Anda di halaman 1dari 13

TUGAS FARMASI KLINIK

FRS ANGKATAN 36

DISUSUN OLEH:

1. EDWINA DHARMAWATI (5420220042)


2. NURLELA (5420220004)
3. RIZKI KURNIATI (5420220046)
4. HASNA NISRINA (5420220045)
5. CANDRA JUNAEDI (5420220013)

JAKARTA

2021
STUDI KASUS

HERPES ASSOCIATED ERHYTEMA MULTIFORM (HAEM)

PADA IBU MENYUSUI

I. PENDAHULUAN
Eritema multiforme (EM) pertama kali dideskripsikan dengan istilah eritema
eksudativum multiforme oleh Ferdinand von Hebra pada tahun 1866 sebagai kondisi
mukokutaneus akut yang dapat sembuh sendiri dan seringkali berulang, ditandai oleh lesi
kulit terutama pada ekstremitas, dengan lesi target konsentris yang khas pada kulit dan
membran mukosa.
Erithema Multiformis (EM) merupakan penyakit akut yang terjadi pada
mukokutaneus dengan gambaran klinis berupa erupsi polymorphous yang terdiri dari
makula, papula, bula dan krusta, dapat disertai adanya lesi target di tengah lesi. Eritema
multiformis termasuk dalam golongan penyakit keradangan akibat reaksi hipersensitivitas
akut, dan bersifat self-limiting yang terjadi pada mukokutan, dengan etiologi yang
bermacam-macam. Karakter utama EM adalah adanya lesi pada kulit, dengan atau tanpa
lesi pada ronga mulut atau membran mukus yang lain. Reaksi hipersensitivitas adalah
penyebab utama timbulnya EM. Namun pemicunya bisa bermacam-macam, diantaranya
adalah infeksi virus Herpes Simpleks, walaupun virus herpes yang lain dapat juga
menjadi pemicunya. Varisela Zoster, Cytomegalovirus dan Epstein Barr virus juga bisa
menjadi pemicu terjadinya EM2.
Obat-obatan tertentu, infeksi, kondisi imun penderita dan bahan-bahan tambahan
pada makanan dapat memicu timbulnya EM. Penyakit ini, terutama timbul pada dewasa
muda (20-40 tahun) dan sekitar 20% kasus EM terjadi pada anak-anak. Lebih banyak
terjadi pada perempuan daripada laki-laki, dan sekitar 70% kasus EM didahului oleh
infeksi virus herpes. Pada awalnya, EM muncul sebagai gejala akut, biasanya ringan
tanpa adanya gejala prodromal. Demam, limfadenopati, malaise, sakit kepala, batuk, sakit
tenggorokan dan polyarthragia biasanya muncul satu minggu sebelum timbulnya eritema
atau blisters.
Eritema multiformis (EM) merupakan kondisi dengan gambaran lesi yang
bermacam-macam. Lesi yang muncul mempunyai gambaran makula merah irreguler,
papula dan vesikula yang bergabung menjadi satu, membentuk suatu plak yang besar
pada kulit. Selain itu, krusta dan blisters biasanya muncul di tengah lesi yang
memberikan gambaran lesi target (bull’s eye). Lesi oral biasanya muncul sebagai makula
merah pada bibir dan mukosa bukal, nekrosis epitel, bula dan ulserasi dengan batas
ireguler, serta biasanya terlihat adanya inflammatory halo. Salah satu pemicu terjadinya
EM adalah infeksi virus, terutama virus herpes simpleks (HSV), dan disebut sebagai
Herpes Associated Erythema Multiforme (HAEM).

