Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Konjungtivitis atau radang konjungtiva adalah radang selaput lendir yang

menutupi belakang kelopak dan bola mata yang dibedakan kedalam bentuk akut dan

kronis. Konjungtivitis (pink eye) merupakan peradangan pada konjungtiva (lapisan luar

mata dan lapisan dalam kelopak mata) yang disebabkan oleh mikro-organisme (virus,

bakteri, jamur, chlamidia), alergi, iritasi dari bahan-bahan kimia seperti terkena serpihan

kaca yang debunya beterbangan sehingga mengenai mata kita dan menyebabkan iritasi

sedangkan konjungtivitis yang disebabkan oleh mikroorganisme (terutama virus dan

kuman atau campuran keduanya) ditularkan melalui kontak dan udara (Ilyas, 2014).

Konjungtivitis merupakan penyakit mata paling umum di dunia. Penyakit

konjungtivitis ini berada pada peringkat ketiga terbesar di dunia setelah penyakit

katarak dan glaucoma (Ilyas,2010). Penyakit konjungtivitis semakin meningkat.

Berdasarkan data Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat

menyatakan bahwa pada tahun 2008, menunjukkan peningkatan penderita yang lebih

besar yaitu sekitar 135 per 10.000 penderita baik pada anak-anak maupun pada orang

dewasa dan juga lanjut usia. Berdasarkan Bank Data Departemen Kesehatan Indonesia

(2013) jumlah pasien rawat inap konjungtivitis di seluruh rumah sakit pemerintah

tercatat sebesar 12,6% dan pasien rawat jalan konjungtivitis sebesar 28,3%. Di

Indonesia pada tahun 2014 diketahui dari 185.863 kunjungan ke poli mata.

Konjungtivitis juga termasuk dalam 10 besar penyakit rawat jalan terbanyak pada tahun

2015 Kemenkes RI. (2010).

1
Berdasarkan waktu, konjungtivitis dibedakan menjadi akut dan kronik.

Konjungtivitis akut, yaitu konjungtivitis dengan awitan terpisah yang diawali dengan

inflamasi unilateral,kemudian diikuti dengan inflamasi mata kedua seminggu kemudian

lama sakit adalah kurang dari empat minggu. Konjungtivitis kronik, yaitu konjungtivitis

dengan lama sakit lebih dari tiga sampai empat minggu (Tsai,dkk, 2011).

Konjungtivitis atau mata merah bisa menyerang siapa saja dan sangat mudah

menular, penularan terjadi ketika seorang yang sehat bersentuhan tangan seperti

bersalaman dengan seorang penderita konjungtivitis atau dengan benda yang baru

disentuh oleh penderita, lalu orang yang sehat tersebut menggosok tangannya ke mata

dan hal ini bisa menyebabkan penularan secara cepat sehingga dapat meningkatkan

jumlah penderita penyakit konjungtivitis (Ilyas, 2014).

Gejala konjungtivitis biasanya ringan, dapat sembuh sendiri dan tidak disertai

penurunan tajam penglihatan sehingga dapat ditatalaksana di pelayanan kesehatan

primer. Meskipun demikian, terdapat kasus yang bersifat mengancam penglihatan

sehingga perlu segera dirujuk ke rumah sakit atau dokter spesialis mata untuk tata

laksana lebih lanjut. Tujuan penulisan makalah ini adalah memberikan informasi bagi

dokter muda untuk mengingatkan kembali tentang konjungtivitis viral, bakteri, alergi,

dan jamur pada fase akut agar dapat mengenali gejala klinis, faktor resiko,

penatalaksanaan dan pencegahannya (Khurana, 2007).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva adalah membran mukosa transparan dan tipis yang membungkus

permukaan posterior kelopak mata dan anterior sklera. Secara umum konjungtiva dibagi

menjadi konjungtiva palpebralis, konjungtiva bulbaris dan forniks. Konjungtiva

palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat pada tarsus. Di

tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior

dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris.

Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan melipat

berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan

memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik (duktus-duktus kelenjar lakrimal

bermuara ke forniks temporal superior) (Gilani,dkk, 2017).

Gambar 2.1 Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis.

Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak vena konjungtiva

3
yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva

yang sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial

dan profundus dan bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus

limfatikus. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu

nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit (Gilani,dkk,

2017).

Gambar 2.2 Vaskularisasi Konjungtiva

2.2 Definisi Konjungtivitis

Konjungtivitis merupakan suatu keadaan dimana terjadi inflamasi atau

peradangan pada konjungtiva. Hal ini disebabkan karena lokasi anatomis konjungtiva

sebagai struktur terluar mata sehingga konjungtiva sangat mudah terpapar oleh agen

infeksi, baik endogen (reaksi hipersensitivitas dan autoimun) maupun eksogen (bakteri,

virus, jamur) (Gilani,dkk, 2017).

Konjungtivitis lebih dikenal sebagai pink eye, yaitu adanya inflamasi pada

konjungtiva atau peradangan pada konjungtiva yang disebabkan oleh invasi

mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, chlamidia), iritasi dari bahan-bahan kimia seperti

terkena serpihan kaca yang debunya beterbangan sehingga mengenai mata dan

4
menyebabkan iritasi, reaksi hipersensitivitas atau perubahan degeneratif di konjungtiva

(Gilani,dkk, 2017).

Gambar 2.3 Jenis Konjungtivitis dan Gambaran Klinisnya

2.3 Epidemiologi Konjungtivitis

Penyakit konjungtivitis ini berada pada peringkat nomor tiga terbesar di dunia

setelah penyakit katarak dan glaucoma (Ilyas, 2014). Berdasarkan data Pusat

Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat menyatakan pada tahun

2008, terjadi peningkatan penderita yang lebih besar yaitu sekitar 135 per 10.000

penderita, baik pada anak-anak maupun pada orang dewasa dan juga lanjut usia

(Lolowang, dkk, 2014)

Di Indonesia konjungtivitis menduduki peringkat 10 besar penyakit rawat jalan

terbanyak pada tahun 2009. Dari 135.749 pasien yang berkunjung ke poli mata, 73%

adalah kasus konjungtivitis (Kemenkes RI., 2009). Sedangkan pada tahun 2010,

konjungtivitis di Indonesia menduduki peringkat 9 dari 10 besar penyakit rawat jalan

terbanyak, tetapi belum ada data statistik mengenai jenis konjungtivitis yang paling

5
banyak dan akurat. Fakta di lapangan, konjungtivitis yang dinilai para dokter spesialis

mata sering terjadi adalah konjungtivitis alergi yang disebabkan oleh alergan, salah

satunya kandungan debu yang tinggi pada udara di daerah tertentu. Dari 87.513 pasien

yang berkunjung ke poli mata, 77,7% adalah kasus konjungtivitis, dengan 44,5% kasus

pada laki-laki dan 55,5% kasus pada perempuan (Kemenkes, 2010).

