Anda di halaman 1dari 65

REFRESHING

KEGAWATDARURATAN KULIT

Disusun oleh:
Mutiara Putri
2016730071

Pembimbing:
dr. Sri Katon Sulistyaningrum, Sp. KK

STASE KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN 
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKART
2020

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT, dengan rahmat dan hidayah-
Nya tugas refreshing ini dapat terselesaikan dengan baik. Tugas refreshing mengenai
kegawatdaruratan di bidang dermatologi ini disusun sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik
pada stase ilmu kulit dan kelamin Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Jakarta di Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih.
Penulis menyadari terselesaikannya tugas refreshing ini tidak lepas dari bimbingan dan
dukungan yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih kepada dr. Sri Katon Sulistyaningrum, Sp. KK yang telah membimbing penulis hingga
tugas ini dapat selesai. 
Penulis menyadari tugas refreshing ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
kekurangan. Sehingga dengan segala kerendahan hati, penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun untuk memperbaiki tugas refreshing ini. 
Penulis berharap tugas refreshing ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, serta semoga
Allah Subhanallahu Wata’ala membalas semua kebaikan dengan balasan yang terbaik. Aamiin
Ya Robbal Alamin.

Bekasi, 20 April 2020

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR    i

DAFTAR ISI    ii

DAFTAR TABEL    iv

DAFTAR GAMBAR    v

BAB I PENDAHULUAN    1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA    2

2.1    Angioedema    2

2.1.1    Definisi    2

2.1.2    Epidemiologi    2

2.1.3    Etiopatogenesis    2

2.1.4    Gambaran Klinis    3

2.1.5    Pemeriksaan Penunjuang    4


2.1.6    Tatalaksana    4

2.1.7    Prognosis    5

2.2    Nekrolisis Epidermal (Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksik (NET))     5

2.5.1    Definisi    5

2.5.2    Epidemiologi    6

2.5.3    Etiopatogenesis    6

2.5.4    Gambaran Klinis    8

2.5.5    Diagnosis Klinis dan Pemeriksaan Penunjuang    8

2.5.6    Diagnosis Banding    9

2.5.7    Tatalaksana    9

2.5.8    Prognosis    9

2.3    Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (S.S.S.S.)    10

2.3.1    Definisi    10

2.3.2    Epidemiologi    10

2.3.3    Etiologi    11

2.3.4    Patogenesis    11

2.3.5    Gambaran Klinis    11

2.3.6    Pemeriksaan Penunjuang    12

2.3.7    Diagnosis Banding    12

2.3.8    Tatalaksana    12

2.3.9    Komplikasi    13

2.3.10    Prognosis    13

2.4    Pemfigus Vulgaris    13


2.4.1    Epidemiologi    13

2.4.2    Etiologi    14

2.4.3    Patogenesis    14

2.4.4    Gambaran Klinis    14

2.4.5    Pemeriksaan Penunjang    15

2.4.6    Diagnosis Banding    16

2.4.7    Tatalaksana    17

2.4.8    Prognosis    18

2.5    Pemfigoid Bulosa    18

2.5.1    Definisi    18

2.5.2    Epidemiologi    19

2.5.3    Etiologi    19

2.5.4    Patogenesis    19

2.5.5    Gambaran Klinis    21

2.5.6    Pemeriksaan Penunjang    21

2.5.7    Diagnosis Banding    22

2.5.8    Tatalaksana    23

2.5.9    Prognosis    23

DAFTAR PUSTAKA    24
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Obat-obatan dan risiko Nekrolisis Epidermal                       7
Tabel 2.2 Angka kematian pasien SSJ-NET berdasarkan nilai SCORTEN            10
Tabel 2.3 Perbandingan pemfigoid bulosa dan pemfius vulgaris                 22

