Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

Glioma Nervus Optikus

Pembimbing:

dr. Agah Gadjali, SpM


dr. Hermansyah, SpM
dr. Henry A. W, SpM (K)
dr. Mustafa K. Shahab, SpM
dr. Susan Sri Anggraeni, SpM

Dibuat oleh:

Grevaldo Austen - 112018027

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA RUMAH


SAKIT BHAYANGKARA TK.I RADEN SAID SUKANTO
PERIODE 30 SEPTEMBER 2019 – 2 NOVEMBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. M
Usia : 50 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Pedagang
Alamat: : Ciracas, Jakarta
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa, Indonesia
Status Pernikahan : Menikah
Tanggal Pemeriksaan : 4 Oktober 2019
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 4
Oktober 2019 di poli mata RS Polri.

Keluhan Utama :
Penglihatan buram.

Keluhan Tambahan :
Pada mata kiri disertai rasa pegal pada mata.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke Poliklinik Mata RS Polri dengan keluhan penglihatan mulai
buram sejak 2 tahun yang lalu. Penglihatan dirasa semakin lama semakin buram disertai
rasa pegal pada mata sebelah kiri. Pasien mengaku apabila mata sebelah kiri terasa pegal,
pasien juga mengalami sakit kepala. Tidak ada faktor yang memperingan atau
memperburuk keluhan.
Adanya penglihatan ganda disangkal, mata merah (-), berair (-) terasa ada yang
mengganjal (-), bengkak (-), sulit membuka mata (-), silau (-), melihat pelangi saat
menatap lampu (-), demam (-)

Riwayat Penyakit Dahulu:


 Riwayat keluhan serupa : pasien belum pernah mengalami hal serupa
sebelumnya

 Riwayat adanya gangguan penglihatan : disangkal

 Riwayat mengalami benturan atau trauma benda asing : disangkal

 Riwayat alergi obat : disangkal

 Riwayat penyakit kencing manis : disangkal

 Riwayat darah tinggi : disangkal
 Riwayat operasi mata : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat keluarga dengan keluhan serupa : disangkal

Riwayat Pengobatan
 Pasien belum pernah berobat

 Riwayat pembedahan pada mata : disangkal

 Riwayat penggunaan obat dalam jangka panjang : disangkal

Riwayat Kebiasaan
 Kebiasaan merokok : disangkal
 Kebiasaan menggunakan lensa kontak : disangkal
 Kebiasaan menggunakan obat tetes mata : disangkal
III. DIAGNOSA BANDING

IV. PEMERIKSAAN FISIK


3.1 Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda-tanda vital :
- Tekanan Darah :120/80 mmHg
- Nadi : 75x/menit
- Suhu : 36,7˚C
- Pernafasan : 18 x/menit

3.2 Status Oftalmologis


OD OS
Visus 6/75 1/300
Pemeriksaan TIO 7/7.5 10/7.5
Kedudukan Bola Mata Ortoforia
Gerakan Bola Mata
Baik ke segala arah Baik ke segala arah
Lapang Pandang Dalam Batas Normal Tidak dapat dievaluasi
Supra Silia Dalam Batas Normal Dalam Batas Normal
Palpebra Superior Edema (-), benjolan (-), Edema (-), benjolan (-),
hiperemis (-), nyeri tekan hiperemis (-), nyeri tekan (-
(-), hematom (-) ), hematom (-)
Palpebra Inferior Edema (-), benjolan (-), Edema (-), benjolan (-),
hiperemis (+), nyeri tekan hiperemis (-), nyeri tekan (-
(-), ptosis (-), hematom (-) ), ptosis (-), hematom (-)
Konjungtiva tarsal Hiperemis (-), papil (-), Hiperemis (-), papil (-),
superior edema (-) edema (-)
Konjungtiva tarsal Hiperemis (-), papil (-), Hiperemis (-), papil (-),
V. SARAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
CT Scan dan MRI kepala

VI. RESUME
Pasien perempuan berusia 50 tahun datang ke Poliklinik Mata RS Polri
dengan keluhan penglihatan mulai buram sejak 2 tahun SMRS. Penglihatan dirasa
semakin buram dan disertai rasa pegal pada mata sebelah kiri.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan hemodinamika stabil (tekanan darah
120/80 mmHg, nadi 75 x/menit, suhu 36,7˚C, dan pernafasan 18 x/menit).

