Anda di halaman 1dari 20

Referat

PIODERMA

Oleh:

Sy. Maryam Hanina, S.Ked

04054821820015

Pembimbing:

dr. Sarah Diba, Sp.KK, FINSDV

BAGIAN/DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat

Pioderma

Oleh

Sy. Maryam Hanina, S.Ked

04054821820015

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi RSUP Dr.
Mohammad Hoesin/Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang Periode 15 April –
20 Mei 2019.

Palembang, April 2019

Pembimbing,

dr. Sarah Diba, Sp.KK, FINSDV

2
PIODERMA

Sy. Maryam Hanina, S.Ked


Bagian/ Departemen Dermatologi dan Venereologi
FK UNSRI/ RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
2019

PENDAHULUAN
Pioderma merupakan infeksi pada kulit di bawah stratum korneum atau pada folikel
rambut yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus atau Streptococcus grup A. Gejala
klinis yang timbul bervariasi, tergantung dari organisme penyebab dan lokasi terjadinya infeksi.
Staphylococcus aureus merupakan penyebab terbanyak dari pioderma superfisial, sedangkan
Streptococcus grup A merupakan penyebab terbanyak di negara berkembang.1,2
Faktor predisposisi pioderma yaitu higienitas yang kurang, menurunnya daya tahan
tubuh, hunian ya ng padat, kelembaban yang tinggi,atau telah ada penyakit lain dikulit seperti
gigita serangga, herpes simpleks,varisela, abrasi,dan luka bakar.1,2,3
Prevalensi pioderma di dunia menduduki tempat pertama untuk penyakit kulit yaitu
kisaran 0,2-35%. Prevalensi pioderma di Indonesia 1,4% pada dewasa, dan 0,2% pada anak. 4 Di
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, kejadian
pioderma menduduki tempat ketiga dan berhubungan erat dengan keadaan sosial ekonomi. 3
Tidak ada ras tertentu yang cenderung terkena pioderma. Pioderma dapat menyerang laki-laki
maupun perempuan pada semua usia, akan tetapipioderma lebih banyak ditemukan pada laki-
laki dibandingkan perempuan.2,3,5
Temuan klinis pioderma sangat bervariasi, varian klinis yang dapat ditemukan antara lain:
1. Pioderma superfisial: impetigo bulosa, impetigo nonbulosa, ektima, folikulitis, furunkel, dan
karbunkel; 2. Pioderma profunda: erisipelas, selulitis, flegmon, abses multipel kelenjar keringat,
dan hidradenitis.6,7
Pioderma merupakan salah satu kondisi klinis yang sering ditemui dalam penyakit
kulit. Untuk itu referat ini bertujuan meningkatkan pengetahuan mengenai pioderma sehingga
diharapkan dokter umum mampu mendiagnosis pioderma dan melakukan tatalaksana
secara tuntas, sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia untuk pioderma, yaitu 4A.
Referat ini membahas mengenai etiologi dan patogenesis, klasifikasi dan varian klinis,
pemeriksaan penunjang, tatalaksana dari pioderma.

3
ETIOPATOGENESIS
Faktor predisposisi dari pioderma adalah higenitas yang kurang, menurunnya daya tahan
tubuh, dan dapat disebabkan karena adanya penyakit lain di kulit. Menurunnya daya tahan tubuh,
biasanya karena kelelahan, anemia, atau penyakit-penyakit tertentu seperti penyakit kronis,
neoplasma, dan diabetes mellitus. Jika telah ada penyakit lain di kulit, hal ini dapat merangsang
terjadinya pioderma yang hampir bisa dipastikan akan memperparah penyakit kulit sebelumnya
tersebut, hal itu juga terjadi karena fungsi kulit sebagai pelindung yang terganggu oleh penyakit.
Karena terjadi kerusakan di epidermis, maka fungsi kulit sebagai pelindung akan terganggu
sehingga memudahkan terjadinya infeksi.1,2
Bakteri penyebab pioderma adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus grup A.1,2,8
Saat Staphylococcus aureus memasuki kulit, neutrofil dan makrofag bermigrasi ke tempat
infeksi. Staphylococcus aureus mengandung polisakarida dan protein yang bersifat antigen,
sebagai substansi penting di dalam struktur dinding sel peptidoglikan, dan polimer polisakarida
yang mengandung subunit yang terangkai, merupakan eksoskeleton kaku pada dinding sel.
Peptidoglikan dihancurkan oleh asam kuat atau lisozim. Hal ini merupakan penting dalam
patogenitas infeksi menyebabkan monosit mengeluarkan interleukin-1 (pirogen endogen),
antibodi opsonik, menjadi zat kimia penarik (kemotraktan) untuk leukosit polimorfonuklear,
mempunyai aktifitas mirip endotoksin, dan mengaktifkan komplemen.8,9
Patologi prototipe lesi Staphylococcus aureus adalah furunkel atau abses setempat lainnya.
Kelompok Staphylococcus aureus yang tinggal dalam folikel rambut menimbulkan nekrosis
jaringan. Koagulase dihasilkan, mengoagulasi fibrin disekitar lesi dan didalam saluran getah
bening, mengakibatkan pembentukan dinding yang membatasi proses diperkuat oleh
penumpukan sel radang dan kemudian jaringan fibrosis. Di tengah lesi, terjadi pencairan
jaringan nekrotik (dibantu oleh hipersensitivitas tipe lambat) dan abses pada daerah yang daya
tahannya lebih kecil. Setelah jaringan nekrotik mengalir keluar, bagian rongga secara perlahan
diisi dengan jaringan granulasi dan akhirnya sembuh.9