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Gambaran klinis angioedema                               3
Gambar 2.2 Alur tatalaksana angioedema                              5
Gambar 2.3 Gambaran klinis pemfigus vulgaris                         14
Gambar 2.4 Erosi pada pemfigus vulgaris                             15
Gambar 2.5 Histopatologi pada pemfigus vulgaris                         16
Gambar 2.6 Proses pembentukan bula pada model tikus pada pemfigoid bulosa         20
Gambar 2.7 Gambaran klinis pemfigoid bulosa                         21
Gambar 2.8 Histopatologi pemfigoid bulosa                             21
BAB I 
PENDAHULUAN
Gawat darurat adalah keadaan klinis yang membutuhkan tindakan medis segera untuk
penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan. (1) Dalam bidang dermatologi yang termasuk
ke dalam kegawadaruratan adalah angioedema, nekrolisis epidermal (Sindrom Steven Johnson
(SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)), Staphylococcal Scalded Skin Syndrome
(S.S.S.S.), pemfigus vulgaris, dan pemfigoid bulosa. (2)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Angioedema
1. Definisi
Angioedema adalah reaksi yang menyerupai urtikaria, namun terjadi pada
lapisan kulit yang lebih dalam, dan secara klinis ditandai dengan pembengkakan
jaringan. (3)
2. Epidemiologi
Urtikaria dan angioedema merupakan ganggaun yang sering dijumpai.
Faktor usia, ras, jenis kelamin, pekerjaan, lokasi geografis dan musim
mempengaruhi jenis pajanan yang akan dialami seseorang. Urtika atau
angioedema digolongkan sebagai akut bila berlangsung kurang dari 6 minggu, dan
dianggap kronis bila lebih dari 6 minggu. Urtika kronis umumnya dialami oleh
orang dewasa, dengan perbandingan perempuan : laki – laki adalah 2:1. Sebagian
besar anak-anak (85%) yang mengalami urtika, tidak disertai angioedema.
Sedangkan 40% dewasa yang mengalami urtika, juga mengalami angioedema. (3)
3. Etiopatogenesis
Gambaran umum urtikaria adalah vasodilatasi yang cepat dan sementara
dan ekstravasasi plasma ke dalam jaringan kulit atau mukosa disertai dengan
aktivasi saraf sensorik yang gatal. (4)
Sel mast adalah sel efektor utama dalam urtikaria dan angioedema.
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat
akibat pelepasan histamin dari sel mast dan basofil, dan mediator lain yang turut
berperan adalah serotonin, leukotrien, prostaglandin, protease, dan kinin. Berbagai
mekanisme dapat menyebabkan aktivasi sel mast, dari faktor imunologi dan non-
imunologi. Hipersensitivitas tipe cepat yang diperantai oleh IgE, contohnya alergi
obat merupakan salah satu faktor imunologi yang dapat menyebabkan aktivasi sel
mast. Sedangkan, faktor non-imunologi yang dapat menyebabkan aktivasi sel
mast seperti bahan kimia, dan faktor fisik (suhu, mekanik, ultraviolet). (3)
4. Gambaran Klinis
Gambar 2.1 Gambaran Klinis Angioedema 
(sumber: Hide M, Takahagi S, Hiragun T. Uriticaria and Angioedema. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL,
Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer JS. Fitzpatrick’s Dermatology. 9 ed. New York: McGraw
th

Hill Companies; 2019. p. 686.)

