Anda di halaman 1dari 187

ASKEP PENKES JURNAL DAN

ADVOKASI PADA KONJUNGTIVITIS

DI SUSUN OLEH :
DIERA LITA SABIVA : A21612040

DOSEN PEMBIMBING : Ns.Putinah, S.kep, M.Kep


TUGAS : SISTEM SENSORI PERSEPSI
PRODI : S1 KEPERAWATAN / IVB

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


SITI KHADIJAH PALEMBANG

T.A 2017/2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan pada KONJUNGTIVITIS” dengan sebaik-baiknya.
Adapun maksud dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi
“Sistem sensori dan persepsi”.
Dalam penyusunan makalah ini,penulis telah mengalami berbagai hal baik
suka maupun duka. Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak akan
selesai dengan lancar dan tepat waktu tanpa adanya bantuan, dorongan, serta
bimbingan dari berbagai pihak.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari masih banyak
kekurangan baik pada teknik penulisan maupun materi. Untuk itu kritik dan saran
dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan dapat diterapkan dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang
berhubungan dengan judul makalah ini.

Palembang, Maret 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. 2


DAFTAR ISI ................................................................................................ 3
BAB I LATAR BELAKANG ..................................................................... 4
A. Definisi ............................................................................................. 4
B. Anatomi dan Fisiologi ....................................................................... 4
C. Etiologi .............................................................................................. 5
D. Klasifikasi ......................................................................................... 5
E. Patofisiologi ...................................................................................... 6
F. Manifestasi Klinik ............................................................................. 7
G. Komplikasi ........................................................................................ 8
H. Pemeriksaan Penunjang .................................................................... 9
I. Penatalaksanaan medis dan keperawatan .......................................... 10
J. Prgnosa .............................................................................................. 10
BAB II ASKEP KLIEN KONJUNGTIVITAS ........................................ 12
A. Pengkajian ......................................................................................... 12
B. Rencaca Keperawatan ....................................................................... 13
C. Implementasi ..................................................................................... 14
D. Evaluasi ............................................................................................. 15
BAB III PENUTUP ..................................................................................... 17
A. Kesimpulan ...................................................................................... 17
B. Saran .................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 18

3
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi Konjungtivitis
Konjungtivitis merupakan radang pada konjungtiva atau radang selaput
lender yang menutupi belakang kelopak dan boa mata.(sumber : Sindarta
Ilyas.2009.Ilmu penyakit mata.Balai penerbit FKUI:Jakarta)
Konjungtivitis adalah peradangan konjungtiva akibat suatu proses infeksi
atau respon alergi. (Corwin, 2001). Sedangkan menurut Brunner & Suddarth,
konjungtivitis adalah inflamasi konjungtiva dan ditandai dengan pembengkakan
dan eksudat. Pada konjungtivis mata nampak merah, sehingga sering disebut mata
merah. ( Sumber: Brunner dan Suddarth, 2001, Keperawatan Medikal Bedah,
Vol. III, EGC, Jakarta )
Konjunctivitis ( konjungtivitis, pink eye ) merupakan peradangan pada
konjungtiva ( lapisan luar mata dan lapisan dalam kelopak mata ) yang disebabkan
oleh mikro-organisme (virus, bakteri, jamur, chlamidia), alergi, iritasi bahan-
bahan kimia. Boleh dikata masyarakat kita sudah sangat mengenalnya. Penyakit
ini dapat menyerang semua umur. Konjungtivitis yang disebabkan oleh mikro-
organisme (terutama virus dan kuman atau campuran keduanya) ditularkan
melalui kontak dan udara. ( Sumber: www.komunitas dudungnet.com )

4
B. Anatomi dan Fisiologi
Organ eksternal oculi atau yang sering disebut dengan organ pada mata terdiri
dari:
1. Palpebrae
2. Conjungtiva
3. Apparatus lacrimalis
4. Musculi eksternal bulbi
Jenis dari conjungtiva adalah :
1. conjungtiva palpebralis
2. conjungtiva bulbi
3. conjungtiva fornix.

(Sumber: Handout dari dr. Teddy Nugroho Mata Ajar Sistem


Persepsi Sensori ).

5
C. Etiologi
Pembagian konjungtivitis berdasarkan penyebabnya :
 Konjungtivitis akut bacterial, misalnya : konjungtivitis blenore,
konjungtivitis gonore, Konjungtivitis difteri, konjungtivitis folikuler,
konjungtivitis kataral.
 Konjungtivitis akut viral, misalnya : keratokonjungtivitis epidemic,
demam faringokonjungtiva, keratokonjungtivitis herpetic, konjungtivitis
akut jamur, konjungtivitis akut alergik.
 Konjungtivitis kronis, misalnya : trakoma personal hygiene dan kesehatan
lingkungan yang kurang, alergi, nutrisi kurang vitamin A, iritatif (bahan
kimia, suhu, listrik, radiasi ultra violet), juga merupakan etiologi dari
konjungtivitis ( Sumber: Mansjoer, Arif dkk., 2001, Kapita Selekta
Kedokteran Edisi 3 Jilid I, Medica Aesculapius FKUI, Jakarta.)
D. Klasifikasi
1). Konjungtivitis Bakteri
Terutama disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarrhalis. Konjungtivitis bakteri sangat
menular, menyebar melalui kontak langsung dengan pasien dan sekresinya atau
dengan objek yang terkontaminasi.
2). Konjungtivitis bakteri hiperakut
Neisseria gonnorrhoeae dapat menyebabkan konjungtivitis bakteri hiperakut yang
berat dan mengancam penglihatan, perlu rujukan ke oftalmologis segera.
3). Konjungtivitis Viral
Jenis konjungtivitis ini adalah akibat infeksi human adenovirus ( yang paling
sering adalah keratokonjungtivitis epidermika ) atau dari penyakit virus sistemik
seperti mumps dan mononukleosis. Biasanya disertai dengan pembentukan folikel
sehingga disebut juga konjungtivitis folikularis. Mata yang lain biasanya tertular
dalam 24-48 jam.

6
4). Konjungtivitis Alergi
Infeksi ini bersifat musiman dan berhubungan dengan sensitivitas terhadap
serbuk, protein hewani, bulu, makanan atau zat-zat tertentu, gigitan serangga
dan/atau obat ( atropin dan antibiotik golongan Mycin). Infeksi ini terjadi setelah
terpapar zat kimia seperti hair spray, tata rias, asap rokok. Asma, demam kering
dan ekzema juga berhubungan dengan konjungtivitis alergi. Disebabkan oleh
alergen yang terdapat di udara, yang menyebabkan degranulasi sel mast dan
pelepasan histamin.. Pasien dengan konjungtivitis alergi sering memiliki riwayat
atopi, alergi musiman, atau alergi spesifik (misal terhadap kucing)
5). Konjungtivitis blenore, konjungtivitis purulen ( bernanah pada bayi dan
konjungtivitis gonore ). Blenore neonatorum merupakan konjungtivitis yang
terdapat pada bayi yang baru lahir. ( Sumber: www.dhetective.com ).
E. Patofisiologi
Konjungtiva bisa mengalami peradangan karena lokasinya terpapar pada
banyak mikroorganisme dan faktor lingkungan lain yang menganggu.
Adanya peradangan pada konjungtiva ini menyebabkan dilatasi pembuluh-
pembuluh konjungtiva posterior, menyebabkan hiperemi yang tampak paling
nyata pada forniks dan mengurang ke arah limbus. Pada hiperemia konjungtiva ini
biasanya didapatkan pembengkakan dan hipertrofi papila yang sering disertai
sensasi benda asing dan sensasi tergores, panas, atau gatal. Sensasi ini
merangsang sekresi air mata. Transudasi ringan juga timbul dari pembuluh darah
yang hiperemia dan menambah jumlah air mata. Jika klien mengeluh sakit pada
iris atau badan silier berarti kornea terkena. ( Sumber: http//dhetective-
dhetective.blogspot ).
F. Manifestasi Klinik
1) Konjungtivitis Bakteri
Gejalanya, dilatasi pembuluh darah, edema konjungtiva ringan, epifora dan rabas
pada awalnya encer akibat epifora tetapi secara bertahap menjadi lebih tebal atau
mukus dan berkembang menjadi purulen yang menyebabkan kelopak mata
menyatu dalam posisi tertutup terutama saat bangun tidur pagi hari. Eksudasi

7
lebih berlimpah pada konjungtivitis jenis ini. Dapat ditemukan kerusakan kecil
pada epitel kornea

2) Konjungtivitis Bakteri Hiperakut


Sering disertai urethritis. Infeksi mata menunjukkan sekret purulen yang masif.
Gejala lain meliputi mata merah, iritasi, dan nyeri palpasi. Biasanya terdapat
kemosis, kelopak mata bengkak, dan adenopati preaurikuler yang nyeri.
Diplokokus gram negatif dapat diidentifikasi dengan pewarnaan Gram pada
sekret. Pasien biasanya memerlukan perawatan di rumah sakit untuk terapi topikal
dan sistemik.

3) Konjungtivitis Viral
Gejalanya : Pembesaran kelenjar limfe preaurikular, fotofobia dan sensasi adanya
benda asing pada mata. Epifora merupakan gejala terbanyak. Konjungtiva dapat
menjadi kemerahan dan bisa terjadi nyeri periorbital. Konjungtivitis dapat disertai
adenopati, demam, faringitis, dan infeksi saluran napas atas.

4) Konjungtivitis Alergi
 Mata Gatal
 Panas
 Mata berair
 Mata merah
 Kelopak mata bengkak
5) Konjungtivitis blenore, konjungtivitis purulen ( bernanah pada bayi dan
konjungtivitis gonore ).
Tanda- tanda blenore adalah sebagai berikut:
a. ditularakn dari ibu yang menderita penyakit GO
b. merupakakan penyebab utama oftalmia neonatorum
c. memberikan sekret purulen padat sekret yang kental
d. perdarahan subkonjungtiva. ( Sumber: http//dhetective.blogspot ).

8
G. Komplikasi
Komplikasi yang sering timbul biasanya adalah:
Ulkus kornea dan menurut beberapa ahli komplikasi ini lebih cepat timbul
pada orang dewasa dari pada bayi (pada bayi komplikasi ulkus kornea timbul
sesudah minggu pertama) ulkus kornea dapat mengalami perforasi dengan
berakibat timbulnya endoftalmitis yang berakhir dengan kebutaan.
Oleh karena itu setiap penderita konjungtuvitis gonoreika perlu sekali
untuk diperiksa keadaan korneanya. Berhubung bahaya timbulnya komplikasi
yang dapat menimbulkan kebutaan, maka setiap penderita konjungtivitis
gonoreika harus dirawat dalam kamar isolasi.
Kesulitannya ialah penderita anak dan dewasa yang sulit diisolasi,
sehingga berbahaya untuk penularan sekitanya. Pengobatan dilakukan dengan
memberikan salep mata penisilin tiap ¼ jam sesudah terlebih dahulu setiap kali
mata dibersihkan dari pada sekret, selain itu juga diberikan penisilin
intramuskulus. Bila kuman telah resisten terhadap penisilin, dapat dipakai
antibiotika lain seperti kloramfenikol atau tertasiklin ( Sumber: http//dhetective-
dhetective.blogspot )

H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang sering dilakukan pada penyakit konjungtivitis adalah:
1. Pemeriksaan sitologi melalui pewarnaan gram atau giemsa.
2. Pemeriksaan darah (sel-sel eosinofil) dan kadar IgE.
( Sumber: Mansjoer, Arif dkk., 2001, Kapita Selekta KedokteranEdisi 3 Jilid I,
Medica Aesculapius FKUI, Jakarta ).
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan secara langsung dari kerokan atau getah mata setelah bahan tersebut
dibuat sediaan yang dicat dengan pengecatan gram atau giemsa dapat dijumpai
sel-sel radang polimorfonuklear. Pada konjungtivitis yang disebabkan alergi pada
pengecatan dengan giemsa akan didapatkan sel-sel eosinofil.
( Sumber: www.KhaidirMuhajBlogsite.com )

9
I. Penata Laksanaan Medis dan Keperawatan
Konjungtivitis biasanya hilang sendiri. Tapi tergantung pada penyebabnya,
terapi dapat meliputi antibiotika sistemik atau topical, bahan antiinflamasi, irigasi
mata, pembersihan kelopak mata, atau kompres hangat.Bila konjugtivits
disebabkan oleh mikroorganisme, pasien harus diajari bagaimana cara
menghindari kontaminasi mata yang sehat atau mata orang lain. Perawat dapat
memberikan instruksipada pasien untuk tidak menggosok mata yang sakit
kemudian menyentuh mata yang sehat, untuk mencuci tangan setelah setiap kali
memegang mata yang sakit, dan menggunakan kain lap, handuk, dan sapu tangan
baru yang terpisah

J. Prognosis
Mata dapat terkena berbagai kondisi. beberapa diantaranya bersifat primer
sedang yang lain bersifat sekunder akibat kelainan pada sistem organ tubuh lain,
kebanyakan kondisi tersebut dapat dicegah bila terdeteksi awal dan dapat
dikontrol sehingga penglihatan dapat dipertahankan.
Bila segera diatasi, konjungtivitis ini tidak akan membahayakan. Namun
jika bila penyakit radang mata tidak segera ditangani/diobati bisa menyebabkan
kerusakan pada mata/gangguan dan menimbulkan komplikasi seperti Glaukoma,
katarak maupun ablasi retina.
Bila ditangani dengan cepat dan menghindarkan komplikasi serta
penularan terutama pada mikroorganisme, maka prognosisnya akan baik

10
Patoflow

Virus bakteri masuk mata malalui udara/kontak


langsung

Menembus tear film di meatus nasi inferior

Terjadi pengenceran materi infeksi

Mucus menangkap debris

Air dihanyutkan di duktus air mata

Air mara mengandung substansi anti mikroba termasuk lisozim


lisozim

Peradangan di konjungtiva

Cidera pada Mikroorganisme menembus


Dilatasi pembuluh
pertahanan konjungtiva
epitel darah posterior
konjungtiva
Menyebabkan Inflamasi
Hiporemia (kemerahan)
edema kelopak
mata Sistem imun menurun
mata peka
Resiko terjadi Pembengkak
terhadap cahaya
Gangguan penyebaran infeksi an dipapil
Mengancam set pont
citra tubuh
Sensasi berlebihan dalam tubuh

pada mata Sensasi adanya benda


asing,tergores, panas Ggn termogulasi

Kornea mengalami penurunan dan gatal

fungsi Hipertermi
11
Menstimulasi BPH
Resiko cidera
Afferent

Medulla spinalis

Thalamus

Korteks efferent

Sensai nyeri

Nyeri

12
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN KONJUNGTIVITIS

A. Pengkajian
1. Biodata yang meliputi: Tanggal wawancara, tanggal MRS, No. RMK.
Nama, umur, jenis kelamin, suku / bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan,
status perkawinan, alamat, penanggung jawab.
2. Keluhan Utama biasanya berupa keluhan yang dirasakan klien pada saat
itu.
3. RPS ( riwayat penyakit sekarang ) biasanya berisi tentang penyakit yang
dialami klien
4. RPK ( riwayat penyakit keluarga ) biasanya diambil dari penyakit yang
pernah diderita oleh keuarga pasien.
5. RPD ( riwayat penyakit dahulu ) diambil dari riwayat penyakit dahulu.

Sedangkan data dasar pengkajian pada klien dengan konjungtivitis adalah :

- Aktivitas/Istirahat
Gejala : Perubahan aktivitas biasanya/hobi sehubungan dengan gangguan
penglihatan.
- Neurosensori
Gejala : Gangguan penglihatan (kabur/tak jelas), kehilangan bertahap
penglihatan perifer.
- Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Ketidaknyamanan ringan/mata berair.
Nyeri tiba-tiba/berat, menetap atau tekanan pada dan sekitar mata, sakit kepala.

13
Diagnosa keperawatan
1. Gangguan hipertermi berhubungan dengan proses peradangan atau
konjungtivitis
2. Resiko terjadinya penyebaran infeksi berhubungan dengan proses
peradangan.
3. Resiko cidera berhubungan dengan penurunan ketajaman penglihatan
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan pembengkakan kelopak
mata
5. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya benda asing

C. Rencana Keperawatan

1. Gangguan peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses


peradangan atau konjungtivitis

Intervensi Rasional
1. Kaji penyebab hipertermi 1. Hal ini perlu diketahui
2. Observasi suhu badan sebagai dasar dalam rencana
3. Beri kompres hangat pada intervensi
bagian mata 2. Proses peningkatan suhu
4. Kolaborasi dalam pemberian tubuh menunjukan proses
obat antipiretik infeksi akut
3. Untuk meredahkan nyeri
4. Obat antipiretik bekerja
sebagai pengatur panas dan
juga meredahkan nyeri
2. Resiko terjadinya penyebaran infeksi berhubungan dengan proses
peradangan.

Intervensi Rasional
1. Monitor 1. Untuk mengetahui keadaan luka
karakteristik,warna,ukuran,dan dan perkembangannya
cairan 2. Untuk memudahkan
2. Bersihkan secret dengan membersihkan secret pada mata
menggunakan air hangat 3. Agar tidak terjadi infeksi dan
3. Merawat mata engan konsep terpapar oleh kuman atau
steril bakteri

14
4. Berikan penjelasan pada klien 4. Agar keluarga pasien
dan keluarga mengenai tanda mengetahui tanda dan gejala
dan gejala pada infeksi dari infeksi
5. Kolaborasi pemberian antibiotic 5. Pemberian antibiotic untuk
mencegah timbulnya infeksi
3. Resiko cidera berhubungan dengan penurunan ketajaman penglihatan

Intervensi Rasional
1. Diskusikan apa yang terjadi 1. Kondisi mata post operasi
tentang kondisi paska mempengaruhi fisis pasien
operasi,nyeri,pembatasan 2. Posisi menentukan tingkat
aktivitas,penampilan,pembaluta kenyamanan pasien
n mata 3. Aktivitas berlebih mampu
2. Beri klien posisi meningkatkan tekenan intra
bersandar,kepala tinggi,atau okuler mata
miring kesisi yang tak sakit 4. visus mulai berkurang,resiko
sesuai keinginan cidera semakin tinggi
3. Batasi aktifitas seperti
menggerakan kepala tiba-
tiba,menggaruk
mata,membongkok
4. Ambulasi dengan bantuan
4.Gangguan citra tubuh berhubungan dengan pembengkakan kelopak mata

Intervensi Rasional
1. kaji pengetahuan klien 1. ntuk mengetahui
tentang gejala dan pengetahuan klien tentang
penyebabnya penyakitnya
2. bantu klien untuk 2. mengurangi rasa cemas,malu
mengungkapkan pada pasien karena
perasaannya tentang sakit penyakitnya
yang dialaminya 3. merasa percaya diri klien
3. bantu klien,memahami dan bahwa pembengkakkan
menerima keadaanya kelopak mata tidak
mempengaruhi
penampilannya

15
5.Gangguan rasa nyaman ( nyeri ) berhubungan dengan adanya benda
asing

Intervensi Rasional
1. kaji keluhan 1. nyeri hampir selalu ada pada
nyeri,perhatikan lokasi dan beberapa derajat beratnya
intensitasnya keterlibatan jaringan
2. berikan tindakan 2. meningkatkan
kenyamanan dasar relaksasi,menunjukkan
3. pantau TTV ketegangan otot dan
4. berikan anargensik sesuai kelelahan umum
indikasi 3. suhu merupakan salah satu
gejala terjadinya inflamasi
4. menghilangkan rasa nyeri

16
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Konjungtivitis adalah inflamasi konjungtiva dan ditandai dengan pembengkakan
dan eksudat. Pada konjungtivitis mata tampak merah, sehingga sering disebut
mata merah. (Suzzane, 2001:1991)
Konjungtivitis dapat disebabkan oleh berbagai hal dan dapat bersifat infeksius
seperti:
1. Bakteri
2. Klamidia
3. Virus
4. Jamur
5. Parasit (oleh bahan iritatif => kimia, suhu, radiasi) maupun imunologi
(pada reaksi alergi).
Gejala subjektif meliputi rasa gatal, kasr ( ngeres/tercakar ) atau terasa ada benda
asing. Penyebab keluhan ini adalah edema konjungtiva, terbentuknya hipertrofi
papilaris, dan folikel yang mengakibatkan perasaan adanya benda asing didalam
mata. Gejala objektif meliputi hyperemia konjungtiva, epifora (keluar air mata
berlebihan), pseudoptosis (kelopak mata atas seperti akan menutup), tampak
semacam membrane atau pseudomembran akibat koagulasi fibrin.

B. SARAN
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi makalah ini,
agar penulis dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Sindarta Ilyas.2009.Ilmu penyakit mata.Balai penerbit FKUI:Jakarta)


Brunner dan Suddarth, 2001, Keperawatan Medikal Bedah, Vol. III, EGC, Jakarta
www.komunitas dudungnet.com
Mansjoer, Arif dkk., 2001, Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid I,
Medica Aesculapius FKUI:Jakarta.
Handout dari dr. Teddy Nugroho Mata Ajar Sistem
Persepsi Sensori
Sumber: http//dhetective-dhetective.blogspot
www.KhaidirMuhajBlogsite.com

18
PENDIDIKAN KESEHATAN PADA
KONJUNGTIVITIS

Konjungtivitis atau mata merah adalah peradangan yang terjadi pada


konjungtiva atau selaput bening yang melapisi bagian depan mata. Pada saat
terjadi peradangan pada pembuluh darah kecil di konjungtiva, bagian mata yang
seharusnya berwarna putih akan terlihat merah atau merah muda.
Peradangan yang terjadi umumnya disebabkan oleh infeksi baik karena
bakteri maupun virus. Namun, reaksi alergi juga dapat memicu terjadinya mata
merah. Konjungtivitis awalnya bisa jadi hanya menjangkiti satu mata, namun
biasanya setelah beberapa jam akan menjangkiti kedua mata.

Diagnosis dan pengobatan


konjungtivitis sejak dini bisa membantu membatasi penyebaran karena ini
merupakan penyakit yang dapat menular. Meski begitu, konjungtivitis biasanya
tidak mengganggu penglihatan.

Penyebab Konjungtivitis
Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan konjungtiva mengalami
peradangan dan munculnya penyakit konjungtivitis. Berikut ini adalah beberapa
penyebabnya:
1. Konjungtivitis infeksi yang terjadi akibat virus atau bakteri.
2. Konjungtivitis alergi atau reaksi alergi terhadap tungau debu atau serbuk
sari.
3. Konjungtivitis iritasi yang terjadi akibat mata terkena unsur penyebab
iritasi seperti sampo, air berklorin, atau bulu mata yang menggesek mata.

19
Gejala Konjungtivitis
Gejala konjungtivitis awalnya hanya menjangkiti satu mata, namun
biasanya setelah beberapa jam akan menjangkiti kedua mata. Konjungtivitis
memiliki gejala yang umum terjadi seperti berikut ini:
1. Sering mengeluarkan air mata dan mukus karena kelenjar yang
memproduksi keduanya menjadi terlalu aktif akibat peradangan.
2. Mata menjadi merah karena pembuluh darah kecil pada konjungtiva
melebar setelah mengalami peradangan.
3. Sensitifitas terhadap cahaya bertambah tinggi.
Selain gejala-gejala umum di atas, kojungtivitis juga dapat menimbulkan beberapa
gejala lain, sesuai dengan jenisnya.

Konjungtivitis Infektif
Ada beberapa gejala yang biasanya muncul jika mengalami konjungtivitis
infektif, di antaranya:
1. Kelenjar getah bening yang membesar di depan telinga.
2. Mata terasa seperti terbakar.
3. Bulu mata akan terasa menempel atau lengket ketika bangun pagi.
4. Mata terasa seperti berpasir.
Konjungtivitis Alergi
Konjungtivitis dapat terjadi akibat alergi dan menyebabkan mata terasa
gatal. Gejala-gejala seperti hidung berair atau tersumbat, serta bersin-bersin juga
dapat terjadi.
Kelopak mata akan terasa perih dan menjadi kering jika Anda menderita alergi
terhadap tetes mata atau biasa disebut dengan contact dermaconjunctivitis.
Selain itu, ada juga konjungtivitis papiler raksasa (giant papillary
conjunctivitis/GPC) yaitu alergi terhadap pemakaian kontak lensa. Gejala yang
muncul bisa berupa bintik kecil di dalam kelopak mata bagian atas dan
berkembang secara perlahan.

20
Konjungtivitis Iritan
Kita harus mencurigai konjungtivitis iritan apabila terdapat riwayat
paparan terhadap bahan iritan seperti sampo atau bahan kimia lainnya. Mata
biasanya akan mengeluarkan cairan bening seperti air mata yang tidak lengket.
Soket mata bagian bawah biasanya lebih sering terserang dibandingkan bagian
atas.
Segera temui dokter jika mengalami konjungtivitis papiler raksasa karena
bisa menimbulkan komplikasi yang sangat berbahaya.
Sebagian besar kasus konjungtivitis tidak berbahaya dan tidak perlu dicemaskan.
Meskipun begitu, segera temui dokter jika mengalami gejala mata yang lebih
parah seperti:
1. Penglihatan terganggu.
2. Salah satu atau kedua mata berwarna merah pekat.
3. Mata terasa sakit.
4. Mengalami fotofobia atau sensitif terhadap cahaya.
5. Pusing hebat yang disertai rasa mual atau muntah.

Komplikasi Konjungtivitis
Komplikasi akibat konjungtivitis dapat terjadi pada anak-anak maupun
orang dewasa.
Berikut ini adalah komplikasi konjungtivitis yang dapat terjadi berdasarkan tipe
konjungtivitis yang diderita.

Konjungtivitis Infektif
Konjungtivitis bisa berlangsung selama beberapa bulan jika disebabkan
oleh penyakit menular seksual, seperti chlamydia (klamidia).
Berikut ini adalah beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat konjungtivitis
infektif:
Jika bakteri masuk ke aliran darah dan menyerang jaringan tubuh, pasien bisa
mengalami keracunan darah atau disebut dengan sepsis.

21
Lapisan pelindung saraf tulang belakang dan otak, atau meninges, bisa mengalami
infeksi (meningitis).
Infeksi telinga bagian tengah. Kondisi ini dialami oleh 25 persen anak-
anak yang menderita konjungtivitis akibat bakteri haemophilus influenzae.
Permukaan kulit menjadi bengkak atau meradang dan terasa sakit akibat
infeksi yang terjadi pada jaringan dan lapisan dalam kulit (selulitis).

Konjungtivitis Neonatal
Kebanyakan bayi yang terkena konjungtivitis infektif bisa sembuh total
dan hanya sedikit yang mengalami komplikasi Konjungtivitis infektif yang terjadi
pada bayi yang baru lahir hingga usia 28 hari harus segera ditangani karena bisa
menyebabkan kerusakan penglihatan permanen.

Punctate Epithelial Keratitis


Keratitis dapat terjadi akibat konjungtivitis yang menyebabkan kornea
membengkak atau mengalami peradangan. Kondisi ini menyebabkan mata sensitif
terhadap cahaya dan terasa sakit. Kebutaan bisa terjadi jika tukak muncul di
kornea dan menyebabkan kerusakan permanen.

22
Perawatan Konjungtivitis
Perawatan konjungtivitis yang dilakukan tergantung pada penyebabnya.
Berikut ini adalah perawatan yang digolongkan berdasarkan penyebab terjadinya
konjungtivitis.

Konjungtivitis Infektif
Ada beberapa cara yang bisa Anda lakukan sendiri untuk mengatasi
konjungtivitis infektif karena sebagian besar kasusnya tidak memerlukan
perawatan medis dan akan menghilang dalam waktu 1-2 pekan. Di bawah ini ada
beberapa cara yang bisa dilakukan untuk meredakan gejala yang dialami.
Gunakan obat tetes air mata yang berguna sebagai pelumas untuk meredakan rasa
sakit dan lengket pada mata. Obat ini bisa dibeli secara bebas di apotek.
Cucilah tangan secara rutin setelah menyentuh mata yang terinfeksi agar tidak
menular.
Jangan menggunakan lensa kontak sebelum gejala infeksi hilang atau
setidaknya satu hari setelah menyelesaikan perawatan. Ganti lensa kontak yang
telah dipakai saat terinfeksi karena kemungkinan bisa menjadi sumber infeksi.
Gunakan kain kapas yang dibasahi untuk membersihkan kelopak mata dengan
lembut agar tidak lengket.
Jika gejala yang dialami tidak kunjung mereda setelah dua pekan atau infeksi
yang terjadi cukup parah, dokter akan meresepkan obat antibiotik, salah satunya
adalah chloramphenicol.
dan bulu
Biasanya dokter akan meresepkan obat tetes mata chloramphenicol sebagai
penanganan utama. Namun chloramphenicol dalam bentuk salep akan diresepkan
jika pasien tidak cocok dengan bentuk tetes. Penglihatan mungkin akan menjadi
buram selama 20 menit setelah pemakaian salep mata. Pastikan untuk mengikuti
anjuran dokter tentang penggunaan obat.
Selain obat tetes mata chloramphenicol, ada juga obat tetes mata fusidic acid.
Anak-anak, wanita hamil, dan orang yang berusia lanjut lebih cocok untuk

23
menggunakan obat tetes mata fusidic acid karena penggunaannya tidak perlu
sesering obat tetes mata lain.

Konjungtivitis Alergi
Sebelum menemui dokter, cobalah lakukan pengobatan sendiri di
rumah terlebih dahulu untuk meredakan gejala konjungtivitis alergi. Kompres
mata dengan kain yang dibasahi air dingin dan hindari terpapar zat alergen.
Jangan memakai lensa kontak hingga gejala konjungtivitis hilang. Agar gejala
tidak memburuk, jangan menggosok mata walau terasa gatal.
Jika konjungtivitis alergi tidak kunjung mereda, temui dokter. Dokter
kemungkinan akan meresepkan antihistamin (baik dalam bentuk tetes mata atau
oral) guna meredakan gejala alergi. Contoh-contoh obat antihistamin adalah
azelastine, cetirizine, loratadine, fexofenadine, atau emedastine. Gunakan obat
sesuai anjuran dokter,
Selain antihistamin, obat kortikosteroid jangka pendek dalam bentuk gel, salep,
atau krim kemungkinanakan diresepkan jika gejala konjungtivitis alergi yang
dialami cukup parah.
Selain itu, ada juga obat yang bernama mast cell stabilisers yang berguna
untuk mengendalikan gejala alergi dalam jangka waktu panjang. Dokter mungkin
akan mengombinasikan antihistamin dengan obat ini, karena efek mast cell
stabilisers baru bisa terasa setelah beberapa pekan pemakaian. Contoh obat tetes
mata mast cell stabilisers yang biasa diresepkan adalah nedocromil sodium,
sodium cromoglicate, dan lodoxamide.
Temuilah dokter agar diperiksa secara lebih lanjut jika mengalami gejala-gejala
seperti daya penglihatan berkurang, mata terasa sakit, salah satu atau kedua mata
berwarna merah pekat, serta mengalami fotofobia atau sensitif terhadap cahaya.
Pemeriksaan bertujuan untuk memeriksa apakah pasien menderita penyakit
menular seksual (misalnya chlamydia) yang bisa menyebabkan terjadinya
konjungtivitis infektif. Jika dibiarkan, gejala penyakit ini dapat berlangsung
hingga beberapa bulan.

24
Pencegahan Konjungitivitis
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mencegah penyebaran
konjungntivitis, di antaranya:
Sering mencuci tangan dan mengganti sarung bantal.
Menggunakan handuk atau lap yang bersih dan jangan memakai handuk orang
lain.
Membuang riasan mata yang sudah terpakai dan jangan berbagi pemakaian riasan
dengan orang lain.
Jangan menggosok atau menyentuh mata yang terinfeksi.
Membersihkan mata dengan kapas, lalu cuci tangan Anda dengan air hangat dan
sabun.
Jangan menggunakan obat tetes mata yang pernah dipakai untuk mata yang
terinfeksi guna menghindari penularan.
Jika terkena infeksi mata, jangan pergi bekerja atau bersekolah hingga
konjungtivitis tidak lagi menular.
Menghindari penggunaan lensa kontak saat terserang infeksi pada mata. Sebagai
gantinya, Anda bisa menggunakan kacamata.

25
JURNAL PADA KONJUNGTIVIS

Idea Nursing Journal Vol. VII No. 2 2016


ISSN : 2087-2879
62
MEMUTUS MATA RANTAI PENULARAN KONJUNGTIVITIS
BAKTERI AKUT
Muhammad Abdurrauf
RSU Lirboyo Kediri
E-mail: formatio.retikularis@gmail.com

ABSTRAK
Konjungtivitis adalah penyakit mata yang sering dijumpai oleh dokter
umum.
Konjungtivitis bakteri akut adalah jenis konjungtivitis yang paling sering
didapatkan. Penanganan yang tepat diperlukan untuk menghindari komplikasi
yang dapat mengancam penglihatan. Konjungtivitis bakteri akut mudah menyebar
dari mata satu ke
mata yang lain dan ke orang lain. Untuk memutus mata rantai ini penting
dilakukan edukasi ke pasien tentang penularan konjungtivitis secara langsung dan
benda yang kontak dengan mata penderita agar dapat diambil tindakan
pencegahan dari rute penularan tersebut. Dilaporkan satu kasus laki laki 14 tahun
datang ke RSU Lirboyo Kediri dengan keluhan kedua mata merah sejak empat
hari yang lalu. Keluhan mata merah ini disertai dengan rasa mengganjal seperti
kemasukan pasir, banyak mengeluarkan kotoran mata dan pagi hari saat bangun
tidur pasien susah membuka mata dan terasa seperti lengket. Pasien menceritakan
bahwa sebelum sakit teman sebangku sekolah pasien menderita sakit mata merah.
Pada pemeriksaan klinis didapatkan VOD 6/6 VOS 6/6, tidak didapatkan
blepharospasme, didapatkan hiperemi konjungtiva, kornea jernih, bilik mata

26
depan kesan dalam, pupil bulat isokor 3mm/3mm. Pasien diberikan terapi
antibiotik topikal spektrum luas, analgesik oral
serta diberi edukasi.
Kata kunci: konjungtivitis bakteri akut, penularan, edukasi

ABSTRACT
Conjunctivitis is the eye disease most common seen by general practitioner. Acute
bacterial conjunctivitis is the most frequent type of conjunctivitis. Right treatment
is necessary to prevent complication that can threat the vision. Acute bacterial
conjunctivitis is easily spread from one eye to another and another person. To cut
the spreading chain education to patient about spreading route is essential to take
preventive step. Reported male 14years old came to RSU Lirboyo Kediri with
chief complain redness of the eye since 4 days ago. It also followed by grittiness,
discharge and in the morning when patient wakes the eyes felt sticky and difficult
to be opened. Before the patient had this illness his friend next to him in school
had sick with red eye. From the clinical evaluation VOD 6/6, VOS 6/6,
blepharospasm is unavailable, there is hyperemic conjunctiva, cornea is clear,
anterior chamber is deep, pupil round isochor 3mm/3mm. Patient was given
topical broad spectrum antibiotic,oral analgesic and educated properly about the
disease.