KLASIFIKASI DAN VARIAN KLINIS


Temuan klinis pioderma sangat bervariasi, varian klinis yang dapat ditemukan antara lain:
1. Pioderma superfisial: impetigo bulosa, impetigo nonbulosa, ektima, folikulitis, furunkel, dan
karbunkel.
2. Pioderma profunda: erisipelas, selulitis, flegmon, abses multipel kelenjar keringat, dan
hidradenitis.6,7
4
1. Pioderma Superfisial
1.1 Impetigo
Impetigo terdiri dari dua jenis yaitu, bulosa dan nonbulosa (krustosa) disebabkan oleh
Stapylococcus aureus.1,2,3
Faktor predisposisi mencakup suhu hangat, kelembaban tinggi, kebersihan buruk,
diatesis atopik dan trauma kulit. Penyakit ini sangat menular, menyebar dengan cepat melalui
kontak langsung dari individu ke individu. Paling sering terjadi pada musim panas dan musim
gugur. 1,2,3

Tabel 1. Perbedaan impetigo non bulosa dan impetigo bulosa.1,2


Impetigo Nonbulosa Impetigo Bulosa
70% semua kasus impetigo. Lebih sedikit dibandingkan
Banyak terjadi pada anak-anak. impetigo nonbulosa.
Paling sering terjadi pada
Epidemiologi neonatus, tetapi dapat
juga terjadi pada anak-anak dan
dewasa.
Awal: Makula eritema, satu buah Awal: vesikel kecil dengan luas
2-4mm yang dapat secara cepat ...1-2cm pada bula superfisial.
menjadi vesikel atau pustul yang
akan berubah menjadi krusta. Lambat: Bula transparan, lunak,
Efloresensi dengan diameter 5cm disertai
Lambat: Erosi superfisial dengan skuama dan krusta yang
biasanya terdapat ‘honey colored’ tidak tebal, dan biasanya tidak
krusta kuning yang secara cepat ada eritem di sekitarnya.
menginfeksi di sekeliling kulit.
Wajah (sekitar hidung dan Wajah, batang tubuh, bokong,
Predileksi mulut) dan ekstremitas. perineum dan ekstremitas.
Mungkin terdapat limfadenopati Tidak disertai gejala sistemik
Gejala penyerta ringan, umumnya pembesaran tapi dapat disertai dengan
limfe regional. kelemahan.
Biasanya jinak, dan dapat Pasien yang tidak diobati dapat
sembuh dengan sendirinya. sembuh dalam 3-6 minggu.
Lesi yang tidak diobati
Perjalanan Klinis
cenderung sembuh dalam dua
pekan tanpa adanya bekas luka

1.1.1 Impetigo Nonbulosa


Impetigo nonbulosa (impetigo krustosa) biasanya disebabkan oleh Streptococcus Group
A. Infeksi dapat terjadi pada trauma terbuka kulit seperti cacar, gigitan serangga, abrasi,
laserasi, dan luka bakar. Predileksi impetigo non bulosa adalah di wajah (sekitar hidung dan
mulut) dan ekstremitas (Gambar 1).1

5
Gambar 1. Staphylococcus aureus: (A) Impetigo non bulosa. (B) Eritema dan krusta pada area
hidung dan sekitar mulut. Dapat menyebar hingga regio centrofacial.1