Apabila lesi melibatkan jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan
subkutis atau submucosa, akan terlihat edema dengan berbatas difus.  Rasa gatal
tidak lazim terdapat pada angioedema, lebih sering disertai rasa terbakar.
Angioedema sering dijumpai di kelopak mata dan bibir. Apabila angioedema
terjadi di mukosa saluran napas dapat terjadi sesak napas, suara serak dan rhinitis.
Angioedema di saluran cerna bermanifestasi sebagai rasa mual, muntah, kolik
abdomen dan diare. (3)
 Anamnesis
1. Gejala objektif berupa edema kulit mendadak pada area predileksi.
2. Gejala subjektif berupa rasa nyeri atau rasa terbakar, dan gatal ringan.
3. Dapat disertai atau tidak disertai urtika, sebanyak 43,8% angioedema
alergi disertai urtika.
4. Dapat disertai kesulitan menelan atau bernafas apabila ada keterlibatan
mukosa saluran nafas dan cerna.
5. Biasanya gejala timbul beberapa jam hingga 72 jam
6. Episode angioedema/urtikaria yang menetap lebih dari 6 minggu disebut
kronis, yang terbagi atas angioedema/urtikaria autoimun kronik dan
idiopatik kronik.
7. Etiologi angioedema akut pada umumnya adalah obat, makanan, infeksi,
atau faktor – faktor metabolik. (2)
 Pemeriksaan Fisik
1. Didapatkan edema sewarna kulit, atau terkadang eritema.
2. Lokasi anatomis berurutan dari paling sering yaitu wajah, periorbital,
bibir, ekstremitas, glotis, lidah, genitalia.
3. Dapat disertai gejala sesak nafas. (2)
5. Pemeriksaan Penunjuang
Pemeriksaan penunjuang tidak rutin dilakukan pada angioedema akut, dan
disarankan pada angioedema kronik. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan
bergantung pada penyebab yang dicurigai berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. (2) Adapun pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah:
1. Pemeriksaan darah, urin dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi
yang tersembunyi, infestasi, atau kelainan alat dalam.
2. Pemeriksaan kadar IgE total dan eosinophil untuk mencari kemungkinan
kaitannya dengan faktor atopi.
3. Uji tusuk kulit terhadap berbagai makanan dan inhalan.
4. Uji serum autolog atau autologous serum skin test (ASST) dilakukan untuk
membuktikan adanya urtikaria autoimun.
5. Uji dermografisme dan uji dengan es batu (ice cube test) untuk mencari
penyebab fisik
6. Pemeriksaan histopatologis kulit perlu dilakukan bila terdapat kemungkinan
urtikaria sebagai gejala vaskulitis atau msatositosis. (3)
6. Tatalaksana
Hal terpenting dalam penatalaksanaan urtika adalah identifikasi dan
eleminasi penyebab dan faktor pencetus. Pasien juga dijelaskan tentang
pentingnya menghindari konsumsi alkohol, kelelahan fisik dan mental, tekanan
pada kulit misalnya pakaian yang ketat, dan suhu lingkungan yang sangat panas,
karena dapat memperberat gejala. (3)
Pada urtika yang luas atau disertai dengan angioedema, perlu dilakukan
rawat inap dan selain pemberian antihistamin, juga diberikan kortikosteroid
