FRS ANGKATAN 36
DISUSUN OLEH:
JAKARTA
2021
STUDI KASUS
I. PENDAHULUAN
Eritema multiforme (EM) pertama kali dideskripsikan dengan istilah eritema
eksudativum multiforme oleh Ferdinand von Hebra pada tahun 1866 sebagai kondisi
mukokutaneus akut yang dapat sembuh sendiri dan seringkali berulang, ditandai oleh lesi
kulit terutama pada ekstremitas, dengan lesi target konsentris yang khas pada kulit dan
membran mukosa.
Erithema Multiformis (EM) merupakan penyakit akut yang terjadi pada
mukokutaneus dengan gambaran klinis berupa erupsi polymorphous yang terdiri dari
makula, papula, bula dan krusta, dapat disertai adanya lesi target di tengah lesi. Eritema
multiformis termasuk dalam golongan penyakit keradangan akibat reaksi hipersensitivitas
akut, dan bersifat self-limiting yang terjadi pada mukokutan, dengan etiologi yang
bermacam-macam. Karakter utama EM adalah adanya lesi pada kulit, dengan atau tanpa
lesi pada ronga mulut atau membran mukus yang lain. Reaksi hipersensitivitas adalah
penyebab utama timbulnya EM. Namun pemicunya bisa bermacam-macam, diantaranya
adalah infeksi virus Herpes Simpleks, walaupun virus herpes yang lain dapat juga
menjadi pemicunya. Varisela Zoster, Cytomegalovirus dan Epstein Barr virus juga bisa
menjadi pemicu terjadinya EM2.
Obat-obatan tertentu, infeksi, kondisi imun penderita dan bahan-bahan tambahan
pada makanan dapat memicu timbulnya EM. Penyakit ini, terutama timbul pada dewasa
muda (20-40 tahun) dan sekitar 20% kasus EM terjadi pada anak-anak. Lebih banyak
terjadi pada perempuan daripada laki-laki, dan sekitar 70% kasus EM didahului oleh
infeksi virus herpes. Pada awalnya, EM muncul sebagai gejala akut, biasanya ringan
tanpa adanya gejala prodromal. Demam, limfadenopati, malaise, sakit kepala, batuk, sakit
tenggorokan dan polyarthragia biasanya muncul satu minggu sebelum timbulnya eritema
atau blisters.
Eritema multiformis (EM) merupakan kondisi dengan gambaran lesi yang
bermacam-macam. Lesi yang muncul mempunyai gambaran makula merah irreguler,
papula dan vesikula yang bergabung menjadi satu, membentuk suatu plak yang besar
pada kulit. Selain itu, krusta dan blisters biasanya muncul di tengah lesi yang
memberikan gambaran lesi target (bull’s eye). Lesi oral biasanya muncul sebagai makula
merah pada bibir dan mukosa bukal, nekrosis epitel, bula dan ulserasi dengan batas
ireguler, serta biasanya terlihat adanya inflammatory halo. Salah satu pemicu terjadinya
EM adalah infeksi virus, terutama virus herpes simpleks (HSV), dan disebut sebagai
Herpes Associated Erythema Multiforme (HAEM).
II. ETIOLOGI
Etiologi eritema multiforme sebesar 50% bersifat idiopatik dan yang lainnya
disebabkan oleh proses infeksi maupun reaksi hipersensitivitas akibat obat-obatan.
Infeksi yang paling sering menyebabkan eritema multiforme adalah infeksi virus herpes
simpleks (HSV) tipe 1 dan 2, M. pneumoniae, dan infeksi jamur. Sementara itu, obat
yang pernah dilaporkan mencetuskan eritema multiforme antara lain golongan
barbiturat, obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), penicillin, phenothiazine, dan
sulfonamida.
Virus herpes simpleks (HSV), baik HSV1 dan HSV2 dapat memicu timbulnya
HAEM. Sebanyak 66,7% kasus lesi kutan pada HAEM terdapat infeksi HSV1, 27,8%
terdapat infeksi HSV2 dan infeksi keduanya pada 5,6% kasus HAEM. Herpes associated
erythema multiforme (HAEM) merupakan penyakit kambuhan (rekuren), dapat dipicu
oleh paparan sinar matahari dan tidak bisa meningkat menjadi steven-johnson syndrome.