Pada pemeriksaan oftalmologis ditemukan:

OCULI DEXTRA(OD) PEMERIKSAAN OCULI SINISTRA(OS)

6/75
Visus 1/300
S+ 050 . 6/6

Tenang Konjungtiva Tenang


Edema (-), injeksi Edema (-), injeksi
konjungtiva (-), konjungtiva (-),
ptosis (-), hiperemis (-), Palpebra Superior ptosis (-), hiperemis (-),
benjolan (-),nyeri tekan benjolan (-),nyeri tekan
(-),hematom (-) (-),hematom (-)

Edema (-), injeksi Edema (-), injeksi


konjungtiva (-), ptosis (-) konjungtiva (-), ptosis (-)
benjolan (-), Palpebra Inferior benjolan (-),
hiperemis (-), nyeri tekan hiperemis (-), nyeri tekan
(-), hematom (-) (-), hematom (-)
VII. DIAGNOSA KERJA
Atrofi Optic (Primer) Susp. Glioma n. Opticus

VIII. DIAGNOSIS BANDING


 Katarak

 Glaukoma sudut terbuka

 Retinopati diabetikum

IX. PENATALAKSANAAN
A. Medikamentosa
 Hyalid 6x1 tetes OD

 Tobroson 6x1 tetes OD

 Cravit 6 x 1 tetes OD

 Imboost 3x1 tab


B. Non Medikamentosa
 Irigasi mata untuk mengurangi sekret pada mata


C. Edukasi
 Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang diderita,
perjalanan penyakit serta komplikasi nya.
 Kontrol mata secara teratur ke dokter spesialis mata

D. Rencana Monitor/Evaluasi
 Evaluasi Klinis pasien setelah diberi tatalaksana awal

 Evaluasi jika ada perburukan kondisi pasien.
X. PROGNOSIS
Ad Vitam
Ad Functionam
Ad Sanationam
Ad Kosmetik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI ORBITA DAN ANATOMI NERVUS OPTIKUS


2.1.1 Anatomi Orbita
2.1.1.1. Pendahuluan
Setiap bola mata terletak didalam 2 buah rongga tulang, dimana volume
masing- masing pada orang dewasa adalah sekitar 30 cc. Setiap rongga
orbita berbentuk buah pir, dimana nervus optik menjadi tangkainya. Mulut
kavum orbita berukuran rata-rata lebar 35 mm dan tinggi 45 mm, panjang
rata- rata pada orang dewasa dari apeks orbita hingga muara adalah sekitar
40-45 mm, ukuran ini dipengaruhi oleh jenis kelamin dan ras.4,5
Orbita di superior berhubungan dengan sinus frontalis, di inferior dengan
sinus maxillaris, dan sinus sphenoidalis di medial. Dasar orbita yang tipis
mudah rusak akibat trauma langsung yang mengarah ke bola mata, berakibat
timbulnya “blow out fracture” dengan herniasi isi bola mata kedalam
anthrum maxillaris. Infeksi dalam sinus ethmoidalis dan sphenoidalis dapat
mengikis medialnya yang setipis kertas (lamina papyracea) dan mengenai
isi orbita. Defek pada atapnya (mis. Neurofibromatosis) dapat
mengakibatkan terlihatnya pulsasi pada bola mata yang berasal dari otak.4,5
Rongga orbita didesain untuk menyokong dan melindungi struktur dan
jaringan dibawahnya, yang termasuk didalamnya adalah bola mata, otot-
otot ekstra okuler, saraf, pembuluh darah, apparatus lakrimalis dan jaringan
lemak. Rongga orbita terdiri atas tujuh buah tulang, yakni os frontalis, os
sphenoidalis, os ethmoidalis, os zygomaticus, os palatina, os lakrimalis dan
os maxillaris. Dinding orbita terdiri atas atap orbita, dasar orbita, dinding
medial dan lateral.6,7,8,9,10

1
2.1.1.2. Volume Orbita
Volume masing- masing orbita pada orang dewasa adalah sekitar 30 cc,
dengan bola mata mengisi sekitar 1/5 bagiannya, jarak antero-posterior
adalah sekitar 40-45 mm pada orang dewasa, yang dipengaruhi oleh jenis
kelamin dan ras. Muara kavum orbita memiliki lebar 35 mm dan tinggi 45
mm. Pengukuran rata- rata kavum orbita ditunjukkan pada tabel dibawah
ini