sistemik (metilprednisolon dosis 40 – 200 mg) untuk waktu yang singkat. 
Gambar 2.2 Alur tatalaksana angioedema
(Sumber: Widaty S, Soebono H, Nilasari H, Listiawan MY, Siswati AS, Triwahyudi D, et al., editors dan
penyusun. Panduan Praktis Klinis Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia. Jakarta: PERDOSKI;
2017.)

7. Prognosis
Sekitar 50% pasien urtika kronis akan sembuh dalam waktu 1 tahun, 65%
sembuh dalam waktu 3 tahun dan 85% akan sembuh dalam waktu 5 tahun. pada
kurang dari 5% pasien, lesi akan menetap lebih dari 10 tahun. (3)
2.  Nekrolisis Epidermal (Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksik
(NET))
1. Definisi
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)
merupakan reaksi mukokutan akut yang mengancam nyawa, ditandai dengan
nekrosis epidermis yang luas sehingga terlepas. Kedua penyakit ini mirip dalam
gejala klinis dan histopatologis, faktor risiko, penyebab dan patogenesisnya,
sehingga saat ini digolongkan dalam proses yang identik, namun dibedakan
berdasarkan tingkat keparahan. Pada SSJ, terdapat epidermolisis sebesar <10%
luas permukaan badan (LPB), sedangkan pada NET>30%. Keterlibatan 10% -
30% LPB disebut sebagai overlap SSJ-NET. (5)
2. Epidemiologi
SSJ-NET merupakan penyakit yang jarang. Secara umum insiden SSJ
adalah 1-6 kasus/juta penduduk/tahun, dan insiden NET 0,4 – 1,2 kasus/juta
penduduk/tahun. (5) Data dari ruang rawat inap RSCM menunjukkan bahwa
selama tahun 2010 – 2013 terdapat 57 kasus dengan rincian: SSJ 47,7%, overlap
SSJ-NET 19,3% dan NET 33,3%. (6)
Penyakit ini dapat terjadi pada setiap usia, terjadi peningkatan risikonya
meningkat seiring bertambah usia, mengarah pada insiden tertinggi pada orang
dewasa yang lebih tua setelah usia 65 tahun. Perempuan lebih sering terkena
dibandingkan laki – laki dengan rasio 0,6. (5,6)
3. Etiopatogenesis
Mekanisme pasti terjadinya SSJ-NET belum sepenuhnya diketahu. Pada
lesi SSJ-NET terjadi reaksi sitotoksik terhadap keratinosit sehingga
mengakibatkan apoptosis luas. Reaksi sitotoksik yang terjadi melibatkan sel NK
dan sel limfosit T CD8+ yang spesifik terhadap obat penyebab. Berbagai sitokin
terlibat dalam pathogenesis penyakit ini, yaitu: IL-6, TNF-α, INF-γ, IL-8, Fas-L,
granulisin, perforin, granzin-B. (6)
Sebagian besar SSJ-NET disebabkan karena alergi obat. Berbagai obat
dilaporkan merupakan penyebab SSJ-NET. Obat-obat yang sering menyebabkan
SSJ-NET adalah sulfonamida, antikonvulsa aromatic, alopurinol, anti-inflamasi
non-steroid dan nevirapine. Pada beberapa obat tertentu, misalnya karbamazepin
dan alopurinol, faktor genetic yaitu sistem HLA berperan pada proses terjadinya
SSJ-NET. (6)
Tabel 2.1 Obat – Obatan dan Risiko Nekrolisis Epidermal
(sumber: Mockenhaupt M, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson Syndrome and Toxic
Epidermal Necrolysis. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer
JS. Fitzpatrick’s Dermatology. 9 ed. New York: McGraw Hill Companies; 2019. p. 734)
th

