Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

BAGIAN ILMU PENYAKIT MULUT

“DRUG INDUCED ERYTHEMA MULTIFORME”

Diajukan untuk memenuhi syarat dalam melengkapi


Kepaniteraan Klinik pada Modul 3

Oleh:
SITI SANIYYAH YUNUS
20100707360804049

Dosen Pembimbing :
drg. Utmi Arma, MDSc

RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
PADANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ”Drug Induced
Erythema Multiforme” untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan
kepanitraan klinik modul 3 Lesi Jaringan Lunak Mulut dapat diselesaikan.
Dalam penulisan laporan kasus ini penulis menyadari, bahwa semua proses
yang telah dilalui tidak lepas dari bimbingan drg. Utmi Arma, MDSc, selaku dosen
pembimbing. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu. Penulis juga menyadari bahwa laporan kasus ini belum sempurna
sebagaimana mestinya, baik dari segi ilmiah maupun dari segi tata bahasanya, karena
itu kritik dan saran sangat penulis harapkan dari pembaca.
Akhir kata penulis mengharapkan Allah SWT melimpahkan berkah-Nya
kepada kita semua dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat serta dapat
memberikan sumbangan pemikiran yang berguna bagi semua pihak yang
memerlukan.

Padang, Juli 2021

Penulis
MODUL 3
LESI JARINGAN LUNAK RONGGA MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
PADANG

HALAMAN PENGESAHAN

Telah didiskusikan laporan yang berjudul “Drug Induced Erythema Multiforme”


guna melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik Pada Modul Lesi Jaringan Lunak
Rongga Mulut.

Padang, Juli 2021


Menyetujui,
Dosen Pembimbing

(drg. Utmi Arma, MDSc)


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Erythema Multiforme (EM) adalah penyakit peradangan hipersensitifitas

yang jarang ditemukan. EM dapat mengenai semua usia, sebagian besar terjadi pada

usia 20-40 tahun (Issrani, 2018). EM dapat mengenai mukosa dan kulit sehingga

disebut EM mayor, namun juga dapat ditemukan tanpa lesi kulit sehingga disebut

EM minor. Lesi kulit yang menjadi gambaran klinis khas EM adalah adanya lesi

target, namun pada kasus EM minor mungkin saja tidak ditemukan. Lesi EM minor

hanya terbatas ditemukan pada mukosa rongga mulut dan bibir, serta cenderung

mengalami perdarahan (tend to bleed) (Hafsi dkk, 2020).

EM bersifat akut dan dapat sembuh dengan sendirinya dalam 4-6 minggu,

sehingga diperlukan tatalaksana medis yang dapat membantu proses penyembuhan

pasien lebih cepat. Untuk kasus berat dengan keterlibatan kulit dan mukosa yang luas

dapat berpotensi membahayakan nyawa. Lesi vesikobulosa yang pecah dan terbuka,

disertai perdarahan, merupakan potensi bagi terjadinya infeksi maupun dehidrasi.

Penyakit ini kadang ditemukan terjadi berulang, terutama jika pasien terpapar

patogen atau mengkonsumsi alergen yang diperkirakan sebagai pemicu EM,

diantaranya virus, obat-obatan, tetapi seringkali tidak diketahui (idiopatik). Virus

Herpes simpleks sering ditemukan menjadi penyebabnya sehingga disebut dengan

Herpes Associated Erythema Multiforme (HAEM). Histoplasmosis dan virus Epstein


Barr juga disebutkan merupakan agen biologis yang dapat menjadi faktor pemicunya.

Jika diketahui kondisi EM terjadi setelah pasien mengkonsumsi obat-obatan tertentu,

maka disebut dengan Drug Induced Erythema Multiforme (DIEM) (Hafsi dkk, 2020).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Erythema multiforme (EM) merupakan kelainan inflamasi akut dan self- limit

yang melibatkan kulit dan membran mukosa (Ganesan dan Kumar, 2014). Menurut

Shah et al. (2014) EM adalah kelainan inflamasi akut pada mukokutaneus yang

jarang terjadi. Namun pada kasus yang lebih parah, EM dapat melibatkan kulit.