Tabel 1. Rata-rata ukuran Orbita pada orang dewasa2

2.1.1.3. Jaringan Lunak Orbita


2.1.1.3.1. Periorbita
Periorbita merupakan jaringan periosteal yang menutupi tulang-
tulang orbita. Pada daerah apex orbita, lapisan ini menyatu dengan
duramater dan membungkus nervus optik. Di anterior, periorbita
bersambung dengan septum orbita dan periosteum tulang- tulang wajah.
Garis persambungan lapisan ini pada tepi orbita disebut annulus
marginalis. Jaringan periorbita ini melekat longgar pada orbita, kecuali
pada tepi orbita, sutura, fissura, foramina, dan canalis. Pada prosedur
eksenterasi, jaringan ini dengan mudah dilepaskan, kecuali pada struktur
diatas.5,7
2.1.1.3.2. Septum Orbita
Merupakan fasia di belakang bagian muskularis orbikularis yang
terletak diantara tepian orbita dan tarsus, dan berfungsi sebagai pemisah
antara orbita dan palpebra. Septum orbitale ditembus pembuluh darah
dan saraf lakrimalis, yaitu pembuluh dan nervus supratrochlearis,
pembuluh- pembuluh dan nervus supraorbitalis, nervus infratrochlearis,
anastomosis antara vena angularis dan ophtalmika dan muskulus levator
palpebra superior. Septum orbitale superior menyatu dengan tendo dari
levator palpebrae superior dan tarsus superior, sedangkan septum orbitale
inferior menyatu dengan tarsus inferior. Septum orbita ini berfungsi
mencegah dan membatasi proses inflamasi pada mata.5,6

2.1.1.3.3. Kapsula Tenon (Fascia Bulbi)


Merupakan lapisan jaringan ikat pembungkus elastis yang menyatu
dibagian posterior dengan selaput nervus optik dan dianterior dengan
lapisan tipis septum intramuskular dekat limbus. Di dekat limbus,
konjungtiva, kapsula tenon dan episklera menyatu. Pada segmen
posterior, kapsula tenon menjadi lebih tebal dan kuat, pada sisi bagian
dalam kapsula tenon berhadapan langsung dengan sklera, dan sisi
luarnya berhadapan dengan lemak orbita dan struktur- struktur lainnya.
Segmen bawah kapsula tenon tebal dan menyatu dengan fasia muskulus
rektus inferior dan muskulus obliquus inferior membentuk ligamentum
suspensorium bulbi (Ligamentum Lockwood), tempat terletaknya bola
mata, Ligamentum ini merupakan hasil penyatuan dari lapisan fasia m.
rektus inferior, tarsus otot- otot inferior, ligamentum check otot rektus
medial dan lateral, ligamentum ini berfungsi menyokong bola mata dan
bagian anteroinferior orbita.4
Gambar 1. Ligamentum Whitnall dan ligamentum Lockwood, dari depan

Gambar 2. Kapsula tenon, dari depan


2.1.1.3.4. Nervus Optik
Segmen infra orbita dari nervus optik, kira- kira berukuran 30 mm,
nervus optik ini lebih panjang dari kedalaman orbita, sehingga memiliki
posisi berbentuk huruf – S, yang memungkinkan n. optik bergerak bebas
mengikuti gerakan bola mata. Nervus optik berdiameter ± 4 mm dan di
selubungi oleh piamater, arachnoid dan duramater, lapisan yang sama
dengn lapisan yang membungkus otak.6

2.1.1.3.5. Otot- otot ekstra okuler


Otot- otot ekstra okuler berperan dalam pergerakan bola mata serta
proses sinkronisasi, terdapat empat buah otot rektus dan dua buah otot
obliquus pada masing- masing mata.
Dari enam buah otot ekstraokuler, lima buah otot berorigo pada pada
apex orbita, satu otot lagi yakni m. obliquus inferior berorigo di dasar
orbita. Otot- otot ekstraokular ini berjalan ke anterior menuju insersinya
pada bola mata. Pada segmen anterior orbita, otot-otot rektus
dihubungkan oleh membran yang disebut septum intermuscular.6,11