II. ETIOLOGI
Etiologi eritema multiforme sebesar 50% bersifat idiopatik dan yang lainnya
disebabkan oleh proses infeksi maupun reaksi hipersensitivitas akibat obat-obatan.
Infeksi yang paling sering menyebabkan eritema multiforme adalah infeksi virus herpes
simpleks (HSV) tipe 1 dan 2, M. pneumoniae, dan infeksi jamur. Sementara itu, obat
yang pernah dilaporkan mencetuskan eritema multiforme antara lain golongan
barbiturat, obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), penicillin, phenothiazine,  dan
sulfonamida.
Virus herpes simpleks (HSV), baik HSV1 dan HSV2 dapat memicu timbulnya
HAEM. Sebanyak 66,7% kasus lesi kutan pada HAEM terdapat infeksi HSV1, 27,8%
terdapat infeksi HSV2 dan infeksi keduanya pada 5,6% kasus HAEM. Herpes associated
erythema multiforme (HAEM) merupakan penyakit kambuhan (rekuren), dapat dipicu
oleh paparan sinar matahari dan tidak bisa meningkat menjadi steven-johnson syndrome.
Penyebab lain EM terkait infeksi adalah Mycoplasma pneumoniae, virus orf, virus
Epstein-Barr, virus varisela zoster, virus hepatitis B dan C, parvovirus B19,
sitomegalovirus, serta infeksi jamur dan parasit. EM juga dapat terjadi akibat imunisasi,
obat-obatan, penyakit autoimun, radiasi dan menstruasi, serta idiopatik pada kasus yang
tidak dapat dideteksi keterkaitannya dengan infeksi HSV maupun penyebab lain. Obat
merupakan penyebab yang jarang pada EM, sebagian literatur melaporkan yang
berhubungan dengan obat harus dipertimbangkan kemiripannya dengan penyakit lain
seperti erupsi urtikaria anular atau makulopapuler dengan beberapa lesi menyerupai lesi
target. Obat yang paling sering mengakibatkan EM adalah antibiotik terutama golongan
sulfa dan beta laktam, antikonvulsan fenitoin dan karbamazepin, alopurinol, obat anti
inflamasi nonsteroid serta obat anti diabetik oral. Belum ada data mengenai jangka waktu
mulai dari dikonsumsinya obat hingga terjadinya EM, namun beberapa penelitian dan
laporan kasus melaporkan bahwa gejala EM mulai timbul antara 2 hingga 20 hari setelah
obat dikonsumsi.

III. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi eritema multiforme dikaitkan dengan reaksi hipersensitivitas akibat
paparan agen infeksius atau obat. Terdapat dua tipe eritema multiforme, yaitu tipe minor
dan mayor. Tipe minor merupakan gambaran eritema multiforme tanpa atau dengan
adanya satu lesi di membran mukosa, sementara tipe mayor menggambarkan eritema
multiforme yang melibatkan dua atau lebih membran mukosa.
Manifestasi klinis EM dapat bervariasi mulai dari EM minor yang bersifat ringan
tanpa keterlibatan membran mukosa atau keterlibatan minimal seperti pada bibir dan EM
mayor yang bersifat lebih berat, luas, progresif, disertai keterlibatan mukosa pada dua
lokasi atau lebih. Klasifikasi lainnya adalah HAEM yang telah dijelaskan sebelumnya
dan EM mukosa yang disebut juga sebagai sindrom Fuchs atau ektodermosis
pluriorifisialis yang ditandai dengan adanya lesi membran mukosa tanpa keterlibatan
kutaneus.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Penelusuran penyebab EM diutamakan pada beberapa etiologi yang sering, yaitu
dengan mengidentifikasi riwayat herpes berulang dan pemeriksaan penunjang untuk
mendeteksi infeksi HSV, riwayat konsumsi obat, serta pemeriksaan untuk mendeteksi
infeksi M. pneumoniae. Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi IgM dan IgG
spesifik HSV-1 dan HSV-2 maupun pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) untuk
mendeteksi DNA HSV pada lesi HAEM dapat mengkonfirmasi kecurigaan adanya
infeksi HSV, walaupun tidak wajib dilakukan dalam penegakan diagnosis. Hasil negatif
dari tes serologi HSV dapat membantu menyingkirkan kemungkinan HAEM.

V. DIAGNOSIS
Secara klinis, lesi virus HSV muncul 2-17 hari mendahului lesi target pada HAEM.
Gejala prodromal nonspesifik seperti headache,malaise dan demam mendahului lesi pada
HAEM. Lesinya dapat persisten, cyclical (acute dan self-limiting) dan rekuren. Lesi yang
rekuren dan cyclical terutama terjadi pada HAEM. Bibir merupakan tempat utama
munculnya lesi dari infeksi HSV pada HAEM.
Diagnosis HAEM ditegakkan secara klinis dan lebih mudah dikenali apabila ada lesi
target yang didahului oleh lesi dari infeksi HSV. Lesi yang khas pada kutan dan mukosa
atau keduanya, mendukung diagnosis klinis HAEM.