1.1.2 Impetigo Bulosa


Impetigo bulosa lebih sering terjadi pada bayi baru lahir dan balita, ditandai oleh
perkembangan cepat dari vesikel ke bula kendur (Gambar 2A). Pada pemeriksaan
didapatkan Nikolsky sign negatif. Bula awalnya berisi cairan berwarna kuning jernih
kemudian menjadi kuning gelap dan keruh (Gambar 2B). Bula superfisial pecah dalam 1-2
hari, membentuk krusta tipis berwarna coklat terang sampai keemasan. Bula hipopion khas
pada impetigo bulosa1,2

Gambar 2. (A) Impetigo Bulosa. (B)Vesikel multipel yang jernih dan keruh
yang secara cepat menyatu dari bula yang lunak1

Diagnosis banding impetigo non-bulosa dan bulosa sangat luas (Tabel 2), sehingga
penting untuk mengetahui riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan
untuk menegakkan diagnosis.

6
Tabel 2. Diagnosis Banding Impetigo Non-Bulosa Dan Impetigo Bulosa.1

Impetigo Non Bulosa Impetigo Bulosa


Ektima Dermatitis kontak
Dermatitis atopik Staphylococcal scalded skin syndrome
Dermatitis seboroik Pemfigoid bulosa
Dermatitis kontak alergi Pemphigus vulgaris
Scabies Eritema multiform
Dermatitis herpetiform

1.2. Ektima
Ektima adalah pioderma ditandai oleh erosi atau ulkus berkrusta tebal, terjadi akibat
impetigo yang “terlantar” misalnya pada daerah yang tertutup pakaian atau alas kaki seperti
regio cruris anterior dan dorsum pedis. (Gambar 3). Lesi diawali dengan vesikel atau
vesikopustul yang membesar dan kemudian menjadi krusta tebal. Ketika krusta diangkat,
terdapat ulkus berbentuk seperti piring dengan dasar telah mencapai dermis dan tepi
meninggi. Krusta tebal berwarna kuning berlokasi di tungkai bawah, yaitu tempat sering terjadi
trauma.2

Gambar 3. Ektima . 1

7
Faktor predisposisi yaitu, kebersihan yang buruk, kekurangan gizi, dan trauma. Lesi
cenderung sembuh setelah beberapa minggu tetapi terdapat bekas luka. Diagnosis banding
ektima adalah impetigo krustosa. Bedanya, impetigo krustosa sering terjadi pada anak dan
berlokasi di muka dan dasarnya adalah erosi, sedangkan ektima tempat predileksi tungkai
bawah dan dasarnya terdapat ulkus.2

1.3. Folikulitis
Folikulitis adalah pioderma yang dimulai dari folikel rambut, dan dibagi atas kedalaman
lesi (superfisialis dan profunda), dan etiologi mikrobial.2

1.3.1 Folikulitis superfisialis


Folikulitis superfisial atau biasa disebut impetigo folikuler atau Impetigo Bockhart
berbentuk pustul kecil, dan mudah pecah, berbentuk kubah biasanya terjadi pada infundibulum
dari folikel rambut, dan terjadi pada kulit kepala anak, daerah kumis, janggut (Gambar 4),
aksila, ekstremitas, dan bokong orang dewasa. Staphylococcal folikulitis umumnya di bokong
pada dewasa.1,2

Gambar 4. Folikulitis superfisialis. Multipel pustul pada area janggut1

1.3.2 Folikulitis Profunda


Sycosis barbae adalah folikulitis dengan peradangan perifolikuler dan biasa terjadi di
daerah jenggot dan atas bibir (Gambar 5). Lesi dapat menjadi dalam dan kronis jika tidak
1,2
diobati.

Gambar 5. Sycosis barbae. Folikulitis profunda pada regio oralis 1

8
1.4 Furunkel dan Karbunkel
1.4.1 Furunkel
Furunkel adalah infeksi folikel rambut dan sekitarnya, bentuk berupa nodul dalam.
Furunkel timbul dalam bagian rambut yang tertutup, perspirasi, seperti leher, wajah, aksila
dan bokong. Furunkel dapat merupakan komplikasi penyakit yang ada sebelumnya seperti
dermatitis atopik, ekskoriasi, abrasi, atau skabies. Berbagai faktor predisposisi furunkel yaitu
obesitas, defek fungsi neutrofil (defek pada kemotaksis terkait dengan eksim dan tinggi kadar
IgE, dll), pengobatan dengan glukokortikoid dan agen sitotoksik, dan defisiensi
immunoglobulin. Lesi berupa nodul folikulosentrik, eritem di bantalan rambut, disertai nyeri,
dan berfluktuasi setelah beberapa hari, yaitu mengalami pembentukan abses (Gambar 6).
Kemudian pecah mengeluarkan pus dan nekrotik. Rasa nyeri di sekitar lesi kemudian reda,
kemerahan, dan edema berkurang beberapa hari sampai beberapa pekan.1,2

