuluh darah kecil pada konjungtiva
melebar setelah mengalami peradangan.
3. Sensitifitas terhadap cahaya bertambah tinggi.
Selain gejala-gejala umum di atas, kojungtivitis juga dapat menimbulkan beberapa
gejala lain, sesuai dengan jenisnya.
Konjungtivitis Infektif
Ada beberapa gejala yang biasanya muncul jika mengalami konjungtivitis
infektif, di antaranya:
1. Kelenjar getah bening yang membesar di depan telinga.
2. Mata terasa seperti terbakar.
3. Bulu mata akan terasa menempel atau lengket ketika bangun pagi.
4. Mata terasa seperti berpasir.
Konjungtivitis Alergi
Konjungtivitis dapat terjadi akibat alergi dan menyebabkan mata terasa
gatal. Gejala-gejala seperti hidung berair atau tersumbat, serta bersin-bersin juga
dapat terjadi.
Kelopak mata akan terasa perih dan menjadi kering jika Anda menderita alergi
terhadap tetes mata atau biasa disebut dengan contact dermaconjunctivitis.
Selain itu, ada juga konjungtivitis papiler raksasa (giant papillary
conjunctivitis/GPC) yaitu alergi terhadap pemakaian kontak lensa. Gejala yang
muncul bisa berupa bintik kecil di dalam kelopak mata bagian atas dan
berkembang secara perlahan.
20
Konjungtivitis Iritan
Kita harus mencurigai konjungtivitis iritan apabila terdapat riwayat
paparan terhadap bahan iritan seperti sampo atau bahan kimia lainnya. Mata
biasanya akan mengeluarkan cairan bening seperti air mata yang tidak lengket.
Soket mata bagian bawah biasanya lebih sering terserang dibandingkan bagian
atas.
Segera temui dokter jika mengalami konjungtivitis papiler raksasa karena
bisa menimbulkan komplikasi yang sangat berbahaya.
Sebagian besar kasus konjungtivitis tidak berbahaya dan tidak perlu dicemaskan.
Meskipun begitu, segera temui dokter jika mengalami gejala mata yang lebih
parah seperti:
1. Penglihatan terganggu.
2. Salah satu atau kedua mata berwarna merah pekat.
3. Mata terasa sakit.
4. Mengalami fotofobia atau sensitif terhadap cahaya.
5. Pusing hebat yang disertai rasa mual atau muntah.
Komplikasi Konjungtivitis
Komplikasi akibat konjungtivitis dapat terjadi pada anak-anak maupun
orang dewasa.
Berikut ini adalah komplikasi konjungtivitis yang dapat terjadi berdasarkan tipe
konjungtivitis yang diderita.
Konjungtivitis Infektif
Konjungtivitis bisa berlangsung selama beberapa bulan jika disebabkan
oleh penyakit menular seksual, seperti chlamydia (klamidia).
Berikut ini adalah beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat konjungtivitis
infektif:
Jika bakteri masuk ke aliran darah dan menyerang jaringan tubuh, pasien bisa
mengalami keracunan darah atau disebut dengan sepsis.
21
Lapisan pelindung saraf tulang belakang dan otak, atau meninges, bisa mengalami
infeksi (meningitis).
Infeksi telinga bagian tengah. Kondisi ini dialami oleh 25 persen anak-
anak yang menderita konjungtivitis akibat bakteri haemophilus influenzae.
Permukaan kulit menjadi bengkak atau meradang dan terasa sakit akibat
infeksi yang terjadi pada jaringan dan lapisan dalam kulit (selulitis).
Konjungtivitis Neonatal
Kebanyakan bayi yang terkena konjungtivitis infektif bisa sembuh total
dan hanya sedikit yang mengalami komplikasi Konjungtivitis infektif yang terjadi
pada bayi yang baru lahir hingga usia 28 hari harus segera ditangani karena bisa
menyebabkan kerusakan penglihatan permanen.
22
Perawatan Konjungtivitis
Perawatan konjungtivitis yang dilakukan tergantung pada penyebabnya.
Berikut ini adalah perawatan yang digolongkan berdasarkan penyebab terjadinya
konjungtivitis.
Konjungtivitis Infektif
Ada beberapa cara yang bisa Anda lakukan sendiri untuk mengatasi
konjungtivitis infektif karena sebagian besar kasusnya tidak memerlukan
perawatan medis dan akan menghilang dalam waktu 1-2 pekan. Di bawah ini ada
beberapa cara yang bisa dilakukan untuk meredakan gejala yang dialami.
Gunakan obat tetes air mata yang berguna sebagai pelumas untuk meredakan rasa
sakit dan lengket pada mata. Obat ini bisa dibeli secara bebas di apotek.
Cucilah tangan secara rutin setelah menyentuh mata yang terinfeksi agar tidak
menular.
Jangan menggunakan lensa kontak sebelum gejala infeksi hilang atau
setidaknya satu hari setelah menyelesaikan perawatan. Ganti lensa kontak yang
telah dipakai saat terinfeksi karena kemungkinan bisa menjadi sumber infeksi.
Gunakan kain kapas yang dibasahi untuk membersihkan kelopak mata dengan
lembut agar tidak lengket.
Jika gejala yang dialami tidak kunjung mereda setelah dua pekan atau infeksi
yang terjadi cukup parah, dokter akan meresepkan obat antibiotik, salah satunya
adalah chloramphenicol.
dan bulu
Biasanya dokter akan meresepkan obat tetes mata chloramphenicol sebagai
penanganan utama. Namun chloramphenicol dalam bentuk salep akan diresepkan
jika pasien tidak cocok dengan bentuk tetes. Penglihatan mungkin akan menjadi
buram selama 20 menit setelah pemakaian salep mata. Pastikan untuk mengikuti
anjuran dokter tentang penggunaan obat.
Selain obat tetes mata chloramphenicol, ada juga obat tetes mata fusidic acid.
Anak-anak, wanita hamil, dan orang yang berusia lanjut lebih cocok untuk
23
menggunakan obat tetes mata fusidic acid karena penggunaannya tidak perlu
sesering obat tetes mata lain.
Konjungtivitis Alergi
Sebelum menemui dokter, cobalah lakukan pengobatan sendiri di
rumah terlebih dahulu untuk meredakan gejala konjungtivitis alergi. Kompres
mata dengan kain yang dibasahi air dingin dan hindari terpapar zat alergen.
Jangan memakai lensa kontak hingga gejala konjungtivitis hilang. Agar gejala
tidak memburuk, jangan menggosok mata walau terasa gatal.
Jika konjungtivitis alergi tidak kunjung mereda, temui dokter. Dokter
kemungkinan akan meresepkan antihistamin (baik dalam bentuk tetes mata atau
oral) guna meredakan gejala alergi. Contoh-contoh obat antihistamin adalah
azelastine, cetirizine, loratadine, fexofenadine, atau emedastine. Gunakan obat
sesuai anjuran dokter,
Selain antihistamin, obat kortikosteroid jangka pendek dalam bentuk gel, salep,
atau krim kemungkinanakan diresepkan jika gejala konjungtivitis alergi yang
dialami cukup parah.
Selain itu, ada juga obat yang bernama mast cell stabilisers yang berguna
untuk mengendalikan gejala alergi dalam jangka waktu panjang. Dokter mungkin
akan mengombinasikan antihistamin dengan obat ini, karena efek mast cell
stabilisers baru bisa terasa setelah beberapa pekan pemakaian. Contoh obat tetes
mata mast cell stabilisers yang biasa diresepkan adalah nedocromil sodium,
sodium cromoglicate, dan lodoxamide.
Temuilah dokter agar diperiksa secara lebih lanjut jika mengalami gejala-gejala
seperti daya penglihatan berkurang, mata terasa sakit, salah satu atau kedua mata
berwarna merah pekat, serta mengalami fotofobia atau sensitif terhadap cahaya.
Pemeriksaan bertujuan untuk memeriksa apakah pasien menderita penyakit
menular seksual (misalnya chlamydia) yang bisa menyebabkan terjadinya
konjungtivitis infektif. Jika dibiarkan, gejala penyakit ini dapat berlangsung
hingga beberapa bulan.
24
Pencegahan Konjungitivitis
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mencegah penyebaran
konjungntivitis, di antaranya:
Sering mencuci tangan dan mengganti sarung bantal.
Menggunakan handuk atau lap yang bersih dan jangan memakai handuk orang
lain.
Membuang riasan mata yang sudah terpakai dan jangan berbagi pemakaian riasan
dengan orang lain.
Jangan menggosok atau menyentuh mata yang terinfeksi.
Membersihkan mata dengan kapas, lalu cuci tangan Anda dengan air hangat dan
sabun.
Jangan menggunakan obat tetes mata yang pernah dipakai untuk mata yang
terinfeksi guna menghindari penularan.
Jika terkena infeksi mata, jangan pergi bekerja atau bersekolah hingga
konjungtivitis tidak lagi menular.
Menghindari penggunaan lensa kontak saat terserang infeksi pada mata. Sebagai
gantinya, Anda bisa menggunakan kacamata.
25
JURNAL PADA KONJUNGTIVIS
ABSTRAK
Konjungtivitis adalah penyakit mata yang sering dijumpai oleh dokter
umum.
Konjungtivitis bakteri akut adalah jenis konjungtivitis yang paling sering
didapatkan. Penanganan yang tepat diperlukan untuk menghindari komplikasi
yang dapat mengancam penglihatan. Konjungtivitis bakteri akut mudah menyebar
dari mata satu ke
mata yang lain dan ke orang lain. Untuk memutus mata rantai ini penting
dilakukan edukasi ke pasien tentang penularan konjungtivitis secara langsung dan
benda yang kontak dengan mata penderita agar dapat diambil tindakan
pencegahan dari rute penularan tersebut. Dilaporkan satu kasus laki laki 14 tahun
datang ke RSU Lirboyo Kediri dengan keluhan kedua mata merah sejak empat
hari yang lalu. Keluhan mata merah ini disertai dengan rasa mengganjal seperti
kemasukan pasir, banyak mengeluarkan kotoran mata dan pagi hari saat bangun
tidur pasien susah membuka mata dan terasa seperti lengket. Pasien menceritakan
bahwa sebelum sakit teman sebangku sekolah pasien menderita sakit mata merah.
Pada pemeriksaan klinis didapatkan VOD 6/6 VOS 6/6, tidak didapatkan
blepharospasme, didapatkan hiperemi konjungtiva, kornea jernih, bilik mata
26
depan kesan dalam, pupil bulat isokor 3mm/3mm. Pasien diberikan terapi
antibiotik topikal spektrum luas, analgesik oral
serta diberi edukasi.
Kata kunci: konjungtivitis bakteri akut, penularan, edukasi
ABSTRACT
Conjunctivitis is the eye disease most common seen by general practitioner. Acute
bacterial conjunctivitis is the most frequent type of conjunctivitis. Right treatment
is necessary to prevent complication that can threat the vision. Acute bacterial
conjunctivitis is easily spread from one eye to another and another person. To cut
the spreading chain education to patient about spreading route is essential to take
preventive step. Reported male 14years old came to RSU Lirboyo Kediri with
chief complain redness of the eye since 4 days ago. It also followed by grittiness,
discharge and in the morning when patient wakes the eyes felt sticky and difficult
to be opened. Before the patient had this illness his friend next to him in school
had sick with red eye. From the clinical evaluation VOD 6/6, VOS 6/6,
blepharospasm is unavailable, there is hyperemic conjunctiva, cornea is clear,
anterior chamber is deep, pupil round isochor 3mm/3mm. Patient was given
topical broad spectrum antibiotic,oral analgesic and educated properly about the
disease.
27
PENDAHULUAN hiperemi konjungtiva yang hebat dan
Konjungtivitis adalah proses kemosis. Jika tidak ditangani secara
inflamasi akibat infeksi atau non- tepat maka konjungtivitis bakteri
infeksi pada konjungtiva yang hiperakut ini dapat menyebabkan
ditandai dengan dilatasi kekeruhan kornea, perforasi kornea
vaskular, infiltrasi seluler, dan dan endoftalmitis (Høvding., G.,
eksudasi(Vaughan, D. dan Asbury, 2008).
T., 2015). DiIndonesia konjungtivitis Pada konjungtivitis bakteri kronis
menduduki peringkat 10 besar tanda dan gejala timbul lebih dari 3
penyakit rawat jalan terbanyak pada minggu dan sering
tahun 2009. Dari 135.749 pasien terjadi kekambuhan. Hiperemi dan
yang berkunjung ke poli mata, 73% sekret yang timbul biasanya ringan
adalah kasus konjungtivitis sampai sedang (Rubenstein, J., B.,
(Kemenkes RI., 2010). Berdasarkan 1999). Konjungtivitis bakteri akut
penyebabnya konjungtivitis dibagi didefinisikan sebagai konjungtivitis
menjadi konjungtivitis bakteri, yang berlangsung kurang dari 3
konjungtivitis virus, dan minggu, dan merupakan penyakit
konjungtivitis alergi. Konjungtivitis mata yang paling sering ditemui oleh
bakteri dibagi berdasarkan onset dan dokter umum (Dart, J., K., G., 1986;
keparahannya menjadi hiperakut, McDonnell, P.,J., 1988).
akut dan kronis. Neisseria Konjungtivitis bakteri akut dapat
gonorrhoeae merupakan penyebab disebabkan oleh S.aureus,
utama konjungtivitis bakteri Staphylococcus epidermidis, H.
hiperakut yang biasanya mengenai influenzae,Streptococcus
neonatus dan orang dewasa yang pneumoniae, Streptococus viridans,
aktif berhubungan seksual. Moraxella catarrhalis dan bakteri
Konjungtivitis bakteri hiperakut gram negative dari usus (Wald, E.,
ditandai dengan onset yang R.dkk.,2001; Normann, E., K. dkk.,
mendadak, sekret yang profus kental 2002;Buznach, N.dkk.,2005).
dan berwana kuning kehijauan,
28
Penyebab Penelitian ini melibatkan 225 pasien
konjungtivitis bakteri paling sering di sebagai responden. Perilaku pasien
dunia adalah S. aureus (Mannis, M., yang diteliti meliputi kebiasaan cuci
J. dan Plotnik, R., D., 2005). tangan, penggunaan handuk secara
Sindroma imunodefisiensi dan bersama-sama, penggunaan
imunosupresi sistemik dapat menjadi sapu tangan secara bergantian, dan
predisposisi dari konjungtivitis penggunaan bantal atau sarung bantal
bakteri akut secara bersama-sama.
(Franklin, R., M. dkk.,1977; Hasil penelitian ini menunjukkan
Friedlaender, M.,H. dkk., 1980; bahwa terdapat hubungan antara
Sharma, T. dkk., 2004). perilaku pasien dengan kejadian
Konjungtivitis bakteri mudah konjungtivitis. Hal ini dapat
menular dari satu mata ke mata diartikan bahwa responden yang
sebelahnya dan juga mudah menular memiliki perilaku beresiko tersebut
ke orang lain melalui kontaklangsung memiliki kemungkinan menderita
dan benda yang kontak dengan mata konjungtivitis lebih tinggi dari
(Ilyas, S., Yulianti, S., 2014). Sebuah responden yang tidak memiliki
penelitian dilakukan di Poli Mata perilaku berisiko. Berkaitan dengan
Bagian Infeksi Rumah Sakit Mata hal ini, perlu upaya-upaya yang
Cicendo Bandung tahun 2010 dilakukan untuk
mengidentifikasi adanya hubungan mengurangi makin meluasnya
antara perilaku pasien dengan penularan konjungtivitis (Nurhayati,
kejadian S., 2014).
konjungtivitis. Penelitian ini didasari Beberapa tanda dan gejala yang
karena peningkatan kejadian timbul pada konjungtivitis bakteri
konjungtivitis dari 7.176 orang akut adalah onset yang akut dari
pasien pada tahun 2008 meningkat kemerahan, rasa mengganjal, perih
menjadi 7.228 pasien pada tahun dan timbul secret; mengenai kedua
2009. mata
29
meskipun biasanya satu mata meningitides, H. aegyptius, S.
terinfeksi 1-2 hari sebelum mata aureus, dan M.catarrhalis. Bahkan
yang lain; pada saat bangun tidur pada kasus konjungtivitis
kelopak mata sering lengket dan meninges dapat berakhir menjadi
susah untuk membuka mata akibat sepsis dan meningitis yang
sekret yang menumpuk; hiperemi mengancam jiwa karena konjungtiva
konjungtiva yang difus; merupakan gerbang masuk
sekret pada awalnya berair mirip meningokokus ke dalam darah dan
konjungtivitis viral tetapi kemudan meninges
menjadi mukopurulent (Kanski, J. J., (Vaughan, D. dan Asbury, T., 2015).
2007). Konjungtivitis bakteri akut Terapi spesifik konjungtivitis
hampir selalu sembuh sendiri. Tanpa tergantung pada temuan antigen
diobati, infeksi mikrobiologisnya. Dokter
dapat berlangsung selama 10-14 hari, dapat memulai terapi dengan
sedangkan jika diobati memadai antibiotika topikal spectrum luas,
berlangsung sambil menunggu hasil
1-3 hari, kecuali konjungtivitis laboratorium. (misal polymixin-
stafilokokus (yang dapat berlanjut trimethoprim). Pada sekret yang
menjadi blefarokonjungtivitis dan purulent selain pemberian
memasuki fase kronis). terapi farmakologis, saccus
Konjungtivitis bakteri akut dapat konjungtiva harus dibilas dengan
menimbulkan komplikasi jika tidak larutan saline agar dapat
ditangani secara tepat. Komplikasi menghilangkan sekret konjungtiva
yang dapat timbulseperti keratitis, (Vaughan, dan Asbury, T., 2015).
ulkus kornea dan uveitis yang dapat
menyebabkan kebutaan. Ulserasi
kornea dapat terjadi pada infeksi N.
kochii, N.
30
KASUS edukasi.
Pasien laki laki 14 tahun datang ke PEMBAHASAN
RSU Lirboyo Kediri dengan keluhan Keluhan pasien pada kasus ini
kedua mata merah sejak empat hari berupa mata merah, rasa mengganjal,
yang lalu. Pasien bercerita pada dan mengeluarkan sekret yang sesuai
awalnya hanya mata kiri yang merah, dengan gejala konjungtivitis bakteri
kemudian 1 hari yang lalu mata akut. Pada pasien ini
kanan menjadi merah. Keluhan mata konjungtivitis bakteri akut belum
merah ini disertai dengan rasa mengakibatkan komplikasi ke
mengganjal seperti kemasukan pasir kornea, ditandai
dan banyak mengeluarkan kotoran tidak didapatkan keluhan epifora dan
mata. Ketika pagi hari saat bangun blepharospasme yang merupakan
tidur pasien susah membuka mata gejala khas
dan terasa seperti lengket. Tidak dari keratitis. Penatalaksanaan
didapatkan keluhan mata medikamentosa pada pasien ini
berair dan tidak silau saat melihat diberikan antibiotik spektrum
sumber cahaya. Pasien menceritakan luas dan analgesik oral untuk
bahwa sebelum sakit teman sebangku mengurangi rasa nyeri pada mata.
sekolah pasien menderita sakit mata Terdapat persepsi yang tidak tepat
merah. Tidak didapatkan riwayat pada sebagian masyarakat, misalnya
trauma mata. konjungtivitis
Pada pemeriksaan klinis didapatkan ditularkan dengan menatap mata
VOD 6/6 VOS 6/6, tidak didapatkan orang yang
blepharospasme, didapatkan sakit. Konjungtivitis bakteri akut
hiperemi konjungtiva, kornea jernih, menular ke
bilik mata depan kesan dalam, pupil mata yang sehat melalui tangan yang
bulat isokor 3mm/3mm. Pasien mengandung mikroorganisme
diberikan terapi antibiotik topikal penyebab
spektrum luas dan analgesik oral
serta diberi
31
konjungtivitis. Mikroorganisme ini KESIMPULAN DAN SARAN .
berpindah melalui mata yang tidak Konjungtivitis bakteri akut
disadari diusap oleh merupakan kasus mata tersering yang
penderita dan selanjutnya dihadapi oleh dokter umum.
mengakibatkan kontaminasi pada Penangan yang tepat diperlukan
barang yang terpegang oleh penderita untuk menghindari komplikasi yang
dan dipakai bersama oleh orang yang mengancam
sehat. Dalam upaya untuk memutus penglihatan. Selain pengobatan yang
rantai penularan konjungtivitis tepat edukasi kepada pasien,
edukasi oleh tenaga medis kepada keluarga pasien dan
pasien, keluarga pasien maupun masyarakat penting dilakukan untuk
masyarakat penting dilakukan, antara memutus mata rantai penularan dari
lain menjaga hygiene mata, rajin konjungtivitis bakteri akut. Edukasi
mencuci tangan, menghindari untuk yang diberikan meliputi menjaga
memegang mata dan tidak memakai kebersihan mata, cuci tangan
bersama barang barang yang kontak sebelum dan setelah meneteskan
dengan mata penderita seperti sapu obat, tidak memegang mata dan
tangan, sarung bantal dan handuk. memisahkan barang barang pribadi
seperti handuk, saputangan, sprei dan
bantal dari anggota keluarga yang
lain.