27
PENDAHULUAN hiperemi konjungtiva yang hebat dan
Konjungtivitis adalah proses kemosis. Jika tidak ditangani secara
inflamasi akibat infeksi atau non- tepat maka konjungtivitis bakteri
infeksi pada konjungtiva yang hiperakut ini dapat menyebabkan
ditandai dengan dilatasi kekeruhan kornea, perforasi kornea
vaskular, infiltrasi seluler, dan dan endoftalmitis (Høvding., G.,
eksudasi(Vaughan, D. dan Asbury, 2008).
T., 2015). DiIndonesia konjungtivitis Pada konjungtivitis bakteri kronis
menduduki peringkat 10 besar tanda dan gejala timbul lebih dari 3
penyakit rawat jalan terbanyak pada minggu dan sering
tahun 2009. Dari 135.749 pasien terjadi kekambuhan. Hiperemi dan
yang berkunjung ke poli mata, 73% sekret yang timbul biasanya ringan
adalah kasus konjungtivitis sampai sedang (Rubenstein, J., B.,
(Kemenkes RI., 2010). Berdasarkan 1999). Konjungtivitis bakteri akut
penyebabnya konjungtivitis dibagi didefinisikan sebagai konjungtivitis
menjadi konjungtivitis bakteri, yang berlangsung kurang dari 3
konjungtivitis virus, dan minggu, dan merupakan penyakit
konjungtivitis alergi. Konjungtivitis mata yang paling sering ditemui oleh
bakteri dibagi berdasarkan onset dan dokter umum (Dart, J., K., G., 1986;
keparahannya menjadi hiperakut, McDonnell, P.,J., 1988).
akut dan kronis. Neisseria Konjungtivitis bakteri akut dapat
gonorrhoeae merupakan penyebab disebabkan oleh S.aureus,
utama konjungtivitis bakteri Staphylococcus epidermidis, H.
hiperakut yang biasanya mengenai influenzae,Streptococcus
neonatus dan orang dewasa yang pneumoniae, Streptococus viridans,
aktif berhubungan seksual. Moraxella catarrhalis dan bakteri
Konjungtivitis bakteri hiperakut gram negative dari usus (Wald, E.,
ditandai dengan onset yang R.dkk.,2001; Normann, E., K. dkk.,
mendadak, sekret yang profus kental 2002;Buznach, N.dkk.,2005).
dan berwana kuning kehijauan,

28
Penyebab Penelitian ini melibatkan 225 pasien
konjungtivitis bakteri paling sering di sebagai responden. Perilaku pasien
dunia adalah S. aureus (Mannis, M., yang diteliti meliputi kebiasaan cuci
J. dan Plotnik, R., D., 2005). tangan, penggunaan handuk secara
Sindroma imunodefisiensi dan bersama-sama, penggunaan
imunosupresi sistemik dapat menjadi sapu tangan secara bergantian, dan
predisposisi dari konjungtivitis penggunaan bantal atau sarung bantal
bakteri akut secara bersama-sama.
(Franklin, R., M. dkk.,1977; Hasil penelitian ini menunjukkan
Friedlaender, M.,H. dkk., 1980; bahwa terdapat hubungan antara
Sharma, T. dkk., 2004). perilaku pasien dengan kejadian
Konjungtivitis bakteri mudah konjungtivitis. Hal ini dapat
menular dari satu mata ke mata diartikan bahwa responden yang
sebelahnya dan juga mudah menular memiliki perilaku beresiko tersebut
ke orang lain melalui kontaklangsung memiliki kemungkinan menderita
dan benda yang kontak dengan mata konjungtivitis lebih tinggi dari
(Ilyas, S., Yulianti, S., 2014). Sebuah responden yang tidak memiliki
penelitian dilakukan di Poli Mata perilaku berisiko. Berkaitan dengan
Bagian Infeksi Rumah Sakit Mata hal ini, perlu upaya-upaya yang
Cicendo Bandung tahun 2010 dilakukan untuk
mengidentifikasi adanya hubungan mengurangi makin meluasnya
antara perilaku pasien dengan penularan konjungtivitis (Nurhayati,
kejadian S., 2014).
konjungtivitis. Penelitian ini didasari Beberapa tanda dan gejala yang
karena peningkatan kejadian timbul pada konjungtivitis bakteri
konjungtivitis dari 7.176 orang akut adalah onset yang akut dari
pasien pada tahun 2008 meningkat kemerahan, rasa mengganjal, perih
menjadi 7.228 pasien pada tahun dan timbul secret; mengenai kedua
2009. mata

29
meskipun biasanya satu mata meningitides, H. aegyptius, S.
terinfeksi 1-2 hari sebelum mata aureus, dan M.catarrhalis. Bahkan
yang lain; pada saat bangun tidur pada kasus konjungtivitis
kelopak mata sering lengket dan meninges dapat berakhir menjadi
susah untuk membuka mata akibat sepsis dan meningitis yang
sekret yang menumpuk; hiperemi mengancam jiwa karena konjungtiva
konjungtiva yang difus; merupakan gerbang masuk
sekret pada awalnya berair mirip meningokokus ke dalam darah dan
konjungtivitis viral tetapi kemudan meninges
menjadi mukopurulent (Kanski, J. J., (Vaughan, D. dan Asbury, T., 2015).
2007). Konjungtivitis bakteri akut Terapi spesifik konjungtivitis
hampir selalu sembuh sendiri. Tanpa tergantung pada temuan antigen
diobati, infeksi mikrobiologisnya. Dokter
dapat berlangsung selama 10-14 hari, dapat memulai terapi dengan
sedangkan jika diobati memadai antibiotika topikal spectrum luas,
berlangsung sambil menunggu hasil
1-3 hari, kecuali konjungtivitis laboratorium. (misal polymixin-
stafilokokus (yang dapat berlanjut trimethoprim). Pada sekret yang
menjadi blefarokonjungtivitis dan purulent selain pemberian
memasuki fase kronis). terapi farmakologis, saccus
Konjungtivitis bakteri akut dapat konjungtiva harus dibilas dengan
menimbulkan komplikasi jika tidak larutan saline agar dapat
ditangani secara tepat. Komplikasi menghilangkan sekret konjungtiva
yang dapat timbulseperti keratitis, (Vaughan, dan Asbury, T., 2015).
ulkus kornea dan uveitis yang dapat
menyebabkan kebutaan. Ulserasi
kornea dapat terjadi pada infeksi N.
kochii, N.

30
KASUS edukasi.
Pasien laki laki 14 tahun datang ke PEMBAHASAN
RSU Lirboyo Kediri dengan keluhan Keluhan pasien pada kasus ini
kedua mata merah sejak empat hari berupa mata merah, rasa mengganjal,
yang lalu. Pasien bercerita pada dan mengeluarkan sekret yang sesuai
awalnya hanya mata kiri yang merah, dengan gejala konjungtivitis bakteri
kemudian 1 hari yang lalu mata akut. Pada pasien ini
kanan menjadi merah. Keluhan mata konjungtivitis bakteri akut belum
merah ini disertai dengan rasa mengakibatkan komplikasi ke
mengganjal seperti kemasukan pasir kornea, ditandai
dan banyak mengeluarkan kotoran tidak didapatkan keluhan epifora dan
mata. Ketika pagi hari saat bangun blepharospasme yang merupakan
tidur pasien susah membuka mata gejala khas
dan terasa seperti lengket. Tidak dari keratitis. Penatalaksanaan
didapatkan keluhan mata medikamentosa pada pasien ini
berair dan tidak silau saat melihat diberikan antibiotik spektrum
sumber cahaya. Pasien menceritakan luas dan analgesik oral untuk
bahwa sebelum sakit teman sebangku mengurangi rasa nyeri pada mata.
sekolah pasien menderita sakit mata Terdapat persepsi yang tidak tepat
merah. Tidak didapatkan riwayat pada sebagian masyarakat, misalnya
trauma mata. konjungtivitis
Pada pemeriksaan klinis didapatkan ditularkan dengan menatap mata
VOD 6/6 VOS 6/6, tidak didapatkan orang yang
blepharospasme, didapatkan sakit. Konjungtivitis bakteri akut
hiperemi konjungtiva, kornea jernih, menular ke
bilik mata depan kesan dalam, pupil mata yang sehat melalui tangan yang
bulat isokor 3mm/3mm. Pasien mengandung mikroorganisme
diberikan terapi antibiotik topikal penyebab
spektrum luas dan analgesik oral
serta diberi

31
konjungtivitis. Mikroorganisme ini KESIMPULAN DAN SARAN .
berpindah melalui mata yang tidak Konjungtivitis bakteri akut
disadari diusap oleh merupakan kasus mata tersering yang
penderita dan selanjutnya dihadapi oleh dokter umum.
mengakibatkan kontaminasi pada Penangan yang tepat diperlukan
barang yang terpegang oleh penderita untuk menghindari komplikasi yang
dan dipakai bersama oleh orang yang mengancam
sehat. Dalam upaya untuk memutus penglihatan. Selain pengobatan yang
rantai penularan konjungtivitis tepat edukasi kepada pasien,
edukasi oleh tenaga medis kepada keluarga pasien dan
pasien, keluarga pasien maupun masyarakat penting dilakukan untuk
masyarakat penting dilakukan, antara memutus mata rantai penularan dari
lain menjaga hygiene mata, rajin konjungtivitis bakteri akut. Edukasi
mencuci tangan, menghindari untuk yang diberikan meliputi menjaga
memegang mata dan tidak memakai kebersihan mata, cuci tangan
bersama barang barang yang kontak sebelum dan setelah meneteskan
dengan mata penderita seperti sapu obat, tidak memegang mata dan
tangan, sarung bantal dan handuk. memisahkan barang barang pribadi
seperti handuk, saputangan, sprei dan
bantal dari anggota keluarga yang
lain.

32
DAFTAR PUSTAKA . Profil Kesehatan Indonesia Tahun
Buznach, N., Dagan, R., Greenberg, 2009, diakses 06 Juni 2015, dari
D., (2005). Clinical and Bacterial http://www.Depkes.go.id. Mannis,
Characteristics of Acute Bacterial M., J., Plotnik, R., D. (2005).
Conjunctivitis in Children in The Bacterial Conjunctivitis. In: Tasman
Antibiotic Resistance Era. Pediatr M & Jaeger EA (eds) Duane’s
InfectDart, J., K., G. (1986). Eye Clinical Ophthalmology, vol. 4.
Disease at a Community Health Philadelphia: Lippincott,
Centre. Br MedJ 293: 1477– 1480. Williams & Wilkins, 1–11.
Franklin, R., M., Winkelstein, J., A., McDonnell, P., J. (1988). How Do
Seto, D., S., Y. (1977). General Practitioners Manage Eye
Conjunctivitis and Disease in The Community?, Br J
Keratoconjunctivitis Associated with Ophthalmol 72: 733–736.
Primary Immunodeficiency Diseases.
Am J Ophthalmol 84: 563– 566.
Friedlaender, M., H., Masi, R., J.,
Osumoto, M., Smolin, G, &
Ammann, A., J. (1980). Ocular
Microbial Flora in Immunodeficient
Patients. Arch Ophthalmol 98: 289–
294. Høvding., G. (2008). Acute
Bacterial Counjunctivitis. Acta
Ophthalmol (Copenh) 86: 5–17 Ilyas,
S., Yulianti, S. (2014). Ilmu Penyakit
Mata. Edisi 5. Jakarta : FKUI
Kanski, J. J., 2007. Clinical
Ophthalmology; a Systemic
Approach. 6th. Elsevier. New York.
Kemenkes RI. (2010). 10 Besar
Penyakit Rawat Jalan Tahun 2009.

33
ADVOKASI PADA KONJUNGTIVITIS

34
ASKEP PENKES JURNAL DAN ADVOKASI PADA OTITIS
MEDIA AKUT (OMA)

DI SUSUN OLEH :
DIERA LITA SABIVA : A21612040

DOSEN PEMBIMBING : Ns.Putinah, S.kep, M.Kep


TUGAS : SISTEM SENSORI PERSEPSI
PRODI : S1 KEPERAWATAN / IVB

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


SITI KHADIJAH PALEMBANG

T.A 2017/2018

35
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan YME atas segala


limpahan karuniaNya. sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
kelompok mata kuliah system sensori persepsi. Pada makalah ini kami
akan membahas tentang Otitis Media Akut / Kronik
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang
penulis peroleh dari berbagai sumber yang berkaitan dengan Otitis Media
Akut / Kronik . Tak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada pengajar
mata kuliah system sensori persepsi atas bimbingan dan arahan dalam
penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah
mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis harap dengan membaca makalah ini dapat memberi
manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita,
khususnya bagi penulis. Memang makalah ini masih jauh dari sempurnah,
maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan
menuju arah yang lebih baik.

Penulis

36
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................................................1
Daftar Isi ......................................................................................................2
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang.........................................................................................3
B. Rumusan Masalah ...................................................................................3
II. Pembahasan
A. Definisi ...................................................................................................4
B. Anatomi dan Fisiologi .............................................................................4
C. Etiologi ....................................................................................................7
D. Manifestasi Klinik ...................................................................................7
E. Klasifikasi ................................................................................................8
F. Patofisiologi .............................................................................................8
G. Patoflow ...................................................................................................9
H. Pemeriksaan Penunjang ..........................................................................8
I. Pelaksanaan medis dan Keperawatan ......................................................8
J. Komplikasi ..............................................................................................9
K. Prognosis ...............................................................................................10
L. Pengkajian Teori ...................................................................................11
M. Masalah keperawatan ............................................................................12
N. Diagnosis ...............................................................................................12
O. Intervensi ...............................................................................................12
III. Penutup
A. Simpulan ................................................................................................15
B. Saran ......................................................................................................15
IV. Daftar Pustaka ............................................................................................16

37
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Otitis media adalah suatu infeksi pada telinga tengah yang disebabkan
karena masuknya bakteri pathogen ke dalam telinga tengah. Otitis media akut
(OMA) dapat terjadi yang dipengaruhi oleh beberapa factor seperti sumbatan
mukosa tuba eustachius, ISPA (Infeksi Salauran Pernafasan Atas), dan bakteri
(Streptococcus pneumonia, Haemophylus influenza, Moraxella catarrhalis, da
bakteri piogenik lain, seperti Streptococcus hemolyticus, Staphylococcus
aureus, E.Coli, Pneumococcus vulgaris). Otitis media juga merupakan salah
satu penyakit langganan anak. Prevalensi terjadinya otitis media di seluruh
dunia untuk usia 10 tahun sekitar 62% sedangkan anak berusia 3 tahun sekitar
83%. Di Amerika Serikat, diperkirakan 75% anak mengalami minimal 1
episode otitis media sebelum berusia 3 tahun dan hampir setengah dari
mereka mengalaminya 3 kali atau lebih. Di Inggris, setidaknya 25% anak
mengalami minimal 1 episode sebelum usia 10 tahun. (Smeltzer, 2009)

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan otitis media ?
2. Bagaimana anatomi dan fisiologi otitis media ?
3. Apa etiologi atau penyebab otitis media ?
4. Bagaimana patofisiologi penyakit otitis media ?
5. Apa saja manifestasi klinis penyakit otitis media ?
6. Apa saja yang termasuk pemeriksaan penunjang penyakit otitis media ?
7. Bagaimana komplikasi penyakit otitis media ?
8. Apa pengkajian teori otitis media ?
9. Apa diagnosis penyakit otitis media ?
10. Bagaimana intervensi penyakit otitis media ?

38
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi

Otitis media adalah infeksi saluran telinga tengah berhubungan


dengan efusi telinga tengah, yang merupakan penumpukan cairan di telinga
tengah (Rahajoe, 2012 dalam NANDA NIC NOC).
Otitis media kronik disebabkan oleh episode otits media akut, yang
menyebabkan patologi jaringan permanen (irreversible) dan perforasi
persisten pada membrane timpani. Infeksi kronis pada telinga tenga
menyebabkan kerusakan membrane timpani, yang dapat menghancurkan
osikel dan dapat mengenai mastoid.(Brunner & Suddarth, 2014)
Otitis media akut adalah infeksi telinga tengah yang disebabkan oleh
infeksi virus atau bakteri (Steptococcus Pneumoniae, Haemophilu influenza,
atau Staphylococcus aureus). (J.Corwin, Elizabeth, 2009).

B. Anatomi dan Fisiologi

39
Telinga merupakan organ pendengaran dan juga meainkan peran pentng
dalam mempertahankan keseimbangan. Bagian-bagian yang berperan dalam
pendengaran : bagian luar, bagian tengah dan koklea. Bagian-bagian yang
berperan dalam keseimbangan : kanal seminisirkular, utrikel, sakulus. (Waston,
2002)
Struktur telingan
1. Telingan eksterna memiliki dua bagian : aurikula dan meatus akustik
eksterna.
Aurikula menempel dari samping kepala, terdiri dari fibrokartilago (tipis dan
elastic), ditutupi kulit berbentuk corong, yang mengantar gelombang suara
menuju ke metus akustik eksterna, merupakan bentuk lintasan tubular sekitar
4 cm yang memanjang ke bagian temporal. Ujung eksterna meatus bagian
dalam ditutpi oleh membrane timpani. Pada tepi kulis kartilago meatus
terdapat rambut-rambut halus yang memiliki kelenjar yang mengekspresikan
serumen, yang melindungi kanal dari debu atau benda asing lain, tetapi
serumen sendiri dapat menjadi hambatan akibat akumulasi, sehingga untuk
mengeluarkannya diperlukan penyemprotan.

2. Telinga bagian tengah merupakan tulang kecil pada bagian dalam tulang
temporal, dipisahkan oleh membrane impani dari telinga bagian luar, dinding
selanjtnya dibentuk oleh dinding bagian lateral telinga dalam. Rongga
tersebut dikelilingi membrane mukosa yang berisi udara yang masuk dari
faring melalui salura pendengaran. Hal tersebut membuat tekanan udara
dikedua sisi membrane timpani sama. Telinga tenga terdiri dari tiga tulang
tipis, yang disebut osikel, yang menghantarkan getaran ke membrane timpani
melalui telinga dalam. Membrane timpani tipis dan semitransparan, dan
tempat melekatnya maleus, osikel pertama, melekat dengan kuat ke
permukaan dalam. Inkus berartikulasi dengan maleus dan stapes, bagian
dalam osikel, yag menempel pada fenesta vestibule dan mengarah kebagian
dalam telinga. Dinding posterior bagian tengahterbuka tidak beaturan.

40
3. Telinga bagian dalam, yang terletak di bagian dalam petrosa tulang temporal,
tediri dari dua bagian yaitu tulang labyrinth yang menonjol dan membrane
labyrinth.
Tulang labirin sekali lagi terbagi menjadi tiga bagian : vestibula, koklea, dan
vestibulla semisirkular. Vestubula berdampngan dengan telinga tengah
melewati dua lubng : fenestra vestibule yang ditempati oleh dasar stapes dan
fenestra koklea. Koklea penting bagi fungsi pendegaran. Kokle adalah saluran
berbentuk spiral yang membentuk dua pertiga putaran mengintari pusat tulang
yang disebut modiolus. Pada saluran bagian luar, terdapat skala vestibule di
bagian atas dan skala timpani di bagian bawah. Dibagian ini berisi perilimf
dan bergabung dengan puncak modiolus
Kanal semisirkular berjumlah tiga dan terletak di bagian atas dan dibelakang
vestibula dalam tiga ruang yang berbeda satu vertical, satu horizontal dn lain
traversal. Semua ruang ini berisi perilimf. Bila posisi kepala berubah, gerakan
endolimf merangsang sel-sel khusus yang memiliki tonjolan seperti rmbut-
rambut yang terdapat di ujung setiap kanal.
Labirin membranosa terdapat di dalam ruang labyrinth walaupun ukurannya
lebih kecil. Membrane ini meliputi: utrikel, sakul, duktus semikular dan
duktus koklea.

Mekanisme Pendengaran :
Gelombang suara dari luar dikumpulkan oleh daun telinga (pinna), masuk
ke saluran eksterna pendengaran (meatus dan kanalis auditorius eksterna) yang
selanjutnya masuk ke membrane timpani. Adanya gelombang suara yang masuk
ke membrane timpani menyebabkan membrane timpani bergetar dan bergerak
maju mundur. Gerakan ini juga mengakibatkan tulang-tulang pendengaran seperti
meleus, inkus, dan stapes ikut bergerak dan selanjutnya stapes menggerakkan
foramen ovale serta menggerakkan cairan perilimf pada skala vestibule. Getaran
selanjutnya melalui membrane reisner yang mendorong endolimf dan membrane
basiler ke arah bawah dan selanjutnya menggerak perilimf pada skala timpani.
Pergerakan cairan dalam skala timpani menimbulkan potensial aksi pada sel

41
rambut yang selanjuttnya diubah menjadi inpuls listrik. Inpuls listrik selanjutnya
dihantarkan ke nukleus koklearis, thalamus kemudian korteks pendengaran untuk
diasosiasikan. (Tarwoto, 2009 : 234-253).

C. Etiologi
Penyebab otiti media antara lain : (Efiaty, 2010)
1. Infeksi saluran nafas atas oleh bakteri atau virus yang menyebabkan
peradangan di mukosa, gangguan drainase telinga tengah, dan
menyebabkan penumpukan cairan steril
2. Kuman penyebab otitis media adalah bakteri piogenik seperti
streptococcus hemolitikus, stapilococcus aureus, diplococcus
pneumococcus,
3. Hemofilus influens (anak 5 tahun), escheria colli, streptococcus
anhemoliticus ploteus vulgaris dan pseudomonas aurogenos

D. Manifestasi Klinik / Tanda dan Gejala


1. Nyeri di telinga yang terkena adalah gejala tersering dari otitis media akut
2. Pada bayi atau tolder, demam, rewel dan menari-narik telinga dan
menandakan otitis media akut
3. Anorekisa, muntah dan diare dapat menyertai otitis media akut
4. Rasa penuh yang tidak enak di telinga sering terjadi pada otitis media
dengan efusi
Nyeri dengan manipulasi struktur eksternal telinga menunjukkan otitis
eksternal (Elizabeth J. Corwin, 2009)

Berdasarkan perubahan mukosa telinga tengah, OMA dapat dibagi menjadi 4


stadium:
a. Stadium radang tuba Eustachii (salpingitis)
Stadium ini ditandai dengan adanya gambaran retraksi membra
timpani akibat adanya teknan negative di bgian telinga tengah, akibat

42
adanya absorbsi udara. Kadang-kadang merman timpani sendiri
tampak normal dan berwarnah keruh pucat. Efusi mungin sudah
terjadi tetapi tidak dapat di deteksi.
b. Stadium hiperemi
Pada stadium hiperemis, tampak pembulu darah yang melebar di
membrane timpani atau seluruh membran timpani. Mukosa cavum
mukosa timpani mulai tampak hiperemis atau oedem
c. Stadium supurasi
Oedem yang hebat pada mukosa telinga tenga dan hancurnya sel
epitel superfial serta terbentuknya eksudat yang purulen di cavum
timpani, menyebabkan membrane timpanin menjadi menonjol kea rah
telinga luar
d. Stadium perforasi
Stadium ini terjadi apa bila terjadi ruftur pada membrane timpani yang
menonjol pada saat stadium supurasi
e. Stadium resolusi membrane timpani yang utuh, bilah terjadi
kesembuhan maka keadaan membran timpani akan perlahan lahan
normal kembali.
E. Klasifikasi
Klasifikasi otitis media : (Efiaty, 2007)
1. Otitis media akut terjadi karena factor pertahanan tubuh yang tergaggu
2. Otitis media sub akut
3. Otitis media kronik terjadi infeksi dengan peforasi membrane timpani dan
secret yang keluar dari telinga tengah dengan terus-enerus atau hilang
timbul. Seret mungkin ence atau kental, bening atau berupa nanah. Otitis
media akut akan menjadi otitis media kronik apabila proses infeksi lebih
dari 2 bulan.

43
F. Patofisiologi
Otits media adalah inflamasi telinga tengah. Inflamasi dapat terjadi
disalurn telinga luar yang disebut otitis eksterna atau di telinga tengah yang
disebut otitis media.
Otitis media akut sering terjadi akibat infeksi bakteri biasanya oleh
streptococcus pneumonia, haemophilus influenza, atau infeksi virus.
Imaturasi sitem imun atau atau penyakit refluks gas. Otitis media akut dapat
terjadi ketika tuba eustachius yang secara normal mengalirkan sekresi telinga
tengah ke tenggorokan menjadi tersumbat atau penuh sehingga menyebabkan
menimbunan sekresi telinga tengah dan cairan. Ketika tuba eustachius
terbuka kembali tekanan di telinga yag mengalami kongesti tersebut dapat
menarik sekresi hidung yang terkontaminasi yng masuk melalui tuba
eustachius untuk masuk ke telinga tengah kemudian menjadi infeksi.
Otitis media yang efusi adalah penimbunan cairan di telinga tengah yang
sering terjadi akibat alergi. Pada bebrapa keadaan, infeksi bakteri sekunder
dapat terjadi. (Elizabeth J. Corwin, 2009

44
G. Patoflow

Perubahan tekanan udara tiba-tiba (alergi, infeksi, sumbatan)

gangguan tube eustachius

pencegahan invasi kuman terganggu

kuman masuk ke telinga tengah

tekanan udara negative pengobatan


tidak
di telinga tengah tuntas/episode
berulang

efusi kurangnya info infeksi


berlanjut ke
telinga
dalam
retraksi membrane timpani defisiensi pengetahuan
terjadi erosi
pd
hantaran udara yg diterima kanalis
semisirkularis
menurun
gang. cairan
gngg persepsi senseori
perilimf
yang mengatur
keseimbangan
-

45
peradangan pembuluh darah - pening
(pertigo)
vasodilatasi - keseimbangan
tubuh

Meningkatkan produksi
Cairan serosa oedem hebat pd
Resiko cidera /
mukosa telinga
trauma
Rupture membrane timpani
Afferent
Secret keluar dan berbau
Tidak enak (otorrhoe) medulla spinalis

Gangguan citra tubuh Thalamus

Sumber : Huda Nurarif Amin, 2015 Efferent sensasi nyeri Nyeri

H. Pemeriksaan Penunjang
1. Otoscope untuk melakukan auskultasi pada bagian telinga luar
2. Timpanogram, untuk mengukur kesesuaian dan kekakuan membrane
timpani
3. Kultur dan uji sensitifitas : dilakukan bila dilakukan timpanosensitesis
(aspirasi jarum dari telinga tengah melalui membrane timpani)

I. Penatalaksanaan Medis dan keperawatan


1. Dengan terapi antibiotic spectrum luas sejak dini dan tepat, otitis media
dapat hilang tanpa menyisakan sekuela yang serius. Jika terdapat drainase,
sediakan antibiotic otik dapat diresepkan.
2. Hasl akhir tergantung pada efektivitas terapi, virulensi bacteria, dan status
fisik pasien

46
3. Penghisapan dan pembersihan telingan yang cermat dapat dilakukan di
bawah panduan mikroskop
4. Antibiotic tetes dimasukkan atau antibiotic serbuk digunakan untuk
mengatasi rabas purulen
5. Prosedur tympanoplasty dapat dilakukan untuk mengatasi infeksi
berulang, mengembalikan fungsi telinga tengah
6. Osikoloplasti mungkin dilakukan untuk merekonstruksi tulang telinga
tengah guna mengembalikan fungsi pendengaran
7. Mastoidektomi dapat dilakukan untuk mengeluarkan kolesteatoma,
membukan akses ke struktur yang mengalami penyakit dan membuat
telinga tetap kering (Brunner & Suddarth, 2014)

J. Komplikasi
Otitis media akut : (Brunner & Suddarth, 2014)
1. Perforasi membrane timpani dapat menetap berlanjut menjadi otitis media
kronik
2. Komplikasi sekunder dapat mencakup mastoid, meningitis, atau abses
otak (jarang)

Otitis media kronik :


1. Perforasi membrane timpani
2. Mastoiditis akut
3. Parese nervus fasialis
4. Labirinitis
5. Petrositis
6. Abses subperioosteral
7. Abses otak
8. Tromboflebitis
9. Hidrocepalus otikus
10. Empiema subdural

47
K. Prognosis
Di Amerika Serikat dilaporkan kasus otitis media sering terjadi pada
anak-anak antara periode neonatal sampai sekitar umur 7 tahun, dengan
hampir 70 % dari anak-anak tersebut mengalami 1 atau lebih periode sampai
ulang tahun mereka yang ketiga.
Dan tidak ada perbedaan jenis kelamin yang rentan terhadap koplikasi
ini. Keseluruhan insidens dari semua komplikasi otitis media telah menurun
sejak dilakukan pengobatan efektif dengan antibiotic. Sebagai contoh, pada
saat era preantibiotik, insiden mastoiditis mengharuskan penatalaksanaan
bedah sebesar 25-50 %. Pada tahun 1980-an, insidens menurun hampir
0,02%. Pada tahun 1995, kangsaranak et al.. melakukan penelitian terhadap
24,321 pasien dengan otitis media. Dari hasil penelitiannya menunjukkan
komplikasi intracranial rata-rata 0,36%.
Pada saat era preantibiotik, angka mortalitas dari komplikasi
intrakrnial otitis media dilaporkan sekitar diatas 76,4 %. Penelitian terbaru
melaporkan dari 24,321 pasien yang menderita komplikasi intrkranial akibat
otitis media menunjukkan angka mortalitas sekitar 18,4%.

48
ASKEP OTITIS MEDIA AKUT / KRONIK
L. Pengkajian
1. Pengumpulan Data
 Identitas pasien : Nama pasien, umur, suku/bangsa, agama,
pendidikan, pekerjaan, alamat
 Riwayat penyakit sekarang : Riwayat adanya kelainan nyeri pada
telinga, penggunaan minyak, kapas lidi, penti untuk membersihkan
telinga
 Riwayat penyakit dahulu: Riwayat infeksi saluran atas yang
berulang, riwayat alergi, riwayat OMA berkurang, riwayat
penggunaan obat (streptomisin, salisilat, kuirin, gentamisin),
riwayat operasi
 Riwayat penyakit keluarga : Apakah keluarga pasien pernah
mangalami penyaki telinga, sebab dimungkinkan OMK
berubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan dengan
factor genetik
2. Pengkajian Persistem
Tanda-tanda vital : suhu meningkat, keluarnya otore
B2 (Blood) : nadi meningkat
B3 (Brain) : nyeri telinga, perasaan penuh dan pendengaran menurun,
vertigo, pusing, reflex kejut
B5 (Bowel) : Nausea vomiting
B6 (Bone) : Malaise, alergi
3. Pengkajian Psikososial
- Nyeri otore berpengaruh terhadap interaksi
- Aktivitas terbatas
- Takut menghadapi tindakan pembedahan
4. Pemeriksaan diagnostic
- Tes audiometric : pendengaran menurun
- Xray : terhadap kondisi patologi, missal kolestetoma, kekaburan
mastoid

49
5. Pemeriksaan diagnostic
- Tes suara bisikan, tes garputala

M. Diagnosa keperawatan
1. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan obstruksi, infeksi di
telinga tengah atau kerusakan di syaraf pendengaran
2. Nyeri berhubungan dengan peradangan pada membrane timpani
3. Resiko cidera / injuri berhubungan dengan keseibangan labirin : vertigo
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan otore berbau busuk
5. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pengetahuan
mengenai pengobatan dan pencegahan kekambuhan

N. Intervensi
NO DIAGNOSA INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN
1 Gangguan persepsi 1. Monitor TTV (suhu, 1. Tanda vital adalah
sensori berhubungan nadi, RR, TD) tiap 6 merupakan cara untuk
dengan obstruksi, jam mengetahui keadaan
infeksi di telinga 2. Lakukan irigasi telinga umum pasien
tengah atau kerusakan dengan air bersuhu 2. Irigasi telinga untu
di syaraf pendengaran tubuh membersihkan serumen
3. Anjurkan klien untuk yang berbau
menghisap dot atau 3. Menghisap dot atau
makan permen karet makan permen karet
untuk dapat menyeimbangka
menyeimbangkan tekanan di telinga dan
tekanan mengurangi telinga yang
4. Yakinkan pasien bahwa seperti meledak
deficit persepsi sensori 4. Membantu motivasi
hanya sementara klien dan keluarga agar

50
Kolaborasi tidak terjadi kecemasan
5. Kolaborasi dengan karena deficit persepsi
dokter untuk pemberian sensori
obat tetes telinga Kolaborasi
6. Kolaborasi dengan 5. Obat tetes telinga
dokter untuk pemberian membantu mencegah
antibiotika dan mengobati infeks
telinga luar agar tidak
terjadi inflamasi dan
penyebaran infeksi
6. Antibiotik dapat
menghambat penyebaran
infeksi dan melumpuhka
bakteri penyebab
penyakit
2 Nyeri berhubungan 1. Kaji tingkat nyeri yang 1. Sebagai indicator
dengan peradangan dirasakan baik intensitas, keefektifan itervensi yang
pada membrane karakteristik maupun diberikan dan perubahan
timpani beratnya (skala 1-10) karakteristik nyeri
2. Berikan lingkungan yang 2. Menurunkan reaksi
tenang sesuai dengan terhadap stimulasi dari
indikasi luar atau sensitivitas pada
3. Berika kompres hangat suara-suara bising dan
pada lokasi nyeri meningkatkan
4. Berikan posisi yang istirahat/relakasasi
nyaman pada pasien 3. Mampu meningkatkan
sesuai indikasi rasa nyaman dan
5. Berikan obat analgetik, mengurangi rasa nyeri
seperti asetaminofen 4. Menurunkan gerakan
yang dapat meningkatkan
nyeri

51
5. Mungkin diperlukan
untuk mengurangi nyeri
berat serta meningkatkan
kenyamanan dan istirahat
3 Resiko cidera / injuri 1. Kaji tingkat energy 6. Energy yang besar
berhubungan dengan yang dimiliki klien dapat memberikan
keseibangan labirin : 2. Berikan terapi ringan keseimbangan pada
vertigo untuk mmpertahankan tubuh saat istirahat
keseimbangan 7. Salah satu terapi
3. Ajarkan penggunaan ringan adalah
alat-alat bantu untuk enggerakkan bola
aktivitas klien mata, jika sudah
4. Berikan pengobatan terbiasa dilakukan,
nyeri (pusing) sebelum pusing akan berkurang
beristirahat 8. Mengantisipasi dan
meminimalkan resiko
jatuh
9. Nyeri yang berkurng
dapat meminimalkan
terjadinya jatuh

52
4 Gangguan citra tubuh 1. Bina hubungan saling 1. Hubungan saling
berhubungan dengan percaya percaya dapat menyadi
otore berbau busuk 2. Yakinkan klien setelah dasar terjadinya
dilakukan pengobatan / hubungan social
pembedahan cairan 2. Klien akan koperatif /
akan keluar dan bau berpartisipasi dalam
busuk akan hilang persiapan pembedahan
(tympanoplasty) dan
mulai akan mengajak
bicara kepada perawat
dan keluarga

53
5 Defisiensi 1. Ajarkan klien mengganti 1. Pendidikan kesehatan
pengetahuan balutan dan tentang cara mengganti
berhubungan dengan menggunakan antibiotic balutandapat meningkata
kurangnya secara continue sesuai pemahaman pasien
pengetahuan aturan sehingga dapat
mengenai pengobatan 2. Beritahu komplikasi yng berpartisipasi dalam
dan pencegahan mungkin timbul dan pencegahan
kekambuhan bagaimana cara kekambuhan
melaporkannya 2. Pemahaman tentang
3. Tekankan hal-hal yang komplikasi yang dapat
penting yang perlu terjadi dapat membantu
ditindak lanjuti / evaluasi klien dan keluarga untuk
pendengaran melaporkan ke tenaga
kesehatan sehingga
dapat dengan cepat
ditangani
3. Follow up sangat
penting dilakukan oleh
anak karena dapat
mengetahui
perkembangan penyakit
dan mencegah terjadinya
kekambuhan

54
BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN

Otitis media merupakan suatu infeksi pada telinga tengah yang


disebabkan karena masuknya bakteri pathogen ke dalam telinga tengah.
Penyebab utamanya adalah tersumbatnya saluran / tuba eustachius yang
bisa disebabkan oleh proses peradangan akibat infeksi bakteri yang masuk
ke dalam tuba eustachius tersebut, kejadian ISPA yang berulang pada anak
juga dapat menjadi factor penyebab terjadinya otitis media pada anak.
Otitis media terbagi menjadi 3, yaitu otitis media akut, sub akut,
dan kronik. Otitis media akut dapat terbagi menjadi lima stadium, antara
lain : stadium hiperemi, oklusi, supurasi, koalesen, dan stadium resolusi.
Dimana manifestasi dari OMA juga berdasarkan pada stadium yang
dialami klien. Dari perjalanan penyait otitis media, data muncul beberapa
maslah keperawatan yang dialamai klien, antara lain : gangguan rasa
nyaman, perubahan sensori persepsi, gangguan komunikasi, kecemasan
dan lain-lain.

