Anda di halaman 1dari 15

Impetigo Krustosa dan Penatalaksanaannya

Grevaldo Austen
102014015
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510. Email: austengrevaldo@gmail.com

Pendahuluan
Impetigo ialah pioderma superfisialis (terbatas pada epidermis) atau infeksi piogenik
superfisialis yang mudah menular yang terdapat di permukaan kulit dan disebabkan oleh
Staphylococcus dan/atau Streptococcus. Nama impetigo berasal dari bahasa latin yaitu impetere
(menyerang). Walaupun impetigo dapat merupakan pioderma primer, tapi dapat juga timbul
sebagai infeksi sekunder yang mengikuti penyakit kulit atau trauma kulit yang telah ada
(secondary infection) dan itu dikenal sebagai dermatitis impetigenisata. Penyakit kulit yang biasa
menyertai adalah pedikulosis, skabies, infeksi jamur, dan pada insect bites.1
Impetigo krustosa juga dikenal sebagai impetigo kontagiosa, impetigo vulgaris, atau
impetigo Tillbury Fox.Impetigo krustosa merupakan bentuk pioderma yang paling sederhana.
Menyerang epidermis, dimana gambaran yang dominan ialah krusta yang khas, berwarna kuning
kecoklatan seperti madu yang berlapis-lapis. Impetigo krustosa terkadang terdapat berbagai
ukuran (inch) diameter, tapi biasanya kecil dan dalam beberapa kasus hanya beberapa bagian
tubuh yang terkena (wajah, telinga, leher, dan kadang tangan). Impetigo krustosa biasanya tanpa
gelembung cairan dengan krusta/keropeng/koreng.1

Anamnesis2
Anamnesis yang akurat sangat vital dalam menegakkan diagnosis yang tepat pada
kondisi-kondisi yang mengnai kulit. Keluhan utama tersering di antaranya adalah ruam, gatal,
1

bengkak, ulkus, perubahan warna kulit, dan pengamatan tak sengaja saat pasien datang dengan
keluhan utama kondisi medis lain.
Kapan pertama kali pasien memperhatikan adanya ruam ?dimana letaknya ? apakah
terasa gatal ? adakah pemicu (misalnya pengobatan, makanan, sinar matahari, dan alaergen
potensial) ?
Dimana letak benjolan ?apakah terasa gatal ? apakah berdarah ? apakah bentuk/ukuran/warnanya
berubah ?
Adakah benjolan di tempat lain ?
Adakah gejala penyerta yang menunjukkan adanya kondisi medis sistemik ?
Riwayat Penyakit Dahulu
Pernahkan pasien mengalami gangguan kulit, ruam, dan lain-lain ?
Adakah riwayat kecenderungan atopi (asma, rhinitis) ?
Adakah pasien memiliki masalah dengan kulit di masa kecil ?
Adakah riwayat kondisi medis lain yang signifikan ?
Obat-obatan
Riwayat pemakaian obat yang lengkap penting bagi semua jenis pengobatan, baik obat resep
ataupun alternatif, yang dimakan atau topikal.
Pernahkan pasien menggunakan obat untuk penyakit kulit ?
Alergi
Apakah pasien memiliki alergi obat ?jika ya, seperti apa reaksi alergi yang timbul ?
Apakah pasien mengetahui kemungkinan alergen yang lain ?
Pernahkah pasien mengetahui alergen yang lain ?
Pernahkan pasien menjalani patch test atau pemeriksaan respons IgE ?

