Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

STASE ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

“Perbedaan Pemvigus Vulgaris & Pemfigoid Bulosa”

Diajukan untuk memenuhi sebagian tugas kepanitraan klinik dan melengkapi salah satu
syarat menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter di Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa

Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya

Oleh :

Mochammad Sulung Noviyanto SKM (6120020039)

Dosen Pembimbing :

Meydyta Sinantryana Widyaswari., dr., Sp.KK.

DEPARTEMEN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

RSI JEMURSARI SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA

2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur atas rahmat dan ridho Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kehendak-Nya
penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul Perbedaan Pemvigus Vulgaris &
Pemfigoid Bulosa. Referat ini dibuat sebagai salah satu tugas dalam kriteria penilaian pada
pembelajaran.

Pada kesempatan yang baik ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
Meydyta Sinantryana Widyaswari., dr., Sp.KK. selaku pembimbing di KSM Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin FK UNUSA, yang telah memberikan masukan yang berguna dalam proses
penyusunan referat ini. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan
yang juga turut membantu dalam upaya penyelesaian referat ini.

Mengingat pengetahuan dan pengalaman penulis serta waktu yang tersedia untuk
menyusun referat ini sangat terbatas, penulis sadar masih banyak kekurangan baik dari segi
isi, susunan bahasa maupun sistematika penulisannya. Untuk itu kritik dan saran pembaca
yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Akhir kata penulis berharap kiranya makalah ini dapat menjadi masukan yang
berguna dan bisa menjadi informasi bagi tenaga medis dan profesi lain yang terkait dengan
masalah kesehatan pada umumnya.

Surabaya, 16 Maret 2021

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemphigus vulgaris adalah salah satu bentuk bulos dermatosis yang bersifat
kronis, disertai dengan adanya proses akantolisis dan terbentuknya bula pada epidermis.
Kata pemphigus diambil dari bahasa Yunani pemphix yang artinya gelembung atau
lepuh. Pemfigus dikelompokkan dalam penyakit bulosa kronis, yang pertama kali
diidentifikasi oleh Wichman pada tahun 1971. Istilah pemfigus berarti kelompok
penyakit bula autoimun pada kulit dan membran mukosa dengan karakteristik secara
histologis berupa adanya bula intraepidermal disebabkan oleh akantolisis (terpisahnya
ikatan antara sel epidermis) dan secara imunopatologis adanya IgG in vivo maupun
sirkulasi yang secara langsung melawan permukaan sel-sel keratinosit.
Pemfigoid Bulosa (PB) adalah penyakit umum autoimun kronik yang ditandai
oleh adanya bula sub epidermal pada kulit. Penyakit ini biasanya diderita pada orang
tua dengan erupsi bulosa disertai rasa gatal menyeluruh dan lebih jarang melibatkan
mukosa, tetapi memiliki angka morbiditas yang tinggi. Namun presentasinya dapat
polimorfik dan dapat terjadi kesalahan diagnosa, terutama pada tahap awal penyakit, di
mana bula biasanya tidak ada.
Perkembangan medis ini tidak hanya memberikan pengetahuan baru dalam
memahami patogenesis pemfigus tetapi juga mengarahkan pada perkembangan protein
rekombinan, yang diperlukan dalam tes ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)
untuk diagnosis pemfigus.
Sebagian besar pasien pemfigoid bulosa berumur lebih dari 60 tahun. Pemfigoid
bulosa jarang terjadi pada anak-anak. Tidak diketahui prevalensi ras / etnis, jenis
kelamin yang memiliki kecenderungan menderita pemfigoid bulosa. Insiden pemfigoid
bulosa diperkirakan 7 per juta per tahun di Prancis dan Jerman.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. PEMFIGUS VULGARIS
1. DEFINISI
Pemfigus merupakan sekelompok penyakit berlepuh autoimun pada kulit dan
membran mukosa. Pemfigus vulgaris merupakan penyakit serius pada kulit yang
ditandai oleh timbulnya bula (lepuh) dengan berbagai ukuran disertai lesi
berkelompok dan rekuren pada kulit yang tampak normal dan membrane mukosa
(misalnya, mulut, vagina), yang ditandai oleh [ CITATION Ama08 \l 2057 ]:
 Secara histologi, lepuh intraepidermal karena hilangnya hubungan antar
keratinosit
 Secara imunopatologi, ditemukannya IgG autoantibodi terikat dan bersirkulasi
yang secara langsung menyerang permukaan keratinosit.