B. SARAN

Sebagai seorang calon perawat kita diaharapkan mampu


memberikan asuhan keperawatan terhadap penderita otitis mdia akut /
kronik sesuai dengan standar prosedur.

55
DAFTAR PUSTAKA
Huda Nurarif, Amin. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan
Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC. Jogjakarta : Mediaction Jogja.
J.Corwin, Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
Brunner & Suddarth. 2014. Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC
Efiatry, Nurbaiti, Jenny, Ratna. Buku Ajar Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke 6. FKUI,2007
Ghanie, Abla. 2010. Jurnal Penatalaksanaan Otitis Media Akut pada
Anak. Palembang : R.S Umum Pendidikan Mohammad Hoesin

56
PENKES OTITIS MEDIA AKUT (OMA)

Otitis media akut (OMA) yang oleh masyarakat Indonesia secara umum
sering disebut dengan “congek” adalah suatu peradangan akibat infeksi pada
sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid,
dan sel-sel mastoid yang terjadi dalam waktu kurang dari 3 minggu. OMA dapat
terjadi pada semua usia, namun bayi dan anak-anak merupakan kelompok usia
yang paling sering menderita OMA dibandingkan orang dewasa baik dewasa tua
maupun dewasa muda. Sebelum membaca lebih lanjut, kami anjurkan untuk
memahami bagian-bagian telinga terlebih dahulu.
 GEJALA Pada anak gejala utama otitis media akut adalah adanya
perasaan nyeri di dalam telinga disertai demam yang menyebabkan anak menjadi
gelisah, sulit tidur, bahkan dapat tiba-tiba menjerit pada saat tertidur. Nyeri yang
dirasakan dapat bertambah hebat dan anak tampak memegang telinganya yang
sakit. Pada anak yang lebih besar atau dewasa, selain rasa nyeri terdapat pula
gejala berupa gangguan pendengaran dan rasa penuh di bagian dalam telinga.
Apabila terjadi robekan pada membran timpani (gendang telinga), maka nanah
akan mengalir keluar melalui liang telinga, kemudian suhu tubuh anak menjadi
turun, dan anak tampak tertidur tenang. Penting untuk diingat bahwa Gejala-gejala
tersebut biasanya diawali oleh riwayat batuk pilek atau infeksi saluran pernapasan
atas (ISPA) sebelumnya. PENYEBAB OTITIS MEDIA AKUT Kuman penyebab
otitis media yang tersering adalah bakteri piogenik (menimbulkan nanah), seperti
Streptococcus hemoliticus, Staphylococcus aureus, Pneumococcus dan
Haemophilus influenzae.
Telinga tengah biasanya steril. Kuman yang terdapat di rongga hidung, rongga
mulut dan saluran pernapasan atas dapat masuk ke telinga tengah apabila
mekanisme pencegahan masuknya kuman oleh silia dinding tuba Eustachius
mengalami suatu gangguan. Gangguan tesebut dapat terjadi oleh karena adanya
pembengkakan pada dinding saluran tuba Eustachius akibat infeksi atau reaksi
alergi yang menyebabkan timbulnya sumbatan pada tuba Eustachius,
mengakibatkan kuman yang masuk ke dalam tuba Eustachius menjadi

57
terperangkap, kemudian berkembang biak dan menyebabkan infeksi telinga
tengah dengan cairan yang bernanah. Oleh karena itu apabila seorang anak sering
menderita ISPA, maka akan semakin besar kemungkinan anak tersebut untuk
menderita OMA, disamping oleh karena sistem kekebalan tubuh anak yang belum
berkembang secara sempurna. Pada bayi terjadinya OMA dapat dipermudah oleh
karena bentuk tuba eustachius yang pendek, lebar, dan letaknya agak horizontal,
yang menyebabkan kuman menjadi lebih mudah untuk masuk ke telinga tengah.
 PENATALAKSANAAN
Mengingat seringnya ISPA menimbulkan komplikasi infeksi telinga
maka penatalaksanaan yang dapat dilakukan yaitu : Mengupayakan untuk
memberikan anak makanan-makanan yang bergizi guna meningkatkan daya tahan
tubuh. Penggunaaan obat-obatan sesuai resep dokter Obat tetes hidung dapat
diberikan untuk membuka kembali saluran tuba eustachius yang tersumbat.
Pada otitis media yang disertai keluarnya cairan nanah dari telinga
dapat diberikan obat cuci telinga selama 3-5 hari dan antibiotik tetes telinga
selama 3 minggu Paracetamol sesuai dosis dapat diberikan untuk menurunkan
panas dan mengurangi nyeri yang dirasakan anak Sesuai dengan bakteri penyebab
tersering, antibiotik golongan Penisilin atau eritromisin sesuai dosis dapat
diberikan pada penderita OMA selama 10-14 hari Miringotomi, yaitu suatu
prosedur medis yang dilakukan oleh dokter ahli THT dengan membuat sebuah
lubang kecil pada gendang telinga yang bertujuan untuk mengeluarkan cairan
nanah dari telinga tengah.
Miringotomi dilakukan pada anak dengan OMA yang memiliki gejala
nyeri yang hebat, dengan demam tinggi, dan gendang telinga yang menonjol,
untuk mencegah terjadinya robekan pada gendang telinga, karena lubang tempat
gendang telinga yang robek kadang tidak dapat menutup kembali terutama pada
anak usia lebih dari 12 tahun atau dewasa. Kontrol teratur ke dokter untuk
memeriksakan membran timpani (gendang telinga) selama 2-4 minggu sampai
terjadi resolusi (penutupan kembali).

58
 KOMPLIKASI
Apabila tidak diobati dengan cepat dan tepat, Otitis Media Akut dapat
berkembang menjadi Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) dengan robekan
gendang telinga menetap yang disertai nanah yang keluar terus menerus atau
hilang timbul. Apabila infeksi telinga berlangsung terus-menerus, OMSK dapat
menimbulkan kerusakan pada tulang pendengaran yang dapat menimbulkan abses
sub-periosteal, mastoiditis akut, dan paralisis nervus fasialis.

59
JURNAL OTITIS MEDIA AKUT (OMA)
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang
Penatalaksanaan Otitis Media Akut

Jacky Munilson, Yan Edward, Yolazenia

Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)


Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang

Abstrak
Latar belakang : Penyakit otitis media akut (OMA) masih
merupakan masalah kesehatan khususnya pada anak-anak.
Penatalaksanaan OMA mendapat sejumlah tantangan unik. Tujuan :
untuk mengetahui penatalaksanaan yang tepat pada otitis media akut.
Tinjauan pustaka : Otitis media akut adalah peradangan akut telinga
tengah. Diagnosis OMA dapat ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan yang cermat menggunakan otoskop, otoskop pneumatik,
timpanometri, dan timpanosintesis. Pilihan penatalaksanaan OMA
berupa observasi dengan menghilangkan gejala (simtomatis) khususnya
nyeri dengan analgetik, dan antibiotik. Penggunaan antihistamin,
dekongestan dan kortikosteroid sebagai terapi tambahan pada OMA
belum ada bukti yang mendukung tentang manfaatnya. Bila perlu,
dilakukan timpanosintesis dan / atau miringotomi. Berkembangnya
pengetahuan baru tentang patogenesis OMA, perubahan pola resistensi,
dan penggunaan vaksin baru memunculkan tantangan yang lebih lanjut
pada penatalaksanaan efektif pada OMA. Kesimpulan: Pemilihan terapi
yang tepat pada OMA tergantung pada umur pasien, kepastian diagnosis
dan berat-ringannya penyakit.

Kata kunci: otitis media akut,


telinga tengah, timpanosintesis,
miringotomi Abstract
Background: Acute otitis media (AOM) still remains health
problem especially in children. Treatments of AOM get some unique
challenges. Purpose: to know the best treatment of AOM. Literature
review: Acute otitis media is the acute inflammation of the middle ear.
Diagnosis can be made by anamnesis, the careful examination using
otoscopy, pneumatic otoscopy, tympanometry, and tympanocentesis. The
choice of treatments of AOM are observationally with symptomatic relieve
using analgetic, and antibiotic. The use of antihistamine, decongestant and
corticosteroid as adjunctive treatment of AOM are no evidence to prove the

60
advantage of it. If needed, tympanocentesis and / or myringotomy can be
performed. Together with development of knowledge about pathogenesis,
drug resistance, and the use of vaccine make further challenge to effective
treatment of AOM. Conclusion: the choice of the right treatments of AOM
depend on the age of patient, certain diagnosis and the degree of disease.

Key words : acute otitis media, middle ear, tympanocentesis, myringotomy

61
Korespondensi: dr.Yolazenia:
yolazenia@gmail.com tanpa komplikasi berupa observasi dengan
menghilangkan nyeri (menggunakan
PENDAHULUAN
asetaminofen atau ibuprofen), dan / atau
Otitis media akut (OMA) adalah antibiotik.5 Di Amerika Serikat (AS),
peradangan akut telinga tengah. Penyakit kebanyakan anak dengan OMA secara rutin
ini masih merupakan masalah kesehatan mendapat antibiotik.6 Cepatnya
khususnya pada anak-anak. Diperkirakan perubahan spektrum patogen
70% anak mengalami satu atau lebih menyebabkan sulitnya pemilihan terapi
episode otitis media menjelang usia 3 yang paling sesuai. Berkembangnya
tahun. Penyakit ini terjadi terutama pada pengetahuan baru tentang patogenesis
anak dari baru lahir sampai umur sekitar 7 OMA, perubahan pola resistensi, dan
tahun, dan setelah itu insidennya mulai penggunaan vaksin baru memunculkan
berkurang.1 tantangan yang lebih lanjut pada
Anak umur 6-11 bulan lebih rentan penatalaksanaan efektif pada OMA.7 Food
menderita OMA. Insiden sedikit lebih tinggi and Drug Administration (FDA) menyetujui
pada anak laki-laki dibanding perempuan. penggunaan vaksin pneumokokus
Sebagian kecil anak menderita penyakit ini konjugat sebagai cara baru dalam
pada umur yang sudah lebih besar, pada menurunkan prevalensi OMA dan
umur empat dan awal lima tahun. mencegah sekuele dari infeksi telinga.8
Beberapa bersifat individual dapat Beberapa peneliti dari Eropa Barat,
berlanjut menderita episode akut pada Inggris, dan AS menyarankan bahwa anak
masa dewasa. Kadang-kadang, orang dengan OMA dapat diobservasi saja
dewasa dengan infeksi saluran pernafasan daripada diterapi segera dengan
akut tapi tanpa riwayat sakit pada telinga antibiotik.9 Di Belanda, pengurangan
dapat menderita OMA.2 penggunaan antibiotik untuk OMA sudah
Faktor-faktor risiko terjadinya OMA dipraktekkan sejak tahun 1990an.10 Pada
adalah bayi yang lahir prematur dan berat tahun 2004, American Academy of
badan lahir rendah, umur (sering pada Pediatrics dan the American Academy of
anak-anak), anak yang dititipkan ke Family Physicians mengeluarkan
penitipan anak, variasi musim dimana rekomendasi diagnosis dan
OMA lebih sering terjadi pada musim penatalaksanaan OMA. Menurut petunjuk
gugur dan musim dingin, predisposisi rekomendasi ini, observasi
genetik, kurangnya asupan air susu ibu, direkomendasikan tergantung pada umur
imunodefisiensi, gangguan anatomi seperti pasien, kepastian diagnosis dan berat-
celah palatum dan anomali kraniofasial ringannya penyakit.11,12 Sekitar 80%
lain, alergi, lingkungan padat, sosial anak sembuh tanpa antibiotik dalam waktu
ekonomi rendah, dan posisi tidur 3 hari.13
tengkurap. 1-4
Penatalaksanaan OMA tanpa
komplikasi mendapat sejumlah tantangan
unik. Pilihan terapi OMA
1

62
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Bayangan penonjolan bagian
Kepala Leher (THT-KL) Fakultas bawah maleus pada memban timpani
Kedokteran Universitas Andalas Padang disebut sebagai umbo. Dari umbo
bermula suatu reflek cahaya ke arah
DEFINISI bawah yaitu pada pukul 7 untuk
Otitis media adalah suatu membran timpani kiri dan pukul 5
peradangan sebagian atau seluruh mukosa untuk membran timpani kanan
telinga tengah.1,14 Otitis media akut (Gambar 1). Membran timpani dibagi
didefinisikan bila proses peradangan pada menjadi 4 kuadran, dengan menarik
telinga tengah yang terjadi secara cepat garis searah dengan prosesus longus
dan singkat (dalam waktu kurang dari 3 maleus dan garis yang tegak lurus
minggu) yang disertai dengan gejala lokal pada garis itu di umbo, sehingga
dan sistemik.1,2,15 didapatkan bagian atas-depan, atas-
belakang, bawah-depan serta bawah-
ANATOMI belakang, untuk menyatakan letak
Telinga tengah berbentuk kubus perforasi membran timpani. Di dalam
dengan: 14 telinga tengah terdapat tulang-tulang
- Batas luar : membran timpani pendengaran yaitu maleus, inkus dan
- Batas depan : tuba Eustachius stapes.14
- Batas bawah : vena jugularis Sumbatan pada tuba Eustachius
- Batas belakang: aditus ad antrum, merupakan faktor utama penyebab
kanalis fasialis pars vertikalis terjadinya OMA. Tuba eustachius
- Batas atas : tegmen timpani meluas sekitar 35 mm dari sisi
(meningen/otak) anterior rongga timpani ke sisi
- Batas dalam : kanalis semi sirkularis posterior nasofaring dan berfungsi
horizontal, untuk ventilasi, membersihkan dan
kanalis fasialis, tingkap lonjong, melindungi telinga tengah. Lapisan
tingkap bundar dan promontorium mukosa tuba dipenuhi oleh sel
Peradangan pada telinga tengah mukosiliar, penting untuk fungsi
dapat dilihat dari membran timpani. pembersihannya. Bagian dua pertiga
Membran timpani merupakan sebuah antromedial dari tuba Eustachius
kerucut yang tidak teratur, puncaknya berisi fibrokartilaginosa, sedangkan
dibentuk oleh umbo. Membran timpani sisanya adalah tulang. Dalam keadaan
orang dewasa berdiameter sekitar 9 mm istirahat, tuba tertutup. Pembukaan
dan membentuk sudut lancip yang tuba dilakukan oleh otot tensor veli
berhubungan dengan dinding inferior liang palatini, dipersarafi oleh saraf
telinga luar. Anulus fibrosus dari membran trigeminal. Pada anak, tuba lebih
timpani mengaitkannya pada sulkus pendek, lebih lebar dan lebih
timpanikus. Selain itu, membran timpani horizontal dari tuba orang dewasa
melekat erat pada maleus yaitu pada (Gambar 2). Panjang tuba orang
prosesus lateral dan umbo.16 dewasa 37,5 mm dan pada anak di
Membran timpani dipisahkan bawah 9 bulan adalah 17,5 mm.14,16
menjadi bagian atas pars flaksid (membran
Shrapnell) dan bagian bawah pars tensa
(membran propria).14 Membran timpani
merupakan struktur trilaminar.
Permukaan lateralnya dibentuk oleh epitel
skuamosa, sedangkan lapisan medial
merupakan kelanjutan dari epitel mukosa
dari telinga tengah. Di antara lapisan ini
terdapat lapisan jaringan ikat, yang dikenal
sebagai pars propria. Pars propria di umbo
ini berguna untuk melindungi ujung distal
manubrium.16

63
bakteri penyebab OMA pada pasien yang
berobat di RSCM dan RSAB Harapan Kita
Jakarta pada bulan Agustus 2004 –
Februari 2005 yaitu S.aureus 78,3%,
S.pneumoniae 13%, dan H.influenza
8,7%.20
Virus terdeteksi pada sekret
pernafasan pada 40-90% anak dengan
OMA, dan terdeteksi pada 20-48% cairan
telinga tengah anak dengan OMA. Virus
yang sering sebagai penyebab OMA adalah
respiratory syncytial virus. Selain itu bisa
disebabkan virus
2

Gambar 1. Membran timpani normal pada


telinga kanan. 1 = pars flaksid; 2 = prosesus
brevis maleus; 3 = tangan dari maleus;4 =
umbo; 5 = resesus supratuba; 6 = orifisium
tuba; 7 = sel udara hipotimpani; 8 = tendon
stapedius; c = chorda tympani; I = inkus; P =
promontorium;o=oval window; R=round
window; T = tensor timpani; A = anulus.17

Gambar 2. Perbedaan anatomi tuba Eustachius


pada anak dan dewasa.14

ETIOLOGI
Otitis media akut bisa disebabkan oleh
bakteri dan virus. Bakteri yang paling sering
ditemukan adalah Streptococcus pneumaniae,
diikuti oleh Haemophilus influenza, Moraxella
catarrhalis, Streptococcus grup A, dan
Staphylococcus aureus. Beberapa
mikroorganisme lain yang jarang ditemukan
adalah Mycoplasma pneumaniae, Chlamydia
pneumaniae, dan Clamydia tracomatis.1,5,18
Broides et al menemukan prevalensi
bakteri penyebab OMA adalah H.influenza 48%,
S.pneumoniae 42,9%, M.catarrhalis 4,8%,
Streptococcus grup A 4,3% pada pasien usia
dibawah 5 tahun pada tahun 1995-2006 di
Negev, Israil.19 Sedangkan Titisari menemukan
64
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Pada stadium ini tampak pembuluh
Kepala Leher (THT-KL) Fakultas darah yang melebar di sebagian atau
Kedokteran Universitas Andalas Padang seluruh membran timpani, membran
timpani tampak hiperemis disertai
parainfluenza (tipe 1,2, dan 3), influenza A edem.
dan B, rinovirus, adenovirus, enterovirus, 3. Stadium Supurasi
dan koronavirus. Penyebab yang jarang Stadium ini ditandai edem yang hebat
yaitu sitomegalovirus dan herpes simpleks. telinga tengah disertai hancurnya sel
Infeksi bisa disebabkan oleh virus sendiri epitel superfisial serta terbentuknya
atau kombinasi dengan bakteri lain.5,21 eksudat purulen di kavum timpani
sehingga membran timpani tampak
PATOFISIOLOGI menonjol (bulging) ke arah liang
Otitis media akut terjadi karena telinga luar.
terganggunya faktor pertahanan tubuh. 4. Stadium Perforasi
Sumbatan pada tuba Eustachius Pada stadium ini terjadi ruptur
merupakan faktor utama penyebab membran timpani sehingga nanah
terjadinya keluar dari telinga tengah ke liang
penyakit ini. Dengan terganggunya fungsi telinga.
tuba Eustachius, terganggu pula 5. Stadium Resolusi
pencegahan invasi kuman ke dalam telinga Pada stadium ini membran timpani
tengah sehingga kuman masuk dan terjadi berangsur normal, perforasi membran
peradangan. Gangguan fungsi tuba timpani kembali menutup dan sekret
Eustachius ini menyebabkan terjadinya purulen tidak ada lagi. Bila daya tahan
tekanan negatif di telingah tengah, yang tubuh baik atau virulensi kuman
menyebabkan transudasi cairan hingga rendah maka resolusi dapat terjadi
supurasi. Pencetus terjadinya OMA adalah walaupun tanpa pengobatan.
infeksi saluran pernafasan atas (ISPA). Ada juga yang membagi OMA
1,14,22,23 menjadi 5 stadium yang sedikit
Makin sering anak-anak terserang berbeda yaitu: 1. stadium kataralis; 2.
ISPA, makin besar kemungkinan terjadinya stadium eksudasi; 3. stadium supurasi;
OMA. Pada bayi dan anak terjadinya OMA 4. stadium penyembuhan; dan 5.
dipermudah karena: 1. morfologi tuba stadium komplikasi.25
eustachius yang pendek, lebar, dan
letaknya agak horizontal; 2. sistem DIAGNOSIS
kekebalan tubuh masih dalam Diagnosis OMA harus
perkembangan; 3. adenoid pada anak memenuhi tiga hal
relatif lebih besar dibanding orang dewasa berikut: 1.Penyakitnya muncul
dan sering terinfeksi sehingga infeksi mendadak (akut);
dapat menyebar ke telinga tengah.24
Beberapa faktor lain mungkin juga
berhubungan dengan terjadinya penyakit 2. Ditemukannya tanda efusi di telinga
telinga tengah, seperti alergi, disfungsi tengah. Efusi dibuktikan dengan
siliar, penyakit hidung dan/atau sinus, dan adanya salah satu di antara tanda
kelainan sistem imun.1,22,23 berikut: menggembungnya gendang
telinga, terbatas / tidak adanya
KLASIFIKASI gerakan gendang telinga, adanya
Ada 5 stadium OMA berdasarkan bayangan cairan di belakang
pada perubahan mukosa telinga tengah, gendang telinga, cairan yang keluar
yaitu: 14 1. Stadium Oklusi dari telinga; 3. Adanya tanda /
Stadium ini ditandai dengan gambaran gejala peradangan telinga tengah,
retraksi membran timpani akibat tekanan yang dibuktikan dengan adanya
negatif telinga tengah. Membran timpani salah satu di antara tanda berikut:
kadang tampak normal atau berwarna kemerahan pada gendang telinga,
suram. nyeri telinga yang mengganggu
2. Stadium Hiperemis tidur dan aktivitas

65
normal. 11,12 Diagnosis OMA dapat ditegakkan telinga luar. Timpanometri punya
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang sensitivitas dan spesifisitas 70-90% untuk
cermat. Gejala yang timbul bervariasi deteksi cairan telinga tengah, tetapi
bergantung pada stadium dan usia pasien. Pada tergantung kerjasama pasien.23
anak – anak umumnya keluhan berupa rasa Timpanosintesis, diikuti aspirasi
nyeri di telinga dan demam. Biasanya ada dan kultur cairan dari telinga tengah,
riwayat infeksi saluran pernafasan atas bermanfaat pada anak yang
sebelumnya. Pada remaja atau orang dewasa
biasanya selain nyeri terdapat gangguan 3
pendengaran dan telinga terasa penuh. Pada
bayi gejala khas adalah panas yang tinggi, anak
gelisah dan sukar tidur, diare, kejang-kejang
dan sering memegang telinga yang sakit.
1,14,18
Beberapa teknik pemeriksaan dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis OMA,
seperti otoskop, otoskop pneumatik,
timpanometri, dan timpanosintesis. Dengan
otoskop dapat dilihat adanya gendang telinga
yang menggembung, perubahan warna
gendang telinga menjadi kemerahan atau agak
kuning dan suram, serta cairan di liang
telinga.1,15,23

Gambar 3. Otitis media akut, tampak


membran timpani eritem dan bulging.1

Jika konfirmasi diperlukan, umumnya


dilakukan dengan otoskopi pneumatik.
Gerakan gendang telinga yang berkurang atau
tidak ada sama sekali dapat dilihat dengan
pemeriksaan ini.1,15 Pemeriksaan ini
meningkatkan sensitivitas diagnosis OMA.
Namun umumnya diagnosis OMA dapat
ditegakkan dengan otoskop biasa.1,23
Untuk mengkonfirmasi penemuan
otoskopi pneumatik dilakukan timpanometri.
Timpanometri dapat memeriksa secara objektif
mobilitas membran timpani dan rantai tulang
pendengaran.1 Timpanometri merupakan
konfirmasi penting terdapatnya cairan di
telinga tengah. Timpanometri juga dapat
mengukur tekanan telinga tengah dan dengan
mudah menilai patensi tabung miringotomi
dengan mengukur peningkatan volume liang

66
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah timpani menonjol dan masih utuh
Kepala Leher (THT-KL) Fakultas untuk mencegah perforasi.
Kedokteran Universitas Andalas Padang 4. Stadium Perforasi : Diberikan H2O2
3% selama 3-5 hari dan diberikan
gagal diterapi dengan berbagai antibiotika, antibiotika yang adekuat.
atau pada imunodefisiensi.18 Pada tahun 2004, American
Timpanosintesis merupakan standar emas Academy of Pediatrics dan the
untuk menunjukkan adanya cairan di American Academy of Family
telinga tengah dan untuk mengidentifikasi Physicians mengeluarkan rekomendasi
patogen yang spesifik.23 penatalaksanaan OMA. Petunjuk
Menurut beratnya gejala, OMA rekomendasi ini ditujukan pada anak
dapat diklasifikasi menjadi OMA berat dan usia 6
tidak berat. OMA berat apabila terdapat bulan sampai 12 tahun. Pada petunjuk
otalgia sedang sampai berat, atau demam ini di rekomendasikan bayi berumur
dengan suhu lebih atau sama dengan 39oC kurang dari 6 bulan mendapat
oral atau 39,5oC rektal, atau keduanya. antibiotika, dan pada anak usia 6-23
Sedangkan OMA tidak berat apabila bulan observasi merupakan pilihan
terdapat otalgia ringan dan demam dengan pertama pada penyakit yang tidak
suhu kurang dari 39oC oral atau 39,5oC berat atau diagnosis tidak pasti,
rektal, atau tidak demam.15 antibiotika diberikan bila diagnosis
pasti atau penyakit berat. Pada anak
PENATALAKSANAAN diatas 2 tahun mendapat antibiotika
Tujuan penatalaksanaan OMA jika penyakit berat. Jika diagnosis
adalah mengurangi gejala dan rekurensi.18 tidak pasti, atau penyakit tidak berat
Pada fase inisial penatalaksanaan dengan diagnosis pasti observasi
ditujukan pada penyembuhan gejala yang dipertimbangkan sebagai pilihan
berhubungan dengan nyeri dan demam terapi.11,12
dan mencegah komplikasi supuratif seperti
mastoiditis atau meningitis.26 Observasi
Penatalaksanaan medis OMA menjadi Spiro dkk,28 membuktikan
kompleks disebabkan perubahan patogen bahwa penanganan OMA dengan
penyebab. Diagnosis yang tidak tepat dapat menunggu dan melihat (observasi)
menyebabkan pilihan terapi yang tidak secara bermakna menurunkan
tepat. Pada anak di bawah dua tahun, hal penggunaan antibiotik pada populasi
ini bisa menimbulkan komplikasi yang urban yang datang ke instalasi gawat
serius. Diagnosis yang tidak tepat dapat darurat. Metoda menunggu dan
menyebabkan pasien diterapi dengan melihat menurunkan penggunaan
antibotik yang sebenarnya kurang tepat antibiotik pada 56% anak usia 6 bulan
atau tidak perlu. Hal ini dapat sampai 12 tahun dengan OMA.28
menyebabkan meningkatnya resistensi
antibiotik, sehingga infeksi menjadi lebih
sulit diatasi.7
Penatalaksanaan OMA di bagian
THT-KL RSUP Dr.M.Djamil Padang
tergantung pada stadium penyakit yaitu:27
1. Stadium Oklusi : diberikan obat tetes
hidung HCL efedrin 0,5%, dan
pemberian antibiotik.
2. Stadium Presupurasi : analgetika,
antibiotika (biasanya golongan
ampicillin atau penisilin) dan obat tetes
hidung.
3. Stadium Supurasi : diberikan antibiotika
dan obat-obat simptomatik. Dapat juga
dilakukan miringotomi bila membran
67
ditimbulkan oleh antibiotik dan
menurunkan resistensi kuman terhadap
antibiotik yang umum digunakan.28
Penelitian sebelumnya yang dilakukan Di bagian THT-KL RSUP Dr.M.Djamil
McCormick dkk,29 menunjukkan kepuasan Padang belum menerapkan metoda
orang tua sama antara grup yang diterapi
observasi pada penderita OMA mengingat
dengan observasi tanpa mendapat antibiotik masih kontroversinya metoda ini dan
dengan yang mendapat antibiotik pada belum ada data mengenai pola kuman
penanganan OMA. Dibanding dengan observasi penyebab OMA.
saja, pemberian antibiotik segera berhubungan
dengan penurunan jumlah kegagalan terapi Terapi simtomatis
dan memperbaiki kontrol gejala tetapi Penatalaksanaan OMA harus
meningkatkan efek samping yang disebabkan memasukkan penilaian adanya nyeri. Jika
antibiotik dan persentase yang lebih tinggi terdapat nyeri, harus memberikan terapi
terhadap strain multidrug resistant untuk mengurangi nyeri tersebut.
S.pneumoniae di nasofaring pada hari Penanganan nyeri harus dilakukan
keduabelas kunjungan.29 terutama dalam 24 jam pertama onset
Indikasi untuk protokol observasi OMA tanpa memperhatikan penggunaan
adalah: tidak ada demam, tidak ada muntah, antibiotik. Penanganan nyeri telinga pada
pasien atau orang tua pasien menyetujui OMA dapat menggunakan analgetik
penundaan pemberian antibiotik. Kontra seperti: asetaminofen, ibuprofen, preparat
indikasi relatif protokol observasi adalah telah topikal seperti benzokain, naturopathic
mendapat lebih dari 3 seri antibiotik dalam 1 agent, homeopathic agent, analgetik
tahun ini, pernah mendapat antibiotik dalam 2 narkotik dengan kodein atau analog, dan
minggu terakhir, terdapat otorea.30 timpanostomi / miringotomi. 11,13,18
Pilihan observasi ini mengacu pada Di bagian THT-KL RSUP Dr.M.Djamil
penundaan pemberian antibiotik pada anak Padang pada penderita OMA khususnya
terpilih tanpa komplikasi untuk 72 jam atau stadium presupurasi dan supurasi
lebih, dan selama waktu itu, penatalaksanaan diberikan analgetik karena pada stadium
terbatas pada analgetik dan simtomatis ini umumnya penderita merasakan nyeri
lain.26,30 Pemberian antibiotik dimulai jika pada telinga. Pada
pada hari ketiga gejala menetap atau
bertambah.30 4
Faktor-faktor kunci dalam menerapkan
strategi observasi adalah: metoda untuk
mengklasifikasi derajat OMA, pendidikan orang
tua, penatalaksanaan gejala OMA, akses ke
sarana kesehatan, dan penggunaan regimen
antibiotik yang efektif jika diperlukan. Jika hal
tersebut diperhatikan, observasi merupakan
alternatif yang dapat diterima untuk anak
dengan OMA yang tidak berat.29

