Oleh:
SITI SANIYYAH YUNUS
20100707360804049
Dosen Pembimbing :
drg. Utmi Arma, MDSc
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ”Drug Induced
Erythema Multiforme” untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan
kepanitraan klinik modul 3 Lesi Jaringan Lunak Mulut dapat diselesaikan.
Dalam penulisan laporan kasus ini penulis menyadari, bahwa semua proses
yang telah dilalui tidak lepas dari bimbingan drg. Utmi Arma, MDSc, selaku dosen
pembimbing. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu. Penulis juga menyadari bahwa laporan kasus ini belum sempurna
sebagaimana mestinya, baik dari segi ilmiah maupun dari segi tata bahasanya, karena
itu kritik dan saran sangat penulis harapkan dari pembaca.
Akhir kata penulis mengharapkan Allah SWT melimpahkan berkah-Nya
kepada kita semua dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat serta dapat
memberikan sumbangan pemikiran yang berguna bagi semua pihak yang
memerlukan.
Penulis
MODUL 3
LESI JARINGAN LUNAK RONGGA MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
PADANG
HALAMAN PENGESAHAN
PENDAHULUAN
yang jarang ditemukan. EM dapat mengenai semua usia, sebagian besar terjadi pada
usia 20-40 tahun (Issrani, 2018). EM dapat mengenai mukosa dan kulit sehingga
disebut EM mayor, namun juga dapat ditemukan tanpa lesi kulit sehingga disebut
EM minor. Lesi kulit yang menjadi gambaran klinis khas EM adalah adanya lesi
target, namun pada kasus EM minor mungkin saja tidak ditemukan. Lesi EM minor
hanya terbatas ditemukan pada mukosa rongga mulut dan bibir, serta cenderung
EM bersifat akut dan dapat sembuh dengan sendirinya dalam 4-6 minggu,
pasien lebih cepat. Untuk kasus berat dengan keterlibatan kulit dan mukosa yang luas
dapat berpotensi membahayakan nyawa. Lesi vesikobulosa yang pecah dan terbuka,
Penyakit ini kadang ditemukan terjadi berulang, terutama jika pasien terpapar
maka disebut dengan Drug Induced Erythema Multiforme (DIEM) (Hafsi dkk, 2020).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Erythema multiforme (EM) merupakan kelainan inflamasi akut dan self- limit
yang melibatkan kulit dan membran mukosa (Ganesan dan Kumar, 2014). Menurut
Shah et al. (2014) EM adalah kelainan inflamasi akut pada mukokutaneus yang
jarang terjadi. Namun pada kasus yang lebih parah, EM dapat melibatkan kulit.
EM biasanya melibatkan orang dewasa muda yang sehat. Insidensi pada laki-
pada usia 20-40 tahun, meskipun 20% kasus terjadi pada anak-anak (Ganesan dan
Kumar, 2014).
2.2 Etiologi
Erythema multiforme dapat disebabkan oleh infeksi virus, seperti virus herpes
pada anak-anak, dan konsumsi obat. Penggunaan obat-obatan yang dapat memicu
Faktor genetik juga menjadi faktor predisposisi EM. HLA DQ3 yang
terdeteksi pada EM genetik menjadi bukti dan membedakan etiologi ini dengan EM
yang disebabkan oleh virus herpes. Infeksi virus memicu EM minor atau mayor,
namun reaksi obat cenderung memicu Steven Johnson Syndrom (SJS) atau Toxic
2.3 Klasifikasi
Pada mukosa rongga mulut, hal ini terjadi pada 20-30 % kasus. Pada tipe EM
minor jarang sekali terjadi, hanya pada bagian rongga mulut saja. Lesi berupa
vesikula yang banyak dan pecah, meninggalkan daerah erosi yang sakit dan ditutupi
pseudomembran putih. Bagian mukosa lainnya pada mukosa genital, dan jarang
terjadi pada konjungtiva. Pada kulit biasanya muncul macula papula kemerahan.
Paling sering muncul dengan khas berupa lesi target (Laskaris, 2005).