32
DAFTAR PUSTAKA . Profil Kesehatan Indonesia Tahun
Buznach, N., Dagan, R., Greenberg, 2009, diakses 06 Juni 2015, dari
D., (2005). Clinical and Bacterial http://www.Depkes.go.id. Mannis,
Characteristics of Acute Bacterial M., J., Plotnik, R., D. (2005).
Conjunctivitis in Children in The Bacterial Conjunctivitis. In: Tasman
Antibiotic Resistance Era. Pediatr M & Jaeger EA (eds) Duane’s
InfectDart, J., K., G. (1986). Eye Clinical Ophthalmology, vol. 4.
Disease at a Community Health Philadelphia: Lippincott,
Centre. Br MedJ 293: 1477– 1480. Williams & Wilkins, 1–11.
Franklin, R., M., Winkelstein, J., A., McDonnell, P., J. (1988). How Do
Seto, D., S., Y. (1977). General Practitioners Manage Eye
Conjunctivitis and Disease in The Community?, Br J
Keratoconjunctivitis Associated with Ophthalmol 72: 733–736.
Primary Immunodeficiency Diseases.
Am J Ophthalmol 84: 563– 566.
Friedlaender, M., H., Masi, R., J.,
Osumoto, M., Smolin, G, &
Ammann, A., J. (1980). Ocular
Microbial Flora in Immunodeficient
Patients. Arch Ophthalmol 98: 289–
294. Høvding., G. (2008). Acute
Bacterial Counjunctivitis. Acta
Ophthalmol (Copenh) 86: 5–17 Ilyas,
S., Yulianti, S. (2014). Ilmu Penyakit
Mata. Edisi 5. Jakarta : FKUI
Kanski, J. J., 2007. Clinical
Ophthalmology; a Systemic
Approach. 6th. Elsevier. New York.
Kemenkes RI. (2010). 10 Besar
Penyakit Rawat Jalan Tahun 2009.
33
ADVOKASI PADA KONJUNGTIVITIS
34
ASKEP PENKES JURNAL DAN ADVOKASI PADA OTITIS
MEDIA AKUT (OMA)
DI SUSUN OLEH :
DIERA LITA SABIVA : A21612040
T.A 2017/2018
35
KATA PENGANTAR
Penulis
36
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................................................1
Daftar Isi ......................................................................................................2
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang.........................................................................................3
B. Rumusan Masalah ...................................................................................3
II. Pembahasan
A. Definisi ...................................................................................................4
B. Anatomi dan Fisiologi .............................................................................4
C. Etiologi ....................................................................................................7
D. Manifestasi Klinik ...................................................................................7
E. Klasifikasi ................................................................................................8
F. Patofisiologi .............................................................................................8
G. Patoflow ...................................................................................................9
H. Pemeriksaan Penunjang ..........................................................................8
I. Pelaksanaan medis dan Keperawatan ......................................................8
J. Komplikasi ..............................................................................................9
K. Prognosis ...............................................................................................10
L. Pengkajian Teori ...................................................................................11
M. Masalah keperawatan ............................................................................12
N. Diagnosis ...............................................................................................12
O. Intervensi ...............................................................................................12
III. Penutup
A. Simpulan ................................................................................................15
B. Saran ......................................................................................................15
IV. Daftar Pustaka ............................................................................................16
37
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Otitis media adalah suatu infeksi pada telinga tengah yang disebabkan
karena masuknya bakteri pathogen ke dalam telinga tengah. Otitis media akut
(OMA) dapat terjadi yang dipengaruhi oleh beberapa factor seperti sumbatan
mukosa tuba eustachius, ISPA (Infeksi Salauran Pernafasan Atas), dan bakteri
(Streptococcus pneumonia, Haemophylus influenza, Moraxella catarrhalis, da
bakteri piogenik lain, seperti Streptococcus hemolyticus, Staphylococcus
aureus, E.Coli, Pneumococcus vulgaris). Otitis media juga merupakan salah
satu penyakit langganan anak. Prevalensi terjadinya otitis media di seluruh
dunia untuk usia 10 tahun sekitar 62% sedangkan anak berusia 3 tahun sekitar
83%. Di Amerika Serikat, diperkirakan 75% anak mengalami minimal 1
episode otitis media sebelum berusia 3 tahun dan hampir setengah dari
mereka mengalaminya 3 kali atau lebih. Di Inggris, setidaknya 25% anak
mengalami minimal 1 episode sebelum usia 10 tahun. (Smeltzer, 2009)
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan otitis media ?
2. Bagaimana anatomi dan fisiologi otitis media ?
3. Apa etiologi atau penyebab otitis media ?
4. Bagaimana patofisiologi penyakit otitis media ?
5. Apa saja manifestasi klinis penyakit otitis media ?
6. Apa saja yang termasuk pemeriksaan penunjang penyakit otitis media ?
7. Bagaimana komplikasi penyakit otitis media ?
8. Apa pengkajian teori otitis media ?
9. Apa diagnosis penyakit otitis media ?
10. Bagaimana intervensi penyakit otitis media ?
38
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
39
Telinga merupakan organ pendengaran dan juga meainkan peran pentng
dalam mempertahankan keseimbangan. Bagian-bagian yang berperan dalam
pendengaran : bagian luar, bagian tengah dan koklea. Bagian-bagian yang
berperan dalam keseimbangan : kanal seminisirkular, utrikel, sakulus. (Waston,
2002)
Struktur telingan
1. Telingan eksterna memiliki dua bagian : aurikula dan meatus akustik
eksterna.
Aurikula menempel dari samping kepala, terdiri dari fibrokartilago (tipis dan
elastic), ditutupi kulit berbentuk corong, yang mengantar gelombang suara
menuju ke metus akustik eksterna, merupakan bentuk lintasan tubular sekitar
4 cm yang memanjang ke bagian temporal. Ujung eksterna meatus bagian
dalam ditutpi oleh membrane timpani. Pada tepi kulis kartilago meatus
terdapat rambut-rambut halus yang memiliki kelenjar yang mengekspresikan
serumen, yang melindungi kanal dari debu atau benda asing lain, tetapi
serumen sendiri dapat menjadi hambatan akibat akumulasi, sehingga untuk
mengeluarkannya diperlukan penyemprotan.
2. Telinga bagian tengah merupakan tulang kecil pada bagian dalam tulang
temporal, dipisahkan oleh membrane impani dari telinga bagian luar, dinding
selanjtnya dibentuk oleh dinding bagian lateral telinga dalam. Rongga
tersebut dikelilingi membrane mukosa yang berisi udara yang masuk dari
faring melalui salura pendengaran. Hal tersebut membuat tekanan udara
dikedua sisi membrane timpani sama. Telinga tenga terdiri dari tiga tulang
tipis, yang disebut osikel, yang menghantarkan getaran ke membrane timpani
melalui telinga dalam. Membrane timpani tipis dan semitransparan, dan
tempat melekatnya maleus, osikel pertama, melekat dengan kuat ke
permukaan dalam. Inkus berartikulasi dengan maleus dan stapes, bagian
dalam osikel, yag menempel pada fenesta vestibule dan mengarah kebagian
dalam telinga. Dinding posterior bagian tengahterbuka tidak beaturan.
40
3. Telinga bagian dalam, yang terletak di bagian dalam petrosa tulang temporal,
tediri dari dua bagian yaitu tulang labyrinth yang menonjol dan membrane
labyrinth.
Tulang labirin sekali lagi terbagi menjadi tiga bagian : vestibula, koklea, dan
vestibulla semisirkular. Vestubula berdampngan dengan telinga tengah
melewati dua lubng : fenestra vestibule yang ditempati oleh dasar stapes dan
fenestra koklea. Koklea penting bagi fungsi pendegaran. Kokle adalah saluran
berbentuk spiral yang membentuk dua pertiga putaran mengintari pusat tulang
yang disebut modiolus. Pada saluran bagian luar, terdapat skala vestibule di
bagian atas dan skala timpani di bagian bawah. Dibagian ini berisi perilimf
dan bergabung dengan puncak modiolus
Kanal semisirkular berjumlah tiga dan terletak di bagian atas dan dibelakang
vestibula dalam tiga ruang yang berbeda satu vertical, satu horizontal dn lain
traversal. Semua ruang ini berisi perilimf. Bila posisi kepala berubah, gerakan
endolimf merangsang sel-sel khusus yang memiliki tonjolan seperti rmbut-
rambut yang terdapat di ujung setiap kanal.
Labirin membranosa terdapat di dalam ruang labyrinth walaupun ukurannya
lebih kecil. Membrane ini meliputi: utrikel, sakul, duktus semikular dan
duktus koklea.
Mekanisme Pendengaran :
Gelombang suara dari luar dikumpulkan oleh daun telinga (pinna), masuk
ke saluran eksterna pendengaran (meatus dan kanalis auditorius eksterna) yang
selanjutnya masuk ke membrane timpani. Adanya gelombang suara yang masuk
ke membrane timpani menyebabkan membrane timpani bergetar dan bergerak
maju mundur. Gerakan ini juga mengakibatkan tulang-tulang pendengaran seperti
meleus, inkus, dan stapes ikut bergerak dan selanjutnya stapes menggerakkan
foramen ovale serta menggerakkan cairan perilimf pada skala vestibule. Getaran
selanjutnya melalui membrane reisner yang mendorong endolimf dan membrane
basiler ke arah bawah dan selanjutnya menggerak perilimf pada skala timpani.
Pergerakan cairan dalam skala timpani menimbulkan potensial aksi pada sel
41
rambut yang selanjuttnya diubah menjadi inpuls listrik. Inpuls listrik selanjutnya
dihantarkan ke nukleus koklearis, thalamus kemudian korteks pendengaran untuk
diasosiasikan. (Tarwoto, 2009 : 234-253).
C. Etiologi
Penyebab otiti media antara lain : (Efiaty, 2010)
1. Infeksi saluran nafas atas oleh bakteri atau virus yang menyebabkan
peradangan di mukosa, gangguan drainase telinga tengah, dan
menyebabkan penumpukan cairan steril
2. Kuman penyebab otitis media adalah bakteri piogenik seperti
streptococcus hemolitikus, stapilococcus aureus, diplococcus
pneumococcus,
3. Hemofilus influens (anak 5 tahun), escheria colli, streptococcus
anhemoliticus ploteus vulgaris dan pseudomonas aurogenos
42
adanya absorbsi udara. Kadang-kadang merman timpani sendiri
tampak normal dan berwarnah keruh pucat. Efusi mungin sudah
terjadi tetapi tidak dapat di deteksi.
b. Stadium hiperemi
Pada stadium hiperemis, tampak pembulu darah yang melebar di
membrane timpani atau seluruh membran timpani. Mukosa cavum
mukosa timpani mulai tampak hiperemis atau oedem
c. Stadium supurasi
Oedem yang hebat pada mukosa telinga tenga dan hancurnya sel
epitel superfial serta terbentuknya eksudat yang purulen di cavum
timpani, menyebabkan membrane timpanin menjadi menonjol kea rah
telinga luar
d. Stadium perforasi
Stadium ini terjadi apa bila terjadi ruftur pada membrane timpani yang
menonjol pada saat stadium supurasi
e. Stadium resolusi membrane timpani yang utuh, bilah terjadi
kesembuhan maka keadaan membran timpani akan perlahan lahan
normal kembali.
E. Klasifikasi
Klasifikasi otitis media : (Efiaty, 2007)
1. Otitis media akut terjadi karena factor pertahanan tubuh yang tergaggu
2. Otitis media sub akut
3. Otitis media kronik terjadi infeksi dengan peforasi membrane timpani dan
secret yang keluar dari telinga tengah dengan terus-enerus atau hilang
timbul. Seret mungkin ence atau kental, bening atau berupa nanah. Otitis
media akut akan menjadi otitis media kronik apabila proses infeksi lebih
dari 2 bulan.
43
F. Patofisiologi
Otits media adalah inflamasi telinga tengah. Inflamasi dapat terjadi
disalurn telinga luar yang disebut otitis eksterna atau di telinga tengah yang
disebut otitis media.
Otitis media akut sering terjadi akibat infeksi bakteri biasanya oleh
streptococcus pneumonia, haemophilus influenza, atau infeksi virus.
Imaturasi sitem imun atau atau penyakit refluks gas. Otitis media akut dapat
terjadi ketika tuba eustachius yang secara normal mengalirkan sekresi telinga
tengah ke tenggorokan menjadi tersumbat atau penuh sehingga menyebabkan
menimbunan sekresi telinga tengah dan cairan. Ketika tuba eustachius
terbuka kembali tekanan di telinga yag mengalami kongesti tersebut dapat
menarik sekresi hidung yang terkontaminasi yng masuk melalui tuba
eustachius untuk masuk ke telinga tengah kemudian menjadi infeksi.
Otitis media yang efusi adalah penimbunan cairan di telinga tengah yang
sering terjadi akibat alergi. Pada bebrapa keadaan, infeksi bakteri sekunder
dapat terjadi. (Elizabeth J. Corwin, 2009
44
G. Patoflow
45
peradangan pembuluh darah - pening
(pertigo)
vasodilatasi - keseimbangan
tubuh
Meningkatkan produksi
Cairan serosa oedem hebat pd
Resiko cidera /
mukosa telinga
trauma
Rupture membrane timpani
Afferent
Secret keluar dan berbau
Tidak enak (otorrhoe) medulla spinalis
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Otoscope untuk melakukan auskultasi pada bagian telinga luar
2. Timpanogram, untuk mengukur kesesuaian dan kekakuan membrane
timpani
3. Kultur dan uji sensitifitas : dilakukan bila dilakukan timpanosensitesis
(aspirasi jarum dari telinga tengah melalui membrane timpani)
46
3. Penghisapan dan pembersihan telingan yang cermat dapat dilakukan di
bawah panduan mikroskop
4. Antibiotic tetes dimasukkan atau antibiotic serbuk digunakan untuk
mengatasi rabas purulen
5. Prosedur tympanoplasty dapat dilakukan untuk mengatasi infeksi
berulang, mengembalikan fungsi telinga tengah
6. Osikoloplasti mungkin dilakukan untuk merekonstruksi tulang telinga
tengah guna mengembalikan fungsi pendengaran
7. Mastoidektomi dapat dilakukan untuk mengeluarkan kolesteatoma,
membukan akses ke struktur yang mengalami penyakit dan membuat
telinga tetap kering (Brunner & Suddarth, 2014)
J. Komplikasi
Otitis media akut : (Brunner & Suddarth, 2014)
1. Perforasi membrane timpani dapat menetap berlanjut menjadi otitis media
kronik
2. Komplikasi sekunder dapat mencakup mastoid, meningitis, atau abses
otak (jarang)
47
K. Prognosis
Di Amerika Serikat dilaporkan kasus otitis media sering terjadi pada
anak-anak antara periode neonatal sampai sekitar umur 7 tahun, dengan
hampir 70 % dari anak-anak tersebut mengalami 1 atau lebih periode sampai
ulang tahun mereka yang ketiga.
Dan tidak ada perbedaan jenis kelamin yang rentan terhadap koplikasi
ini. Keseluruhan insidens dari semua komplikasi otitis media telah menurun
sejak dilakukan pengobatan efektif dengan antibiotic. Sebagai contoh, pada
saat era preantibiotik, insiden mastoiditis mengharuskan penatalaksanaan
bedah sebesar 25-50 %. Pada tahun 1980-an, insidens menurun hampir
0,02%. Pada tahun 1995, kangsaranak et al.. melakukan penelitian terhadap
24,321 pasien dengan otitis media. Dari hasil penelitiannya menunjukkan
komplikasi intracranial rata-rata 0,36%.
Pada saat era preantibiotik, angka mortalitas dari komplikasi
intrakrnial otitis media dilaporkan sekitar diatas 76,4 %. Penelitian terbaru
melaporkan dari 24,321 pasien yang menderita komplikasi intrkranial akibat
otitis media menunjukkan angka mortalitas sekitar 18,4%.
48
ASKEP OTITIS MEDIA AKUT / KRONIK
L. Pengkajian
1. Pengumpulan Data
Identitas pasien : Nama pasien, umur, suku/bangsa, agama,
pendidikan, pekerjaan, alamat
Riwayat penyakit sekarang : Riwayat adanya kelainan nyeri pada
telinga, penggunaan minyak, kapas lidi, penti untuk membersihkan
telinga
Riwayat penyakit dahulu: Riwayat infeksi saluran atas yang
berulang, riwayat alergi, riwayat OMA berkurang, riwayat
penggunaan obat (streptomisin, salisilat, kuirin, gentamisin),
riwayat operasi
Riwayat penyakit keluarga : Apakah keluarga pasien pernah
mangalami penyaki telinga, sebab dimungkinkan OMK
berubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan dengan
factor genetik
2. Pengkajian Persistem
Tanda-tanda vital : suhu meningkat, keluarnya otore
B2 (Blood) : nadi meningkat
B3 (Brain) : nyeri telinga, perasaan penuh dan pendengaran menurun,
vertigo, pusing, reflex kejut
B5 (Bowel) : Nausea vomiting
B6 (Bone) : Malaise, alergi
3. Pengkajian Psikososial
- Nyeri otore berpengaruh terhadap interaksi
- Aktivitas terbatas
- Takut menghadapi tindakan pembedahan
4. Pemeriksaan diagnostic
- Tes audiometric : pendengaran menurun
- Xray : terhadap kondisi patologi, missal kolestetoma, kekaburan
mastoid
49
5. Pemeriksaan diagnostic
- Tes suara bisikan, tes garputala
M. Diagnosa keperawatan
1. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan obstruksi, infeksi di
telinga tengah atau kerusakan di syaraf pendengaran
2. Nyeri berhubungan dengan peradangan pada membrane timpani
3. Resiko cidera / injuri berhubungan dengan keseibangan labirin : vertigo
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan otore berbau busuk
5. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pengetahuan
mengenai pengobatan dan pencegahan kekambuhan
N. Intervensi
NO DIAGNOSA INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN
1 Gangguan persepsi 1. Monitor TTV (suhu, 1. Tanda vital adalah
sensori berhubungan nadi, RR, TD) tiap 6 merupakan cara untuk
dengan obstruksi, jam mengetahui keadaan
infeksi di telinga 2. Lakukan irigasi telinga umum pasien
tengah atau kerusakan dengan air bersuhu 2. Irigasi telinga untu
di syaraf pendengaran tubuh membersihkan serumen
3. Anjurkan klien untuk yang berbau
menghisap dot atau 3. Menghisap dot atau
makan permen karet makan permen karet
untuk dapat menyeimbangka
menyeimbangkan tekanan di telinga dan
tekanan mengurangi telinga yang
4. Yakinkan pasien bahwa seperti meledak
deficit persepsi sensori 4. Membantu motivasi
hanya sementara klien dan keluarga agar
50
Kolaborasi tidak terjadi kecemasan
5. Kolaborasi dengan karena deficit persepsi
dokter untuk pemberian sensori
obat tetes telinga Kolaborasi
6. Kolaborasi dengan 5. Obat tetes telinga
dokter untuk pemberian membantu mencegah
antibiotika dan mengobati infeks
telinga luar agar tidak
terjadi inflamasi dan
penyebaran infeksi
6. Antibiotik dapat
menghambat penyebaran
infeksi dan melumpuhka
bakteri penyebab
penyakit
2 Nyeri berhubungan 1. Kaji tingkat nyeri yang 1. Sebagai indicator
dengan peradangan dirasakan baik intensitas, keefektifan itervensi yang
pada membrane karakteristik maupun diberikan dan perubahan
timpani beratnya (skala 1-10) karakteristik nyeri
2. Berikan lingkungan yang 2. Menurunkan reaksi
tenang sesuai dengan terhadap stimulasi dari
indikasi luar atau sensitivitas pada
3. Berika kompres hangat suara-suara bising dan
pada lokasi nyeri meningkatkan
4. Berikan posisi yang istirahat/relakasasi
nyaman pada pasien 3. Mampu meningkatkan
sesuai indikasi rasa nyaman dan
5. Berikan obat analgetik, mengurangi rasa nyeri
seperti asetaminofen 4. Menurunkan gerakan
yang dapat meningkatkan
nyeri
51
5. Mungkin diperlukan
untuk mengurangi nyeri
berat serta meningkatkan
kenyamanan dan istirahat
3 Resiko cidera / injuri 1. Kaji tingkat energy 6. Energy yang besar
berhubungan dengan yang dimiliki klien dapat memberikan
keseibangan labirin : 2. Berikan terapi ringan keseimbangan pada
vertigo untuk mmpertahankan tubuh saat istirahat
keseimbangan 7. Salah satu terapi
3. Ajarkan penggunaan ringan adalah
alat-alat bantu untuk enggerakkan bola
aktivitas klien mata, jika sudah
4. Berikan pengobatan terbiasa dilakukan,
nyeri (pusing) sebelum pusing akan berkurang
beristirahat 8. Mengantisipasi dan
meminimalkan resiko
jatuh
9. Nyeri yang berkurng
dapat meminimalkan
terjadinya jatuh
52
4 Gangguan citra tubuh 1. Bina hubungan saling 1. Hubungan saling
berhubungan dengan percaya percaya dapat menyadi
otore berbau busuk 2. Yakinkan klien setelah dasar terjadinya
dilakukan pengobatan / hubungan social
pembedahan cairan 2. Klien akan koperatif /
akan keluar dan bau berpartisipasi dalam
busuk akan hilang persiapan pembedahan
(tympanoplasty) dan
mulai akan mengajak
bicara kepada perawat
dan keluarga
53
5 Defisiensi 1. Ajarkan klien mengganti 1. Pendidikan kesehatan
pengetahuan balutan dan tentang cara mengganti
berhubungan dengan menggunakan antibiotic balutandapat meningkata
kurangnya secara continue sesuai pemahaman pasien
pengetahuan aturan sehingga dapat
mengenai pengobatan 2. Beritahu komplikasi yng berpartisipasi dalam
dan pencegahan mungkin timbul dan pencegahan
kekambuhan bagaimana cara kekambuhan
melaporkannya 2. Pemahaman tentang
3. Tekankan hal-hal yang komplikasi yang dapat
penting yang perlu terjadi dapat membantu
ditindak lanjuti / evaluasi klien dan keluarga untuk
pendengaran melaporkan ke tenaga
kesehatan sehingga
dapat dengan cepat
ditangani
3. Follow up sangat
penting dilakukan oleh
anak karena dapat
mengetahui
perkembangan penyakit
dan mencegah terjadinya
kekambuhan
54
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
B. SARAN
55
DAFTAR PUSTAKA
Huda Nurarif, Amin. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan
Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC. Jogjakarta : Mediaction Jogja.
