Anda di halaman 1dari 12

REFERAT

Konjungtivitis Adenovirus

Disusun Oleh :
Muliaty Mardiani Putri

PEMBIMBING
dr. Bambang Herwindu, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 23 MEI – 25 JUNI 2021
Pendahuluan
Konjungtiva adalah selaput lendir atau lapisan mukosa yang melapisi permukaan dalam
kelopak mata (konjungtiva palpebra), berlanjut ke pangkal kelopak (konjungtiva forniks) dan
melipat balik melapisi bola mata hingga tepi kanan (konjungtivita bulbi). Konjungtiva dibagi
menjadi tiga bagian yaitu kongtiva palpebra, konjungtiva forniks dan konjungtiva bulbi. 1
Konjungtiva mengandung kelejar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet, musin bersifat
membasahi bola mata.
Konjungtiva selalu dibasahi oleh air mata yang saluran sekresinya bermuara di forniks
atas. Air mata yang merupakan bagian dari tearfilm ini akan mengalir dipermukaan belakang
kelopak mata dan dengan kedipan mata, air mata akan terus mengalir membasahi konjungtiva
dan kornea sehingga konjungtiva dan kornea selalu basah dan selanjutnya air mata mengalir
keluar melalui saluran lakrimali.2 Salah satu kelainan pada konjungtiva yang sering terjadi,
yaitu konjungtivitis.
Konjungtivitis adalah suatu inflamasi jaringan pada konjungtiva yang dapat disebabkan
oleh invasi mikroorganisme, reaksi hipersensitivitas atau perubahan degeneratif di
konjungtiva. Pasien biasanya mengeluh mata merah, edema konjungtiva, dan keluar sekret
berlebih. Gejala tersebut terjadi akibat dilatasi vaskular, infiltrasi selular dan eksudasi. 3
Berdasarkan penyebabnya, konjungtivitis dibagi menjadi konjungtivitis infeksi dan non-
infeksi. Pada konjungtivitis infeksi, penyebab tersering adalah virus dan bakteri, sedangkan
pada kelompok non-infeksi disebabkan oleh alergi dan reaksi toksik. Konjungtivitis juga
dapat dikelompokkan berdasarkan waktu yaitu akut dan kronik. Pada kondisi akut, gejala
terjadi hingga empat minggu, sedangkan pada konjungtivitis kronik, gejala lebih dari empat
minggu.3 Gejala yang sering dikeluhkan pasien berupa mata merah, gatal dan sekret yang
membuat fisura palpebra menjadi lengket atau sulit saat bangun tidur.
Konjungtivitis viru merupakan penyakit yang buasa dan sering terjadi di masyarakat
seluruh dunia. Tidak ada prevalensi yang akurat mengenai konjungtivitis yang disebabkan
oleh virus karena pada umumnya orang jarang dating kerumah sakit untuk berobat.
Konjungtivitis dapat dialami oleh segala usia baik ana-anak ataupun orang dewasa.
Adenovirus biasanya banyakmengenai paisen di usia 20-40 tahun, sedangkan herpes simplek
dan varisela zoster virus lebih sering mengenai anak kecil dan bayi. Konjungtivitis virus
biasanya bersifat akut dan bersifat self-limiting yang dapat disembuhkan 2-4 minggu secara
spontan.4
Anatomi, Histologi, dan Fisiologi

Secara anatomis konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan
anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior
kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva
melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera
menjadi konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbital di
forniks dan melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata
bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik.5

Gambar 1. Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva palpebra melapisi bagian dalam palpebra, dibagi lagi menjadi tiga bagian
yaitu marginal, tarsal dan orbital. Bagian marginal terletak di tepi palpebra hingga 2mm ke
dalam palpebra, bagian tarsal melekat di tarsal plate, sedangkan bagian orbital terletak di
antara konjungtiva tarsal dan forniks. Di konjungtiva palpebra terdapat kelenjar henle dan sel
goblet yang memproduksi musin. Konjungtiva bulbar melapisi bagian anterior bola mata dan
dipisahkan dengan sklera anterior oleh jaringan episklera. Konjungtiva yang berbatasan
dengan kornea disebut limbal conjunctiva. Di konjungtiva bulbar terdapat kelenjar manz dan
sel goblet. Konjungtiva forniks merupakan penghubung konjungtiva palpebra dengan
konjungtiva bulbar. Daerah tersebut memiliki kelenjar lakrimal aksesoris, yaitu kelenjar
krause dan wolfring yang menghasilkan komponen akuos air mata.6
Gambar 2. Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva terdiri atas tiga lapisan yang secara histologi berbeda, yaitu lapisan
epitelium, adenoid, dan fibrosa.6