2.1.1.3.6. Annulus Zinn


Merupakan cincin fibrous yang dibentuk oleh origin ke empat otot
rektus. Cincin ini melingkari foramen optik dan bagian tengah fissura
orbitalis superior. Origo superior otot rektus lateralis membagi fissura
orbitalis menjadi 2 bagian.5
Gambar 3. Gambaran skematis apex orbita

2.1.1.3.7. Jaringan lemak periorbita


Jaringan lemak pembungkus orbita dibagi dua oleh septum
intermusculer menjadi lapisan lemak intraconal dan lapisan lemak
extraconal. Lapisan lemak intraconal dan extraconal ini disebut juga
central surgical space dan peripheral surgical space.6

2.1.2 Anatomi Nervus Optikus


Cahaya yang masuk ke mata diubah menjadi sinyal elektrik di retina. Cahaya
tersebut mencetuskan reaksi fotokimiawi di sel batang dan kerucut, yang
mengakibatkan pembentukan impuls yang akhirnya dihantarkan ke korteks
visual.12,13 Sel-sel bipolar retina menerima input pada dendritnya dari sel batang
dan kerucut, kemudian menghantarkan impuls lebih jauh ke arah sentral pada
lapisan sel ganglion. Akson panjang sel ganglion melewati papilla optika (diskus
nervi optica) dan meninggalkan mata sebagai nervus optikus, yang mengandung
sekitar 1 juta serabut. Pada bagian tengah kaput nervus optikus tersebut keluar
cabang-cabang dari arteri centralis retina yang merupakan cabang dari A.
oftalmika.12
Nervus optikus memasuki ruang intrakranial melalui foramen optikum. Di
depan tuber sinerium (tangkai hipofisis) nervus optikus kiri dan kanan
bergabung menjadi satu berkas membentuk kiasma optikum, dimana serabut
bagian nasal dari masing-masing mata akan bersilangan dan kemudian menyatu
dengan serabut temporal mata yang lain membentuk traktus optikus dan
melanjutkan perjalanan untuk ke korpus genikulatum lateral dan nucleus
pretektalis (gambar 4).12,14

Gambar 4. Perjalanan serabut saraf nervus optikus (tampak basal)12

Serabut saraf yang bersinaps di korpus genikulatum lateral merupakan jaras


visual sedangkan serabut saraf yang berakhir di nukleus pretektalis di batang
otak menghantarkan impuls visual (saraf afferent) yang membangkitkan refleks
visual seperti refleks pupil.12,14 Selanjutnya, dari korpus genikulatum lateral,
jaras visual terus melalui traktus genikulokalkarina (radiasio optik) ke korteks
visual. Daerah berakhirnya serabut di korteks disebut korteks striatum (area
17/area Brodmann). Ini merupakan pusat persepsi cahaya. Di sekitar area 17,
terdapat area yang berfungsi untuk asosiasi rangsang visual, yaitu area 18 dan
19.14,15
Setelah sampai di korpus genikulatum lateral, serabut saraf yang membawa
impuls penglihatan akan berlanjut melalui radiatio optika (optic radiation) atau
traktus genikulokalkarina ke korteks penglihatan primer di girus kalkarina.
Korteks penglihatan primer tersebut mendapat vaskularisasi dari a. kalkarina
yang merupakan cabang dari a. serebri posterior. Serabut yang berasal dari
bagian parietal korpus genikulatum lateral membawa impuls lapang pandang
bawah sedangkan serabut yang berasal dari temporal membawa impuls dari
lapang pandang atas (gambar 5).12

Gambar 5. Radiatio optika12

Untuk serabut yang mengurus refleks pupil, dari nukleus pretektalis,


kemudian bersinaps dengan neuron berikutnya yang mengirimkan serabut ke
nucleus Edinger Westphal sisi yang sama dan sisi kontralateral. Dari sini
rangsang kemudian diteruskan melalui nervus okulomotorius ke sfingter pupil
(gambar 6).15,16
Gambar 6. Jaras refleks pupil16