2. KLASIFIKASI
Pemfigus terbagi menjadi 3 bentuk utama [ CITATION Ama08 \l 2057 ] :
1. Pemfigus vulgaris
2. Pemfigus foliaseus
3. Pemfigus paraneoplastik
Dari ketiga bentuk tersebut, pemfigus paraneoplastik adalah bentuk yang
paling berbahaya karena sering ditemukan pada pasien yang telah didiagnosis
mengalami keganasan (kanker). Namun, pemfigus paraneoplastik merupakan
bentuk yang paling jarang ditemukan [ CITATION Ama08 \l 2057 ].

3. EPIDEMIOLODI
Pemfigus vulgaris (P.V) merupakan bentuk yang tersering dijumpai (80%
semua kasus). Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan dapat mengenai semua
bangsa dan ras. Frekuensinya pada kedua jenis kelamin sama. Umumnya mengenai
umur pertengahan (dekade ke-4 dan ke-5), tetapi dapat juga mengenai semua umur,
termasuk anak [ CITATION Lin16 \l 2057 ].

4. ETIOLOGI
Pemfigus ialah autoimun, karena pada serum penderita ditemukan
autoantibodi, juga dapat disebabkan oleh obat (drug-induced pemphigus), misalnya
D-penisilamin dan kaptopril. Pemfigus yang diinduksi oleh obat dapat berbentuk
pemfigus foliaseus (tennasuk pemfigus eritematosus) atau pemfigus vulgaris.
Pemfigus foliaseus lebih sering timbul dibandingkan dengan pemfigus vulgaris.
Pada pemfigus tersebut, secara klinis dan histologik menyerupai pemfigus yang
sporadik, pemeriksaan imunofluoresensi langsung pada kebanyakan kasus positif,
sedangkan pemeriksaan imunofluoresensi tidak langsung hanya kira-kira 70% yang
positif [ CITATION Lin16 \l 2057 ].
Pemfigus dapat menyertai penyakit neoplasma, baik yang jinak maupun yang
maligna, dan disebut sebagai pemfigus paraneoplastik. Pemfigus juga dapat
ditemukan bersama-sama dengan penyakit autoimun yang lain, misalnya lupus
eritematosus sistemik, pemfigoid bulosa, miastenia gravis dan anemia pernisiosa
[ CITATION Lin16 \l 2057 ].

5. FAKTOR RESIKO DAN PENYEBAB


Para peneliti belum mengetahui secara pasti penyebab terjadinya pemfigus,
namun diduga kuat bahwa penyakit ini merupakan penyakit autoimun. Pada keadaan
normal, sistem imun tubuh menyerang virus, bakteri, dan substansi berbahaya
lainnya. Namun pada pasien pemfigus, sistem imun menyerang protein normal yang
disebut desmoglein pada kulit dan membran mukosa. Protein ini mengikat sel
bersama-sama, dan ketika protein ini rusak, epidermis akan terpisah sehingga
terbentuk lepuh [ CITATION Hun02 \l 2057 ].
Pasien dengan kanker sering mengalami pemfigus, terutama pada non-
Hodgkin limfoma dan leukemia limfositik kronik. Adanya kelainan autoimun
lainnya juga meningkatkan risiko terjadinya pemfigus, antara lain [ CITATION Hun02 \l
2057 ]:
- Miastenia gravis. Penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh adanya
kelemahan otot.
- Timoma
- Pada beberapa kasus yang jarang terjadi, pemfigus dapat timbul akibat
mengkonsumsi obat-obatan seperti ACE inhibitor.

6. PATOGENESIS
Semua bentuk pemfigus mempunyai sifat sangat khas, yakni [ CITATION Lin16 \l
2057 ]:
1. Hilangnya kohesi sel-sel epidermis (akantolisis).
2. Adanya antibodi lgG terhadap antigen determinan yang ada di permukaan
keratinosit yang sedang berdiferensiasi.
Lepuh pada P.V. akibat terjadinya reaksi autoimun terhadap antigen P.V.
Antigen ini merupakan transmembran glikoprotein dengan berat molekul 160 kD
untuk pemfigus foliaesus dan berat molekul 130 kD untuk pemfigus vulgaris yang
terdapat pada pennukaan sel sel keratinosit [ CITATION Lin16 \l 2057 ].
Target antigen pada P.V. yang hanya dengan lesi oral ialah desmoglein dan
kulit ialah desmoglein 1 dan 3. Sedangkan pada pemfigus foliaseus, target
antigennya ialah desmoglein 1 [ CITATION Lin16 \l 2057 ].
Desmoglein ialah salah satu komponen desmosom. Komponen yang lain,
misalnya desmoplakin, plakoglobin dan desmokolin. Fungsi desmosom ialah
meningkatkan kekuatan mekanik epitel gepeng berlapis yang terdapat pada kulit dan
mukosa [ CITATION Lin16 \l 2057 ].
Pada penderita dengan penyakit yang aktif mempunyai antibodi subklas lgG
dan lgG4, tetapi yang patogenik ialah lgG4. Pada pemfigus juga ada faktor genetik,
umumnya berkaitan dengan HLA-DR4 [ CITATION Lin16 \l 2057 ].