EM biasanya melibatkan orang dewasa muda yang sehat. Insidensi pada laki-

laki lebih banyak ditemukan dibandingkan perempuan. Gambaran klinis EM terlihat

pada usia 20-40 tahun, meskipun 20% kasus terjadi pada anak-anak (Ganesan dan

Kumar, 2014).

2.2 Etiologi

Erythema multiforme dapat disebabkan oleh infeksi virus, seperti virus herpes

simpleks (HSV), infeksi jamur Mycoplasma pneumoniae yang ditemukan terjadi

pada anak-anak, dan konsumsi obat. Penggunaan obat-obatan yang dapat memicu

EM antara lain barbiturat, hidantoin, NSAID, penisilin, fenotiazin, dan sulfonamide

(Lamoreux et al., 2006).

Faktor genetik juga menjadi faktor predisposisi EM. HLA DQ3 yang

terdeteksi pada EM genetik menjadi bukti dan membedakan etiologi ini dengan EM

yang disebabkan oleh virus herpes. Infeksi virus memicu EM minor atau mayor,
namun reaksi obat cenderung memicu Steven Johnson Syndrom (SJS) atau Toxic

Epidermal Necrolysis (TEN) (Shah et al., 2014).

EM yang dipicu oleh obat-obatan dilaporkan berjumlah kurang dari 10%

kasus. Meskipun obat-obat pemicu EM telah diidentifikasi, medikasi yang paling

sering ditemukan adalah NSAID, sulfonamid, antiepilepsi, dan antibiotik (Sokumbi

dan Wetter, 2012).

2.3 Klasifikasi

a. Minor Erythema Multiforme

Pada mukosa rongga mulut, hal ini terjadi pada 20-30 % kasus. Pada tipe EM

minor jarang sekali terjadi, hanya pada bagian rongga mulut saja. Lesi berupa

vesikula yang banyak dan pecah, meninggalkan daerah erosi yang sakit dan ditutupi

pseudomembran putih. Bagian mukosa lainnya pada mukosa genital, dan jarang

terjadi pada konjungtiva. Pada kulit biasanya muncul macula papula kemerahan.

Paling sering muncul dengan khas berupa lesi target (Laskaris, 2005).

b. Mayor Erythema Multiforme

Tipe ini melibatkan dua atau lebih membran mukosa dengan lebih banyak lagi

daerah kulit yang terlibat (Scully, 2007) pada mukosa rongga mulut, lesi pada

mukosa rongga mulut lebih sering terjadi pada kasus EM tipe mayor. Awalnya adalah

daerah kemerahan, berubah dengan cepat menjadi bentuk vesikula dan segera pecah

dan meninggalkan daerah erosi kemerahan yang ditutupi pseudomembran putih dan

krusta akibat perdarahan. Bagian mukosa lainnya terjadi pada mata, genital, pharyng,

laryng, esophagus, dan bronchial terutama pada kasus yang sangat parah. Pada kulit
lesi ini lebih sering terjadi, dengan bentukan lesi merah yang edematous, melepuh,

dan adanya lesi target (Laskaris, 2005).

2.4 Manifestasi Klinis

Erythema multiforme (EM) sering ditemukan pada anak-anak. EM memiliki

onset yang akut. Gejala umum seperti demam dan malaise sering muncul pada kasus

yang parah. Pasien dapat tidak merasakan gejala, dan kurang dari 24 jam muncul lesi

yang luas pada kulit dan mukosa. EM simpleks merupakan self limiting disease yang

memiliki karakteristik berupa makula dan papula berdiameter 0,5 – 2 cm dengan

distribusi yang simetris (Lynch et al, 1994).