J.Corwin, Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
Brunner & Suddarth. 2014. Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC
Efiatry, Nurbaiti, Jenny, Ratna. Buku Ajar Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke 6. FKUI,2007
Ghanie, Abla. 2010. Jurnal Penatalaksanaan Otitis Media Akut pada
Anak. Palembang : R.S Umum Pendidikan Mohammad Hoesin
56
PENKES OTITIS MEDIA AKUT (OMA)
Otitis media akut (OMA) yang oleh masyarakat Indonesia secara umum
sering disebut dengan “congek” adalah suatu peradangan akibat infeksi pada
sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid,
dan sel-sel mastoid yang terjadi dalam waktu kurang dari 3 minggu. OMA dapat
terjadi pada semua usia, namun bayi dan anak-anak merupakan kelompok usia
yang paling sering menderita OMA dibandingkan orang dewasa baik dewasa tua
maupun dewasa muda. Sebelum membaca lebih lanjut, kami anjurkan untuk
memahami bagian-bagian telinga terlebih dahulu.
GEJALA Pada anak gejala utama otitis media akut adalah adanya
perasaan nyeri di dalam telinga disertai demam yang menyebabkan anak menjadi
gelisah, sulit tidur, bahkan dapat tiba-tiba menjerit pada saat tertidur. Nyeri yang
dirasakan dapat bertambah hebat dan anak tampak memegang telinganya yang
sakit. Pada anak yang lebih besar atau dewasa, selain rasa nyeri terdapat pula
gejala berupa gangguan pendengaran dan rasa penuh di bagian dalam telinga.
Apabila terjadi robekan pada membran timpani (gendang telinga), maka nanah
akan mengalir keluar melalui liang telinga, kemudian suhu tubuh anak menjadi
turun, dan anak tampak tertidur tenang. Penting untuk diingat bahwa Gejala-gejala
tersebut biasanya diawali oleh riwayat batuk pilek atau infeksi saluran pernapasan
atas (ISPA) sebelumnya. PENYEBAB OTITIS MEDIA AKUT Kuman penyebab
otitis media yang tersering adalah bakteri piogenik (menimbulkan nanah), seperti
Streptococcus hemoliticus, Staphylococcus aureus, Pneumococcus dan
Haemophilus influenzae.
Telinga tengah biasanya steril. Kuman yang terdapat di rongga hidung, rongga
mulut dan saluran pernapasan atas dapat masuk ke telinga tengah apabila
mekanisme pencegahan masuknya kuman oleh silia dinding tuba Eustachius
mengalami suatu gangguan. Gangguan tesebut dapat terjadi oleh karena adanya
pembengkakan pada dinding saluran tuba Eustachius akibat infeksi atau reaksi
alergi yang menyebabkan timbulnya sumbatan pada tuba Eustachius,
mengakibatkan kuman yang masuk ke dalam tuba Eustachius menjadi
57
terperangkap, kemudian berkembang biak dan menyebabkan infeksi telinga
tengah dengan cairan yang bernanah. Oleh karena itu apabila seorang anak sering
menderita ISPA, maka akan semakin besar kemungkinan anak tersebut untuk
menderita OMA, disamping oleh karena sistem kekebalan tubuh anak yang belum
berkembang secara sempurna. Pada bayi terjadinya OMA dapat dipermudah oleh
karena bentuk tuba eustachius yang pendek, lebar, dan letaknya agak horizontal,
yang menyebabkan kuman menjadi lebih mudah untuk masuk ke telinga tengah.
PENATALAKSANAAN
Mengingat seringnya ISPA menimbulkan komplikasi infeksi telinga
maka penatalaksanaan yang dapat dilakukan yaitu : Mengupayakan untuk
memberikan anak makanan-makanan yang bergizi guna meningkatkan daya tahan
tubuh. Penggunaaan obat-obatan sesuai resep dokter Obat tetes hidung dapat
diberikan untuk membuka kembali saluran tuba eustachius yang tersumbat.
Pada otitis media yang disertai keluarnya cairan nanah dari telinga
dapat diberikan obat cuci telinga selama 3-5 hari dan antibiotik tetes telinga
selama 3 minggu Paracetamol sesuai dosis dapat diberikan untuk menurunkan
panas dan mengurangi nyeri yang dirasakan anak Sesuai dengan bakteri penyebab
tersering, antibiotik golongan Penisilin atau eritromisin sesuai dosis dapat
diberikan pada penderita OMA selama 10-14 hari Miringotomi, yaitu suatu
prosedur medis yang dilakukan oleh dokter ahli THT dengan membuat sebuah
lubang kecil pada gendang telinga yang bertujuan untuk mengeluarkan cairan
nanah dari telinga tengah.
Miringotomi dilakukan pada anak dengan OMA yang memiliki gejala
nyeri yang hebat, dengan demam tinggi, dan gendang telinga yang menonjol,
untuk mencegah terjadinya robekan pada gendang telinga, karena lubang tempat
gendang telinga yang robek kadang tidak dapat menutup kembali terutama pada
anak usia lebih dari 12 tahun atau dewasa. Kontrol teratur ke dokter untuk
memeriksakan membran timpani (gendang telinga) selama 2-4 minggu sampai
terjadi resolusi (penutupan kembali).
58
KOMPLIKASI
Apabila tidak diobati dengan cepat dan tepat, Otitis Media Akut dapat
berkembang menjadi Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) dengan robekan
gendang telinga menetap yang disertai nanah yang keluar terus menerus atau
hilang timbul. Apabila infeksi telinga berlangsung terus-menerus, OMSK dapat
menimbulkan kerusakan pada tulang pendengaran yang dapat menimbulkan abses
sub-periosteal, mastoiditis akut, dan paralisis nervus fasialis.
59
JURNAL OTITIS MEDIA AKUT (OMA)
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang
Penatalaksanaan Otitis Media Akut
Abstrak
Latar belakang : Penyakit otitis media akut (OMA) masih
merupakan masalah kesehatan khususnya pada anak-anak.
Penatalaksanaan OMA mendapat sejumlah tantangan unik. Tujuan :
untuk mengetahui penatalaksanaan yang tepat pada otitis media akut.
Tinjauan pustaka : Otitis media akut adalah peradangan akut telinga
tengah. Diagnosis OMA dapat ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan yang cermat menggunakan otoskop, otoskop pneumatik,
timpanometri, dan timpanosintesis. Pilihan penatalaksanaan OMA
berupa observasi dengan menghilangkan gejala (simtomatis) khususnya
nyeri dengan analgetik, dan antibiotik. Penggunaan antihistamin,
dekongestan dan kortikosteroid sebagai terapi tambahan pada OMA
belum ada bukti yang mendukung tentang manfaatnya. Bila perlu,
dilakukan timpanosintesis dan / atau miringotomi. Berkembangnya
pengetahuan baru tentang patogenesis OMA, perubahan pola resistensi,
dan penggunaan vaksin baru memunculkan tantangan yang lebih lanjut
pada penatalaksanaan efektif pada OMA. Kesimpulan: Pemilihan terapi
yang tepat pada OMA tergantung pada umur pasien, kepastian diagnosis
dan berat-ringannya penyakit.
60
advantage of it. If needed, tympanocentesis and / or myringotomy can be
performed. Together with development of knowledge about pathogenesis,
drug resistance, and the use of vaccine make further challenge to effective
treatment of AOM. Conclusion: the choice of the right treatments of AOM
depend on the age of patient, certain diagnosis and the degree of disease.
61
Korespondensi: dr.Yolazenia:
yolazenia@gmail.com tanpa komplikasi berupa observasi dengan
menghilangkan nyeri (menggunakan
PENDAHULUAN
asetaminofen atau ibuprofen), dan / atau
Otitis media akut (OMA) adalah antibiotik.5 Di Amerika Serikat (AS),
peradangan akut telinga tengah. Penyakit kebanyakan anak dengan OMA secara rutin
ini masih merupakan masalah kesehatan mendapat antibiotik.6 Cepatnya
khususnya pada anak-anak. Diperkirakan perubahan spektrum patogen
70% anak mengalami satu atau lebih menyebabkan sulitnya pemilihan terapi
episode otitis media menjelang usia 3 yang paling sesuai. Berkembangnya
tahun. Penyakit ini terjadi terutama pada pengetahuan baru tentang patogenesis
anak dari baru lahir sampai umur sekitar 7 OMA, perubahan pola resistensi, dan
tahun, dan setelah itu insidennya mulai penggunaan vaksin baru memunculkan
berkurang.1 tantangan yang lebih lanjut pada
Anak umur 6-11 bulan lebih rentan penatalaksanaan efektif pada OMA.7 Food
menderita OMA. Insiden sedikit lebih tinggi and Drug Administration (FDA) menyetujui
pada anak laki-laki dibanding perempuan. penggunaan vaksin pneumokokus
Sebagian kecil anak menderita penyakit ini konjugat sebagai cara baru dalam
pada umur yang sudah lebih besar, pada menurunkan prevalensi OMA dan
umur empat dan awal lima tahun. mencegah sekuele dari infeksi telinga.8
Beberapa bersifat individual dapat Beberapa peneliti dari Eropa Barat,
berlanjut menderita episode akut pada Inggris, dan AS menyarankan bahwa anak
masa dewasa. Kadang-kadang, orang dengan OMA dapat diobservasi saja
dewasa dengan infeksi saluran pernafasan daripada diterapi segera dengan
akut tapi tanpa riwayat sakit pada telinga antibiotik.9 Di Belanda, pengurangan
dapat menderita OMA.2 penggunaan antibiotik untuk OMA sudah
Faktor-faktor risiko terjadinya OMA dipraktekkan sejak tahun 1990an.10 Pada
adalah bayi yang lahir prematur dan berat tahun 2004, American Academy of
badan lahir rendah, umur (sering pada Pediatrics dan the American Academy of
anak-anak), anak yang dititipkan ke Family Physicians mengeluarkan
penitipan anak, variasi musim dimana rekomendasi diagnosis dan
OMA lebih sering terjadi pada musim penatalaksanaan OMA. Menurut petunjuk
gugur dan musim dingin, predisposisi rekomendasi ini, observasi
genetik, kurangnya asupan air susu ibu, direkomendasikan tergantung pada umur
imunodefisiensi, gangguan anatomi seperti pasien, kepastian diagnosis dan berat-
celah palatum dan anomali kraniofasial ringannya penyakit.11,12 Sekitar 80%
lain, alergi, lingkungan padat, sosial anak sembuh tanpa antibiotik dalam waktu
ekonomi rendah, dan posisi tidur 3 hari.13
tengkurap. 1-4
Penatalaksanaan OMA tanpa
komplikasi mendapat sejumlah tantangan
unik. Pilihan terapi OMA
1
62
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Bayangan penonjolan bagian
Kepala Leher (THT-KL) Fakultas bawah maleus pada memban timpani
Kedokteran Universitas Andalas Padang disebut sebagai umbo. Dari umbo
bermula suatu reflek cahaya ke arah
DEFINISI bawah yaitu pada pukul 7 untuk
Otitis media adalah suatu membran timpani kiri dan pukul 5
peradangan sebagian atau seluruh mukosa untuk membran timpani kanan
telinga tengah.1,14 Otitis media akut (Gambar 1). Membran timpani dibagi
didefinisikan bila proses peradangan pada menjadi 4 kuadran, dengan menarik
telinga tengah yang terjadi secara cepat garis searah dengan prosesus longus
dan singkat (dalam waktu kurang dari 3 maleus dan garis yang tegak lurus
minggu) yang disertai dengan gejala lokal pada garis itu di umbo, sehingga
dan sistemik.1,2,15 didapatkan bagian atas-depan, atas-
belakang, bawah-depan serta bawah-
ANATOMI belakang, untuk menyatakan letak
Telinga tengah berbentuk kubus perforasi membran timpani. Di dalam
dengan: 14 telinga tengah terdapat tulang-tulang
- Batas luar : membran timpani pendengaran yaitu maleus, inkus dan
- Batas depan : tuba Eustachius stapes.14
- Batas bawah : vena jugularis Sumbatan pada tuba Eustachius
- Batas belakang: aditus ad antrum, merupakan faktor utama penyebab
kanalis fasialis pars vertikalis terjadinya OMA. Tuba eustachius
- Batas atas : tegmen timpani meluas sekitar 35 mm dari sisi
(meningen/otak) anterior rongga timpani ke sisi
- Batas dalam : kanalis semi sirkularis posterior nasofaring dan berfungsi
horizontal, untuk ventilasi, membersihkan dan
kanalis fasialis, tingkap lonjong, melindungi telinga tengah. Lapisan
tingkap bundar dan promontorium mukosa tuba dipenuhi oleh sel
Peradangan pada telinga tengah mukosiliar, penting untuk fungsi
dapat dilihat dari membran timpani. pembersihannya. Bagian dua pertiga
Membran timpani merupakan sebuah antromedial dari tuba Eustachius
kerucut yang tidak teratur, puncaknya berisi fibrokartilaginosa, sedangkan
dibentuk oleh umbo. Membran timpani sisanya adalah tulang. Dalam keadaan
orang dewasa berdiameter sekitar 9 mm istirahat, tuba tertutup. Pembukaan
dan membentuk sudut lancip yang tuba dilakukan oleh otot tensor veli
berhubungan dengan dinding inferior liang palatini, dipersarafi oleh saraf
telinga luar. Anulus fibrosus dari membran trigeminal. Pada anak, tuba lebih
timpani mengaitkannya pada sulkus pendek, lebih lebar dan lebih
timpanikus. Selain itu, membran timpani horizontal dari tuba orang dewasa
melekat erat pada maleus yaitu pada (Gambar 2). Panjang tuba orang
prosesus lateral dan umbo.16 dewasa 37,5 mm dan pada anak di
Membran timpani dipisahkan bawah 9 bulan adalah 17,5 mm.14,16
menjadi bagian atas pars flaksid (membran
Shrapnell) dan bagian bawah pars tensa
(membran propria).14 Membran timpani
merupakan struktur trilaminar.
Permukaan lateralnya dibentuk oleh epitel
skuamosa, sedangkan lapisan medial
merupakan kelanjutan dari epitel mukosa
dari telinga tengah. Di antara lapisan ini
terdapat lapisan jaringan ikat, yang dikenal
sebagai pars propria. Pars propria di umbo
ini berguna untuk melindungi ujung distal
manubrium.16
63
bakteri penyebab OMA pada pasien yang
berobat di RSCM dan RSAB Harapan Kita
Jakarta pada bulan Agustus 2004 –
Februari 2005 yaitu S.aureus 78,3%,
S.pneumoniae 13%, dan H.influenza
8,7%.20
Virus terdeteksi pada sekret
pernafasan pada 40-90% anak dengan
OMA, dan terdeteksi pada 20-48% cairan
telinga tengah anak dengan OMA. Virus
yang sering sebagai penyebab OMA adalah
respiratory syncytial virus. Selain itu bisa
disebabkan virus
2
ETIOLOGI
Otitis media akut bisa disebabkan oleh
bakteri dan virus. Bakteri yang paling sering
ditemukan adalah Streptococcus pneumaniae,
diikuti oleh Haemophilus influenza, Moraxella
catarrhalis, Streptococcus grup A, dan
Staphylococcus aureus. Beberapa
mikroorganisme lain yang jarang ditemukan
adalah Mycoplasma pneumaniae, Chlamydia
pneumaniae, dan Clamydia tracomatis.1,5,18
Broides et al menemukan prevalensi
bakteri penyebab OMA adalah H.influenza 48%,
S.pneumoniae 42,9%, M.catarrhalis 4,8%,
Streptococcus grup A 4,3% pada pasien usia
dibawah 5 tahun pada tahun 1995-2006 di
Negev, Israil.19 Sedangkan Titisari menemukan
64
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Pada stadium ini tampak pembuluh
Kepala Leher (THT-KL) Fakultas darah yang melebar di sebagian atau
Kedokteran Universitas Andalas Padang seluruh membran timpani, membran
timpani tampak hiperemis disertai
parainfluenza (tipe 1,2, dan 3), influenza A edem.
dan B, rinovirus, adenovirus, enterovirus, 3. Stadium Supurasi
dan koronavirus. Penyebab yang jarang Stadium ini ditandai edem yang hebat
yaitu sitomegalovirus dan herpes simpleks. telinga tengah disertai hancurnya sel
Infeksi bisa disebabkan oleh virus sendiri epitel superfisial serta terbentuknya
atau kombinasi dengan bakteri lain.5,21 eksudat purulen di kavum timpani
sehingga membran timpani tampak
PATOFISIOLOGI menonjol (bulging) ke arah liang
Otitis media akut terjadi karena telinga luar.
terganggunya faktor pertahanan tubuh. 4. Stadium Perforasi
Sumbatan pada tuba Eustachius Pada stadium ini terjadi ruptur
merupakan faktor utama penyebab membran timpani sehingga nanah
terjadinya keluar dari telinga tengah ke liang
penyakit ini. Dengan terganggunya fungsi telinga.
tuba Eustachius, terganggu pula 5. Stadium Resolusi
pencegahan invasi kuman ke dalam telinga Pada stadium ini membran timpani
tengah sehingga kuman masuk dan terjadi berangsur normal, perforasi membran
peradangan. Gangguan fungsi tuba timpani kembali menutup dan sekret
Eustachius ini menyebabkan terjadinya purulen tidak ada lagi. Bila daya tahan
tekanan negatif di telingah tengah, yang tubuh baik atau virulensi kuman
menyebabkan transudasi cairan hingga rendah maka resolusi dapat terjadi
supurasi. Pencetus terjadinya OMA adalah walaupun tanpa pengobatan.
infeksi saluran pernafasan atas (ISPA). Ada juga yang membagi OMA
1,14,22,23 menjadi 5 stadium yang sedikit
Makin sering anak-anak terserang berbeda yaitu: 1. stadium kataralis; 2.