1. Lapisan epitelium merupakan lapisan terluar konjungtiva dengan struktur yang


bervariasi di setiap regio. Epitel konjungtiva marginal terdiri atas lima lapis epitel
gepeng berlapis dan pada konjungtiva tarsal terdiri atas dua lapis epitel silindris dan
gepeng. Konjungtiva forniks dan bulbar terdiri atas tiga lapis epitel yaitu sel
silindris, sel polihedral, dan sel kuboid, sedangkan konjungtiva limbal terdiri atas
berlapis-lapis sel gepeng.
2. Lapisan adenoid merupakan lapisan limfoid yang berfungsi dalam respons imun di
permukaan mata. Lapisan itu disebut conjunctiva-associated lymphoid tissue
(CALT); terdiri atas limfosit dan leukosit yang dapat berinteraksi dengan mukosa sel
epitel melalui sinyal resiprokal yang dimediasi oleh growth factor, sitokin dan
neuropeptida.
3. Lapisan fibrosa terdiri atas jaringan kolagen dan fibrosa serta pembuluh darah dan
konjungtiva. Konjungtiva palpebra diperdarahi oleh pembuluh darah palpebra,
sedangkan konjungtiva bulbar memperoleh darah dari arteri siliaris anterior.
Persarafan sensorik konjungtiva berasal dari cabang nervus kranialis V.2
Gambar 3. A. Lapisan Konjungtiva7 3. B. Bagian-bagian Konjungtiva 7

Arteri konjungtiva berasal dari arteria siliaris anterior dan arteria palpebralis. Kedua
arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva
membentuk jaringan vaskular konjungtiva yang sangat banyak.7

Mekanisme Perlindungan Mata

Mata tersusun dari jaringan penyokong yang salah satu fungsinya adalah melawan infeksi
secara mekanik. Orbita, kelopak mata, bulu mata, kelenjar lakrimal dan kelenjar meibom
berperan dalam produksi, penyaluran dan drainase air mata. Jaringan ikat di sekitar mata dan
tulang orbita berfungsi sebagai bantalan yang melindungi mukosa okular. Kelopak mata
berkedip 10-15 kali per menit untuk proses pertukaran dan produksi air mata, serta
mengurangi waktu kontak mikroba dan iritan ke permukaan mata.6
Mata memiliki jaringan limfoid, kelenjar lakrimal dan saluran lakrimal yang berperan
dalam sistem imunitas didapat. Makromolekul yang terkandung dalam air mata memiliki efek
antimikroba seperti lisozim, laktoferin, IgA, dan sitokin lainnya.6
Epitel konjungtiva yang tidak terinfeksi menghasilkan CD8 sitotoksik dan sel langerhans,
sedangkan substansia propia konjungtiva memiliki sel T CD4 dan CD8, sel natural killer, sel
mast, limfosit B, makrofag dan sel polimorfonuklear. Pembuluh darah dan limfe berperan
sebagai media transpor komponen imunitas dari dan ke mata. Pada inflamasi, berbagai
mediator menyebabkan dilatasi vaskular, peningkatan permeabilitas dan diapedesis sel
inflamasi dari pembuluh darah yang mengakibatkan mata menjadi merah.6
Definisi

Konjungtivitis merupakan radang pada konjungtiva yang dapat diakibatkan oleh


allergi, virus, bakteri, maupun akibat kontak dengan benda asing yang mengakibatkan
timbul keluhan mulai dengan mata merah, gatal, produksi air mata yang meningkat
hingga perubahan anatomi pada konjungtiva.8

Gambar 4. Perbandingan antara mata normal dengan mata pada konjungtivitis


Epidemiologi

Konjungtivitis dapat dijumpai di seluruh dunia, pada berbagai ras, usia, jenis
kelamin dan strata sosial. Walaupun tidak ada data yang akurat mengenai insidensi
konjungtivitis, penyakit ini diperkirakan sebagai salah satu penyakit mata yang paling
umum.8 Perbedaan tingkat infeksi terjadi pada pola lingkungan dan perilaku. Insidensi
konjungtivitis di Indonesia berkisar antara 2-75% dan saat ini Indonesia menduduki
peringkat kedua dari 10 penyakit mata utama. (19) Diperkirakan 10% dari jumlah
penduduk Indonesia dari semua golongan umur pernah menderita konjungtivitis. Pada
penelitian di Philadelphia, 62% dari kasus konjungtivitis penyebabnya adalah virus
terutama adenovirus . Di Indonesia dari 135.749 kunjungan ke departemen mata, total
kasus konjungtivitis dan gangguan lain pada konjungtiva sebesar 73% dengan total
kasus 99.195 kasus dengan jumlah 46.380 kasus pada laki-laki dan 52.815 kasus pada
perempuan. Konjungtivitis termasuk ke dalam 10 besar penyakit rawat jalan terbanyak
pada tahun 2009.9
Etiologi

Adenovirus merupakan virus paling sering menyebabkan konjungtivitis.