Metoda observasi ini masih menjadi


kontroversi pada kalangan dokter anak di AS
yang secara rutin masih meresepkan antibiotik
untuk OMA dan percaya bahwa banyak orang
tua mengharapkan resep tersebut. Sebagian
kecil dokter sudah menerapkan metoda
observasi.31 Sebagian orang tua dapat
menerima penerapan terapi observasi dengan
pengontrolan nyeri sebagai terapi OMA,
sehingga penggunaan antibiotik dapat
diturunkan.32 Penggunaan metoda observasi
secara rutin untuk terapi OMA dapat
menurunkan biaya dan efek samping yang
68
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah berat dan bila mendapat infeksi β-
Kepala Leher (THT-KL) Fakultas laktamase positif Haemophilus
Kedokteran Universitas Andalas Padang influenzae dan Moraxella catarrhalis
terapi dimulai dengan amoksisilin-
stadium supurasi bila membran timpani klavulanat dosis tinggi (90 mg/kg/hari
menonjol dan masih utuh dianjurkan untuk amoksisilin, 6,4 mg/kg/hari
untuk melakukan miringotomi.27 klavulanat dibagi 2 dosis). Jika pasien
Antihistamin dapat membantu alergi amoksisilin dan reaksi alergi
mengurangi gejala pada pasien dengan bukan reaksi hipersensitifitas
alergi hidung. Dekongestan oral berguna (urtikaria atau anafilaksis), dapat
untuk mengurangi sumbatan hidung. diberi cefdinir (14 mg/kg/hari dalam
Tetapi 1 atau 2 dosis), cefpodoksim (10
baik antihistamin maupun dekongestan mg/kg/hari 1 kali/hari) atau
tidak memperbaiki penyembuhan atau cefuroksim (20 mg/kg/hari dibagi 2
meminimalisir komplikasi dari OMA, dosis). Pada kasus reaksi tipe I
sehingga tidak rutin (hipersensitifitas), azitromisin (10
direkomendasikan.18,26,33 mg/kg/hari pada hari 1 diikuti 5
Manfaat pemberian kortikosteroid mg/kg/hari untuk 4 hari sebagai dosis
pada OMA juga masih kontroversi.18,26,34 tunggal harian) atau klaritromisin (15
Dasar pemikiran untuk menggunakan mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi).
kortikosteroid dan antihistamin adalah: Obat lain yang bisa digunakan
obat tersebut dapat menghambat sintesis eritromisin-sulfisoksazol (50
atau melawan aksi mediator inflamasi, mg/kg/hari eritromisin) atau
sehingga membantu meringankan gejala sulfametoksazol-trimetoprim (6-10
pada OMA. Kortikosteroid dapat mg/kg/hari trimetoprim (Tabel
menghambat perekrutan leukosit dan 1).11,18
monosit ke daerah yang terkena, Alternatif terapi pada pasien
mengurangi permeabilitas pembuluh alergi penisilin yang diterapi untuk
darah, dan menghambat sintesis atau infeksi yang diketahui atau diduga
pelepasan mediator inflamasi dan sitokin. disebabkan penisilin resistan
Tetapi penelitian Chonmaitree dkk S.pneumoniae dapat diberikan
menunjukkan tidak ada manfaat yang jelas klindamisin 30-40 mg/kg/hari dalam
pemakaian kortikosteroid dan 3 dosis terbagi. Pada pasien yang
antihistamin, sendiri atau dalam kombinasi muntah atau tidak tahan obat oral
pada pasien yang memakai dapat diberikan dosis tunggal
antibiotik.34,35 parenteral ceftriakson 50 mg/kg
Di bagian THT-KL RSUP Dr.M.Djamil (Tabel 1).11
Padang penggunaan antihistamin dan Hoberman dkk menunjukkan
kortikosteroid juga tidak rutin dilakukan, bahwa terapi dengan amoksisilin-
tetapi masih menganjurkan penggunaan klavulanat selama 10 hari pada anak
dekongestan topikal (Efedrin HCL 0,5%) usia 6 – 23 bulan dapat menurunkan
terutama untuk mengatasi sumbatan waktu penyembuhan gejala dan tanda
hidung.27 infeksi akut pada pemeriksaan
otoskop.6 Demikian juga hasil
Terapi antibiotik penelitian Tahtinen dkk pada anak 6 –
Antibiotik direkomendasikan untuk 35 bulan menunjukkan
semua anak di bawah 6 bulan, 6 bulan – 2
tahun jika diagnosis pasti, dan untuk
semua anak besar dari dua tahun dengan
infeksi berat (otalgia sedang atau berat
atau suhu tubuh lebih dari 39oC ).11,18
Jika diputuskan perlunya
pemberian antibiotik, lini pertama adalah
amoksisilin dengan dosis 80-90
mg/kg/hari. Pada pasien dengan penyakit
69
dengan osteitis. Beberapa terapi bedah
yang digunakan untuk penatalaksanaan
OMA termasuk timpanosintesis,
keuntungan pada anak yang diterapi dengan miringotomi, dan adenoidektomi.8
antibiotik dibandingkan dengan plasebo. 36 Timpanosintesis adalah
Jika pasien tidak menunjukkan respon pengambilan cairan dari telinga tengah
pada terapi inisial dalam 48 -72 jam, harus dengan menggunakan jarum untuk
diperiksa ulang untuk mengkonfirmasi OMA pemeriksaan mikrobiologi. Risiko dari
dan menyingkirkan penyebab lain. Jika OMA prosedur ini adalah perforasi kronik
terkonfirmasi pada pasien yang pada awalnya membran timpani, dislokasi tulang-tulang
diterapi dengan observasi, harus dimulai pendengaran, dan tuli sensorineural
pemberian antibiotik. Jika pasien pada awalnya traumatik, laserasi nervus fasialis atau
sudah diberi antibiotik, harus diganti dengan korda timpani.26,38 Oleh karena itu,
antibiotik lini kedua, seperti amoksisilin- timpanosintesis harus dibatasi pada: anak
klavulanat dosis tinggi, sefalosporin, dan yang menderita toksik atau demam tinggi,
makrolid.11,18 neonatus risiko tinggi dengan
Waktu yang optimum dalam terapi OMA kemungkinan OMA, anak di unit perawatan
masih kontroversi.11,32,37 Terapi jangka intensif, membran timpani yang
pendek (3 hari azitromisin, 5 hari antibiotik menggembung (bulging) dengan antisipasi
lain) adalah pilihan untuk anak umur diatas 2 ruptur spontan (indikasi relatif),
tahun dan terapi paket penuh (5 hari kemungkinan OMA dengan komplikasi
azitromisin, 7-10 hari antibiotik lain) lebih baik supuratif akut, OMA refrakter yang tidak
untuk anak yang lebih muda.26,37 Terdapat respon terhadap paket kedua antibiotik.
beberapa keuntungan dari terapi jangka 11,26,38
pendek yaitu: kurangnya biaya, efek samping Timpanosintesis dapat
lebih sedikit, komplian lebih baik dan pengaruh mengidentifikasi patogen pada 70-80%
terhadap flora komensal dapat diturunkan.37 kasus. Walaupun timpanosintesis dapat
Terapi antibiotik jangka panjang dapat memperbaiki kepastian diagnostik untuk
mencegah rekurensi dari OMA. Pertanyaan OMA, tapi tidak memberikan keuntungan
antibiotik apa yang akan digunakan, untuk terapi dibanding antibiotik sendiri.
berapa lama, dan berapa episode OMA untuk Timpanosintesis merupakan prosedur
menilai terapi belum dievaluasi secara
adekuat.13
Timbulnya resistensi bakteri telah 5
memunculkan pemikiran risiko dibanding
keuntungan dalam meresepkan antibiotik
untuk seluruh OMA. Risiko antibiotik termasuk
reaksi alergi, gangguan pencernaan,
mempercepat resistensi bakteri dan perubahan
pola flora bakteri di nasofaring. Hal tersebut
menyebabkan penggunaan antibiotik
dianjurkan berdasarkan hasil
timpanosintesis.26
Di bagian THT-KL RSUP Dr.M.Djamil
Padang, antibiotik merupakan terapi rutin yang
diberikan pada penderita OMA pada semua
stadium tanpa memandang umur atau berat-
ringan penyakit.27

Terapi bedah
Walaupun observasi yang hati-hati dan
pemberian obat merupakan pendekatan
pertama dalam terapi OMA, terapi pembedahan
perlu dipertimbangkan pada anak dengan OMA
rekuren, otitis media efusi (OME), atau
komplikasi supuratif seperti mastoiditis
70
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Administration (FDA) yang dapat
Kepala Leher (THT-KL) Fakultas menginduksi respon imun lama
Kedokteran Universitas Andalas Padang terhadap Pneumococcus serotipe 4, 6B,
9V, 14, 18C, 19F, dan 23F (PCV-7).
yang invasif, dapat menimbulkan nyeri, Serotipe ini dipilih berdasarkan
dan berpotensi menimbulkan bahaya frekuensinya yang sering ditemukan
sebagai penatalaksanaan rutin. 26 pada penyakit pneumokokus invasif
Miringotomi adalah tindakan insisi dan hubungannya dengan organisme
pada membran timpani untuk drainase yang mutltidrug-resistant.8
8,42
cairan dari telinga tengah.8,39 Pada Data dari penelitian di AS-44
miringotomi dilakukan pembedahan kecil dari 500 pasien dengan OMA
di kuadran posterior-inferior membran menunjukkan bahwa 84% dari total
timpani. Untuk tindakan ini diperlukan pneumokokus dan 95% serotipe yang
lampu kepala yang terang, corong telinga resisten antibiotik diisolasi dari
yang sesuai, dan pisau khusus aspirasi telinga tengah merupakan
(miringotom) dengan ukuran kecil dan kandungan dari vaksin konyugat. 40
steril.14
Dosis primer pemberian vaksin
Miringotomi hanya dilakukan pada
adalah empat dosis tunggal 0,5 ml
kasus-kasus terpilih dan dilakukan oleh
intramuskular. Selama pemberian pada
ahlinya.31 Disebabkan insisi biasanya 8,4
23 juta vaksin dosis di AS, reaksi lokal2-
sembuh dengan cepat (dalam 24-48 jam),
dan demam merupakan efek samping
prosedur ini sering diikuti dengan
umum.41
pemasangan tabung timpanostomi untuk Rekomendasi imunisasi universal
ventilasi ruang telinga tengah.26,39 pada anak dibawah umur 2 tahun adalah 4
Indikasi untuk miringotomi adalah dosis vaksin intramuskular yang diberikan
terdapatnya komplikasi supuratif, otalgia pada usia 2, 4, 6, dan terakhir pada usia 12-
15 bulan. Vaksin dini dapat diberikan
berat, gagal dengan terapi antibiotik, bersamaan dengan imunisasi rutin
pasien imunokompromis, neonatus, dan American Academy of Pediatrics
pasien yang dirawat di unit perawatan (AAP) dan Advisory Committee on
intensif. 26,39 Immunization Practices (ACIP)
merekomendasikan penggunaan vaksin 23
Di bagian THT-KL RSUP Dr.M.Djamil valen polisakarida pada anak risiko tinggi
Padang, miringotomi dapat dilakukan pada untuk memperluas cakupan serotipe.
OMA stadium supurasi dengan membrane Vaksinasi selektif pada anak usia 2-5 tahun
timpani yang menonjol dan masih utuh yang tidak punya daya tahan dianjurkan
untuk mencegah perforasi.27 pada pasien dengan risiko tinggi menderita
penyakit invasif pneumokokus, termasuk
Vaksin untuk mencegah OMA penyakit sel sabit, HIV, dan penyakit
Vaksin dapat digunakan untuk kronik lainnya. Vaksin pneumokokus
konjugat sebaiknya dimasukkan dalam
mencegah anak menderita OMA. Secara strategi penatalaksanaan anak usia 2-5
teori, vaksin terbaik adalah yang tahun yang menderita OMA rekuren. Anak
menawarkan imunitas terhadap semua tersebut memperoleh manfaat dari
patogen berbeda yang menyebabkan OMA. imunisasi dengan vaksin 23-valen
Walaupun vaksin polisakarida polisakarida ini, 8 minggu setelah
mengandung jumlah serotipe yang relatif menyelesaikan paket vaksin konyugat
pneumokokal.
besar, preparat poliksakarida tidak
menginduksi imunitas seluler yang 44
bertahan lama pada anak dibawah 2 tahun.
Pemberian vaksin pneumokokus
Oleh karena itu, strategi vaksin terkini
konjugat ini belum rutin dilakukan di RSUP
untuk mengontrol OMA adalah konjungat
Dr.M.Djamil Padang.
polisakarida peneumokokal dengan
protein nonpneumokokal imunogenik, KOMPLIKASI
pendekatan yang dapat memicu respon Komplikasi dari OMA dapat terjadi
imun yang kuat dan lama pada bayi.8 melalui beberapa mekanisme, yaitu
Vaksin pneumokokus konjugat yang melalui erosi tulang, invasi langsung dan
disetujui oleh Food and Drug tromboflebitis. Komplikasi ini dibagi
71
menjadi komplikasi intratemporal dan Komplikasi tersebut umumnya
intrakranial. Komplikasi intratemporal terdiri sering ditemukan sewaktu belum adanya
dari: mastoiditis akut, petrositis, labirintitis, antibiotik, tetapi pada era antibiotik semua
perforasi pars tensa, atelektasis telinga tengah, jenis komplikasi itu biasanya didapatkan
paresis fasialis, dan gangguan pendengaran. sebagai komplikasi dari otitis media
Komplikasi intrakranial yang dapat terjadi supuratif kronik (OMSK). Penatalaksanaan
antara lain yaitu meningitis, encefalitis, OMA dengan komplikasi ini yaitu dengan
hidrosefalus otikus, abses otak, abses epidural, menggunakan antibiotik spektrum luas,
empiema subdural, dan trombosis sinus dan pembedahan seperti
lateralis.24,45 mastoidektomi.24

72
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang

Gambar 4. Penatalaksanaan OMA11

7
73
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang
Tabel 1. Antibiotik yang direkomendasikan pada pasien yang diterapi inisial dengan
antibiotik atau yang telah gagal 48 – 72 jam pada terapi inisial dengan observasi11

diagnosi Secar gaga terap Secara klinis gagal terapi


Suhu ≥ Pada s pasiena klinis l i pada
ditera denga pada 48-72 jam 48-72 jam setelah terapi
39oC pi inisial nsetelah inisial
dan/ata terapi inisial dengan
u antibiotik pilihan dengan antibiotik
otalgia observasi
rekomend rekomend rekomend Alternatif
berat asi Alternatif asi Alternatif asi untuk
untuk untu alergi
alergi k alergi penisilin
penisilin penisilin
Amoksisili Bukan tipe Amoksisili Bukan tipe Amoksisili Bukan
Tidak n I: n I: n- tipe I:
80-
80-90 cefdinir, 90 cefdinir, klavulanat cetriakson, 3
mg/kg/ha cefuroksi mg/kg/ha cefuroksi
ri m, ri m, 90 hari
cefpodoksi cefpodoksi mg/kg/ha
m m ri Tipe I:
Tip amoksisili klindamisi
e I: Tipe I: n n
azitromisi azitromisi
n, n, dan 6,4
klaritromi klaritromi mg/kg/ha
sin sin ri
klavulanat
Amoksisili Ceftriakso Amoksisili Ceftriakso Ceftriakso Timpanosint
Ya n- n n- n n esis,
1 atau 3 1 atau 3 3 klindamisi
klavulanat hari klavulanat hari hari n
90 90
mg/kg/ha mg/kg/ha
ri ri
amoksisili amoksisili
n n
dan 6,4 dan 6,4
mg/kg/ha mg/kg/ha
ri ri
klavulanat klavulanat
3. Terapi simtomatis terutama untuk
KESIMPULAN penanganan nyeri telinga.
1. Penatalaksanaan OMA meliputi 4. Penggunaan antihistamin,
observasi, terapi simtomatis, antibiotik, dekongestan dan kortikosteroid
timpanosintesis, miringotomi, dan sebagai terapi tambahan pada OMA
pencegahan dengan vaksin belum ada bukti yang meyakinkan.
pneumokokus konjugat. 5. Antibiotik diberikan pada anak di
2. Observasi merupakan pilihan terapi bawah 6 bulan, 6 bulan – 2 tahun
pada anak usia di atas 6 bulan pada jika diagnosis pasti, dan untuk
penyakit yang tidak berat atau diagnosis semua anak besar dari dua tahun
tidak pasti. dengan infeksi berat.
74
6. Timpanosintesis direkomendasi kan
pada anak bila tanda dan gejala OMA 4. Hunt CE, Lesko SM, Vezina RM,
menetap setelah 2 paket terapi McCoy R, Corwin MJ, Mandell F, et
antibiotik. al. Infant sleep position and
7. Miringotomi hanya dilakukan pada associated healh outcomes. Arch
kasus-kasus terpilih dan dilakukan oleh Pediatr Adolesc Med.
ahlinya. 2003;157:469-74.
8. Vaksin pneumokokus konjugat dapat 5. Pichichero ME. First line treatment
diberikan untuk mencegah anak of acute otitis media. In: Alper CM,
menderita OMA. Bluestone CD, Caselbrant ML, Dohar
JE, Mandel EM, editors. Advanced
DAFTAR PUSTAKA therapy of otitis media.
1. Healy GB, Rosbe KW. Otitis media Hamilton:BC Decker Inc;2004. p.
and middle ear effusions. In: Snow 32-8.
JB, Ballenger JJ,eds. Ballenger’s 6. Hoberman A, Paradise JL, Rockette
otorhinolaryngology head and neck HE, Shaikh N, Wald ER, Kearney DH,
surgery. 16th edition. New York: BC et al. Treatment of acute otitis
Decker;2003. p.249-59. media in children under 2 years of
2. Donaldson JD. Acute Otitis Media. age. N Engl J Med. 2011;364(2):105-
Updated Oct 28, 115.
2011. Available from: 7. Jacobs MR. Current considerations
http://www.emedicine.medsc Accesse in the management of acute otitis
ape.com. d
February 6, media. Infectious disease Otitis
2012. Media. US Pediatrics review
3. Kong K, Coates HLC. Natural history, 2007:15-16.
definitions, risk factors and burden of 8. Weber SM, Grundfast KM. Modern
otitis media. MJA.2009;191(9):S39-42. management of acute otitis media.
Pediatr Clin N Am. 2003;50:399-
411.
9. Klein JO. Is acute otitis media a
treatable disease? N Engl J Med.
2011;364(2):168-9.
10. Schilder AGM. Management of acute
otitis media without antibiotics. In:
Alper CM, Bluestone CD, Caselbrant
ML, Dohar JE, Mandel EM, editors.
Advanced therapy of otitis media.
Ontario:BC Decker Inc;2004. p.44-8.
11. American Academy of Pediatrics
and American Academy of Family
Physicians. Diagnosis and
management of acute otitis media.
Clinical practice guideline.
Pediatrics 2004;113(5):1451-1465.
12. Neff MJ. AAP, AAFP release
guideline on diagnosis and
management of acute otitis media.
Am Fam Physician.
2004;69(11):2713-2715.
13. O’Neill P. Clinical evidence acute
otitis media. BMJ
1999;319:833-5.
14. Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD.
Kelainan telinga tengah. Dalam:
Buku ajar ilmu kesehatan telinga
75
hidung tenggorok kepala dan leher. 9.
Edisi keenam. Jakarta: FKUI;2007.p.65-
8

76
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang

15. Bluestone CD. Definition, terminology, and classification. In: Rosenfeld


RM, Bluestone CD,eds. Evidence-based otitis media. 2nd edition.
Ontario:BC Decker Inc;2003.p.120-135.
16. Gulya AJ. Anatomy of the ear and temporal bone. In: Glasscock III ME,
Gulya AJ, editors. Glasscokc-Shambaugh, surgery of the ear. Fifth
edition. Ontario:BC Decker Inc.,2003.p.44.
17. Sanna M, Russo A, De Donato G. Color atlas of otoscopy. From
diagnosis to surgery. New York:Thieme;1999.p.4.
18. Ramakrishnan K, Sparks RA, Berryhill WE. Diagnosis and treatment of
otitis media. Am Fam Physician. 2007;76(11):1650-58.
19. Broides A, Dagan R, Greenberg D, Givon-Lavi N, Leibovitz E. Acute
otitis media caused by Moraxella catarrhalis: Epidemiologic and
clinical characteristic. Clinical Infectious Diseases 2009;49:1641–7.
20. Titisari H. Prevalensi dan sensitivitas Haemophillus influenza pada
otitis media akut di RSCM dan RSAB Harapan Kita [Tesis].
Jakarta:FKUI;2005.
21. Chonmaitree T. Viral otitis media. . In: Alper CM, Bluestone CD,
Caselbrant ML, Dohar JE, Mandel EM, editors. Advanced therapy of
otitis media. Ontario:BC Decker Inc;2004. P.63-8.
22. Darrow DH, Dash N, Derkay CS. Otitis media: concepts and
controversies. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg 2003;11:416-
423.
23. Linsk R, Blackwood A, Cooke J, Harrison V, Lesperance M, Hildebrandt
M. Otitis media. Guidelines for clinical care. UMHS otitis media
guidelin May, 2002: 1-12
24. Ghanie A. Penatalaksanaan otitis media akut pada anak. Tinjauan
pustaka. Palembang: Departemen THT-KL FK Unsri/RSUP
M.Hoesin;2010.
25. Bhargava KB, Bhargava SK, Shah TM. A short textbook of ENT
diseases. 7th edition. Mumbai:USHA publication;2005.p.45-50.
26. Rosenfeld RM. Clinical pathway for acute otitis media. In: Rosenfeld
RM, Bluestone CD,eds. Evidence-based otitis media. 2nd edition.
Ontario:BC Decker Inc;2003. p.280-98.
27. Buku acuan modul telinga. Radang telinga tengah. Edisi pertama.
Kolegium ilmu kesehatan THT-KL, 2008.
28. Spiro DM, Tay, KY, Arnold DH, Dziura JD, Baker MD, Shapiro ED. Wait
and see prescription for the treatment of acute otitis media. A
randomized controlled trial. JAMA 2006;296(10):1235-41.
29. McCormick DP, Chonmaitree T, Pittman C, Saeed K, Friedman NR,
Uchida T, et al. Nonsevere acute otitis media: a clinical trial comparing
outcomes of watchful waiting ersus immediate antibiotic treatment.
Pediatrics 2005;115:1455-65.

77
30. Helmi. Diagnosis dan penatalaksanaan otitis media. Dalam: Satelit
symposium. Penanganan mutakhir kasus telinga hidung tenggorok,
Jakarta, 2003.
31. Finkelstein JA, Stille CJ, Rifas-Shiman SL, Goldman D. Watchful waiting
for acute otitis media: are parents and physicians ready? Pediatrics
2005;115:1466-73.
32. Siegel RM, Kiely M, Bien JP, Joseph EC, Davis JB, Mendel SG, et al.
Treatment of otitis media with observation and a safety-net antibiotic
prescription. Pediatrics 2003;112:527-31.
33. Coleman C, Moore M. Decongestants and antihistamines for
acute otitis media in children.
Cochrane Database of Systematic Reviews 2008 Issue 3.
34. Chonmaitree T, Saeed K, Uchida T, Heikkinen T, Baldwin CD, Freeman
DH, et al. A randomized, placebo-controlled trial of the effect of
antihistamine or corticosteroid treatment in acute otitis media. J
Pediatr.2003;143(3):377.
35. Finn R. Corticosteroids, antihistamins, no use in
AOM. Available from:
http://findarticles.com/p/articles/mi_hb4384/is_9_ 40/ai_n29294275/.
Accessed March 4, 2012.
36. Tahtinen PA, Laine MK, Huovinen P, Jalava J, Ruuskanen o, Ruohola A.
A placebo-controlled trial of antimicrobial treatment for acute otitis
media. N Engl J Med 2011;364(2):116-26.
37. Cohen R, Ovetchkine P, Gehanno P. Short-course antibiotics for acute
otitis media. In: Alper CM, Bluestone CD, Caselbrant ML, Dohar JE,
Mandel EM, editors. Advanced therapy of otitis media. Ontario:BC
Decker Inc;2004. p.39-43.
38. Shaikh N. Hoberman A, Kearney DH, Yellon R. Tympanocentesis in
children with acute otitis media. N Engl J Med 2011. Available from:
http://www.nejm.org.
39. Belmont MJ. Myringotomy and tympanocentesis. In: Alper CM,
Bluestone CD, Caselbrant ML, Dohar JE, Mandel EM, editors. Advanced
therapy of otitis media. Ontario:BC Decker Inc;2004. p.58-62.
40. Joloba ML, Windau A, Bajaksouzian S, Appelbaum PC, Hausdorff WP,
Jacobs MR. Pneumococcal conjugate vaccine serotypes of
Streptococcus pneumoniae isolates and the antimicrobial
susceptibility of such isolates in children with otitis media. Clin Infect
Dis 2001;33:1489-94.
41. Pelton SI, Klein JO. The future of pneumococcal conjugate vaccines for
prevention of pneumococcal disease in infants and children. Pediatrics
2002;110(4):805-14.
42. From the Centers for Disease Control and Prevention. Updated
recommendations on the use of pneumococcal conjugate vaccine in a
setting of vaccine shortage. Advisory committee on immunization
practices. JAMA 2002;287:833-4.

78
43. American Academy of Pediatrics. Comminttee on
Infectious Diseases. Policy statement: recommendations for the
prefention of pneumococcal infections, including the use of pneumococcal
conjugate vaccine, pneumococcal polysaccharide vaccine, and antibiotic
prophylaxis. Pediatrics 2000;106(2 Pt 1):362-6.
44. Zimmerman RK. Pneumococcal conjugate vaccine for young children.
Am Fam Physician 2001;63:1991-8.
45. Priyono H. Restuti RD, Iswara A. Handryastuti S. Komplikasi
intratemporal dan intrakranial pada otitis media akut anak. Laporan kasus.
Jakarta: Departemen THT-KL FKUI/RSC

79
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan YME atas segala


limpahan karuniaNya. sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
kelompok mata kuliah system sensori persepsi. Pada makalah ini kami
akan membahas tentang nursing advokad Otitis Media Akut / Kronik
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang
penulis peroleh dari berbagai sumber yang berkaitan dengan Otitis Media
Akut / Kronik . Tak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada pengajar
mata kuliah system sensori persepsi atas bimbingan dan arahan dalam
penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah
mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis harap dengan membaca makalah ini dapat memberi
manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita,
khususnya bagi penulis. Memang makalah ini masih jauh dari sempurnah,
maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan
menuju arah yang lebih baik.

Penulis

80
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................................................1
Daftar Isi ......................................................................................................2
V. Pendahuluan
C. Latar Belakang.........................................................................................3
D. Rumusan Masalah ...................................................................................3
VI. Pembahasan
P. Definisi ...................................................................................................4
Q. Fungsi Perawat ........................................................................................4
R. Nursing Advokasi ....................................................................................5
S. Prinsip-prinsip Etika keperawatan ...........................................................7
T. Dasar Hukum Advokasi Perawatan .........................................................8
VII. Penutup
C. Simpulan ................................................................................................10
D. Saran ......................................................................................................10
Daftar Pustaka ........................................................................................................11

81
BAB I
PENDAHULUAN
C. LATAR BELAKANG

Perawat adalah orang yang bersama individu selama kebanyakan waktu


kritis kehidupan mereka. Salah satu fungsi dan peran seorang perawat adalah
menjadi advokat bagi pasien. Dalam hal ini peran sebagai advokat pasien
merupakan dasar dan inti dari proses pemberian asuhan keperawatan.
Perawat memiliki komiten yang tinggi untuk memberikan asuhan yang
berkualitas berdasarkan standar perilaku yang etis dalam praktek asuhan
professional. Pengetahuan tentang perilaku etis dimulai dari pendidikan perawat,
dan berlanjut pada diskusi formal maupun informal dengan sejawat atau teman.
Praktik keperawatan, termasuk etika keperawatan mempunyai dasar penting,
seperti advokasi, akuntabilitas, loyalitas kepedulian, rasa haru, dan menghormati
martabat manusia (Purba & Pujiastuti, 2009)

D. RUMUSAN MASALAH

Permasalahan yang diangkat dalam makalah kali ini adalah :


11. Apa yang dimaksud perawat dan perawat advokasi ?
12. Apa fungsi perawat ?
13. Apa yang menjadi bagian dari nursing advokasi ?
14. Apa saja prinsip-prinsip etika perawat ?
15. Bagaimana dasar hukun advokasi perawat ?
16. Bagaimana nursing advokasi di Indonesia ?

82
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Menurut Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun 2014 tentang
Keperawatan, dijelaskan bahwa: “Perawat adalah seseorang yang telah lulus
pendidikan tinggi keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri yang
diakui oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.”
Advokasi adalah melindungi klien atau masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan dan keselamatan praktik tidak sah yang tidak kompeten
dan melanggar etika yang dilakukan oleh siapa pun (WHO, 2005)

B. Fungsi Perawat
Dalam praktik keperawatan, fungsi perawat terdiri dari tiga yaitu sebagai
berikut:
1. Fungsi Independen
Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain,
yaitu perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri
dengan keputusan sendiri dalam melakukan tindakan dalam rangka
memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Contoh : tindakan mandiri perawat seperti mengajarkan klien
menggunkan dan merawat alat pendegaran dengan tepat, melakukan
kompres dingin disekitar telinga klien untuk mengurangi nyeri akibat
proses peradangan yang terjadi.
2. Fungsi Dependen
Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atas
pesan atau instruksi dari perawat lain. Sehingga sebagai tindakan
pelimpahan tugas yang diberikan. Hal ini biasanya dilakukan oleh
perawat spesialis kepada perawat umum, atau dari perawat primer ke
perawat pelaksana.

83
Contoh : perawat dalam melakukan tindakan medis di luar
kewenangan yang ia miliki, harus mendapatkan instruksi sebelumnya
dari dokter spesialis yang menangani pasien secara langsung. Misalnya
perawat melakukan tindakan pemberian obat-obatan analgesic untuk
mengurangi nyeri maka sebelumnya perawat harus mendapatkan
instruksi atau persetujuan dari dokter spesialis yang merawat pasien
tersebut.
3. Fungsi Interdependen
Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling
ketergantungan di antara satu dengan yang lainnya. Fungsi ini dapat
terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerja sama tim dalam
pemberian pelayanan seperti dalam memberikan asuhan keperawatan
pada penderita yang mempunyai penyakit kompleks. Keadaan ini tidak
dapat diatasi dengan tim perawat saja melainkan juga dari dokter ataupun
lainnya, seperti dokter dalam memberikan tindakan pengobatan
bekerjasama dengan perawat dalam pemantauan reaksi obat yang telah
diberikan.
Contoh : saling ketergantungan antar tenaga medis perawat, dokter,
dan apoteker. Perawat akan melakukan suatu bentuk kerjasama dengan
dokter dalam menentukan diagnosa medis dan tindakan medis yang harus
dilakukan seperti operasi mastoidektomi salah satunya. Selain itu perawat
bekerjasama dengan apoteker untuk memberikan resep obat yang didapat
dari dokter untuk diberikan pada klien.

C. Nursing Advokasi
1. Diagnose Keperawat : Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan
obstruksi, infeksi di telinga tengah atau kerusakan di syaraf pendengaran
Advokasi perawat :
- Ajarkan klien menggunakan dan merawat alat pendengaran secara
tepat,

84
- Instruksikan klien untuk menggunakan teknik-teknik yang aman
sehingga dapat mencegah terjadinya ketulian lebih jauh
- Instruksikan klien untuk menghabiskan seluruh dosis antibiotic yang
diberikan, karena jika terapi antibiotic dihentikan sebelum waktunya
dapat menyebabkan organism sisa berkembang biak sehingga infeksi
dapat berlanjut.
2. Diagnose Keperawatan : Nyeri akut ansietas, resiko infeksi berhungan
dengan proses peradangan.
- Ajarkan klien untuk mengalihkan rasa nyeri yang timbul dengan
melakukan metode relaksasi, seperti menarik napas dalam. Metode
pengalihan suasana dengan melakukan relaksasi bisa mengurangi
nyeri yang diderita klien.
- Kompres dingin disekitar area telinga untuk mengurangi nyeri karena
rasa nyeri teralihkan oleh rasa dingin disekitar telinga.
3. Diagnose Keperawatan : Kecemasan berhubungan dengan prosedur
operasi, diagnosis, prognosis, ansietas, nyeri, hilang fungsi, kemungkinan
penurunan pendengaran lebih besar setelah operasi.
- Merealisasikan prinsip keperawatan veracity (kejujuran) kepada klien
ketika mendiskusikan mengenai kemajuan dari fungsi
pendengarannya. Harapan-harapan yang tidak realistic tidak dapat
mengurangi kecemasan, justru dapat menimbulkan ketidakpercayaan
klien terhadap perawat.
- Berikan penkes kepada klien terutama informasi tentang kelompok
yang juga mengalami gangguan seperti yang dialami klien untuk
memberikan dukungan kepada klien.
4. Diagnose Keperawatan : Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan
kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan dan penceahan
kekambuhan
- Ajarkan klien mengganti balutan dan menggunakan antibiotic secara
continue sesuai aturan

85
- Beritahu komplikasi yang mungkin timbul dan bagaimana cara
melaporkannya
5. Diagnose Keperawatan : Resiko cidera / injuri berhubungan dengan
ketidakseimbangan labirin : vertigo
- Berikan terapi ringan untuk mempertahankan keseimbangan seperti
menggerakkan bola mata, jika sudah terbiasa dilakukan, pusing akan
berkurang
- Ajarkan penggunaan alat-alat bantu untuk aktivitas klien untuk
mengantisipasi dan meminimalkan resiko jatuh
6. Diagnose Keperawatan : gangguan citra tubuh berhubungan dengan
nyeri, otore berbau busuk
- Bina hubungan saling percaya untuk membuat klien menyadari dasar
terjadinya hubungan social
- Yakinkan klien setelah dilakuakn pengobatan / pembedahan cairan
akan keluar dan bau busuk akan hilang

D. Prinsip-prinsip etika keperawatan


Menurut Purba dan Marlindawati (2010) Perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan berkewajiban berpedoman terhadap 7 prinsip etika
keperawatan yaitu:
a. Outonomy (penentuan diri)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu
mampu berpikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang
dewasa mampu memutuskan sesuatu dan orang lain harus menghargainya.
Contohnya, perawat memberikan informasi tambahan bagi klien yang
sedang berusaha untuk memutuskan tindakan yang terbaik baginya. Selain
itu, perawat juga melindungi hak-hak klien melalui cara-cara yang umum
dengan menolak aturan atau tindakan yang mungkin membahayakan
kesehatan klien atau menentang hak-hak klien.
b. Beneficience (melakukan hal yang baik)

86
Prinsip ini menuntut perawat untuk melakukan hal yang baik
dengan begitu dapat mencegah kesalahan atau kejahatan.
c. Juctice (keadilan)
Nilai ini direfleksikan dalam praktek professional ketika perawat
bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktik dan
keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan.
Contoh ketika perawat dinas sendirian dan ketika itu ada klien baru masuk
serta ada juga klien rawat yang memerlukan bantuan perawat maka
perawat harus mempertimbangkan faktor-faktor dalam faktor tersebut
kemudian bertindak sesuai dengan asas keadilan.
d. Non malfience (tidak merugi)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan
psikologis pada klien. Contoh ketika orang tua klien yang menyatakan
kepada dokter secara tertulis menolak pelaksanaan operasi mastoidektomi
(pembusukan tulang mastoid pada telinga) membuat keadaan klien
semakin memburuk dan dokter harus mengistrusikan operasi
mastoidektomi. akhirnya mastoidektomi ridak diberikan karena prinsi
beneficence walaupun pada situasi ini juga terjadi penyalahgunaan prinsi
nonmaleficince.
e. Veracity (kejujuran)
Nilai ini bukan cuman dimiliki oleh perawat namun harus dimiliki
oleh seluruh pemberi layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran
pada setia klien untuk meyakinkan agar klien mengerti. Informasi yang
diberikan harus akurat, komprehensif, dan objektif. Kebenaran merupakan
dasar membina hubungan saling percaya. Klien memiliki otonomi
sehingga mereka berhak mendapatkan informasi yang ia ingin tahu.
Contoh Ny. S membawa anaknya ke rumah sakit karena anaknya
selalu rewel dan menegluh sakit dibagian telinganya. Ny. S selalu
bertanya-tanya tentang keadaan anaknya. Dokter ahli bedah berpesan
kepada perawat untuk belum memberitahukan ketulian yang dialami
anaknya akibat infeksi kepada klien perawat tidak mengetahui alasan

87
tersebut dari dokter dan kepala ruangan menyampaikan intruksi dokter
harus diikuti. Perawat dalam hal ini dihadapkan oleh konflik kejujuran.
f. Fidelity (menepati janji)
Tanggung jawab besar seorang perawat adalah meningkatkan
kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan, dan meminimalkan
penderitaan. Untuk mencapai itu perawat harus memiliki komitmen
menepati janji dan menghargai komitmennya kepada orang lain.
g. Confidentiality (kerahasiaan)
Kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga privasi
klien. Dokumentasi tentang keadaan kesehatan klien hanya bisa dibaca
guna keperluan pengobatan dan peningkatan kesehatan klien. Diskusi
tentang klien diluar area pelayanan harus dihindari.