2.4 Patofisiologi Konjungtivitis

Berkaitan dengan lokasi anatomis konjungtiva sebagai struktur terluar mata,

konjungtiva memiliki resiko yang besar untuk terinfeksi berbagai jenis mikroorganisme.

Untuk mencegah terjadinya infeksi, konjungtiva memiliki pertahanan berupa tear film

yang berfungsi untuk melarutkan kotoran-kotoran dan bahan-bahan toksik yang

kemudian dialirkan melalui sulkus lakrimalis ke meatus nasi inferior. Disamping itu,

tear film juga mengandung beta lysine, lisozim, Ig A, Ig G yang berfunsi untuk

menghambat pertumbuhan kuman. Apabila terdapat mikroorganisme patogen yang

dapat menembus pertahanan tersebut, maka akan terjadi infeksi pada konjungtiva

berupa konjungtivitis (Lambert, 2017).

2.5 Gambaran Klinis Konjungtivitis

Adapun gambaran klinis konjungtivitis secara umum ialah hyperemia, discharge

(sekret), chemosis (edema conjunctiva), epifora (pengeluaran berlebih air mata),

pseudoptosis, hipertrofi folikuler, hipertrofi papiler, membrane dan pseudomembran,

adenopati preauricular dan granuloma, formasi pannus (Azari AA dan Barney NP.

2013).

Hiperemia tampak pada semua bentuk konjungtivitis. Tetapi penampakan/visibilitas

dari pembuluh darah yang hiperemia, lokasi mereka, dan ukurannya merupakan kriteria

6
penting untuk diferensial diagnosa. Hiperemia terjadi dari fornix ke limbus (Azari AA

dan Barney NP. 2013).

Gambar 2.4 Hiperemi pada konjungtivitis

Sekret yang dikeluarkan berasal dari eksudasi sel-sel radang. Kualitas dan sifat

alamiah eksudat (mukoid, purulen, berair, ropy, atau berdarah) tergantung dari

etiologinya. Adanya Chemosis mengarahkan kita secara kuat pada konjungtivitis alergik

akut tetapi dapat juga muncul pada konjungtivitis gonokokal akut atau konjungtivitis

meningokokal, dan terutama pada konjungtivitis adenoviral. Chemosis dari konjungtiva

bulbar dapat dilihat pada pasien dengan trikinosis (Ilyas, 2015).

Gambar 2.5 Chemosis

Pengelualan air mata yang berlebihan atau lakrimasi yang tidak normal

(illacrimation) harus dapat dibedakan dari eksudasi. Biasanya lakrimasi dicerminkan

sebagai reaksi dari badan asing pada konjungtiva atau kornea atau merupakan iritasi

toksik. Juga dapat berasal dari sensasi terbakar atau garukan atau juga dari gatal.

Transudasi ringan juga ditemui dari pembuluh darah yang hiperemia dan menambah

aktifitas pengeluaran air mata. Jumlah pengeluaran air mata yang tidak normal dan

7
disertai dengan sekresi mukus menandakan keratokonjungtivitis sika. Pseudoptosis atau

kelopak mata atas seperti akan menutup, disebabkan karena adanya infiltrasi sel-sel

radang pada palpebra superior maupun karena edema pada palpebra superior (Azari AA

dan Barney NP. 2013).

Hipertrofi folikuler terdiri dari hiperplasia limfoid lokal dengan lapisan limfoid dari

konjungtiva dan biasanya mengandung germinal center. Secara klinis, folikel dapat

dikenali sebagai struktur bulat, avaskuler putih atau abu-abu. Pada pemeriksaan

menggunakan slit lamp, pembuluh darah kecil dapat naik pada tepi folikel dan

mengitarinya. Terlihat paling banyak pada kasus konjungtivitis viral dan pada semua

kasus konjungtivitis klamidial kecuali konjungtivitis inklusi neonatal, pada beberapa

kasus konjungtivitis parasit, dan pada beberapa kasus konjungtivitis toksik diinduksi

oleh medikasi topikal seperti idoxuridine, dipiverin, dan miotik. Folikel pada forniks

inferior dan pada batas tarsal mempunyai nilai diagnostik yang terbatas, tetapi ketika

diketemukan terletak pada tarsus (terutama tarsus superior), harus dicurigai adanya

konjungtivitis klamidial, viral, atau toksik (mengikuti medikasi topikal) (Azari AA dan

Barney NP. 2013).

Gambar 2.6 Hipertrofi folikel

Hipertrofi papiler adalah reaksi konjungtiva non spesifik yang muncul karena

konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di dasarnya oleh fibril. Ketika pembuluh

8
darah yang membentuk substansi dari papilla (bersama dengan elemen selular dan

eksudat) mencapai membran basement epitel, pembuluh darah tersebut akan bercabang

menutupi papila seperti kerangka dari sebuah payung. Eksudat inflamasi akan

terakumulasi diantara fibril, membentuk konjungtiva seperti sebuah gundukan. Pada

kelainan yang menyebabkan nekrosis (contoh, trakoma), eksudat dapat digantikan oleh

jaringan granulasi atau jaringan ikat. Ketika papila berukuran kecil, konjungtiva

biasanya mempunyai penampilan yang halus dan merah normal. Konjungtiva dengan

papila berwarna merah sekali menandakan kelainan disebabkan bakteri atau klamidia

(contoh, konjungtiva tarsal yang berwarna merah sekali merupakan karakteristik dari

trakoma akut). Injeksi yang ditandai pada tarsus superior, menandakan

keratokunjungtivitis vernal dan konjungtivitis giant papillary dengan sensitivitas

terhadap lensa kontak; pada tarsal inferior, gejala tersebut menandakan

keratokonjungtivitis atopik. Papila yang berukuran besar juga dapat muncul pada

limbus, terutama pada area yang secara normal dapat terekspos ketika mata sedang

terbuka (antara jam 2 dan 4 serta antara jam 8 dan 10). Di situ gejala nampak sebagai

gundukan gelatin yang dapat mencapai kornea. Papila limbal adalah tanda khas dari

keratokonjungtivitis vernal tapi langka pada keratokonjungtivitis atopic (Lolowang,

2014).