Konjungtivitis demam faringokonjungtiva disebabkan adenovirus tipe 3,4, dan 7.
Sedangkan keratokonjungtivitis epidemi disebabkan adenovirus tipe 8, 19, 29, dan 37. 10
Adenovirus mudah menularkan ke orang lain. Transmisi biasanya melalu sekret yang
dihasilkan oleh mata yang terinfeksi. Keratokonjungtivitis epidemi memiliki gejala
klinis berupa konjungtivitis folikular, sekret cair, hiperemis, kemosis, pembesaran
kelenjar getah bening preaurikel, dan terkadang terbentuk membrane atau
pseudomembran. Infeksi virus biasanya bersifat akut dan self limiting. Pada kornea
kadang terjadi penurunan visus pada penederita konjungtivitis virus. Konjungtivitis
demam faringokonjungtiva lebih sering pada anak-anak dari pada orang dewasa. Gejala
yang dirasakan biasanya konjungtiva hiperemis, demam, faringitis, pembesaran
kelenjar getah bening preauricular, sekret cair, fotofobia, pseudomembran, dan kelopak
mata bengkak. Masa inkubasi pada demam faringokonjugtiva adalah seiitar 5-12 hari,
yang akan bisa menularkan selama 12 hari serta bersifat epidemik.

Patogenesis

Epitelium yang melapisi konjungtiva dan sklera bagian luar terpapar dengan
dunia luar. Hal ini merupakan kesempatan yang bagus bagi virus untuk menginvasi.
Setiap beberapa detik palpebra menutup memberi pelindungan bagi sklera dan
konjungtiva dari suatu sekret ataupun benda asing yang masuk kemata. Namun tetap
saja ada kesempatan suatu virus untuk masuk kedalam sel mata. Virus memiliki genom
asam nukleat single atau double stranded, yang dilindungi oleh kapsid dengan atau
tanpa amplop diluarnya, asam nukleat dapat berupa RNA atau DNA yang dibutuhkan
untuk melakukan transkripsi menghasilkan enzim atau protein yang dibutuhkan untuk
bereplikasi. Pada permukaan kapsid terdapat ligan yang berfungsi untuk mempel pada
sel host sehingga menjadi jalan masuk kedalam sel. Pada virus yang memiliki amplop
yang melingkupo kapsid, sejenis glikoproteik terekspresikan dipermukaan yang
berfungsi melindungi virus dari antibodi manusoa. Namun virus yang memiliki amplop
lebih rentan terhadap pajanan dari luar seperti sinar UV. Sebaliknya pada virus yang
hanya memiliki kapsid seperti adenovirus maka dapat bertahan lebih lama diluar tubuh
bila tanpa host.10
Pemeriksaan dan penegakkan diagnosis

Pemeriksaan yang perlu dilakukan berupa pemeriksaan dasar mata untuk


membuat diagnosi dan mengevaluasi pasien dengan matah merah. Pemeriksaan dasar
mata meliputi beberapa hal yaitu:

 Penilaian ketajaman penglihatan  bertujuan untuk menilai ketajaman


penglihatan normal atau mengalami penurunan akibat permasala yang
terjadi pada mata seseorang. Penilaian tajam penglihatan biasanya
menggunakan Snellen chart, finger counting, hand movement dan
penlight bila diperlukan.
 Penilaian penyebab mata merah menggunakan bantuan loupe dan
senter. Permeriksaan dimulai dari inspeksi dan palpasi regio periorbita,
kemudian bagian kelopak mata dan konjungtiva tarsal. Dari permeriksaan
tersebut dapat dideteksi keberadaan proptosis, malfungsi kelopak mata,
atau suatu keterbatasan Gerakan bola mata,. Setelah menilai keadaan pada
regio tersebut, pemeriksaan beralih kekonjungtiva bulbi untuk
membedakan injeksi konjungtiva dan injeksi silier. Pada mata merah
tanpa penurunan visus umumnya ditemukan injeksi konjungtiva dan atau
perdarahan subkonjungtiva, serta gambaran khas konjungtivits
berdasarkan etiologinya. Bila mata merah dengan visus menurun selalu di
sertai dengan injeksi episklera dan injeksi konjungtiva.
 Penilaian karakteristik air mata atau sekret  karakteristik air mata yang
perlu diketahu adalah berntuk dan sifat sekresi, serta pembagian
membaginya menjadi kategori sesuai jumlahnya (banyak atau sedikit) dan
karakternya (purulent, mukopurulen, dana mukous)
 Penilaian kornea bertujuan unutk menilai kejernihan dan regularitas
permukaan kornea. Bila didapatkan kekeruhan pada kornea, perlu
ditentukan jenis kekeruhan pada kornea pasien. Pemeriksaan
menggunakan senter atau tes plasido. Pemeriksaan lanjuta dapat
menggunakan tes fluorescein sebagai pemeriksaan keutuhan epitel kornea
atau pus dibilik mata depan.
 Penilaian kedalaman bilik mata depan menilai bilik mata depan
termasuk dalam kategori dangkal atau dalam. Selain itu, pemeriksaan ini
bertujan untuk mendeteksi keberadaan lapisan darah atau pus dibilik mata
depan.
 Penilaian pupil  bertujuan untuk menilai besar pupil, adanya mid-
dilatasi, miosis, dan refleks pupil langsung dan tidak langsung,
 Penilaian tekanan intraocular (TIO)  bertujuan untuk menentukan
tekanan dalam bola mata dalam kategori normal, tinggi, atau rendah
dengan menggunakan tonometer Schiotz. Sebagai deteksi awal tekana
ocular, bila tidak tersedia tonometer Schiotz, dapat menggunakan metode
palpasi mata. Meskipun lebi sederhana, hasil pemeriksaan metode palpasi
sangat subjektif (tergantung pengalaman dan intepretasi dari pemeriksa)
dan data yang didapatkan bersifat kualitatif.

Tanda dan gejala pada konjungtivits bervariasi pada masing-masing individu.


Oleh karena itu untuk dapat menentukan diagnosa dan diagnosa banding yang tepat,
diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik. Pada pemeriksaan mata dasar
yang dilakukan, beberapa tanda atau hasil pemeriksaan yang membantu untuk
melakukan diagnose adalah sebagi berikut :11

 Hiperemis  pada umumnya mata merah pada konjungtivitis terletak


pada terutama bagian forniks dari konjungtiva. Visibilitas, lokasi, dan
ukuran dari pembuluh darah yang mengalami dilatasi (injeksi) dapat
menjadi kriteria yang penting dalam menentukan diagnosus banding, ada
beberapa tipe injeksi yaitu injeksi kongjungtiva yang berupa matah merah,
pembuluh darah yang dilatasi terlihat jelas dan mengikuti pergerakan
konjungtiva dan hiperemis menurun di dekat limbus, lali ada injeksi
perikorneal yaitu mengenai pembuluh darah superfisial, berbentuk sirkular
pada area limbus (melingkari limbus), dan injeksi siliar yaitu tidak dapat
dilihat dengan jelasm pembuluh darah nonmobile pada episklera dekat
dengan limbus.
 Eksudasi (Discharge)  jumlah dan jenis eksudat yang keluar dari mata
tergantung pada etiologinya seperti pada bacterial biasanya didapatkan
eksudat yang purulen atau mukopurulen, pada akibat oleh virus ditemukan
eksudat yang cair dan lebih jernih, pada alergi didapatkan eksudat yang
putih kental, sedakan pada toksik biasanya tidak ditemukan eksudat.
 Kemosis  merupakan pembengkakan pada sel konjungtiva (edema),
terlihat berkaca-kaca , biasanya kemosis yang berat mengarah pada efek
dari infeksi yang disebabkan oleh bakteri atau alergi.
 Epifora  merupakan air mata yang berlebihan, sekresi air mata
diakibatkan oleh adanya sensasi benda asing, sensasi rasa terbakar atau
tergores, atau oleh rasa gatal. Jumlah air mata semakin bertambah banyak
dengan timbulnya transudasi ringan dari pembuluh-pembuluh darah yang
hiperemik.
 Folikel  merupakan suati hyperplasia limfoid lokalm dan lapisan
limfoid konjungtiva. Folikel dikenal sebagai struktur bulat kelabu atau
putih avaskular, tanda ini muncul tipikal pada infeksi akibat viral dan
infeksi klamidia.
 Hipertrofi papilar  merupakan reaksi konjungtiva nonspesifik yang
terjadi karena konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus dibawahnya
oleh serabut halus. Konjungtiva dengan papilla merah ditemukan pada
penyakit bakteri atau klamidia. Pada konjungtivitis alergi, tampila papilla
rapat berwarna putih hingga kemerahan dan berukuran raksasa, sehingga
sering disebut papilla cobblestone.
 Pembengkakan limfonodus  limfe dari daerah mata akan menuju ke
limfonodus di area preaurikelar. Tanda ini mengarahkan pada diagnosis
kongjungtivitis viral.