E. Dasar Hukum Advokasi Perawat


Undang-undang Keperawatan diatur oleh UU nomor 38 tahun 2014.
Undang-undang Keperawatan ini disahkan di Jakarta pada tanggal 17 Oktober
2014 oleh presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam UUK terdiri dari
13 bab dan 66 pasal.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Keperawatan adalah kegiatan pemberian asuhan kepada individu,
keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik dalam keadaan sakit maupun
sehat.
2. Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi
Keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh
Pemerintah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
3. Pelayanan Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang
merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan
pada ilmu dan kiat Keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga,
kelompok, atau masyarakat, baik sehat maupun sakit.

88
4. Praktik Keperawatan adalah pelayanan yang diselenggarakan oleh
Perawat dalam bentuk Asuhan Keperawatan.
5. Asuhan Keperawatan adalah rangkaian interaksi Perawat dengan Klien
dan lingkungannya untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan dan
kemandirian Klien dalam merawat dirinya.

89
BAB III
PENUTUP

C. SIMPULAN
Advokasi merupakan salah satu peran perawat dan menjadi dasar yang
penting dalam membrikan asuhan keperawatan kepada pasien. Peran perawat
sebagai advokat pasien menuntut perawat untuk dapat mengidentifikasi dan
mengetahui nilai-nilai dan kepercayaan yang dimilikinya tentang peran
advokat, peran dan hak-hak pasien, perilaku profesional, dan hubungan
pasien-keluarga-dokter. Di samping itu, pengalaman dan pendidikan yang
cukup sangat diperlukan untuk memiliki kompetensi klinik yang diperlukan
sebagai syarat untuk menjadi advokat pasien.
D. SARAN
Mengaplikasikan teori ini dalam tatanan pemberian pelayana
kesehatan kepada masyarakat, dan melaksanakan peran perawat sebagai
advokat utama klien dan penghubung antar profesi kesehatan demi
kepentingan pasien

90
DAFTAR PUSTAKA
Purba,Jeni Marlindawani & Pujiastuti. 2010. Dilema Etik & Pengambilan
Keputusan Etis. Jakarta : EGC.
Triwibowo, cecep. 2010. Hukum Keperawatan. Yogyakarta : Pustaka book
publisher.
WHO (2005). Pedoman Perawatan Pasien, Jakarta: EGC
Gartinah, dkk, Keperawatan dan Praktek Keperawatan, PPNI, Jakarta,
2002, hlm. 51.
Undang-undang Republik Indonesia No. 38 tahun 2014 Tentang
Keperawatan

91
ASKEP PENKES JURNAL DAN ADVOKASI PADA
TINITUS

DI SUSUN OLEH :
DIERA LITA SABIVA : A21612040

DOSEN PEMBIMBING : Ns.Putinah, S.kep, M.Kep


TUGAS : SISTEM SENSORI PERSEPSI
PRODI : S1 KEPERAWATAN / IVB

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


SITI KHADIJAH PALEMBANG

T.A 2017/2018

92
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulilah penulis ucapkan atas kehadiran allah SWT serta
nikmat ilmu dan limpahan rahmat serta karunianya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “asuhan keperawatan tinitus”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang membantu dalam
pembuatan makalah ini terutama kepada dosen pengajar mata kuliah sistem
endokrin dan anggota kelompok yang sangat kompak dan saling membantu untuk
menyelesaikan tugas makalah ini.
Makalah ini belum sepenuhnya sempurna dan masih banyak terdapat
kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini, semoga makalah ini
dapat berguna bagi pembaca.

Palembang, Maret 2018

Penulis

93
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................. 2
DAFTAR ISI ................................................................................................ 3
LAPORAN PENDAHULUAN ................................................................... 4
A. Definisi .............................................................................................. 4
B. Anatomi dan Fisiologi ....................................................................... 4
C. Etiologi .............................................................................................. 5
D. Manifestasi klinis .............................................................................. 6
E. Patoflow ............................................................................................ 7
F. Pemeriksaan penunjang..................................................................... 8
G. Komplikasi ........................................................................................ 8
H. Penatalaksanaan ................................................................................ 8
I. Prognosis …………………………………………………………...9
KONSEP KEPERAWATAN ..................................................................... 10
A. Pengkajian ......................................................................................... 10
B. Diagnosis keperawatan...................................................................... 11
C. Intervensi ........................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 14

94
LAPORAN PENDAHULUAN

A. DEFINISI
Tinitus adalah gejala gangguan mendasar pada telinga yang berhubungan
dengan gangguan pendengaran.(Husnul,2009) Tingkat keperahannya
mulai dari ringan sampai berat. Pasien yang mengalami tinnitus kan
merasakan suara menderu, berdengung. Atau mendesis disalah satu atau
kedua teling. Sejumlah faktor dapat berkontribusi terhadap perkembangan
tinitus, termasuk beberapa zat ototoksik. Gangguan mendasar yang
memicu tinitus bisa disebabkan penyakit tiroid, hiperglikemia, kekurangan
vitamin B12, gangguan psikologis (misalnya depresi, kecemasan),
fibromyalgia, gangguan otologis (penyakit Meniere, neuroma akustik), dan
kelainan neurologis (cedera kepala, multiple sclerosis). Tinitus dapat
dibagi atas 2, yaitu :
1) Tinitus objektif, bila suara tersebut dapat juga didengar oleh pemeriksa
atau dengan auskultasi disekitar telinga. Tinitus objektif bersifat vibritorik,
berasal dari transmisi vibrasi sistem vaskuler atau kardiovaskuler disekitar
telinga.
2) Tinitus subjektif, bila suara tersebut hanya didengar oelh pasien sendiri,
jenis ini sering terjadi. Tinitus subjektif bersifat nonvibratorik, disebabkan
oleh proses iritatif atau perubahan degenerative traktus auditorius mulai
dari sel-sel rambut getar koklea sampai pusat saraf pendengaran
(Husnul,2009)

Tinitus objektif umumnya disebabkan kelainan vaskular, sehingga tinitusnya


berdenyut mengikuti denyut jantung, keadaan ini biasanya ditemui pada pasien
dengan malformasi arteriovena, tumor glomus jugular, dan aneurisma. Tinitus
objektif juga dapat dijumpai sebagai suara klik (cliking sound) yang berhubungan
dengan penyakit sendi temporomandibular 95iagnostic kontraksi spontan dari otot
telinga tengah atau mioklonus palatat. Tuba eustakius paten juga dapat
menyebabkan timbulnya tinitus akibat hantaran suara dari nasofaring ke rongga

95
telinga. Tinitus subjektif tejadi bila suara hanya didengar oleh pasien sendiri.
Tinitus subjektif bersifat nonvibratorik, disebabkan oleh proses iritatif atau
perubahan 96iagnostic96e traktus auditorius mulai dari sel-sel rambut getar koklea
sampai pusat saraf pendengar.
C. ANATOMI FISIOLOGI
Gelombang bunyi ditangkap oleh daun telinga dan diteruskan ke dalam
liang telinga.Gelombang bunyi akan diteruskan ke telinga tengah dengan
menggetarkan gendang telinga.Getaran ini akan diteruskan oleh ketiga
tulang dengar, maleus, incus dan stapes, ke foramen oval.Getaran Struktur
koklea pada tingkap lonjong akan diteruskan ke cairan limfe yang ada
didalam skala 96iagnosti. Getaran cairan ini akan menggerakkan 96iagnost
Reissner danmenggetarkan endolimfa. Sehingga akan menimbulkan
gerakan 96iagnost antara 96iagnost basalisdan 96iagnost tektoria. Proses
ini merupakan rangsangan mekanik yang menyebabkan terjadinyadefleksi
stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion akan terbuka dan terjadi
pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan
proses depolarisasi sel rambut,sehingga melepaskan neurotransmitter ke
dalam sinaps yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius.
Lalu di lanjutkan ke nukleus auditoris sampai korteks pendengaran di
area39-40 lobus temporalis.

96
D. ETIOLOGI
Tinitus dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Terkadang, penyebabnya
sulit diketahui. Ada beberapa faktor yang umumnya mengakibatkan tinitus
:
1) Adanya kerusakan telinga bagian dalam. Hal ini merupakan penyebab
sebagian besar tinitus. Bagi telinga yang normal, suara yang masuk akan
dikirim ke otak oleh saraf-saraf pendengaran setelah melalui koklea. Jika
koklea mengalami kerusakan, proses penghantar gelombang suara akan
terputus dan otak akan terus mencari sinyal dari koklea yang tersisa
sehingga menyebabkan bunyi tinitus.
2) Hilang pendengaran karena lanjut usia. Kepekaan saraf pendengaran akan
berkurang seiring bertambahnya usia sehingga kualitas pendengaran juga
akan menurun.
3) Telinga terlalu sering menerima suara atau bunyi yang nyaring. Contoh,
mendengarkan earphone, pekerja pabrik yang menangani mesin-mesin
berat, atau mendengar bunyi ledakan. Akibat jangka pendek, biasanya
akan menyebabkan tinitus yang bisa hilang sendiri. Sementara, akibat
jangka panjang berpotensi menimbulkan kerusakan permanen.
4) Penumpukan kotoran dalam telinga. Hak ini akan menghalangi
pendengaran dan bisa memicu iritasi pada gendang telinga akibat
tumbuhnya bakteri.
5) Infeksi pada telinga bagian tengah

97
6) Penumpukan cairan dalam telinga tengah
7) Pecahnya gendang telinga
8) Efek samping obat-obatan tertentu, seperti 98iagnostic, kina, antidepresan
tertentu, serta aspirin

Adapun faktor resiko :


1. Paparan bunyi keras
2. Usia. Lanjut usia memiliki resiko lebih tinggi terkena tinitus daripada
mereka yang masih muda.
3. Jenis kelamin. Ini biasanya mempengaruhi lebih banyak pria
dibandingkan wanita
4. Merokok
5. Masalah kardiovaskuler

E. MANIFESTASI KLINIS
Pada kasus tinitus terdapat gejala telinga berdenging yang dapat terus
menerus terjadi atau bahkan hilang timbul. Denging tersebut dapat terjadi
sebagai tinitus bernada rendah atau tinggi. Sumber bunyi diantaranya
berasal dari denyut nadi, otot-otot dalam rongga telinga yang berkontraksi,
dan juga akibat gangguan saraf pendengaran.

98
F. PATOFLOW

Suara eksternal kuat impedensinya


Stereosilia pada organon corti terdefleksi

Impedansi terlalu tinggi Suara


berdenging
Kerusakan sel rambut pada telinga Cairan
endolimphe
berlebih
Ketulian acoustic neuroma
cerebelum (precuneus)
Hidrops pada labirintus
GANGGUAN
SENSORI Tindakan bedah
membranaseous
PERSEPSI
Jaringan atensi dorsal
Yang aktif Meniere’s syndrome
ANSIETAS

Insomnia NYERI

GANGGUAN POLA
TIDUR

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan fisik THT dan otoskopi harus secara rutin dilakukan.pemeriksaan


penala, audiometri nada murni, audiometri tutur, bial perlu pemeriksaan
Otoacustic Emmision (OAE), Brainstem Evoked Responese Audiometri (BERA),
atau Electro Nystagmography (ENG). Serta pemeriksaan dengan CT Scan, Weber
Test, dan Rine Test.

99
H. KOMPLIKASI
1. Kelelahan
2. Stress
3. Masalah gangguan tidur
4. Sulit berkonsentrasi
5. Masalah dengan daya ingat
6. Depresi
7. Cemas dan mudah tersinggung

I. PENATALAKSANAAN
Melakukan penatalaksanaan tinitus, harus diketahui penyebabnya, agar
disesuaikan obatnya. Penatalaksanaan bertujuan untuk menghilangkan
penyebab tinitus dan atau mengurangi keparahan akibat tinitus. Pada
tinitus penatalaksanaan bertujuan menghilangkan penyebab dan
mengurangi keparahan yang diakibatkan.

Jastreboof mengemukakan penatalaksanaan terkini, berdasar pada model


neurofisiologinya adalah kombinasi konseling terpimpin, terapi akustik dan
medika mentosa bila diperlukan. Metode ini disebut dengan Tinitus Retraining
Therapy (TRT). Tujuannya adalah memicu dan menjaga reaksi habiutasi dan
persepsi tinitus dan atau suara lingkungan yang menganggu. Habiutasi diperoleh
sebagai hasil modifikasi hubungan sistem auditorik ke sistem 100iagno dan sistem
saraf otonom. TRT walau tidak dapat menyembuhkan tinitus dengan sempurna,
tetapi dapat memberikan perbaikan yang bermakna berupa penurunan toleransi
terhadap suara.
Secara umum, pengobatan tinitus dibagi dalam 4 cara :
1) Psikologis, memberikan konsultasi psikologik untuk meyakinkan pasien
bahwa penyakitnya tidak membahayakan. Diajarkan juga relaksasi setiap
hari.

100
2) Elektrofisiologik, memberi stimulus elektro akustik dengan intensitas
suara yang lebih keras dari tinitusnya, dapat dengan alat bantu dengar atau
dengan tinitus masker
3) Terapi medikamentosa sampai saat ini belum ada kesepakatan yang jelas
diantaranya untuk meningkatkan aliran darah koklea, transquilzer,
antidepresan sedative, neurotonik, vitamin dan mineral.
4) Tindakan bedah dilakukan pada tumor akustik neuroma

Sering ditemui, kasus pasien menjadi gelisah dengan tinitus. Akibatnya, pasien
menjadi susah tidur. Obat penenang atau obat tidur dapat diberikan saat menjelang
tidur pada pasien yang sangat terganggu dengan tinitus. Pasien harus diberi
penjelasan yang baik, sehingga rasa takut tidak menambah keluhan. Pasien juga
harus dijelaskan bahwa gangguan sukar diobati dan dianjurkan agar beradaptasi
dengan gangguan tersebut.
Pemeriksaan fisik harus dilakukan untuk mengetahui penyebab tinitus. Pengujian
101iagnostic menentukan apakah ada gangguan pendengaran. Tes diskriminasi
ucapan audiograf atau timpanogram dapat digunakan untuk membantu
menentukan penyebabnya. Beberapa bentuk tinitus bersifat ireversibel, akibatnya
pasien harus mengerti tentang cara menyesuaikan diri dengan pengobatan dan
menangani tinitus di masa depan.

J. PROGNOSIS
Tinitus adalah gejala non-spesifik yang diproduksi oleh berbagai macam
penyakit. Jika proses penyakit yang mendasari ditanganinya dengan
bantuan pembedahan, seperti pada schwannoma vestibular atau
otoklerosis, atau jika obat diberikan untuk proses infeksius, seperti otitis,
tinitus dapat sembuh. Namun, bila penyebab yang dapat diobati dan yang
mengancam jiwa dihilangkan, manajemen dukungan utama mungkin
hanya berupa jaminan dan dukungan psikologis. Seringkali, dokter hanya
bisa mencoba mengurangi dampak penyakit pada kehidupan pasien.

101
KONSEP KEPERAWATAN

a. Pengkajian Teori
1) Aktivitas
- Gangguan keseimbangan tubuh
- Mudah lelah
2) Sirkulasi
- Hipotensi, hipertensi, pucat (menandakan adanya stress)
3) Nutrisi
- Mual
4) Sistem pendengaran
- Adanya suara abnormal (dengung)
5) Pola istirahat
- Gangguan tidur/kesulitan tidur
6) Anamnesis

Melalui anamnesis ditanyakan waktu permulaan munculnya gejala,


lokasi bunyi apakah uni atau bilateral, durasi, jenis bunyi, keluhan
yang menyertai, riwayat penyakit sebelumnya, dan riwayat
penyakit yang lain yang mungkin dapat berhubungan.
7) Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis


tinitus dapat dilakukan dengan tes-tes anatara lain :
a) Baer test/ uji baer

Uji ini dilakukan untuk mencatat respon gelombang


elektroda ditulang kepala pada 0-10 msec(potensi awal),
10-50 msec (potensi tengah), dan 50-500 msec (potensial
akhir). Uji pada akhirnya dapat untuk menentukan adanya
gangguan pendengaran sensorineural dan penyebabnya,
apakah akibat kelaianan koklea, N.VIII atau lesi disusunan
saraf pusat.
b) Bedside test

102
Bedside test digunakan untuk analisis awal suatu gangguan
pada telinga, yang terdiri dari 4 jenis test, antara lain:
 Tes menggunakan suara dari pemeriksa sendiri dengan
menggunakan intensitas yang berbeda-beda (misalnya
berbisik, berbicara keras dan berteriak)
 Tes Rinne : saraf konduksi dibandingkan antara
hantaran udara dan hantaran tulang mastoiden. Tes ini
digunakan untuk membandingkan antara hantaran
melalui udara dan melalui tulang. Normalnya hantaran
udara dua kali lebih daripada hantaran tulang.\
 Tes Weber : penala diletakkan digaris tengah kepala
(dahi, vertex, pangkal hidung, ditengah-tengah gigi seri
atau di dagu). Tes ini digunakan untuk membandingkan
hantaran tulang telinga kiri dan telinga kanan.
c) Audiometri

Semua pasien dengan tinitus dianjurkan untuk diperiksa


dengan audiometri karena keluhan yang subyektif biasanya
berhubungan dengan alat-alat pendengaran.

b. Diagnosis keperawatan
1) Nyeri b.d resiko tinggi cedera
2) Gangguan pola tidur b.d rasa tidak nyaman ditandai dengan adanya suara
berdenging
3) Gangguan sensori persepsi (auditorius) b.d perubahan penerimaan sensori
ditandai dengan penurunan pendengaran
4) Ansietas (cemas) b.d kurang nya informasi tentang gangguan pendengaran

103
RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa 1 : nyeri berhubungan dengan resiko tinggi cedera
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam nyeri pada
klien berkurang
Kriteria hasil :
 Klien terbebas dari cedera
 Klien mampu menjelaskan cara untuk mencegah cedera
 Klien mampu mengenali perubahan status kesehatan

Intervensi Rasional
1. Observasi nyeri secara berkala 1. Luasnya ketidakmampuan
dan komprehensif menurunkan resiko jatuh
2. Observasi reaksi non verbal dan 2. Mengurangi kemungkinan jatuh dan
ketidaknyamanan cedera
3. Gunakan teknik komunikasi 3. Suara bising dapat memperparah
terapeutik untuk mengetahui tinnitus
pengalaman nyeri pasien
4. Kontrol lingkungan yang mampu
mempengaruhi nyeri : suhu
ruangan, pencahayaan, dan
kebisingan
5. Pilih dan lakukan penanganan
nyeri (farmakologi,
nonfarmakologi, interpersonal)

Diagnosa 2 : Gangguan pola tidur b.d rasa tidak nyaman ditandai dengan adanya
suara berdenging
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam gangguan tidur
klien teratasi
Kriteria hasil :
 Jumlah jam tidur dalam batas normal, 8 jam sehari
 Klien mampu mengidentifikasi hal-hal yang mampu meningkatkan tidur
 Perasaan fresh setelah tidur/is


104
 tirahat

Interve Rasional

nsi
1. Jelaskan pentingnya tidur yang 1. Kebutuhan tidur yang cukup
adekuat meminimalisir kelelahan
2. Fasilitasi untuk mempertahankan 2. Kegiatan tersebut dapat
aktivitas sebelum tidur (membaca) mengalihkan klien dari suara
3. Ciptakan lingkungan yang nyaman berdenging yang didengarnya
4. Kolaborasi pemberian obat tidur 3. Lingkungan yang tenang dapat
membantu klien beristirahat
4. Agar kebutuhan tidur klien
terpenuhi

Diagnosa 3 : Gangguan sensori persepsi (auditorius) b.d perubahan penerimaan


sensori ditandai dengan penurunan pendengaran
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan KDM
klien terpenuhi
Kriteria hasil :
 Mengenal gangguan sensori dan berkompensasi terhadap perubahan
 Mengidentifikasi atau memperbaiki potensial bahaya dalam lingkungan

Intervensi Rasional
1. Monitor tingkat kelemahan persepsi 1. Suara berdenging pada tinitus
klien terjadi terus menerus
2. Memperbaiki komunikasi : 2. Mengurangi resiko mudah marah
berbicara tegas dan jelas tanpa yang biasanya muncul
berteriak 3. Lingkungan yang tenang dapat
3. Kurangi kegaduhan lingkungan mengurangi kecemasan
4. Ajarkan cara berkomunikasi yang 4. Penurunan pendengaran dapat
tepat menghambat komunikasi
5. Berkomunikasi dengan 5. Menghindari adanya komunikasi
menggunakan tanda non verbal karena penurunan pendengaran
(ekspresi wajah, menunjuk dan yang dialami klien
sikap tubuh)

105
Diagnosa 4 : Ansietas (cemas) b.d kurangnya informasi tentang gangguan
pendengaran
Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 2x24 jam diharapkan cemas klien
berkurang
Kriteria hasil :
 Tidak terjadi kecemasan
 Pengetahuan klien terhadap penyakit meningkat

Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat kecemasan / 1. Mengetahui tingkat
rasa takut kecemasan / rasa takut pasien
2. Kaji tingkat pengetahuan dalam menentukan tindakan
klien tentang gangguan selanjutnya
yang di alaminya 2. Mengetahui seberepa jauh
3. Berikan penyuluhan pengetahuan dan pengalaman
tentang tinnitus pasien serta pemahaman
4. Yakinkan klien bahwa tentang penyakit yang di
penyakitnya dapat derita
disembuhkan 3. Pasien mengetahui tentang
5. Anjurkan klien untuk rileks, penyakit yang dideritanya
dan menghindari stress 4. Pasien akan merasa tenang
dan rasa takut berkurang
dengan penyakit yang di
derita
5. Mengurangin ketegangan dan
membuat perasaan pasien
lebih nyaman dan tenang

106
DAFTAR PUSTAKA

Dwi Antara Nugraha. 2017.Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan


sistem pendengaran. Pustaka Baru Press. Yogyakarta
https://www.scribd.com/document/105555909/Askep-tinnitus
https://googleweblight.com/i?u=https://kliniktht.com/definisi-tinnitus&hl=id-ID

107
PENDIDIKAN KESEHATAN TINITUS

APA ITU TINITUS?


Tinitus adalah gejala gangguan mendasar pada telinga yang berhubungan dengan
gangguan pendengaran.(Husnul,2009) Tingkat keperahannya mulai dari ringan
sampai berat.

Pada kasus tinitus terdapat gejala telinga berdenging yang dapat terus menerus
terjadi atau bahkan hilang timbul. Denging tersebut dapat terjadi sebagai tinitus
bernada rendah atau tinggi.

108
PENYEBAB SINDROM CUSHING
 Adanya kerusakan telinga bagian dalam.
 Hilang pendengaran karena lanjut usia.
 Telinga terlalu sering menerima suara atau bunyi yang nyaring.
 Penumpukan kotoran dalam telinga.
 Penumpukan cairan dalam telinga tengah
 Pecahnya gendang telinga
 Efek samping obat-obatan

KOMPLIKASI TINITUS
 Kelelahan
 Stress
 Masalah gangguan tidur
 Sulit berkonsentrasi
 Masalah dengan daya ingat
 Depresi
 Cemas dan mudah tersinggung

109
PENGOBATAN PADA PENDERITA TINITUS
 Secara umum, pengobatan tinitus dibagi dalam 4 cara :
 Psikologis, memberikan konsultasi psikologik
 Elektrofisiologik, memberi stimulus elektro akustik dengan intensitas
suara yang lebih keras dari tinitusnya
 Terapi medikamentosa
 Tindakan bedah dilakukan pada tumor akustik neuroma

110
JURNAL TINITUS
E- ISSN: 2503-3638, Print ISSN: 2089-9084
ISM VOL. 6 NO.1, MEI-AGUSTUS, HAL 34-40

Mengenali Gejala Tinitus dan Penatalaksanaannya

Dewi Purwita Agustini


Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Diterima: 8 Maret 2016. Disetujui: 31 Maret 2016. Diterbitkan: Juni 2016

ABSTRAK
Telinga berdenging atau dikenal dalam bahasa medis sebagai tinitus, banyak
dikeluhkan sebagai suatu bising atau bunyi yang muncul di kepala tanpa adanya
rangsangan dari luar. Adapun keluhan yang dialami ini seperti bunyi
mendengung, mendesis, menderu, atau berbagai variasi bunyi yang lain. Tinitus
bukanlah penyakit atau sindroma, tapi hanya merupakan gejala yang mungkin
berasal dari satu atau sejumlah kelainan.1
Sebetulnya suara yang terdengar oleh telinga tersebut belum tentu bersifat
kelainan atau patologis. Jika orang sehat yang terbukti telinganya normal, berada
dalam ruang kedap (anehoic chamber), maka ia akan dapat mendengar berbagai
macam suara yang berasal dari berbagai organ tubuhnya sendiri yang memang
bekerja setiap saat, contohnya: pernapasan, kontraksi jantung, dan aliran darah.
Kenyataannya, dalam kehidupan sehari-hari, suasana yang memungkinkan suara
fisiologis atau normal tersebut terdengar oleh seseorang sangat jarang tercipta dan
bahkan dalam kamar yang sunyi di malam hari sekalipun. Hal ini dikarenakan,
bunyi masking dari lingkungan dengan berintensitas bunyi sekitar 25 – 30 dB.
Tinitus baru menjadi gejala jika suara organ tubuh intensitasnya melebihi bunyi
masking lingkungan tadi.1
Tinitus kerap diderita terutama orang pada kelompok usia pertengahan dan
usia tua. Menurut data statistic dari pusat kesehatan di Amerika, sekitar 32%
orang dewasa pernah mengalami tinitus pada suatu saat tertentu dalam hidupnya,
dan 6 % nya sangat menganggu dan cukup sulit disembuhkan. Di Inggris, 17%
populasi juga memiliki masalah tinitus. Sayangnya di Indonesia belum ada data
statistic yang memadai, namun berdasarkan pengalaman empiris, penderita tinitus
cukup banyak dan sering ditemui di tempat praktek, klinik, maupun rumah sakit.
Meski tinitus bukanlah keadaan yang membahayakan, munculnya gejala ini pada
hampir kebanyakan orang sangat mengganggu dan sering mempengaruhi kualitas
hidup dan pekerjaannya.1
Kata Kunci: Tinitus, berdenging, telinga

111
PENDAHULUAN di sekitar telinga. Sifatnya adalah
Tinitus barasal dari bahasa Latin tinnire vibritorik yang berasal dari vibrasi atau
yang berarti menimbulkan suara atau getaran sistem muskuler atau
dering. Tinitus adalah suatu gangguan kardiovaskuler di sekitar telinga.
pendengaran berupa keluhan perasaan Sedangkan tinitus subjektif terjadi apabila
pada saat mendengarkan bunyi tanpa ada suara hanya terdengar oleh pasien sendiri,
rangsangan bunyi atau suara dari luar. dan jenis tinitus ini yang paling sering
Adapun keluhan yang dialami ini seperti terjadi. Sifat dari tinitus subjektif adalah
bunyi mendengung, mendesis, menderu, nonvibratorik karena adanya proses iritatif
atau berbagai variasi bunyi yang lain.2 ataupun perubahan degenaratif pada
Tinitus ada 2 macam yang terbagi atas traktus auditorius yang dimulai dari sel-sel
tinitus obyektif dan tinitus subjektif. rambut getar koklea sampai pada pusat
Tinitus obyektif terjadi apabila bunyi saraf dari pendengar.2
tersebut dapat juga didengar oleh
pemeriksa atau dapat juga dengan
auskultasi
34
http://intisarisainsmedis.wee
bly.com/

112
E- ISSN: 2503-3638, Print ISSN:
2089-9084 ISM VOL. 6 NO.1,
MEI-AGUSTUS, HAL 34-40

Penyebab Tinitus Tinitus objektif sering ditimbulkan oleh


Banyak hal yang dapat menyebabkan gangguan vaskuler. Bunyinya seirama
terjadinya tinitus. Beberapa diantaranya dengan denyut nadi, misalnya pada
adalah: aneurisma dan aterosklerosis. Gangguan
- Kelainan vaskular baik pada arteri atau mekanis dapat juga mengakibatkan tinitus
vena. objektif, seperti tuba Eustachius terbuka,
- Kelainan muskular: klonus otot palatum sehingga ketika bernapas membran
atau tensor timpani. timpani bergerak dan terjadi tinitus.
- Lesi pada saluran telinga dalam: Tumor Kejang klonus muskulus tensor timpani
saraf kedelapan. dan muskulus stapedius, serta otot-otot
- Gangguan kokhlea: trauma akibat bising, palatum dapat menimbulkan tinitus
trauma tulang temporal, penyakit objektif. Bila ada gangguan vaskuler di
Meniere’s, presbikusis, tuli saraf telinga tengah, seperti tumor karotis, maka
mendadak, emisi otoakustik. suara aliran darah akan mengakibatkan
- Ototoksisitas: aspirin, kuinin, dan tinitus juga.2
antibiotika tertentu (aminoglikosida).
Pada tuli sensorineural, biasanya timbul
- Kelainan telinga tengah: infeksi,
sklerosis, gangguan tuba eustachi. tinitus subjektif nada tinggi. Pada
intoksikasi obat seperti salisilat, kina,
- Lain-lain: serumen, benda asing pada
streptomysin, dehidro-streptomysin,
saluran telinga luar dan penyakit sistemik
seperti anemia. garamysin, digitalis, kanamysin, dapat
terjadi tinitus nada tinggi, terus menerus
atau hilang timbul.2
Patofisiologi Tinitus bunyi dengung ini terasa berdenyut atau
Mekanisme terjadinya tinitus pulsasi tinitus. Tinitus dengan nada rendah
karena aktivitas elektrik di sekitar dan terdapat gangguan konduksi, biasanya
auditorius yang menimbulkan perasaan terjadi pada sumbatan liang telinga karena
adanya bunyi, tetapi impuls yang terjadi serumen atau tumor, tuba katar, otitis
bukan berasal dari bunyi eksternal atau media, otosklerosis, dan lain-lain. Tinitus
dari luar yang ditransformasikan, dengan nada rendah yang berpulsasi tanpa
melainkan berasal dari sumber impuls gangguan pendengaran merupakan gejala
yang abnormal di dalam tubuh penderita dini yang penting pada tumor glomus
sendiri.2 jugulare.2
Impuls abnormal itu dapat ditimbulkan
oleh berbagai kelainan telinga. Tinitus
dapat terjadi dalam berbagai intensitas.
Tinitus dengan nada rendah seperti
bergemuruh atau nada tinggi seperti
berdengung. Tinitus dapat terus menerus
atau hilang timbul terdengar.2
Tinitus biasanya dihubungkan dengan tuli
sensorineural dan dapat juga terjadi karena
gangguan konduksi. Tinitus yang
disebabkan oleh gangguan konduksi,
biasanya berupa bunyi dengan nada
rendah. Jika disertai dengan inflamasi,
113
pengobatan, riwayat penyakit dan
Pada hipertensi endolimfatik seperti
dilakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan
penyakit Meniere dapat terjadi tinitus pada
di bidang psikologi juga diperlukan karena
nada rendah dan tinggi, sehingga terdengar
ada kasus tinnitus yang juga berkaitan
bergemuruh atau berdengung. Gangguan
dengan keadaan depresi dan cemas. 3
ini disertai dengan tuli sensorineural dan
vertigo.Gangguan vaskuler koklea Anamnesis
terminalis yang terjadi pada pasien yang
Tujuan utama adalah untuk menemukan
stres akibat gangguan keseimbangan
penyebab tinitus. Beberapa hal yang perlu
endokrin, seperti menjelang menstruasi,
diperhatikan dalam anamnesis adalah:
hipometabolisme atau saat hamil dapat
lama serangan tinitus, bila berlangsung
juga timbul tinitus atau gangguan tersebut
akan hilang bila keadaannya sudah dalam waktu 1 menit biasanya akan hilang
kembali normal.2 sendiri, hal ini bukan keadaan patologik.
Bila berlangsung dalam 5 menit
Diagnosis Tinitus
merupakan keadaan patologik. Tinitus
Untuk mendiagnosis tinitus diperlukan subjektif unilateral disertai gangguan
anamnesis yang akurat meliputi riwayat pendengaran perlu

35
http://intisarisainsmedis.wee
bly.com/

114
E- ISSN: 2503-3638, Print ISSN:
2089-9084 ISM VOL. 6 NO.1,
MEI-AGUSTUS, HAL 34-40
penyebabnya. Kadang-kadang
penyebabnya itu sukar diketahui.
dicurigai kemungkinan tumor neuroma
Pada umumnya pengobatan gejala tinitus
akustik atau trauma kepala. Bila tinitus
dapat dibagi dalam 4 cara yaitu :
bilateral kemungkinan terjadi pada
intoksikasi obat yang bersifat ototoksik 3. Elektrofisiologik yaitu dengan
seperti aspirin, kinine, streptomisin dan membuat stimulus elektro akustik dengan
lain-lain, trauma bising, dan penyakit intensitas suara yang lebih keras dari
sistemik lain. Apabila pasien sulit tinitusnya, dapat dengan alat bantu dengar
atau tinitus masker.
mengidentifikasi kanan atau kiri
kemungkinannya disaraf pusat. Kualitas 4. Psikologik, dengan memberikan
tinitus, bila tinitus bernada tinggi biasanya konsultasi psikologik untuk meyakinkan
kelainannya pada daerah basal koklea, pasien bahwa
saraf pendengar perifer dan sentral. Tinitus
bernada rendah seperti gemuruh ombak
khas untuk kelainan koklea seperti hidrops
endolimfa.2,4