Gambar 2.7 Hipertrofi Papiler

9
Membran dan pseudomembran merupakan reaksi konjungtiva terhadap infeksi

berat atau konjungtivitis toksis. Terjadi oleh karena proses koagulasi kuman/bahan

toksik. Bentukan ini terbentuk dari jaringan epitelial yang nekrotik dan kedua-duanya

dapat diangkat dengan mudah baik yang tanpa perdarahan (pseudomembran) karena

hanya merupakan koagulum pada permukaan epital atau yang meninggalkan permukaan

dengan perdarahan saat diangkat (membran) karena merupakan koagulum yang

melibatkan seluruh epitel (Lolowang, 2014).

Gambar 2.8 Bentukan pseudomembran yang diangkat

Pada adenopati preauricular terjadi pada anak yang kena virus campak

(konjungtivitis, demam, batuk). Sedangkan granuloma adalah nodus stroma konjungtiva

yang meradang dengan area bulat merah dan terdapat injeksi vaskular. Tanda ini dapat

muncul pada kelainan sistemik seperti tuberkulosis atau sarkoidosis atau mungkin faktor

eksogen seperti granuloma jahitan postoperasi atau granuloma benda asing lainnya.

Granuloma muncul bersamaan dengan bengkaknya nodus limfatikus preaurikular dan

submandibular pada kelainan seperti sindroma okuloglandular Parinaud (Lolowang,

2014).

10
Gambar 2.9 Granuloma konjungtiva disertai dengan folikel pada sindroma
okuloglandular Parinaud.

Gamba r 2.10

bentuk-bentuk injeksi pada konjungtiva

Formasi pannus, Pertumbuhan konjungtiva atau pembuluh darah diantara

lapisan Bowman dan epitel kornea atau pada stroma yang lebih dalam. Edema stroma,

yang mana menyebabkan pembengkakan dan memisahkan lamela kolagen,

memfasilitasi terjadinya invasi pembuluh darah (Lolowang, 2014).

Gambar 2.11 Pannus tampak pada mata

pasien konjungtivitis

2.6 Klasifikasi Konjungtivitis

Secara klinis konjungtivitis dibagi menjadi 3 yaitu konjungtivitis akut (karena

bakteri Stapylococcus), konjungtivitis hiperakut (karena bakteri Neisseria gonorrhoeae)

dan konjungtivitis kronis (karena reaksi alergi dan karena Chlamydia).

11
Berdasarkan penyebabnya konjungtivitis dapat dibagi menjadi beberapa bagian

yaitu konjungtivitis bakteri, konjungtivitis virus, konjungtivitis alergi, konjungtivitis

jamur dan konjungtivitis trachomatis.

2.6.1 Konjungtivitis Bakteri (Konjungtivitis Akut)

Konjungtivitis Bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang disebabkan oleh bakteri.

Pada konjungtivitis ini biasanya pasien datang dengan keluhan mata merah, sekret pada

mata dan iritasi mata (James, 2005).

a. Konjungtivitis bakteri akut

Sering dijumpai dan biasanya sembuh dengan sendirinya. Penyebab tersering

adalah H. influenza, Streptococcus pneumonia, Streptococcus aureus dan Moraxella.

Gejalanya berupa mata merah, ngeres, rasa panas dan keluar secret mucous (kental).

Gambaran klinis konjungtivitis bakteri akut meliputi injeksi konjungtiva, reaksi papil

pada tarsus, secret awalnya cair kemudian menjadi mukopurulen, erosi kornea

bentuk pungtat banyak terjadi. Pemeriksaan penunjangnya dengan pengecatan

giemsa dan ditemukan sel polimorfonuklear. Penatalaksanaanya biasanya membaik

dalam 5 hari tanpa terapi pada kira-kira 60% kasus. Antibiotik sering diberikan untuk

memcepat penyembuhan dan mencegah reinfeksi (Ilyas, 2015).

Gambar 2.12 Konjungtivitis Bakteri

12
b. Konjungtivitis bakteri hiperakut (Gonoblenorea)

Disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae yang menyerang mukosa dan

merupakan sexual transmitted disease. Biasanya gonoblenorea terjadi pada bayi yang

baru lahir dan bayi baru lahir ini terinfeksi melalui jalan lahir dari ibu yang terinfeksi

bakteri Neisseria gonorrhoeae. Gambaran klinis berupa edema palpebra, hiperemi

konjungtiva hebat, secret purulent, profus membran/pseudomembran, limfadenopati

preaurikuler. Untuk menegakkan diagnosa diperlukan pengambilan sekret mata lalu

dilakukan pemerikasaan laboratorium dengan pewarnaan Gram. Dari pemeriksaan

laboratorium tersebur ditemukan bakteri gram negatif berbentuk diplokokus.

Istimewanya bakteri ini bisa menembus kornea tanpa adanya lesi. Penatalaksanaanya

dengan pemberian penicillin procain 100.000 IU/ kgBB/injeksi (single dose).

Topikalnya dapat diberikan salep lefoproxasin, gentamicin. Tetesnya dapat diberikan

Cyrofloxaxin. Selain itu secret juga harus harus sering dibersihkan (James, 2005).

Gambar 2.13 Gonoblenorea

c. Konjungtivitis bakteri kronis

Terjadi pada pasien dengan obstruksi duktus lakrimalis dan dakriosistitis kronis,

biasanya unilateral. Juga dapat terjadi pada blefaritis kronis atau disfungsi kelenjar

Meibom. Konjungtivitis bakterial biasanya mulai pada satu mata kemudian mengenai

mata yang sebelah melalui tangan dan dapat menyebar ke orang lain. Penyakit ini

13
biasanya terjadi pada orang yang terlalu sering kontak dengan penderita, sinusitis dan

keadaan imunodefisiensi (Marlin, 2009).

Gambar 2.14 Blefaritis kronis

Pada saat anamnesis yang perlu ditanyakan meliputi usia, karena mungkin saja

penyakit berhubungan dengan mekanisme pertahanan tubuh pada pasien yang lebih tua.