VI. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan HAEM tergantung dari tingkat keparahan lesi. Kasus yang
diindikasikan untuk rawat inap antara lain HAEM minor dengan keterlibatan lesi oral
yang cukup berat sehingga menyebabkan gangguan makan, pada kasus HAEM yang
ringan tidak diperlukan adanya pengobatan. Pemberian anti nyeri, perawatan pada lesi
bibir, dan pemberian imunomudulator serta diet makanan (terutama makanan cair)
dengan gizi seimbang memainkan peran penting pada kasus ini. Pemberian parasetamol
bertujuan sebagai relief of pain. Pemberian acyclovir merupakan pengobatan utama pada
HAEM. Acyclovir, selain sebagai anti virus, juga berperan dalam mempercepat
penyembuhan lesi.
HAEM mayor, kecurigaan ke arah SSJ atau HAEM dengan gejala konstitusional
berat. Terapi yang diberikan adalah perawatan luka, analgesik topikal, cairan intravena
atau diet cair, antihistamin oral dan steroid topikal. Kortikosteroid sistemik telah banyak
diteliti sebagai terapi adjuvan karena efek imunosupresan yang dimilikinya bermanfaat
pada reaksi hipersensitivitas yang terjadi pada HAEM walaupun penggunaannya pada
HAEM masih kontroversial akibat komplikasi yang dapat ditimbulkannya.
STUDI KASUS

Seorang perempuan berusia 27 tahun, datang ke poliklinik Rumah Sakit


Bhayangkara lemdiklat polri dengan keluhan bibir melepuh dan terasa sakit sejak 3 hari
sebelumnya. Keluhan muncul tiba-tiba dan terasa sakit hingga tidak bisa makan dan
mengganggu aktivitas bicara. Sebelum luka dan sariawan di bibir timbul, pasien merasa
demam dan sakit tenggorokan serta badan terasa lemas. Keluhan berlangsung beberapa
hari sebelum timbul luka di bibir. Sudah diobati oleh dokter umum namun belum
sembuh. Pasien sudah menggunakan obat oles steroid untuk mengobati lukanya.
Menurut anamnesis, adik pasien juga sedang mengalami demam dan cacar. Pasien
masih memberikan anaknya ASI ekslusif dengan usia bayi 3 bulan, memiliki riwayat
asma yang didapat dari ayahnya yang juga menderita asma dan alergi seafood. Secara
klinis terlihat krusta kuning kemerahan, ulserasi, erosi pada bibir bawah dan vesicle pada
pipi kiri. Gambar terlampir.
 Data Objektif
Tekanan darah : 100/80 mmHg
Nadi : 90x/ menit
Suhu : 36,8 0C
Pemeriksaan Klinis :
 IgG anti HSV1 3,2
 IgM anti HSV1 0,26
 IgG anti HSV2 0,24
 IgM anti HSV2 0,21

Dari pemeriksaan klinis IgG anti HSV1 dinyatakan reactive yaitu 3,2 dengan nilai
rujukan non-reactive < 1,1. Gambar terlampir
Terapi awal diberikan obat parasetamol 500mg, acyclovir 400 mg, obat
imunodulator, antibiotik doxycyclin 500 mg, vaselin dan basis gel oles tipis pada
bibir.

Pada hari ke-14, keluhan pasien sudah sembuh dan bisa beraktivitas normal kembali.
Obat dikonsumsi sesuai dosis dan menjalankan anjuran. Pasien dinyatakan sembuh dan
perawatan selesai.

KESIMPULAN

Herpes-associated Erythema Multiform (HAEM) pada kasus ini merupakan


HAEM minor yang hanya terbatas pada bibir dan mukosa oral saja. Patogenesis HAEM
masih menjadi perdebatan dan beberapa literatur menyebutkan bahwa etiopatogenesis
HAEM masih belum jelas hingga sekarang. Namun beberapa teori mengenai
etiopatogenesis HAEM juga berkembang. Patogenesis HAEM. termasuk ke dalam reaksi
hipersensitivitas tipe 4 atau disebut juga sebagai delayed-type hypersensitivity. HAEM
tidak menularkan melalui ASI sehingga ibu masih dapat menyusui bayinya, tapi ibu harus
tetap berhati-hati agar bayi tidak terkena luka dari HAEM tersebut, disarankan untuk
memakai masker dan tidak mencium sang bayi sebelum pasien dinyatakan sembuh.
Pengobatan pada HAEM tergantung dari keparahan dari gambaran klinis yang
muncul. Pada kasus ini, merupakan tergolong kasus HAEM yang ringan, pada umumnya
dapat sembuh dalam 2 minggu. Beberapa ahli menyebutkan, pada kasus EM yang ringan
tidak diperlukan adanya pengobatan. Pemberian anti nyeri, perawatan pada lesi bibir, dan
pemberian imunomudulator serta diet makanan (terutama makanan cair) dengan gizi
seimbang memainkan peran penting pada kasus ini.
Pemberian parasetamol bertujuan sebagai relief of pain dan Pemberian acyclovir
merupakan pengobatan utama pada HAEM. Acyclovir, selain sebagai anti virus, juga
berperan dalam mempercepat penyembuhan lesi, dan termasuk kategori B yaitu aman
untuk ibu hamil dan menyusui.
Sedangkan pemeriksaan IgG HSV1 atau Herpes Simplex Virus tipe 1 (HSV1)
atau oral herpes merupakan infeksi herpes yang sering terjadi pada sekitar mulut dan
wajah, ditandai dengan adanya cold sores dan fever blisters. Infeksi HSV1 dapat
ditularkan melalui kontak langsung, dan infeksi ini akan menetap seumur hidup. Sebagian
dari HSV1 juga dapat menyerang genital (alat kelamin atau daerah anal). Pemeriksaan
Anti-HSV1 IgG mendeteksi antibodi IgG terhadap HSV1. Antibodi IgG merupakan
antibodi yang muncul setelah IgM dan bisa menetap seumur hidup. Pemeriksaan Anti-
HSV1 membutuhkan sampel darah yang diambil dari pembuluh darah vena di lengan.
Pemeriksaan ini bermanfaat untuk mengetahui adanya infeksi lampau, namun
peningkatan anti HSV1 IgG yang signifikan dalam interval waktu tertentu
mengindikasikan adanya infeksi aktif atau infeksi baru. IgG negatif menunjukkan bahwa
seseorang belum pernah terpapar HSV atau tubuhnya belum mampu memproduksi
antibodi HSV.