Infeksi juga dapat menyebabkan SSJ-NET, namun tidak sebanyak pada


kasus eritema multiform; misalnya terkait dengan infeksi Mycoplasma
pneumoniae, dan penyakit virus telah dilaporkan, terutama pada anak - anak. Hal
tersebut menjelaskan bahwa obat-obatan bukan satu-satunya penyebab Nekrolisis
Epidermal. (5,6)
4. Gambaran Klinis
Gejala SSJ-NET timbul dalam waktu 8 minggu setelah awal pajanan obat.
Sebelum terjadi lesi kulit, dapat timbul gejala non-spesifik, misalnya demam, sakit
kepala, batuk/pilek dan malaise selama 1-3 hari. Lesi kulit tersebar secara simetris
pada wajah, badan dan bagian proksimal ekstremitas, berupa makula eritematosa
atau purpurik, dapat pula dijumpai lesi target, Dengan bertambahnya waktu, lesi
kulit meluas dan berkembang menjadi nekrotik, sehingga terjadi bula kendur
dengan tanda nikolsky positif. Keparahan dan diagnosis bergantung pada luasnya
permukaan tubuh yang mengalami epidermolisis. Lesi pada mukosa berupa
eritema da erosi biasanya dijumpai minimal pada 2 lokasi, yaitu mulut dan
konjungtiva, dapat juga ditemukan erosi di mukosa genital. Keterlibatan organ
dalam juga dapat terjadi, namun jarang, misalnya paru, saluran cerna, dan ginjal.
(6)
5. Diagnosis Klinis dan Pemeriksaan Penunjuang
Dasar diagnosis SSJ-NET adalah anamnesis yang teliti tentang kronologis
perjalanan penyakit, disertai hubungan waktu yang jelas dengan konsumsi obat
tersangka; dan gambaran klinis lesi kulit dan mukosa. Diagnosis SSJ ditegakkan
bila epidermolisis hanya ditemukan <10% LPB, NET bila epidermolisis >30%
LPB dan overlap SSJ-NET bila epidermolisis 10% - 30% LPB. (6)
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang penting untuk menunjang
diagnosis. Pemeriksaan histopatologi kulit dapat menyingkirkan diagnosis
banding, dan umumnya diperukan untuk kepentingan medikolegal. Pemeriksaan
laboratorium perlu dilakukan untuk evaluasi keparahan penyakit dan untuk
tatalaksana pasien. (6)
Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah darah tepi lengkap, analisis gas
darah, kadar elektrolit, albumin dan protein darah, fungsi ginjal, fungsi hepar, gula
darah sewaktu dan foto rontgen paru. Selama perawatan, perlu di waspadai tanda
– tanda sepsis secara klinis dan dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk
menunjang diagnosis sepsis. (6)
6. Diagnosis Banding
Berbagai penyakit kulit bulosa dapat menyerupai SSJ-NET, misalnya:
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome, generalized bullous fixed drug eruption,
ecute generalized exanthematous pustulosis, graft versus host disease dan lupus
eritematosus bulosa. Gambaran klinis SSJ sering sulit dibedakan dengan eritema
multiforme mayor. (6)
7. Tatalaksana
SSJ-NET adalah penyakit yang mengancam nyawa dan membutuhkan
tatalaksana yang optimal berupa: deteksi dini dan penghentian segera obat
tersangka, serta disarankan untuk merawat pasien SSJ-NET di ruang perawatan
khusus. (6)
Perawatan suportif mencakup: mempertahankan keseimbangan cairan,
elektrolit, suhu lingkungan yang optimal 28-30℃, nutrisi sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan asupan makanan, perawatan kulit secara aspetik tanpa
debridement, perawatan mata dan mukosa mulut. Berbagai terapi spesifik telah
dipakai untuk mengatasi penyakit ini, namun belum diperoleh hasil yang jelas
karena sulitnya mengadakan uji klinis untuk penyakit yang jarang ini. Penggunaan
kortikosteroid sistemik sampai saat ini, hasilnya masih sangat beragam, sehingga
penggunaannya belum dianjurkan. Kebijakan yang dipakai di ruang rawat Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM adalah menggunakan kortikosteroid sistemik
untuk setiap kasus SSJ-NET, dengan hasil yang cukup baik dengan angka
kematian pada periode 2010-2013 sebesar 10,5%. IVIg, Siklosporin A,
siklosfosfamin, plasmaferesis dan hemodialisis juga telah digunakan di berbagai
negara dengan hasil yang bervariasi. (6)
8. Prognosis
 Angka kematian keseluruhan terkait dengan EN adalah 20% hingga 25%,
bervariasi dari 5% hingga 12% untuk SJS hingga lebih dari 30% untuk NET.
Bertambahnya usia, komorbiditas yang signifikan, dan tingkat keterlibatan kulit
yang lebih besar berkorelasi dengan prognosis yang buruk. FITZ Dalam
perjalanan penyakitnya, SSJ-NET dapat mengalami penyulit yang mengancam
nyawa berupa sepsis dan multiple organ failure. Bastuji-Garin, dkk. (2000)
mengajukan cara menilai prognosis SSJ-NET berdasarkan Scorten. Nilai scorten
ini dianjurkan untuk dievaluasi pada hari ke-1 dan ke-3.  Scorten memberikan
nilai 1 untuk hal-hal berikut: (6)
 Usia > 40 tahun
 Denyut jantung > 120/menit
 Terdapat kanker atau keganasan hematologi
 Epidermolisis > 10% LPB
 Kadar urea serum > 10mm/L (>28mg/dL)
 Kadar bikarbonat serum < 20 mEq/L
 Kadar gula darah sewaktu > 14 mm/L (>252mg/dL)
Tabel 2.2 Angka kematian pasien SSJ-NET Berdasarkan Nilai SCORTEN
(sumber: Effendi EH. Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik. In: Menaldi SLSW,
Bramono K, Indriatmi W, editors.  Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7 ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
th

2016. p. 200.)