Pada pasien yang aktif secara seksual, perlu dipertimbangkan penyakit menular seksual

dan riwayat penyakit pada pasangan seksual. Perlu juga ditanyakan durasi lamanya

penyakit, riwayat penyakit yang sama sebelumnya, riwayat penyakit sistemik, obat-

obatan, penggunaan obat-obat kemoterapi, riwayat pekerjaan yang mungkin ada

hubungannya dengan penyakit, riwayat alergi dan alergi terhadap obat-obatan, dan

riwayat penggunaan lensa-kontak (Marlin, 2009).

Pada kebanyakan kasus konjungtivitis bacterial, organism dapat diketahui dengan

pemeriksaan mikroskopik terhadap kerokan konjungtiva yang dipulas dengan pulasan

Gram atau Giemsa. Pemeriksaan ini mengungkapkan banyak neutrofil

polimorfonuklear. Kerokan konjungtiva untuk pemeriksaan mikroskopik dan biakan

disarankan untuk semua kasus dan diharuskan jika penyakit itu purulen, bermembran

atau berpseudomembran (Ilyas, 2015).

Studi sensitivitas antibiotika juga baik, namun sebaiknya harus dimulai terapi

antibiotika empiric. Bila hasil sensitifitas antibiotika telah ada, tetapi antibiotika spesifik

dapat diteruskan (Ilyas, 2015).

Komplikasi dari konjungtivitis bacteria adalah Blefaritis marginal kronik yang

sering menyertai konjungtivitis bateri, kecuali pada pasien yang sangat muda yang

14
bukan sasaran blefaritis. Parut di konjungtiva paling sering terjadi dan dapat merusak

kelenjar lakrimal aksesorius dan menghilangkan duktulus kelenjar lakrimal. Hal ini

dapat mengurangi komponen akueosa dalam film air mata prakornea secara drastic dan

juga komponen mukosa karena kehilangan sebagian sel goblet. Luka parut juga dapat

mengubah bentuk palpebra superior dan menyebabkan trikiasis dan entropion sehingga

bulu mata dapat menggesek kornea dan menyebabkan ulserasi, infeksi dan parut pada

kornea (Vaughan, 2015). Konjungtivitis mudah menular, karena itu sebelum dan

sesudah membersihkan atau mengoleskan obat, penderita harus mencuci tangannya

bersih-bersih. Usahakan untuk tidak menyentuh mata yang sehat sesudah menangani

mata yang sakit. Jangan menggunakan handuk atau lap bersama-sama dengan penghuni

rumah lainnya.

2.6.2 Konjungtivitis Alergi

Konjungtivitis alergi adalah bentuk alergi pada mata yang paling sering dan

disebabkan oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai oleh sistem imun.

Reaksi hipersensitivitas yang paling seringterlibat pada alergi di konjungtiva adalah

reaksi hipersensitivitas tipe 1. (Scott, 2010).

2.6.2.1 Konjungtivitis Vernal (Konjungtivitis Kronis)

Konjungtivitis vernal yaitu konjungtivitis bilateral, rekuren, predominan pada

anak laki-laki (5-10 tahun). Alergen spesifik sulit diidentifikasi, tetapi biasanya

menunjukan manifestasi alergi terhadap serbuk sari rumput rumputan. Kekambuhan

yang parah sering terjadi pada musim semi, panas, dan gugur. Pada iklim tropis hamper

selalu ada sepanjang tahun (Scott, 2010).

Gejala dari konjungtivitis vernal adalah gatal, spasme palpebral, fotofobia,

kabur, dan keluar sekret mukoid. Secara klinis terdapat 2 bentuk konjungtivitis vernal

15
yaitu palpebral dan limbal. Pada palpebral keradangan terutama pada konjungtiva

palpebral dengan hipertrofi papiler dominan pada palpebral superior daripada inferior,

hiperemi konjungtiva dan kemosis. Pada kasus yang parah, terdapat giant papil atau

‘cobblestone’ pada tarsus superior. Tipe limba predominan pada ras Asia dan kulit

hitam, limbus menebal, injeksi vaskuler. Hipertrofi pada limbus yang terdiri degenerasi

sel eosinophil dan epitel disebut “Horner-Trantas dots” (Scott, 2010).

Gambar 2.16 Konjungtivitis Vernal

Pemerikasan penunjang dengan pengecatan giemsa dan ditemukan sel eosinopil.

Gambar 2.17
Histologi konjungtivitis vernal terlihat banyak sel
radang terutama eosinofil
Penatalaksanaannya pada kasus ringan dengan topikal vasokontriksi-

antihistamin dan kompres dingin. Untuk kasus sedang-berat topikal sodium cromolyn,

ketorolac 0,5%, lodoxamine 0,1% dan kortikosteroid topikal dapat diberikan. Pasien

dan keluarga harus diberi informasi bahaya penggunaan topikal kortikosteroid yang

lama (Scott, 2010).

Penanganan khusus untuk konjungtivitis vernal berupa :

16
a. Terapi lokalis

Steroid topical – penggunaannya efektif pada keratokonjungtivitis vernal, tetapi

harus hati-hati kerana dapat menyebabkan glaucoma. Pemberian steroid dimulai dengan

pemakaian sering (setiap 4 jam) selama 2 hari dan dilanjutkan dengan terapi

maintainance 3-4 kali sehari selama 2 minggu. Steroid yang sering dipakai adalah

fluorometholon, medrysone, betamethasone, dan dexamethasone. Fluorometholon dan

medrysone adalah paling aman antara semua steroid tersebut.

- Mast cell stabilizer seperti sodium cromoglycate 2%

- Antihistamin topical

- Acetyl cysteine 0,5%

- Siklosporin topical 1%

b. Terapi sistemik

- Anti histamine oral untuk mengurangi gatal

- Steroid oral untuk kasus berat dan non responsive

c. Terapi lain dan pencegahan

- Apabila terdapat papil yang besar, dapat diberikan injeksi steroid supratarsal

atau dieksisi. Eksisi sering dianjurkan untuk papil yang sangat besar.

- Menghindari tindakan menggosok-gosok mata dengan tangan atau jari tangan,

karena telah terbukti dapat merangsang pembebasan mekanis dari mediator-

mediator sel mast. Di samping itu, juga untuk mencegah super infeksi yang pada

akhirnya berpotensi ikut menunjang terjadinya glaukoma sekunder dan katarak.

- Menghindari daerah berangin kencang yang biasanya juga  membawa serbuk

sari dan hindari penyebab dari alergi itu sendiri.