2.2 OPTIC NERVE GLIOMA


2.2.1 Definisi
Glioma nervus optikus (optic nerve glioma) merupakan tumor tersering
pada selubung nervus optikus. Selain menyebabkan penurunan kemampuan
penglihatan, tumor ini juga memberikan efek lain seiring dengan
membesarnya tumor. Glioma nervus optikus jinak biasanya terjadi pada
pasien anak-anak, sedangkan yang ganas terjadi pada orang dewasa yang
bersifat fatal walaupun ditatalaksana.17

Glioma nervus optikus adalah tumor yang relatif jarang dan biasanya
terlihat pada pasien neurofibromatosis tipe I (NF1). Pada pencitraan
didapatkan yaitu pembesaran nervus optikus yang terlihat baik pada CT atau
MRI. Glioma nervus optikus biasanya terdapat pada anak-anak, dan sering
berhubungan dengan NF1 (11 – 30%). Pada orang dewasa, glioma nervus
optikus memang terjadi namun sangat jarang dan biasanya tumor tersebut
agresif. Dalam kasus seperti tersebut, tidak ada hubungan dengan NF1 yang
ditemukan.18,19,20

2.2.2 Epidemiologi
Pada anak-anak glioma merupakan 3-5% dari semua tumor otak anak,
mempunyai onset tertinggi pada usia 3 sampai 5 tahun. Merupakan 4% dari
tumor orbital pada anak-anak dan merupakan 1% dari tumor intracranial
yang terjadi unilateral dan paling sering terjadi pada perempuan. Hubungan
dengan NF1 adalah klasik dan kejadian NF1 pada pasien dengan jalur optik
glioma diperkirakan sebanyak 30-58%.19,21,22

Tumor glioma ganas (glioblastoma) jarang dan hampir selalu terjadi pada
laki-laki dewasa dan memiliki prognosis yang sangat buruk dan hampir pasti
meninggal dalam 1 tahun.21

2.2.3 Klasifikasi
Definisi anatomik mengenai tumor nervus optikus diperlukan untuk
rencana pembedahan yang optimal dalam kasus-kasus tersebut dimana
intervensi bedah dianggap dibutuhkan dan untuk keperluan prognostik,
dengan tumor yang terletak sentral pada kiasma optikum memiliki prognosis
terburuk terhadap visus.
Suatu sistem klasifikasi pertama dikeluarkan oleh Dodge et al pada tahun
1958.23 Sistem ini berdasarkan lokalisasi tumor yang berhubungan dengan
nervus optikus (stadium A), kiasma optikum, dengan atau tanpa keterlibatan
nervus optikus (stadium B), dan hipotalamus atau struktur terdekat (stadium
C).
Kemunculan mutakhir dan pencitraan akurat secara anatomi yang
disediakan oleh MRI menyebabkan suatu modifikasi terhadap klasifikasi
Dodge, yang memperhitungkan lokalisasi traktus optikus sebagai syarat
untuk memprediksi hasil visus dan akses bedah.24 Sistem klasifikasi empat
point digunakan dengan subklasifikasi untuk menyajikan evaluasi tumor
yang detail, dikombinasikan dengan NF dan status penyebaran tumor
sebagai berikut:

Stadium 1
1a. Single optic nerve (L/R)
1b. Bilateral optic nerve (L>R, R>L)
1c. Cisternal segment of optic nerve (L, R, bilateral, L>R, R>L)

Stadium 2
2a. Central chiasm
2b. Asymmetric chiasm (L>R, R>L)
H+. Hypothalamus involved
H-. Hypothalamus not involved

Stadium 3
3a. Symmetric optic tract involvement
3b. Asymmetric optic tract involvement (L>R, R>L)

Stadium 4
4a. Diffuse posterior tracts
4b. Asymmetric posterior tracts (L>R, R>L)

Status neurofibromatosis tipe 1:


NF1+
NF1-

Status metastase:
M0 (tidak ada penyebaran ke leptomeningeal)
M1 (ada penyebaran ke leptomeningeal)
2.2.4 Etiologi
Etiologi dari glioma nervus optikus tidak diketahui, namun berkaitan
dengan NF1.1

2.2.5 Diagnosis Banding


Diagnosis banding glioma nervus optikus meliputi neuritis optikus,
pseudotumor,meningioma, lymphoma, hemangioma dan rabdomyosarcoma.
Dimana penyakit-penyakit tersebut mempunyai beberapa gejala klinis yang
menyerupai dengan tumor nervus optikus. Untuk itu diperlukan suatu
pencitraan menggunakan CT scan maupun MRI.25,26