Gambar 2.1 Lesi Target pada pasien Erythema multiforme (EM)

Berdasarkan tipe dasar EM:

a. Tipe Makula-eritema

Erupsi timbul mendadak, simetrik dengan tempat predileksi di punggung

tangan, telapak tangan, bagian ekstensor ekstremitas, dan selaput lendir. Pada

keadaan berat dapat juga mengenai badan. Lesi tidak terjadi serentak, tetapi berturut-

turut dalam 2-3 minggu. Gejala khas ialah bentuk iris (target lesion) yang terdiri atas
3 bagian, yaitu bagian tengah berupa vesikel atau eritema yang keungu-unguan,

dikelilingi lingkaran konsentris yang pucat kemudian lingkaran yang merah.

b. Tipe Vesikobulosa

Lesi mula-mula berbentuk macula,papul dan urtika yang kemudian timbul lesi

vesikobulosa di tengahnya. Bentuk ini dapat juga mengenai selaput lendir. Lesi pada

membran mukosa terjadi pada 70% pasien dan seringkali terbatas di rongga mulut.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Laboratorium Oral Pathology di

Universitas Sao Paolo sejak tahun 1974 hingga 2000 di dapatkan bahwa kasus

eritema multiforme sebagai penyakit autoimun yang bermanifestasi oral sebanyak

7,82%. Kasus terbanyak adalah Liken planus pemfigoid (75,56%), pemfigus

membran mukosa (9,37%). Lesi ditemukan di palatum durum. Dengan masa evolusi

lesi mencapai lebih dari 12 bulan.

2.5 Manifestasi Oral

Lesi oral sering muncul bersamaan dengan lesi kulit pada kira-kira 70%

pasien EM. Pada beberapa kasus, lesi oral menjadi lesi dominan atau penyakit dengan

lokasi tunggal. Saat lesi oral mendominasi dan tidak ada lesi target yang muncul pada

kulit, EM harus didiferensiasikan dari kasus ulcer multipel akut lainnya, terutama

infeksi herpes simpleks primer. Diferensiasi ini penting karena kortikosteoid

merupakan medikamen pilihan pada EM, namun merupakan kontraindikasi pada

infeksi herpes simpleks. Jika tidak terdapat lesi kulit dan terdapat lesi oral yang

ringan, diagnosis dapat menjadi sulit dan biasanya dilakukan dengan meng-ekslusi

penyakit-penyakit lainnya (Greenberg and Glick, 2002).


Lesi oral bermula sebagai bulla pada dasar eritema, namun bulla yang utuh

jarang terlihat oleh klinisi karena pecah dengan cepat menjadi ulser ireguler. Infeksi

viral terlihat kecil, membulat, simetris, dan dangkal, namun pada EM lesi lebih besar,

ireguler, lebih dalam, dan sering berdarah. Lesi EM dapat terjadi di berbagai tempat

pada mukosa oral, namun lesi pada bibir lebih menonjol, dan lesi pada gingiva jarang

terjadi. Kriteria tersebut penting untuk membedakan EM dan infeksi herpes simpleks

primer yang memiliki karakteristik terlibatnya gingiva secara generalisata.

Pada kasus yang berkembang, bibir tererosi secara luas, dan sebagian besar

epitelium mukosa oral terlihat gundul. Pasien tidak dapat makan atau menelan saliva.

Pada hari ke 2 atau 3 lesi labial mulai menjadi krusta. Proses penyembuhan terjadi

selama 2 minggu pada sebagian besar kasus, namun pada kasus yang parah,

pennyakit yang meluas dapat berlanjut hingga beberapa minggu (Greenberg and

Glick, 2002).

Gambar 2.2 Lesi krusta hemoragik pada bibir pasien erythema multiform

(http://emedicine.medscape.com/article/1122915-clinical)

2.6 Diagnosis

Diagnosis dari erythema multiform ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis


dari pasien, termasuk kecepatan onset dari lesi. Lesi oral biasanya dimulai dengan

bulla yang memiliki dasar kemerahan. Bulla secara utuh jarang dapat dilihat oleh

klinisi karena pecah dengan cepat sehingga menjadi ulser yang irreguler. Lesi yang

disebabkan oleh virus biasanya kecil, berbentuk bulat, simetris dan dangkal, tetapi

lesi EM biasanya lebih besar, irreguler, lebih dalam dan sering berdarah (Greenberg

and Glick, 2002).

Lesi dari EM dapat terjadi di berbagai tempat pada mukosa oral, tetapi

keterlibatan bibir merupakan gambaran yang khas dari EM, sedangkan pada gingiva

jarang terjadi. Hal inilah yang membedakan EM dari infeksi virus herpes simplex,

karakteristik dari infeksi virus herpes simplex adalah adanya keterlibatan gingiva

secara luas termasuk papila interdental dan margin gingiva (Greenberg and Glick,

2002).