17
- Kaca mata gelap untuk fotofobia dan untuk mengurangi kontak dengan

alergen di udara terbuka. Pemakaian lensa kontak justru harus dihindari karena

lensa kontak akan membantu retensi allergen.

- Kompres dingin dapat meringankan gejala.

- Pengganti air mata (artifisial). Selain bermanfaat untuk cuci mata juga berfungsi

protektif karena membantu menghalau allergen.

- Pasien dianjurkan pindah ke daerah yang lebih dingin yang sering juga disebut

sebagai climato-therapy (Rapuano, 2008).

Komplikasi yang terjadi pada kornea berupa erosi epitel pungtat di daerah superior

dan sentral yang sering terlihat panus, ulkus epitel dengan bentuk oval dengan

kekeruhan stroma pada daerah superior (Scott, 2010).

2.6.2.2 Konjungtivitis Atopi

Istilah ini digunakan pada pasien dengan atopi dermatitis yang juga menderita

konjungtivitis atopi. Diagnosis atopi dermatitis dengan tiga atau lebih gambaran

berikut : pruritus, lesi kulit yang khas pad daerah fleksor, wajah atau ekstensor pada

anak, dermatitis kronis, riwayat penderita/keluarga atopi (asma, rhinitis alergi,

dermatitis atopi) (Vaughan, 2015).

Gambaran klinis sama dengan konjungtivitis vernal, dengan perbedaan yaitu

tak ada kekambuhan menurut musim, ukuran papil lebih kecil dan sama-sama dominan

pada palpebral superior dan inferior, edema konjungtiva keputihan sering terlihat,

vaskularisasi dan kekeruhan koernea yang luas dapat terjadi, sitology didapatkan

eosinophil lebih sedikit dan sering degranulasi. Penatalaksanaan sama dengan

konjungtivitis vernal (Vaughan, 2015).

2.6.2.3 Phlyctenulosis

18
Konjungtivitis phlyctenulosis adalah reaksi hipersensitif lambat akibat respon

terhadap protein mikroba, termasuk protein dari basilus tuberkel, stafilokokus, Candida

albican, Haemophilus aegypticus dan Chlamydia trachomatis. Phlycten konjungtiva

mulai dengan ukuran kecil (diameter 1-3mm), nodul putih pink dan dikelilingi daaerah

hiperemi. Sering terdapat pada limbus, tetapi juga pada kornea, konjungtiva bulbi, dan

jarang pada tarsus. Konjungtivitis phlycten sering dipicu oleh blefaritis aktif,

konjungtivitis bakteri akut dan kekurangan gizi. Penatalaksanaannya yaitu terapi dengan

penyakit dasar. Steroid topikal digunakan untuk mengntrol gejala akut dan mencegah

sikatrik kornea (Vaughan, 2015).

2.6.3 Konjungtivitis Trachomatis (Trachoma) (Konjungtivitis Kronis)

Konjungtivitis trachomatis disebabkan oleh chlamydia trachomatis. Predileksi dari

chlamydia trachomatis adalah di daerah yang sanitasi airnya jelek. Biasanya penyakit ini

mengenai orang dengan hygiene buruk. Penyakit ini termasuk penyakit yang mudah

menular (infeksius) dan dapat menyebabkan kebutaan. Trachoma dibagi menjadi

beberapa stadium dengan tanda dan gejala sebagai berikut (Ilyas, 2015):

i. Stadium I (Stadium Insipien)

Pada palpebra ditemukan hipertrofi papiler dan folikel imatur di tarsus bagian atas.

Dan terdapat eksudat tetapi hanya sedikit. Di limbus kornea 1/3 bagian atas didapatkan

panus yang terdiri dari infiltrat dan neovaskularisasi yang belum nyata (Ilyas, 2015).

ii. Stadium II A (Stadium Hipertrofi Folikuler)

Ditemukan hipertrofi papiler dan folikel matur di tarsus bagian atas. Terdapat

eksudat banyak bila terjadi infeksi sekunder. Di limbus kornea 1/3 bagian atas panus

lebih jelas (Ilyas, 2015)

iii. Stadium II B (Stadium Hipertrofi Papiler)

19
Hipertofi papiler semakin jelas sehingga menutupi folikel. Hipertrofi papiler

lebih menonjol dan panus aktif nyata. Dengan adanya hipertrofi papiler, permukaan

konjungtiva menjadi berlipat-lipat, tidak licin, seperti beludru (Ilyas, 2015)

iv. Stadium III (Stadium Sikatrik)

Mulai adanya sikatrik di subepitelial konjungtiva di palpebra, di tarsus dan

trachoma aktif. Tanda dari trachoma aktif adalah hiperemi, sekret, panus aktif di bagian

atas kornea dan herbets pit’s di limbus kornea 1/3 bagian atas. Sikatrik ada 3 bentuk

yaitu leukoma (dapat dilihat dengan mata telanjang), makula (dapat dilihat dengan pen

light), dan nebula (dilihat dengan menggunakan slit lamp) (Ilyas, 2015)

v. Stadium IV

Infiltrat dan hipertopi folikel hilang, panus inaktif sikatrik tanpa adanya tanda

trachoma. Penatalaksanaannya dapat diberikan tetracycline (kontraindikasi tetracycline

adalah anak yang gigi susunya belum tanggal dan ibu hamil). Jika ada kontraindikasi

maka tetracycline diganti dengan eritromisin. Komplikasinya dapat terjadi sikatrik

konjungtiva (entropin) dan trikiasis (Ilyas, 2015).

20
Gambar 2.18. Stadium Trakoma

2.6.4 Konjungtivitis Virus

Konjungtivitis viral adalah penyakit umum yang dapat disebabkan oleh berbagai

jenis virus, dan berkisar antara penyakit berat yang dapat menimbulkan cacat hingga

infeksi ringan yang dapat sembuh sendiri dan dapat berlangsung lebih lama daripada

konjungtivitis bakteri (Vaughan, 2015).

Konjungtivitis viral dapat disebabkan berbagai jenis virus, tetapi adenovirus adalah

virus yang paling banyak menyebabkan penyakit ini, dan herpes simplex virus yang

paling membahayakan. Selain itu penyakit ini juga dapat disebabkan oleh virus

Varicella zoster, picornavirus (enterovirus 70, Coxsackie A24), poxvirus, dan human

immunodeficiency virus (Scott, 2010). Penyakit ini sering terjadi pada orang yang

sering kontak dengan penderita dan dapat menular melalu di droplet pernafasan, kontak

dengan benda-benda yang menyebarkan virus (fomites) dan berada di kolam renang

yang terkontaminasi (Ilyas, 2015).