Gambar 6. Furunkel dari bibir atas. lesi nodular, dan plug nekrotik ditutupi oleh krusta purulen.
Beberapa pustul kecil terlihat pada lateral lesi 1

1.4.2 Karbunkel
Karbunkel adalah gabungan furunkel. Nodul lebih luas, lebih dalam, saling
berhubungan, dan lesi infiltrasi, dapat berkembang ketika keluar nanah yang terjadi pada
kulit inelastis. Karbunkel memiliki lesi yang lebih besar dan serius, lesi inflamasi dengan
basis lebih dalam, biasa terjadi di leher, punggung, atau paha (Gambar 7).1,3

Gambar 7. Karbunkel1
9
Lamanya lesi dari hari ke pekan ke bulan, dengan gejala pada kulit nyeri berdenyut dan
bengkak. Furunkel berawal dari nodul dengan konsistensi lunak, diameter 1-2 cm. Nodul
menjadi berfluktuasi, dengan pembentukan abses pada pustul. Nodul dengan sisa-sisa kavitasi
setelah drainase abses. Sebuah daerah variabel selulitis dapat mengelilingi furunkel tersebut.
Distribusinya yaitu setiap rambut-bantalan wilayah daerah janggut, posterior leher, dan
oksipital kulit kepala, aksila, bokong. Terdiri atas satu sampai beberapa buah. Karbunkel
terdiri dari nodul yang berdekatan, dan gabungan dari furunkel. Ditandai oleh beberapa
dermal loculated dan abses subkutan, pustul yang dangkal, area nekrotik, dan krusta.1,2,3
Diagnosis banding berupa ruptur epidermoid atau kista pilar, hidradenitis suppurativa
(aksila, paha, dan vulva), limfangitis nekrotik. Pemeriksaan penunjang gram didapatkan
Streptococcus gram positif dengan leukosit Polymorfonuklear (PMN). Dermatopatologi
Infeksi piogenik pada folikel rambut sampai dermis dan jaringan subkutan (furunkel) dan
abses yang terlokalisir (karbunkel).1,2,3

2. Pioderma Profunda
2.1 Eriseplas
Erisipelas dikenal sebagai St Anthony fire merupakan penak infeksi bakteri pada dermis
dan melibatkan sistem limfatik.1,2,3 Penyebab umum dari erisipelas adalahStreptococccus Beta
Hemolyticus.1,2 Streptokokus β-hemolitik sering menginfeksi bayi baru lahir dan wanita pasca
melahirkan.2 Pada orang dewasa, erispelas lebih sering ditemukan pada wanita, namun pada
anak-anak, pasien laki-laki lebih banyak.1,10
Setelah masa inkubasi 2-5 hari, timbul gejala konstitusi berupa demam, menggigil,
malaise, dan mual, yang diikuti gejala utama berupa eritema berwarna merah cerah dan terbatas
tegas serta disertai panas, bengkak, pinggir meninggi, disertai tanda peradangan akut. Lokasi
terjadi erisipelas di kaki, tangan, dan wajah. Efloresensi dengan makula eritematosa numular
hingga plakat, berbatas tegas, edematosa, panas pada perabaan, dan nyeri tekan. Pada bagian
tengah, ditemukan vesikel miliar atau bula lentikular (Gambar 8).1,2,3,10

10
Gambar 8. Erisipelas pada wajah1

Gejala klinis berupa gejala konstitusi seperti demam, malaise. Lapisan kulit yang diserang
adalah epidermis dan dermis didahului dengan trauma, tempat predileksinya tungkai bawah.
Kelainan yang utama adalah eritema merah cerah, berbatas tegas, dan pinggirnya meninggi
dengan tanda radang akut, dapat disertai edem, vesikel dan bula. Pemeriksaan lab terdapat
leukosistosis. Jika sering residif ditempat yang sama dapat terjadi elephantiasis.1
Diagnosis banding adalah selulitis, namun pada penyakit ini infiltratnya di subkutan.
Pemeriksaan penunjang penyakit ini adalah pemeriksaan laboratorium darah dan kultur
Streptococcus dari tenggorokan, hidung atau mata.2,3