2.2.6 Diagnosa
 Anamnesis
Kebanyakan pada kasus glioma nervus optikus adalah pasien yang
sudah didiagnosis dengan sporadis atau NF-1 yang berkaitan dengan
glioma nervus optikus. Gejala paling umum yang dimiliki pasien,
diantaranya:
 Gangguan penglihatan: penurunan visus/ defek lapangan pandang,
atrofi saraf optikus, nistagmus, dan proptosis.
 Gangguan kognisi yang disebabkan oleh: radiasi kranial sebelumnya
pada awal kehidupan, tumor yang berkaitan dengan cedera otak paska
bedah, NF1 terkait gangguan kognisi.
 Defisit endokrin: defisiensi TRH, defisiensi hormon pertumbuhan,
gangguan LH/ FSH, diabetes insipidus atau defisiensi ACTH.
 Defisit neurologis fokal, contohnya kerusakan kapsula interna atau
piramidal.
 Gangguan tingkah laku, contohnya gangguan nafsu makan dan
obesitas.
Penurunan visus/ gangguan penglihatan dan atrofi optic merupakan
gejala yang paling sering. Proptosis muncul apabila tumor berada
didalam orbita.4
Beberapa pasien glioma nervus optikus, walaupun jarang ditemukan,
mengalami gejala peningkatan tekanan intrakranial, seperti sakit kepala,
muntah, dan palsi nervus keenam.27,28,29

 Pemeriksaan Fisik
Pada pasien biasanya didapatkan proptosis yang bertahap, tidak sakit,
dan unilateral yang berkaitan dengan penurunan visus/ hilangnya visus.
Pemeriksaan neuro-oftalmologi merupakan suatu komponen kunci
dalam mendiagnosis dan menatalaksana glioma nervus optikus,
contohnya pemeriksaan visus, pemeriksaan lapangan pandang,
pemeriksaan buta warna, dan funduskopi.2
Atrofi optik merupakan tanda dan biasanya sadari dengan saraf optik
yang pucat. Ini adalah tahap akhir dari proses yang mengakibatkan
kerusakan saraf optik. Karena lapisan serat saraf optik menipis atau tidak
ada, batas papi terlihat tajam/tegas dan pucat, mungkin mencerminkan
tidak adanya pembuluh kecil di kepala papil.30

 Pemeriksaan Penunjang
 CT Scan
Penggunaan CT scan dalam mendiagnosa glioma sangat membantu,
dimana CT scan dapat mengambarkan pelebaran dari nervus optikus
dengan karakteristik yang berkelok-kelok. Pelebaran nervus optikus
dapat berbentuk tubular, fusiform atau penebalan. Namun jarang di
temukan kalsifikasi.31

Derajat kepercayaan pemeriksaan CT scan cukup tinggi namun jika


terdapat gambaran pelebaran yang sedikit berbeda dapat disalah-artikan
sebagai meningioma atau neuritis optikus, untuk hal ini diperlukan
pemeriksaan MRI.31
 MRI
Pada pencitraan mengunakan MRI, glioma nervus optikus terlihat
isointens dengan korteks cerebri dan hipointense dengan white matter.
Lesi terkadang bersifat hipointense dengan lemak disekeliling orbita.
Seperti gambar berikut:30,31

Lesi pada pasien dewasa mungkin glioma dapat membesar ke orbita,


intrakanalikular, di anterior kiasma optikum bahkan hingga ke belakang
posterior kiasma optikum. Seperti gambar berikut:30,31