Mekanisme terjadinya konjungtivitis virus ini berbeda-beda pada setiap jenis

konjungtivitis ataupun mikroorganisme penyebabnya. Mikroorganisme yang dapat

menyebabkan penyakit ini dijelaskan pada etiologi.

Gejala klinis pada konjungtivitis virus berbeda-beda sesuai dengan etiologinya.

Pada keratokonjungtivitis epidemik yang disebabkan oleh adenovirus biasanya dijumpai

demam dan mata seperti kelilipan, mata berair berat dan kadang dijumpai

pseudomembran. Selain itu dijumpai infiltrate subepitel kornea atau keratitis setelah

terjadi konjungtivitis dan bertahan selama lebih dari 2 bulan (Vaughan, 2015). Pada

21
konjungtivitis ini biasanya pasien juga mengeluhkan gejala pada saluran pernafasan atas

dan gejala infeksi umum lainnya seperti sakit kepala dan demam. Pada konjungtivitis

herpetic yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (HSV) yang biasanya mengenai

anak kecil dijumpai injeksi unilateral, iritasi, sekret mukoid, nyeri, fotofobia ringan dan

sering disertai keratitis herpes. Konjungtivitis hemoragika akut yang biasanya

disebabkan oleh enterovirus dan coxsackie virus memiliki gejala klinis nyeri, fotofobia,

sensasi benda asing, hipersekresi airmata, kemerahan, edema palpebra dan perdarahan

subkonjungtiva dan kadang-kadang dapat terjadi kimosis (Scott, 2010).

Gambar 2.15 Konjungtivitis Virus

Diagnosis pada konjungtivitis virus bervariasi tergantung etiologinya, karena itu

diagnosisnya difokuskan pada gejala-gejala yang membedakan tipetipe menurut

penyebabnya. Dibutuhkan informasi mengenai, durasi dan gejala-gejala sistemik

maupun ocular, keparahan dan frekuensi gejala, faktor-faktor resiko dan keadaan

lingkungan sekitar untuk menetapkan diagnosis konjungtivitis virus. Pada anamnesis

penting juga untuk ditanyakan onset, dan juga apakah hanya sebelah mata atau kedua

mata yang terinfeksi. Konjungtivitis virus sulit untuk dibedakan dengan konjungtivitis

bakteri berdasarkan gejala klinisnya dan untuk itu harus dilakukan pemeriksaan

lanjutan, tetapi pemeriksaan lanjutan jarang dilakukan karena menghabiskan waktu dan

biaya (Vaughan, 2015).

22
Pemeriksaan penunjang untuk konjungtivitis virus dengan menggunakan

pengecatan giemsa ditemukan sel limfosit dan monosit (sel mononuclear).

Konjungtivitis virus bisa berkembang menjadi kronis, seperti blefarokonjungtivitis.

Komplikasi lainnya bisa berupa timbulnya pseudomembran, dan timbul parut linear

halus atau parut datar, dan keterlibatan kornea serta timbul vesikel pada kulit (Vaughan,

2015).

Konjungtivitis virus yang terjadi pada anak di atas 1 tahun atau pada orang dewasa

umumnya sembuh sendiri dan mungkin tidak diperlukan terapi, namun antivirus topikal

atau sistemik harus diberikan untuk mencegah terkenanya kornea. Pasien konjungtivitis

juga diberikan instruksi hygiene untuk meminimalkan penyebaran infeksi (Scott, 2010).

2.6.5 Konjungtivitis Jamur

Konjungtivitis jamur paling sering disebabkan oleh Candida albicans dan

merupakan infeksi yang jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan adanya bercak putih

dan dapat timbul pada pasien diabetes dan pasien dengan keadaan sistem imun yang

terganggu. Selain Candida sp, penyakit ini juga dapat disebabkan oleh Sporothrix

schenckii, Rhinosporidium serberi, dan Coccidioides immitis walaupun jarang

(Vaughan, 2015).

2.6.6 Konjungtivitis Kimia atau Iritatif

Konjungtivitis kimia-iritatif disebabkan adanya pajanan substansi iritan, seperti

asam, alkali, asap dan angin, yang memasuki sakus konjungtivalis. Hal ini akan memicu

timbulnya gejala berupa nyeri, pelebaran pembuluh darah, fotofobia dan blefarospasme.

Penggunaan obat-obat topikal jangka panjang seperti dipivefrin, miotik, neomycin, dll

yang digabung dengan bahan pengawet atau toksik. Penanganan konjungtivitis kimia-

23
iritatif dapat diatasi dengan penghentian substansi penyebab dan pemberian tetes mata

ringan (Garcia-Ferrer,2008).

Gambar 2.16 Konjungtivitis Iritatif

2.7. Diagnosa Banding Konjungtivitis

a. Keratitis

Keratitis merupakan infeksi dan inflamasi pada komea yang menyebabkan

penurunan tajam penglihatan dan penurunan sensitifitas cahaya. Pada beberapa kasus,

keratitis dapat menyebabkan kehilangan penglihatan atau kebutaan.

b. Blepharitis

Peradangan yang terjadi pada kelopak mata akibat produksi minyak berlebihan

dan berasal dari lapisan mata. Memiliki gejala berupa mata merah, panas, nyeri, gatal,

berarti, terdapat luka di bagian kelopak mata dan membengkak.

c. Dry eye sindrom

Suatu keadaan keringnya permukaan konjungtiva akibat berkurangnya sekresi

kelenjar lakrima

e. Uveitis Anterior

Peradangan jaringan uvea anterior, terdiri dari iritis atau iridioksiklitis yang

terjadi secara mendadak dan biasanya berjalan selama enam hingga delapan minggu.

24
f. Skleritis

Radang kronis granulomatosa pada sclera yang ditandai dengan desktruksi

kolagen, infiltrasi sel danvaskulitis. (Garcia-Ferrer,2008).