Farmakokinetika dan Farmakodinamik Pada Menyusui


A. Farmakokinetika
Hampir semua obat yang diminum perempuan menyusui terdeteksi didalam ASI ,
untungnya konsentrasi obat di ASI umumnya rendah. Konsentrasi obat dalam darah ibu
adalah faktor utama yang berperan pada proses transfer obat ke ASI selain dari faktor-faktor
fisiko-kimia obat. Volume darah/cairan tubuh dan curah jantung yang meningkat pada
kehamilan akan kembali normal setelah 1 bulan melahirkan. Karena itu pemberian obat
secara kronik mungkin memerlukan penyesuaian dosis.
Obat yang larut dalam lemak, yang non-polar dan yang tidak terion akan mudah
melewati membran sel alveoli dan kapiler susu. Obat yang ukurannya kecil (< 200 Dalton)
akan mudah melewati pori membran epitel susu. Obat yang terikat dengan protein plasma
tidak dapat melewati membran, hanya obat yang tidak terikat yang dapat melewatinya.
Plasma relatif sedikit lebih basa dari ASI. Karena itu obat yang bersifat basa lemah di
plasma akan lebih banyak dalam bentuk tidak terionisasi dan mudah menembus membran
alveoli dan kapiler susu. Sesampainya di ASI obat yang bersifat basa tersebut akan mudah
terion sehingga tidak mudah untuk melewati membran kembali ke plasma. Fenomena
tersebut dikenal sebagai ion trapping.
Rasio M:P adalah perbandingan antara konsentrasi obat di ASI dan di plasma ibu.
Rasio M:P yang >1 menunjukkan bahwa obat banyak berpindah ke ASI , sebaliknya rasio
M:P < 1 menunjukkan bahwa obat sedikit berpindah ke ASI.
Pada umumnya kadar puncak obat di ASI adalah sekitar 1- 3 jam sesudah ibu
meminum obat. Hal ini mungkin dapat membantu mempertimbangkan untuk tidak
memberikan ASI pada kadar puncak. Bila ibu menyusui tetap harus meminum obat yang
potensial toksik terhadap bayinya maka untuk sementara.
ASI tidak diberikan tetapi tetap harus di pompa. ASI dapat diberikan kembali setelah
dapat dikatakan tubuh bersih dari obat dan ini dapat diperhitungkan setelah 5 kali waktu
paruh obat.
Rasio benefit dan risiko penggunaan obat pada ibu menyusui dapat dinilai dengan
mempertimbangkan :
1. Farmakologi obat: reaksi yang tidak dikehendaki
2. Adanya metabolit aktif
3. Multi obat : adisi efek samping
4. Dosis dan lamanya terapi
5. Umur bayi.
6. Pengalaman/bukti klinik
7. Farmakoepidemiologi data.