Riwayat Keluarga
Adakah riwayat penyakit kulit atau atopi dalam keluarga ?
Adakah orang lain di keluarga yang mengalami kelainan serupa ?
2

Riwayat Sosial
Bagaimana riwayat pekerjaan pasien; apakah terpapar sinar matahari, alergen potensial, atau
parasit kulit ?apakah menggunakan produk pembersih baru ? hewan peliharaan baru, dan lainlain ?
Apakah pasien baru-baru ini bepergian ke luar negeri ?
Adakah pajanan pada penyakit infeksi ? (misalnya cacar air?)
Pemeriksaan Fisik2
Apakah pasien sakit ringan atau berat ? Apakah pasien tampak pucat, syok, berpigmen, atau
demam ?
Apakah kelainan kulit yang ditemukan ?ruam, ulkus, benjolan, diskolorasi, dan sebaginya;
Adakah memar atau ptekiae ?jika ya, dimana letaknya ?
Periksa kulit, kuku, dan rambut seteliti mungkin, selain itu, periksa rongga mulut dan mata.
Bagian kulit mana yang terkena ?
Adakah perubahan kulit sekunder yang memperberat atau merupakan akibat dari proses primer ?
Tentukan perluasan dan pola distribusi
Apakah lokasi berhubungan dengan pakaian, pajanan sinar matahari, atau perhiasan ?
Bagaimana warna dan bentuk lesi ?
Lakukan palpasi untuk mengetahui suhu, mobilitas, nyeri tekan, dan kedalaman.Periksa adanya
kelenjar getah bening yang merupakan drainase. Lakukan pemeriksaan fisik lengkap untuk
menganalisis adanya penyakit sistemik
Mendokumentasikan kelainan kulit dengan akurat sangat penting dan bisa dibantu oleh foto.
Pemeriksaan Penunjang3
Pewarnaan Gram
Pada pemeriksaan ini akan mengungkapkan adanya neutropil dengan kuman coccus gram positif
berbentuk rantai atau kelompok.
Kultur bakteri
Kultur akan memperlihatkan S.aureus, kebanyakan merupakan kombinasi dengan
S.pyogenes atau GABHS yang lain, tetapi kadang timbul sendiri. Kultur bakteri juga dapat
3

dilakukan untuk mengidentifikasi methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), jika lesi


imeptigo pecah, jika ada glomerulonefritis poststreptokokus. Eksudat diambil dari bawah krusta
untuk dilakukan kultur. Kultur bakteri pada lubang hidung terkadang dibutuhkan untuk
menentukkan seseorang S.aureus karier atau bukan. Jika pada kultur tersebut negatif dan
penderita persisten terhadap timbulnya impetigo, maka kultur bakteri harus dilakukan pada
aksila, faring dan perineum. Pada penderita dengan status S.aureus karier yang negatif dan tidak
mempunyai faktor predisiposisi dapat dilakukan pemeriksaan level serum IgM. Pemeriksaan
level serum IgA, IgM, dan IgG juga dapat dilakukan untuk mengetahui imunodefisiensi yang
lain.
Working Diagnosis
Diagnosis didasarkan pada umur penderita, yang biasanya anak-anak, dan krusta yang
melekat ke dasarnya, berwarna kuning madu, dengan erupsi vesikel yang mengeluarkan sekret,
serta distribusi di muka, lengan dan tungkai. Untuk menegakkan diagnosis impetigo di samping
temuan klinik juga perlu dilakukan pewarnaan Gram (Gram-stain), kultur, sediaan apus, biakan
dan tes resistensi kuman.
Diagnosis Banding4
Ektima
Staphylococcus aureus

merupakan penyebab utama dari infeksi kulit dan sistemik.

Seperti halnya Staphylococcus aureus, Streptococcus sp. Juga terkenal sebagai bakteri patogen
untuk kulit. Streptococcus Grup A, B, C, D, dan G merupakan bakteri patogen yang paling sering
ditemukan pada manusia. Kandungan M-protein pada bakteri ini menyebabkan bakteri ini
resisten terhadap fagositosis.4
Staphylococcus aureus dan Staphylococcus pyogenes menghasilkan beberapa toksin yang dapat
menyebabkan kerusakan lokal atau gejala sistemik. Gejala sistemik dan lokal dimediasi oleh
superantigens (SA). Antigen ini bekerja dengan cara berikatan langsung pada molekul HLA-DR
(Mayor Histocompability Complex II (MHC II)) pada antigen-presenting cell tanpa adanya
proses antigen. Walaupun biasanya antigen konvensional memerlukan interaksi dengan kelima
elemen dari kompleks reseptor sel T, superantigen hanya memerlukan interaksi dengan variabel
4