Tipe ini melibatkan dua atau lebih membran mukosa dengan lebih banyak lagi
daerah kulit yang terlibat (Scully, 2007) pada mukosa rongga mulut, lesi pada
mukosa rongga mulut lebih sering terjadi pada kasus EM tipe mayor. Awalnya adalah
daerah kemerahan, berubah dengan cepat menjadi bentuk vesikula dan segera pecah
dan meninggalkan daerah erosi kemerahan yang ditutupi pseudomembran putih dan
krusta akibat perdarahan. Bagian mukosa lainnya terjadi pada mata, genital, pharyng,
laryng, esophagus, dan bronchial terutama pada kasus yang sangat parah. Pada kulit
lesi ini lebih sering terjadi, dengan bentukan lesi merah yang edematous, melepuh,
onset yang akut. Gejala umum seperti demam dan malaise sering muncul pada kasus
yang parah. Pasien dapat tidak merasakan gejala, dan kurang dari 24 jam muncul lesi
yang luas pada kulit dan mukosa. EM simpleks merupakan self limiting disease yang
a. Tipe Makula-eritema
tangan, telapak tangan, bagian ekstensor ekstremitas, dan selaput lendir. Pada
keadaan berat dapat juga mengenai badan. Lesi tidak terjadi serentak, tetapi berturut-
turut dalam 2-3 minggu. Gejala khas ialah bentuk iris (target lesion) yang terdiri atas
3 bagian, yaitu bagian tengah berupa vesikel atau eritema yang keungu-unguan,
b. Tipe Vesikobulosa
Lesi mula-mula berbentuk macula,papul dan urtika yang kemudian timbul lesi
vesikobulosa di tengahnya. Bentuk ini dapat juga mengenai selaput lendir. Lesi pada
membran mukosa terjadi pada 70% pasien dan seringkali terbatas di rongga mulut.
Universitas Sao Paolo sejak tahun 1974 hingga 2000 di dapatkan bahwa kasus
membran mukosa (9,37%). Lesi ditemukan di palatum durum. Dengan masa evolusi
Lesi oral sering muncul bersamaan dengan lesi kulit pada kira-kira 70%
pasien EM. Pada beberapa kasus, lesi oral menjadi lesi dominan atau penyakit dengan
lokasi tunggal. Saat lesi oral mendominasi dan tidak ada lesi target yang muncul pada
kulit, EM harus didiferensiasikan dari kasus ulcer multipel akut lainnya, terutama
infeksi herpes simpleks. Jika tidak terdapat lesi kulit dan terdapat lesi oral yang
ringan, diagnosis dapat menjadi sulit dan biasanya dilakukan dengan meng-ekslusi
jarang terlihat oleh klinisi karena pecah dengan cepat menjadi ulser ireguler. Infeksi
viral terlihat kecil, membulat, simetris, dan dangkal, namun pada EM lesi lebih besar,
ireguler, lebih dalam, dan sering berdarah. Lesi EM dapat terjadi di berbagai tempat
pada mukosa oral, namun lesi pada bibir lebih menonjol, dan lesi pada gingiva jarang
terjadi. Kriteria tersebut penting untuk membedakan EM dan infeksi herpes simpleks
Pada kasus yang berkembang, bibir tererosi secara luas, dan sebagian besar
epitelium mukosa oral terlihat gundul. Pasien tidak dapat makan atau menelan saliva.
Pada hari ke 2 atau 3 lesi labial mulai menjadi krusta. Proses penyembuhan terjadi
selama 2 minggu pada sebagian besar kasus, namun pada kasus yang parah,
pennyakit yang meluas dapat berlanjut hingga beberapa minggu (Greenberg and
Glick, 2002).
Gambar 2.2 Lesi krusta hemoragik pada bibir pasien erythema multiform
(http://emedicine.medscape.com/article/1122915-clinical)
2.6 Diagnosis
bulla yang memiliki dasar kemerahan. Bulla secara utuh jarang dapat dilihat oleh
klinisi karena pecah dengan cepat sehingga menjadi ulser yang irreguler. Lesi yang
disebabkan oleh virus biasanya kecil, berbentuk bulat, simetris dan dangkal, tetapi
lesi EM biasanya lebih besar, irreguler, lebih dalam dan sering berdarah (Greenberg
Lesi dari EM dapat terjadi di berbagai tempat pada mukosa oral, tetapi
keterlibatan bibir merupakan gambaran yang khas dari EM, sedangkan pada gingiva
jarang terjadi. Hal inilah yang membedakan EM dari infeksi virus herpes simplex,
karakteristik dari infeksi virus herpes simplex adalah adanya keterlibatan gingiva
secara luas termasuk papila interdental dan margin gingiva (Greenberg and Glick,
2002).