Farmakokinetika bayi.
Absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi pada bayi berbeda nyata dengan orang
dewasa. Kecepatan absorpsi lewat saluran cerna lebih rendah, misalnya absorpsi fenobarbital,
fenitoin, asetaminofen dan Distribusi obat juga akan berbeda karena rendahnya protein
plasma, volume cairan tubuh yang lebih besar dari orang dewasa. Metabolisme obat juga
rendah karena aktivitas enzim yang rendah . Ekskresi lewat renal pada awal kehidupan masih
rendah dan akan meningkat dalam beberapa bulan. Selain banyaknya obat yang diminum
oleh bayi melalui ASI, juga kinetika obat pada bayi menentukan akibat yang ditimbulkan
oleh obat. Yang perlu diperhatikan adalah bila efek yang tidak diinginkan tidak bergantung
dari banyaknya obat yang diminum, misalnya reaksi alergi, maka sedikit atau banyaknya ASI
yang diminum bayi menjadi tidak penting, tetapi apakah si bayi meminum atau tidak
meminum ASI menjadi lebih penting.

B. Farmakodinamika.
Mekanisme kerja obat pada ibu menyusui dapat dikatakan tidak berbeda. Sedangkan
farmakodinamik obat pada bayi masih sangat terbatas dipelajari. Kemungkinan sensitivitas
reseptor pada bayi lebih rendah, sebagai contoh, dari hasil penelitian bahwa sensitivitas d-
tubokurarin meningkat pada bayi.

Informasi terkait terapi yang didapat pasien :


1. Acyclovir menurut pedoman Pelayanan Farmasi untuk Ibu Hamil dan Menyusui
depkes 2006 termasuk kedalam kategori A yaitu relatif aman dengan konsentrasi
rendah didalam ASI dan efek pada bayi kompatibel, terkonsentrasi dalam ASI.
Dimana untuk ibu menyusui terdapat beberapa kategori terkait keamanan obat yaitu :
Kategori A : Relatif Aman
Kategori B : Membutuhkan perhatian
Kategori C : Tidak diketahui
Kategori D : Kontraindikasi

2. Golongan tetrasiklin diekskresikan melalui ASI. Absorpsi doxycycline pada bayi


menyusui masih belum diketahui jumlahnya. Penggunaan doxycycline pada
wanita menyusui dalam jangka waktu yang pendek tidak sepenuhnya
dikontraindikasikan, namun penggunaan jangka waktu panjang belum banyak
diteliti.

3. Paracetamol menurut pedoman Pelayanan Farmasi untuk Ibu Hamil dan Menyusui
depkes 2006 termasuk kedalam kategori A yaitu relatif aman.
Selain itu, imunodulator diberikan untuk meningkatkan kekebalan tubuh terhadap
penyakit dengan cara merangsang produksi sel T (limfosit T), meningkatkan fungsi T-
killer cell, mendukung fungsi sel NK (Natural Killer), peningkatan aktivitas limfosit B
dan peningkatan produksi imunoglobulin, serta intensifikasi aktivitas. fagositik. Jadi,
respons imun tubuh yang meningkat adalah sistem imunitas seluler dan humoral. Selain
itu, imunomudulator juga sebagai suplemen untuk meningkatkan nafsu makan sehingga
membantu meningkatkan asupan makanan sebagai terapi suportif untuk HAEM.
Diagnosis dan pemeriksaan klinis yang tepat merupakan kunci utama pengobatan
HAEM, penanganan yang cepat mempunyai peran yang penting dalam tatalaksana
HAEM. Pemeriksaan penunjang laboratorium juga penting dalam penegakkan diagnosis,
pada kasus ini, hasil pemeriksaan immunologis menunjukkan IgG spesifik HSV-1 positif.
Sehingga diagnosis definitif HAEM dapat ditegakkan. Pengenalan dan eliminasi faktor
etiologi merupakan faktor penting dalam pengobatan HAEM. Informasi dan pemeriksaan
terhadap riwayat alergi, pemakaian obat dan infeksi virus merupakan faktor-faktor yang
harus dikenali dalam pengobatan HAEM. Terapi suportif, pemberian antivirus pada awal
fase timbul lesi dan relief of pain adalah pengobatan utama HAEM.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hidayat LH. HERPES ASSOCIATED-ERYTHEMA MULTIFORME ( HAEM )


IN YOUNG ADULT. 2018;5:152–6.
2. Limbara EN. Eritema multiforme mayor pada anak diduga disebabkan oleh
parasetamoldan herbal. 2017;1–19.
3. Nuraeny N, Padjadjaran U, Sufiawati I, Padjadjaran U. Herpes Associated
Erythema Multiforme ( Laporan Kasus ). 2020;(November).
4. Setya Wardani, Mintarsih Djamhari K DS. Penatalaksanaan minor erythema
multiforme. 2017;175–9.
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pelayanan Farmasi Untuk
Ibu Hamil dan Menyusui. 2006;1–67

Anda mungkin juga menyukai