dari pita B. Aktivasi non spesifik dari sel T menyebabkan pelepasan masif Tumor Necrosis
Factor- (TNF-), Interleukin-1 (IL-1), dan Interleukin-6 (IL-6) dari makrofag. Sitokin ini
menyebabkan gejala klinis berupa demam, ruam erythematous, hipotensi, dan cedera
jaringan.Faktor host seperti immunosuppresi, terapi glukokortikoid, dan atopic memainkan
peranan penting dalam pathogenesis dari infeksi Staphylococcus. Adanya trauma ataupun
inflamasi dari jaringan (luka bedah, luka bakar, trauma, dermatitis, benda asing) juga menjadi
faktor yang berpengaruh pada pathogenesis dari penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini.4
Gambaran Klinis
Penyakit ini dimulai dengan suatu vesikel atau pustul di atas kulit yang eritematosa,
membesar dan pecah (diameter 0,5 3 cm) dan beberapa hari kemudian terbentuk krusta tebal
dan kering yang sukar dilepas dari dasarnya. Biasanya terdapat kurang lebih 10 lesi yang
muncul. Bila krusta terlepas, tertinggal ulkus superficial dengan gambaran punched out
appearance atau berbentuk cawan dengan dasar merah dan tepi meninggi. Lesi cenderung
menjadi sembuh setelah beberapa minggu dan meninggalkan sikatriks.Biasanya lesi dapat
ditemukan pada daerah ekstremitas bawah, wajah dan ketiak.4
Impetigo Bulosa
Bakteri staphylococcus aureus masuk melalui kulit yang terluka melalui transmisi kontak
langsung.Kemudian bakteri staphylococcus aureus ini memproduksi toksin (exfoliatin)
menyebabkan kerusakan dibawah stratum korenum sehingga menimbulkan vesikel.Mula-mula
berupa vesikel, kemudian lama-kelamaan membesar menjadi bula yang sifatnya tidak mudah
pecah, karena dindingnya relative lebih tebal dari impetigo krustosa. Isinya berupa cairan yang
lama-kelamaan akan berubah menjadi keruh karena invasi leukosit dan akan mengendap.4
Gambaran Klinis
Impetigo bulosa biasanya muncul pada bayi baru lahir, dan dikarakteristik dengan pertumbuhan
cepat dari vesikel ke bula yang tegang. Beberapa dekade yang baru impetigo yang intersif
(pemfigus neonatorum)/ ritter disease mengalami epidemic pada tempat-tempat perawatan bayi
lahir. Bula biasa muncul pada kulit normal, tanda nikolsky (perpindahan dari epidermis lembaran
akibat tekanan) tidak dijumpai. Bula berisi cairan kuning yang menjadi kuning pekat dan
5

perbatasannya berbatas tegas tanpa adanya halo eritematosa.Bula bersifat superfisial dan
berlangsung dalam 1-2 hari bula, jika bula tersebut pecah dan kolaps, kemudian membentuk
lapisan yang tipis, krusta yang berwarna coklat muda dan kuning keemasan yang tepinya masih
menunjukkan adanya lepuh dan tengahnya menyembuh sehingga tampak lesi sisner.4
Kadang-kadang waktu penderita datang berobat, vesikel atau bula sudah pecah sehingga yang
nampak hanya koleret yang dasarnya masih eritematos. Bula yang utuh mengandung
staphylococcus. Tempat predileksi impetigo bulosa ini biasa pada muka sekitar hidung dan
mulut, anggota gerak, ketiak, dada, punggung, dan daerah yang tidak tertutup pakaian.4
Dermatitis Atopik
Dermatitis atopic (DA) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, yang
umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan
peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita (D.A.,
rhinitis alergik, dan atau asma bronchial). Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian
mengalami eksorotasi dan likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksural).5
Gambaran Klinis
Kulit penderita D.A. umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di epidermis berkurang, dan
kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jari tangan teraba dingin. Penderita D.A. cenderung
tipe astenik, dengan inteligensia di atas rata-rata, sering merasa cemas, egois, frrustasi, agresif,
atau merasa tertekan. Gejala utama D.A. ialah pruritus, dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi
umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul
bermacam-macam kelainan dikulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, eksorotasi,
eksudasi, dan krusta.5