Pada kebanyakan kasus klinis, terjadi erosi yang luas pada bibir dan sebagian
besar mukosa oral kehilangan jaringan epitelium. Pasien tidak dapat makan atau
menelan dan air liur bercampur dengan darah. Antara 2- 3 hari lesi pada bibir akan
mulai menjadi krusta. Proses penyembuhan terjadi sekitar 2 minggu pada kasus
mayor, tetapi pada beberapa kasus yang parah, penyakit telah meluas, dapat berlanjut
diinduksi obat dan terkait dengan morbiditas yang tinggi dan prognosis buruk. SJS
dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) yang disebabkan obat, biasanya mulai timbul
dua sampai tiga minggu setelah mulai terapi tetapi dapat terjadi lebih cepat
Steven- Johnson Syndrome adalah salah satu tampilan klinis dari reaksi obat
yang parah pada kulit. Terdapat klasifikasi terhadap EM, SJS, dan TEN berdasarkan
variasi keparahan. EM minor biasanya self limited dan disebabkan infeksi. Drug-
induced EM, disebut EM-major, dapat berkembang menjadi SJS atau, ketika sangat
parah menjadi TEN. SJS adalah gangguan bulosa, dengan ulserasi, purpura, demam,
dan keterlibatan membran mukosa lebih dari dua lokasi, serta kulit. TEN merupakan
kondisi yang lebih parah dari SJS, dengan peluruhan kulit menyerupai luka bakar
2.8 Penatalaksanaan
terutama setelah hari ke 2-4, untuk mengurangi periode erupsi akut dan gejala. Tipe
minor pemberian kortikosteroid oral antara 20-40 mg/hari selama 4-6 hari lalu
diberikan secara tapering dosis tidak lebih dari 2 minggu. Pada tipe mayor perlu
pemberian antara 40-80 mg/hari selama 2-3 minggu. Pemberian antibiotik untuk
acyclovir 200 mg, lima kali sehari sejak terlihat pertamakali munculnya lesi atau 400
mg, empat kali sehari selama 6 bln atau melanjutkan terapi menggunakan
valacyclovir, pemberian 500 mg dua kali sehari disarankan sebagai profilaksis
(Scully, 2007)
Instruksi pada pasien untuk diet lunak, pemakaian anastesi topikal, obat
waktu demam, erupsi maupun perawatan di rumah sakit. Pada kasus ringan diberi
dingin dengan menggunakan larutan saline; pengobatan oral seperti saline kumur;
dosis awal 30-60 mg/hari, kemudian dosis diturunkan dalam 1-4 minggu. Kegunaan
kortikosteroid hingga saat ini masih diperdebatkan, namun perbaikan gejala sistemik
lamanya gejala lesi. Diberikan pada pasien dengan lesi yang muncul dalam waktu 48
jam. Pasien yang diberikan acyclovir merasakan nyeri berkurang dan penyembuhan
LAPORAN KASUS
Seorang anak perempuan berusia 13 tahun datang ke RSGM bersama ibunya dengan
keluhan keropeng pada daerah bibir yang mudah berdarah disertai sariawan pada
mulut sehingga menjadi sulit makan dan minum. Dari anamnesis, 2 hari sebelum
muncul keropeng pasien mengalami demam dan membeli obat demam di toko obat.
Pada pemeriksaan ekstra oral bibir atas dan bawah tampak krusta hemoragik.
Pemeriksaan intra oral terlihat ulser multipel ukuran lebih kurang 5 mm di bukal,
A. Pemeriksaan Subjektif
a) Data Pasien
No. RM :-
Nama : An. A
Umur : 13 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Keluhan Utama
Keluhan Tambahan
Faktor pemberat : Terasa sakit dan pedih ketika makan dan minum
Pasien tidak memiliki penyakit sistemik, tetapi sejak 2 hari lalu mengalami
demam, dan sudah meminum obat yang dibeli di toko obat (penisilin).
Tidak ada
e) Riwayat sosial
Tidak ada
B. Pemeriksaan Objektif
Tanda-tanda vital
Suhu : Afebris
Nadi : 18 x/ mnt
Pernafasan : 86 x/ mnt
Kelenjar Limfe
Konjungtiva : Normal
Sklera : Normal
Wajah : Simetris
Frenulum : Normal
Palatum : Normal
Gingiva : Normal
Uvula : Normal
Tonsil : Normal
48 47 46 45 44 43 42 41 31 32 33 34 35 36 37 38
Keterangan:
C. Pemeriksaan Penunjang
D. Diagnosa
Karena: pada bibir pasien terdapat gambaran krusta hemoragik, multiple, sakit
dan mudah berdarah terjadi setelah 2 hari lalu pasien mengonsumsi obat demam
E. Diagnosa Banding
F. Rencana Perawatan
a. Non-Farmakologis
Operator menjelaskan bahwa kondisi tersebut tidak berbahaya dan tidak akan
berlanjut keganasan.