Penyebab lain EM terkait infeksi adalah Mycoplasma pneumoniae, virus orf, virus
Epstein-Barr, virus varisela zoster, virus hepatitis B dan C, parvovirus B19,
sitomegalovirus, serta infeksi jamur dan parasit. EM juga dapat terjadi akibat imunisasi,
obat-obatan, penyakit autoimun, radiasi dan menstruasi, serta idiopatik pada kasus yang
tidak dapat dideteksi keterkaitannya dengan infeksi HSV maupun penyebab lain. Obat
merupakan penyebab yang jarang pada EM, sebagian literatur melaporkan yang
berhubungan dengan obat harus dipertimbangkan kemiripannya dengan penyakit lain
seperti erupsi urtikaria anular atau makulopapuler dengan beberapa lesi menyerupai lesi
target. Obat yang paling sering mengakibatkan EM adalah antibiotik terutama golongan
sulfa dan beta laktam, antikonvulsan fenitoin dan karbamazepin, alopurinol, obat anti
inflamasi nonsteroid serta obat anti diabetik oral. Belum ada data mengenai jangka waktu
mulai dari dikonsumsinya obat hingga terjadinya EM, namun beberapa penelitian dan
laporan kasus melaporkan bahwa gejala EM mulai timbul antara 2 hingga 20 hari setelah
obat dikonsumsi.
III. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi eritema multiforme dikaitkan dengan reaksi hipersensitivitas akibat
paparan agen infeksius atau obat. Terdapat dua tipe eritema multiforme, yaitu tipe minor
dan mayor. Tipe minor merupakan gambaran eritema multiforme tanpa atau dengan
adanya satu lesi di membran mukosa, sementara tipe mayor menggambarkan eritema
multiforme yang melibatkan dua atau lebih membran mukosa.
Manifestasi klinis EM dapat bervariasi mulai dari EM minor yang bersifat ringan
tanpa keterlibatan membran mukosa atau keterlibatan minimal seperti pada bibir dan EM
mayor yang bersifat lebih berat, luas, progresif, disertai keterlibatan mukosa pada dua
lokasi atau lebih. Klasifikasi lainnya adalah HAEM yang telah dijelaskan sebelumnya
dan EM mukosa yang disebut juga sebagai sindrom Fuchs atau ektodermosis
pluriorifisialis yang ditandai dengan adanya lesi membran mukosa tanpa keterlibatan
kutaneus.
V. DIAGNOSIS
Secara klinis, lesi virus HSV muncul 2-17 hari mendahului lesi target pada HAEM.
Gejala prodromal nonspesifik seperti headache,malaise dan demam mendahului lesi pada
HAEM. Lesinya dapat persisten, cyclical (acute dan self-limiting) dan rekuren. Lesi yang
rekuren dan cyclical terutama terjadi pada HAEM. Bibir merupakan tempat utama
munculnya lesi dari infeksi HSV pada HAEM.
Diagnosis HAEM ditegakkan secara klinis dan lebih mudah dikenali apabila ada lesi
target yang didahului oleh lesi dari infeksi HSV. Lesi yang khas pada kutan dan mukosa
atau keduanya, mendukung diagnosis klinis HAEM.
VI. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan HAEM tergantung dari tingkat keparahan lesi. Kasus yang
diindikasikan untuk rawat inap antara lain HAEM minor dengan keterlibatan lesi oral
yang cukup berat sehingga menyebabkan gangguan makan, pada kasus HAEM yang
ringan tidak diperlukan adanya pengobatan. Pemberian anti nyeri, perawatan pada lesi
bibir, dan pemberian imunomudulator serta diet makanan (terutama makanan cair)
dengan gizi seimbang memainkan peran penting pada kasus ini. Pemberian parasetamol
bertujuan sebagai relief of pain. Pemberian acyclovir merupakan pengobatan utama pada
HAEM. Acyclovir, selain sebagai anti virus, juga berperan dalam mempercepat
penyembuhan lesi.