2.2 Selulitis
Selulitis adalah infeksi bakteri pada kulit (dermis dan lemak subkutan) dan jaringan lunak,
sering dengan keterlibatan dari struktur utama seperti fasia, otot, dan tendon.1,2
Penyebab paling sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan Streptocoocus grup A.
Selulitis biasanya menyerang anak-anak dan orang tua. Selulitis mempunyai gejala yang sama
dengan erisipelas yaitu eritema dan sakit, tetapi dapat dibedakan dengan batas lesi yang tidak
tegas, terjadi di lapisan yang lebih dalam, permukaan lebih keras dan ada krepitasi saat
dipalpasi. Selulitis dapat berkembang menjadi bulla dan nekrosis sehingga mengakibatkan
penggelupasan dan erosi lapisan epidermal yang luas (Gambar 9).1,3

Gambar 9. Selulitis1

11
Gambaran klinis yaitu tampak kemerahan, bengkak, dan lembut dengan batas yang tidak
jelas, pitting edema tampak jelas, kadang kulit dapat tampak pucat karena bengkak. Ketika
mulai terjadi nekrosis, jarang tampak di permukaan, yang menjadi tanda umum adalah abses dan
ulkus yang baru terbentuk.1
Lokasi selulitis yaitu pada ekstremitas superior dan inferior serta wajah. Efloresensi
berupa makula eritematosa atau kehitaman menonjol di atas permukaan kulit, ukuran dapat
mencapai plakat. Di atasnya, terdapat fistel-fistel yang mengeluarkan sekret seripurulen.1,2,10

2.3 Flegmon
Flegmon adalah selulitis yang mengalami supurasi. Terapi sama dengan selulitis hanya saja
ditambah dengan insisi. Flegmon terbentuk ketika terjadi infeksi akut yang tidak berada dalam
ruang terbatas (seperti abses) namun menyebar melalui jaringan ikat dan di antara otot-otot.
Flegmon biasanya disebabkan oleh Streptococcus Aureus.1,3

.
7
Gambar 10. Flegmon

2.4 Abses Multipel Kelenjar Keringat


Abses adalah merupakan infeksi yang biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus
pada kelenjar keringat, berupa abses multiple tidak nyeri dan berbentuk kubah. 2,3 Penyebab
abses adalah Staphylococcus aureus.2
Bakteri Staphylococcus aureus menginfeksi kelenjar keringat ekrin akibat higienitas
seseorang yang buruk dan system imun yang kurang.1,3 Bakteri yang masuk direspon oleh tubuh
sebagai benda asing, sehingga terjadi peradangan pada daerah yang terinfeksi. Rasa gatal
menandakan adanya respon imun terhadap patogen.1 Rasa gatal ini yang memicu seseorang
untuk menggaruk, sehingga memperparah jaringan kulit disekitarnya, hal ini membantu bakteri
untuk berkembang biak.1
12
Gambar 11. Abses Multipel Kelenjar Keringat1

Kejadian sering terjadi pada anak. Faktor predisposisi ialah daya tahan yang menurun
berupa malnutrisi, morbili, banyak keringat karena sering bersamaan dengan timbulnya miliaria.
Pada gambaran klinis didapatkan berupa nodus eritematosa, multiple, tak nyeri, berbentuk
kubah, dan lama memecah.Lokasinya terdapat di tempat yang menjadi sumber keringat.
Diagnosis banding yaitu furunkulosis, pada penyakit ini terasa nyeri dan berbentuk seperti
kerucut dengan pustul di tengah dan relative lebih cepat pecah.2

2.5 Hidraadenitis
Hidraadenitis merupakan infeksi kelenjar apokrin, yang biasanya disebabkan oleh bakteri
Staphylococcus aureus.3 Penyebab dari penyakit ini adalah bakteri Staphylococcus aureus.3
Infeksi hidraadenitis terjadi pada masa pubertas sampai dewasa muda.3

Gambar 14. Hidraadenitis9

Infeksi terjadi pada kelenjar apokrin, terdapat pada usia remaja sampai dewasa muda.3
Sering diketahui oleh trauma atau mikrotrauma, contohnya: banyak keringat, pemakaian
deodorant, rambut ketiak yang di gunting.3

13
Penyakit ini desertai gejala konstitusi, antara lain: demam, malaise. Pada yang menahun
atau kronis dapat berbentuk abses, fistel dan sinus yang multipel.3 Predileksi di daerah ketiak
dan juga perineum, serta di tempat yang banyak kelenjar apokrin.3
Diagnosis banding yaitu skrofuloderma.3 Pada hidraadenitis supurativa pada permulaan
desertai tanda-tanda radang akut dan terdapat gejala konstitusi.3 Sebaliknya pada skrofulderma
tidak didapatkan tanda-tanda radang akut dan tidak ada leukositosis.3