7. GEJALA KUNIS
Keadaan umum penderita biasanya buruk. Penyakit dapat mulai sebagai lesi di
kulit kepala yang berambut atau di rongga mulut kira-kira pada 60% kasus, berupa
erosi yang disertai pembentukan krusta, sehingga sering salah didiagnosis sebagai
pioderma pada kulit kepala yang berambut atau dermatitis denga infeksi sekunder.
Lesi di tempat tersebut dapat berlangsung berbulan-bulan sebelum timbul bula
generalisata [ CITATION Lin16 \l 2057 ].
Semua selaput lendir dengan epitel skuamosa dapat diserang, yakni selaput
kendir konjungtiva, hidung, farings, larings, esofagus, uretra, vulva, dan serviks.
Kebanyakan penderita stomatis aftosa sebelum diagnosis pasti ditegakkan. Lesi di
mulut ini dapat meluas dan dapat mengganggu pada waktu penderita makan karena
rasa nyeri [ CITATION Lin16 \l 2057 ].
Bula yang timbul berdinding kendur, mudah pecah dengan meninggalkan kulit
terkelupas, dan diikuti oleh pembentukan krusta yang lama bertahan di atas kulit
yang terkelupas tersebut. Bula dapat timbul di atas kulit yang tampak normal atau
yang eritematosa dan generalisata. Tanda Nikolsky positif disebabkan oleh adanya
akantolisis. Cara mengetahui tanda tersebut ada dua, pertama dengan menekan dan
menggeser kulit di antara dua bula dan kulit tersebut akan terkelupas. Cara kedua
dengan menekan bula, maka bula akan meluas karena cairan yang didalamnya
mengalami tekanan [ CITATION Lin16 \l 2057 ].
Pruritus tidaklah lazim pada pemfigus, tetapi penderita sering mengeluh nyeri
pada kulit yang terkelupas. Epitelisasi terjadi setelah penyembuhan dengan
meninggalkan hipopigmentasi atau hiperpigmentasi dan biasanya tanpa jaringan
parut [ CITATION Lin16 \l 2057 ].

8. HISPATOLOGI
Pada gambaran hispatologik didapatkan bula intraepidermal suprabasal dan
sel-sel epitel yang mengalami akantolisis pada dasar bula yang menyebabkan uji
Tzanck positif. Uji ini berguna untuk menentukan adanya sel-sel akantolitik, tetapi
bukan diagnostik pasti untuk penyakit pemfigus. Pada pemeriksaan dengan
menggunakan mikroskop elektron dapat diketahui, bahwa permulaan perubahan
patologik ialah perlunakan segmen interselular. Juga dapat dilihat perusakan
desmosom dan tonofilamen sebagai peristiwa sekunder [ CITATION Lin16 \l 2057 ].

9. IMUNOLOGI
Pada tes imunofloresensi langsung didapatkan antibodi interselular tipe lgG
dan C3. Pada tes imunofloresensi tidak langsung didapatkan antibodi pemfigus tipe
lgG. Tes yang pertama lebih dipercaya daripada tes kedua, karena telah menjadi
positifpada permulaan penyakit. Seringkali sebelum tes kedua menjadi positif, dan
tetap positif pada waktu yang lama, meskipun penyakitnya telah membaik [ CITATION
Lin16 \l 2057 ].
Antibodi pemfigus ini rupanya sangat spesifik untuk pemfigus. Titer antibodi
umumnya sejajar dengan beratnya penyakit dan akan menurun kemudian
menghilang dengan pengobatan kortikosteroid [ CITATION Lin16 \l 2057 ].
10. DIAGNOSIS
Untuk dapat mendiagnosis suatu pemfigus diperlukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang lengkap. Lepuh dapat dijumpai pada berbagai penyakit
sehingga dapat mempersulit dalam penegakkan diagnosis [ CITATION Hun02 \l 2057 ]
.
Cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis pemfigus vulgaris [ CITATION Sta08 \l
2057 ]:
 Nikolsky Sign : penekanan atau penggosokan pada lesi menyebabkan
terbentuknya lesi, epidermis terlepas, dan tampak seperti kertas basah. Bullae
spread phenomenon : bula ditekan  isinya tampak menjauhi tekanan
 Tzanck test: bahan diambil dari dasar bula, dicat dengan giemsa  tampak sel
akantolitik atau sel tzanck
 Pemeriksaan laboratorium yang tidak spesifik : Leukositosis, Eosinofilia, Serum
protein rendah, Gangguan elektrolit, Anemia dan Peningkatan laju endap darah.
 Biopsi kulit dan patologi anatomi. Pada pemeriksaan ini, diambil sampel kecil
dari kulit yang berlepuh dan diperiksa di bawah mikroskop. Gambaran
histopatologi utama adalah adanya akantolisis yaitu pemisahan keratinosit satu
dengan yang lain. Pada pemfigus vulgaris dapat dijumpai adanya akantolisis
suprabasiler, sedangkan pada pemfigus foliaseus akantolisis terjadi di bawah
stratum korneum dan pada stratum granulosum.