ISPA, makin besar kemungkinan terjadinya stadium eksudasi; 3. stadium supurasi;
OMA. Pada bayi dan anak terjadinya OMA 4. stadium penyembuhan; dan 5.
dipermudah karena: 1. morfologi tuba stadium komplikasi.25
eustachius yang pendek, lebar, dan
letaknya agak horizontal; 2. sistem DIAGNOSIS
kekebalan tubuh masih dalam Diagnosis OMA harus
perkembangan; 3. adenoid pada anak memenuhi tiga hal
relatif lebih besar dibanding orang dewasa berikut: 1.Penyakitnya muncul
dan sering terinfeksi sehingga infeksi mendadak (akut);
dapat menyebar ke telinga tengah.24
Beberapa faktor lain mungkin juga
berhubungan dengan terjadinya penyakit 2. Ditemukannya tanda efusi di telinga
telinga tengah, seperti alergi, disfungsi tengah. Efusi dibuktikan dengan
siliar, penyakit hidung dan/atau sinus, dan adanya salah satu di antara tanda
kelainan sistem imun.1,22,23 berikut: menggembungnya gendang
telinga, terbatas / tidak adanya
KLASIFIKASI gerakan gendang telinga, adanya
Ada 5 stadium OMA berdasarkan bayangan cairan di belakang
pada perubahan mukosa telinga tengah, gendang telinga, cairan yang keluar
yaitu: 14 1. Stadium Oklusi dari telinga; 3. Adanya tanda /
Stadium ini ditandai dengan gambaran gejala peradangan telinga tengah,
retraksi membran timpani akibat tekanan yang dibuktikan dengan adanya
negatif telinga tengah. Membran timpani salah satu di antara tanda berikut:
kadang tampak normal atau berwarna kemerahan pada gendang telinga,
suram. nyeri telinga yang mengganggu
2. Stadium Hiperemis tidur dan aktivitas
65
normal. 11,12 Diagnosis OMA dapat ditegakkan telinga luar. Timpanometri punya
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang sensitivitas dan spesifisitas 70-90% untuk
cermat. Gejala yang timbul bervariasi deteksi cairan telinga tengah, tetapi
bergantung pada stadium dan usia pasien. Pada tergantung kerjasama pasien.23
anak – anak umumnya keluhan berupa rasa Timpanosintesis, diikuti aspirasi
nyeri di telinga dan demam. Biasanya ada dan kultur cairan dari telinga tengah,
riwayat infeksi saluran pernafasan atas bermanfaat pada anak yang
sebelumnya. Pada remaja atau orang dewasa
biasanya selain nyeri terdapat gangguan 3
pendengaran dan telinga terasa penuh. Pada
bayi gejala khas adalah panas yang tinggi, anak
gelisah dan sukar tidur, diare, kejang-kejang
dan sering memegang telinga yang sakit.
1,14,18
Beberapa teknik pemeriksaan dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis OMA,
seperti otoskop, otoskop pneumatik,
timpanometri, dan timpanosintesis. Dengan
otoskop dapat dilihat adanya gendang telinga
yang menggembung, perubahan warna
gendang telinga menjadi kemerahan atau agak
kuning dan suram, serta cairan di liang
telinga.1,15,23
66
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah timpani menonjol dan masih utuh
Kepala Leher (THT-KL) Fakultas untuk mencegah perforasi.
Kedokteran Universitas Andalas Padang 4. Stadium Perforasi : Diberikan H2O2
3% selama 3-5 hari dan diberikan
gagal diterapi dengan berbagai antibiotika, antibiotika yang adekuat.
atau pada imunodefisiensi.18 Pada tahun 2004, American
Timpanosintesis merupakan standar emas Academy of Pediatrics dan the
untuk menunjukkan adanya cairan di American Academy of Family
telinga tengah dan untuk mengidentifikasi Physicians mengeluarkan rekomendasi
patogen yang spesifik.23 penatalaksanaan OMA. Petunjuk
Menurut beratnya gejala, OMA rekomendasi ini ditujukan pada anak
dapat diklasifikasi menjadi OMA berat dan usia 6
tidak berat. OMA berat apabila terdapat bulan sampai 12 tahun. Pada petunjuk
otalgia sedang sampai berat, atau demam ini di rekomendasikan bayi berumur
dengan suhu lebih atau sama dengan 39oC kurang dari 6 bulan mendapat
oral atau 39,5oC rektal, atau keduanya. antibiotika, dan pada anak usia 6-23
Sedangkan OMA tidak berat apabila bulan observasi merupakan pilihan
terdapat otalgia ringan dan demam dengan pertama pada penyakit yang tidak
suhu kurang dari 39oC oral atau 39,5oC berat atau diagnosis tidak pasti,
rektal, atau tidak demam.15 antibiotika diberikan bila diagnosis
pasti atau penyakit berat. Pada anak
PENATALAKSANAAN diatas 2 tahun mendapat antibiotika
Tujuan penatalaksanaan OMA jika penyakit berat. Jika diagnosis
adalah mengurangi gejala dan rekurensi.18 tidak pasti, atau penyakit tidak berat
Pada fase inisial penatalaksanaan dengan diagnosis pasti observasi
ditujukan pada penyembuhan gejala yang dipertimbangkan sebagai pilihan
berhubungan dengan nyeri dan demam terapi.11,12
dan mencegah komplikasi supuratif seperti
mastoiditis atau meningitis.26 Observasi
Penatalaksanaan medis OMA menjadi Spiro dkk,28 membuktikan
kompleks disebabkan perubahan patogen bahwa penanganan OMA dengan
penyebab. Diagnosis yang tidak tepat dapat menunggu dan melihat (observasi)
menyebabkan pilihan terapi yang tidak secara bermakna menurunkan
tepat. Pada anak di bawah dua tahun, hal penggunaan antibiotik pada populasi
ini bisa menimbulkan komplikasi yang urban yang datang ke instalasi gawat
serius. Diagnosis yang tidak tepat dapat darurat. Metoda menunggu dan
menyebabkan pasien diterapi dengan melihat menurunkan penggunaan
antibotik yang sebenarnya kurang tepat antibiotik pada 56% anak usia 6 bulan
atau tidak perlu. Hal ini dapat sampai 12 tahun dengan OMA.28
menyebabkan meningkatnya resistensi
antibiotik, sehingga infeksi menjadi lebih
sulit diatasi.7
Penatalaksanaan OMA di bagian
THT-KL RSUP Dr.M.Djamil Padang
tergantung pada stadium penyakit yaitu:27
1. Stadium Oklusi : diberikan obat tetes
hidung HCL efedrin 0,5%, dan
pemberian antibiotik.
2. Stadium Presupurasi : analgetika,
antibiotika (biasanya golongan
ampicillin atau penisilin) dan obat tetes
hidung.
3. Stadium Supurasi : diberikan antibiotika
dan obat-obat simptomatik. Dapat juga
dilakukan miringotomi bila membran
67
ditimbulkan oleh antibiotik dan
menurunkan resistensi kuman terhadap
antibiotik yang umum digunakan.28
Penelitian sebelumnya yang dilakukan Di bagian THT-KL RSUP Dr.M.Djamil
McCormick dkk,29 menunjukkan kepuasan Padang belum menerapkan metoda
orang tua sama antara grup yang diterapi
observasi pada penderita OMA mengingat
dengan observasi tanpa mendapat antibiotik masih kontroversinya metoda ini dan
dengan yang mendapat antibiotik pada belum ada data mengenai pola kuman
penanganan OMA. Dibanding dengan observasi penyebab OMA.
saja, pemberian antibiotik segera berhubungan
dengan penurunan jumlah kegagalan terapi Terapi simtomatis
dan memperbaiki kontrol gejala tetapi Penatalaksanaan OMA harus
meningkatkan efek samping yang disebabkan memasukkan penilaian adanya nyeri. Jika
antibiotik dan persentase yang lebih tinggi terdapat nyeri, harus memberikan terapi
terhadap strain multidrug resistant untuk mengurangi nyeri tersebut.
S.pneumoniae di nasofaring pada hari Penanganan nyeri harus dilakukan
keduabelas kunjungan.29 terutama dalam 24 jam pertama onset
Indikasi untuk protokol observasi OMA tanpa memperhatikan penggunaan
adalah: tidak ada demam, tidak ada muntah, antibiotik. Penanganan nyeri telinga pada
pasien atau orang tua pasien menyetujui OMA dapat menggunakan analgetik
penundaan pemberian antibiotik. Kontra seperti: asetaminofen, ibuprofen, preparat
indikasi relatif protokol observasi adalah telah topikal seperti benzokain, naturopathic
mendapat lebih dari 3 seri antibiotik dalam 1 agent, homeopathic agent, analgetik
tahun ini, pernah mendapat antibiotik dalam 2 narkotik dengan kodein atau analog, dan
minggu terakhir, terdapat otorea.30 timpanostomi / miringotomi. 11,13,18
Pilihan observasi ini mengacu pada Di bagian THT-KL RSUP Dr.M.Djamil
penundaan pemberian antibiotik pada anak Padang pada penderita OMA khususnya
terpilih tanpa komplikasi untuk 72 jam atau stadium presupurasi dan supurasi
lebih, dan selama waktu itu, penatalaksanaan diberikan analgetik karena pada stadium
terbatas pada analgetik dan simtomatis ini umumnya penderita merasakan nyeri
lain.26,30 Pemberian antibiotik dimulai jika pada telinga. Pada
pada hari ketiga gejala menetap atau
bertambah.30 4
Faktor-faktor kunci dalam menerapkan
strategi observasi adalah: metoda untuk
mengklasifikasi derajat OMA, pendidikan orang
tua, penatalaksanaan gejala OMA, akses ke
sarana kesehatan, dan penggunaan regimen
antibiotik yang efektif jika diperlukan. Jika hal
tersebut diperhatikan, observasi merupakan
alternatif yang dapat diterima untuk anak
dengan OMA yang tidak berat.29
Terapi bedah
Walaupun observasi yang hati-hati dan
pemberian obat merupakan pendekatan
pertama dalam terapi OMA, terapi pembedahan
perlu dipertimbangkan pada anak dengan OMA
rekuren, otitis media efusi (OME), atau
komplikasi supuratif seperti mastoiditis
70
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Administration (FDA) yang dapat
Kepala Leher (THT-KL) Fakultas menginduksi respon imun lama
Kedokteran Universitas Andalas Padang terhadap Pneumococcus serotipe 4, 6B,
9V, 14, 18C, 19F, dan 23F (PCV-7).
yang invasif, dapat menimbulkan nyeri, Serotipe ini dipilih berdasarkan
dan berpotensi menimbulkan bahaya frekuensinya yang sering ditemukan
sebagai penatalaksanaan rutin. 26 pada penyakit pneumokokus invasif
Miringotomi adalah tindakan insisi dan hubungannya dengan organisme
pada membran timpani untuk drainase yang mutltidrug-resistant.8
8,42
cairan dari telinga tengah.8,39 Pada Data dari penelitian di AS-44
miringotomi dilakukan pembedahan kecil dari 500 pasien dengan OMA
di kuadran posterior-inferior membran menunjukkan bahwa 84% dari total
timpani. Untuk tindakan ini diperlukan pneumokokus dan 95% serotipe yang
lampu kepala yang terang, corong telinga resisten antibiotik diisolasi dari
yang sesuai, dan pisau khusus aspirasi telinga tengah merupakan
(miringotom) dengan ukuran kecil dan kandungan dari vaksin konyugat. 40
steril.14
Dosis primer pemberian vaksin
Miringotomi hanya dilakukan pada
adalah empat dosis tunggal 0,5 ml
kasus-kasus terpilih dan dilakukan oleh
intramuskular. Selama pemberian pada
ahlinya.31 Disebabkan insisi biasanya 8,4
23 juta vaksin dosis di AS, reaksi lokal2-
sembuh dengan cepat (dalam 24-48 jam),
dan demam merupakan efek samping
prosedur ini sering diikuti dengan
umum.41
pemasangan tabung timpanostomi untuk Rekomendasi imunisasi universal
ventilasi ruang telinga tengah.26,39 pada anak dibawah umur 2 tahun adalah 4
Indikasi untuk miringotomi adalah dosis vaksin intramuskular yang diberikan
terdapatnya komplikasi supuratif, otalgia pada usia 2, 4, 6, dan terakhir pada usia 12-
15 bulan. Vaksin dini dapat diberikan
berat, gagal dengan terapi antibiotik, bersamaan dengan imunisasi rutin
pasien imunokompromis, neonatus, dan American Academy of Pediatrics
pasien yang dirawat di unit perawatan (AAP) dan Advisory Committee on
intensif. 26,39 Immunization Practices (ACIP)
merekomendasikan penggunaan vaksin 23
Di bagian THT-KL RSUP Dr.M.Djamil valen polisakarida pada anak risiko tinggi
Padang, miringotomi dapat dilakukan pada untuk memperluas cakupan serotipe.
OMA stadium supurasi dengan membrane Vaksinasi selektif pada anak usia 2-5 tahun
timpani yang menonjol dan masih utuh yang tidak punya daya tahan dianjurkan
untuk mencegah perforasi.27 pada pasien dengan risiko tinggi menderita
penyakit invasif pneumokokus, termasuk
Vaksin untuk mencegah OMA penyakit sel sabit, HIV, dan penyakit
Vaksin dapat digunakan untuk kronik lainnya. Vaksin pneumokokus
konjugat sebaiknya dimasukkan dalam
mencegah anak menderita OMA. Secara strategi penatalaksanaan anak usia 2-5
teori, vaksin terbaik adalah yang tahun yang menderita OMA rekuren. Anak
menawarkan imunitas terhadap semua tersebut memperoleh manfaat dari
patogen berbeda yang menyebabkan OMA. imunisasi dengan vaksin 23-valen
Walaupun vaksin polisakarida polisakarida ini, 8 minggu setelah
mengandung jumlah serotipe yang relatif menyelesaikan paket vaksin konyugat
pneumokokal.
besar, preparat poliksakarida tidak
menginduksi imunitas seluler yang 44
bertahan lama pada anak dibawah 2 tahun.
Pemberian vaksin pneumokokus
Oleh karena itu, strategi vaksin terkini
konjugat ini belum rutin dilakukan di RSUP
untuk mengontrol OMA adalah konjungat
Dr.M.Djamil Padang.
polisakarida peneumokokal dengan
protein nonpneumokokal imunogenik, KOMPLIKASI
pendekatan yang dapat memicu respon Komplikasi dari OMA dapat terjadi
imun yang kuat dan lama pada bayi.8 melalui beberapa mekanisme, yaitu
Vaksin pneumokokus konjugat yang melalui erosi tulang, invasi langsung dan
disetujui oleh Food and Drug tromboflebitis. Komplikasi ini dibagi
71
menjadi komplikasi intratemporal dan Komplikasi tersebut umumnya
intrakranial. Komplikasi intratemporal terdiri sering ditemukan sewaktu belum adanya
dari: mastoiditis akut, petrositis, labirintitis, antibiotik, tetapi pada era antibiotik semua
perforasi pars tensa, atelektasis telinga tengah, jenis komplikasi itu biasanya didapatkan
paresis fasialis, dan gangguan pendengaran. sebagai komplikasi dari otitis media
Komplikasi intrakranial yang dapat terjadi supuratif kronik (OMSK). Penatalaksanaan
antara lain yaitu meningitis, encefalitis, OMA dengan komplikasi ini yaitu dengan
hidrosefalus otikus, abses otak, abses epidural, menggunakan antibiotik spektrum luas,
empiema subdural, dan trombosis sinus dan pembedahan seperti
lateralis.24,45 mastoidektomi.24
72
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang
7
73
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang
Tabel 1. Antibiotik yang direkomendasikan pada pasien yang diterapi inisial dengan
antibiotik atau yang telah gagal 48 – 72 jam pada terapi inisial dengan observasi11
76
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang
77
30. Helmi. Diagnosis dan penatalaksanaan otitis media. Dalam: Satelit
symposium. Penanganan mutakhir kasus telinga hidung tenggorok,
Jakarta, 2003.
31. Finkelstein JA, Stille CJ, Rifas-Shiman SL, Goldman D. Watchful waiting
for acute otitis media: are parents and physicians ready? Pediatrics
2005;115:1466-73.
32. Siegel RM, Kiely M, Bien JP, Joseph EC, Davis JB, Mendel SG, et al.
Treatment of otitis media with observation and a safety-net antibiotic
prescription. Pediatrics 2003;112:527-31.
33. Coleman C, Moore M. Decongestants and antihistamines for
acute otitis media in children.
Cochrane Database of Systematic Reviews 2008 Issue 3.
34. Chonmaitree T, Saeed K, Uchida T, Heikkinen T, Baldwin CD, Freeman
DH, et al. A randomized, placebo-controlled trial of the effect of
antihistamine or corticosteroid treatment in acute otitis media. J
Pediatr.2003;143(3):377.
35. Finn R. Corticosteroids, antihistamins, no use in
AOM. Available from:
http://findarticles.com/p/articles/mi_hb4384/is_9_ 40/ai_n29294275/.
Accessed March 4, 2012.
36. Tahtinen PA, Laine MK, Huovinen P, Jalava J, Ruuskanen o, Ruohola A.
A placebo-controlled trial of antimicrobial treatment for acute otitis
media. N Engl J Med 2011;364(2):116-26.
37. Cohen R, Ovetchkine P, Gehanno P. Short-course antibiotics for acute
otitis media. In: Alper CM, Bluestone CD, Caselbrant ML, Dohar JE,
Mandel EM, editors. Advanced therapy of otitis media. Ontario:BC
Decker Inc;2004. p.39-43.
38. Shaikh N. Hoberman A, Kearney DH, Yellon R. Tympanocentesis in
children with acute otitis media. N Engl J Med 2011. Available from:
http://www.nejm.org.
39. Belmont MJ. Myringotomy and tympanocentesis. In: Alper CM,
Bluestone CD, Caselbrant ML, Dohar JE, Mandel EM, editors. Advanced
therapy of otitis media. Ontario:BC Decker Inc;2004. p.58-62.
40. Joloba ML, Windau A, Bajaksouzian S, Appelbaum PC, Hausdorff WP,
Jacobs MR. Pneumococcal conjugate vaccine serotypes of
Streptococcus pneumoniae isolates and the antimicrobial
susceptibility of such isolates in children with otitis media. Clin Infect
Dis 2001;33:1489-94.
41. Pelton SI, Klein JO. The future of pneumococcal conjugate vaccines for
prevention of pneumococcal disease in infants and children. Pediatrics
2002;110(4):805-14.
42. From the Centers for Disease Control and Prevention. Updated
recommendations on the use of pneumococcal conjugate vaccine in a
setting of vaccine shortage. Advisory committee on immunization
practices. JAMA 2002;287:833-4.
78
43. American Academy of Pediatrics. Comminttee on
Infectious Diseases. Policy statement: recommendations for the
prefention of pneumococcal infections, including the use of pneumococcal
conjugate vaccine, pneumococcal polysaccharide vaccine, and antibiotic
prophylaxis. Pediatrics 2000;106(2 Pt 1):362-6.
44. Zimmerman RK. Pneumococcal conjugate vaccine for young children.
Am Fam Physician 2001;63:1991-8.
45. Priyono H. Restuti RD, Iswara A. Handryastuti S. Komplikasi
intratemporal dan intrakranial pada otitis media akut anak. Laporan kasus.
Jakarta: Departemen THT-KL FKUI/RSC
79
KATA PENGANTAR
Penulis
80
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................................................1
Daftar Isi ......................................................................................................2
V. Pendahuluan
C. Latar Belakang.........................................................................................3
D. Rumusan Masalah ...................................................................................3
VI. Pembahasan
P. Definisi ...................................................................................................4
Q. Fungsi Perawat ........................................................................................4
R. Nursing Advokasi ....................................................................................5
S. Prinsip-prinsip Etika keperawatan ...........................................................7
T. Dasar Hukum Advokasi Perawatan .........................................................8
VII. Penutup
C. Simpulan ................................................................................................10
D. Saran ......................................................................................................10
Daftar Pustaka ........................................................................................................11
81
BAB I
PENDAHULUAN
C. LATAR BELAKANG
D. RUMUSAN MASALAH
82
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Menurut Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun 2014 tentang
Keperawatan, dijelaskan bahwa: “Perawat adalah seseorang yang telah lulus
pendidikan tinggi keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri yang
diakui oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.”