Pada kebanyakan kasus klinis, terjadi erosi yang luas pada bibir dan sebagian

besar mukosa oral kehilangan jaringan epitelium. Pasien tidak dapat makan atau

menelan dan air liur bercampur dengan darah. Antara 2- 3 hari lesi pada bibir akan

mulai menjadi krusta. Proses penyembuhan terjadi sekitar 2 minggu pada kasus

mayor, tetapi pada beberapa kasus yang parah, penyakit telah meluas, dapat berlanjut

hingga beberapa minggu (Greenberg and Glick, 2002).

2.7 Diagnosis Banding

Sindrom Stevens-Johnson (SJS) adalah gangguan mucocutaneous yang

diinduksi obat dan terkait dengan morbiditas yang tinggi dan prognosis buruk. SJS

dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) yang disebabkan obat, biasanya mulai timbul
dua sampai tiga minggu setelah mulai terapi tetapi dapat terjadi lebih cepat

(Greenberg dan Glick, 2002).

Steven- Johnson Syndrome adalah salah satu tampilan klinis dari reaksi obat

yang parah pada kulit. Terdapat klasifikasi terhadap EM, SJS, dan TEN berdasarkan

variasi keparahan. EM minor biasanya self limited dan disebabkan infeksi. Drug-

induced EM, disebut EM-major, dapat berkembang menjadi SJS atau, ketika sangat

parah menjadi TEN. SJS adalah gangguan bulosa, dengan ulserasi, purpura, demam,

dan keterlibatan membran mukosa lebih dari dua lokasi, serta kulit. TEN merupakan

kondisi yang lebih parah dari SJS, dengan peluruhan kulit menyerupai luka bakar

tingkat tiga (Greenberg dan Glick, 2002).

2.8 Penatalaksanaan

a. Terapi secara sistemik

Menghindari faktor penyebab atau mengobatinya, terutama karena adanya

reaksi hipersensitivitas karena pemakaian obat. Pemakaian kortikosteroid secara oral,

terutama setelah hari ke 2-4, untuk mengurangi periode erupsi akut dan gejala. Tipe

minor pemberian kortikosteroid oral antara 20-40 mg/hari selama 4-6 hari lalu

diberikan secara tapering dosis tidak lebih dari 2 minggu. Pada tipe mayor perlu

pemberian antara 40-80 mg/hari selama 2-3 minggu. Pemberian antibiotik untuk

menghindari infeksi sekunder (Laskaris, 2005).

   Obat-obat antivirus diindikasikan untuk pasien HAEM, dengan pemberian

acyclovir 200 mg, lima kali sehari sejak terlihat pertamakali munculnya lesi atau 400

mg, empat kali sehari selama 6 bln atau melanjutkan terapi menggunakan
valacyclovir, pemberian 500 mg dua kali sehari disarankan sebagai profilaksis

(Scully, 2007)

b. Terapi secara topikal

Instruksi pada pasien untuk diet lunak, pemakaian anastesi topikal, obat

kumur yang berisi antibiotik, dan kortikosteroid topikal untuk mengurangi

ketidaknyamanan pada pasien (Laskaris, 2005). Kemungkinan penyebab yang banyak

pada kasus eritema multiforme menghalangi pengobatan yang spesifik, kecuali

penyebab spesifik telah diketahui.

Tujuan pengobatan dari eritema multiforme ialah untuk mengurangi lamanya

waktu demam, erupsi maupun perawatan di rumah sakit. Pada kasus ringan diberi

pengobatan simtomatik, meskipun sedapat-dapatnya perlu dicari penyebabnya.

Pemberian kortikosteroid sistemik dihindari mengingat komplikasi yang dapat

timbul. Pengobatan simptomatik meliputi pemberian analgesic atau NSAID; kompres

dingin dengan menggunakan larutan saline; pengobatan oral seperti saline kumur;

lidokain dan diphenhydramine.