A B
C

Gambar 2.1. Gambaran hitopatologi pemfigus. A. Pemfigus vulgaris. B.


Pemfigus foliaseus. C.Pemfigus paraneoplastik [ CITATION Sta08 \l 2057 ]

 Imunofluoresensi. Pemeriksaan ini terdiri dari: Imunofluoresensi langsung.


Sampel yang diambil dari biopsi diwarnai dengan cairan fluoresens. Pemeriksaan
ini dinamakan direct immunofluorescence (DIF). Pemeriksaan DIF memerlukan
mikroskop khusus untuk dapat melihat antibodi pada sampel yang telah diwarnai
dengan cairan fluoresens. Imunofluoresensi tidak langsung. Antibodi terhadap
keratinosit dideteksi melalui serum pasien.

Gambar 2.2. Imunofluoresensi pada pemfigus. A. Imunofluoresensi


langsung. B. Imunofluoresensi tidak langsung [ CITATION Sta08 \l 2057 ]
.
11. DIAGNOSIS BANDING
Pemfigus vulgaris dibedakan dengan dermatitis herpetiformis, yang dapat
mengenai anak dan dewasa, keadaan umum baik, keluhan sangat gatal, ruam
polimorf, dinding vesikel/ bula tegang dan berkelompok, dan mempunyai tempat
predileksi. Sebaliknya pemfigus terutama terdapat pada orang dewasa, keadaan
umum buruk, tidak gatal, bula berdinding kendur, dan biasanya generalisata. Pada
gambaran histopatologik dermatitis herpetiformis, letak vesikel/bula di
subepidermal, sedangkan pada pemfigus vulgaris terletak di intraepidermal dan
terdapat akantolisis. Pemeriksaan imunofluoresensi pada pemfigus menunjukkan
lgG yang terletak intraepidermal, sedangkan pada dermatitis hipertiformis terdapat
lgA berbentuk granular intrapapilar [ CITATION Lin16 \l 2057 ].
Pemfigoid bulosa berbeda dengan pemfigus vulgaris karena keadaan
umumnya baik, dinding bula tegang, letaknya di subepidermal dan terdapat lgG
linier [ CITATION Lin16 \l 2057 ].