Pemeriksaan fisik dan laboratori


Pemeriksaan fisik yang dilakukan yaitu
mulai dari melihat keadaan rongga
mulutnya, telinga luar, membran timpani,
cranial nerve V, VII dan VII, temporalnya,
dll. Kemudian dilakukan otoskopi untuk
melihat ada atau tidaknya penyakit di
telinga luar dan tengah, mengetahui ada
tidaknya infeksi cerumen, serta melihat
kondisinya normal atau abnormal. Selain
itu pemeriksaan audiologi yang wajib
dilakukan, diantaranya PTA (Pure Tone
Audiometry), BERA, Speech Test, Tone
Decay Audiometry, dan Tone Decay
Refleks. Pemeriksaan vestibuler juga dapat
dilakukan untuk mengetahui keadaan
sistem vestibulernya. Saat ini, sudah
diciptakan suatu alat yang dapat digunakan
untuk mengatasi tinitus, yang diistilahkan
dengan tinnitus treatment, dan nama alat
tersebut adalah neuromonic.5

Penatalaksanaan Tinitus
Pengobatan tinitus merupakan masalah
yang kompleks dan merupakan fenomena
psikoakustik murni, sehingga tidak dapat
diukur. Perlu diketahinya penyebab tinitus
agar dapat diobati sesuai dengan

115
dilakukan terhadap pasien yang memang
fungsi pendengarannya sudah rusak berat
penyakitnya tidak membahayakan dan alias tuli berat yang tidak mungkin lagi
dengan mengajarkan relaksasi setiap hari. dikoreksi.
5. Terapi medikamentosa, sampai saat ini
belum ada kesepakatan yang jelas. LAPORAN KASUS
Berbagai penelitian untuk menemukan Identitas Pasien
jenis obat masih terus dilakukan. Adapun Nama : Made Laba
jenis obat yang dapat secara konsisten RM : 01.38.88.44
efektif pada pengobatan jangka panjang Umur : 68 tahun
belum juga ditemukan. Meski demikian 36
pemakaian beberapa jenis obat sedikit http://intisarisainsmedis.wee
banyak dapat memberikan perbaikan pada bly.com/
pasien tinitus, seperti:

Vitamin B dan derivatnya:


nicotinamide (vasodilator) yang
secara empiris telah digunakan
secara luas untuk kelainan kokhlea
(contoh: penyakit Meniere’s)
Trimetazidine: obat anti iskemia
dengan antioksidan
Vitamin A: pada dosis tinggi
dilaporkan memperbaiki ambang
persepsi dan mencegah tinnitus.
Namun perhatian terhadap
toksisitasnya dapat membatasi
vitamin A dalam penggunaan
praktis.
Lidokain intravena: suatu golongan
anestetik local amide dengan
aktivitas system saraf pusat,
dilaporkan berguna dalam
mengontrol tinnitus.
Tocainine: merupakan lidokain
oral dengan waktu paruh yang
panjang.
Trisiklik trimipramine: suatu anti
depresan
6. Pembedahan juga berperan dalam
penanganan tinnitus jika diaplikasikan
untuk mengoreksi sumber penyebab.
Misalnya: stapedektomi untuk kelainan
otosklerotik, lainnya adalah koklear
implant. Pertimbangan juga dapat
diberikan untuk melakukan terhadap
pengikatan saraf ke-8 divisi koklearis,
walaupun hasilnya tidak dapat
diprediksikan.. dan tentu saja hanya bisa

116
E- ISSN: 2503-3638, Print ISSN: 2089-9084
ISM VOL. 6 NO.1, MEI-AGUSTUS, HAL 34-40

Jenis Riwayat penyakit infeksi telinga pada


kelamin : Laki-laki keluarga
Bangsa : Indonesia disangkal.
Suku : Bali
Agama : Hindu
Pendidikan : SLTP
Status Perkawinan : Menikah
Riwayat
Pekerjaan : Petani Sosial
Pasien bekerja sebagai petani. Lingkungan
Alamat :Banjar Pengiasan, Mambal. kerja,
Tanggal lingkungan rumah dan sekitar pasien
Pemeriksaan : 9 Juni 2014 dikatakan
dalam keadaan tenang.
Anamnesis
Keluhan Utama: Telinga mendenging Pemeriksaan fisik
Penderita datang ke poli THT dengan Status Present
keluhan telinga kananya mendenging sejak Keadaan
umum : Sedang
±7 hari yang lalu. Telinga mendenging
: Compos
dirasakan menetap dan dikatakan terjadi Kesadaran Mentis
secara tiba-tiba. Telinga mendenging Tekanan : 130/90
terdengar saat suasana tenang dan lebih Darah mmHg
parah saat bekerja dan dirasakan berkurang : 80
bila beristirahat. Telinga mendenging Denyut Nadi kali/menit
dikatakan pada nada tinggi. Pasien : 16
mengatakan pendengarannya dirasakan Respirasi kali/menit
sedikit menurun. Riwayat trauma pada Temperatur Axila : 36,3 OC
kedua telinga dengan memasukkan bulu
ayam. Riwayat trauma kepala tidak ada. Status General
Pasien tidak mengeluhkan panas, batuk, Kepala : Normocephali
dan pilek. Mata : Anemi -/-, ikterus -/-
Muka : Simetris, parese nervus fasialis -/-
Riwayat Pengobatan THT : Sesuai status THT
Pasien belum memeriksakan diri ke dokter. Leher : Kaku kuduk (-)
Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat- Pembesaran kelenjar limfe -/-
obatan dan riwayat penggunaan aspirin Pembesaran kelenjar parotis -/-
disangkal. Kelenjar tiroid dalam batas normal
Thorak : Cor: S1S2 tunggal, reguler,
Riwayat Penyakit Terdahulu murmur –
Riwayat penyakit telinga (-) Po: Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wh
Riwayat vertigo (-) -/-Abdomen: Distensi (-), BU (+) N,
hepar/lien tidak teraba
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
+ +
Status Lokalis THT Ekstremitas: Hangat

+ +
Telinga Kanan Kiri
117
Daun telinga N N
Liang telinga Lapang, serumen + Lapang

Discharge - -
Membrana Tipani Sulit dievaluasi Intak

Tumor - -
Mastoid N N

37
http://intisarisainsmedis.wee
bly.com/

118
E- ISSN: 2503-3638, Print ISSN:
2089-9084
ISM VOL. 6 NO.1, MEI-
AGUSTUS, HAL 34-40

Tes pendengaran
Tidak
Berbisik dievaluasi

Weber Lateralisasi ke kiri


Rinne +

Tidak
Schwabah dievaluasi
Tidak
BOA dievaluasi

Tidak
Tympanometri dievaluasi
Tidak
Audiometri dievaluasi

Tidak
Nada Murni dievaluasi
Tidak
BERA dievaluasi

Tidak
OAE dievaluasi
Tidak
TEs Alat dievaluasi

Tidak
Keseimbangan dievaluasi
Hidung Kanan Kiri

Hidung Luar N N
Kavum Nasi Lapang Lapang

Tidak ada
Septum deviasi Tidak ada deviasi
Discharge - -

Mukosa Merah muda Merah muda


Tumor - -

Konka Dekongesti Dekongesti


Sinus N N

119
Koana N
Tenggorok

Dispneu -
Sianosis -

Mucosa Merah muda


Dinding belakang -

Stridor -
Suara -

Tonsil T1/T1 tenang


Tidak
Laring dievaluasi

38
http://intisarisainsmedis.wee
bly.com/

120
E- ISSN: 2503-3638, Print ISSN: 2089-9084
ISM VOL. 6 NO.1, MEI-AGUSTUS, HAL 34-40

Diagnosis serumen serta direncanakan


pemeriksaan
Observasi Tinitus + Serumen Obstura audiometri dan timpanometri.
Dexstra
SIMPULAN
Penatalaksanaan sentral. Tinitus bernada rendah seperti
9. Ekstasi serumen gemuruh ombak khas untuk kelainan
Rencana pemeriksaan timpanometri koklea seperti hidrops endolimfa.
10. Rencana pemeriksaan audiometri Pada pemeriksaan fisik ditemukan
Prognosis serumen pada telinga kanan dan tidak
Dubiusad ditemukan kelainan pada hidung dan
Bonam tenggorokan. Hal ini sesuai dengan
tinjauan pustaka salah satu penyebab
PEMBAHASAN tinitus bisa karena adanya serumen atau
Dari hasil anamnesis pasien mengeluhkan kotoran telinga. Pada pasien ini
telinga kananya mendenging sejak ±7 hari penatalaksanaanya dilakukan eksitasi
yang lalu sebelum dating ke poli. Telinga
mendenging dirasakan menetap dan
dikatakan terjadi secara tiba-tiba. Telinga
mendenging terdengar saat suasana tenang
dan lebih parah saat bekerja. Dirasakan
berkurang bila beristirahat. Telinga
mendenging pada nada tinggi. Pasien
mengatakan pendengarannya dirasakan
sedikit menurun. Riwayat trauma pada
kedua telinga dengan memasukkan bulu
ayam. Pasien tidak mengeluhkan panas,
batuk, dan pilek. Riwayat trauma kepala
tidak ada. Pada pasien tidak didapatkan
riwayat penggunaan obat-obatan yang
bersifat ototoksik dan lingkungan kerja
serta rumah pasien kondisinya cukup
tenang.
Pada tinjauan pustaka tinitus subjektif
unilateral disertai gangguan pendengaran
perlu dicurigai kemungkinan tumor
neuroma akustik atau trauma kepala. Bila
tinitus bilateral kemungkinan terjadi pada
intoksikasi obat yang bersifat ototoksik
(aspirin, kinine, streptomisin dan lain-
lain), trauma bising, dan penyakit sistemik
lain. Apabila pasien sulit mengidentifikasi
kanan atau kiri kemungkinannya disaraf
pusat. Kualitas tinitus, bila tinitus bernada
tinggi biasanya kelainannya pada daerah
basal koklea, saraf pendengar perifer dan
121
Tinitus bukanlah penyakit atau memadai, sehingga diperlukan suatu
sindroma, tapi hanya merupakan gejala penelitian untuk menghitung banyaknya
yang mungkin berasal dari satu atau penderita tinituss ddi Indonesia.
sejumlah kelainan dan belum tentu bersifat
kelainan atau patologis. DAFTAR PUSTAKA
Tinitus baru menjadi gejala jika suara 3. Kartika, henny. 2009. Welcome
organ tubuh intensitasnya melebihi bunyi and joining otolaryngology in
masking lingkungan tadi. Tinitus kerap Indonesian language-tinitus.
diderita terutama orang pada kelompok http://hennykartika.wordpress.com/
usia pertengahan dan usia tua. Munculnya 2009 /01/24/tinitus/
gejala pada hampir kebanyakan orang (Accessed: January, 10 th)
sangat mengganggu dan sering 4. Jevuska. 2008.
mempengaruhi kualitas hidup dan Gangguanpendengaran-tinnitus.
pekerjaannya.1 http://www.jevuska.com/2008/08/3
0/ga ngguan-pendengaran-tinitus
SARAN (Accessed: January, 10 th)
Menurut data statistic dari pusat 5. Benson, Aaron G.2009. Inner ear-
kesehatan di Amerika, sekitar 32% orang tinnitus.
dewasa pernah mengalami tinitus pada http://emedicine.medscape.com/art
icle/8 56916-overview
suatu saat tertentu dalam hidupnya, dan 6
(Accessed: January, 10 th)
% nya sangat menganggu dan cukup sulit
6. Sudana, Wayan. 2003. Kumpulan
disembuhkan. Di Inggris, 17% populasi
Kuliah Audiologi Fakultas
juga memiliki masalah tinitus. Sayangnya Kedokteran Universitas Udayana.
di Indonesia belum ada data statistic yang
39
http://intisarisainsmedis.wee
bly.com/

122
E- ISSN: 2503-3638, Print ISSN:
2089-9084 ISM VOL. 6 NO.1,
MEI-AGUSTUS, HAL 34-40

5. Mustikasari, Dewi. 2009.


Bunyi mendenging di telinga.
This work is licensed under
http://id. a Creative Commons Attribution
shvoong.com /medicine-and-health/
1941960- bunyi-mendenging-di-telinga-
tinnitus/ (Accessed: January, 10 th)

123
124 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
124

ADVOKASI PERAWAT PADA PASIEN TINITUS

KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulilah penulis ucapkan atas kehadiran allah SWT serta
nikmat ilmu dan limpahan rahmat serta karunianya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “asuhan keperawatan tinitus”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang membantu dalam
pembuatan makalah ini terutama kepada dosen pengajar mata kuliah sistem
endokrin dan anggota kelompok yang sangat kompak dan saling membantu untuk
menyelesaikan tugas makalah ini.
Makalah ini belum sepenuhnya sempurna dan masih banyak terdapat
kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini, semoga makalah ini
dapat berguna bagi pembaca.

Palembang, Maret 2018

Penulis

124
125 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
125

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Secara umum, keperawatan telah berjalan dengan komitmen utamanya
terhadap klien, dan akhir-akhir ini advokasi klienpun telah disahkan dalam
peranan keperawatan itu sendiri. Advokasi menjadi satu hal yang harus di
perhatikan, sebagaimana pengertiannya “Perlindungan dan dukungan terhadap
hak-hak orang lain”. Sebagai kewajiban moral yang jelas bagi perawat, hal ini
(advokasi) telah menemukan justifikasi (pembenaran) kepada pendekatan
keperawatan yang didasarkan pada prinsip maupun asuhan, kedalam etika
keperawatan. Dari sebab itu, pada kesempatan ini kami akan mencoba membahas
tentang “Advokasi dalam keperawatan” secara ringkas dan mudah di mengerti.

B. Rumusan masalah
Sebagaimana latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah
adalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian advokasi?
2. Bagaimana peran perawat advokasi pada pasien tinnitus?
3. Dan bagaimana peran perawat sebagai advokator?

C. Tujuan penulisan
1. Memahami arti dari advokasi.
2. Mengetahui peran perawat advokasi pada pasien tinnitus?
3. Dan mengetahui bagaimana peranan perawat sebagai advokator.

125
126 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
126

BAB II
PEMBAHASAN
A. Advokasi
1. Pengertian advokasi

Advoksi secara harfiah berarti pembelaan, sokongan atau bantuan terhadap


seseorang yang mempunyai permasalahan. Istilah advokasi mula-mula digunakan
di bidang hukum atau pengadilan.
Fry (1987) mendefinisikan advokasi sebagai dukungan aktif terhadap
setiap hal yang memiliki penyebab atau dampak penting. Defenisi ini hampir
sama dengan yang dinyatakan oleh Gadow (1983) bahwa advokasi merupakan
dasar falsafah dan ideal keperawatan yang melibatkan bantuan perawat secara
aktif kepada individu untuk secara bebas menentukan nasibnya sendiri
(Priharjo,1995).
Menurut Kohnke dalam KoZier,B et all,. (1998) tindakan seorang
advocator adalah menginformasikan dan mendukung secara obyektif, berhati-hati
agar tidak bertentangan dengan setuju atau tidak setuju suatu keputusan yang
dipilih klien. Seorang advokator menginformasikan hak-hak klien dalam situasi
apapun sehingga klien dapat mengambil keputusan sendiri. Fokus peran advokasi
perawat adalah menghargai keputusan klien dan meningkatkan otonomi klien.
Hak-hak yang dimiliki oleh klien yakni hak untuk memilih nilai-nilai yang sesuai
dan penting bagi hidupnya, hak untuk menentukan jenis tindakan yang terbaik
untuk mencapai nilai-nilai yang diinginkan dan hak untuk membuang nilai-nilai
yang mereka pilih tanpa paksaan dari orang lain.
2. Peranan perawat sebagai advokator
Sebagai advokat klien, perawat berfungsi sebagai penghubung antara klien
dengan tim kesehatan lain dalam upaya pemenuhan kebutuhan klien, membela
kepentingan klien dan membantu klien memahami semua informasi dan upaya
kesehatan yang diberikan oleh tim kesehatan dengan pendekatan tradisional
maupun professional. Peran advokasi sekaligus mengharuskan perawat bertindak

126
127 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
127

sebagai nara sumber dan fasilitator dalam tahap pengambilan keputusan terhadap
upaya kesehatan yang harus dijalani oleh klien. Dalam menjalankan peran sebagai
advocat (pembela klien) perawat harus dapat melindungi dan memfasilitasi
keluarga dan masyarakat dalam pelayanan keperawatan.
Selain itu, perawat juga harus dapat mempertahankan dan melindungi hak-
hak klien, hak-hak klien tersebut antara lain: hak atas informasi; pasien berhak
memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah
sakit/sarana pelayanan kesehatan tempat klien menjalani perawatan. Hak
mendapat informasi yang meliputi hal-hal berikut:
i. penyakit yang dideritanya;
ii. tindakan medik apa yang hendak dilakukan;
iii. kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan tersebut dan tindakan
untuk mengatasinya;
iv. alternatif terapi lain beserta resikonya;
v. prognosis penyakitnya;
vi. perkiraan biaya pengobatan/rincian biaya atas penyakit yang
dideritanya;
vii. hak atas pelayanan yang manusiawi, adil, dan jujur;
viii. hak untuk memperoleh pelayanan keperawatan dan asuhan yang
bermutu sesuai dengan standar profesi keperawatan tanpa diskriminasi;
ix. hak menyetujui/ memberi izin persetujuan atas tindakan yang akan
dilakukan oleh perawat/ tindakan medik sehubungan dengan penyakit
yang dideritanya (informed consent);
x. hak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan
mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sesudah
memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya;
xi. hak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
xii. hak menjalankan ibadah sesuai agama/ kepercayaan yang
mengganggu pasien lain;

127
128 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
128

xiii. hak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam


perawatan di rumah sakit;
xiv. hak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit
terhadap dirinya;
xv. hak menerima atau menolak bimbingan moral maupun spiritual;
xvi. hak didampingi perawat keluarga pada saat diperiksa dokter;
xvii. hak untuk memilih dokter, perawat atau rumah sakit dan kelas
perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang
berlaku di rumah sakit atau sarana pelayanan kesehatan;
xviii. hak atas rahasia medic atau hak atas privacy dan kerahasian
penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya;
xix. hak meminta konsultasi kepada dokter lain yang terdaftar di rumah
sakit tersebut (second opion), terhadap penyakit yang dideritanya dengan
sepengetahuan dokter yang menangani;
xx. hak untuk mengetahui isi rekam medik ( Kusnanto,2004 ).

B. Peran perawat advokasi terhadap pasien tinitus


Tanggung jawab perawat advokat
Tanggung jawab perawat dalam menjalankan peran advokat pasien
dikaitkan dengan pasien katarak sesuai intervensi adalah :
a. Sebagai pendukung pasien dalam proses pembuatan keputusan,
dengan cara :

Berdasarkan Intervensi: Berikan penyuluhan dan informasi yang aktual


tentang tinnitus
1. Memastikan informasi yang diberikan pada pasien dipahami dan berguna
bagi pasien dalam pengambilan keputusan, pasien mengetahui tentang
penyakit tinitus,serta komplikasi yang akan terjadi, perawatan yang akan
dilakukan, jadwal pengobatan dan keberhasilan pengobatan.
2. Memberikan berbagai alternatif pilihan tentang pemilihan pengobatan dan
keberhasilan pengobatan atau perawatan yang dilakukan disertai

128
129 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
129

penjelasan keuntungan dan kerugian dari setiap keputusan yang diambil,


dan menerima semua keputusan pasien.

b. Sebagai mediator (penghubung) antara pasien dan orang-orang


disekeliling pasien, dengan cara :

Berdasarkan Intervensi: Kolaborasi pemberian obat tidur


1. Mengatur pelayanan keperawatan yang dibutuhkan pasien yaitu
berkolaborasi dengan tenaga kesehatan yang lain Seperti dokter
atau apoteker, dalam pemberian dosis obat.
2. Mengklarifikasi komunikasi antara pasien, keluarga, dan tenaga
kesehatan lain agar antara pasien, keluarga dengan perawat atau
dokter memiliki pemahaman tentang penyakit tinitus yang sama
tentang pemberian obat serta dosis yang diberikan.
3. Menjelaskan kepada pasien peran tenaga perawat yang
merawatnya yang berkolaborasi dengan dokter atau apoteker
tentang pemberian dosis obat yg diindikasikan.

c. Sebagai orang yang bertindak atas nama pasien dengan cara :


Berdasarkan Intervensi: Anjurkan klien untuk rileks, dan menghindari
stress
1. Mengurangin ketegangan dan membuat perasaan pasien lebih nyaman dan
tenang dan dekat dengan keluarga atau dekat dengan perawat, agar dapat
mengatur dan membantu pola aktifitas dan membantu menghilangkan
stress.
2. melindungi pasien dari tindakan yang dapat merugikan pasien, yaitu
seperti stress yang berlebihan dan tidak adanya rileks dengan cara
pembatasan aktifitas.
3. memenuhi semua kebutuhan pasien selama dalam perawatan yaitu dengan
mendekatkan benda- benda yang dibutuhkan pasien selama perawatan,dan
Memfasilitasi kebebasan bergerak dengan aman dan meningkatkan
keamanan.

129
130 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
130

Hal ini dilakukan seorang perawat secara mandiri tanpa bantuan tim medis lainnya
tetapi memberikan pelayanan atau tindakan khusus yang menjadi kewenangan
dokter. Oleh karena itu, setiap kegagalan tindakan medis menjadi tanggung jawab
dokter. Setiap tindakan perawat yang berdasarkan perintah dokter, dengan
menghormati hak pasien tidak termasuk dalam tanggung jawab perawat.

130
131 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
131

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sebagaimana yang kami paparkan di atas, maka yang menjadi kesimpulan adalah
sebagai berikut :
 Advoksi secara harfiah berarti pembelaan, sokongan atau bantuan terhadap
seseorang yang mempunyai permasalahan. Istilah advokasi mula-mula
digunakan di bidang hukum atau pengadilan.
 Sebagai advokat klien, perawat berfungsi sebagai penghubung antara klien
dengan tim kesehatan lain dalam upaya pemenuhan kebutuhan klien, membela
kepentingan klien dan membantu klien memahami semua informasi dan upaya
kesehatan yang diberikan oleh tim kesehatan dengan pendekatan tradisional
maupun professional. Peran advokasi sekaligus mengharuskan perawat
bertindak sebagai nara sumber dan fasilitator dalam tahap pengambilan
keputusan terhadap upaya kesehatan yang harus dijalani oleh klien. Dalam
menjalankan peran sebagai advocat (pembela klien) perawat harus dapat
melindungi dan memfasilitasi keluarga dan masyarakat dalam pelayanan
keperawatan.

B. SARAN
Adapun yang menjadi saran dari paparan kami di atas adalah sebagai berikut :
Dengan mengetahui arti dari advokasi, peran, dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya, di harapkan kepada seluruh perawat agar mampu menjadi
advokator yang baik dan handal, yang berkerja secara profesional, yang tidak
hanya menjadi advokator pasien/klien, tapi juga menjadi pembela kelayakan
untuk keluarga pasien, baik itu dari segi kenyamanan, kelayakan dan juga
pelayanan-pelayanan keperawatan lainnya.

131
132 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
132

DAFTAR PUSTAKA
Ali. Dasar-Dasar Keperawatan Profesional. Jakarta, Widya Medika, 2004.
Hamid, Abdurrahman. 2011. Handout Nursing Advocacy
www.google.com
Dwi Antara Nugraha. 2017.Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan
sistem pendengaran. Pustaka Baru Press. Yogyakarta

132
133 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
133

ASKEP PENKES JURNAL DAN ADVOKASI PADA


GLAUKOMA

DI SUSUN OLEH :
DIERA LITA SABIVA : A21612040

DOSEN PEMBIMBING : Ns.Putinah, S.kep, M.Kep


TUGAS : SISTEM SENSORI PERSEPSI
PRODI : S1 KEPERAWATAN / IVB

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


SITI KHADIJAH PALEMBANG

T.A 2017/2018

133
134 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
134

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan pada GLAUKOMA” dengan sebaik-baiknya.
Adapun maksud dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi
“Sistem Persepsi dan sensori”.
Dalam penyusunan makalah ini,penulis telah mengalami berbagai hal baik
suka maupun duka. Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak akan
selesai dengan lancar dan tepat waktu tanpa adanya bantuan, dorongan, serta
bimbingan dari berbagai pihak.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari masih banyak
kekurangan baik pada teknik penulisan maupun materi. Untuk itu kritik dan saran
dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan dapat diterapkan dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang
berhubungan dengan judul makalah ini.

Palembang, April 2018

Penyusun

134
135 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
135

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. 2


DAFTAR ISI ................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN............................................................................4
BAB I LATAR BELAKANG ..................................................................... 5
K. Definisi ............................................................................................. 5
L. Anatomi dan Fisiologi ....................................................................... 5
M. Etiologi .............................................................................................. 6
N. Klasifikasi ......................................................................................... 6
O. Patofisiologi ...................................................................................... 7
P. Manifestasi Klinik ............................................................................. 7
Q. Komplikasi ........................................................................................ 8
R. Pemeriksaan Penunjang .................................................................... 9
S. Penatalaksanaan medis dan keperawatan .......................................... 10
BAB II ASKEP KLIEN GLAUKOMA ..................................................... 15
E. Pengkajian ......................................................................................... 15
F. Rencana Keperawatan ....................................................................... 15
BAB III PENUTUP ..................................................................................... 19
D. Kesimpulan ...................................................................................... 19
E. Saran .................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 20

135
136 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
136

BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Mata adalah alat indera kompleks yang berevolusi dari bintik –
bintik peka sinar primitif pada permukaan golongan intervertebrata. Dalam
bungkus pelindungnya mata memiliki lapisan reseptor, sistem lensa yang
membiaskan cahaya ke reseptor tersebut, dan sistem saraf yang
menghantarkan impuls dari reseptor ke otak. (Ivan Goldberg, 2017).
Iris adalah cincin sentral berwarna darimana secara normal
berbentuk normal sempurna, sangat responsif terhadap cahaya baik secara
langasung maupun tidak langsung, dan tepi perifernya sangat teratur. Setiap
variasi dari kriteria normal ini dianggap patologik. Satu – satunya keadaan
dimana ketidakteraturan tepi iris dapat dihilangkan secara diagnostik adalah
setelah pembedahan katarak yang telah menggeser sebagian dari iris secara
mekanis. Iris yang berbentuk seperti lubang kunci dapat terjadi pada kejadian
yang jarang, kedua iris akan berbeda warnanya jika diperhatikan.
Ketidaksimetrisan dalam warna iris yang normla adalah kongenital
(heterokromia) dan terjadi sejak masa keci. (Ivan Goldberg, 2017).

2. TUJUAN
a. Mahasiswa memahami apa itu glaukoma.
b. Mahasiswa mengetahui penyebab glaukoma.
c. Mahasiswa mengetahui tanda dan gejala glaukoma.
3. RUMUSAN MASALAH
1) Apa definisi Glaukoma?
2) Apa penyebab Glaukoma?
3) Bagaimana perjalanan penyakit Glaukoma?
4) Apa saja tanda dan gejala?
5) Apa pemeriksaan penunjang dan diagnostik penyakit Glaukoma?
6) Bgaimana penatalaksanaan medis Glaukoma?

136
137 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
137

BAB II

LAPORAN PENDAHULUAN

A. DEFINISI
Glaukoma adalah suatu penyakit yang memberikan gambaran klinik
berupa peninggian tekanan bola mata, penggaungan papil saraf optik dengan
defek lapang pandangan mata. (Ivan Goldberg, 2017).
Galukoma adalah sekelompok kelainan mata yang ditandai dengan
peningkatan tekanan intraokuler. (Andrew Jackson, 2012)
Glaukoma adalah kondisi mata yang biasanya disebabkan oleh
peningkatan abnormal tekanan intraokular ( sampai lebih dari 20 mmHg).
(Fitriyani, 2011).

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Humor akuos berperan sebagai pembawa zat makanan dan oksigen untuk
organ di dalam mata yang tidak berpembuluh darah yaitu lensa dan kornea,
disamping itu juga berguna untuk mengangkut zat buangan hasil metabolisme
pada kedua organ tersebut. Adanya cairan tersebut akan mempertahankan bentuk
mata dan menimbulkan tekanan dalam bola mata/tekanan intra okuler. Tekanan
intraokuler inilah yang berperan dalam terjadinya glaukoma sehingga
menimbulkan kerusakan pada saraf optik. Humor akuos diproduksi oleh badan
silier, masuk ke dalam bilik mata belakang kemudian mengalir ke bilik mata
depan melalui pupil. Setelah sampai ke bilik mata depan humor akuos akan
meninggalkan bola mata melalui suatu bangunan yang disebut trabekulum yang

137
138 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
138

terletak di sudut iridokornea. Keseimbangan antara produksi dan pengeluaran/


pembuangan humor akuos inilah yang menentukan jumlah humor akuos di dalam
bola mata. (Ivan Goldberg, 2017).

C. ETIOLOGI
Penyakit yang ditandai dengan peninggian tekanan intraokuler ini disebabkan
oleh :
- Bertambahnya produksi cairan mata oleh badan ciliary
- Berkurangnya pengeluaran cairan mata di daerah sudut bilik mata atau di
celah pupil. . (Andrew Jackson, 2012)

D. KLASIFIKASI
1. Glaukoma primer
- Glaukoma sudut terbuka
Merupakan sebagian besar dari glaukoma ( 90-95% ) , yang
meliputi kedua mata. Timbulnya kejadian dan kelainan berkembang secara
lambat. Disebut sudut terbuka karena humor aqueousmempunyai pintu
terbuka ke jaringan trabekular. Pengaliran dihambat oleh perubahan
degeneratif jaringan rabekular, saluran schleem, dan saluran yg
berdekatan. Perubahan saraf optik juga dapat terjadi. Gejala awal biasanya
tidak ada, kelainan diagnose dengan peningkatan TIO dan sudut ruang
anterior normal. Peningkatan tekanan dapat dihubungkan dengan nyeri
mata yang timbul. (Andrew Jackson, 2012)
- Glaukoma sudut tertutup(sudut sempit)
Disebut sudut tertutup karena ruang anterior secara anatomis
menyempit sehingga iris terdorong ke depan, menempel ke jaringan
trabekular dan menghambat humor aqueous mengalir ke saluran
schlemm. Pergerakan iris ke depan dapat karena peningkatan tekanan
vitreus, penambahan cairan di ruang posterior atau lensa yang
mengeras karena usia tua. Gejala yang timbul dari penutupan yang
tiba- tiba dan meningkatnya TIO, dapat berupa nyeri mata yang berat,

138
139 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
139

penglihatan yang kabur dan terlihat hal. Penempelan iris menyebabkan


dilatasi pupil, bila tidak segera ditangani akan terjadi kebutaan dan
nyeri yang hebat.
(Ivan Goldberg, 2017).
2. Glaukoma sekunder
Dapat terjadi dari peradangan mata , perubahan pembuluh darah dan
trauma . Dapat mirip dengan sudut terbuka atau tertutup tergantung pada
penyebab.
- Perubahan lensa
- Kelainan uvea
- Trauma
- Bedah

3. Glaukoma kongenital
- Primer atau infantil
- Menyertai kelainan kongenital lainnya
4. Glaukoma absolut
Merupakan stadium akhir glaukoma ( sempit/ terbuka) dimana sudah
terjadi kebutaan total akibat tekanan bola mata memberikan gangguan
fungsi lanjut .Pada glaukoma absolut kornea terlihat keruh, bilik mata
dangkal, papil atrofi dengan eksvasi glaukomatosa, mata keras seperti
batu dan dengan rasa sakit.sering mata dengan buta ini mengakibatkan
penyumbatan pembuluh darah sehingga menimbulkan penyulit berupa
neovaskulisasi pada iris, keadaan ini memberikan rasa sakit sekali akibat
timbulnya glaukoma hemoragik. . (Andrew Jackson, 2012)
Pengobatan glaukoma absolut dapat dengan memberikan sinar beta
pada badan siliar, alkohol retrobulber atau melakukan pengangkatan bola
mata karena mata telah tidak berfungsi dan memberikan rasa sakit.
(Fitriyani,2011)

139
140 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
140

Berdasarkan lamanya :
1. GLAUKOMA AKUT
a. Definisi
Glaukoma akut adalah penyakit mata yang disebabkan oleh tekanan
intraokuler yang meningkat mendadak sangat tinggi.
b. Etiologi
Dapat terjadi primer, yaitu timbul pada mata yang memiliki bakat
bawaan berupa sudut bilik mata depan yang sempit pada kedua mata,
atau secara sekunder sebagai akibat penyakit mata lain. Yang paling
banyak dijumpai adalah bentuk primer, menyerang pasien usia 40
tahun atau lebih.

c. Faktor Predisposisi
Pada bentuk primer, faktor predisposisinya berupa pemakaian obat-
obatan midriatik, berdiam lama di tempat gelap, dan gangguan
emosional. Bentuk sekunder sering disebabkan hifema,
luksasi/subluksasi lensa, katarak intumesen atau katarak hipermatur,
uveitis dengan suklusio/oklusio pupil dan iris bombe, atau pasca
pembedahan intraokuler.

d. Manifestasi klinik
1). Mata terasa sangat sakit. Rasa sakit ini mengenai sekitar mata dan
daerah belakang kepala .
2). Akibat rasa sakit yang berat terdapat gejala gastrointestinal berupa
mual dan muntah , kadang-kadang dapat mengaburkan gejala
glaukoma akut.
3). Tajam penglihatan sangat menurun.
4). Terdapat halo atau pelangi di sekitar lampu yang dilihat.
5). Konjungtiva bulbi kemotik atau edema dengan injeksi siliar.
6). Edema kornea berat sehingga kornea terlihat keruh.