Pada kasus-kasus berat, dapat diberikan kortikosteroid (prednisolon) dengan

dosis awal 30-60 mg/hari, kemudian dosis diturunkan dalam 1-4 minggu. Kegunaan

kortikosteroid hingga saat ini masih diperdebatkan, namun perbaikan gejala sistemik

seperti demam dapat tercapai dengan kortikosteroid.

Tujuan pemberian antivirus adalah untuk mempersingkat perjalanan klinis

penyakit, mencegah komplikasi, mencegah perkembangan rekurensi yang

tersembunyi dan atau yang muncul kemudian, mengurangi penyebaran serta


mengeliminasi rekurens laten yang tidak dapat dihindari. Acyclovir mengurangi

lamanya gejala lesi. Diberikan pada pasien dengan lesi yang muncul dalam waktu 48

jam. Pasien yang diberikan acyclovir merasakan nyeri berkurang dan penyembuhan

yang cepat dari lesi pada kulit.


BAB III

LAPORAN KASUS

Seorang anak perempuan berusia 13 tahun datang ke RSGM bersama ibunya dengan

keluhan keropeng pada daerah bibir yang mudah berdarah disertai sariawan pada

mulut sehingga menjadi sulit makan dan minum. Dari anamnesis, 2 hari sebelum

muncul keropeng pasien mengalami demam dan membeli obat demam di toko obat.

Pada pemeriksaan ekstra oral bibir atas dan bawah tampak krusta hemoragik.

Pemeriksaan intra oral terlihat ulser multipel ukuran lebih kurang 5 mm di bukal,

dorsum lidah dan labial.

A. Pemeriksaan Subjektif

a) Data Pasien

No. RM :-

Nama : An. A
Umur : 13 Tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jl. Maransi

Pekerjaan : Pelajar

b) Riwayat penyakit saat ini

Keluhan Utama

Pasien anak perempuan berusia 13 tahun datang ke RSGM bersama ibunya

dengan keluhan keropeng pada daerah bibir yang mudah berdarah

Keluhan Tambahan

 Lokasi : Pada bibir atas dan bawah

 Sejak kapan : Muncul keropeng pada bibirnya sudah 2 hari lalu

 Obat : Keropeng pada mulutnya belum pernah diobati

 Faktor pemberat : Terasa sakit dan pedih ketika makan dan minum

 Faktor peringan : Tidak ada

 Faktor penyerta : Terdapat sariawan pada mulut

c) Riwayat penyakit terdahulu

Riwayat penyakit sistemik

Pasien tidak memiliki penyakit sistemik, tetapi sejak 2 hari lalu mengalami

demam, dan sudah meminum obat yang dibeli di toko obat (penisilin).

Riwayat penyakit gigi dan mulut

Pasien ke dokter gigi 6 bulan lalu melakukan penambalan.


d) Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada

e) Riwayat sosial

Tidak ada

B. Pemeriksaan Objektif

a. Pemeriksaan Ekstra Oral

Kesadaran Umum : Compos Mentis

Tanda-tanda vital

Tekanan darah : 110/80 mmHg

Suhu : Afebris

Nadi : 18 x/ mnt

Pernafasan : 86 x/ mnt

 Kelenjar Limfe

Submandibula Kiri : Teraba + / - Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Kanan : Teraba + / - Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Submental Kiri : Teraba + / - Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Kanan : Teraba + / - Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Servikal Kiri : Teraba + / - Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

Kanan : Teraba + / - Lunak/Kenyal/Keras Sakit +/-

 Mata Pupil : Normal

Konjungtiva : Normal
Sklera : Normal

 TMJ : Tidak ada kelainan

 Bibir : Terdapat krusta hemoragik / keropeng

 Wajah : Simetris

 Lain-lain : Tidak ada kelainan

b. Pemeriksaan Intra Oral

 Mukosa bukal : Terdapat ulcer ukuran 5 mm

 Mukosa labial : Terdapat ulcer ukuran 5 mm

 Frenulum : Normal

 Lidah : Terdapat ulcer ukuran 5 mm

 Dasar mulut : Normal

 Palatum : Normal

 Gingiva : Normal

 Jaringan periodontal : Normal

 Kelenjar saliva : Normal

 Uvula : Normal

 Tonsil : Normal

 Kebersihan mulut : Baik, plak (+), kalkulus (+), stain (-)

