Pembimbing:
Dibuat oleh:
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. M
Usia : 50 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Pedagang
Alamat: : Ciracas, Jakarta
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa, Indonesia
Status Pernikahan : Menikah
Tanggal Pemeriksaan : 4 Oktober 2019
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 4
Oktober 2019 di poli mata RS Polri.
Keluhan Utama :
Penglihatan buram.
Keluhan Tambahan :
Pada mata kiri disertai rasa pegal pada mata.
Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah berobat
Riwayat pembedahan pada mata : disangkal
Riwayat penggunaan obat dalam jangka panjang : disangkal
Riwayat Kebiasaan
Kebiasaan merokok : disangkal
Kebiasaan menggunakan lensa kontak : disangkal
Kebiasaan menggunakan obat tetes mata : disangkal
III. DIAGNOSA BANDING
VI. RESUME
Pasien perempuan berusia 50 tahun datang ke Poliklinik Mata RS Polri
dengan keluhan penglihatan mulai buram sejak 2 tahun SMRS. Penglihatan dirasa
semakin buram dan disertai rasa pegal pada mata sebelah kiri.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan hemodinamika stabil (tekanan darah
120/80 mmHg, nadi 75 x/menit, suhu 36,7˚C, dan pernafasan 18 x/menit).
6/75
Visus 1/300
S+ 050 . 6/6
IX. PENATALAKSANAAN
A. Medikamentosa
Hyalid 6x1 tetes OD
Tobroson 6x1 tetes OD
Cravit 6 x 1 tetes OD
Imboost 3x1 tab
B. Non Medikamentosa
Irigasi mata untuk mengurangi sekret pada mata
C. Edukasi
Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang diderita,
perjalanan penyakit serta komplikasi nya.
Kontrol mata secara teratur ke dokter spesialis mata
D. Rencana Monitor/Evaluasi
Evaluasi Klinis pasien setelah diberi tatalaksana awal
Evaluasi jika ada perburukan kondisi pasien.
X. PROGNOSIS
Ad Vitam
Ad Functionam
Ad Sanationam
Ad Kosmetik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1
2.1.1.2. Volume Orbita
Volume masing- masing orbita pada orang dewasa adalah sekitar 30 cc,
dengan bola mata mengisi sekitar 1/5 bagiannya, jarak antero-posterior
adalah sekitar 40-45 mm pada orang dewasa, yang dipengaruhi oleh jenis
kelamin dan ras. Muara kavum orbita memiliki lebar 35 mm dan tinggi 45
mm. Pengukuran rata- rata kavum orbita ditunjukkan pada tabel dibawah
ini
Glioma nervus optikus adalah tumor yang relatif jarang dan biasanya
terlihat pada pasien neurofibromatosis tipe I (NF1). Pada pencitraan
didapatkan yaitu pembesaran nervus optikus yang terlihat baik pada CT atau
MRI. Glioma nervus optikus biasanya terdapat pada anak-anak, dan sering
berhubungan dengan NF1 (11 – 30%). Pada orang dewasa, glioma nervus
optikus memang terjadi namun sangat jarang dan biasanya tumor tersebut
agresif. Dalam kasus seperti tersebut, tidak ada hubungan dengan NF1 yang
ditemukan.18,19,20
2.2.2 Epidemiologi
Pada anak-anak glioma merupakan 3-5% dari semua tumor otak anak,
mempunyai onset tertinggi pada usia 3 sampai 5 tahun. Merupakan 4% dari
tumor orbital pada anak-anak dan merupakan 1% dari tumor intracranial
yang terjadi unilateral dan paling sering terjadi pada perempuan. Hubungan
dengan NF1 adalah klasik dan kejadian NF1 pada pasien dengan jalur optik
glioma diperkirakan sebanyak 30-58%.19,21,22
Tumor glioma ganas (glioblastoma) jarang dan hampir selalu terjadi pada
laki-laki dewasa dan memiliki prognosis yang sangat buruk dan hampir pasti
meninggal dalam 1 tahun.21
2.2.3 Klasifikasi
Definisi anatomik mengenai tumor nervus optikus diperlukan untuk
rencana pembedahan yang optimal dalam kasus-kasus tersebut dimana
intervensi bedah dianggap dibutuhkan dan untuk keperluan prognostik,
dengan tumor yang terletak sentral pada kiasma optikum memiliki prognosis
terburuk terhadap visus.