12. PENGOBATAN
Tatalaksana pemfigus vulgaris dibagi dalam 3 fase, yaitu fase kontrol, fase
konsolidasi, dan fase maintenance [ CITATION Bys05 \l 2057 ].
Fase kontrol adalah fase penyakit dapat dikontrol, terbukti dari tidak
terbentuknya lesi baru dan penyembuhan lesi yang sudah ada. Direkomendasikan
kortikosteroid dosis tinggi, umumnya prednison 100-150 mg/hari secara sistemik,
alternatif adalah deksametason 100 mg/hari. Dosis harus di taper off segera setelah
lesi terkontrol. Selama terapi kortikosteroid dosis tinggi harus dipantau risiko
diabetes, infeksi, hipertensi, gangguan jantung dan paru [ CITATION Bys05 \l 2057 ].
Obat-obat imunosupresi, seperti azathioprine, mycophenolate mofetil,
methrotrexate, dan cyclophosphamide, dikombinasi dengan kortikosteroid dosis
rendah dapat mengurangi efek samping kortikosteroid. Azathrioprine merupakan
terapi adjuvan yang sering digunakan karena relatif murah dan aman
dikombinasikan dengan kortikosteroid dosis tinggi. Dosis azathriopine 2,5
mg/kgBB/ hari. Prednison dengan azathriopine lebih efektif daripada prednison saja,
azathriopine tanpa prednison baru memberikan efek positif 3-5 minggu kemudian.
Mycophenolate mofetil 2 gram/hari dapat memberikan efek positif, tetapi jarang
digunakan karena efek toksiknya. Cyclophosphamide 1-3 mg/kgBB/ hari efektif jika
dikombinasikan dengan kortikosteroid [ CITATION Bys05 \l 2057 ].
Plasmaferesis dapat dikombinasi dengan obat-obat imunosupresi, dilakukan
tiga kali seminggu dengan mengganti 2 L plasma setiap plasmaferesis. Plasmaferesis
tanpa kombinasi obat imunosupresi dapat menyebabkan rebound pembentukan
antibodi. Plasmaferesis memiliki risiko infeksi, saat ini banyak digantikan dengan
IVIG [ CITATION Bys05 \l 2057 ].
Serum antibodi berkurang lebih dari setengah pada 1-2 minggu pertama
pemakaian IVIG. IVIG diduga bekerja meningkatkan katabolisme molekul
imunoglobulin, sehingga dapat mengurangi antibodi. Dosis IVIG 2 gram/
kgBB/dosis selama 3-5 hari [ CITATION Ber00 \l 2057 ].
Fase konsolidasi adalah fase terapi untuk mengontrol penyakit hingga sebagian
besar (sekitar 80%) lesi kulit sembuh, fase ini dimulai saat berlangsung
penyembuhan kulit hingga sebagian besar lesi kulit telah sembuh. Lama fase ini
hanya beberapa minggu, jika penyembuhan lambat dosis terapi kortikosteroid
ataupun terapi adjuvan imunosupsresan perlu ditingkatkan [ CITATION Ber00 \l 2057 ].
Fase maintenance adalah fase pengobatan dengan dosis terendah yang dapat
mencegah munculnya lesi kulit baru, fase ini dimulai saat sebagian besar lesi telah
sembuh dan tidak tampak lagi lesi baru. Pada fase ini dosis kortikosteroid diturunkan
bertahap, sekitar seperempat dosis setiap satu hingga dua minggu. Penurunan yang
terlalu cepat berisiko memunculkan lesi kulit baru, penurunan yang terlalu lambat
meningkatkan risiko efek samping kortikosteroid. Jika pada fase ini muncul lesi baru
minimal dapat diberi kortikosteroid topikal atau intralesi. Jika lesi jumlahnya
banyak, dosis kortikosteroid ditingkatkan 25-50%. Pada fase ini obatobat
imunosupresi perlu dibatasi karena mempunyai efek samping infertilitas dan
meningkatkan risiko kanker [ CITATION Gui07 \l 2057 ].
Obat topikal seperti sulfadiazine perak 1% dapat mencegah infeksi sekunder.
Lesi mukosa dapat diberi obat kumur diphenhydramine hydrochloride.
Kortikosteroid topikal dapat memberikan efek positif pada lesi minimal. Pasien
harus tetap mandi setiap hari untuk mengurangi risiko infeksi sekunder, mengurangi
penebalan krusta dan mengurangi bau badan [ CITATION Gui07 \l 2057 ].
Pasien pemfigus vulgaris berusia 35-64 tahun yang memiliki kontraindikasi
terhadap kortikosteroid dan obat imunosupresan, antara lain diabetes melitus tidak
terkontrol, hipertensi tidak terkontrol, retinopati hipertensi, osteoporosis, fraktur
multipel, dysfunctional uterine bleeding, gangguan fungsi renal, unexplained
anemia, psikosis berat, dan gangguan mood signifikan. Tatalaksana lini pertama
adalah rituximab (dosis 375 mg/m2) satu minggu sekali selama delapan minggu
diikuti setiap bulan selama empat bulan, dikombinasikan dengan IVIG (2
gram/kgBB/dosis) diberikan hingga kadar CD20+ B cell 15% atau lebih [ CITATION
Gui07 \l 2057 ].
Tabel 2.1 Kriteria Sembuh pasien pemfigus vulgaris [ CITATION Gui07 \l 2057 ]
Kondisi Pasien Kriteria
Pasien sudah tidak menunjukan gejala
Sembuh Total pemfigus vulgaris tanpa pengobatan apapun
selama 1 tahun
Pasien mendapatkan pengobatan
prednison<10 mg/hari
Tidak mendapatkan pengobatan lain
Remisi Tidak ada lesi kulit aktif
Tidak ada lesi kulit baru
Nikolsky’s sign
5% mukosa yang terkena
Aktif Tidak masuk kriteria remisi dan sembuh total

13. PROGNOSIS
Sebelum kortikosteroid digunakan, maka kematian terjadi pada 50% penderita
dalam tahun pertama. Sebab kematian ialah sepsis, kaheksia, dan ketidakseimbangan
elektrolit. Pengobatan dengan kortikosteroid membuat prognosis lebih baik
[ CITATION Lin16 \l 2057 ].