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang pioderma antara lain:5.12,13


1. Pemeriksaan Laboratorik
Pada pemeriksaan darah rutin ditemukan ditemukan leukositosis pada pioderma.
Dilakukan pemeriksaan darah perifer lengkap, kreatinin, dan C-reactive protein.
2. Pemeriksaan Penunjang Dermatologi
Pada pulasan Gram, dapat diambil spesimen eksudat,pus dan cairan vesikel atau bula.
Kemudian akan menunjukkan adanya bakteri. Cara melakukan pulasan Gram/ pewarnaan
Gram adalah dengan mengambil spesimen dari lesi (pus, eksudat, cairan vesikel atau
bula) dengan cara di-swab menggunakan cottonbud lalu diapuskan pada gelas objek,
warnai dengan gentian violet selama 1 menit, fiksasi dengan menggunakan iodin untuk
menstabilkan pewarnaan kristal violet, ekstraksi dengan alkohol sehingga bakteri gram
negatif akan kehilangan warnanya sedangkan gram positif tetap berwarna biru-keunguan,
counter staining dengan safranin sehingga Gram negatif akan berwarna merah dan Gram
positif berwarna biru-keunguan. Interpretasi hasil pemeriksaan, yaitu: Streptococcus
group A berupa Streptococcus Gram positif tampak seperti rantai, Staphylococcus aureus
akan tampak Staphylococcus Gram positif berkelompok seperti buah anggur.
3. Kultur bakteri
Kultur dari pus, abses serta infeksi kulit dan jaringan lunak purulen lainnya dianjurkan
pada pasien yang diobati dengan antibiotik, pasien dengan infeksi lokal yang berat atau
disertai tanda sistemik, pasien yang tidak membaik pada terapi awal. Pada infeksi
Staphylococcus dan Streptococcus dapat dilakukan biakan dengan media agar darah.

PENATALAKSANAAN
Tatalaksana yang dapat diberikan pada pioderma berupa edukasi, terapi topikal, terapi
sistemik, dan tindakan pembedahan. Edukasi yang dapat diberikan pada pasien pioderma
14
adalah agar pasien menjaga kebersihan agar terhindar dari infeksi kulit, mencuci luka akibat
gigitan serangga untuk mencegah infeksi. Bila diantara anggota keluarga pasien ada yang
mengalami pioderma disarankan dapat melakukan beberapa tindakan pencegahan
berupa mencuci bersih area lesi dengan sabun dan air mengalir serta membalut lesi, mencuci
pakaian, kain, atau handuk pasien setiap hari dan tidak menggunakan handuk atau pakaian
bersama-sama, menggunakan sarung tangan ketika mengolesi obat topikal dan setelah itu
mencuci tangan sampai bersih, memotong kuku untuk menghindari menggaruk yang dapat
memperberat lesi, dan menyarankan pasien untuk sering mencuci tangan. Pada prinsipnya,
pengobatan pioderma bertujuan untuk memberikan kenyamanan dan perbaikan pada lesi
serta mencegah penularan infeksi dan kekambuhan.4

Terapi topikal
Pasien diberikan antibiotik topikal bila lesi sedikit, terutama pada lesi di wajah dan pada
pasien dengan keadaan umum baik. Pemberian obat topikal dapat sebagai profilaksis infeksi
pada saat anak melakukan aktivitas di sekolah atau tempat lain.1,5
Bila banyak pus atau krusta: kompres terbuka dengan permanganas kalikus 1/5000,
rivanol 1‰, larutan povidone iodine 1%; dilakukan 3 kali sehari masing-masing 1 jam selama
keadaan akut.5
Bila tidak tertutup pus atau krusta: salap/krim mupirosin 2%, asam fusidat 2%.
Salap/krim dioleskan 2-3 kali sehari, selama 7-10 hari.5

- Mupirosin
Mupirosin merupakan antibiotik yang berasal dari Pseudomonas fluorescent. Mekanisme
kerja mupirosin yaitu menghambat sintesis protein (asam amino) dengan mengikat
isoleusil-tRNA sintetase sehingga menghambat aktivitas coccus Gram positif seperti
Staphylococcus dan sebagian besar Streptococcus. Salap mupirosin 2% diindikasikan untuk
pengobatan pioderma.1 Salapmupirosin 2% diindikasikan untuk pengobatan pioderma yang
digunakan tiap 12 jam.14