140
141 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
141

7). Bilik mata depan sangat dangkal dengan efek tyndal yang positif,
akibat timbulnya reaksi radang uvea.
8). Pupil lebar dengan reaksi terhadap sinar yang lambat.
9). Pemeriksaan funduskopi sukar dilakukan karena terdapat
kekeruhan media penglihatan.
10). Tekanan bola mata sangat tinggi.
11). Tekanan bola mata antara dua serangan dapat sangat normal.
e. Pemeriksaan Penunjang
Pengukuran dengan tonometri Schiotz menunjukkan peningkatan
tekanan.
Perimetri, Gonioskopi, dan Tonografi dilakukan setelah edema kornea
menghilang.
f. Penatalaksanaan
Penderita dirawat dan dipersiapkan untuk operasi. Dievaluasi tekanan
intraokuler (TIO) dan keadaan mata. Bila TIO tetap tidak turun,
lakukan operasi segera. Sebelumnya berikan infus manitol 20% 300-
500 ml, 60 tetes/menit. Jenis operasi, iridektomi atau filtrasi,
ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaab gonoskopi setelah
pengobatan medikamentosa. (Fitriyani,2011)

2. GLAUKOMA KRONIK
a. Definisi
Glaukoma kronik adalah penyakit mata dengan gejala peningkatan tekanan
bola mata sehingga terjadi kerusakan anatomi dan fungsi mata yang
permanen.
b. Etiologi
Keturunan dalam keluarga, diabetes melitus, arteriosklerosis, pemakaian
kortikosteroid jangka panjang, miopia tinggi dan progresif.
c. Manifestasi klinik
Gejala-gejala terjadi akibat peningkatan tekanan bola mata. Penyakit
berkembang secara lambat namun pasti. Penampilan bola mata seperti

141
142 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
142

normal dan sebagian tidak mempunyai keluhan pada stadium dini. Pada
stadium lanjut keluhannya berupa pasien sering menabrak karena
pandangan gelap, lebih kabur, lapang pandang sempit, hingga kebutaan
permanen.
d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tekanan bola mata dengan palpasi dan tonometri
menunjukkan peningkatan. Nilai dianggap abnormal 21-25 mmHg dan
dianggap patologik diatas 25 mmHg.
Pada funduskopi ditemukan cekungan papil menjadi lebih lebar dan
dalam, dinding cekungan bergaung, warna memucat, dan terdapat
perdarahan papil. Pemeriksaan lapang pandang menunjukkan lapang
pandang menyempit, depresi bagian nasal, tangga Ronne, atau skotoma
busur.
e. Penatalaksanaan
Pasien diminta datang teratur 6 bulan sekali, dinilai tekanan bola mata dan
lapang pandang. Bila lapang pandang semakin memburuk,meskipun hasil
pengukuran tekanan bola mata dalam batas normal, terapi ditingkatkan.
Dianjurkan berolahraga dan minum harus sedikit-sedikit.
(Andrew Jackson, 2012)

142
143 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
143

E. PATHWAY GLAUKOMA

Usia > 40 th

Kortikosteroid jangka panjang


Miopia
Trauma mata

Obstruksi jaringan peningkatan


tekanan
Trabekuler Vitreus

Hambatan pengaliran pergerakan iris


kedepan
Cairan humor aqueous

TIO meningkat Glaukoma TIO Meningkat


Nyeri

Penempelan Pupil
tindakan operasi
Di Jaringan Trabekular
Anxietas Gangguan Saraf Optik

Defisiensi
Dilatasi Pupil
pengetahuan
Perubahan penglihatan
Perifer
Resiko Cidera

Gangguan
persepsi
sensori
penglihatan
143
144 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
144

F. MANIFESTASI KLINIK
1. Nyeri pada mata dan sekitarnya (orbita, kepala, gigi, telinga).
2. Pandangan kabut, melihat halo sekitar lampu.
3. Mual, muntah, berkeringat.
4. Mata merah, hiperemia konjungtiva, dan siliar.
5. Visus menurun.
6. Edema kornea.
7. Bilik mata depan dangkal (mungkin tidak ditemui pada glaukoma sudut
terbuka).
8. Pupil lebar lonjong, tidak ada refleks terhadap cahaya.
(Andrew Jackson, 2012)

G. KOMPLIKASI
Kebutaan dapat terjadi pada semua jenis glaukoma, glaukoma
penutupan sudut akut adalah suatu kedaruratan medis. agens topikal yang
digunakan untuk mengobati glaukoma dapat memiliki efek sistemik yang
merugikan, terutama pada lansia. Efek ini dapat berupa perburukan kondisi
jantung, pernapsan atau neurologis.
(Andrew Jackson, 2012)

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. PEMERIKSAAN TAJAM PENGLIHATAN
Pemeriksaan tajam penglihatan bukan merupakan pemeriksaan khusus untuk
glaukoma.
a. Tonometri
Tonometri diperlukan untuk mengukur tekanan bola mata. Dikenal empat
cara tonometri, untuk mengetahui tekanan intra ocular yaitu :
- Palpasi atau digital dengan jari telunjuk
- Indentasi dengan tonometer schiotz

144
145 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
145

- Aplanasi dengan tonometer aplanasi goldmann


- Nonkontak pneumotonometri
Tonomerti Palpasi atau Digital\
Cara ini adalah yang paling mudah, tetapi juga yang paling tidak cermat,
sebab cara mengukurnya dengan perasaan jari telunjuk. Dpat digunakan dalam
keadaan terpaksa dan tidak ada alat lain. Caranya adalah dengan dua jari telunjuk
diletakan diatas bola mata sambil pendertia disuruh melihat kebawah. Mata tidak
boleh ditutup, sebab menutup mata mengakibatkan tarsus kelopak mata yang
keras pindah ke depan bola mata, hingga apa yang kita palpasi adalah tarsus dan
ini selalu memberi kesan perasaan keras. Dilakukan dengan palpasi : dimana satu
jari menahan, jari lainnya menekan secara bergantian.
Tinggi rendahnya tekanan dicatat sebagai berikut :
N : normal
N + 1 : agak tinggi
N + 2 : untuk tekanan yang lebih tinggi
N – 1 : lebih rendah dari normal
N – 2 : lebih rendah lagi, dan seterusnya
2. GONIOSKOPI
Gonioskopi adalah suatu cara untuk memeriksa sudut bilik mata depan dengan
menggunakan lensa kontak khusus. Dalam hal glaukoma gonioskopi diperlukan
untuk menilai lebar sempitnya sudut bilik mata depan.
3. OFTALMOSKOPI
Pemeriksaan fundus mata, khususnya untuk mempertahankan keadaan papil saraf
optik, sangat penting dalam pengelolaan glaukoma yang kronik. Papil saraf optik
yang dinilai adalah warna papil saraf optik dan lebarnya ekskavasi. Apakah suatu
pengobatan berhasil atau tidak dapat dilihat dari ekskavasi yang luasnya tetap atau
terus melebar.

145
146 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
146

4. PEMERIKSAAN LAPANG PANDANG


a. Pemeriksaan lapang pandang perifer :lebih berarti kalau glaukoma
sudah lebih lanjut, karena dalam tahap lanjut kerusakan lapang pandang akan
ditemukan di daerah tepi, yang kemudian meluas ke tengah.
b. Pemeriksaan lapang pandang sentral : mempergunakan tabir Bjerrum,
yang meliputi daerah luas 30 derajat. Kerusakan – kerusakan dini lapang pandang
ditemukan para sentral yang dinamakan skotoma Bjerrum.

Pada penderita dengan dugaan glaukoma harus dilakukan pemeriksaan sebagai


berikut:
1. Biomikroskopi, untuk menentukan kondisi segmen anterior mata,
dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan apakah glaukomanya merupakan
glaukoma primer atau sekunder.
2. Gonioskopi, menggunakan lensa gonioskop. Pemeriksaan ini bertujuan
untuk melihat sudut pembuangan humor akuos sehingga dapat ditentukan jenis
glaukomanya sudut terbuka atau tertutup.
3. Oftalmoskopi, yaitu pemeriksaan untuk menentukan adanya kerusakan
saraf optik berdasarkan penilaian bentuk saraf optik menggunakan alat
oftalmoskop direk.
4. OCT (Optical Coherent Tomography). Alat ini berguna untuk mengukur
ketebalan serabut saraf sekitar papil saraf optik sehingga jika terdapat kerusakan
dapat segera dideteksi sebelum terjadi kerusakan lapang pandangan, sehingga
glaukoma dapat ditemukan dalam stadium dini
5. Perimetri, alat ini berguna untuk melihat adanya kelainan lapang
pandangan yang disebabkan oleh kerusakan saraf optik.
6. Tonometri, pemeriksaan ini bertujuan untuk mengukur besarnya
tekanan bola mata/tekanan intraokuler/TIO.
(Andrew Jackson, 2012)

146
147 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
147

I. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Iridektomi perifer.
Digunakan untuk membuat saluran dari bilik mata belakang dan depan
karena telah terdapat hambatan dalam pengaliran humor akueus. Hal ini hanya
dapat dilakukan jika sudut yang tertutup sebanyak 50%.
b. Trabekulotomi (Bedah drainase)
Dilakukan jika sudut yang tertutup lebih dari 50% atau gagal dengan
iridektomi.
(Fitriyani,2011)

147
148 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
148

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A.PENGKAJIAN
a) Aktivitas / Istirahat :
Perubahan aktivitas biasanya / hobi sehubungan dengan gangguan
penglihatan.
b) Makanan / Cairan :
Mual, muntah (glaukoma akut)
c) Neurosensori :
Gangguan penglihatan (kabur/tidak jelas), sinar terang menyebabkan
silau dengan kehilangan bertahap penglihatan perifer, kesulitan
memfokuskan kerja dengan dekat/merasa di ruang gelap (katarak).
Penglihatan berawan/kabur, tampak lingkaran cahaya/pelangi sekitar
sinar, kehilangan penglihatan perifer, fotofobia(glaukoma akut).
Perubahan kacamata/pengobatan tidak memperbaiki penglihatan.
Tanda :
Papil menyempit dan merah/mata keras dengan kornea berawan.
Peningkatan air mata.
d) Nyeri / Kenyamanan :
Ketidaknyamanan ringan/mata berair (glaukoma kronis)
Nyeri tiba-tiba/berat menetap atau tekanan pada dan sekitar mata, sakit
kepala (glaukoma akut).
e) Penyuluhan / Pembelajaran
Riwayat keluarga glaukoma, DM, gangguan sistem vaskuler.
Riwayat stres, alergi, gangguan vasomotor (contoh: peningkatan
tekanan vena), ketidakseimbangan endokrin.
Terpajan pada radiasi, steroid/toksisitas fenotiazin.
1). Pemeriksaan Diagnostik
(1) Kartu mata Snellen/mesin Telebinokular (tes ketajaman penglihatan
dan sentral penglihatan) : Mungkin terganggu dengan kerusakan

148
149 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
149

kornea, lensa, aquous atau vitreus humor, kesalahan refraksi, atau


penyakit syaraf atau penglihatan ke retina atau jalan optik.
(2) Lapang penglihatan : Penurunan mungkin disebabkan CSV,
massa tumor pada hipofisis/otak, karotis atau patologis arteri serebral
atau glaukoma.
(3) Pengukuran tonografi : Mengkaji intraokuler (TIO) (normal 12-25
mmHg)
(4) Pengukuran gonioskopi :Membantu membedakan sudut terbuka dari
sudut tertutup glaukoma.
(5) Tes Provokatif :digunakan dalam menentukan tipe
glaukoma jika TIO normal atau hanya meningkat ringan.
(6) Pemeriksaan oftalmoskopi:Mengkaji struktur internal okuler, mencatat
atrofi lempeng optik, papiledema, perdarahan retina, dan
mikroaneurisma.
(7) Darah lengkap, LED :Menunjukkan anemia sistemik/infeksi.
(8) EKG, kolesterol serum, dan pemeriksaan lipid: Memastikan
aterosklerosisi,PAK.
(9) Tes Toleransi Glukosa :menentukan adanya DM.

149
150 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
150

B.DIAGNOSA DAN INTERVENSI

NO DIAGNOSA INTERVENSI RASIONA


L
1 Nyeri b/d peningkatan - kaji tipe intensitas dan -pasien
tekanan intra okuler lokasi nyeri mendemon
(TIO) yang ditandai - kaji tingkatan skala nyeri strasikan
dengan mual dan untuk menentukan dosis pengetahua
muntah. analgesik n akan
- anjurkan istirahat penilaian
ditempat tidur dalam pengontrol
ruangan yang tenang an nyeri
- atur sikap fowler 300 atau -pasien
dalam posisi nyaman. mengataka
- Hindari mual, muntah n nyeri
karena ini akan berkurang/
meningkatkan TIO hilang
- Alihkan perhatian pada -ekspresi
hal-hal yang wajah
menyenangkan rileks
- Berikan analgesik sesuai
anjuran

2 Gangguan persepsi -Pastikan derajat/tipe -Pasien


sensori : penglihatan kehilangan penglihatan akan
b.d gangguan -Dorong mengekspresikan berpartisip
penerimaan;gangguan perasaan tentang kehilangan / asi dalam
status organ ditandai kemungkinan kehilangan program
dengan kehilangan penglihatan pengobatan
lapang pandang -Tunjukkan pemberian tetes -Pasien
progresif. mata, contoh menghitung akan

150
151 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
151

tetesan, menikuti jadwal, mempertah


tidak salah dosis ankan
-Lakukan tindakan untuk lapang
membantu pasien ketajaman
menanganiketerbatasan penglihatan
penglihatan, contoh, kurangi tanpa
kekacauan,atur perabot, kehilangan
ingatkan memutar kepala ke lebih
subjek yang terlihat; perbaiki lanjut.
sinar suram dan masalah
penglihatan malam.
-Kolaborasi obat sesuai
dengan indikasi

3 Ansietas b. d faktor -Kaji tingkat ansitas, derajat -Pasien


fisilogis, perubahan pengalaman nyeri/timbul nya tampak
status kesehatan, gejala tiba-tiba dan rileks dan
adanya nyeri, pengetahuan kondisi saat ini. melaporka
kemungkinan/kenyataan -.Berikan informasi yang n ansitas
kehilangan penglihatan akurat dan jujur. Diskusikan menurun
ditandai dengan kemungkinan bahwa sampai
ketakutan, ragu-ragu, pengawasan dan pengobatan tingkat
menyatakan masalah mencegah kehilangan dapat
tentang perubahan penglihatan tambahan. diatasi.
kejadian hidup. - Dorong pasien untuk -Pasien
mengakui masalah dan menunjukk
mengekspresikan perasaan. an
- Identifikasi sumber/orang ketrampila
yang menolong. n
pemecahan

151
152 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
152

masalah
-Pasien
menggunak
an sumber
secara
efektif

4 Defisiensi pengetahuan -Diskusikan perlunya -pasien


(kebutuhan belajar) menggunakan identifikasi, menyataka
tentang kondisi, -Tunjukkan tehnik yang n
prognosis, dan benar pemberian tetes mata. pemahama
pengobatan b.d kurang -Izinkan pasien mengulang n kondisi,
terpajan/tak mengenal tindakan. prognosis,
sumber, kurang -Kaji pentingnya dan
mengingat, salah mempertahankan jadwal pengobatan
interpretasi, ditandai obat, contoh tetes mata. .
dengan ;pertanyaan, Diskusikan obat yang harus -
pernyataan salah dihindari, contoh midriatik, Mengidenti
persepsi, tak akurat kelebihan pemakaian steroid fikasi
mengikuti instruksi, topikal. hubungan
terjadi komplikasi yang -Identifikasi efek antar
dapat dicegah. samping/reaksi merugikan gejala/tand
dari pengobatan a dengan
(penurunan nafsu makan, proses
mual/muntah, kelemahan, penyakit
-Dorong pasien membuat -
perubahan yang perlu untuk Melakukan
pola hidup prosedur
-Dorong menghindari dengan
aktivitas,seperti mengangkat benar dan

152
153 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
153

berat/men dorong, menjelaska


menggunakan baju ketat dan n alasan
sempit. tindakan.
-Diskusikan pertimbangan
diet, cairan adekuat dan
makanan berserat.
[-Tekankan pemeriksaan
rutin.
-Anjurkan anggota keluarga
memeriksa secara teratur
tanda glaukoma.

5 Resiko Cidera b.d kebutaan - Bersihkan Sekret mata


-. Sekret
dengan benar
mata akan
- Kaji keseimbangan tubuh
membuat
pasien
pandangan
- Observasi ttv
kabur
- Beriukan lingkungan
-. Terjadi
yang aman dan nyaman
penurunan
- Penuhi kebutuhan pasien
tajam
libatkan keluarga saat
penglihatan
pasien bepergian
akibat sekret
mata
-
.Mengurang
i fotofobia
yang dapat
menggangg
u

153
154 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
154

penglihatan
klien

154
155 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
155

BAB III
PENUTUP

III. 1 KESIMPULAN
Glaukoma adalah suatu penyakit yang memberikan gambaran
klinik berupa peninggian tekanan bola mata, penggaungan papil saraf optik
dengan defek lapang pandangan mata. (Ivan Goldberg, 2017).
Galukoma adalah sekelompok kelainan mata yang ditandai dengan
peningkatan tekanan intraokuler. . (Andrew Jackson, 2012)
Penyakit yang ditandai dengan peninggian tekanan intraokuler ini
disebabkan oleh :
- Bertambahnya produksi cairan mata oleh badan ciliary
- Berkurangnya pengeluaran cairan mata di daerah sudut bilik mata atau di
celah pupil

III.2 SARAN
Sebaiknya, kita harus menjaga kebersihan mata kita dan disekitr mata agar
tidak terkena penyakit glaukoma.

155
156 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
156

DAFTAR PUSTAKA

Jackson, Andrew. 2012. Understanding And Living With Glaucoma. Jakarta.EGC


Fitriyani,2011.Glaukoma Fakolitik.Surabaya.Yudistira
Goldberg,Ivan.Glaucoma To Save Your Sight.New York.2017

156
157 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
157

JURNAL GLAUKOMA
V
o
l
.

7
.

N
o
.

J
u
n
i

2
0
1
1

Glaucoma Caused Blindness with Its


Characteristic in Cipto
Mangunkusumo Hospital

Widya Artini, Dame


Department of Ophthalmology, Faculty of Medicine Indonesia University/Cipto
Mangunkusumo Hospital Jakarta
ABSTRACT
The aim of this study is to assess the incidence of blindness caused by
glaucoma and its characteristic. It was a descriptive, retrospective study . all
new glaucoma patients who visit Cipto Mangunkusumo hospital were included.
Visual acuity, intra ocular pressure (IOP), gonioscopy, funduscopy and visual
field were noted. A total of 625 glaucoma patients were analyzed and 325
patients of it were found blind. Fifty of these belonged to women, and mean age
was 53 years old. The incidens of unilateral blindness was 67.7% the caused of
blindness was secundary glaucoma (26.4%) followed by PACG (20.6%) and
POAG (14.5%). Meanwhile, bilateral blindness was found in 32% and
secundary glaucoma was the greatest number of caused. Blindness among
glaucoma patients are still high

157
158 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
158

Key words: glaucoma, blindness, primary closed angle glaucoma, primary


open angle glaucoma, secondary glaucoma, intraocular pressure, optic nerve
atrophy

Correspondence: Widya Artini, c/o: Departemen Ilmu Kesehatan Mata RSUPN


Cipto Mangunkusumo/Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jl. Kimia No. 8 Jakarta Pusat (RSCM Kirana). E-mail:
ikkesumantri@gmail.com.

158
159 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
159

Karakteristik glaukoma yang menjadi penyebab


PENDAHULUAN terbanyak kebutaan juga bervariasi tiap negara.6
Glaukoma adalah kelainan optik neuropati
disertai kelainan lapang pandang yang Penelitian oleh Affandi, yang dilakukan di
karakteristik dan peningkatan tekanan intra
okular (TIO) merupakan faktor risiko utama.1 Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)

Berdasarkan survei kesehatan mata yang pada tahun 1985 menunjukkan insiden

dilakukan oleh Departemen Kesehatan glaukoma sebesar 1,8% di antara seluruh kasus

Republik Indonesia pada tahun baru penyakit mata yang berusia di atas 40
1993–1996 menunjukkan bahwa glaukoma tahun.8 Laporan deskriptif oleh Djatikusumo
(0,2%) adalah penyebab kebutaan kedua
terbanyak setelah katarak (0,7%) dari 1,5% tahun 1999, menemukan insidens kebutaan
populasi Indonesia yang telah mengalami
kebutaan.2 Glaukoma penyebab kebutaan yang cukup tinggi pada penderita glaukoma
permanen dan merupakan penyebab kebutaan
nomor 2 di dunia.2,3,4 baru di RSCM, yaitu sebesar 79%.9
Jumlah penyakit glaukoma di dunia oleh Institusi pendidikan di kota besar Indonesia
World Health Organization (WHO) maupun pihak swasta telah melakukan
diperkirakan ± 60,7 juta orang di tahun 2010, penyuluhan di berbagai media dalam upaya
meningkatkan tingkat kesadaran masyarakat
akan menjadi 79,4 juta di tahun 2020.5 Oleh
mengenai glaukoma si pencuri penglihatan.
karena itu, untuk mengatasinya dicanangkan
Tujuan penelitian ini mengetahui insiden
vision 2020. Berdasarkan golongan usia,
sebesar 88,8% dari populasi kebutaan global kebutaan akibat glaukoma di era tahun 2000-an
berusia di atas 60 tahun dan terutama berasal di RS Cipto Mangunkusumo dan karakteristik
dari negara-negara yang sedang berkembang. penyebab kebutaannya.
Angka yang tinggi tersebut terjadi terutama
berada di Afrika dan Asia, yaitu sekitar 75% dari METO
kebutaan total dunia.3 Perkiraan prevalensi
DE
glaukoma yang mengalami kebutaan dalam
populasi cukup bervariasi dari satu negara ke Penelitian ini merupakan penelitian
negera lain.6,7 retrospektif deskriptif. Data diperoleh dari
rekam medis semua penderita baru yang
datang berobat ke poliklinik mata

159
160 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
160

seluruh jumlah penderita baru glaukoma dalam


divisi glaukoma, poliklinik mata RSUPN 1 tahun yang sama di poliklinik tersebut
dr. Cipto dikalikan 100%.
Karakteristik yang dinilai adalah jenis
Mangunkusumo mulai 1 Januari 2005–31 glaukoma, usia yang dibagi menjadi 2 kelompok
Desember usia kurang dari 40 tahun dan lebih dari 40
tahun, jenis kelamin, rata-rata tajam
2007. penglihatan (LogMAR), rata-rata TIO, dan rata-
Pasien yang diikutsertakan dalam penelitian rata CDR, serta tingkat keparahan glaukoma.
ini adalah pasien yang telah didiagnosis sebagai
penderita glaukoma. Glaukoma Tingkat keparahan penderita dinilai
dikelompokkan menjadi glaukoma primer berdasarkan kerusakan papil saraf optik, sesuai
sudut terbuka (GPSTa), glaukoma primer sudut
tertutup (GPSTp) baik akut maupun kronik, dengan tingkat keparahan (level of damage) dari
glaukoma kongenital, glaukoma juvenilis, Becker – Shaffer’s Diagnosis and Therapy of
glaukoma tensi normal/normal tension
glaucoma (NTG) dan glaukoma sekunder. the Glaucomas, seperti pada tabel 1.11
Kriteria eksklusi bila penderita tidak dapat
digolongkan ke dalam kelompok di atas akan
tetapi dikelompokkan tersendiri sesuai
diagnosisnya dan data tidak lengkap. Pasien
telah menjalani pemeriksaan mata meliputi
tajam penglihatan dengan kartu Snellen,
tonometri aplanasi dengan tonometer aplanasi
Goldmann, lampu celah, gonioskopi dinamik
dengan gonioskopi Goldmann, funduskopi atau
non kontak super field atau 78D (Volk, USA)
dan pemeriksaan lapang pandang baik dengan
kampimetri kinetik Goldmann maupun
kampimetri statik Oktopus.
Data dicatat dalam lembar penelitian yang
meliputi usia, jenis kelamin, tajam
penglihatan awal dengan koreksi terbaik
dikonversi ke LogMAR, cup disc ratio, tekanan
intraokular (TIO) dalam mmHg, hasil
pemeriksaan kampimetri, dan diagnosis. Data-
data tersebut kemudian dimasukkan ke dalam
tabel induk secara manual kemudian diolah
dengan menggunakan piranti lunak Microsoft
Excel Office 2009®.
Kebutaan, bila tajam penglihatan setelah
koreksi terbaik kurang dari 3/60 atau lebih
dari1.3 (LogMAR) atau c/d 0,8 disertai tunnel
lapang pandang.6,10 Kebutaan unilateral, bila
buta pada satu mata, sedangkan buta bilateral
adalah bila buta pada kedua mata. Insidens
kebutaan merupakan insiden kebutaan per
tahun yaitu jumlah penderita baru glaukoma
yang mengalami kebutaan dalam 1 tahun dibagi

160
161 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
161

HAS Umur

IL (tahun)
< 40
Dalam periode 1 Januari 2005 sampai 64 (20)
dengan ≥ 40
31 Desember 2007 didapatkan 625 data 261 (80) Jenis kelamin
pasien baru glaukoma di divisi glaukoma Laki-laki
poliklinik mata RSCM. Semua pasien baru (47,9) Perempuan
glaukoma yang mengalami kebutaan sesuai (52,1)
kriteria inklusi sebanyak 325 orang (52%). Buta unilateral
Jumlah pasien yang menderita buta satu mata
220 (67,70) Buta bilateral
(unilateral) sebanyak
105 (32,30)
220 orang (67,70%)dan buta 2 mata (bilateral)
* Jumlah total penderita yang buta
sebanyak
adalah 325 orang
105 orang
(32,30%) Penyebab kebutaan baik 1 mata maupun 2
mata diakibatkan oleh GPSTp (30,74%), di
Kisaran umur penderita antara 6 bulan mana GPSTp kronis sebagai penyebab
sampai terbanyak (27,98%) dari seluruh jenis
glaukoma. Sedangkan GPSTa (25,57%) adalah
93 tahun dengan rata-rata umur 53 tahun dan penyebab ketiga terbanyak setelah glaukoma
penderita di atas sekunder (29,84%).
40 tahun sebanyak 80%. Proporsi perbandingan Berdasarkan kebutaan unilateral terbanyak
antara laki- laki dan perempuan adalah 1:1 diakibatkan oleh glaukoma sekunder (24,6%),
tampak pada tabel 2. diikuti GPSTp (20,6%) dan GPSTa(14,5%).
Sedangkan penyebab kebutaan bilateral
terbanyak adalah GPSTa (11,07%), yang tidak
Tabel 2. Data demografis pasien baru berbeda jauh dengan GPSTp kronis (10,14%).
glaukoma yang mengalami kebutaan Glaukoma juvenilis yang mengalami buta
Jumlah bilateral sebesar 2,76%, sementara kongenital
penderita* sebesar 0,3% dan glaukoma tensi normal
(persentase sebanyak 0,3% tampak pada tabel 3).
)

Tabel 1. Kriteria tingkat keparahan berdasarkan Becker-Shaffer


Papil saraf optik Defek lapang
pandang
Ringan CDR 0.5 dengan tepi neural rim
depresi ringan atau defek kecil
berwarna pink yang seragam
Sedang CDR 0,6–0,7 disertai penipisan neural
rim di beberapa tempat/lokal Depresi umum, defek arkuata atau skotoma
parasentral
161
162 Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
162

Lanjut CDR > 0,8–0,9 disertai neural rim yang tipis Defek arkuata luas, double
arcuate, hemifield loss atau skotoma
central

162
Artini:
191 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
191

Tabel 3. Diagnosis glaukoma yang menunjukkan derajat sedang. Demikian halnya


menjadi penyebab kebutaan dengan tajam penglihatan, yang
memperlihatkan sudah buruk dan tidak berbeda
Diagnosis Buta Buta jauh antara tiap jenis glaukoma tampak pada
%
Frekuensi (%)
unilatera
l B
ilater tabel 5.
% Total
al %
25,57
Tabel 5. Rerata TIO dan CDR berdasarkan diagnosis glaukoma
GPSTa 47 14,50 36 11,07 83 2,76
yang mengalami kebutaan
GPSTp
akut 9 2,76 0 0,07 9

GPSTp
kronik 58 17,84 33 10,14 91 27,98 Rerata Rerata Rerata
NTG 6 1,84 1 0,3 7 2,15 CDR
Diagnosis TIO TPDKT
Glaukoma 14 4,30 9 2,76 23 7,06 (mmHg) (LogMar)
juvenilis GPSTa 34 0,86 1,87
Glaukoma 2 0,61 1 0,30 3 0,91 GPSTp akut 47 0,60 1,85
kongenital GPSTp kronik 39 0,94 1,90
Glaukoma 80 24,60 17 5,23 97 29,84 NTG
Glaukoma juvenilis 19,5
44 0,80
0,96 1,80
1,88
sekunder Glaukoma kongenital 35 ND 1,92
Glaukoma 4 1,23 8 2,46 12 3,70
Glaukoma sekunder 36,5 0,62 1,80
absolut Glaukoma
Rerata absolut
seluruh 47,3
37,4 1,00
0,86 1,96
1,89
Total 220 primer
GPSTa : glaukoma 67,70
sudut 105
terbuka 32,30 325 100,00 penderita

GPSTp : glaukoma primer sudut tertutup ND : no


NTG : normal tension glaucoma
GPSTP (GPSTp kronis + GPSTp akut) 20,6%
buta unilateral. data
TIO : tekanan
intra okular
Pada Glaukoma sekunder, lens induced CDR : cup
glaucoma (39%) adalah penyebab terbanyak disk ratio
TPDKT : tajam penglihatan dengan
yang termasuk didalamnya, glaukoma koreksi terbaik
GPSTa : glaukoma primer
fakomorfik dan glaukoma fakolitik yang sudut terbuka
memperlihatkan bahwa lensa yang mengalami GPSTp : Glaukoma primer
sudut tertutup
katarak masih menjadi masalah di Jakarta. NTG : normal tensi
Neovaskular glaukoma sebanyak 8% yang glaucoma
umumnya disebabkan adanya kelainan di retina.
Penyebab lain terlihat cukup besar (33%),
namun hanya terdapat satu-dua kasus pada DISK
tiap-tiap penyebab tampak pada tabel 4. USI

Sebanyak 625 penderita baru glaukoma


Tabel 4. Berbagai penyebab glaukoma yang berobat di divisi glaukoma poliklinik
mata RSCM pada tahun
sekunder
2005–2007 (3 tahun) dan yang mengalami buta
2 mata sebanyak 105 orang dan buta 1 mata
220 orang. Bila dibandingkan dengan hasil
penelitian oleh Djatikusumo,9 insiden tersebut
kurang lebih tidak berbeda. Berarti insiden
Persentase dari kebutaan tersebut belum terjadi perubahan
total sejak tahun
Mekanisme umlah 1990. Keadaan tersebut menunjukkan belum
J induced*
Lens 38
pasien glaukoma
39 adanya walaupun
dini, tingkat kesadaran masyarakatfasilitas
telah tersedia untuk
Neovaskular 8 8 kesehatan mata
memeriksakan di
matanya secaramereka mendengar
Hifema sekunder 5 wilayah Jakarta atau setelah
(n2= 2
Uveitis 7 7 di
namun media, merekatelahdatang
keadaannya memeriksakan
terlambat, bila dinilai
97) (% glaukoma
dari derajat
191matanya segera
)
Artini:
192 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
192

Steroid 8 8 glaukomanya. Pengenalan glaukoma melalui


Post 2 2 informasi
media massa, belum terkoordinasi dengan baik
keratoplasty terutama
akibat keterbatasan dana, dan dikarenakan
Angle recess 1 1 penyakit mata
belum menjadi prioritas pemerintah. Faktor
Lain-lain** 27 27, penghambat
utama lain adalah sosio ekonomi masyarakat
** Termasuk: fakomorfik, fakolitik, partikel
8 yang minim dan pendidikan yang rendah,
lensa mengingat pasien yang datang ke RSCM
**Termasuk: trauma, lekoma aderen, disgenesis sebagian besar adalah pasien yang kurang
segmen anterior,
Sindrom posner schlosmaan, hifema dan yang mampu.
tidak disebutkan Namun Cedrone dkk.,10 melaporkan bahwa
penyebabnya
prevalensi
Rerata TIO paling tinggi terjadi pada GPSTp kebutaan akibat glaukoma konsisten dari tahun
akut dan glaukoma absolut, sedangkan rerata ke tahun di Itali dan negara-negara Eropa
TIO paling rendah pada NTG. Tingkat lainnya yang walaupun masyarakatnya memiliki
keparahan derajat glaukoma kebanyakan kondisi sosial ekonomi yang baik.
menunjukkan derajat yang sudah lanjut,
glaukoma sekunder