Pasien di instruksikan untuk memberikan obat salep pada sariawan yang juga
0,5%) salep dengan dioleskan pada daerah yang sakit 3 kali sehari, obat
membersihkan luka, dan mengganti obat penisilin dengan ibu profen yang
dikonsumsi 2 kali sehari serta pemberian vitamin yang diminum satu kali
sehari.
b. Farmakologis
Acetonide) dan mengganti obat penisilin dengan ibu profen, obat kumur
Pro : An. A
Umur : 16 tahun
BAB IV
PEMBAHASAN
diagnosis yang ditegakkan pada pasien ini adalah drug induced erythema multiform
e.c susp penisilin. Anamnesis yang dilakukan pada ibu pasien, keluhan keropeng
pada bibir dan mulut sejak 2 hari yang lalu setelah konsumsi obat penisilin untuk obat
demam, sehingga pasien menjadi sulit makan. Pada pemeriksaan intra oral, terdapat
lesi erosif yang ditutupi selaput putih kekuningan yang mudah berdarah juga terasa
sakit.
Lesi berupa ulser yang ditemukan pada pasien ini merupakan ciri khas
erythema multiform yaitu ulser yang irreguler, dalam, dan mudah berdarah. Selain itu,
adanya keterlibatan dari bibir dan mukosa labial, tetapi tidak ditemukan adanya
keterlibatan dari gingiva, hal ini memperkuat diagnosis erythema multiform. Lesi
erosif ditemukan pada bibir pasien dan sebagian besar mukosa oral kehilangan
jaringan epitelium. Lesi rongga mulut pada pasien erythema multiform awalnya
adalah daerah kemerahan, lalu berkembang menjadi vesikel dan bulla. Vesikel dan
bulla yang pecah meninggalkan daerah erosif yang ditutupi pseudomembran putih
dan krusta akibat perdarahan. Pasien datang dengan kondisi bibir dan mulut bengkak
sudah 2 hari, sehingga lesi pada bibir pasien sudah menjadi krusta, sesuai dengan
teori yang menyebutkan lesi pada bibir akan berubah menjadi krusta pada 2- 3 hari.
Krusta terjadi ketika papula, pustula, vesikel/ bulla pecah dan cairan di dalamnya
mengering.
Terapi yang diberikan kepada pasien ini adalah, KIE (membersihkan gigi
pemakaian kenalog in orabase 3x/ hari, dan diberikan ibuprofen sebagai pengganti
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
limited yang melibatkan kulit dan membran mukosa. Kelainan ini biasanya rekuren,
yang luas dan adanya eksudat. Paling khas pada bibir dan tidak ada keterlibatan dari
gingiva, dengan ciri khas lesi yang memiliki bentuk seperti iris/ lesi target. Lesi
diawali dengan bulla, namun berubah menjadi ulser irreguler yang besar, dalam, juga
mudah berdarah.
etiologinya, apabila disebabkan oleh obat- obatan, maka penggunaan obat- obatan
yang dicurigai memicu kelainan ini harus dihentikan. Pada konsumsi obat penisilin
dan vitamin, sedangkan untuk lesi pada bibir dirawat dengan menggunakan kenalog
Greenberg, M. S., Glick, M., Ship, J. A., & ebrary, I. 2008. Burket's oral
medicine(Eleventh edition.). Hamilton, Ont.: BC Decker.
Hafsi W, Badri T. Erythema Multiforme. In: Stat Pearls [Internet]. Treasure Island
(FL): Stat Pearls Publishing; 2020 Jan. Tersedia pada:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/ NBK470259/
Lynch MA, Brightman VJ, Greenbarg MS. 1994. Ilmu Penyakit Mulut, alih bahasa
Sianita Kurniawan, drg. Jakarta: Binarupa aksara. 205-39.
Scully, C., 2008. Oral and Maxillofacial Medicine. 2nd Edition. London: Elsevier.
Shah, Shreyas; Girish Chauhan; B>S Manjunatha; dan Kapil Dagrus. 2014. Drug
Induced Erythema Multiforme: Two Cases Series with Review of
Literature. Journal of Clinical and Diagnostic Research.Vol.8(8): ZH01-
ZH04.