14. KOMPLIKASI
 Infeksi sekunder , baik sistemik atau lokal pada kulit, dapat terjadi karena
penggunaan imunosupresan dan adanya erosi. Penyembuhan luka pada infeksi
kutaneous tertunda dan meningkatkan risiko timbulnya jaringan parut [ CITATION
Hun02 \l 2057 ].
 Terapi imunosupresan jangka panjang dapat mengakibatkan infeksi dan
malignansi yang sekunder (misalnya, Sarkoma Kaposi), karena sistem imunitas
yang terganggu [ CITATION Hun02 \l 2057 ].
 Retardasi pada pertumbuhan telah dilaporkan pada anak yang memakai
kortikosteroid sistemik dan imunosupresan [ CITATION Hun02 \l 2057 ].
 Penekanan pada sumsum tulang telah dilaporkan pada pasien yang menerima
imunosupresan. Peningkatan insiden leukemia dan limfoma dilaporkan pada
pasien yang menerima imunosupresi yang berkepanjangan [ CITATION Hun02 \l
2057 ].
 Gangguan respon kekebalan yang disebabkan oleh kortikosteroid dan obat
imunosupresif lainnya dapat menyebabkan penyebaran infeksi yang cepat.
Kortikosteroid menekan tanda-tanda klinis infeksi dan memungkinkan penyakit
seperti septikemia atau TB untuk mencapai stadium lanjut sebelum diagnosis.
 Osteoporosis dapat terjadi setelah penggunaan kortikosteroid sistemik [ CITATION
Hun02 \l 2057 ].
 Insufisiensi adrenal telah dilaporkan setelah penggunaan jangka panjang
glukokortikoid [ CITATION Hun02 \l 2057 ].

B. PEMFIGOID BULOSA
1. DEFINISI
Pemfigoid bulosa (P.B.) ialah penyakit autoimun kronik, ditandai adanya bula
subepidermal yang besar dan berdinding tegang, dan pada pemeriksaan
imunopatologik ditemukan c3 (komponen komplemen ke-3) pada epidermal
basement membrane zone [ CITATION Lin16 \l 2057 ].
IgG sirkulasi dan antibody IgG yang terikat pada basement membrane zone.
Kondisi ini disebabkan oleh antibodi dan inflamasi abnormal terakumulasi di lapisan
tertentu pada kulit atau selaput lendir. Lapisan jaringan ini disebut "membran basal."
Antibodi (imunoglobulin) mengikat protein di membran basal disebut antigen
hemidesmosomal PB dan ini menarik sel-sel peradangan (kemotaksis) [ CITATION
Ama08 \l 2057 ].

2. ETIOLOGI
Etiologinya ialah autoimun, tetapi penyebab yang menginduksi produksi
autoantibodi pada pemfigoid bulosa masih belum diketahui [ CITATION Lin16 \l 2057 ].

3. PATOGENESIS
Antigen P.B. merupakan protein yang terdapat pada hemidesmosom sel basal,
diproduksi oleh sel basal dan merupakan bagian B.M.Z. (basal membrane zone)
epitel gepeng berlapis. Fungsi hemidemosom ialah melekatkan sel-sel basal dengan
membrana basalis, strukturnya berbeda dengan desmosom [ CITATION Lin16 \l 2057 ].
Bula terbentuk akibat komplemen yang teraktivasi melalui jalur klasik dan
alternatif, kemudian akan dikeluarkan enzim yang merusak jaringan sehingga terjadi
pemisahan epidermis dan dermis. Terdapat 2 jenis antigen P.B.. yang pertama
dengan berat molekul 230 kD disebut PNAg1 (P.B. Antigen 1) atau PB230 dan
kedua 180 kD dinamakan PBAg2 atau PB180. PB230 lebih banyak ditemukan
dibanding dengan PB180 [ CITATION Lin16 \l 2057 ].
Autoantibodi pada P.B. terutama lgG1, kadang-kadang ditemukan lgA yang
menyertai lgG. lsotipe lgG yang utama ialah lgG1 dan lgG4, yang melekat pada
komplemen hanya lgG1. Hampir 70% penderita mempunyai autoantibodi terhadap
B.M.Z. dalam serum dengan kadar yang tidak sesuai dengan keaktifan penyakit, jadi
berbeda dengan pemfigus [ CITATION Lin16 \l 2057 ].