Suatu sistem klasifikasi pertama dikeluarkan oleh Dodge et al pada tahun
1958.23 Sistem ini berdasarkan lokalisasi tumor yang berhubungan dengan
nervus optikus (stadium A), kiasma optikum, dengan atau tanpa keterlibatan
nervus optikus (stadium B), dan hipotalamus atau struktur terdekat (stadium
C).
Kemunculan mutakhir dan pencitraan akurat secara anatomi yang
disediakan oleh MRI menyebabkan suatu modifikasi terhadap klasifikasi
Dodge, yang memperhitungkan lokalisasi traktus optikus sebagai syarat
untuk memprediksi hasil visus dan akses bedah.24 Sistem klasifikasi empat
point digunakan dengan subklasifikasi untuk menyajikan evaluasi tumor
yang detail, dikombinasikan dengan NF dan status penyebaran tumor
sebagai berikut:
Stadium 1
1a. Single optic nerve (L/R)
1b. Bilateral optic nerve (L>R, R>L)
1c. Cisternal segment of optic nerve (L, R, bilateral, L>R, R>L)
Stadium 2
2a. Central chiasm
2b. Asymmetric chiasm (L>R, R>L)
H+. Hypothalamus involved
H-. Hypothalamus not involved
Stadium 3
3a. Symmetric optic tract involvement
3b. Asymmetric optic tract involvement (L>R, R>L)
Stadium 4
4a. Diffuse posterior tracts
4b. Asymmetric posterior tracts (L>R, R>L)
Status metastase:
M0 (tidak ada penyebaran ke leptomeningeal)
M1 (ada penyebaran ke leptomeningeal)
2.2.4 Etiologi
Etiologi dari glioma nervus optikus tidak diketahui, namun berkaitan
dengan NF1.1
2.2.6 Diagnosa
Anamnesis
Kebanyakan pada kasus glioma nervus optikus adalah pasien yang
sudah didiagnosis dengan sporadis atau NF-1 yang berkaitan dengan
glioma nervus optikus. Gejala paling umum yang dimiliki pasien,
diantaranya:
Gangguan penglihatan: penurunan visus/ defek lapangan pandang,
atrofi saraf optikus, nistagmus, dan proptosis.
Gangguan kognisi yang disebabkan oleh: radiasi kranial sebelumnya
pada awal kehidupan, tumor yang berkaitan dengan cedera otak paska
bedah, NF1 terkait gangguan kognisi.
Defisit endokrin: defisiensi TRH, defisiensi hormon pertumbuhan,
gangguan LH/ FSH, diabetes insipidus atau defisiensi ACTH.
Defisit neurologis fokal, contohnya kerusakan kapsula interna atau
piramidal.
Gangguan tingkah laku, contohnya gangguan nafsu makan dan
obesitas.
Penurunan visus/ gangguan penglihatan dan atrofi optic merupakan
gejala yang paling sering. Proptosis muncul apabila tumor berada
didalam orbita.4
Beberapa pasien glioma nervus optikus, walaupun jarang ditemukan,
mengalami gejala peningkatan tekanan intrakranial, seperti sakit kepala,
muntah, dan palsi nervus keenam.27,28,29
Pemeriksaan Fisik
Pada pasien biasanya didapatkan proptosis yang bertahap, tidak sakit,
dan unilateral yang berkaitan dengan penurunan visus/ hilangnya visus.
Pemeriksaan neuro-oftalmologi merupakan suatu komponen kunci
dalam mendiagnosis dan menatalaksana glioma nervus optikus,
contohnya pemeriksaan visus, pemeriksaan lapangan pandang,
pemeriksaan buta warna, dan funduskopi.2
Atrofi optik merupakan tanda dan biasanya sadari dengan saraf optik
yang pucat. Ini adalah tahap akhir dari proses yang mengakibatkan
kerusakan saraf optik. Karena lapisan serat saraf optik menipis atau tidak
ada, batas papi terlihat tajam/tegas dan pucat, mungkin mencerminkan
tidak adanya pembuluh kecil di kepala papil.30
Pemeriksaan Penunjang
CT Scan
Penggunaan CT scan dalam mendiagnosa glioma sangat membantu,
dimana CT scan dapat mengambarkan pelebaran dari nervus optikus
dengan karakteristik yang berkelok-kelok. Pelebaran nervus optikus
dapat berbentuk tubular, fusiform atau penebalan. Namun jarang di
temukan kalsifikasi.31
2.2.7 Penatalaksanaan
Tujuan dari pengobatan glioma nervus optikus untuk menghambat
progresifitas dari gangguan penglihatan atau pertumbuhan tumor.