192
Artini:
193 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
193

Berdasarkan penelitian oleh Trautner, tahun diderita oleh seseorang dengan hipermetrop.
1997, menemukan adanya peningkatan jumlah Keadaan tersebut merupakan faktor predisposisi
kebutaan akibat glaukoma di Jerman.11 untuk berkembang menjadi GPSTp, hal yang
Sebaliknya pada penelitian yang dilakukan di
Australia, melaporkan adanya trend penurunan dapat dihindari dengan dilakukan tatalaksana
kebutaan akibat glaukoma sejak periode 1984– yang tepat.
2000.12,13 Penyebab kedua kebutaan terbanyak adalah
Hasil laporan epidemiologi tersebut glaukoma sekunder (29,84%). Isu mengenai
menunjukkan adanya trend yang berbeda-beda kebutaan yang disebabkan oleh glaukoma
di setiap negara. Keadaan tersebut, sekunder sangat sedikit mendapat perhatian dari
memperlihatkan bahwa dana dan fasilitas bukan para peneliti. Pada penelitian ini terlihat bahwa
menjadi masalah, akan tetapi glaukoma itu yang menjadi penyebab terbanyak glaukoma
sendiri tetap menjadi masalah dalam sekunder adalah faktor lensa (39%), padahal
masyarakat, terutama di populasi yang memiliki kota Jakarta merupakan kota yang mempunyai
jumlah orang tua yang banyak. fasilitas kesehatan mata yang mudah dicapai
Foster dkk 2 melaporkan bahwa jumlah serta banyak tindakan bakti sosial operasi
penderita katarak dijalankan. Lens inducedglaucoma
glaukoma yang mengalami kebutaan di antara
terdiri dari glaukoma fakomorfik, fakolitik,
orang Cina, berusia diatas 40 tahun.
serta pseudofakia atau glaukoma partikel
Berdasarkan jumlah penderita per dekade,
lensa. Katarak, baik katarak imatur, matur
menunjukkan bahwa makin tua umur, proporsi
maupun hipermatur, menjadi penyebab
penderita glaukoma makin meningkat, dan
utamalens induced glaucoma. Sampai sekarang
semakin meningkat pada usia di atas 60 tahun.
masih terjadi peningkatan backlog katarak,
Pada penelitian Seah dkk.14 menemukan terutama di daerah Indonesia bagian timur,
bahwa penderita dengan usia di atas sehingga dapat diperkirakan berapa jumlah
60 tahun adalah 9 kali lebih banyak dibanding penderita lens induced glaucomadi Indonesia
yang menjadikan kebutaan
usia di bawah
60 tahun. Penelitian ini juga memperlihatkan
data yang serupa, sehingga usia lanjut
merupakan salah satu faktor risiko glaukoma
yang harus diperhatikan.6,10,15
Jenis glaukoma sebagai penyebab kebutaan
bervariasi di berbagai regional. Penyebab
terbanyak kebutaan pada penelitian ini adalah
GPSTp sesuai dengan jenis glaukoma di negara
Asia lainnya. Penelitian di Cina melaporkan
jumlah penderita GPSTp 30% lebih tinggi dari
pada GPSTa, ditekankan bahwa angka kebutaan
yang disebabkan oleh GPSTp 10 kali lebih
banyak dibandingkan GPSTa.16
Quigley juga menemukan bahwa GPSTp dan
GPSTa secara bersama-sama menjadi penyebab
kebutaan kedua terbanyak di dunia, di mana
GPSTp mempunyai kontribusi lebih banyak.17
Dalam usaha mencegah kebutaan akibat
glaukoma primer sudut tertutup kronis,
sebaiknyalah dokter umum mempunyai
kompetensi menilai individu yang mempunyai
bilik mata depan dangkal, yang banyak
193
Artini:
194 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
194

permanen. Berdasarkan hal tersebut, maka penebalan anyaman trabekulum yang sering
peranan operasi katarak sangat penting, selain terjadi secara serentak di kedua mata.
dapat mengembalikan penglihatan yang buta, Berdasarkan derajat keparahan papil saraf
juga dapat mengurangi risiko lens induced optik, penelitian ini memperlihatkan bahwa
glaucoma. Selain itu, dokter mata harus sebagian besar penderita (lebih dari 75%) yang
mampu menguasai teknik-teknik baru operasi mengalami kebutaan, datang dengan keadaan
katarak sehingga mengurangi risiko atrofi papil saraf optik yang sudah lanjut, baik
tertinggalnya materi lensa ataupun komplikasi pada buta unilateral maupun buta bilateral
lain yang akan menginduksi glaukoma disertai TIO yang sangat tinggi. Studi di USA
sekunder.18 mengatakan bahwa hampir setengah dari semua
penderita glaukoma tidak sadar akan kondisi
Hasil penelitian ini mirip dengan hasil mereka, terutama akibat usianya yang sudah
penelitian yang dilakukan oleh Krishnadas, lanjut.20
Kelemahan penelitian ini adalah penelitian
yaitu bahwa lens induced glaucoma menjadi
retrospektif, banyak data yang penting tidak
penyebab terbanyak glaukoma sekunder. 18 tercantum dengan baik. Sudah seharusnya
pencatatan data penyakit pasien sebaik mungkin
Penyebab lainnya juga sesuai dengan
dilakukan. Di usulkan dilakukan penelitian
laporan penelitian ini yang antara lain; dalam jangka waktu yang lebih panjang
glaukoma akibat neovaskular, uveitis, trauma, mengenai insiden dan tingkat keparahan
panderita glaukoma, dengan demikian akan
dan steroid.19 menghasilkan data yang mencerminkan
Glaukoma primer sudut terbuka menempati masyarakat di Jakarta mengenai insiden
urutan ketiga terbanyak penyebab kebutaan glaukoma, walaupun data ini hanya merupakan
pada penelitian ini, karena GPATa data hospital based.
menunjukkan perjalanan yang progresif lambat Kebutaan merupakan suatu hambatan
untuk menimbulkan kebutaan, oleh karena itu fungsional dan sosial yang penting dan
disebut sebagai si pencuri penglihatan. Pada ras pencegahannya menjadi suatu aspek utama dari
Kaukasus, kebutaan akibat GPSTa lebih banyak sistem kesehatan dalam usaha meningkatkan
dari GPSTp, karena insiden GPSTp di ras
tersebut sangat kecil 1,7%.20,21
Penelitian ini menunjukkan bahwa penderita
GPSTa yang mengalami buta unilateral maupun
bilateral jumlahnya hampir sama. Berbeda bila
dibandingkan dengan jumlah GPSTa, di mana
penderita GPSTp yang buta unilateral lebih
banyak dibandingkan buta bilateral. Keadaan
tersebut disokong oleh penelitian Foster yang
melakukan banyak penelitian GPSTp di
China.2 Hal tersebut dikarenakan naiknya TIO
pada penderita GPSTp diakibatkan terjadinya
penutupan sudut oleh pangkal iris yang berjalan
sirkular dan perlahan (kronis) disertai terdapat
perbedaan waktu penutupan anyaman
trabekulum oleh pangkal iris di antara kedua
mata. Sementara GPSTa terjadi akibat
hambatan keluar cairan dari dalam mata oleh

194
Artini:
195 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
195

kualitas hidup seseorang. Dengan


8. Affandi ES. Some data on primary
mengidentifikasi penyakit glaukoma secara
dini dan dilakukan pengawasan dan pengobatan glaucoma at Dr. Cipto
yang teratur, maka progresifitas penyakit
glaukoma tersebut dapat di hambat atau kebutaan Mangunkusumo Hospital, Jakarta.

permanen dapat dihindari.21 Ophthalmologica Indonesiana


1986; 10(1): 2–7
9. Djatikusumo A, Supiandi E. Tingkat
KESIMP keparahan penderita baru glauoma primer
sudut terbuka dan glaukoma primer sudut
ULAN
tertutup kronis di RSUPN Dr. Cipto
Kebutaan akibat glaukoma masih tinggi Mangunkusumo. Department of
dengan penyebab terbanyak adalah GPSTp, Ophthalmology. Faculty of Medicine
selain itu faktor lensa memegang peran yang University of Indonesia, Jakarta. Majalah
dominan untuk terjadinya kebutaan. Penyuluhan Ophthalmologica Indonesiana Vol 29,
mengenai glaukoma belum dirasakan oleh Oktober 2002
seluruh Kota Jakarta dan pemberantasan buta 10. Cedrone C, Nucci C, Scuderi G, Ricci F,
katarak belum merata.
Cerulli A, Culasso F.
Prevalence of blindness and low vision in
DAFTAR an Italian population:
PUSTAKA a comparison with other European studies.
1. American
Basic academy
and clinical scienceof ophthalmology staff. Eye 2006; 20: 661–7.
11. Trautner C, Haastert B, Richter B, Berger
M, Giani G. Incidence of blindness in
southern Germany due to glaucoma and
degenerative conditions. Invest Ophthalmol
Vis Sci 2003; 44: 1031–4.
12. Yong VK, Morgan WH, Cooper RL, Shaw
M, Bremmer AP, Yu DY.
Trends in registered blindness and its causes
over 19 years in western
Australia. Ophthal Epidemiol 2006; 13: 35–
42.
13. Wensor MD, McCarty CA, Stanislavsky
YL, Livingston PM, Taylor HR. The
prevalence of glaucoma in the Melbourne
visual impairment project. Ophthalmology
1998; 105: 733–9.
14. Seah SKL, Foster PJ, Chew PTK, Jap A,
Oen F, Fam HB, et al.
Incidence of acute primary angle-closure
glaucoma in Singapore. Arch Ophthalmol
1997; 115: 1436–40.
195
Artini:
196 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
196

ht
15. Stamper RL, Lieberman MR, Drake MV.
Becker-Shaffer’s. Diagnosis
course. and therapy of the ed. St. Louis: Mosby,
Francisco:Section 10.p. Glaucoma.
LIO, 2010, 3. San glaucomas. 7 1999; p.15.

196
Artini:
197 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
197

2. Departemen Kesehatan RI. Survei kesehatan indera penglihatan.


Depkes RI. Jakarta; 1997.
3. Foster PJ, Oen FTS, Machin D, Ng TP, Devereux JG, Johnson GJ, et al. The
prevalence of glaucoma in Chinese residents of Singapore. Arch Ophthalmol
2000; 118: 1105–11.
4. Blindness in Asia-the facts. Asian J Ophthalmology 2000; 2(4). (Special
report).
5. Quigley HA, Broman AT. The nuber of people with glaucoma world wide in
2010 and 2020. Br J Ophthalmol 2006; 90: 262–267.
6. Bourne RRA, Sukudom P, Foster PJ, Tantisevi V, Jitapunkul S, Lee PS, et al.
Prevalence of glaucoma in Thailand: a population based survey in Rom Klao
district, Bangkok. Br J Ophthalmol 2003; 87:
1069–74.
7. Yip JLY, Foster PJ. Ethnic differences in primary angle-closure glaucoma.
Curr opin Ophthalmol 2006; 17: 175–80.

197
Artini:
198 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
198

16. Wong TY, Foster PJ, Seah SKL, Chew PTK. Rates of hospital
admissions for promary angle closure glaucoma among Chinese, Malays,
and Indians in Singapure. Br J Ophthalmol 2000; 84:
990–2.
17. Quigley HA, Congdon NG, Friedman DS. Glaucoma in China (and
worldwide): changes in established thinking will decrease preventable
blindness. Br J Ophthalmol 2001; 85: 1271–3.
18. Krishnadas R, Ramakrishnan R. Secondary glaucomas: the tasks ahead.
Comm Eye Health 2001; 14: 40–2.
19. Kersey JP, Broadway DC. Corticosteroid-induced glaucoma:a review of the
literature. Eye 2006; 20: 407–16.
20. Hattenhauer MG, Johnson DH, Ing HH, et al. The probability of blindness
from open angle glaucoma. Ophthalmology 1998; 105:
2099–2104.
21. Quigley HA. New paradigms in the management of glaucoma. Eye
2005; 19: 1241–8.

198
Artini:
199 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
199

PENDIDIKAN KESEHATAN PADA GLAUKOMA

DEFINISI
 Glaukoma adalah suatu penyakit yang memberikan gambaran klinik
berupa peninggian tekanan bola mata, penggaungan papil saraf optik
dengan defek lapang pandangan mata. (Ivan Goldberg, 2017).
 Galukoma adalah sekelompok kelainan mata yang ditandai dengan
peningkatan tekanan intraokuler.(Adrew jackson,2012).
 Glaukoma adalah kondisi mata yang biasanya disebabkan oleh
peningkatan abnormal tekanan intraokular ( sampai lebih dari 20 mmHg).
(fitriyani,2011).

ETIOLOGI
Penyakit yang ditandai dengan peninggian tekanan intraokuler ini disebabkan
oleh :
- Berkurangnya pengeluaran cairan mata di daerah sudut bilik mata atau di
celah pupil. (Andrew Jackson, 2012)

199
Artini:
200 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
200

KLASIFIKASI
 Glaukoma primer
Glaukoma sudut terbuka Merupakan sebagian besar dari glaukoma ( 90-
95% ) , yang meliputi kedua mata.
 Glaukoma sekunder
Dapat terjadi dari peradangan mata , perubahan pembuluh darah dan
trauma

MANIFESTASI KLINIS
 Nyeri pada mata dan sekitarnya (orbita, kepala, gigi, telinga).
 Pandangan kabut, melihat sekitar lampu.
 Mual, muntah, berkeringat.
 Mata merah, hiperemia konjungtiva, dan siliar.
 Visus menurun.
 Edema kornea.
 Bilik mata depan dangkal (mungkin tidak ditemui pada glaukoma sudut
terbuka).
 Pupil melebar, tidak ada refleks terhadap cahaya. (Andrew Jackson,
2012)

KOMPLIKASI
Kebutaan dapat terjadi pada semua jenis glaukoma, agens topikal
yang digunakan untuk mengobati glaukoma dapat memiliki efek sistemik
yang merugikan, terutama pada lansia. Efek ini dapat berupa perburukan
kondisi jantung, pernapsan atau neurologis. (Andrew Jackson, 2012)

200
Artini:
201 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
201

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 TONOMETRI
 GONIOSKOPI
 OFTALMOSKOPI
 PEMERIKSAAN LAPANG PANDANG

PENTALAKSANAAN MEDIS
a. Iridektomi perifer.
 Digunakan untuk membuat saluran dari bilik mata belakang dan
depan karena telah terdapat hambatan dalam pengaliran humor
akueus. Hal ini hanya dapat dilakukan jika sudut yang tertutup
sebanyak 50%.
b. Trabekulotomi (Bedah drainase)
 Dilakukan jika sudut yang tertutup lebih dari 50% atau gagal
dengan iridektomi (Fitriyani,2011)

201
Artini:
202 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
202

ADVOKASI PADA GLAUKOMA


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perawat adalah orang yang bersama individu selama kebanyakan waktu
kritis kehidupan mereka. Perawat adalah orang yang bersama individu ketika
mereka lahir, ketika mereka cedera atau sakit, ketika mereka meninggal. Individu
berbagi banyak hal yang intim dalam kehidupan mereka dengan perawat; mereka
menanggalkan pakaian untuk perawat, dan mempercayai perawat untuk
melakukan prosedur yang menimbulkan nyeri. Perawat berada di samping tempat
tidur individu yang sakit dan menderita selama 24 jam sehari. Mereka ada ketika
pasien tidak dapat tidur karena nyeri atau ketakutan atau kesepian. Mereka ada
untuk memberi makan pasien, memandikannya, dan mendukung mereka. Perawat
mempunyai sejarah panjang tentang perawatan pasien dan berbicara untuk
Kebutuhan pasien.
Salah satu fungsi dan peran seorang perawat adalah menjadi advokat bagi
pasien. Dalam hal ini peran sebagai advokat pasien merupakan dasar dan inti dari
proses pemberian asuhan keperawatan. Pelayanan kesehatan saat ini pula
menbutuhkan pelayanan yang berkualitas, konsep dari advokasi sangat dibutuhkan
dalam hal ini. Sebagai peran utama dari perawat, advokasi merupakan bagian dari
kode etik pasien. perawat dalam perannya sebagai advokat pasien menggunakan
skill sebagai pendidik, konselor, dan leader guna melindungi dan mendukung hak
pasien.
Pada tahun 1985 “The American association colleges of nursing “ melaksanakan
suatu proyek termasuk didalamnya mengidentifikasi nilai-nilai esensial dalam
praktek keperawatan professional. Nilai-nilai esensial ini sangat berkaitan dengan
moral keperawatan dalam praktiknya. Perawat memiliki komiten yang tinggi
untuk memberikan asuhan yang berkualitas berdasarkan standar perilaku yang etis
dalam praktek asuhan professional. Pengetahuan tentang perilaku etis dimulai dari

202
Artini:
203 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
203

pendidikan perawat, dan berlanjut pada diskusi formal maupun informal dengan
sejawat atau teman. Praktik keperawatan, termasuk etika keperawatan mempunyai
dasar penting, seperti advokasi, akuntabilitas, loyalitas kepedulian, rasa haru, dan
menghormati martabat manusia (Purba & Pujiastuti, 2009)

B. PENGERTIAN ADVOKASI
Advokasi secara harfiah berarti pembelaan, sokongan atau bantuan
terhadap seseorang yang mempunyai permasalahan istilah advokasi dalam
bidang hukum tersebut dijadikan sebagai penasehatnya dan memperoleh
keadilan yang sungguh-sungguhnya, maka advokasi dalam bidang
kesehatan diartikan upaya untuk memperoleh pembelaan, bantuan atau
dukungan terhadap program kesehatan.
Menurut Webster Encyclopedia advokasi adalah “Act of pleading for
supporting or recomending active espousal” atau “tindakan pembelaan, dukungan
atau rekomendasi.
Dukungan aktif
Menurut ahli “retorika” (Foss and fose, et al : 1980) advokasi diartikan
sebagai upaya persuasi yang mencakup kegiatan penyadaran, rasionalisasi,
argumentasi dan rekomendasi rindak lanjut mengenai sesuatu hal.
Menurut “John Hopkins (1990)” Advokasi adalah usaha untuk
mempengaruhi kebijakan melalui bermacam-macam bentuk komunikasi persuasif,
dengan menggunakan informasi yang akurat dan tepat.
Istilah advocacy (advokasi) di bidang kesehatan mulai digunakan dalam
program kesehatan masyarakat pertama kali oleh WHO pada tahun 1984, sebagai
salah satu strategi global Pendidikan atau Promosi Kesehatan.
WHO merumuskan, bahwa dalam mewujudkan visi dan misi Promosi
kesehatan secara efektif menggunakan 3 strategi pokok, yakni :
a. Advokasi
b. Dukungan sosial
c. Pemberdayaan masyarakat.

203
Artini:
204 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
204

Strategi global ini dimaksudkan bahwa, dalam pelaksanaan suatu program


kesehatan di dalam masyarakat, maka langkah yang diambil adalah :
a. Melakukan pendekatan atau lobying dengan para pembuat keputusan
setempat, agar mereka ini menerima dan “commited, dan akhirnya mereka
bersedia mengeluarkan kebijakan, atau keputusan-keputusan untuk membantu
atau mendukung program tersebut. Kegiatan inilah yang disebut advokasi. Dalam
pendidikan kesehatan para pembuat keputusan baik pusat maupun daerah.
b. Langkah selanjutnya adalah melakukan pendekatan dan pelatihan kepada
tokoh masyarakat setempat, baik tokoh masyarakat formal maupun informal.
Tujuan kegiatan ini adalah agar para tokoh masyarakat setempat ini mempunyai
kemampuan seperti yang diharapkan program, dan selanjutnya dapat membantu
dalam menyebarkan informasi program atau melakukan penyuluhan kepada
masyarakat.
c. Petugas kesehatan bersama-sama tokoh masyarakat tersebut melakukan
kegiatan penyuluhan kesehatan, konseling, dan sebagainya, melalui berbagai
kesempatan dan media.
Tujuan kegiatan ini antara lain : meningkatkan pengetahuan, sikap dan
perilaku masyarakat untuk hidup sehat. Dengan kata lain, menampilkan atau
memperdayakan masyarakat dalam kesehatan.
Advokasi diartikan sebagai upaya pendekatan (Approaches) terhadap orang
lain yang dianggap mempunyai pengaruh terhadap hasil keberhasilan suatu
program atau kegiatan yang dilaksanakan

204
Artini:
205 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
205

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Peran dan Tanggung Jawab Perawat


Peran perawat kesehatan yang professional adalah:
1. Sebagai pemberi asuhan keperawatan
Dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan
melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses
keperawatan sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar bisa
direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat
kebutuhan dasar manusia, kemudian dievaluasi tingkat perkembangannya.
2. Peran sebagai advokasi klien
Peran ini dilakukan perawat dalam membantu pasien dan keluarga dalam
menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau
informasi khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan
keperawatan yang diberikan kepada pasien, juga dapat berperan
mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien.
3. Peran edukator
Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat
pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan,
sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan
kesehatan.
4. Peran Koordinator
Peran in dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta
mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberian
pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan pasien.
5. Peran kolaborator
Peran perawat disini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim
kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi, dan lain-lain
dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan

205
Artini:
206 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
206

termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan


selanjutnya.
6. Peran konsultan
Peran disini adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau
tindakan keperawatan yang tempat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas
permintaan pasien terhadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan
yang diberikan.
7. Peran pembaharu
Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan
perencanaan, kerja sama, perbaruan yang sistematis dan terarah sesuai
dengan metode pemberian pelayanan keperawatan (Azis, 2008)

Tanggung Jawab Profesi keperawatan, adalah


1. Perawat harus menempatkan kebutuhan pasien diatas kepentingan sendiri.
2. Perawat harus melindungi hak pasien untuk memperoleh keamanan dan
pelayanan yang berkualitas
3. Perawat harus selalu meningkatkan pengetahuan, keahlian, serta menjaga
perilaku dalam melaksanakan tugasnya.

B. Pengertian Advokasi
1. Perawat sebagai advokat yaitu sebagai penghubung antara klien-tim
kesehatan lain dalam rangka pemenuhan kebutuhan klien. Membela
kepentingan klien dan membantu klien,memahami semua informasi dan
upaya kesehatan yang diberikan tim kesehatan dengan pendeketan
tradisional maupun profesional. (Dewi, 2008)
2. Advokasi adalah mendukung pasien, bicara mewakili individu pasien, dan
menengahi bila perlu. Advokasi ini adalah bagian dari perawatan perawat
dan bagian dari kedekatan dan kepercayaan antara perawat dan pasien yang
memberi keperawatan sebuah tempat yang sangat khusus dalam pelayanan
kesehatan (WHO, 2005)

206
Artini:
207 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
207

3. Advokasi merupakan dasar filasafat dan ideal keperawatan yang melibatkan


bantuan perawat secara aktif kepada individu secara bebas menentukan
nasibnya sendiri (Gondow, 1983)

Creasia dan Parker (2000) menjelaskan bahwa konsep advokasi memiliki


tiga pengertian, yaitu:
a. Model perlindungan terhadap hak
Model ini menekankan pada perawat untuk melindungi hak klien agar tidak
ada tindakan tenaga kesehatan yang akan merugikan pasien selama dirawat.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara menginformasikan kepada pasien
tentang semua hak yang dimilikinya, memastikan pasien memahami hak
yang dimilikinya, melaporkan pelanggaran terhadap hak pasien dan
mencegah pelanggaran hak pasien.
b. Model pengambilan keputusan berdasarkan nilai-nilai yang dianut pasien
Model ini menekankan pada perawat untuk menyerahkan segala keputusan
tentang perawatan yang akan dijalankan oleh pasien kepada pasien itu
sendiri, sesuai dengan nilai-nilai yang dianut pasien. Perawat tidak
diperbolehkan memaksakan nilai-nilai pribadinya untuk membuat keputusan
pada pasien, melainkan hanya membantu pasien mengeksplorasi
keuntungan dan kerugian dari semua alternatif pilihan atau keputusan.
c. Model penghargaan terhadap orang lain
Model ini menekankan pada perawat untuk menghargai pasien sebagai
manusia yang unik. Perawat harus menyadari bahwa sebagai manusia yang
unik, pasien memiliki kebutuhan yang berbeda-beda satu sama lain. Perawat
harus mempunyai semua yang terbaik bagi pasien sesuai dengan
kebutuhannya saat itu.

Dewasa ini, banyak definisi umum advokat yang menekankan pentingnya hak-
hak pasien dalam mengambil keputusan. Dalam hal ini, perawat advokat
menolong pasien sebagai makhluk yang memiliki otonomi untuk mengambil

207
Artini:
208 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
208

keputusan sendiri, yang sesuai dengan keinginan pasien dan bukan karena
pengaruh dari perawat atau tenaga kesehatan lainnya. Pendidikan dan dukungan
kepada pasien diberikan sesuai kebutuhan dan pilihannya. Perawat diharapkan
mampu mengidentifikasi dan mengerti keinginan pasien dan memastikan bahwa
keinginan tersebut merupakan keputusan yang terbaik dari pasien. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa peran advokat pasien adalah dasar dari semua peran perawat
untuk memberikan asuhan keperawatan dan dukungan terhadap pasien, dengan
melindungi hak pasien dan bertindak atas nama pasien. (Dewi, 2008)

C. Peran Perawat Sebagai Advokat Pasien


Sebagai pelindung, perawat membantu mempertahankan lingkungan yang
aman bagi klien dan mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kecelakaan
serta melindungi klien dari kemungkinan efek yang tidak diinginkan dari suatu
tindakan diagnostic atau pengobatan. Contoh dari peran perawat sebagai
pelindung adalah memastikan bahwa klien tidak memiliki alergi terhadap obat dan
memberikan imunisasi melawat penyakit di komunitas.
Sedangkan peran perawat sebagai advokat, perawat melindungi hak klien
sebagai manusia dan secara hukum, serta membantu klien dalam menyatakan hak-
haknya bila dibutuhkan. Contohnya, perawat memberikan informasi tambahan
bagi klien yang sedang berusaha untuk memutuskan tindakan yang terbaik
baginya. Selain itu, perawat juga melindungi hak-hak klien melalui cara-cara yang
umum dengan menolak aturan atau tindakan yang mungkin membahayakan
kesehatan klien atau menentang hak-hak klien. Peran ini juga dilakukan perawat
dalam membantu klien dan keluarga dalam menginterpetasikan berbagai
informasi dari pemberi pelayanan atau informasi lain khususnya dalam
pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepada
pasien, juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang
meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang
penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak
untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian. (WHO, 2005)

208
Artini:
209 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
209

Sebagai pembela pasien, perawat juga perlu berupaya melindungi hak


pasien dari pelanggaran. Hak untuk mendapat persetujuan (informed consent)
merupakan isu yang harus dihadapi pasien. hak pasien lain yang melibatkan peran
perawat sebagai pembela adalah hak privasi dan hak menolak terapi.
Sebagai bagian dan salah satu peran dari perawat, advokasi menjadi dasar utama
dalam pelayanan keperawatan kepada pasien, peran advokat keperawatan adalah
(Armstrong, 2007)
1. Melindungi hak klien sebagai manusia dan secara hukum.
2. Membantu klien dalam menyatakan hak-haknya bila dibutuhkan.
3. Memberi bantuan mengandung dua peran,yaitu peran aksi dan peran non
aksi.
4. Bekerja dengan profesi kesehatan yang lainnya dan menjadi penengah antar
profesi kesehatan
5. Melihat klien sebagai manusia, mendorong mereka untuk mengidentifikasi
kekuatannya untuk meningkatkan kesehatan dan kemampuan klien berhubungan
dengan orang lain

D. Tanggung jawab perawat advokat


Nelson (1988) dalam Creasia & Parker (2001) menjelaskan bahwa tanggung
jawab perawat dalam menjalankan peran advokat pasien adalah :
1. Sebagai pendukung pasien dalam proses pembuatan keputusan, dengan cara :
memastikan informasi yang diberikan pada pasien dipahami dan berguna bagi
pasien dalam pengambilan keputusan, memberikan berbagai alternatif pilihan
disertai penjelasan keuntungan dan kerugian dari setiap keputusan, dan menerima
semua keputusan pasien.
2. Sebagai mediator (penghubung) antara pasien dan orang-orang disekeliling
pasien, dengan cara : mengatur pelayanan keperawatan yang dibutuhkan pasien
dengan tenaga kesehatan lain, mengklarifikasi komunikasi antara pasien, keluarga,
dan tenaga kesehatan lain agar setiap individu memiliki pemahaman yang sama,
dan menjelaskan kepada pasien peran tenaga kesehatan yang merawatnya.

209
Artini:
210 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
210

3. Sebagai orang yang bertindak atas nama pasien dengan cara : memberikan
lingkungan yang sesuai dengan kondisi pasien, melindungi pasien dari tindakan
yang dapat merugikan pasien, dan memenuhi semua kebutuhan pasien selama
dalam perawatan.

E. Nilai-nilai Dasar yang Harus Dimiliki oleh Perawat Advokat


Menurut Kozier & Erb (2004) untuk menjalankan perannya sebagai advokasi
pasien, perawat harus memiliki nilai-nilai dasar, yaitu :
1. Pasien adalah makhluk holistik dan otonom yang mempunyai hak untuk
menentukan pilihan dan mengambil keputusan.
2. Pasien berhak untuk mempunyai hubungan perawat-pasien yang didasarkan
atas dasar saling menghargai, percaya, bekerja sama dalam menyelesaikan
masalah yang berhubungan dengan masalah kesehatan dan kebutuhan perawatan
kesehatan, dan saling bebas dalam berpikir dan berperasaan.
3. Perawat bertanggung jawab untuk memastikan bahwa pasien telah
mengetahui cara memelihara kesehatannya.

Selain harus memiliki nilai-nilai dasar di atas, perawat harus memiliki sikap yang
baik agar perannya sebagai advokat pasien lebih efektif. Beberapa sikap yang
harus dimiliki perawat, adalah:
1. Bersikap asertif
Bersikap asertif berarti mampu memandang masalah pasien dari sudut pandang
yang positif. Asertif meliputi komunikasi yang jelas dan langsung berhadapan
dengan pasien.
2. Mengakui bahwa hak-hak dan kepentingan pasien dan keluarga lebih utama
walaupun ada konflik dengan tenaga kesehatan yang lain.
3. Sadar bahwa konflik dapat terjadi sehingga membutuhkan konsultasi,
konfrontasi atau negosiasi antara perawat dan bagian administrasi atau antara
perawat dan dokter.
4. Dapat bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain

210
Artini:
211 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
211

Perawat tidak dapat bekerja sendiri dalam memberikan perawatan yang


berkualitas bagi pasien. Perawat harus mampu berkolaborasi dengan tenaga
kesehatan lain yang ikut serta dalam perawatan pasien.
5. Tahu bahwa peran advokat membutuhkan tindakan yang politis, seperti
melaporkan kebutuhan perawatan kesehatan pasien kepada pemerintah atau
pejabat terkait yang memiliki wewenang/otoritas.

F. Tujuan dan Hasil yang Diharapkan dari Peran Advokat Pasien


Tujuan dari peran advokat berhubungan dengan pemberdayaan kemampuan
pasien dan keluarga dalam mengambil keputusan. Saat berperan sebagai advokat
bagi pasien, perawat perlu meninjau kembali tujuan peran tersebut untuk
menentukan hasil yang diharapkan bagi pasien.
Menurut Ellis & Hartley (2000), tujuan peran advokat adalah :
1. Menjamin bahwa pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lain adalah partner
dalam perawatan pasien. Pasien bukanlah objek tetapi partner perawat dalam
meningkatkan derajat kesehatannya. Sebagai partner, pasien diharapkan akan
bekerja sama dengan perawat dalam perawatannya.
2. Melibatkan pasien dalam pengambilan keputusan.
Pasien adalah makhluk yang memiliki otonomi dan berhak untuk menentukan
pilihan dalam pengobatannya. Namun, perawat berkewajiban untuk menjelaskan
semua kerugian dan keuntungan dari pilihan-pilihan pasien.
3. Memiliki saran untuk alternatif pilihan.
Saat pasien tidak memiliki pilihan, perawat perlu untuk memberikan alternatif
pilihan pada pasien dan tetap memberi kesempatan pada pasien untuk memilih
sesuai keinginannya.
4. Menerima keputusan pasien walaupun keputusan tersebut bertentangan
dengan pengobatannya. Perawat berkewajiban menghargai semua nilai-nilai dan
kepercayaan pasien.
5. Membantu pasien melakukan yang mereka ingin lakukan.

211
Artini:
212 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
212

Saat berada di rumah sakit, pasien memiliki banyak keterbatasan dalam


melakukan berbagai hal. Perawat berperan sebagai advokat untuk membantu dan
memenuhi kebutuhan pasien selama dirawat di rumah sakit.
6. Melindungi nilai-nilai dan kepentingan pasien.
Setiap individu memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang berbeda-beda. Sebagai
advokat bagi pasien, perawat diharapkan melindungi nilai-nilai yang dianut pasien
dengan cara memberikan perawatan dan pengobatan yang tidak bertentangan
dengan nilai-nilai tersebut.
7. Membantu pasien beradaptasi dengan sistem pelayanan kesehatan.
Saat pasien memasuki lingkungan rumah sakit, pasien akan merasa asing dengan
lingkungan sekitarnya. Perawat bertanggung jawab untuk mengorientasikan
pasien dengan lingkungan rumah sakit dan menjelaskan semua peraturan-
peraturan dan hak-haknya selama di rumah sakit, sehingga pasien dapat
beradaptasi dengan baik.
8. Memberikan perawatan yang berkualitas kepada pasien.
Dalam memberikan asuhan keperawatan harus sesuai dengan protap sehingga
pelayanan lebih maksimal hasilnya.
9. Mendukung pasien dalam perawatan.
Sebagai advokat bagi pasien, perawat menjadi pendamping pasien selama dalam
perawatan dan mengidentifikasi setiap kebutuhan-kebutuhan serta mendukung
setiap keputusan pasien.
10. Meningkatkan rasa nyaman pada pasien dengan sakit terminal.
Perawat akan membantu pasien melewati rasa tidak nyaman dengan
mendampinginya dan bila perlu bertindak atas nama pasien menganjurkan dokter
untuk memberikan obat penghilang nyeri.
11. Menghargai pasien.
Saat perawat berperan sebagai advokat bagi pasien, perawat akan lebih mengerti
dan menghargai pasien dan hak-haknya sebagai pasien.
12. Mencegah pelanggaran terhadap hak-hak pasien.

212
Artini:
213 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
213

Perawat sebagai advokat bagi pasien berperan melindungi hak-hak pasien


sehingga pasien terhindar dari tindakan-tindakan yang merugikan dan
membahayakan pasien.
13. Memberi kekuatan pada pasien.
Perawat yang berperan sebagai advokat merupakan sumber kekuatan bagi pasien
yang mendukung dan membantunya dalam mengekspresikan ketakutan,
kecemasan dan harapan-harapannya.

Hasil yang diharapkan dari pasien saat melakukan peran advokat (Ellis & Hartley,
2000), adalah pasien akan :
1. Mengerti hak-haknya sebagai pasien.
2. Mendapatkan informasi tentang diagnosa, pengobatan, prognosis, dan pilihan-
pilihannya.
3. Bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya.
4. Memiliki otonomi, kekuatan, dan kemampuan memutuskan sendiri.
5. Perasaan cemas, frustrasi, dan marah akan berkurang.
6. Mendapatkan pengobatan yang optimal.
7. Memiliki kesempatan yang sama dengan pasien lain.
8. Mendapatkan perawatan yang berkesinambungan.
9. Mendapatkan perawatan yang efektif dan efisien.

213
Artini:
214 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
214

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Advokasi merupakan salah satu peran perawat dan menjadi dasar yang penting
dalam membrikan asuhan keperawatan kepada pasien. Peran perawat sebagai
advokat pasien menuntut perawat untuk dapat mengidentifikasi dan mengetahui
nilai-nilai dan kepercayaan yang dimilikinya tentang peran advokat, peran dan
hak-hak pasien, perilaku profesional, dan hubungan pasien-keluarga-dokter. Di
samping itu, pengalaman dan pendidikan yang cukup sangat diperlukan untuk
memiliki kompetensi klinik yang diperlukan sebagai syarat untuk menjadi
advokat pasien.

B. Saran
1. Bagi perawat
Mengaplikasikan teori ini dalam tatanan pemberian pelayana kesehatan
kepada masyarakat, dan melaksanakan peran perawat sebagai advokat utama
klien dan penghubung antar profesi kesehatan demi kepentingan pasien
2. Bagi mahasiswa
Melakukan peneltian terkait tentang advokasi, karena masih banyak hal yang
bias dieksplor dan dikembangkan.

214
Artini:
215 Glaucoma Caused Blindness Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), Vol. 7. No. 5 Juni 2011: 189−193
215

DAFTAR PUSTAKA

Armstrong, E. Alan (2007). Nursing Ethics. Macmillan: Palagrave


Creasia, J. L., & Parker. B.. (2001). Conceptuals Foundations : the Bridge to
Professional Nursing Practice. (3rd ed). St. Louis : Mosby.
Dewi. A. I.. (2008). Etika dan Hukum Kesehatan. Yogyakarta : Pustaka book
publisher
Ellis, J. R., & Celia L. H. (2000). Managing and Coordinating Nursing Care.
(3th ed ) Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.
Hidayat. A. A.. (2008). Konsep dasar keperawatan. (edisi 2). Jakarta : Penerbit
Salemba medika
Kozier, B., et al. (2004). Fundamentals of Nursing : Concepts, P
http://syehaceh.wordprss.com/2008/05/13/advoksi-dalam-promkes 26 MEI 2009,
10:00 AM.
Notoatmodjo Soekidjo, 2003. pendidikan dan perilaku kesehatan . Jakarta. PT
RINEKA CIPTA

215

Anda mungkin juga menyukai