4. GEJALA KLINIS
 Fase Non Bulosa
Manifestasi kulit PB bisa polimorfik. Dalam fase prodromal penyakit
nonbulosa, tanda dan gejala sering tidak spesifik, dengan rasa gatal ringan sampai
parah atau dalam hubungannya dengan eksema, papula dan atau urtikaria,
ekskoriasi yang dapat bertahan selama beberapa minggu atau bulan. Gejala
nonspesifik ini bisa ditetapkan sebagai satu-satunya tanda-tanda penyakit
[ CITATION Ama08 \l 2057 ].

 Fase Bulosa
Tahap bulosa dari PB ditandai oleh perkembangan vesikel dan bula pada
kulit normal ataupun eritematosa yang tampak bersama - sama dengan urtikaria
dan infiltrat papula dan plak yang kadang-kadang membentuk pola melingkar.
Bula tampak tegang, diameter 1 – 4 cm, berisi cairan bening, dan dapat bertahan
selama beberapa hari, meninggalkan area erosi dan berkrusta. Lesi seringkali
memiliki pola distribusi simetris, dan dominan pada aspek lentur anggota badan
dan tungkai bawah, termasuk perut. Perubahan post inflamasi memberi gambaran
hiper- dan hipopigmentasi [ CITATION Ama08 \l 2057 ].
Keterlibatan mukosa mulut diamati pada 10-30% pasien. Daerah mukosa
hidung mata, faring, esofagus dan daerah anogenital lebih jarang terpengaruh.
Pada sekitar 50% pasien, didapatkan eosinofilia daerah perifer. Perjalanan
penyakit biasanya ringan dan keadaan umum penderita baik. Penyakit PB dapat
sembuh spontan (self-limited disease) atau timbul lagi secara sporadik, dapat
generalisata atau tetap setempat sampai beberapa tahun. Rasa gatal kadang
dijumpai, walaupun jarang ada. Kebanyakan bula ruptur dalam waktu 1minggu,
tidak seperti pemfigus vulgaris, ia tidak menyebar dan sembuh dengan cepat.
Bula yang pecah menimbulkan erosi yang luas dengan bentuk tidak teratur,
namun tidak bertambah seperti pada Pemfigus Vulgaris [ CITATION Ama08 \l
2057 ].
Keadaan umum baik. Terdapat pada semua umur terutama pada orang tua.
Kelainan kulit terutama terdiri atas bula dapat bercampur dengan vesikel berdinding
tegang dan sering disertai eritema. Tempat predileksi ialah di ketiak, lengan bagian
fleksor, dan lipat paha. Jika bula-bula pecah terdapat daerah erosif yang luas, tetapi
tidak bertambah seperti pada pemfigus vulgaris. Mulut dapat terkena kira-kira pada
20% kasus [ CITATION Lin16 \l 2057 ].

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemfigus bulosa harus dibedakan dengan dermatosis linear IgA, eritema multiforme,
erupsi obat, dermatitis herpetiformis dan epidermolisis bulosa. Penderita harus
melakukan Biopsi kulit dan titer antibodi serum untuk membedakannya. Biopsi
sangat penting untuk membedakan penyakit - penyakit ini karena mempunyai
prognosis yang tidak sama [ CITATION Car01 \l 2057 ].
 Histopatologi
Kelainan yang dini pada Pemfigoid Bulosa yaitu terbentuknya celah di
perbatasan dermal-epidermal, bula terletak di subepidermal, sel infiltrat yang
utama adalah eosinofil [ CITATION Lin16 \l 2057 ].
 Imunologi
Pada pemeriksaan imunofluoresensi terdapat endapan IgG dan C3 tersusun
seperti pita di BMZ (Base Membrane Zone). Pewarnaan Immunofluorescence
langsung (IF) menunjukkan IgG dan biasanya juga C3, deposit dalam lesi dan
paralesional kulit dan substansi intraseluler dari epidermis. [ CITATION Lin16 \l 2057
]

6. DIAGNOSIS BANDING
Penyakit ini dibedakan dengan pemfigus vulgaris dan dermatitis herpetiformis.
Pada pemfigus keadaan umum buruk, dinding bula kendur, generalisata, letak bula
intraepidermal, dan terdapat lgG di stratum spinosum [ CITATION Lin16 \l 2057 ].
Pada dermatitis herpetiformis, sangat gatal, ruam yang utama ialah vesikel
berkelompok, terdapat lgA tersusun granula [ CITATION Lin16 \l 2057 ].