2.2.7 Penatalaksanaan
Tujuan dari pengobatan glioma nervus optikus untuk menghambat
progresifitas dari gangguan penglihatan atau pertumbuhan tumor.
Pengobatan glioma nervus optikus dibagi ke dalam observasi, kemoterapi,
radioterapi, dan pembedahan.32 Terapi dimulai setelah terdapat hasil yang
mengarah ke proses tumor dari gejala klinis, pemeriksaan dan pencitraan
penunjang seperti CT scan atau MRI. Pada umumnya terapi tidak dapat
memperbaiki kemampuan penglihatan tetapi sangat membantu dalam
pengurangan ukuran tumor atau menghentikan pertumbuhan tumor
tersebut.32,33
Radioterapi sebelumnya merupakan terapi pilihan, namun pada anak-
anak yang masih muda sudah tidak dijadikan pilihan karena menyebabkan
gangguan kognisi dan endokrin, termasuk efek radiasi yang memicu
komplikasi, seperti tumor sekunder dan penyakit moyamoya pada pasien
dengan NF1.34 Pengobatan dengan radioterapi mempunyai efek samping
diantaranya mental retardasi, endokrinopati dan gangguan
serebrovaskular.32,33,34
Observasi diindikasikan pada pasien yang baru terdiagnosis glioma
nervus optikus, pembedahan pada tumor intraorbital progresif dan beberapa
tumor kiasma eksofitik, radioterapi pada tumor kiasma progresif yang
terjadi pada anak-anak yang tua, dan kemoterapi pada anak-anak yang muda
dibawah 5 tahun dan merupakan terapi lini pertama pada pasien tanpa
gejala.33,35

2.2.8 Prognosis
Kebanyakan pasien glioma nervus optikus perjalanan penyakitnya
lamban atau bahkan tanpa gejala. Ketahanan hidup untuk pasien glioma
nervus optikus yang terbatas pada saraf optik mendekati 100%. Keterlibatan
kiasma optikum dan terutama keterlibatan hipotalamus berhubungan dengan
tingkat penurunan ketahanan hidup, meskipun ketahanan hidup masih >90%
untuk tumor diobati dan tidak diobati.36,37
BAB III
KESIMPULAN

Glioma nervus optikus adalah neoplasma sejati yang ditemukan di mana saja di
sepanjang jalur optik, dan terjadi terutama pada anak-anak. Tumor ini biasanya
berkembang lambat, biasanya ditemukan penurunan visus yang stabil dari waktu ke
waktu, dan sering dapat diamati secara klinis tanpa pengobatan. Namun, riwayat
alamiah sering tak terduga. Ketika tumor terbatas pada satu saraf optik, pembedahan
seringkali menjadi pengobatan pilihan. Kemoterapi adalah pengobatan lini pertama
untuk sebagian besar glioma nervus optikus lainnya, diikuti dengan pengobatan radiasi
untuk anak-anak dengan penyakit progresif. Prognosis keseluruhan adalah variabel pada
penyakit ini.
DAFTAR PUSTAKA