Etiologi
Impetigo krustosa umumnya disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan jarang
disebabkan oleh grup A streptococcus tapi untuk negara berkembang, impetigo krustosa
umumnya disebabkan oleh Streptococcus hemolyticus grup A (Streptococcus pyogenes).

Staphylococcus grup II dalam jumlah yang banyak lebih sering menyebabkan impetigo bulosa
dibandingkan dengan impetigo non-bulosa.Pada dasarnya keberadaan impetigo streptokokal
(pioderma streptokokal) tidak diragukan. Organisme grup A biasanya merupakan penyebabnya,
tapi Streptococcus grup C dan grup G kadang ikut terlibat.
Streptococcus merupakan bakteri gram positif berbentuk bulat, yang mempunyai
karakteristik dapat berbentuk pasangan atau rantai selama pertumbuhannya. Lebih dari 20
produk ekstraseluler yang antigenik termasuk dalam grup A (Streptococcus pyogenes)
diantaranya adalah Streptokinase, streptodornase, hyaluronidase, eksotoksin pirogenik,
disphosphopyridine nucleotidase, dan hemolisis.6
Epidemiologi
Impetigo terjadi di seluruh negara di dunia dan angka kejadiannya selalu meningkat dari
tahun ke tahun. Di Amerika Serikat impetigo merupakan 10% dari masalah kulit yang dijumpai
pada klinik anak dan terbanyak pada daerah yang jauh lebih hangat, yaitu pada daerah Amerika
tenggara. Di Inggris (1995) kejadian impetigo pada anak sampai usia 4 tahun sebanyak 2,8%
pertahun dan 1,6% pada anak usia 5-15 tahun. Sekitar 70% merupakan impetigo krustosa.
Impetigo krustosa adalah infeksi kulit yang mudah menular dan terutama mengenai anakanak yang belum sekolah (antara umur 2-5 tahun). Penyakit ini mengenai kedua jenis kelamin,
laki-laki dan perempuan, sama banyak. Selain itu dapat mengenai semua bangsa. Lebih sering
pada daerah tropis. Biasanya Streptokokus tumbuh dalam suasana yang hangat dan lembab,
maka paling sering ditemukan saat musim panas. Impetigo merupakan penyakit yang sangat
menular. Penyakit ini bisa tertular secara kontak langsung dengan kulit yang terinfeksi atau
kontak dengan benda-benda yang sudah terinfeksi. Selain itu juga, dapat ditularkan melalui nafas
penderita. Masa inkubasi 1-3 hari. Streptokokus kering yang terdapat di udara tidak menginfeksi
kulit yang normal. Tetapi dengan gesekan dapat memperberat lesi.6
Pada orang dewasa, impetigo ini sering terdapat pada mereka yang tinggal bersama-sama
dalam satu kelompok, seperti asrama dan penjara. Faktor predisposisi terjadinya ialah kebersihan
yang kurang, higiene yang jelek (anemia dan malnutrisi), tempat tinggal yang padat penduduk,
panas dan terdapatnya penyakit kulit (terutama yang disebabkan oleh parasit). Bakteri
Stafilokokus dan Streptokokus dapat melalui pertahanan kulit yang utuh jika kulit rusak, seperti
robek (terpotong), gigitan, atau penyakit cacar air (chickenpox). Selain itu, dapat juga terjadi
7