7. PENGOBATAN
Pengobatan dengan kortikosteroid. Dosis prednison 40-60 mg sehari, jika telah
tampak perbaikan dosis diturunkan perlahan-lahan. Sebagian besar kasus dapat
disembuhkan dengan kortikosteroid saja. Jika dengan kortikosteroid belum tampak
perbaikan, dapat dipertimbangkan pemberian sitostatik yang dikombinasikan dengan
kortikosteroid. Cara dan dosis pemberian sitostatik sama seperti pada pengobatan
pemfigus [ CITATION Lin16 \l 2057 ].
Bila infiltrat lebih banyak mengandung sel neutrofil, dapat diberikan DDS
dengan dosis 200- 300 mg/hari seperti pada pengobatan dermatitis herpetiformis.
Pengobatan kombinasi tetraksilin (3 x 500 mg sehari) dengan niasinamid (3 x 500
mg sehari) memberi respons yang baik pada sebagian kasus, terutama yang tidak
berat. Bila tetrasiklin merupakan kontraindikasi dapat diberikan eritromisin
[ CITATION Lin16 \l 2057 ].
Pemfigoid bulosa dianggap sebagai penyakit autoimun, oleh karena itu,
memerlukan pengobatan yang lama. Sebagian penderita akan mengalami efek
samping kortikosteroid sistemik. Untuk mencegahnya dapat diberikan kombinasi
tetrasiklin/eritromisin dan niasinamid setelah penyakitnya membaik. Efek samping
kedua obat tersebut lebih sedikit daripada kortikosteroid sistemik [ CITATION Lin16 \l
2057 ].

8. PROGNOSIS
Kematian jarang dibandingkan dengan pemfigus vulgaris, dapat terjadi remisi
spontan [ CITATION Lin16 \l 2057 ].
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Secara garis besar, pemfigus dibagi menjadi tiga, yaitu pemfigus vulgaris,
foliaseus, dan paraneoplastik. Di sebagian besar negara, pemfigus vulgaris merupakan
bentuk yang paling sering ditemukan. Pemfigus paraneoplastik merupakan bentuk yang
paling serius dan berbahaya karena terjadi pada pasien yang telah mengalami
keganasan. Gambaran klinis ditandai oleh adanya lepuh pada kulit maupun mukosa,
tetapi pada umumnya bervariasi tergantung dari masing-masing tipe.
Pengobatan pada pemfigus ditujukan untuk mengurangi pembentukan
autoantibodi. Penggunaan kortikosteroid dan imunosupresan telah menjadi pilihan
terapi, akan tetapi morbiditas dan mortalitas akibat efek samping obat tetap harus
diwaspadai.
Pemfigoid Bulosa (PB) adalah penyakit umum autoimun kronik yang ditandai
oleh adanya bula subepidermal pada kulit. Gejala yang sering adalah dengan rasa gatal
ringan sampai parah. Penanganan dapat berupa medis maupun non medis dimana peran
perawat disini adalah penanganan non medis yaitu memberikan health education dalam
mencegah penularan pemfigoid bulosa.

B. SARAN
Sebagai ilmu pengetahuan untuk memberikan intervensi pada pasien pemfigoid
bulosa dan pemfigus vulgaris. Dengan memperhatikan keterbatasan yang ada pada
makalah ini, maka dapat dikembangkan untuk penulisan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed AR, Nguyen T, Kaveri S, Spigelman ZS., 2016. First line treatment of pemphigus
vulgaris with a novel protocol in patients with contraindications to systemic
corticosteroids and immunosuppressive agents: Preliminary retrospective study with a
seven year follow-up. Int Immunopharmacol.. s.l.:s.n.
Amagai M., 2008. Pemfigus. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP (eds). Dermatology.
Spain: Elsevier.
Berger TG, Odom RB, James WD., 2000. Andrew’s disease of the skin. 9th ed. Philadelphia:
WB Saunders Co..
Carpenito, L. J., 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. 8th ed. Jakarta: EGC.
Doenges, M. E., 2018. Rencana Asuhan Keperawatan. 9th ed. Jakarta: EGC.
Guillen S, Khachemoune A., 2007. Pemphigus vulgaris: A short review for the practitioner..
s.l.:Dermatol Nurs..
Hunter J, Savin J, Dahl M., 2002. Clinical Dermatology. 3rd ed. Victoria: Blackwell
Publishing.
J, B. & J., R., 2005. Pemphigus. s.l.:Lancet.
Linuwih, S. S., 2016. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: FK UI.
Stanley JR., 2008. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. 7th ed. New York:
McGraw-Hill.

Anda mungkin juga menyukai