Apabila diagnosis kurang meyakinkan atau dugaan konjungtivitis tehadap suatu


organisme namun tidak sembuh dengan terapi yang sudh diberikan maka dapat
dilakukan conjunctival smear. Pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan
diagnosis konjungtivitis secara umum sama dengan pemeriksaan pada keluhan mata
merah. Beberapa hasil pemeriksaan umum yang ditemukanpada konjungtivitis akibat
virus antara lain:

 Tidak ditemukan injeksi siliar.


 Hiperemia konjungtiva
 Dapat ditemukan kekeruhan dan defek kornea
 Tidak ditemukan abnormalitas pupil
 Bilik mata depan dalam batas normal
 Tidak ditemukan proptosis
 Ditemukan discharge berupa eksudat
 Detemukan pembesaran kelenjar limfe preurikel
 Lebih spesifik lagi hasil pemeriksaan yang sering ditemukan pada masing-
maisng agen virus penyebab konjungtivitis.

Diagnosis Banding

 Keratitis  bakteri melakukan adherensi,lalu berproliferasi pada stroma kornea,


seringkali dengan tambahan protease spesifik. Respon inflamasi reaktif bermula
dari ekspresi sejumlah sitokin dan kemokin, keterlibatan sel inflamasi dari air
mata dan pembuluh darah limbal, serta sekresi metalloproteinase matrikes
mengakibatkan nekrosis kornea. Gejala yang biasa dirasakan pasien ulkus
kornea biasanya datang dengan keluhan onset nyeri akut disertai fotofobia,
injeksi kornea, serta penurunan visus. Salah satu bakteri penyebab keratitis
adalah Staphylococcus aureus.
 Endoftalmitis  peradangan purulent dari cairan intraocular (vitreus dan humor
aqueous) yang biasanya terkait infekso. Biasanya gejala yang dirasakan yaitu
terjadi penurunan visus, mata merah, nyeri, edema palpebra, hipopion, dan
kekeruhan refrakta.

Tatalaksana

Konjungtivitis virus umumnya dapat sembuh sendir (self limiting). Penatalaksana


konjungtivitis virus pada dasarnya bersifat simptomatik. Pada konjungtivitis adenovirus
agen antiviral tidak direkomendasikan. Pada epidemic keraconjuctivitis bisa
dibersihkan membrane konjungtiva dengan rutin menggunakan forcep atau usap dengan
kapas setiap 2-3 hari, dikombinasikan dengan pemberian kortikosteroid tipikal.
Daftar Pustaka
1. De Smedt, Nkurikiye J, Fonteyne Y, Hogewoning A, Van Esbroeck M, De Bacquer D,
Tuft S, Gilbert C, Delange J, Kestelyn P. Vernal Keratoconjungtivitis in School
children in Rwanda and its association with socio economic status : A Population
Based Survey. Am J Trop Med Hyg. 2011. 85(4) : 711 – 717
2. Wade PD, Iwuora AN, Lopez L. Allergic Conjunctivitis at Sheikh Zayed Regional Eye
Care Center Gambia. J Ophtalmic Vis Res. 2012. 7(1) : 24 – 28
3. Scott IU. Viral Conjunctivitis 2017. Diunduh dari Medscape.com pada 29 Mei 2022.
4. Konjungtivitis. Diunduh dari repository.usu.ac.id pada 29 Mei 2022.
5. Vaughan & Asbury, 2014, Ofthalmologi umum Vaughan & Asbury, 17th edn, EGC,
Jakarta.
6. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. External disease and cornea. Italia: American
Academy of Ophtalmology; 2014.
7. Tsai JC, Denniston AKO, Murray PI, Huang JJ, Aldad TS. Oxford American
handbook of ophthalmology. New York: Oxford University Press; 2011.
8. Katelaris CH. Ocular allergy in the Asia Pacific region. Asia Pac Allergy. 2013. 1(3) :
108 -111
9. Lolowang M, Porotu’o J, Rares F. Pola bakteri aerob penyebab konjungtivitis pada
penderita rawat jalan di balai kesehatan mata masyarakat kota Manado. Jurnal
eBiomedik eBM. 2014; 2 (1): 279-86.
10. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Badan Penerbit FKUI 2014. Hal
128-129.
11. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR: Penerbit BU. Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta :
Widya MEdiak 2014.

Anda mungkin juga menyukai