melalui kontak tidak langsung melalui handuk, selimut, atau pakaian pasien impetigo; cuaca
panas maupun kondisi lingkungan yang lembab; kegiatan/olahraga dengan kontak langsung antar
kulit seperti rugby, gulat, dll; pasien dengan dermatitis, terutama dermatitis atopik.Gigitan
serangga mungkin dapat menularkan penyakit ini, tapi dengan gigitan yang kecil dari
binatang genus Hippelates dapat menularkan infeksi streptokokus dalam daerah tropis dan
subtropis.6
Patofisologi
Pada negara yang sedang berkembang, GABHS (hidup Bersih dan sehat) tetap
merupakan penyebab utama. S.aureus memproduksi racun bakteriotoksin pada streptococcus.
Bakteriotoksin inilah yang menjadi alasan mengapa hanya S.aureus yang terisolasi pada lesi
tersebut walaupun disebabkan oleh bakteri Streptococcus.
Jika seorang individu mengadakan kontak dekat dengan yang lainnya (anggota keluarga,
teman satu kelas, teman sekelompok) yang mempunyai infeksi kulit karena GABHS atau yang
membawa organisme ini, maka individu yang mempunyai kulit utuh dapat terkontaminasi oleh
bakteri ini. Jika pada kulit yang terkolonisasi oleh bakteri ini, maka pada luka yang kecil, seperti
luka lecet atau tergigit serangga akan timbul lesi impetigo antara 1-2 minggu.
GABHS dapat ditemukan pada hidung dan tenggorokan pada beberapa individu 2-3
minggu setelah timbul lesi, meskipun mereka tidak terdapat gejala-gejala dari faringitis
streptococcal. Hal ini disebabkan karena perbedaan rantai pada bakterinya. Impetigo biasanya
merupakan rantai D, sedangkan faringitis disebabkan rantai A,B, dan C.6
Gejala Klinis
Kelainan kulit didahului warna kemerahan pada kulit (makula) atau papul (penonjolan
padat dengan diameter < 0.5 cm) yang berukuran 2-5 mm. Kemudian segera terbentuk vesikel
atau pustul (papul yang berwarna keruh/mengandung nanah/pus) berdinding tipis yang mudah
pecah dan menjadi papul dengan krusta/keropeng/koreng berwarna kuning madu, lembut tetapi
tebal dan lengket yang berukuran < 2 cm (honey colored) dengan kulit di sekitar dan di bawah
krusta berwarna kemerahan dan basah, biasanya disertai lesi satelit. Jika krusta dilepas tampak
erosi di bawahnya. Sering krusta menyebar ke perifer dan sembuh di bagian tengah. Walaupun
tidak jarang terlihat, lesi paling dini ditandai vesikel dengan halo eritematus. Lesi tersebut akan
8

bergabung membentuk daerah krustasi yang lebar. Eksudat dengan mudah menyebar ke daerah
sekitarnya dengan sendirinya secara autoinokulasi.7
Biasanya mengenai anak yang belum sekolah. Gatal dan rasa tidak nyaman dapat terjadi,
tetapi tidak disertai gejala konstitusi (demam, malaise, mual), kecuali bila kelainan kulitnya
berat.Lesi dapat muncul pada kulit yang normal atau kulit yang kena trauma sebelumnya atau
mengikuti kelainan kulit sebelumnya (skabies, varisela, dermatitis atopi) dan dapat menyebar
dengan cepat. Jika dibiarkan tidak diobati maka lesi dapat menyebar terus karena tindakan diri
sendiri (digaruk lalu tangan memegang tempat lain sehingga menegenai tempat lain). Lalu dapat
sembuh dengan sendirinya dalam beberapa minggu tanpa jaringan parut. Kadang kelenjar getah
bening dapat membesar dan dapat nyeri pada wajah atau leher. Pembesaran kelenjar limfe
regional lebih sering disebabkan oleh Streptococcus.7
Tempat predileksi tersering pada impetigo krustosa adalah di muka, yakni di sekitar
lubang hidung dan mulut karena dianggap sumber infeksi dari daerah tersebut. Tempat lain yang
mungkin terkena, yaitu daerah tubuh yang sering terbuka (tungkai dan lengan, kecuali telapak
tangan dan kaki), daerah belakang telinga, leher dan badan (dada bagian atas).7
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan impetigo adalah menghilangkan rasa tidak nyaman dan memperbaiki
kosmetik dari lesi impetigo, mencegah penyebaran infeksi ke orang lain dan mencegah
kekambuhan. Pengobatan harus efektif, tidak mahal dan memiliki sedikit efek samping.
Antibiotik topikal (lokal) menguntungkan karena hanya diberikan pada kulit yang terinfeksi
sehingga meminimalkan efek samping. Kadangkala antibiotik topikal dapat menyebabkan reaksi
sensitifitas pada kulit orang-orang tertentu. Maka dari itu, antibiotik oral disimpan untuk kasus
dimana pasien sensitif terhadap antibiotik topikal, lesi lebih luas atau dengan penyakit penyerta
yang berat. Penggunaan desinfektan topikal tidak direkomendasikan dalam pengobatan
impetigo.8
Non Medika Mentosa8