 Status Gigi Geligi :


18 17 16 15 14 13 12 11 21 22 23 24 25 26 27 28

48 47 46 45 44 43 42 41 31 32 33 34 35 36 37 38

Keterangan:

16, 26 : Karies oklusal superfisial

C. Pemeriksaan Penunjang

Tidak perlu dilakukan pemeriksaan penunjang pada kasus ini

D. Diagnosa

Drug Induced Erythema Multiforme (DIEM)

Karena: pada bibir pasien terdapat gambaran krusta hemoragik, multiple, sakit

dan mudah berdarah terjadi setelah 2 hari lalu pasien mengonsumsi obat demam

penisilin yang dibelinya sendiri di toko obat.

E. Diagnosa Banding

Steven- Johnson Syndrome (SJS).

F. Rencana Perawatan

a. Non-Farmakologis

 Operator menjelaskan bahwa kondisi tersebut tidak berbahaya dan tidak akan

berlanjut keganasan.

 Drug Induced Erythema Multiforme (DIEM) merupakan suatu kondisi yang

terjadi akibat ketidakcocokan penggunaan obat penisilin.


 Pasien diinstruksikan untuk tetap menjaga kebersihan rongga mulutnya.

Pasien juga dijelaskan untuk mengkonsumsi air putih, sayur-sayuran, dan

buah-buahan yang cukup.

 Pasien di instruksikan untuk memberikan obat salep pada sariawan yang juga

dideritanya pada mukosa bukal, mukosa labial, dan lidah.

 Pasien juga diberikan resep obat kenalog in orabase (triamcinolone acetonide

0,5%) salep dengan dioleskan pada daerah yang sakit 3 kali sehari, obat

kumur antiseptik povidone iodine 2 kali sehari setelah makan untuk

membersihkan luka, dan mengganti obat penisilin dengan ibu profen yang

dikonsumsi 2 kali sehari serta pemberian vitamin yang diminum satu kali

sehari.

b. Farmakologis

Pemberian obat Kortikosteroid (Kenalog in oral base (Triamcinolone

Acetonide) dan mengganti obat penisilin dengan ibu profen, obat kumur

povidone iodine dan Vitamin C.


RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT
YAYASAN PENDIDIKAN BAITURRAHMAH
Izin Dinkes : PPK.03.2186V.2019
JL. Raya By Pass KM 15 AiePacah padang. Telp.0751-463871

Padang, 2 Agustus 2021

R/ Triamcinolone acetonide 0.5% tube No I


Stdd applic part dol

R/ Ibu profen tab 500 mg No I


Sbdd tab 1 PC

R/ Povidne iodine garg FL No I


Suc gargl m .et .v

R/ As. Ascorbat tab 500 mg No. X


S1dd tab I P.C

Pro : An. A
Umur : 16 tahun
BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan klinis yang dilakukan kepada pasien,

diagnosis yang ditegakkan pada pasien ini adalah drug induced erythema multiform

e.c susp penisilin. Anamnesis yang dilakukan pada ibu pasien, keluhan keropeng

pada bibir dan mulut sejak 2 hari yang lalu setelah konsumsi obat penisilin untuk obat

demam, sehingga pasien menjadi sulit makan. Pada pemeriksaan intra oral, terdapat

lesi erosif yang ditutupi selaput putih kekuningan yang mudah berdarah juga terasa

sakit.

Lesi berupa ulser yang ditemukan pada pasien ini merupakan ciri khas

erythema multiform yaitu ulser yang irreguler, dalam, dan mudah berdarah. Selain itu,

adanya keterlibatan dari bibir dan mukosa labial, tetapi tidak ditemukan adanya

keterlibatan dari gingiva, hal ini memperkuat diagnosis erythema multiform. Lesi

erosif ditemukan pada bibir pasien dan sebagian besar mukosa oral kehilangan

jaringan epitelium. Lesi rongga mulut pada pasien erythema multiform awalnya

adalah daerah kemerahan, lalu berkembang menjadi vesikel dan bulla. Vesikel dan

bulla yang pecah meninggalkan daerah erosif yang ditutupi pseudomembran putih

dan krusta akibat perdarahan. Pasien datang dengan kondisi bibir dan mulut bengkak

sudah 2 hari, sehingga lesi pada bibir pasien sudah menjadi krusta, sesuai dengan

teori yang menyebutkan lesi pada bibir akan berubah menjadi krusta pada 2- 3 hari.
Krusta terjadi ketika papula, pustula, vesikel/ bulla pecah dan cairan di dalamnya

mengering.