Pada pasien yang mengalami penyembuhan, re-epitelisasi terjadi dalam


waktu rerata 3 minggu. Gejala sisa yang sering terjadi adalah skar pada mata dan
gangguan penglihatan. Kadang-kadang terjadi skar pada kulit, gangguan
pigmentasi dan gangguan pertumbuhan kuku. (6)
3. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (S.S.S.S.)
1. Definisi
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (S.S.S.S) adalah infeksi kulit oleh
Staphylococcus aureus  tipe tertenu dengan ciri yang khas yaitu terdapat
epidermolisis. (7)
2. Epidemiologi
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (S.S.S.S.) pertama kali dilaporkan
oleh Ritter von Rittershain dan sering disingkat menjadi penyakit Ritter.
Sinonimnya adalah dermatitis eksvoliata. Penyakit ini terutama terdapat pada anak
di bawah 5 tahun, pria lebih banyak daripada wanita. (7)
3. Etiologi
Etiologinya antara lain ialah Staphylococcus aureus grup II faga 52, 55,
dan/atau faga 71. (7)
4. Patogenesis
Sebagai sumber infeksi ialah infeksi pada mata, hidung, tenggorok, telinga.
Eksotoksin yang dikeluarkan bersifat epidermolitik (epidermilin dan eksfoliatin)
yang beredar di seluruh tubuh, sampai pada epidermis merupakan jaringan yang
rentan terhadap toksin ini. Pada kulit tidak selalu ditemukan kuman penyebab. (7)
Fungsi ginjal yang baik diperlukan untuk mengekskresikan eksfoliatin.
Pada anak – anak dan bayi diduga fungsi ekskresi ginjal belum sempurna karena
itu umumnya penyakit ini terdapat pada golongan usia tersebut. Jika penyakit ini
menyerang orang dewaasa diduga karean terdapat kegagalan fungsi ginjal, atau
terdapat gangguan imunologik, termasuk yang mendapat imunosupresif. (7)
5. Gambaran Klinis
Pada umumnya terdapat demam yang tinggi disertai infeksi di saluran
napas bagian atas. Kelainan kulit yang pertama timbul ialah eritema yang timbul
mendadak pada wajah, leher, aksila, dan lipat paha. Kemudian menyeluruh dalam
waktu 24 jam. Dalam waktu 24 – 48 jam akan timbul bula – bula besar berdinding
kendur. Jika kulit yang tampaknya normal ditekan dan digesel kulit tersebut akan
terkelupas sehingga memberi tanda nikolsky positif. Dalam 2 – 3 hari terjadi
pengriputan spontan disertai pengelupasan lembaran-lembaran kulit sehingga
tampak daerah – daerah erosif. Akibat epidermolisis tersebut, gambarannya mirip
kombustio. Daerah-daerah tersebut akan mengering dalam beberapa hari dan
terjadi deskuamasi. Deskuamasi pada daerah yang tidak eritematosa dan tidak
mengelupas akan terjadi dalam waktu 10 hari. Meskipun bibir sering dikenai,
tetapi mukosa jarang diserang. Penyembuhan penyakit akan terjadi setelah 10 – 14
hari tanpa disertai sikatris. (7)