- Asam Fusidat
Asam fusidat adalah antibiotik yang berasal dari Fusidium coccineum. Mekanisme kerja
asam fusidat yaitu menghambat sintesis protein. Salap atau krim asam fusidat 2% efektif
terhadap Gram positif dan telah teruji sama efektif dengan mupirosin topikal.1 Pada pioderma,
penggunaan asam fusidat dapat dilakukan tiap 12 jam.14

15
Terapi sistemik
Pemberian antibiotik sistemik pada pioderma diindikasikan bila terdapat lesi yang luas
atau berat, limfadenopati, atau gejala sistemik. Terapi sistemik awalnya dapat diberi terapi
empiris, namun apabila hasil kultur bakteri telah keluar, terapi sistemik dapat diberikan sesuai
hasil kultur. Terapi sistemik minimal diberikan selama 7 hari.10
1. Lini pertama
- Kloksasilin
Kloksasilin adalah derivat penisilin dan bersifat bakterisisdal. Obat ini mengganggu
sintesis dinding sel bakteri, sehingga mnyebabkan sel menjadi lisis. Diminum sebelum
makan. Dosis dewasa 4×250-500 mg/hari per oral. Dosis anak 50 mg/kgBB/hari terbagi
dalam 4 dosis, selama 5-7 hari.10 Penggunaan klaksasilin dapat menyebabkan hipotensi,
demam, diare, urtikaria, gatal, dan yang paling berbahaya adalah reaksi anafilaktik.
Kontraindikasi kloksasilin adalah orang yang mengalami alergi penisilin. 15
- Amoksisilin dan Asam Klavulanat
Amoksisilin dapat diproduksi dengan atau tanpa asam klavulanat, suatu agen yang dapat
mencegah pemecahan amoksisilin dengen menurunkan resistensi terhadap obat
antibakterial. Amoksisilin dan asam klavulanat dapat dapat memperluas spektum antibakteri
termasuk bakteri yang resisten amoksisilin, golongan penisilin lain, dan sefalosporin. Dosis
dewasa 3×250-500 mg/hari. Dosis anak 25 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis, selama 5-7
hari. Dosis anak 25mg/kgBB/hari terbagi dalam3 dosis,selama 5-7 hari. Pengonsumsian obat
lebih baik setelah makan karena meningkatkan absorbsi obat. Penggunaan Amoksisilin dan
Asam Klavulanat pada penderita gangguan hepar dan ginjal harus dengan hati-hati.5,15
- Sefaleksin
Sefalosporin pertama yang stabil dalam asam, diabsorbsi dengan cukup baik di dalam
saluran gastrointestinal. Berekasi terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Sekitar
10% orang alergi terhadap penisilin juga alergi terhadap sefalosporin. Dosis dewasa 40-50
mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis, selama 5-7 hari.5,15

2. Lini kedua
- Azitromisin
Azitromisin adalah antibiotik makrolidum yang mempunyai spektrum luas, aktif
terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Merupakan salah satu derifat eritromisin.
Dosis 1×500 mg/hari (hari pertama), dilanjutkan 1×250 mg (hari kedua sampai kelima).5,15

16
- Klindamisin
Klindamisin menghambat sintesis protein bakteri. Mempunyai efek kerja bakteriostatik
dan bakteriosidal. Aktif melawan bakteri gram positif termasuk Staphylococus aureus.
Dosis 15 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis, selama 10 hari.5,15
- Eritromisin
Eritromisin menghambat sintesis protein bakteri. Mempunyai efek kerja bakteriostatik
dan bakteriosidal. Aktif melawan bakteri gram positif termasuk Staphylococus aureus.
Dosis dewasa 4×250-500 mg/hari. Dosis anak 20-50 mg/kgBB/hari terbagi 4 dosis, selama
5-7 hari.5,15

KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada pioderma adalah Staphylococcal Scalded Skin
Syndrome (SSSS), osteomielitis, endokarditis akut, glomerulonefritis akut, pneumonia, dan
sepsis, namun komplikasi tersebut jarang terjadi.1,3
Impetigo akibat infeksi Staphylococcus aureus yang tidak diobati akan menyebar
menjadi selulitis, limfangitis, dan bakteremia dan berujung sebagai osteomyelitis, septik
arthritis, pneumonitis, dan septikemia. Produksi eksfoliatin dapat menyebabkan SSSS pada bayi
dan dewasa yang immunocompromised atau memiliki gangguan fungsi ginjal. Sementara itu,
impetigo akibat infeksi Streptococcus grup A yang tidak diobati akan menetap dan
menimbulkan lesi baru di kulit dalam beberapa minggu. Infeksi biasanya sembuh sendiri kecuali
terdapat penyakit kulit lain yang mendasari. Pada beberapa kasus, lesi dapat berkembang
menjadi kronik dan dalam dan membentuk ektima. Jarang terjadi komplikasi berupa erisipelas,
selulitis, atau bakteremia. Sekuele yang paling sering ditemukan adalah Glomerulonefritis Akut
Post Infeksi Streptokokus (GNAPS). 1
Prognosis pioderma pada umunya baik.13 Beberapa individu dapat sembuh secara
spontan dalam 2-3 pekan bila tidak ada penyakit lain sebelumnya.2 Namun, bila tidak diobati
pioderma dapat menyebabkan lesi pada tempat baru serta menyebabkan komplikasi.1,2,3