Dapat dilakukan kompres dengan menggunakan larutan Sodium kloride 0,9%.


9

Menghilangkan krusta dengan cara mandikan anak selama 20-30 menit, disertai
mengelupaskan krusta dengan handuk basah

Jika krusta banyak, dilepas dengan mencuci dengan H2O2 dalam air, lalu diberi salep
antibiotik

Mencegah anak untuk menggaruk daerah lecet. Dapat dengan menutup daerah yang lecet
dengan perban tahan air (kasa) dan memotong kuku anak.

Lanjutkan pengobatan sampai semua luka lecet sembuh

Tindakan yang bisa dilakukan guna pencegahan impetigo diantaranya

Medika Mentosa
Pengobatan yang diberikan pada impetigo krustosa terdiri dari pengobatan topikal dan
pengobatan secara sistemik. 7

Terapi Topikal
Penderita diberikan antibiotik topikal bila lesi terbatas, terutama pada wajah dan penderita
sehat secara fisik. Pemberian obat topikal ini dapat sebagai profilaksis terhadap penularan infeksi
pada saat anak melakukan aktivitas disekolah atau tempat lainnya. Antibiotik topikal diberikan 23 kali sehari selama 7-10 hari.

Mupirocin

Mupirocin (pseudomonic acid) merupakan antibiotik yang berasal dari Pseudomonas


fluorescent .Mekanisme kerja mupirocin yaitu menghambat sintesis protein (asam amino) dengan
mengikat isoleusil-tRNA sintetase sehingga menghambat aktivitas coccus Gram positif seperti
Staphylococcus dan sebagian besar Streptococcus. Salap mupirocin 2% diindikasikan untuk
pengobatan impetigo yang disebabkan Staphylococcus dan Streptococcus pyogenes.

Asam Fusidat

10

Asam Fusidat merupakan antibiotik yang berasal dari Fusidium coccineum. Mekanisme kerja
asam fusidat yaitu menghambat sintesis protein. Salap atau krim asam fusidat 2% aktif melawan
kuman gram positif dan telah teruji sama efektif dengan mupirocin topikal.

Bacitracin

Baciracin merupakan antibiotik polipeptida siklik yang berasal dari Strain Bacillus Subtilis.
Mekanisme kerja bacitracin yaitu menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan menghambat
defosforilasi ikatan membran lipid pirofosfat sehingga aktif melawan coccus Gram positif seperti
Staphylococcus dan Streptococcus. Bacitracin topikal efektif untuk pengobatan infeksi bakteri
superfisial kulit seperti impetigo.