6. Pemeriksaan Penunjuang
1. Pemeriksaan bakterial
Jika terdapat infeksi di tempat lain, misalnya di saluran nafas dapat
dilakukan pemeriksaan bakteriologik. Juga sebaiknya diperiksa mengenai tipe
kuman, karena S.S.S.S. disebabkan oleh Staphylococcus aureus tipe tertentu.
Pada kulit, seperti telah disebutkan, tidak didapati kuman penyebab karena
kerusakan kulit akibat toksin. (7)
2. Pemeriksaan histopatologi
Pada S.S.S.S. terdapat gambaran yang khas, yakni terlihat lepuh
intradermal, celah terdapat di stratum granulosum. Meskipun ruang lepuh
sering mengandung sel-sel akantolitik, epidermis sisanya tampak utuh tanpa
disertai nekrosis sel. (7)
7. Diagnosis Banding
Penyakit ini sangat mirip dengan NET. Perbedaannya, S.S.S.S. umumnya
menyerang anak dibawah lima tahun, mulainya kelainan kulit di wajah, leher,
aksila dan lipat paha; mukosa umumnya tidak dikenai, organ dalam tidak
diserang, dan angka kematiannya lebih rendah. (7)
Kedua penyakit tersebut penyakit tersebut agak sulit dibedakan, oleh
karena itu hendaknya dilakukan pemeriksaan histopatologik secara frozen section
agak hasilnya cepat diketahui, karena prinsip terapi kedua penyakit tersebut
berbeda. Perbedaannya terletak pada letak celah, pada S.S.S.S. di statum
granulosum, sedangkan pada NET di subepidermal. Perbedaan lain, pada NET
terdapat sel-sel nekrosis di sekitar celah dan banyak terdapat sel radang. (7)
8. Tatalaksana
Berbeda dengan pengobatan pada NET, maka kortikosteroid tidak perlu
diberikan. Pengobatannya ialah antibiotic, jika dipilih derivat penisilin
hendaknya yang juga efektif bagi Staphylococcus aureus, misalnya kloksasilin
dengan dosis 3x50 mg sehari per os. Obat lain yang dapat diberikan ialah
klindamisin dan sefalosporin generasi I. topical dapat diberikan sofratulle atau
krim antibiotik. Selain itu juga harus diperhatikan keseimbangan cairan dan
elektrolit. (7)
9. Komplikasi
Meskipus S.S.S.S. dapat sembuh spontan, dapat pula komplikasi,
misalnya: selulitis, pneumonia, dan septikemia. (7)
10. Prognosis
Kematian dapat terjadi, terutama pada bayi berusia di bawah setahun, yang
berkisar antara 1 – 10%. Penyebab utama kematian ialah tidak adanya
keseimbangan cairan/elektrolit dan sepsis (7)
4. Pemfigus Vulgaris
Pemfigus merupakan kumpulan penyakit kulit autoimun berbula kronik,
menyerang kulit dan membrane mukosa yang secara histologi ditandai dengan bula
intraepidermal akibat proses akantolisis dan secara imunopatologik ditemukan antibody
terhadap komponen desmosom pada permukaan keratinosit jenis IgG, yang terikat
maupun beredar dalam sirkulasi darah. (8)
Terdapat 4 bentuk dari pemfigus: pemfigus vulgaris, pemfigus eritematosus,
pemfigus foliaseus, dan pemfigus vegetans. Apabila berdasarkan letak celah pemfigus,
maka dibagi menjadi 2: pada suprabasal yaitu pemfigus vularis dan pemfigus vegetans,
dan pada stratum granulosum yaitu pemfigus foliaseus dan pemfigus eritematosus. (8)
Semua penyakit tersebut memberi gejala yang khas, yaitu pembentukan bula yang
kendur pada kulit yang umumnya terlihat normal dan mudah pecah, pada penekanan bula
tersebut akan meluas (tanda nikolsky positif), akantolisis selalu positif, dan adanya
antibody tipe IgG terhadap antigen intraseluler di epidermis yang dapat ditemukan dalam
serum, maupun terikat di epidermis. (8)
1. Epidemiologi
Pemvigus vulgaris (PV) merupakan bentuk yang tersering dijumpai (80%
dari semua kasus). Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan dapat mengenai
semua bangsa dan ras. Frekuensinya pada kedua jenis kelamin sama, namun pada
buku Fitzpatrick’s dikatakan bahwa rasio jenis kelamin pada pemfigus vulgaris
perbandingan antara wanita dengan laki – laki berkisar 1,33 -2,25. Umumnya
mengenai umur pertengahan (dekade ke-4 dan ke-5), tetapi dapat juga mengenai
semua umur, termasuk anak-anak. (8)
Di Yerusalem, insifen PV diperkirakan 1,6 per 100.000 orang per tahun
dan di Iran sekitar 10 per 100.000 orang pertahun. Di Eropa insiden lebih rendah
mulai dari 0,7 kasus per 100.000 orang pertahun. Di Inggris hingga 10 kali lipat
lebih rendah, 0,5 hingga 1 perjuta orang pertahun. Di Taiwan insidennya sebesar
4,7 per juta per tahun. (9)
2. Etiologi
Etiologi dari pemfigus vulgaris adalah autoimun. (8)
3. Patogenesis
Semua pemfigus memiliki sifat yang khas, yaitu hilangnya kohesi sel-sel
epidermis (akantolisis) dan adanya antibody IgG terhadap antigen determinan
yang ada di permukaan keratinosit yang sedang berdiferensiasi.(8)
Pembentukan bula pada pemfigus vulgaris diakibatkan karena reaksi
autoimun terhadap antigen pemfigus vulgaris. Antigen ini merupakan
transmembrane glikoprotein dengan berat molekul 130 kD yang terdapat pada
permukaan sel-sel keratinosit. (8)
Target antigen pada PV adalah desmoglien yang merupakan salah satu
komponen desmosom. Fungsi desmosom adalah meningkatkan kekuatan mekanik
epitel gepeng berlapis yang terdapat pada kulit dan mukosa. (8)
4. Gambaran Klinis
Gambar 2.3 Gambaran Klinis Pemfigus Vulgaris
(sumber: Payne AS, Stanley JR. Pemphigus. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ,
McMichael AJ, Orringer JS. Fitzpatrick’s Dermatology. 9 ed. New York: McGraw Hill Companies; 2019.
th

p.912.)