HAEM mayor, kecurigaan ke arah SSJ atau HAEM dengan gejala konstitusional
berat. Terapi yang diberikan adalah perawatan luka, analgesik topikal, cairan intravena
atau diet cair, antihistamin oral dan steroid topikal. Kortikosteroid sistemik telah banyak
diteliti sebagai terapi adjuvan karena efek imunosupresan yang dimilikinya bermanfaat
pada reaksi hipersensitivitas yang terjadi pada HAEM walaupun penggunaannya pada
HAEM masih kontroversial akibat komplikasi yang dapat ditimbulkannya.
STUDI KASUS
Dari pemeriksaan klinis IgG anti HSV1 dinyatakan reactive yaitu 3,2 dengan nilai
rujukan non-reactive < 1,1. Gambar terlampir
Terapi awal diberikan obat parasetamol 500mg, acyclovir 400 mg, obat
imunodulator, antibiotik doxycyclin 500 mg, vaselin dan basis gel oles tipis pada
bibir.
Pada hari ke-14, keluhan pasien sudah sembuh dan bisa beraktivitas normal kembali.
Obat dikonsumsi sesuai dosis dan menjalankan anjuran. Pasien dinyatakan sembuh dan
perawatan selesai.
KESIMPULAN
Farmakokinetika bayi.
Absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi pada bayi berbeda nyata dengan orang
dewasa. Kecepatan absorpsi lewat saluran cerna lebih rendah, misalnya absorpsi fenobarbital,
fenitoin, asetaminofen dan Distribusi obat juga akan berbeda karena rendahnya protein
plasma, volume cairan tubuh yang lebih besar dari orang dewasa. Metabolisme obat juga
rendah karena aktivitas enzim yang rendah . Ekskresi lewat renal pada awal kehidupan masih
rendah dan akan meningkat dalam beberapa bulan. Selain banyaknya obat yang diminum
oleh bayi melalui ASI, juga kinetika obat pada bayi menentukan akibat yang ditimbulkan
oleh obat. Yang perlu diperhatikan adalah bila efek yang tidak diinginkan tidak bergantung
dari banyaknya obat yang diminum, misalnya reaksi alergi, maka sedikit atau banyaknya ASI
yang diminum bayi menjadi tidak penting, tetapi apakah si bayi meminum atau tidak
meminum ASI menjadi lebih penting.
B. Farmakodinamika.
Mekanisme kerja obat pada ibu menyusui dapat dikatakan tidak berbeda. Sedangkan
farmakodinamik obat pada bayi masih sangat terbatas dipelajari. Kemungkinan sensitivitas
reseptor pada bayi lebih rendah, sebagai contoh, dari hasil penelitian bahwa sensitivitas d-
tubokurarin meningkat pada bayi.
3. Paracetamol menurut pedoman Pelayanan Farmasi untuk Ibu Hamil dan Menyusui
depkes 2006 termasuk kedalam kategori A yaitu relatif aman.
Selain itu, imunodulator diberikan untuk meningkatkan kekebalan tubuh terhadap
penyakit dengan cara merangsang produksi sel T (limfosit T), meningkatkan fungsi T-
killer cell, mendukung fungsi sel NK (Natural Killer), peningkatan aktivitas limfosit B
dan peningkatan produksi imunoglobulin, serta intensifikasi aktivitas. fagositik. Jadi,
respons imun tubuh yang meningkat adalah sistem imunitas seluler dan humoral. Selain
itu, imunomudulator juga sebagai suplemen untuk meningkatkan nafsu makan sehingga
membantu meningkatkan asupan makanan sebagai terapi suportif untuk HAEM.
Diagnosis dan pemeriksaan klinis yang tepat merupakan kunci utama pengobatan
HAEM, penanganan yang cepat mempunyai peran yang penting dalam tatalaksana
HAEM. Pemeriksaan penunjang laboratorium juga penting dalam penegakkan diagnosis,
pada kasus ini, hasil pemeriksaan immunologis menunjukkan IgG spesifik HSV-1 positif.
Sehingga diagnosis definitif HAEM dapat ditegakkan. Pengenalan dan eliminasi faktor
etiologi merupakan faktor penting dalam pengobatan HAEM. Informasi dan pemeriksaan
terhadap riwayat alergi, pemakaian obat dan infeksi virus merupakan faktor-faktor yang
harus dikenali dalam pengobatan HAEM. Terapi suportif, pemberian antivirus pada awal
fase timbul lesi dan relief of pain adalah pengobatan utama HAEM.
DAFTAR PUSTAKA