Retapamulin

Retapamulin bekerja menghambat sintesis protein dengan berikatan dengan subunit 50S
ribosom pada protein L3 dekat dengan peptidil transferase. Salap Retapamulin 1% telah diterima
oleh Food and Drug Administraion (FDA) pada tahun 2007 sebagai terapi impetigo pada remaja
dan anak-anak diatas 9 bulan dan telah menunjukkan aktivitasnya melawan kuman yang resisten
terhadap beberapa obat seperti metisilin, eritromisin, asam fusidat, mupirosin, azitromisin.7

Terapi Sistemik
Pemberian antibiotik sistemik pada impetigo diindikasikan bila terdapat lesi yang luas
atau berat, limfadenopati, atau gejala sistemik.7
1. Pilihan Pertama (Golongan Lactam)
Golongan Penicilin (bakterisid)
Amoksisilin+ Asam klavulanat : Dosis 2x 250-500 mg/hari (25 mg/kgBB) selama 10
hari.
Golongan Sefalosporin generasi-ke1 (bakterisid)
Sefaleksin: Dosis 4x 250-500 mg/hari (40-50 mg/kgBB/hari) selama 10 hari.
Kloksasilin: Dosis 4x 250-500 mg/hari selama 10 hari.
2. Pilihan Kedua
Golongan Makrolida (bakteriostatik)
11

Eritromisin: Dosis 30-50mg/kgBB/hari.


Azitromisin: Dosis 500 mg/hari untuk hari ke-1 dan dosis 250 mg/hari untuk hari ke2 sampai hari ke-4.

Pencegahan7

Cuci tangan segera dengan menggunakan air mengalir bila habis kontak dengan pasien,

terutama apabila terkena luka


Mandi teratur dengan sabun dan air (sabun antiseptik dapat digunakan, namun dapat

mengiritasi pada sebagian kulit orang yang sensitif)


Higiene yang baik, mencakup cuci tangan teratur, menjaga kuku jari tetap pendek dan

bersih
Jangan menggunakan pakaian yang sama dengan penderita.
Jauhkan diri dari orang dengan impetigo
Orang yang kontak dengan orang yang terkena impetigo segera mencuci tangan dengan

sabun dan air yang mengalir


Cuci pakaian, handuk, dan sprei dari anak dengan impetigo terpisah dari yang lainnya.
Cuci dengan air panas dan keringkan di bawah sinar matahari atau pengering yang

panas. Mainan yang dipakai dapat dicuci dengan desinfektans


Gunakan sarung tangan saat mengoleskan antibiotik topikal di tempat yang terinfeksi

dan cuci tangan setelah itu.


Pada orang yang terinfeksi agar lukanya diperban dengan perban yang steril (kasa)

Komplikasi1
1. Selulitis dan Erisepelas
Impetigo krustosa dapat menjadi infeksi invasif menyebabkan terjadinya selulitis dan
erisepelas, meskipun jarang terjadi. Selulitis merupakan peradangan akut kulit yang mengenai
jaringan subkutan (jaringan ikat longgar) yang ditandai dengan eritema setempat, ketegangan
kulit disertai malaise, menggigil dan demam. Sedangkan erisepelas merupakan peradangan kulit
yang melibatkan pembuluh limfe superfisial ditandai dengan eritema dan tepi meninggi, panas,
bengkak, dan biasanya disertai gejala prodromal.
2. Glomerulonefritis Post Streptococcal
Komplikasi utama dan serius dari impetigo krustosa yang umumnya disebabkan oleh
Streptococcus group A beta-hemolitikus ini yaitu glomerulonefritis akut (2%-5%). Penyakit ini
12