1. Lynch TM, Gutmann DH. 2002. Neurofibromatosis 1. Neurol Clin. 20: 841 – 865.
2. Listernick R, Ferner FE, Liu GT, et al. 2007. Optic pathway gliomas in
neurofibromatosis-1: controversies and recommendations. Ann Neurol. 61: 189 –
198.
3. Miller NR. 2008. Optic pathway gliomas are tumors. Ophthal Plast Reconstr Surg.
24: 433.
4. Vaughan, Asbury. 2007. General Oftalmology 17th ed. Hal 20-23, 501-502
5. Chibis WG, Hillary AB, James JT, et al. 2009. Fundamentals and Principles of
Ophthalmology, Basic and Clinical Science Course: Sec 2. San Fransisco: AAO, pp:
5 – 40.
6. Holds JB, Chang WJ, Dailey RA, et al. 2009. Orbit, Eyelid and Lacrimal System,
Basic and Clinical Science Course. San Fransisco: AAO, hal 5 – 19.
7. Kaufman PL, Albert MD. 2002. Adler’s Physiology of the Eye Clinical Application
10th ed. St. Louis: Mosby, hal 3 – 7.
8. Lang GK. 2007. Orbital Cavity - Ophthalmology a Pocket textbook Atlas 2nd ed.
New York: Thieme, hal 415 – 417.
9. Bradford CA. 2004. Basic Ophthalmology 8th ed. San Fransisco: AAO.
10. Muller-Forel WS. 2002. Bony Orbit and Optic Canal, from Imaging of Orbital and
Visual Pathway Pathology. Heidelberg: Springer.
11. Goodman RL. 2003. Orbit, Eyelid and Ocular Adnexa, Ophthalmologi Notes The
Essential Guide. New York: Thieme.
12. Frotscher M, Baehr M. 2005. Duus’ topical diagnosis in neurology. 4th ed.
Stuttgart: Thieme, hal: 130 – 137, 155.
13. Pauwels LW, Akesson EJ, Stewart PA, et al. 2002. Cranial nerves in health and
disease. 2nd ed. London: BC Decker Inc, hal: 28 – 41.
14. Mardjono M, Sidharta P. 2004. Neurologi klinis dasar edisi V. Jakarta: Dian Rakyat,
hal: 121 – 130.
15. Lumbantobing SM. 2006. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI, hal: 25 – 37.
16. Ropper AH, Brown RH. 2005. Adams and victor’s principles of neurology 8th ed.
New York: McGraw-Hill, hal: 203 – 221, 241
17. Singhal S, Kerr B, Birch J, et al. 2002. Clinical characteristics of symptomatic
sporadic and NF1 related optic gliomata: implications for management. Archives
Dis Child. 87: 65 – 70.
18. Allen JC. 2000. Initial management of children with hypothalamic and thalamic
tumors and the modifying role of neurofibromatosis-1. Pediatr Neurosurg. 32: 154 –
162.
19. Jahraus CD, Tarbell NJ. 2006. Optic pathway gliomas. Pediatr Blood Cancer. 46:
586 – 596.
20. Peng F, Juhasz C, Bhambhani K, et al. 2007. Assessment of progression and
treatment response of optic pathway glioma with positron emission tomography
using alpha-[(11)C]methyl-L-tryptophan. Mol Imaging Biol. 9: 106 – 109.
21. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20303553 diakses tanggal 5 Oktober 2019
22. Pollack IF, et al. Rarity of PTEN deletions and EGFR amplification in malignant
gliomas of childhood: results from the Children’s Cancer Group 945 cohort. J
Neurosurg. 2006;105(suppl 5):418-424.
23. Dodge HW, Lowe JG, Craigh WM, et al. 1958. Glioma of the optic nerves. Arch
Neurol Psychiatr. 79: 607 – 621.
24. Taylor T, Jaspan T, Walker D. et al. 2008. Radiological classification of optic
pathway gliomas: experience of a modified functional classification system. Br J
Radiol. 81: 761 – 76.
25. Kanski JJ, Bowling B. 2011. Clinical Opthalmology: A systemic approach 7th ed.
New York: Elsevier Saunders.
26. Wilhelm H. 2009. Primary optic nerve tumors. Curr Op in Neur. 22: 11 – 18.
27. Dodge HW, Lowe JG, Craigh WM, et al. 1958. Glioma of the optic nerves. Arch
Neurol Psychiatr. 79: 607 – 621.
28. Koenig SB, Naidich TP, Zaparackas Z. 1982. Optic glioma masquerading as
spasmus nutans. J Pediatr Ophthalmol Strabismus. 19: 20 – 24.
29. Lavery MA, O’Neill JF, Chu FC, et al. 1984. Acquired nystagmus in early
childhood: a presenting sign of intracranial tumor. Ophthalmology. 91: 425 – 453.
30. https://eyewiki.aao.org/Optic_Atrophy diakses tanggal 6 Oktober 2019
31. Mafee MF, Goodwin J, Dorodi S. 1999. Optic nerve sheath meningiomas. Role of
MR imaging. Radiol Clin North Am. 37 (1): 37 – 58 – ix.
32. Capo H, Kupersmith MJ. 1991. Efficacy and complications of radio-therapy of
anterior visual pathway tumors. Neurol Clin. 9: 179 – 203.
33. Bianchi-Marzoli S, Brancato R. 1994. Tumors of the optic nerve and chiasm. Curr
Opin Ophthalmol. 5:11 – 17.
34. Desai SS, Paulino AC, Mai WY, et al. 2006. Radiation-induced moyamoya
syndrome. Int J Radiat Oncol Biol Phys. 65: 1222 – 1227.
35. Astrup J. 2003. Natural history and clinical management of optic pathway glioma.
Br J Neurosurg. 17: 327 – 335.
36. Pepin SM, Lessell S. 2006.Anterior visual pathway gliomas: the last 30 years. Semin
Ophthalmol. 21: 117 – 124.
37. Tow SL, Chandela S, Miller NR, et al. 2003. Long-term outcome in children with
gliomas of the anterior visual pathway. Pediatr Neurol. 28: 262 – 270.

Anda mungkin juga menyukai