Pengobatan glioma nervus optikus dibagi ke dalam observasi, kemoterapi,
radioterapi, dan pembedahan.32 Terapi dimulai setelah terdapat hasil yang
mengarah ke proses tumor dari gejala klinis, pemeriksaan dan pencitraan
penunjang seperti CT scan atau MRI. Pada umumnya terapi tidak dapat
memperbaiki kemampuan penglihatan tetapi sangat membantu dalam
pengurangan ukuran tumor atau menghentikan pertumbuhan tumor
tersebut.32,33
Radioterapi sebelumnya merupakan terapi pilihan, namun pada anak-
anak yang masih muda sudah tidak dijadikan pilihan karena menyebabkan
gangguan kognisi dan endokrin, termasuk efek radiasi yang memicu
komplikasi, seperti tumor sekunder dan penyakit moyamoya pada pasien
dengan NF1.34 Pengobatan dengan radioterapi mempunyai efek samping
diantaranya mental retardasi, endokrinopati dan gangguan
serebrovaskular.32,33,34
Observasi diindikasikan pada pasien yang baru terdiagnosis glioma
nervus optikus, pembedahan pada tumor intraorbital progresif dan beberapa
tumor kiasma eksofitik, radioterapi pada tumor kiasma progresif yang
terjadi pada anak-anak yang tua, dan kemoterapi pada anak-anak yang muda
dibawah 5 tahun dan merupakan terapi lini pertama pada pasien tanpa
gejala.33,35
2.2.8 Prognosis
Kebanyakan pasien glioma nervus optikus perjalanan penyakitnya
lamban atau bahkan tanpa gejala. Ketahanan hidup untuk pasien glioma
nervus optikus yang terbatas pada saraf optik mendekati 100%. Keterlibatan
kiasma optikum dan terutama keterlibatan hipotalamus berhubungan dengan
tingkat penurunan ketahanan hidup, meskipun ketahanan hidup masih >90%
untuk tumor diobati dan tidak diobati.36,37
BAB III
KESIMPULAN
Glioma nervus optikus adalah neoplasma sejati yang ditemukan di mana saja di
sepanjang jalur optik, dan terjadi terutama pada anak-anak. Tumor ini biasanya
berkembang lambat, biasanya ditemukan penurunan visus yang stabil dari waktu ke
waktu, dan sering dapat diamati secara klinis tanpa pengobatan. Namun, riwayat
alamiah sering tak terduga. Ketika tumor terbatas pada satu saraf optik, pembedahan
seringkali menjadi pengobatan pilihan. Kemoterapi adalah pengobatan lini pertama
untuk sebagian besar glioma nervus optikus lainnya, diikuti dengan pengobatan radiasi
untuk anak-anak dengan penyakit progresif. Prognosis keseluruhan adalah variabel pada
penyakit ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lynch TM, Gutmann DH. 2002. Neurofibromatosis 1. Neurol Clin. 20: 841 – 865.
2. Listernick R, Ferner FE, Liu GT, et al. 2007. Optic pathway gliomas in
neurofibromatosis-1: controversies and recommendations. Ann Neurol. 61: 189 –
198.
3. Miller NR. 2008. Optic pathway gliomas are tumors. Ophthal Plast Reconstr Surg.
24: 433.
4. Vaughan, Asbury. 2007. General Oftalmology 17th ed. Hal 20-23, 501-502
5. Chibis WG, Hillary AB, James JT, et al. 2009. Fundamentals and Principles of
Ophthalmology, Basic and Clinical Science Course: Sec 2. San Fransisco: AAO, pp:
5 – 40.
6. Holds JB, Chang WJ, Dailey RA, et al. 2009. Orbit, Eyelid and Lacrimal System,
Basic and Clinical Science Course. San Fransisco: AAO, hal 5 – 19.
7. Kaufman PL, Albert MD. 2002. Adler’s Physiology of the Eye Clinical Application
10th ed. St. Louis: Mosby, hal 3 – 7.
8. Lang GK. 2007. Orbital Cavity - Ophthalmology a Pocket textbook Atlas 2nd ed.
New York: Thieme, hal 415 – 417.
9. Bradford CA. 2004. Basic Ophthalmology 8th ed. San Fransisco: AAO.
10. Muller-Forel WS. 2002. Bony Orbit and Optic Canal, from Imaging of Orbital and
Visual Pathway Pathology. Heidelberg: Springer.