2.8. Diagnosis Konjungtivitis

Dalam penegakan diagnosis, anamnesis dan pemeriksaan (baik pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan mata) harus dilakukan secara komprehensif. Perlu ditanyakan

mengenai onset, lokasi (unilateral atau bilateral), durasi, penyakit penyerta seperti

gangguan saluran nafas bagian atas, gejala penyerta seperti fotofobia, riwayat penyakit

sebelumnya, serta riwayat keluarga. Pemeriksaan sel-sel radang terlihat dalam eksudat

atau kerokan yang diambil dengan spatula platina steril dari permukaan konjungtiva

kemudian di pulas dengan pulasan Gram (untuk mengidentifikasi organisme) dan

dengan pulasan Giemsa (untuk menetapkan jenis dan morfologi sel). Pada

konjungtivitis virus biasanya banyak ditemukan sel mononuklear khususnya limfosit

dalam jumlah yang banyak (Garcia-Ferrer,2008).

Diagnosis konjungtivitis alergi didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik

yang komprehensif. Pada anamnesis, ditanyakan mengenai onset, durasi, unilateral atau

bilateral, gejala penyerta, riwayat penyakit sebelumnya, serta riwayat keluarga. Hal ini

memiliki peran penting seperti pada konjungtivitis vernal, dimana pasien dengan

riwayat alergi pada keluarga (hay fever, eksim,dll) memiliki kecenderungan mengalami

konjungtivitis vernal (Garcia-Ferrer,2008).

2.9. Penatalaksanaan Konjungtivitis

25
Penanganan dari konjungtivitis alergi adalah berdasar pada identifikasi antigen

spesifik dan eliminasi dari pathogen spesifik. Pengobatan suportif seperti lubrikan dan

kompres dingin dapat membantu meredakan gejala yang dirasakan oleh pasien. Obat-

obatan yang menurunkan respon imun juga digunakan pada kasus konjungtivitis alergi

untuk menurunkan respon imun tubuh dan meredakan gejala inflamasi (Rapuano, 2008).

Obat –obat berikut ini berguna dalam mengobati konjungtivitis alergi:

Steroid topikal

Kortikosteroid menghambat proses inflamasi (misalnya, edema, dilatasi kapiler,

dan proliferasi fibroblast). Obat tersebut juga membatasi migrasi makrofag dan neutrofil

untuk daerah meradang serta memblokir aktivitas fosfolipase A2 dan selanjutnya

induksi asam arakidonat cascade. Obat ini digunakan dalam pengobatan penyakit mata

akut alergi, steroid efektif dalam mengurangi gejala alergi akut, namun, penggunaannya

harus dibatasi karena potensi efek samping dengan biala lama digunakan. Penggunaan

kortikosteroid topikal jangka panjang dapat menyebabkan komplikasi: katarak

subkapsular posterior dan peningkatan tekanan intraokular (TIO) (Rapuano, 2008)

Vasokonstriktor topikal / antihistamin.

Agen ini menyebabkan penyempitan pembuluh darah, menurunkan

permeabilitas pembuluh darah, dan mengurangi mata gatal-gatal dengan memblokir

histamin H1 receptors.

Antihistamin topikal. Anithistamines kompetitif terikat dengan reseptor histamin

dan dapat mengurangi gatal dan vasodilatasi. Levocabastine hidroklorida 0,05%, sebuah

H1 selektif topikal antagonis reseptor histamin, efektif dalam mengurangi tanda-tanda

dan gejala alergi lain conjunctivitis. H1 selektif antagonis, azelastine hidroklorida

0,05%, efektif dalam mengurangi gejala yang terkait dengan alergi, difumarate 0,05%,

26
suatu antagonis H1 selektif, mungkin lebih efektif dibandingkan levocabastine dalam

mengurangi chemosis, kelopak mata bengkak,dan tanda-tanda dan gejala yang

berhubungan dengan konjungtivitis alergi musiman pada pasien dewasa dan anak

(Rapuano, 2008).

Non-steroid anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) topika.

Obat ini menghambat aktivitas siklooksigenase, salah satu yang bertanggung

jawab untuk konversi asam arakidonat ke enzim prostaglandins. Ketorolac trometamin

0,5% dan diklofenak natrium 0,1% efektif dalam mengurangi tanda-tanda dan gejala

berhubungan dengan konjungtivitis alergi, meskipun Makanan dan Drug Administration

(FDA) telah menyetujui hanya ketorolac untuk pengobatan konjungtivitis alergi

(Rapuano, 2008).

Stabilisator sel mast topikal.

Agen ini menghambat degranulasi sel mast, sehingga membatasi pelepasan

inflamasi mediator, termasuk histamin, neutrofil dan eosinofil faktor chemotactic, dan

platelet-activating factor (Rapuano, 2008).

Imunosupresan.

Siklosporin A adalah agen imunosupresan sistemik ampuh digunakan untuk

mengobati berbagai immunemediated kondisi. Sistemik diberikan siklosporin A dapat

menjadi pengobatan yang efektif untuk pasien dengan keratokconjugtiviits atopik yang

berat (Rapuano, 2008).

Antihistamin sistemik.

Agen ini berguna dalam kasus-kasus tertentu respon alergi dengan edema,

dermatitis, rinitis, atau sinusitis. Mereka harus digunakan dengan hati-hati karena

penenang yang dan efek antikolinergik dari beberapa antihistamin generasi pertama

27
obat-obatan. Pasien harus memperingatkan efek samping potensial. Antihistamin baru

yang jauh lebih kecil kemungkinannya untuk menyebabkan sedasi, tetapi

penggunaannya dapat mengakibatkan kekeringan okular meningkat permukaan

(Rapuano, 2008).

2.10. Komplikasi Konjungtivitis

Penyakit radang mata yang tidak segera ditangani/diobati bisa menyebabkan

kerusakan pada mata/gangguan pada mata dan menimbulkan komplikasi. Beberapa

komplikasi dari konjungtivitis yang tidak tertangani diantaranya ulkus kornea,

keratokonjungtivitis dan keratitis epithelial (Ilyas, 2015).

Selain itu juga dapat terjadi pembentukan jaringan parut konjungtiva, yang

kemudian dapat menimbulkan simblefaron, trichiasis, entropion, dan xerosis

konjungtiva. Komplikasi sistemik yang dapat seperti arthritis gonorrhoea, endokarditis,

dan septisemia (Vaughan, 2015).

2.11. Prognosis Konjungtivitis

Bila ditangani dengan cepat dan dapat menghindarkan komplikasi serta penularan

terutama pada infeksi mikroorganisme, maka prognosisnya akan baik (Amadi, 2009).