Terapi yang diberikan kepada pasien ini adalah, KIE (membersihkan gigi

minimal 2x/ hari), memberhentikan penggunaan obat penisilin yang dikonsumsinya,

pemakaian kenalog in orabase 3x/ hari, dan diberikan ibuprofen sebagai pengganti

obat penisilin serta pemberian vitamin.


BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Erythema multiform (EM) merupakan kelainan inflamasi akut dan self-

limited yang melibatkan kulit dan membran mukosa. Kelainan ini biasanya rekuren,

dan merupakan reaksi hipersensitivitas. Etiologinya belum diketahui, tetapi paling

sering disebabkan oleh virus herpes simplex dan obat- obatan.

Lesi erythema multiform biasanya terjadi di rongga mulut dengan ulserasi

yang luas dan adanya eksudat. Paling khas pada bibir dan tidak ada keterlibatan dari

gingiva, dengan ciri khas lesi yang memiliki bentuk seperti iris/ lesi target. Lesi

diawali dengan bulla, namun berubah menjadi ulser irreguler yang besar, dalam, juga

mudah berdarah.

Terapi yang diberikan kepada penderita erythema multiform tergantung pada

etiologinya, apabila disebabkan oleh obat- obatan, maka penggunaan obat- obatan

yang dicurigai memicu kelainan ini harus dihentikan. Pada konsumsi obat penisilin

dihentikan, pasien diinstruksikan untuk mengganti dan melanjutkan obat ibuprofen

dan vitamin, sedangkan untuk lesi pada bibir dirawat dengan menggunakan kenalog

in orabase (Triamcinolone acetonide) 3x/ hari.


DAFTAR PUSTAKA

Ganesan, Anuradha dan Gautham Kumar. 2014. Management of Antibiotic Induced


Oral Manisfestation of Erythema Multiforme: A Case Report and Concise
Review. RRJDS Vol.2 Issue 3.

Greenberg, M. S., Glick, M., Ship, J. A., & ebrary, I. 2008. Burket's oral
medicine(Eleventh edition.). Hamilton, Ont.: BC Decker.

Hafsi W, Badri T. Erythema Multiforme. In: Stat Pearls [Internet]. Treasure Island
(FL): Stat Pearls Publishing; 2020 Jan. Tersedia pada:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/ NBK470259/

Issrani R. Etiopathogenesis of erythema multiforme - A concise review. Adv Dent


Oral Heal. 2018;5(4). DOI:10.19080/ adoh.2017.05.5555669

Lamoreux, Michele; MarnaSternbach; dan Teresa Hsu. 2006. Erythema Multiforme.


Am Fam Physician Vol. 74, Number 11.

Laskaris George. 2005. Treatment of Oral Disease: A Concise Textbook, Thieme.

Lynch MA, Brightman VJ, Greenbarg MS. 1994. Ilmu Penyakit Mulut, alih bahasa
Sianita Kurniawan, drg. Jakarta: Binarupa aksara. 205-39.
Scully, C., 2008. Oral and Maxillofacial Medicine. 2nd Edition. London: Elsevier.

Shah, Shreyas; Girish Chauhan; B>S Manjunatha; dan Kapil Dagrus. 2014. Drug
Induced Erythema Multiforme: Two Cases Series with Review of
Literature. Journal of Clinical and Diagnostic Research.Vol.8(8): ZH01-
ZH04.

Sokumbi.Olayemidan David A. Wetter. 2012. Clinical Features, Diagnosis, and


Treatment of Erythema Multiforme: A Review for The Practicing
Dermatologist. The International Society of Dermatology, 51, 889-902.

Anda mungkin juga menyukai