11. Goodman RL. 2003. Orbit, Eyelid and Ocular Adnexa, Ophthalmologi Notes The
Essential Guide. New York: Thieme.
12. Frotscher M, Baehr M. 2005. Duus’ topical diagnosis in neurology. 4th ed.
Stuttgart: Thieme, hal: 130 – 137, 155.
13. Pauwels LW, Akesson EJ, Stewart PA, et al. 2002. Cranial nerves in health and
disease. 2nd ed. London: BC Decker Inc, hal: 28 – 41.
14. Mardjono M, Sidharta P. 2004. Neurologi klinis dasar edisi V. Jakarta: Dian Rakyat,
hal: 121 – 130.
15. Lumbantobing SM. 2006. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI, hal: 25 – 37.
16. Ropper AH, Brown RH. 2005. Adams and victor’s principles of neurology 8th ed.
New York: McGraw-Hill, hal: 203 – 221, 241
17. Singhal S, Kerr B, Birch J, et al. 2002. Clinical characteristics of symptomatic
sporadic and NF1 related optic gliomata: implications for management. Archives
Dis Child. 87: 65 – 70.
18. Allen JC. 2000. Initial management of children with hypothalamic and thalamic
tumors and the modifying role of neurofibromatosis-1. Pediatr Neurosurg. 32: 154 –
162.
19. Jahraus CD, Tarbell NJ. 2006. Optic pathway gliomas. Pediatr Blood Cancer. 46:
586 – 596.
20. Peng F, Juhasz C, Bhambhani K, et al. 2007. Assessment of progression and
treatment response of optic pathway glioma with positron emission tomography
using alpha-[(11)C]methyl-L-tryptophan. Mol Imaging Biol. 9: 106 – 109.
21. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20303553 diakses tanggal 5 Oktober 2019
22. Pollack IF, et al. Rarity of PTEN deletions and EGFR amplification in malignant
gliomas of childhood: results from the Children’s Cancer Group 945 cohort. J
Neurosurg. 2006;105(suppl 5):418-424.
23. Dodge HW, Lowe JG, Craigh WM, et al. 1958. Glioma of the optic nerves. Arch
Neurol Psychiatr. 79: 607 – 621.
24. Taylor T, Jaspan T, Walker D. et al. 2008. Radiological classification of optic
pathway gliomas: experience of a modified functional classification system. Br J
Radiol. 81: 761 – 76.
25. Kanski JJ, Bowling B. 2011. Clinical Opthalmology: A systemic approach 7th ed.
New York: Elsevier Saunders.
26. Wilhelm H. 2009. Primary optic nerve tumors. Curr Op in Neur. 22: 11 – 18.
27. Dodge HW, Lowe JG, Craigh WM, et al. 1958. Glioma of the optic nerves. Arch
Neurol Psychiatr. 79: 607 – 621.
28. Koenig SB, Naidich TP, Zaparackas Z. 1982. Optic glioma masquerading as
spasmus nutans. J Pediatr Ophthalmol Strabismus. 19: 20 – 24.
29. Lavery MA, O’Neill JF, Chu FC, et al. 1984. Acquired nystagmus in early
childhood: a presenting sign of intracranial tumor. Ophthalmology. 91: 425 – 453.
30. https://eyewiki.aao.org/Optic_Atrophy diakses tanggal 6 Oktober 2019
31. Mafee MF, Goodwin J, Dorodi S. 1999. Optic nerve sheath meningiomas. Role of
MR imaging. Radiol Clin North Am. 37 (1): 37 – 58 – ix.
32. Capo H, Kupersmith MJ. 1991. Efficacy and complications of radio-therapy of
anterior visual pathway tumors. Neurol Clin. 9: 179 – 203.
33. Bianchi-Marzoli S, Brancato R. 1994. Tumors of the optic nerve and chiasm. Curr
Opin Ophthalmol. 5:11 – 17.
34. Desai SS, Paulino AC, Mai WY, et al. 2006. Radiation-induced moyamoya
syndrome. Int J Radiat Oncol Biol Phys. 65: 1222 – 1227.
35. Astrup J. 2003. Natural history and clinical management of optic pathway glioma.
Br J Neurosurg. 17: 327 – 335.
36. Pepin SM, Lessell S. 2006.Anterior visual pathway gliomas: the last 30 years. Semin
Ophthalmol. 21: 117 – 124.
37. Tow SL, Chandela S, Miller NR, et al. 2003. Long-term outcome in children with
gliomas of the anterior visual pathway. Pediatr Neurol. 28: 262 – 270.