KESIMPULAN
Pioderma merupakan infeksi pada kulit di bawah stratum korneum atau pada folikel
rambut yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus atau Streptococcus grup A yang
menyebabkan gejala klinis yang bervariasi, tergantung dari organisme penyebab dan lokasi
terjadinya infeksi. Pioderma terdiri dari piodoerma superfisial dan profunda. Faktor
17
predisposisi pioderma yaitu higienitas yang kurang, menurunnya daya tahan tubuh (pada
kasus dengan kekurangan gizi, anemia, penyakit kronik, neoplasma ganas, diabetes melitus),
dan didahului oleh penyakit kulit lain yang menyebabkan kerusakan pada epidermis.
Penatalaksanaan pada pioderma tergantung dari manifestasi klinis, jenis bakteri, dan kedalaman
dari lesi. Secara umum untuk lesi yang terbatas tanpa komplikasi diberikan terapi topikal.
Antibiotika topikal pilihan pertama yang sering digunakan adalah golongan mupirosin dan
asam fusidat, atau antiseptik topikal. Pioderma umumnya memiliki prognosis yang baik dan
dapat sembuh secara spontan. Komplikasi pada pioderma jarang terjadi.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. RosenT. Superficial Cutaneous Infection and Pyodermas.In:Wolff K, Goldsmith LA,


Katz SI, Gilchrest BA, Patter AS, Lefel DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. 8thed. New York: Mc Graw Hill; 2012.p. 2129-33.
2. Kartowigno S. G. Pioderma. Sepuluh Besar Kelompok Penyakit Kulit. Edisi2.
Palembang: Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. 2012. p. 131- 143
3. Menaldi SL. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7.Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2015. p. 71.
4. Dinas Kesehatan Kota Palembang. Laporan Bulanan Januari 2014. Palembang:
Dinas Kesehatan Kota Palembang; 2014. p. 11-14.
5. Suriadiredja A, Toruan TL, Widaty S, Listyawan MY, Siswati AS, Danarti R, et al.
Panduan Layanan Klinis Dokter Spesialis Dermatologi dan Venereologi. Jakarta:
Perdoski; 2017. p. 73-75.
6 . Djuanda, A. Pioderma dalam Menaldi, S.L., Bramono, K., Indriatmmi, W. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin edisi ke-7. 2015. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.
7. Konsil Kedokteran Indonesia.Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: Konsil
Kedokteran Indonesia; 2012. p. 54.
8. Heyman WR, Halpern V. Bacterial Infection. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP,
editors. Dermatology2nded. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2015. p.1075-77.
9. Asterholm, Mikael. Studies on Colonization and Infection with Staphylococcus Aureus
and Other Microbes in Skin Diseases. Institutte of Clinical Sciences Sahlgrenska
Academy at the University of Gothenburg. 2012. p.13-5.
10. Heyman WR, Halpern V. Bacterial Infection. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP,
editors. Dermatology2nded. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2015. p.1075-77.
11. Odom RB , James WD, Berger TG. Andrews’ diseases of the skin. 9th ed. Philadelphia :
WB. Saunders Co, 2000. h. 247-258
12. Hartman Holly, Banvard Christine. Impetigo: Diagnosis and Treatment. American
Academy of Family Physician. 2015. p.229-36.
13. Cherry, James D, Hall J Harrison.Treatment Considerations for Impetigo. Pediatric
Infection Disisease. 2015 p: 374-8.
14. Motaparthi K.,HsuS. Topical Antibacterial Agent. Systemic Antibacterial Agents.
Comprehensive Dermatology Drug Therapy. 3rd ed. Philadelphia: Saunders Elsevier;
2013.p. 445-459.
15. Kim S., Michaels B.D., Kim G.K., Del Rosso J.Q. Systemic Antibacterial Agents.
Comprehensive Dermatology Drug Therapy. 3rd ed. Philadelphia: Saunders Elsevier;
2013.p. 61-96.

19

Anda mungkin juga menyukai