Advokasi adalah melindungi klien atau masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan dan keselamatan praktik tidak sah yang tidak kompeten
dan melanggar etika yang dilakukan oleh siapa pun (WHO, 2005)
B. Fungsi Perawat
Dalam praktik keperawatan, fungsi perawat terdiri dari tiga yaitu sebagai
berikut:
1. Fungsi Independen
Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain,
yaitu perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri
dengan keputusan sendiri dalam melakukan tindakan dalam rangka
memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Contoh : tindakan mandiri perawat seperti mengajarkan klien
menggunkan dan merawat alat pendegaran dengan tepat, melakukan
kompres dingin disekitar telinga klien untuk mengurangi nyeri akibat
proses peradangan yang terjadi.
2. Fungsi Dependen
Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atas
pesan atau instruksi dari perawat lain. Sehingga sebagai tindakan
pelimpahan tugas yang diberikan. Hal ini biasanya dilakukan oleh
perawat spesialis kepada perawat umum, atau dari perawat primer ke
perawat pelaksana.
83
Contoh : perawat dalam melakukan tindakan medis di luar
kewenangan yang ia miliki, harus mendapatkan instruksi sebelumnya
dari dokter spesialis yang menangani pasien secara langsung. Misalnya
perawat melakukan tindakan pemberian obat-obatan analgesic untuk
mengurangi nyeri maka sebelumnya perawat harus mendapatkan
instruksi atau persetujuan dari dokter spesialis yang merawat pasien
tersebut.
3. Fungsi Interdependen
Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling
ketergantungan di antara satu dengan yang lainnya. Fungsi ini dapat
terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerja sama tim dalam
pemberian pelayanan seperti dalam memberikan asuhan keperawatan
pada penderita yang mempunyai penyakit kompleks. Keadaan ini tidak
dapat diatasi dengan tim perawat saja melainkan juga dari dokter ataupun
lainnya, seperti dokter dalam memberikan tindakan pengobatan
bekerjasama dengan perawat dalam pemantauan reaksi obat yang telah
diberikan.
Contoh : saling ketergantungan antar tenaga medis perawat, dokter,
dan apoteker. Perawat akan melakukan suatu bentuk kerjasama dengan
dokter dalam menentukan diagnosa medis dan tindakan medis yang harus
dilakukan seperti operasi mastoidektomi salah satunya. Selain itu perawat
bekerjasama dengan apoteker untuk memberikan resep obat yang didapat
dari dokter untuk diberikan pada klien.
C. Nursing Advokasi
1. Diagnose Keperawat : Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan
obstruksi, infeksi di telinga tengah atau kerusakan di syaraf pendengaran
Advokasi perawat :
- Ajarkan klien menggunakan dan merawat alat pendengaran secara
tepat,
84
- Instruksikan klien untuk menggunakan teknik-teknik yang aman
sehingga dapat mencegah terjadinya ketulian lebih jauh
- Instruksikan klien untuk menghabiskan seluruh dosis antibiotic yang
diberikan, karena jika terapi antibiotic dihentikan sebelum waktunya
dapat menyebabkan organism sisa berkembang biak sehingga infeksi
dapat berlanjut.
2. Diagnose Keperawatan : Nyeri akut ansietas, resiko infeksi berhungan
dengan proses peradangan.
- Ajarkan klien untuk mengalihkan rasa nyeri yang timbul dengan
melakukan metode relaksasi, seperti menarik napas dalam. Metode
pengalihan suasana dengan melakukan relaksasi bisa mengurangi
nyeri yang diderita klien.
- Kompres dingin disekitar area telinga untuk mengurangi nyeri karena
rasa nyeri teralihkan oleh rasa dingin disekitar telinga.
3. Diagnose Keperawatan : Kecemasan berhubungan dengan prosedur
operasi, diagnosis, prognosis, ansietas, nyeri, hilang fungsi, kemungkinan
penurunan pendengaran lebih besar setelah operasi.
- Merealisasikan prinsip keperawatan veracity (kejujuran) kepada klien
ketika mendiskusikan mengenai kemajuan dari fungsi
pendengarannya. Harapan-harapan yang tidak realistic tidak dapat
mengurangi kecemasan, justru dapat menimbulkan ketidakpercayaan
klien terhadap perawat.
- Berikan penkes kepada klien terutama informasi tentang kelompok
yang juga mengalami gangguan seperti yang dialami klien untuk
memberikan dukungan kepada klien.
4. Diagnose Keperawatan : Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan
kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan dan penceahan
kekambuhan
- Ajarkan klien mengganti balutan dan menggunakan antibiotic secara
continue sesuai aturan
85
- Beritahu komplikasi yang mungkin timbul dan bagaimana cara
melaporkannya
5. Diagnose Keperawatan : Resiko cidera / injuri berhubungan dengan
ketidakseimbangan labirin : vertigo
- Berikan terapi ringan untuk mempertahankan keseimbangan seperti
menggerakkan bola mata, jika sudah terbiasa dilakukan, pusing akan
berkurang
- Ajarkan penggunaan alat-alat bantu untuk aktivitas klien untuk
mengantisipasi dan meminimalkan resiko jatuh
6. Diagnose Keperawatan : gangguan citra tubuh berhubungan dengan
nyeri, otore berbau busuk
- Bina hubungan saling percaya untuk membuat klien menyadari dasar
terjadinya hubungan social
- Yakinkan klien setelah dilakuakn pengobatan / pembedahan cairan
akan keluar dan bau busuk akan hilang
86
Prinsip ini menuntut perawat untuk melakukan hal yang baik
dengan begitu dapat mencegah kesalahan atau kejahatan.
c. Juctice (keadilan)
Nilai ini direfleksikan dalam praktek professional ketika perawat
bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktik dan
keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan.
Contoh ketika perawat dinas sendirian dan ketika itu ada klien baru masuk
serta ada juga klien rawat yang memerlukan bantuan perawat maka
perawat harus mempertimbangkan faktor-faktor dalam faktor tersebut
kemudian bertindak sesuai dengan asas keadilan.
d. Non malfience (tidak merugi)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan
psikologis pada klien. Contoh ketika orang tua klien yang menyatakan
kepada dokter secara tertulis menolak pelaksanaan operasi mastoidektomi
(pembusukan tulang mastoid pada telinga) membuat keadaan klien
semakin memburuk dan dokter harus mengistrusikan operasi
mastoidektomi. akhirnya mastoidektomi ridak diberikan karena prinsi
beneficence walaupun pada situasi ini juga terjadi penyalahgunaan prinsi
nonmaleficince.
e. Veracity (kejujuran)
Nilai ini bukan cuman dimiliki oleh perawat namun harus dimiliki
oleh seluruh pemberi layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran
pada setia klien untuk meyakinkan agar klien mengerti. Informasi yang
diberikan harus akurat, komprehensif, dan objektif. Kebenaran merupakan
dasar membina hubungan saling percaya. Klien memiliki otonomi
sehingga mereka berhak mendapatkan informasi yang ia ingin tahu.
Contoh Ny. S membawa anaknya ke rumah sakit karena anaknya
selalu rewel dan menegluh sakit dibagian telinganya. Ny. S selalu
bertanya-tanya tentang keadaan anaknya. Dokter ahli bedah berpesan
kepada perawat untuk belum memberitahukan ketulian yang dialami
anaknya akibat infeksi kepada klien perawat tidak mengetahui alasan
87
tersebut dari dokter dan kepala ruangan menyampaikan intruksi dokter
harus diikuti. Perawat dalam hal ini dihadapkan oleh konflik kejujuran.
f. Fidelity (menepati janji)
Tanggung jawab besar seorang perawat adalah meningkatkan
kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan, dan meminimalkan
penderitaan. Untuk mencapai itu perawat harus memiliki komitmen
menepati janji dan menghargai komitmennya kepada orang lain.
g. Confidentiality (kerahasiaan)
Kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga privasi
klien. Dokumentasi tentang keadaan kesehatan klien hanya bisa dibaca
guna keperluan pengobatan dan peningkatan kesehatan klien. Diskusi
tentang klien diluar area pelayanan harus dihindari.
88
4. Praktik Keperawatan adalah pelayanan yang diselenggarakan oleh
Perawat dalam bentuk Asuhan Keperawatan.
5. Asuhan Keperawatan adalah rangkaian interaksi Perawat dengan Klien
dan lingkungannya untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan dan
kemandirian Klien dalam merawat dirinya.
89
BAB III
PENUTUP
C. SIMPULAN
Advokasi merupakan salah satu peran perawat dan menjadi dasar yang
penting dalam membrikan asuhan keperawatan kepada pasien. Peran perawat
sebagai advokat pasien menuntut perawat untuk dapat mengidentifikasi dan
mengetahui nilai-nilai dan kepercayaan yang dimilikinya tentang peran
advokat, peran dan hak-hak pasien, perilaku profesional, dan hubungan
pasien-keluarga-dokter. Di samping itu, pengalaman dan pendidikan yang
cukup sangat diperlukan untuk memiliki kompetensi klinik yang diperlukan
sebagai syarat untuk menjadi advokat pasien.
D. SARAN
Mengaplikasikan teori ini dalam tatanan pemberian pelayana
kesehatan kepada masyarakat, dan melaksanakan peran perawat sebagai
advokat utama klien dan penghubung antar profesi kesehatan demi
kepentingan pasien
90
DAFTAR PUSTAKA
Purba,Jeni Marlindawani & Pujiastuti. 2010. Dilema Etik & Pengambilan
Keputusan Etis. Jakarta : EGC.
Triwibowo, cecep. 2010. Hukum Keperawatan. Yogyakarta : Pustaka book
publisher.
WHO (2005). Pedoman Perawatan Pasien, Jakarta: EGC
Gartinah, dkk, Keperawatan dan Praktek Keperawatan, PPNI, Jakarta,
2002, hlm. 51.
Undang-undang Republik Indonesia No. 38 tahun 2014 Tentang
Keperawatan
91
ASKEP PENKES JURNAL DAN ADVOKASI PADA
TINITUS
DI SUSUN OLEH :
DIERA LITA SABIVA : A21612040
T.A 2017/2018
92
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulilah penulis ucapkan atas kehadiran allah SWT serta
nikmat ilmu dan limpahan rahmat serta karunianya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “asuhan keperawatan tinitus”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang membantu dalam
pembuatan makalah ini terutama kepada dosen pengajar mata kuliah sistem
endokrin dan anggota kelompok yang sangat kompak dan saling membantu untuk
menyelesaikan tugas makalah ini.
Makalah ini belum sepenuhnya sempurna dan masih banyak terdapat
kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini, semoga makalah ini
dapat berguna bagi pembaca.
Penulis
93
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................. 2
DAFTAR ISI ................................................................................................ 3
LAPORAN PENDAHULUAN ................................................................... 4
A. Definisi .............................................................................................. 4
B. Anatomi dan Fisiologi ....................................................................... 4
C. Etiologi .............................................................................................. 5
D. Manifestasi klinis .............................................................................. 6
E. Patoflow ............................................................................................ 7
F. Pemeriksaan penunjang..................................................................... 8
G. Komplikasi ........................................................................................ 8
H. Penatalaksanaan ................................................................................ 8
I. Prognosis …………………………………………………………...9
KONSEP KEPERAWATAN ..................................................................... 10
A. Pengkajian ......................................................................................... 10
B. Diagnosis keperawatan...................................................................... 11
C. Intervensi ........................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 14
94
LAPORAN PENDAHULUAN
A. DEFINISI
Tinitus adalah gejala gangguan mendasar pada telinga yang berhubungan
dengan gangguan pendengaran.(Husnul,2009) Tingkat keperahannya
mulai dari ringan sampai berat. Pasien yang mengalami tinnitus kan
merasakan suara menderu, berdengung. Atau mendesis disalah satu atau
kedua teling. Sejumlah faktor dapat berkontribusi terhadap perkembangan
tinitus, termasuk beberapa zat ototoksik. Gangguan mendasar yang
memicu tinitus bisa disebabkan penyakit tiroid, hiperglikemia, kekurangan
vitamin B12, gangguan psikologis (misalnya depresi, kecemasan),
fibromyalgia, gangguan otologis (penyakit Meniere, neuroma akustik), dan
kelainan neurologis (cedera kepala, multiple sclerosis). Tinitus dapat
dibagi atas 2, yaitu :
1) Tinitus objektif, bila suara tersebut dapat juga didengar oleh pemeriksa
atau dengan auskultasi disekitar telinga. Tinitus objektif bersifat vibritorik,
berasal dari transmisi vibrasi sistem vaskuler atau kardiovaskuler disekitar
telinga.
2) Tinitus subjektif, bila suara tersebut hanya didengar oelh pasien sendiri,
jenis ini sering terjadi. Tinitus subjektif bersifat nonvibratorik, disebabkan
oleh proses iritatif atau perubahan degenerative traktus auditorius mulai
dari sel-sel rambut getar koklea sampai pusat saraf pendengaran
(Husnul,2009)
95
telinga. Tinitus subjektif tejadi bila suara hanya didengar oleh pasien sendiri.
Tinitus subjektif bersifat nonvibratorik, disebabkan oleh proses iritatif atau
perubahan 96iagnostic96e traktus auditorius mulai dari sel-sel rambut getar koklea
sampai pusat saraf pendengar.
C. ANATOMI FISIOLOGI
Gelombang bunyi ditangkap oleh daun telinga dan diteruskan ke dalam
liang telinga.Gelombang bunyi akan diteruskan ke telinga tengah dengan
menggetarkan gendang telinga.Getaran ini akan diteruskan oleh ketiga
tulang dengar, maleus, incus dan stapes, ke foramen oval.Getaran Struktur
koklea pada tingkap lonjong akan diteruskan ke cairan limfe yang ada
didalam skala 96iagnosti. Getaran cairan ini akan menggerakkan 96iagnost
Reissner danmenggetarkan endolimfa. Sehingga akan menimbulkan
gerakan 96iagnost antara 96iagnost basalisdan 96iagnost tektoria. Proses
ini merupakan rangsangan mekanik yang menyebabkan terjadinyadefleksi
stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion akan terbuka dan terjadi
pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan
proses depolarisasi sel rambut,sehingga melepaskan neurotransmitter ke
dalam sinaps yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius.
Lalu di lanjutkan ke nukleus auditoris sampai korteks pendengaran di
area39-40 lobus temporalis.
96
D. ETIOLOGI
Tinitus dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Terkadang, penyebabnya
sulit diketahui. Ada beberapa faktor yang umumnya mengakibatkan tinitus
:
1) Adanya kerusakan telinga bagian dalam. Hal ini merupakan penyebab
sebagian besar tinitus. Bagi telinga yang normal, suara yang masuk akan
dikirim ke otak oleh saraf-saraf pendengaran setelah melalui koklea. Jika
koklea mengalami kerusakan, proses penghantar gelombang suara akan
terputus dan otak akan terus mencari sinyal dari koklea yang tersisa
sehingga menyebabkan bunyi tinitus.
2) Hilang pendengaran karena lanjut usia. Kepekaan saraf pendengaran akan
berkurang seiring bertambahnya usia sehingga kualitas pendengaran juga
akan menurun.
3) Telinga terlalu sering menerima suara atau bunyi yang nyaring. Contoh,
mendengarkan earphone, pekerja pabrik yang menangani mesin-mesin
berat, atau mendengar bunyi ledakan. Akibat jangka pendek, biasanya
akan menyebabkan tinitus yang bisa hilang sendiri. Sementara, akibat
jangka panjang berpotensi menimbulkan kerusakan permanen.
4) Penumpukan kotoran dalam telinga. Hak ini akan menghalangi
pendengaran dan bisa memicu iritasi pada gendang telinga akibat
tumbuhnya bakteri.
5) Infeksi pada telinga bagian tengah
97
6) Penumpukan cairan dalam telinga tengah
7) Pecahnya gendang telinga
8) Efek samping obat-obatan tertentu, seperti 98iagnostic, kina, antidepresan
tertentu, serta aspirin
E. MANIFESTASI KLINIS
Pada kasus tinitus terdapat gejala telinga berdenging yang dapat terus
menerus terjadi atau bahkan hilang timbul. Denging tersebut dapat terjadi
sebagai tinitus bernada rendah atau tinggi. Sumber bunyi diantaranya
berasal dari denyut nadi, otot-otot dalam rongga telinga yang berkontraksi,
dan juga akibat gangguan saraf pendengaran.
98
F. PATOFLOW
Insomnia NYERI
GANGGUAN POLA
TIDUR
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
99
H. KOMPLIKASI
1. Kelelahan
2. Stress
3. Masalah gangguan tidur
4. Sulit berkonsentrasi
5. Masalah dengan daya ingat
6. Depresi
7. Cemas dan mudah tersinggung
I. PENATALAKSANAAN
Melakukan penatalaksanaan tinitus, harus diketahui penyebabnya, agar
disesuaikan obatnya. Penatalaksanaan bertujuan untuk menghilangkan
penyebab tinitus dan atau mengurangi keparahan akibat tinitus. Pada
tinitus penatalaksanaan bertujuan menghilangkan penyebab dan
mengurangi keparahan yang diakibatkan.
100
2) Elektrofisiologik, memberi stimulus elektro akustik dengan intensitas
suara yang lebih keras dari tinitusnya, dapat dengan alat bantu dengar atau
dengan tinitus masker
3) Terapi medikamentosa sampai saat ini belum ada kesepakatan yang jelas
diantaranya untuk meningkatkan aliran darah koklea, transquilzer,
antidepresan sedative, neurotonik, vitamin dan mineral.
4) Tindakan bedah dilakukan pada tumor akustik neuroma
Sering ditemui, kasus pasien menjadi gelisah dengan tinitus. Akibatnya, pasien
menjadi susah tidur. Obat penenang atau obat tidur dapat diberikan saat menjelang
tidur pada pasien yang sangat terganggu dengan tinitus. Pasien harus diberi
penjelasan yang baik, sehingga rasa takut tidak menambah keluhan. Pasien juga
harus dijelaskan bahwa gangguan sukar diobati dan dianjurkan agar beradaptasi
dengan gangguan tersebut.
Pemeriksaan fisik harus dilakukan untuk mengetahui penyebab tinitus. Pengujian
101iagnostic menentukan apakah ada gangguan pendengaran. Tes diskriminasi
ucapan audiograf atau timpanogram dapat digunakan untuk membantu
menentukan penyebabnya. Beberapa bentuk tinitus bersifat ireversibel, akibatnya
pasien harus mengerti tentang cara menyesuaikan diri dengan pengobatan dan
menangani tinitus di masa depan.
J. PROGNOSIS
Tinitus adalah gejala non-spesifik yang diproduksi oleh berbagai macam
penyakit. Jika proses penyakit yang mendasari ditanganinya dengan
bantuan pembedahan, seperti pada schwannoma vestibular atau
otoklerosis, atau jika obat diberikan untuk proses infeksius, seperti otitis,
tinitus dapat sembuh. Namun, bila penyebab yang dapat diobati dan yang
mengancam jiwa dihilangkan, manajemen dukungan utama mungkin
hanya berupa jaminan dan dukungan psikologis. Seringkali, dokter hanya
bisa mencoba mengurangi dampak penyakit pada kehidupan pasien.