Konjungtivitis pada umumnya self limited disease artinya dapat sembuh sendiri.

Tanpa pengobatan biasanya sembuh dalam 10-14 hari. Bila diobati sembuh dalam 1-3

hari (Amadi, 2009).

Namun, konjungtivitis yang disebabkan bakteri S aureus, N meningitidis, dan N

gonorrhoeae akan menimbulkan komplikasi jika tidak diobati segera (Ilyas, 2015).

28
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Konjungtivitis atau radang konjungtiva adalah radang selaput lendir yang

menutupi belakang kelopak dan bola mata yang dibedakan kedalam bentuk akut dan

kronis (Ilyas, 2014)..

Konjungtivitis (pink eye) merupakan peradangan pada konjungtiva (lapisan luar

mata dan lapisan dalam kelopak mata) yang disebabkan oleh mikro-organisme (virus,

bakteri, jamur, chlamidia), alergi, iritasi dari bahan-bahan kimia seperti terkena serpihan

kaca yang debunya beterbangan sehingga mengenai mata kita dan menyebabkan iritasi

sedangkan konjungtivitis yang disebabkan oleh mikroorganisme (terutama virus dan

kuman atau campuran keduanya) ditularkan melalui kontak dan udara (Ilyas, 2014).

Konjungtiva selalu berhubungan dengan dunia luar. Kemungkinan konjungtiva

terinfeksi dengan mikroorganisme sangat besar. Pertahanan Konjungtiva terutama oleh

karena adanya tear film pada konjungtiva yang berfungsi untuk melarutkan kotoran-

kotoran dan bahan-bahan yang toksik kemudian mengalirkan melalui saluran lakrimalis

ke meatus nasi inferior. Di samping itu tear film juga mengandung beta lysin, lysozym,

IgA, IgG yang berfungsi untung menghambat pertumbuhan kuman. Apabila ada

mikroorganisme patogen yang mampu menembus pertahanan tersebut hingga terjadi

infeksi konjungtiva yang disebut konjungtivitis (Marlin, 2009).

29
Konjungtivitis dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab seperti infeksi

oleh bakteri (Neisseria gonnorhoeae, Neisseria kochii, Neisseria meningitides,

Streptococcus pneumonia, Haemophilus aegyptyus, Corynebacterium diptherica dan

lainnya), infeksi oleh virus (Varicella zoster, picornavirus [enterovirus 70, Coxsackie

A24], poxvirus, dan human immunodeficiency virus), reaksi alergi, infeksi jamur dan

reaksi kimia yang iritatif (Amadi, 2009).

Bila ditangani dengan cepat dan dapat menghindarkan komplikasi serta

penularan terutama pada infeksi mikroorganisme, maka prognosisnya akan baik.

Konjungtivitis pada umumnya self limited disease artinya dapat sembuh sendiri. Tanpa

pengobatan biasanya sembuh dalam 10-14 hari. Bila diobati sembuh dalam 1-3 hari

(Amadi, 2009)

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Azari AA dan Barney NP. 2013. Conjunctivitis:a systemic review of diagnosis

and treatment. JAMA; 310(6):1721.

2. Amadi, A., et al., 2009. Common Ocular Problems in Aba Metropolis of Albia

State, Eastern Nigeria. Federal Medical Center Owerri.

http://docsdrive.com/pdfs/medwelljournals/pjssci/2009/32-35.pdf. Diakses pada

25 November 2017.

3. Dzunic B, Jovanovic P, et al. 2010. Analysis of pathohistological characteristics

of pterigium. Bosnian Journal Of Basic Medical Science;10(4):308-13.

4. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Asbury Oftalmology Umum. Edisi 17.

EGC, Jakarta 2009.

5. Gilani CJ, Yang A, Yonkers M, Boysen-Osborn M. Differentiating urgent and

emergent causes of acute red eye for the emergency physician. West J Emerg

Med. 2017; article in press.

6. Ilyas, Sidarta. (2015). Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Badan Penerbit FK

7. James, Brus, dkk. 2005. Lecture Notes Oftalmologi Edisi 9. Jakarta: Erlangga.

8. Jatla, K.K., 2009. Neonatal Conjunctivitis. University of Colorado Denver

Health Science Center.

31
9. Kemenkes RI. 2009. 10 Besar Penyakit Rawat Jalan Tahun 2009. Profil

Kesehatan Indonesia Tahun 2009, diakses 24 November 2017, dari

http://www.Depkes.go.id.

10. Kemenkes RI. 2010. 10 Besar Penyakit Rawat Jalan Tahun 2010. Profil

Kesehatan Indonesia Tahun 2010, diakses 24 November 2017, dari

http://www.Depkes.go.id.

11. Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. Edisi ke-4. New Delhi: New Age

International; 2007.

12. Lambert L. Diagnosing red eye: an allergy or an infection. S Afr Pharm J.

2017;84(1):24-30.

13. Lolowang M, dkk. (2014). Pola bakteri aeron penyebab konjungtivitis pada

penderita rawat jalan di balai kesehatan mata masyarakat kota Manado. Jurnal

eBiomedik Ebm; 2 (1): 279-86. Manado: Universitas Sam Ratulangi.

14. Marlin, D.S., 2009. Bacterial Conjunctivitis. Penn State College of Medicine.

http://emedicine.medscape.com/article/1191370-overview. Diakses pada 25

November 2017.

15. Rapuano, C.J., et al., 2008. Conjunctivitis. American Academy of

Ophthalmology. http://one.aao.org/asset.axd. Diakses pada 25 November 2017.

16. Scott, I.U., 2010. Viral Conjunctivitis. Departement of Opthalmology and Public

Health Sciences: http://emedicine.medscape.com/article/ 1191370-overview.

Diakses pada 25 November 2017.

17. Suhardjo SU, Hartono. 2007. Ilmu Kesehatan Mata Edisi 1. Jogjakarta: Bagian

Ilmu Penyakit Mata FK UGM.

32
18. Tsai JC, Denniston AKO, Murray PI, Huang JJ, Aldad TS. Oxford American

handbook of ophthalmology. New York: Oxford University Press; 2011.

19. Vaughan, D. dan Asbury, T. 2015. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

20. Visscher, K.L., et al., 2009. Evidence-based Treatment of Acute Infective

Conjunctivitis. Canadian Family Physician.

http://171.66.125.180/content/55/11/1071.short. Diakses pada 25 November

2017.

33

Anda mungkin juga menyukai