lebih sering terjadi pada anak-anak usia kurang dari 6 tahun. Tidak ada bukti yang menyatakan
glomerulonefritis terjadi pada impetigo yang disebabkan oleh Staphylococcus. Insiden
glomerulonefritis (GNA) berbeda pada setiap individu, tergantung dari strain potensial yang
menginfeksi nefritogenik. Faktor yang berperan penting atas terjadinya GNAPS yaitu serotipe
Streptococcus strain 49, 55, 57,dan 60 serta strain M-tipe 2. Periode laten berkembangnya
nefritis setelah pioderma streptococcal sekitar 18-21 hari. Kriteria diagnosis GNAPS ini terdiri
dari hematuria makroskopik atau mikroskopik, edema yang diawali dari regio wajah, dan
hipertensi.
3. Rheumatic Fever
Sebuah kelainan inflamasi yang dapat terjadi karena komplikasi infeksi streptokokus yang
tidak diobati strep throat atau scarlet fever. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi otak, kulit,
jantung,dan sendi tulang.
4. Pneumonia
Pneumonia merupakan penyakit ynag banyak ditemui setiap tahun. Penyakit ini biasa terjadi
pada perokok dan seseorang yang menggunakan obat yang menekan sistem imunitas.
5. Infeksi Methicilin- resistant staphylococcus aureus (MRSA).
MRSA adalah sebuah strain bakteri stafilokokus yang resisten terhadap sejumlah antibiotik.
MRSA dapat menyebabkan infeksi serius pada kulit yang sangat sulit diobati. Infeksi kulit dapat
dimulai dengan sebuah eritem, papul, atau abses yang mengeluarkan pus. MRSA juga dapat
menyebabkan pneumonia dan bakterimia.
6. Osteomielitis
Sebuah inflamasi pada tulang disebabkan bakteri. Inflamasi biasanya berasal dari bagian
tubuh yang lain yang berpindah ke tulang melalui darah.
7. Meningitis
Sebuah inflamasi pada membran dan cairan serebrospinal yang melingkupi otak dan medula
spinalis. Meningitis merupakan sebuah penyakit serius yang dapat mempengaruhi kehidupan dan
menghasilkan komplikasi permanen seperti koma, syok, dan kematian.

13

Prognosis
Impetigo biasanya sembuh tanpa penyulit dalam dua minggu walaupun tidak diobati.
Namun, dapat timbul komplikasi sistemik berupa glomerulonefritis (radang ginjal) pasca infeksi
streptokokus dengan sero tipe tertentu terjadi pada 2-5% pasien terutama usia 2-6 tahun dan hal
ini tidak dipengaruhi oleh pengobatan antibiotik. Gejala berupa bengkak pada kaki dan tekanan
darah tinggi, pada sepertiga terdapat urin seperti warna teh. Keadaan ini umumnya sembuh
secara spontan walaupun gejala-gejala tadi muncul.

Penutup
Impetigo krustosa merupakan penyakit infeksi kulit terbatas pada lapisan epidermis
(superfisial) yang umumnya disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan Streptococcus group A
beta-hemolitikus di negara maju dan Streptococcus group A beta-hemolitikus di negara
berkembang. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan.
Predileksi impetigo krusta terdiri dari wajah, leher, atau ekstremitas.6

Daftar Pustaka
1. Hay R.J, B.M Adriaans. Bacterial Infection. In: Burns T, Brethnach S, Cox N, Griffiths C
(eds). Rooks Text Book of Dermatology. 8th ed. Turin: Blackwell. 2008. p.27.13-15.
2. Gleadle J. At a glance; anamnesis dan pemeriksaan fisik, editor;Safitri A. Jakarta;
Penerbit Erlangga:2007.h.42-3.

14

3. Graham-brown R, Burns T. Dermatologi: catatan kuliah. Editor; Safitri A. Edisi 8.


Jakarta: Erlangga:2005.h.14-6.
4. Heyman W.R, Halpern V. Bacterial Infection. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP (eds).
Dermatology. 2nd ed. Spain: Mosby Elsevier. 2008. p.1075-77.
5. Djuanda Adhi. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi 7. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
2015. h. 161-2
6. Craft N, Peter K.L, Matthew Z.W, Morton N.S, Richard S.J. Superficial Cutaneous
Infection and Pyodermas. In: Wolff K et all (eds). Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine. Vol 2. 7th Ed. New York: McGraw Hill. 2008. p.1695-1705.
7. Arnold, Odom, James. Bacterial Infection. In: James W.D, Berger T.G, Elston D.M (eds).
Andrews Disease of the Skin Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada: Saunders Elsevier.
2006. p.255-6.
8. Wolff K, Richard Allen Johnson. Color Atlas and Sypnosis Of Clinical Dermatology.
Part 3rd. 9th Ed. New york: McGraw Hill. 2009. p.597-604.

15

Anda mungkin juga menyukai