101
KONSEP KEPERAWATAN
a. Pengkajian Teori
1) Aktivitas
- Gangguan keseimbangan tubuh
- Mudah lelah
2) Sirkulasi
- Hipotensi, hipertensi, pucat (menandakan adanya stress)
3) Nutrisi
- Mual
4) Sistem pendengaran
- Adanya suara abnormal (dengung)
5) Pola istirahat
- Gangguan tidur/kesulitan tidur
6) Anamnesis
102
Bedside test digunakan untuk analisis awal suatu gangguan
pada telinga, yang terdiri dari 4 jenis test, antara lain:
Tes menggunakan suara dari pemeriksa sendiri dengan
menggunakan intensitas yang berbeda-beda (misalnya
berbisik, berbicara keras dan berteriak)
Tes Rinne : saraf konduksi dibandingkan antara
hantaran udara dan hantaran tulang mastoiden. Tes ini
digunakan untuk membandingkan antara hantaran
melalui udara dan melalui tulang. Normalnya hantaran
udara dua kali lebih daripada hantaran tulang.\
Tes Weber : penala diletakkan digaris tengah kepala
(dahi, vertex, pangkal hidung, ditengah-tengah gigi seri
atau di dagu). Tes ini digunakan untuk membandingkan
hantaran tulang telinga kiri dan telinga kanan.
c) Audiometri
b. Diagnosis keperawatan
1) Nyeri b.d resiko tinggi cedera
2) Gangguan pola tidur b.d rasa tidak nyaman ditandai dengan adanya suara
berdenging
3) Gangguan sensori persepsi (auditorius) b.d perubahan penerimaan sensori
ditandai dengan penurunan pendengaran
4) Ansietas (cemas) b.d kurang nya informasi tentang gangguan pendengaran
103
RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa 1 : nyeri berhubungan dengan resiko tinggi cedera
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam nyeri pada
klien berkurang
Kriteria hasil :
Klien terbebas dari cedera
Klien mampu menjelaskan cara untuk mencegah cedera
Klien mampu mengenali perubahan status kesehatan
Intervensi Rasional
1. Observasi nyeri secara berkala 1. Luasnya ketidakmampuan
dan komprehensif menurunkan resiko jatuh
2. Observasi reaksi non verbal dan 2. Mengurangi kemungkinan jatuh dan
ketidaknyamanan cedera
3. Gunakan teknik komunikasi 3. Suara bising dapat memperparah
terapeutik untuk mengetahui tinnitus
pengalaman nyeri pasien
4. Kontrol lingkungan yang mampu
mempengaruhi nyeri : suhu
ruangan, pencahayaan, dan
kebisingan
5. Pilih dan lakukan penanganan
nyeri (farmakologi,
nonfarmakologi, interpersonal)
Diagnosa 2 : Gangguan pola tidur b.d rasa tidak nyaman ditandai dengan adanya
suara berdenging
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam gangguan tidur
klien teratasi
Kriteria hasil :
Jumlah jam tidur dalam batas normal, 8 jam sehari
Klien mampu mengidentifikasi hal-hal yang mampu meningkatkan tidur
Perasaan fresh setelah tidur/is
104
tirahat
Interve Rasional
nsi
1. Jelaskan pentingnya tidur yang 1. Kebutuhan tidur yang cukup
adekuat meminimalisir kelelahan
2. Fasilitasi untuk mempertahankan 2. Kegiatan tersebut dapat
aktivitas sebelum tidur (membaca) mengalihkan klien dari suara
3. Ciptakan lingkungan yang nyaman berdenging yang didengarnya
4. Kolaborasi pemberian obat tidur 3. Lingkungan yang tenang dapat
membantu klien beristirahat
4. Agar kebutuhan tidur klien
terpenuhi
Intervensi Rasional
1. Monitor tingkat kelemahan persepsi 1. Suara berdenging pada tinitus
klien terjadi terus menerus
2. Memperbaiki komunikasi : 2. Mengurangi resiko mudah marah
berbicara tegas dan jelas tanpa yang biasanya muncul
berteriak 3. Lingkungan yang tenang dapat
3. Kurangi kegaduhan lingkungan mengurangi kecemasan
4. Ajarkan cara berkomunikasi yang 4. Penurunan pendengaran dapat
tepat menghambat komunikasi
5. Berkomunikasi dengan 5. Menghindari adanya komunikasi
menggunakan tanda non verbal karena penurunan pendengaran
(ekspresi wajah, menunjuk dan yang dialami klien
sikap tubuh)
105
Diagnosa 4 : Ansietas (cemas) b.d kurangnya informasi tentang gangguan
pendengaran
Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 2x24 jam diharapkan cemas klien
berkurang
Kriteria hasil :
Tidak terjadi kecemasan
Pengetahuan klien terhadap penyakit meningkat
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat kecemasan / 1. Mengetahui tingkat
rasa takut kecemasan / rasa takut pasien
2. Kaji tingkat pengetahuan dalam menentukan tindakan
klien tentang gangguan selanjutnya
yang di alaminya 2. Mengetahui seberepa jauh
3. Berikan penyuluhan pengetahuan dan pengalaman
tentang tinnitus pasien serta pemahaman
4. Yakinkan klien bahwa tentang penyakit yang di
penyakitnya dapat derita
disembuhkan 3. Pasien mengetahui tentang
5. Anjurkan klien untuk rileks, penyakit yang dideritanya
dan menghindari stress 4. Pasien akan merasa tenang
dan rasa takut berkurang
dengan penyakit yang di
derita
5. Mengurangin ketegangan dan
membuat perasaan pasien
lebih nyaman dan tenang
106
DAFTAR PUSTAKA
107
PENDIDIKAN KESEHATAN TINITUS
Pada kasus tinitus terdapat gejala telinga berdenging yang dapat terus menerus
terjadi atau bahkan hilang timbul. Denging tersebut dapat terjadi sebagai tinitus
bernada rendah atau tinggi.
108
PENYEBAB SINDROM CUSHING
Adanya kerusakan telinga bagian dalam.
Hilang pendengaran karena lanjut usia.
Telinga terlalu sering menerima suara atau bunyi yang nyaring.
Penumpukan kotoran dalam telinga.
Penumpukan cairan dalam telinga tengah
Pecahnya gendang telinga
Efek samping obat-obatan
KOMPLIKASI TINITUS
Kelelahan
Stress
Masalah gangguan tidur
Sulit berkonsentrasi
Masalah dengan daya ingat
Depresi
Cemas dan mudah tersinggung
109
PENGOBATAN PADA PENDERITA TINITUS
Secara umum, pengobatan tinitus dibagi dalam 4 cara :
Psikologis, memberikan konsultasi psikologik
Elektrofisiologik, memberi stimulus elektro akustik dengan intensitas
suara yang lebih keras dari tinitusnya
Terapi medikamentosa
Tindakan bedah dilakukan pada tumor akustik neuroma
110
JURNAL TINITUS
E- ISSN: 2503-3638, Print ISSN: 2089-9084
ISM VOL. 6 NO.1, MEI-AGUSTUS, HAL 34-40
ABSTRAK
Telinga berdenging atau dikenal dalam bahasa medis sebagai tinitus, banyak
dikeluhkan sebagai suatu bising atau bunyi yang muncul di kepala tanpa adanya
rangsangan dari luar. Adapun keluhan yang dialami ini seperti bunyi
mendengung, mendesis, menderu, atau berbagai variasi bunyi yang lain. Tinitus
bukanlah penyakit atau sindroma, tapi hanya merupakan gejala yang mungkin
berasal dari satu atau sejumlah kelainan.1
Sebetulnya suara yang terdengar oleh telinga tersebut belum tentu bersifat
kelainan atau patologis. Jika orang sehat yang terbukti telinganya normal, berada
dalam ruang kedap (anehoic chamber), maka ia akan dapat mendengar berbagai
macam suara yang berasal dari berbagai organ tubuhnya sendiri yang memang
bekerja setiap saat, contohnya: pernapasan, kontraksi jantung, dan aliran darah.
Kenyataannya, dalam kehidupan sehari-hari, suasana yang memungkinkan suara
fisiologis atau normal tersebut terdengar oleh seseorang sangat jarang tercipta dan
bahkan dalam kamar yang sunyi di malam hari sekalipun. Hal ini dikarenakan,
bunyi masking dari lingkungan dengan berintensitas bunyi sekitar 25 – 30 dB.
Tinitus baru menjadi gejala jika suara organ tubuh intensitasnya melebihi bunyi
masking lingkungan tadi.1
Tinitus kerap diderita terutama orang pada kelompok usia pertengahan dan
usia tua. Menurut data statistic dari pusat kesehatan di Amerika, sekitar 32%
orang dewasa pernah mengalami tinitus pada suatu saat tertentu dalam hidupnya,
dan 6 % nya sangat menganggu dan cukup sulit disembuhkan. Di Inggris, 17%
populasi juga memiliki masalah tinitus. Sayangnya di Indonesia belum ada data
statistic yang memadai, namun berdasarkan pengalaman empiris, penderita tinitus
cukup banyak dan sering ditemui di tempat praktek, klinik, maupun rumah sakit.
Meski tinitus bukanlah keadaan yang membahayakan, munculnya gejala ini pada
hampir kebanyakan orang sangat mengganggu dan sering mempengaruhi kualitas
hidup dan pekerjaannya.1
Kata Kunci: Tinitus, berdenging, telinga
111
PENDAHULUAN di sekitar telinga. Sifatnya adalah
Tinitus barasal dari bahasa Latin tinnire vibritorik yang berasal dari vibrasi atau
yang berarti menimbulkan suara atau getaran sistem muskuler atau
dering. Tinitus adalah suatu gangguan kardiovaskuler di sekitar telinga.
pendengaran berupa keluhan perasaan Sedangkan tinitus subjektif terjadi apabila
pada saat mendengarkan bunyi tanpa ada suara hanya terdengar oleh pasien sendiri,
rangsangan bunyi atau suara dari luar. dan jenis tinitus ini yang paling sering
Adapun keluhan yang dialami ini seperti terjadi. Sifat dari tinitus subjektif adalah
bunyi mendengung, mendesis, menderu, nonvibratorik karena adanya proses iritatif
atau berbagai variasi bunyi yang lain.2 ataupun perubahan degenaratif pada
Tinitus ada 2 macam yang terbagi atas traktus auditorius yang dimulai dari sel-sel
tinitus obyektif dan tinitus subjektif. rambut getar koklea sampai pada pusat
Tinitus obyektif terjadi apabila bunyi saraf dari pendengar.2
tersebut dapat juga didengar oleh
pemeriksa atau dapat juga dengan
auskultasi
34
http://intisarisainsmedis.wee
bly.com/
112
E- ISSN: 2503-3638, Print ISSN:
2089-9084 ISM VOL. 6 NO.1,
MEI-AGUSTUS, HAL 34-40
35
http://intisarisainsmedis.wee
bly.com/
114
E- ISSN: 2503-3638, Print ISSN:
2089-9084 ISM VOL. 6 NO.1,
MEI-AGUSTUS, HAL 34-40
penyebabnya. Kadang-kadang
penyebabnya itu sukar diketahui.
dicurigai kemungkinan tumor neuroma
Pada umumnya pengobatan gejala tinitus
akustik atau trauma kepala. Bila tinitus
dapat dibagi dalam 4 cara yaitu :
bilateral kemungkinan terjadi pada
intoksikasi obat yang bersifat ototoksik 3. Elektrofisiologik yaitu dengan
seperti aspirin, kinine, streptomisin dan membuat stimulus elektro akustik dengan
lain-lain, trauma bising, dan penyakit intensitas suara yang lebih keras dari
sistemik lain. Apabila pasien sulit tinitusnya, dapat dengan alat bantu dengar
atau tinitus masker.
mengidentifikasi kanan atau kiri
kemungkinannya disaraf pusat. Kualitas 4. Psikologik, dengan memberikan
tinitus, bila tinitus bernada tinggi biasanya konsultasi psikologik untuk meyakinkan
kelainannya pada daerah basal koklea, pasien bahwa
saraf pendengar perifer dan sentral. Tinitus
bernada rendah seperti gemuruh ombak
khas untuk kelainan koklea seperti hidrops
endolimfa.2,4
Penatalaksanaan Tinitus
Pengobatan tinitus merupakan masalah
yang kompleks dan merupakan fenomena
psikoakustik murni, sehingga tidak dapat
diukur. Perlu diketahinya penyebab tinitus
agar dapat diobati sesuai dengan
115
dilakukan terhadap pasien yang memang
fungsi pendengarannya sudah rusak berat
penyakitnya tidak membahayakan dan alias tuli berat yang tidak mungkin lagi
dengan mengajarkan relaksasi setiap hari. dikoreksi.
5. Terapi medikamentosa, sampai saat ini
belum ada kesepakatan yang jelas. LAPORAN KASUS
Berbagai penelitian untuk menemukan Identitas Pasien
jenis obat masih terus dilakukan. Adapun Nama : Made Laba
jenis obat yang dapat secara konsisten RM : 01.38.88.44
efektif pada pengobatan jangka panjang Umur : 68 tahun
belum juga ditemukan. Meski demikian 36
pemakaian beberapa jenis obat sedikit http://intisarisainsmedis.wee
banyak dapat memberikan perbaikan pada bly.com/
pasien tinitus, seperti:
116
E- ISSN: 2503-3638, Print ISSN: 2089-9084
ISM VOL. 6 NO.1, MEI-AGUSTUS, HAL 34-40
+ +
Telinga Kanan Kiri
117
Daun telinga N N
Liang telinga Lapang, serumen + Lapang
Discharge - -
Membrana Tipani Sulit dievaluasi Intak
Tumor - -
Mastoid N N
37
http://intisarisainsmedis.wee
bly.com/
118
E- ISSN: 2503-3638, Print ISSN:
2089-9084
ISM VOL. 6 NO.1, MEI-
AGUSTUS, HAL 34-40
Tes pendengaran
Tidak
Berbisik dievaluasi
Tidak
Schwabah dievaluasi
Tidak
BOA dievaluasi
Tidak
Tympanometri dievaluasi
Tidak
Audiometri dievaluasi
Tidak
Nada Murni dievaluasi
Tidak
BERA dievaluasi
Tidak
OAE dievaluasi
Tidak
TEs Alat dievaluasi
Tidak
Keseimbangan dievaluasi
Hidung Kanan Kiri
Hidung Luar N N
Kavum Nasi Lapang Lapang
Tidak ada
Septum deviasi Tidak ada deviasi
Discharge - -
119
Koana N
Tenggorok
Dispneu -
Sianosis -
Stridor -
Suara -
38
http://intisarisainsmedis.wee
bly.com/
120
E- ISSN: 2503-3638, Print ISSN: 2089-9084
ISM VOL. 6 NO.1, MEI-AGUSTUS, HAL 34-40
122
E- ISSN: 2503-3638, Print ISSN:
2089-9084 ISM VOL. 6 NO.1,
MEI-AGUSTUS, HAL 34-40
123
124 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
124
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulilah penulis ucapkan atas kehadiran allah SWT serta
nikmat ilmu dan limpahan rahmat serta karunianya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “asuhan keperawatan tinitus”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang membantu dalam
pembuatan makalah ini terutama kepada dosen pengajar mata kuliah sistem
endokrin dan anggota kelompok yang sangat kompak dan saling membantu untuk
menyelesaikan tugas makalah ini.
Makalah ini belum sepenuhnya sempurna dan masih banyak terdapat
kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini, semoga makalah ini
dapat berguna bagi pembaca.
Penulis
124
125 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
125
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Secara umum, keperawatan telah berjalan dengan komitmen utamanya
terhadap klien, dan akhir-akhir ini advokasi klienpun telah disahkan dalam
peranan keperawatan itu sendiri. Advokasi menjadi satu hal yang harus di
perhatikan, sebagaimana pengertiannya “Perlindungan dan dukungan terhadap
hak-hak orang lain”. Sebagai kewajiban moral yang jelas bagi perawat, hal ini
(advokasi) telah menemukan justifikasi (pembenaran) kepada pendekatan
keperawatan yang didasarkan pada prinsip maupun asuhan, kedalam etika
keperawatan. Dari sebab itu, pada kesempatan ini kami akan mencoba membahas
tentang “Advokasi dalam keperawatan” secara ringkas dan mudah di mengerti.
B. Rumusan masalah
Sebagaimana latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah
adalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian advokasi?
2. Bagaimana peran perawat advokasi pada pasien tinnitus?
3. Dan bagaimana peran perawat sebagai advokator?
C. Tujuan penulisan
1. Memahami arti dari advokasi.
2. Mengetahui peran perawat advokasi pada pasien tinnitus?
3. Dan mengetahui bagaimana peranan perawat sebagai advokator.
125
126 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
126
BAB II
PEMBAHASAN
A. Advokasi
1. Pengertian advokasi
126
127 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
127
sebagai nara sumber dan fasilitator dalam tahap pengambilan keputusan terhadap
upaya kesehatan yang harus dijalani oleh klien. Dalam menjalankan peran sebagai
advocat (pembela klien) perawat harus dapat melindungi dan memfasilitasi
keluarga dan masyarakat dalam pelayanan keperawatan.
Selain itu, perawat juga harus dapat mempertahankan dan melindungi hak-
hak klien, hak-hak klien tersebut antara lain: hak atas informasi; pasien berhak
memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah
sakit/sarana pelayanan kesehatan tempat klien menjalani perawatan. Hak
mendapat informasi yang meliputi hal-hal berikut:
i. penyakit yang dideritanya;
ii. tindakan medik apa yang hendak dilakukan;
iii. kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan tersebut dan tindakan
untuk mengatasinya;
iv. alternatif terapi lain beserta resikonya;
v. prognosis penyakitnya;
vi. perkiraan biaya pengobatan/rincian biaya atas penyakit yang
dideritanya;
vii. hak atas pelayanan yang manusiawi, adil, dan jujur;
viii. hak untuk memperoleh pelayanan keperawatan dan asuhan yang
bermutu sesuai dengan standar profesi keperawatan tanpa diskriminasi;
ix. hak menyetujui/ memberi izin persetujuan atas tindakan yang akan
dilakukan oleh perawat/ tindakan medik sehubungan dengan penyakit
yang dideritanya (informed consent);
x. hak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan
mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sesudah
memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya;
xi. hak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
xii. hak menjalankan ibadah sesuai agama/ kepercayaan yang
mengganggu pasien lain;
127
128 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
128
128
129 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
129
129
130 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
130
Hal ini dilakukan seorang perawat secara mandiri tanpa bantuan tim medis lainnya
tetapi memberikan pelayanan atau tindakan khusus yang menjadi kewenangan
dokter. Oleh karena itu, setiap kegagalan tindakan medis menjadi tanggung jawab
dokter. Setiap tindakan perawat yang berdasarkan perintah dokter, dengan
menghormati hak pasien tidak termasuk dalam tanggung jawab perawat.
130
131 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
131
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sebagaimana yang kami paparkan di atas, maka yang menjadi kesimpulan adalah
sebagai berikut :
Advoksi secara harfiah berarti pembelaan, sokongan atau bantuan terhadap
seseorang yang mempunyai permasalahan. Istilah advokasi mula-mula
digunakan di bidang hukum atau pengadilan.
Sebagai advokat klien, perawat berfungsi sebagai penghubung antara klien
dengan tim kesehatan lain dalam upaya pemenuhan kebutuhan klien, membela
kepentingan klien dan membantu klien memahami semua informasi dan upaya
kesehatan yang diberikan oleh tim kesehatan dengan pendekatan tradisional
maupun professional. Peran advokasi sekaligus mengharuskan perawat
bertindak sebagai nara sumber dan fasilitator dalam tahap pengambilan
keputusan terhadap upaya kesehatan yang harus dijalani oleh klien. Dalam
menjalankan peran sebagai advocat (pembela klien) perawat harus dapat
melindungi dan memfasilitasi keluarga dan masyarakat dalam pelayanan
keperawatan.
B. SARAN
Adapun yang menjadi saran dari paparan kami di atas adalah sebagai berikut :
Dengan mengetahui arti dari advokasi, peran, dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya, di harapkan kepada seluruh perawat agar mampu menjadi
advokator yang baik dan handal, yang berkerja secara profesional, yang tidak
hanya menjadi advokator pasien/klien, tapi juga menjadi pembela kelayakan
untuk keluarga pasien, baik itu dari segi kenyamanan, kelayakan dan juga
pelayanan-pelayanan keperawatan lainnya.
131
132 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
132
DAFTAR PUSTAKA
Ali. Dasar-Dasar Keperawatan Profesional. Jakarta, Widya Medika, 2004.
Hamid, Abdurrahman. 2011. Handout Nursing Advocacy
www.google.com
Dwi Antara Nugraha. 2017.Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan
sistem pendengaran. Pustaka Baru Press. Yogyakarta
132
133 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
133
DI SUSUN OLEH :
DIERA LITA SABIVA : A21612040
T.A 2017/2018
133
134 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
134
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan pada GLAUKOMA” dengan sebaik-baiknya.
Adapun maksud dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi
“Sistem Persepsi dan sensori”.
Dalam penyusunan makalah ini,penulis telah mengalami berbagai hal baik
suka maupun duka. Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak akan
selesai dengan lancar dan tepat waktu tanpa adanya bantuan, dorongan, serta
bimbingan dari berbagai pihak.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari masih banyak
kekurangan baik pada teknik penulisan maupun materi. Untuk itu kritik dan saran
dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan dapat diterapkan dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang
berhubungan dengan judul makalah ini.
Penyusun
134
135 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
135
DAFTAR ISI
135
136 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
136
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Mata adalah alat indera kompleks yang berevolusi dari bintik –
bintik peka sinar primitif pada permukaan golongan intervertebrata. Dalam
bungkus pelindungnya mata memiliki lapisan reseptor, sistem lensa yang
membiaskan cahaya ke reseptor tersebut, dan sistem saraf yang
menghantarkan impuls dari reseptor ke otak. (Ivan Goldberg, 2017).
Iris adalah cincin sentral berwarna darimana secara normal
berbentuk normal sempurna, sangat responsif terhadap cahaya baik secara
langasung maupun tidak langsung, dan tepi perifernya sangat teratur. Setiap
variasi dari kriteria normal ini dianggap patologik. Satu – satunya keadaan
dimana ketidakteraturan tepi iris dapat dihilangkan secara diagnostik adalah
setelah pembedahan katarak yang telah menggeser sebagian dari iris secara
mekanis. Iris yang berbentuk seperti lubang kunci dapat terjadi pada kejadian
yang jarang, kedua iris akan berbeda warnanya jika diperhatikan.
Ketidaksimetrisan dalam warna iris yang normla adalah kongenital
(heterokromia) dan terjadi sejak masa keci. (Ivan Goldberg, 2017).
2. TUJUAN
a. Mahasiswa memahami apa itu glaukoma.
b. Mahasiswa mengetahui penyebab glaukoma.
c. Mahasiswa mengetahui tanda dan gejala glaukoma.
3. RUMUSAN MASALAH
1) Apa definisi Glaukoma?
2) Apa penyebab Glaukoma?
3) Bagaimana perjalanan penyakit Glaukoma?
4) Apa saja tanda dan gejala?
5) Apa pemeriksaan penunjang dan diagnostik penyakit Glaukoma?
6) Bgaimana penatalaksanaan medis Glaukoma?
136
137 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
137
BAB II
LAPORAN PENDAHULUAN
A. DEFINISI
Glaukoma adalah suatu penyakit yang memberikan gambaran klinik
berupa peninggian tekanan bola mata, penggaungan papil saraf optik dengan
defek lapang pandangan mata. (Ivan Goldberg, 2017).
Galukoma adalah sekelompok kelainan mata yang ditandai dengan
peningkatan tekanan intraokuler. (Andrew Jackson, 2012)
Glaukoma adalah kondisi mata yang biasanya disebabkan oleh
peningkatan abnormal tekanan intraokular ( sampai lebih dari 20 mmHg).
(Fitriyani, 2011).
Humor akuos berperan sebagai pembawa zat makanan dan oksigen untuk
organ di dalam mata yang tidak berpembuluh darah yaitu lensa dan kornea,
disamping itu juga berguna untuk mengangkut zat buangan hasil metabolisme
pada kedua organ tersebut. Adanya cairan tersebut akan mempertahankan bentuk
mata dan menimbulkan tekanan dalam bola mata/tekanan intra okuler. Tekanan
intraokuler inilah yang berperan dalam terjadinya glaukoma sehingga
menimbulkan kerusakan pada saraf optik. Humor akuos diproduksi oleh badan
silier, masuk ke dalam bilik mata belakang kemudian mengalir ke bilik mata
depan melalui pupil. Setelah sampai ke bilik mata depan humor akuos akan
meninggalkan bola mata melalui suatu bangunan yang disebut trabekulum yang
137
138 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
138
C. ETIOLOGI
Penyakit yang ditandai dengan peninggian tekanan intraokuler ini disebabkan
oleh :
- Bertambahnya produksi cairan mata oleh badan ciliary
- Berkurangnya pengeluaran cairan mata di daerah sudut bilik mata atau di
celah pupil. . (Andrew Jackson, 2012)
D. KLASIFIKASI
1. Glaukoma primer
- Glaukoma sudut terbuka
Merupakan sebagian besar dari glaukoma ( 90-95% ) , yang
meliputi kedua mata. Timbulnya kejadian dan kelainan berkembang secara
lambat. Disebut sudut terbuka karena humor aqueousmempunyai pintu
terbuka ke jaringan trabekular. Pengaliran dihambat oleh perubahan
degeneratif jaringan rabekular, saluran schleem, dan saluran yg
berdekatan. Perubahan saraf optik juga dapat terjadi. Gejala awal biasanya
tidak ada, kelainan diagnose dengan peningkatan TIO dan sudut ruang
anterior normal. Peningkatan tekanan dapat dihubungkan dengan nyeri
mata yang timbul. (Andrew Jackson, 2012)
- Glaukoma sudut tertutup(sudut sempit)
Disebut sudut tertutup karena ruang anterior secara anatomis
menyempit sehingga iris terdorong ke depan, menempel ke jaringan
trabekular dan menghambat humor aqueous mengalir ke saluran
schlemm. Pergerakan iris ke depan dapat karena peningkatan tekanan
vitreus, penambahan cairan di ruang posterior atau lensa yang
mengeras karena usia tua. Gejala yang timbul dari penutupan yang
tiba- tiba dan meningkatnya TIO, dapat berupa nyeri mata yang berat,
138
139 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
139
3. Glaukoma kongenital
- Primer atau infantil
- Menyertai kelainan kongenital lainnya
4. Glaukoma absolut
Merupakan stadium akhir glaukoma ( sempit/ terbuka) dimana sudah
terjadi kebutaan total akibat tekanan bola mata memberikan gangguan
fungsi lanjut .Pada glaukoma absolut kornea terlihat keruh, bilik mata
dangkal, papil atrofi dengan eksvasi glaukomatosa, mata keras seperti
batu dan dengan rasa sakit.sering mata dengan buta ini mengakibatkan
penyumbatan pembuluh darah sehingga menimbulkan penyulit berupa
neovaskulisasi pada iris, keadaan ini memberikan rasa sakit sekali akibat
timbulnya glaukoma hemoragik. . (Andrew Jackson, 2012)
Pengobatan glaukoma absolut dapat dengan memberikan sinar beta
pada badan siliar, alkohol retrobulber atau melakukan pengangkatan bola
mata karena mata telah tidak berfungsi dan memberikan rasa sakit.
(Fitriyani,2011)
139
140 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
140
Berdasarkan lamanya :
1. GLAUKOMA AKUT
a. Definisi
Glaukoma akut adalah penyakit mata yang disebabkan oleh tekanan
intraokuler yang meningkat mendadak sangat tinggi.
b. Etiologi
Dapat terjadi primer, yaitu timbul pada mata yang memiliki bakat
bawaan berupa sudut bilik mata depan yang sempit pada kedua mata,
atau secara sekunder sebagai akibat penyakit mata lain. Yang paling
banyak dijumpai adalah bentuk primer, menyerang pasien usia 40
tahun atau lebih.
c. Faktor Predisposisi
Pada bentuk primer, faktor predisposisinya berupa pemakaian obat-
obatan midriatik, berdiam lama di tempat gelap, dan gangguan
emosional. Bentuk sekunder sering disebabkan hifema,
luksasi/subluksasi lensa, katarak intumesen atau katarak hipermatur,
uveitis dengan suklusio/oklusio pupil dan iris bombe, atau pasca
pembedahan intraokuler.
d. Manifestasi klinik
1). Mata terasa sangat sakit. Rasa sakit ini mengenai sekitar mata dan
daerah belakang kepala .
2). Akibat rasa sakit yang berat terdapat gejala gastrointestinal berupa
mual dan muntah , kadang-kadang dapat mengaburkan gejala
glaukoma akut.
3). Tajam penglihatan sangat menurun.
4). Terdapat halo atau pelangi di sekitar lampu yang dilihat.
5). Konjungtiva bulbi kemotik atau edema dengan injeksi siliar.
6). Edema kornea berat sehingga kornea terlihat keruh.
140
141 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
141
7). Bilik mata depan sangat dangkal dengan efek tyndal yang positif,
akibat timbulnya reaksi radang uvea.
8). Pupil lebar dengan reaksi terhadap sinar yang lambat.
9). Pemeriksaan funduskopi sukar dilakukan karena terdapat
kekeruhan media penglihatan.
10). Tekanan bola mata sangat tinggi.
11). Tekanan bola mata antara dua serangan dapat sangat normal.
e. Pemeriksaan Penunjang
Pengukuran dengan tonometri Schiotz menunjukkan peningkatan
tekanan.
Perimetri, Gonioskopi, dan Tonografi dilakukan setelah edema kornea
menghilang.
f. Penatalaksanaan
Penderita dirawat dan dipersiapkan untuk operasi. Dievaluasi tekanan
intraokuler (TIO) dan keadaan mata. Bila TIO tetap tidak turun,
lakukan operasi segera. Sebelumnya berikan infus manitol 20% 300-
500 ml, 60 tetes/menit. Jenis operasi, iridektomi atau filtrasi,
ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaab gonoskopi setelah
pengobatan medikamentosa. (Fitriyani,2011)
2. GLAUKOMA KRONIK
a. Definisi
Glaukoma kronik adalah penyakit mata dengan gejala peningkatan tekanan
bola mata sehingga terjadi kerusakan anatomi dan fungsi mata yang
permanen.
b. Etiologi
Keturunan dalam keluarga, diabetes melitus, arteriosklerosis, pemakaian
kortikosteroid jangka panjang, miopia tinggi dan progresif.
c. Manifestasi klinik
Gejala-gejala terjadi akibat peningkatan tekanan bola mata. Penyakit
berkembang secara lambat namun pasti. Penampilan bola mata seperti
141
142 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
142
normal dan sebagian tidak mempunyai keluhan pada stadium dini. Pada
stadium lanjut keluhannya berupa pasien sering menabrak karena
pandangan gelap, lebih kabur, lapang pandang sempit, hingga kebutaan
permanen.
d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tekanan bola mata dengan palpasi dan tonometri
menunjukkan peningkatan. Nilai dianggap abnormal 21-25 mmHg dan
dianggap patologik diatas 25 mmHg.
Pada funduskopi ditemukan cekungan papil menjadi lebih lebar dan
dalam, dinding cekungan bergaung, warna memucat, dan terdapat
perdarahan papil. Pemeriksaan lapang pandang menunjukkan lapang
pandang menyempit, depresi bagian nasal, tangga Ronne, atau skotoma
busur.
e. Penatalaksanaan
Pasien diminta datang teratur 6 bulan sekali, dinilai tekanan bola mata dan
lapang pandang. Bila lapang pandang semakin memburuk,meskipun hasil
pengukuran tekanan bola mata dalam batas normal, terapi ditingkatkan.
Dianjurkan berolahraga dan minum harus sedikit-sedikit.
(Andrew Jackson, 2012)
142
143 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
143
E. PATHWAY GLAUKOMA
Usia > 40 th
Penempelan Pupil
tindakan operasi
Di Jaringan Trabekular
Anxietas Gangguan Saraf Optik
Defisiensi
Dilatasi Pupil
pengetahuan
Perubahan penglihatan
Perifer
Resiko Cidera
Gangguan
persepsi
sensori
penglihatan
143
144 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
144
F. MANIFESTASI KLINIK
1. Nyeri pada mata dan sekitarnya (orbita, kepala, gigi, telinga).
2. Pandangan kabut, melihat halo sekitar lampu.
3. Mual, muntah, berkeringat.
4. Mata merah, hiperemia konjungtiva, dan siliar.
5. Visus menurun.
6. Edema kornea.
7. Bilik mata depan dangkal (mungkin tidak ditemui pada glaukoma sudut
terbuka).
8. Pupil lebar lonjong, tidak ada refleks terhadap cahaya.
(Andrew Jackson, 2012)
G. KOMPLIKASI
Kebutaan dapat terjadi pada semua jenis glaukoma, glaukoma
penutupan sudut akut adalah suatu kedaruratan medis. agens topikal yang
digunakan untuk mengobati glaukoma dapat memiliki efek sistemik yang
merugikan, terutama pada lansia. Efek ini dapat berupa perburukan kondisi
jantung, pernapsan atau neurologis.
(Andrew Jackson, 2012)
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. PEMERIKSAAN TAJAM PENGLIHATAN
Pemeriksaan tajam penglihatan bukan merupakan pemeriksaan khusus untuk
glaukoma.
a. Tonometri
Tonometri diperlukan untuk mengukur tekanan bola mata. Dikenal empat
cara tonometri, untuk mengetahui tekanan intra ocular yaitu :
- Palpasi atau digital dengan jari telunjuk
- Indentasi dengan tonometer schiotz
144
145 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
145
145
146 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
146
146
147 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
147
I. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Iridektomi perifer.
Digunakan untuk membuat saluran dari bilik mata belakang dan depan
karena telah terdapat hambatan dalam pengaliran humor akueus. Hal ini hanya
dapat dilakukan jika sudut yang tertutup sebanyak 50%.
b. Trabekulotomi (Bedah drainase)
Dilakukan jika sudut yang tertutup lebih dari 50% atau gagal dengan
iridektomi.
(Fitriyani,2011)
147
148 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
148
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A.PENGKAJIAN
a) Aktivitas / Istirahat :
Perubahan aktivitas biasanya / hobi sehubungan dengan gangguan
penglihatan.
b) Makanan / Cairan :
Mual, muntah (glaukoma akut)
c) Neurosensori :
Gangguan penglihatan (kabur/tidak jelas), sinar terang menyebabkan
silau dengan kehilangan bertahap penglihatan perifer, kesulitan
memfokuskan kerja dengan dekat/merasa di ruang gelap (katarak).
Penglihatan berawan/kabur, tampak lingkaran cahaya/pelangi sekitar
sinar, kehilangan penglihatan perifer, fotofobia(glaukoma akut).
Perubahan kacamata/pengobatan tidak memperbaiki penglihatan.
Tanda :
Papil menyempit dan merah/mata keras dengan kornea berawan.
Peningkatan air mata.
d) Nyeri / Kenyamanan :
Ketidaknyamanan ringan/mata berair (glaukoma kronis)
Nyeri tiba-tiba/berat menetap atau tekanan pada dan sekitar mata, sakit
kepala (glaukoma akut).
e) Penyuluhan / Pembelajaran
Riwayat keluarga glaukoma, DM, gangguan sistem vaskuler.
Riwayat stres, alergi, gangguan vasomotor (contoh: peningkatan
tekanan vena), ketidakseimbangan endokrin.
Terpajan pada radiasi, steroid/toksisitas fenotiazin.
1). Pemeriksaan Diagnostik
(1) Kartu mata Snellen/mesin Telebinokular (tes ketajaman penglihatan
dan sentral penglihatan) : Mungkin terganggu dengan kerusakan
148
149 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
149
149
150 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
150
150
151 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
151
151
152 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
152
masalah
-Pasien
menggunak
an sumber
secara
efektif
152
153 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
153
153
154 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
154
penglihatan
klien
154
155 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
155
BAB III
PENUTUP
III. 1 KESIMPULAN
Glaukoma adalah suatu penyakit yang memberikan gambaran
klinik berupa peninggian tekanan bola mata, penggaungan papil saraf optik
dengan defek lapang pandangan mata. (Ivan Goldberg, 2017).
Galukoma adalah sekelompok kelainan mata yang ditandai dengan
peningkatan tekanan intraokuler. . (Andrew Jackson, 2012)
Penyakit yang ditandai dengan peninggian tekanan intraokuler ini
disebabkan oleh :
- Bertambahnya produksi cairan mata oleh badan ciliary
- Berkurangnya pengeluaran cairan mata di daerah sudut bilik mata atau di
celah pupil
III.2 SARAN
Sebaiknya, kita harus menjaga kebersihan mata kita dan disekitr mata agar
tidak terkena penyakit glaukoma.
155
156 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
156
DAFTAR PUSTAKA
156
157 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
157
JURNAL GLAUKOMA
V
o
l
.
7
.
N
o
.
J
u
n
i
2
0
1
1
157
158 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
158
158
159 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
159
Berdasarkan survei kesehatan mata yang pada tahun 1985 menunjukkan insiden
dilakukan oleh Departemen Kesehatan glaukoma sebesar 1,8% di antara seluruh kasus
Republik Indonesia pada tahun baru penyakit mata yang berusia di atas 40
1993–1996 menunjukkan bahwa glaukoma tahun.8 Laporan deskriptif oleh Djatikusumo
(0,2%) adalah penyebab kebutaan kedua
terbanyak setelah katarak (0,7%) dari 1,5% tahun 1999, menemukan insidens kebutaan
populasi Indonesia yang telah mengalami
kebutaan.2 Glaukoma penyebab kebutaan yang cukup tinggi pada penderita glaukoma
permanen dan merupakan penyebab kebutaan
nomor 2 di dunia.2,3,4 baru di RSCM, yaitu sebesar 79%.9
Jumlah penyakit glaukoma di dunia oleh Institusi pendidikan di kota besar Indonesia
World Health Organization (WHO) maupun pihak swasta telah melakukan
diperkirakan ± 60,7 juta orang di tahun 2010, penyuluhan di berbagai media dalam upaya
meningkatkan tingkat kesadaran masyarakat
akan menjadi 79,4 juta di tahun 2020.5 Oleh
mengenai glaukoma si pencuri penglihatan.
karena itu, untuk mengatasinya dicanangkan
Tujuan penelitian ini mengetahui insiden
vision 2020. Berdasarkan golongan usia,
sebesar 88,8% dari populasi kebutaan global kebutaan akibat glaukoma di era tahun 2000-an
berusia di atas 60 tahun dan terutama berasal di RS Cipto Mangunkusumo dan karakteristik
dari negara-negara yang sedang berkembang. penyebab kebutaannya.
Angka yang tinggi tersebut terjadi terutama
berada di Afrika dan Asia, yaitu sekitar 75% dari METO
kebutaan total dunia.3 Perkiraan prevalensi
DE
glaukoma yang mengalami kebutaan dalam
populasi cukup bervariasi dari satu negara ke Penelitian ini merupakan penelitian
negera lain.6,7 retrospektif deskriptif. Data diperoleh dari
rekam medis semua penderita baru yang
datang berobat ke poliklinik mata
159
160 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
160
160
161 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
161
HAS Umur
IL (tahun)
< 40
Dalam periode 1 Januari 2005 sampai 64 (20)
dengan ≥ 40
31 Desember 2007 didapatkan 625 data 261 (80) Jenis kelamin
pasien baru glaukoma di divisi glaukoma Laki-laki
poliklinik mata RSCM. Semua pasien baru (47,9) Perempuan
glaukoma yang mengalami kebutaan sesuai (52,1)
kriteria inklusi sebanyak 325 orang (52%). Buta unilateral
Jumlah pasien yang menderita buta satu mata
220 (67,70) Buta bilateral
(unilateral) sebanyak
105 (32,30)
220 orang (67,70%)dan buta 2 mata (bilateral)
* Jumlah total penderita yang buta
sebanyak
adalah 325 orang
105 orang
(32,30%) Penyebab kebutaan baik 1 mata maupun 2
mata diakibatkan oleh GPSTp (30,74%), di
Kisaran umur penderita antara 6 bulan mana GPSTp kronis sebagai penyebab
sampai terbanyak (27,98%) dari seluruh jenis
glaukoma. Sedangkan GPSTa (25,57%) adalah
93 tahun dengan rata-rata umur 53 tahun dan penyebab ketiga terbanyak setelah glaukoma
penderita di atas sekunder (29,84%).
40 tahun sebanyak 80%. Proporsi perbandingan Berdasarkan kebutaan unilateral terbanyak
antara laki- laki dan perempuan adalah 1:1 diakibatkan oleh glaukoma sekunder (24,6%),
tampak pada tabel 2. diikuti GPSTp (20,6%) dan GPSTa(14,5%).
Sedangkan penyebab kebutaan bilateral
terbanyak adalah GPSTa (11,07%), yang tidak
Tabel 2. Data demografis pasien baru berbeda jauh dengan GPSTp kronis (10,14%).
glaukoma yang mengalami kebutaan Glaukoma juvenilis yang mengalami buta
Jumlah bilateral sebesar 2,76%, sementara kongenital
penderita* sebesar 0,3% dan glaukoma tensi normal
(persentase sebanyak 0,3% tampak pada tabel 3).
)
Lanjut CDR > 0,8–0,9 disertai neural rim yang tipis Defek arkuata luas, double
arcuate, hemifield loss atau skotoma
central
162
Artini:
191 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
191
GPSTp
kronik 58 17,84 33 10,14 91 27,98 Rerata Rerata Rerata
NTG 6 1,84 1 0,3 7 2,15 CDR
Diagnosis TIO TPDKT
Glaukoma 14 4,30 9 2,76 23 7,06 (mmHg) (LogMar)
juvenilis GPSTa 34 0,86 1,87
Glaukoma 2 0,61 1 0,30 3 0,91 GPSTp akut 47 0,60 1,85
kongenital GPSTp kronik 39 0,94 1,90
Glaukoma 80 24,60 17 5,23 97 29,84 NTG
Glaukoma juvenilis 19,5
44 0,80
0,96 1,80
1,88
sekunder Glaukoma kongenital 35 ND 1,92
Glaukoma 4 1,23 8 2,46 12 3,70
Glaukoma sekunder 36,5 0,62 1,80
absolut Glaukoma
Rerata absolut
seluruh 47,3
37,4 1,00
0,86 1,96
1,89
Total 220 primer
GPSTa : glaukoma 67,70
sudut 105
terbuka 32,30 325 100,00 penderita
192
Artini:
193 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
193
Berdasarkan penelitian oleh Trautner, tahun diderita oleh seseorang dengan hipermetrop.
1997, menemukan adanya peningkatan jumlah Keadaan tersebut merupakan faktor predisposisi
kebutaan akibat glaukoma di Jerman.11 untuk berkembang menjadi GPSTp, hal yang
Sebaliknya pada penelitian yang dilakukan di
Australia, melaporkan adanya trend penurunan dapat dihindari dengan dilakukan tatalaksana
kebutaan akibat glaukoma sejak periode 1984– yang tepat.
2000.12,13 Penyebab kedua kebutaan terbanyak adalah
Hasil laporan epidemiologi tersebut glaukoma sekunder (29,84%). Isu mengenai
menunjukkan adanya trend yang berbeda-beda kebutaan yang disebabkan oleh glaukoma
di setiap negara. Keadaan tersebut, sekunder sangat sedikit mendapat perhatian dari
memperlihatkan bahwa dana dan fasilitas bukan para peneliti. Pada penelitian ini terlihat bahwa
menjadi masalah, akan tetapi glaukoma itu yang menjadi penyebab terbanyak glaukoma
sendiri tetap menjadi masalah dalam sekunder adalah faktor lensa (39%), padahal
masyarakat, terutama di populasi yang memiliki kota Jakarta merupakan kota yang mempunyai
jumlah orang tua yang banyak. fasilitas kesehatan mata yang mudah dicapai
Foster dkk 2 melaporkan bahwa jumlah serta banyak tindakan bakti sosial operasi
penderita katarak dijalankan. Lens inducedglaucoma
glaukoma yang mengalami kebutaan di antara
terdiri dari glaukoma fakomorfik, fakolitik,
orang Cina, berusia diatas 40 tahun.
serta pseudofakia atau glaukoma partikel
Berdasarkan jumlah penderita per dekade,
lensa. Katarak, baik katarak imatur, matur
menunjukkan bahwa makin tua umur, proporsi
maupun hipermatur, menjadi penyebab
penderita glaukoma makin meningkat, dan
utamalens induced glaucoma. Sampai sekarang
semakin meningkat pada usia di atas 60 tahun.
masih terjadi peningkatan backlog katarak,
Pada penelitian Seah dkk.14 menemukan terutama di daerah Indonesia bagian timur,
bahwa penderita dengan usia di atas sehingga dapat diperkirakan berapa jumlah
60 tahun adalah 9 kali lebih banyak dibanding penderita lens induced glaucomadi Indonesia
yang menjadikan kebutaan
usia di bawah
60 tahun. Penelitian ini juga memperlihatkan
data yang serupa, sehingga usia lanjut
merupakan salah satu faktor risiko glaukoma
yang harus diperhatikan.6,10,15
Jenis glaukoma sebagai penyebab kebutaan
bervariasi di berbagai regional. Penyebab
terbanyak kebutaan pada penelitian ini adalah
GPSTp sesuai dengan jenis glaukoma di negara
Asia lainnya. Penelitian di Cina melaporkan
jumlah penderita GPSTp 30% lebih tinggi dari
pada GPSTa, ditekankan bahwa angka kebutaan
yang disebabkan oleh GPSTp 10 kali lebih
banyak dibandingkan GPSTa.16
Quigley juga menemukan bahwa GPSTp dan
GPSTa secara bersama-sama menjadi penyebab
kebutaan kedua terbanyak di dunia, di mana
GPSTp mempunyai kontribusi lebih banyak.17
Dalam usaha mencegah kebutaan akibat
glaukoma primer sudut tertutup kronis,
sebaiknyalah dokter umum mempunyai
kompetensi menilai individu yang mempunyai
bilik mata depan dangkal, yang banyak
193
Artini:
194 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
194
permanen. Berdasarkan hal tersebut, maka penebalan anyaman trabekulum yang sering
peranan operasi katarak sangat penting, selain terjadi secara serentak di kedua mata.
dapat mengembalikan penglihatan yang buta, Berdasarkan derajat keparahan papil saraf
juga dapat mengurangi risiko lens induced optik, penelitian ini memperlihatkan bahwa
glaucoma. Selain itu, dokter mata harus sebagian besar penderita (lebih dari 75%) yang
mampu menguasai teknik-teknik baru operasi mengalami kebutaan, datang dengan keadaan
katarak sehingga mengurangi risiko atrofi papil saraf optik yang sudah lanjut, baik
tertinggalnya materi lensa ataupun komplikasi pada buta unilateral maupun buta bilateral
lain yang akan menginduksi glaukoma disertai TIO yang sangat tinggi. Studi di USA
sekunder.18 mengatakan bahwa hampir setengah dari semua
penderita glaukoma tidak sadar akan kondisi
Hasil penelitian ini mirip dengan hasil mereka, terutama akibat usianya yang sudah
penelitian yang dilakukan oleh Krishnadas, lanjut.20
Kelemahan penelitian ini adalah penelitian
yaitu bahwa lens induced glaucoma menjadi
retrospektif, banyak data yang penting tidak
penyebab terbanyak glaukoma sekunder. 18 tercantum dengan baik. Sudah seharusnya
pencatatan data penyakit pasien sebaik mungkin
Penyebab lainnya juga sesuai dengan
dilakukan. Di usulkan dilakukan penelitian
laporan penelitian ini yang antara lain; dalam jangka waktu yang lebih panjang
glaukoma akibat neovaskular, uveitis, trauma, mengenai insiden dan tingkat keparahan
panderita glaukoma, dengan demikian akan
dan steroid.19 menghasilkan data yang mencerminkan
Glaukoma primer sudut terbuka menempati masyarakat di Jakarta mengenai insiden
urutan ketiga terbanyak penyebab kebutaan glaukoma, walaupun data ini hanya merupakan
pada penelitian ini, karena GPATa data hospital based.
menunjukkan perjalanan yang progresif lambat Kebutaan merupakan suatu hambatan
untuk menimbulkan kebutaan, oleh karena itu fungsional dan sosial yang penting dan
disebut sebagai si pencuri penglihatan. Pada ras pencegahannya menjadi suatu aspek utama dari
Kaukasus, kebutaan akibat GPSTa lebih banyak sistem kesehatan dalam usaha meningkatkan
dari GPSTp, karena insiden GPSTp di ras
tersebut sangat kecil 1,7%.20,21
Penelitian ini menunjukkan bahwa penderita
GPSTa yang mengalami buta unilateral maupun
bilateral jumlahnya hampir sama. Berbeda bila
dibandingkan dengan jumlah GPSTa, di mana
penderita GPSTp yang buta unilateral lebih
banyak dibandingkan buta bilateral. Keadaan
tersebut disokong oleh penelitian Foster yang
melakukan banyak penelitian GPSTp di
China.2 Hal tersebut dikarenakan naiknya TIO
pada penderita GPSTp diakibatkan terjadinya
penutupan sudut oleh pangkal iris yang berjalan
sirkular dan perlahan (kronis) disertai terdapat
perbedaan waktu penutupan anyaman
trabekulum oleh pangkal iris di antara kedua
mata. Sementara GPSTa terjadi akibat
hambatan keluar cairan dari dalam mata oleh
194
Artini:
195 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
195
ht
15. Stamper RL, Lieberman MR, Drake MV.
Becker-Shaffer’s. Diagnosis
course. and therapy of the ed. St. Louis: Mosby,
Francisco:Section 10.p. Glaucoma.
LIO, 2010, 3. San glaucomas. 7 1999; p.15.
196
Artini:
197 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
197
197
Artini:
198 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
198
16. Wong TY, Foster PJ, Seah SKL, Chew PTK. Rates of hospital
admissions for promary angle closure glaucoma among Chinese, Malays,
and Indians in Singapure. Br J Ophthalmol 2000; 84:
990–2.
17. Quigley HA, Congdon NG, Friedman DS. Glaucoma in China (and
worldwide): changes in established thinking will decrease preventable
blindness. Br J Ophthalmol 2001; 85: 1271–3.
18. Krishnadas R, Ramakrishnan R. Secondary glaucomas: the tasks ahead.
Comm Eye Health 2001; 14: 40–2.
19. Kersey JP, Broadway DC. Corticosteroid-induced glaucoma:a review of the
literature. Eye 2006; 20: 407–16.
20. Hattenhauer MG, Johnson DH, Ing HH, et al. The probability of blindness
from open angle glaucoma. Ophthalmology 1998; 105:
2099–2104.
21. Quigley HA. New paradigms in the management of glaucoma. Eye
2005; 19: 1241–8.
198
Artini:
199 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
199
DEFINISI
Glaukoma adalah suatu penyakit yang memberikan gambaran klinik
berupa peninggian tekanan bola mata, penggaungan papil saraf optik
dengan defek lapang pandangan mata. (Ivan Goldberg, 2017).
Galukoma adalah sekelompok kelainan mata yang ditandai dengan
peningkatan tekanan intraokuler.(Adrew jackson,2012).
Glaukoma adalah kondisi mata yang biasanya disebabkan oleh
peningkatan abnormal tekanan intraokular ( sampai lebih dari 20 mmHg).
(fitriyani,2011).
ETIOLOGI
Penyakit yang ditandai dengan peninggian tekanan intraokuler ini disebabkan
oleh :
- Berkurangnya pengeluaran cairan mata di daerah sudut bilik mata atau di
celah pupil. (Andrew Jackson, 2012)
199
Artini:
200 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
200
KLASIFIKASI
Glaukoma primer
Glaukoma sudut terbuka Merupakan sebagian besar dari glaukoma ( 90-
95% ) , yang meliputi kedua mata.
Glaukoma sekunder
Dapat terjadi dari peradangan mata , perubahan pembuluh darah dan
trauma
MANIFESTASI KLINIS
Nyeri pada mata dan sekitarnya (orbita, kepala, gigi, telinga).
Pandangan kabut, melihat sekitar lampu.
Mual, muntah, berkeringat.
Mata merah, hiperemia konjungtiva, dan siliar.
Visus menurun.
Edema kornea.
Bilik mata depan dangkal (mungkin tidak ditemui pada glaukoma sudut
terbuka).
Pupil melebar, tidak ada refleks terhadap cahaya. (Andrew Jackson,
2012)
KOMPLIKASI
Kebutaan dapat terjadi pada semua jenis glaukoma, agens topikal
yang digunakan untuk mengobati glaukoma dapat memiliki efek sistemik
yang merugikan, terutama pada lansia. Efek ini dapat berupa perburukan
kondisi jantung, pernapsan atau neurologis. (Andrew Jackson, 2012)
200
Artini:
201 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
201
PEMERIKSAAN PENUNJANG
TONOMETRI
GONIOSKOPI
OFTALMOSKOPI
PEMERIKSAAN LAPANG PANDANG
PENTALAKSANAAN MEDIS
a. Iridektomi perifer.
Digunakan untuk membuat saluran dari bilik mata belakang dan
depan karena telah terdapat hambatan dalam pengaliran humor
akueus. Hal ini hanya dapat dilakukan jika sudut yang tertutup
sebanyak 50%.
b. Trabekulotomi (Bedah drainase)
Dilakukan jika sudut yang tertutup lebih dari 50% atau gagal
dengan iridektomi (Fitriyani,2011)
201
Artini:
202 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
202
A. Latar Belakang
Perawat adalah orang yang bersama individu selama kebanyakan waktu
kritis kehidupan mereka. Perawat adalah orang yang bersama individu ketika
mereka lahir, ketika mereka cedera atau sakit, ketika mereka meninggal. Individu
berbagi banyak hal yang intim dalam kehidupan mereka dengan perawat; mereka
menanggalkan pakaian untuk perawat, dan mempercayai perawat untuk
melakukan prosedur yang menimbulkan nyeri. Perawat berada di samping tempat
tidur individu yang sakit dan menderita selama 24 jam sehari. Mereka ada ketika
pasien tidak dapat tidur karena nyeri atau ketakutan atau kesepian. Mereka ada
untuk memberi makan pasien, memandikannya, dan mendukung mereka. Perawat
mempunyai sejarah panjang tentang perawatan pasien dan berbicara untuk
Kebutuhan pasien.
Salah satu fungsi dan peran seorang perawat adalah menjadi advokat bagi
pasien. Dalam hal ini peran sebagai advokat pasien merupakan dasar dan inti dari
proses pemberian asuhan keperawatan. Pelayanan kesehatan saat ini pula
menbutuhkan pelayanan yang berkualitas, konsep dari advokasi sangat dibutuhkan
dalam hal ini. Sebagai peran utama dari perawat, advokasi merupakan bagian dari
kode etik pasien. perawat dalam perannya sebagai advokat pasien menggunakan
skill sebagai pendidik, konselor, dan leader guna melindungi dan mendukung hak
pasien.
Pada tahun 1985 “The American association colleges of nursing “ melaksanakan
suatu proyek termasuk didalamnya mengidentifikasi nilai-nilai esensial dalam
praktek keperawatan professional. Nilai-nilai esensial ini sangat berkaitan dengan
moral keperawatan dalam praktiknya. Perawat memiliki komiten yang tinggi
untuk memberikan asuhan yang berkualitas berdasarkan standar perilaku yang etis
dalam praktek asuhan professional. Pengetahuan tentang perilaku etis dimulai dari
202
Artini:
203 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
203
pendidikan perawat, dan berlanjut pada diskusi formal maupun informal dengan
sejawat atau teman. Praktik keperawatan, termasuk etika keperawatan mempunyai
dasar penting, seperti advokasi, akuntabilitas, loyalitas kepedulian, rasa haru, dan
menghormati martabat manusia (Purba & Pujiastuti, 2009)
B. PENGERTIAN ADVOKASI
Advokasi secara harfiah berarti pembelaan, sokongan atau bantuan
terhadap seseorang yang mempunyai permasalahan istilah advokasi dalam
bidang hukum tersebut dijadikan sebagai penasehatnya dan memperoleh
keadilan yang sungguh-sungguhnya, maka advokasi dalam bidang
kesehatan diartikan upaya untuk memperoleh pembelaan, bantuan atau
dukungan terhadap program kesehatan.
Menurut Webster Encyclopedia advokasi adalah “Act of pleading for
supporting or recomending active espousal” atau “tindakan pembelaan, dukungan
atau rekomendasi.
Dukungan aktif
Menurut ahli “retorika” (Foss and fose, et al : 1980) advokasi diartikan
sebagai upaya persuasi yang mencakup kegiatan penyadaran, rasionalisasi,
argumentasi dan rekomendasi rindak lanjut mengenai sesuatu hal.
Menurut “John Hopkins (1990)” Advokasi adalah usaha untuk
mempengaruhi kebijakan melalui bermacam-macam bentuk komunikasi persuasif,
dengan menggunakan informasi yang akurat dan tepat.
Istilah advocacy (advokasi) di bidang kesehatan mulai digunakan dalam
program kesehatan masyarakat pertama kali oleh WHO pada tahun 1984, sebagai
salah satu strategi global Pendidikan atau Promosi Kesehatan.
WHO merumuskan, bahwa dalam mewujudkan visi dan misi Promosi
kesehatan secara efektif menggunakan 3 strategi pokok, yakni :
a. Advokasi
b. Dukungan sosial
c. Pemberdayaan masyarakat.
203
Artini:
204 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
204
204
Artini:
205 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
205
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
205
Artini:
206 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
206
B. Pengertian Advokasi
1. Perawat sebagai advokat yaitu sebagai penghubung antara klien-tim
kesehatan lain dalam rangka pemenuhan kebutuhan klien. Membela
kepentingan klien dan membantu klien,memahami semua informasi dan
upaya kesehatan yang diberikan tim kesehatan dengan pendeketan
tradisional maupun profesional. (Dewi, 2008)
2. Advokasi adalah mendukung pasien, bicara mewakili individu pasien, dan
menengahi bila perlu. Advokasi ini adalah bagian dari perawatan perawat
dan bagian dari kedekatan dan kepercayaan antara perawat dan pasien yang
memberi keperawatan sebuah tempat yang sangat khusus dalam pelayanan
kesehatan (WHO, 2005)
206
Artini:
207 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
207
Dewasa ini, banyak definisi umum advokat yang menekankan pentingnya hak-
hak pasien dalam mengambil keputusan. Dalam hal ini, perawat advokat
menolong pasien sebagai makhluk yang memiliki otonomi untuk mengambil
207
Artini:
208 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
208
keputusan sendiri, yang sesuai dengan keinginan pasien dan bukan karena
pengaruh dari perawat atau tenaga kesehatan lainnya. Pendidikan dan dukungan
kepada pasien diberikan sesuai kebutuhan dan pilihannya. Perawat diharapkan
mampu mengidentifikasi dan mengerti keinginan pasien dan memastikan bahwa
keinginan tersebut merupakan keputusan yang terbaik dari pasien. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa peran advokat pasien adalah dasar dari semua peran perawat
untuk memberikan asuhan keperawatan dan dukungan terhadap pasien, dengan
melindungi hak pasien dan bertindak atas nama pasien. (Dewi, 2008)
208
Artini:
209 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
209
209
Artini:
210 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
210
3. Sebagai orang yang bertindak atas nama pasien dengan cara : memberikan
lingkungan yang sesuai dengan kondisi pasien, melindungi pasien dari tindakan
yang dapat merugikan pasien, dan memenuhi semua kebutuhan pasien selama
dalam perawatan.
Selain harus memiliki nilai-nilai dasar di atas, perawat harus memiliki sikap yang
baik agar perannya sebagai advokat pasien lebih efektif. Beberapa sikap yang
harus dimiliki perawat, adalah:
1. Bersikap asertif
Bersikap asertif berarti mampu memandang masalah pasien dari sudut pandang
yang positif. Asertif meliputi komunikasi yang jelas dan langsung berhadapan
dengan pasien.
2. Mengakui bahwa hak-hak dan kepentingan pasien dan keluarga lebih utama
walaupun ada konflik dengan tenaga kesehatan yang lain.
3. Sadar bahwa konflik dapat terjadi sehingga membutuhkan konsultasi,
konfrontasi atau negosiasi antara perawat dan bagian administrasi atau antara
perawat dan dokter.
4. Dapat bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain
210
Artini:
211 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
211
211
Artini:
212 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
212
212
Artini:
213 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
213
Hasil yang diharapkan dari pasien saat melakukan peran advokat (Ellis & Hartley,
2000), adalah pasien akan :
1. Mengerti hak-haknya sebagai pasien.
2. Mendapatkan informasi tentang diagnosa, pengobatan, prognosis, dan pilihan-
pilihannya.
3. Bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya.
4. Memiliki otonomi, kekuatan, dan kemampuan memutuskan sendiri.
5. Perasaan cemas, frustrasi, dan marah akan berkurang.
6. Mendapatkan pengobatan yang optimal.
7. Memiliki kesempatan yang sama dengan pasien lain.
8. Mendapatkan perawatan yang berkesinambungan.
9. Mendapatkan perawatan yang efektif dan efisien.
213
Artini:
214 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
214
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Advokasi merupakan salah satu peran perawat dan menjadi dasar yang penting
dalam membrikan asuhan keperawatan kepada pasien. Peran perawat sebagai
advokat pasien menuntut perawat untuk dapat mengidentifikasi dan mengetahui
nilai-nilai dan kepercayaan yang dimilikinya tentang peran advokat, peran dan
hak-hak pasien, perilaku profesional, dan hubungan pasien-keluarga-dokter. Di
samping itu, pengalaman dan pendidikan yang cukup sangat diperlukan untuk
memiliki kompetensi klinik yang diperlukan sebagai syarat untuk menjadi
advokat pasien.
B. Saran
1. Bagi perawat
Mengaplikasikan teori ini dalam tatanan pemberian pelayana kesehatan
kepada masyarakat, dan melaksanakan peran perawat sebagai advokat utama
klien dan penghubung antar profesi kesehatan demi kepentingan pasien
2. Bagi mahasiswa
Melakukan peneltian terkait tentang advokasi, karena masih banyak hal yang
bias dieksplor dan dikembangkan.
214
Artini:
215 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
215
DAFTAR PUSTAKA
215