Keadaan umum penderita pasien biasanya buruk. Penyakit dapat dimulai


sebagai lesi dikulit kepada yang berambut atau rongga mulut kira-kira pada 60%
kasus. Semua selaput lendir dengan epitel skuamosa dapat diserang, seperti
selaput lendir konjungtiva, hidung, faring, laring, esofagus, uretra, vulva dan
serviks. (8)
Bula yang timbul berdinding kendur, mudah pecah dan meninggalkan kulit
terkelupas, dan diikuti oleh pembentukan krusta yang lama bertahan di atas kulit
yang terkelupas tersebut. Bula dapat timbul di atas kulit yang tampak normal atau
eritematosa dan generalisata. Tanda nikolsky positif disebabkan oleh adanya
akantolisis. (8)
Gambar 2.4 erosi pada pemfigus vulgaris
(sumber: Payne AS, Stanley JR. Pemphigus. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ,
McMichael AJ, Orringer JS. Fitzpatrick’s Dermatology. 9 ed. New York: McGraw Hill Companies; 2019.
th

p.912.)

Pruritus tidak umum terjadi pada pemfigus, tetapi penderita sering


mengeluh nyeri pada kulit yang terkelupas. Epitelisasi terjadi setelah
penyembuhan dengan meninggalkan hipopigmentasi atau hiperpigmentasi dan
biasanya tanpa jaringan parut. (8)
5. Pemeriksaan Penunjang
1. Histopatologi
Pada gambaran histopatologi didapatkan bula suprabasal dan sel-sel
epitel yang mengalami akantolisis pada dasar bula yang menyebabkan uji
Tzanck positif. Uji Tzanck berguna untuk menentukan adanya sel-sel
akantolitik, tetapi bukan diagnosis pasti untuk penyakit pemfigus. 
Pada pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop elektron dapat
diketahui bahwa permulaan perubahan patologik adalah perlunakan segmen
intraselular, dan terlihat perusakan desmosome dan tonofilament sebagai
peristiwa sekunder
Sel basal akan tetap melekat pada membrane basal tetapi hilang
kontak dengan tetangganya, membentuk gambara “row of tombstones” atau
dalam bahasa Indonesia disebut sebagai deretan baru nisan.
Gambar 2.5 Histopatologi pada Pemfigus Vulgaris
(sumber: Payne AS, Stanley JR. Pemphigus. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis
DJ, McMichael AJ, Orringer JS. Fitzpatrick’s Dermatology. 9 ed. New York: McGraw Hill
th

Companies; 2019. p.921.)


2. Imunologi
Pada tes imuoflouresensi langsung didapatkan antibodi interselular
tipe IgG dan C3. Pada tes imunoflouresensi tidak langsung didapatkan
antibodi pemfigus tipe IgG. Tes yang pertama lebih dipercaya daripada tes
kedua, karena telah menjadi positif pada permulaan penyakit. Seringkali
sebelum tes kedua menjadi positif, dan tetap positif pada waktu yang lama,
meskipus penyakitnya telah membaik. (8)
Antibodi pemfigus ini sangat spesifik untuk pemfigus. Titer antibody
umumnya sejajar dengan beratnya penyakit dan akan menurun kemudian
menghilang dengan pengobatan kortikosteroid. (8)
6. Diagnosis Banding
Pemfigus vulgaris dibedakan dengan dermatitis herpertiformis, yang dapat
mengenai anak dan dewasa dengan keadaan umum baik, keluhan sangat gatal,
ruam polimorf, dinding vesikel/bula tegang dan berkelompok, dan mempunyai
tempat predileksi. Sebaliknya pemfigus terutama terdapat pada orang dewasa,
keadaan umum buruk, tidak gatal, bula berdinding kendur, dan biasanya
generalisata. (8)
Pada gambaran histopatologi dermatitis herpetiformis, letak vesikel/bula di
subepidermal, sedangkan pada pemfigus vulgaris terletak di intraepidermal dan
terdapat akantolisis. Pemeriksaan imunoflouresensi pada pemfigus menunjukkan
IgG yang terletak intraepidermal, sedangkan pada dermatitis herpetiformis
terdapat IgA berbentuk granular intrapapilar. (8)
Pemfigoid bulosa berbeda dengan pemfigus vulgaris karena keadaan
umumnya baik, dinding bula yang tegang, letaknya di subepidermal dan terdapat
IgG linier. (8)
7. Tatalaksana
Obat utama addalah kortikosteroid karena bersifat imunosupresif, dan yang
paling sering digunakan adalah predison dan deksametason. Dosis prednisone
bervariasi bergantung pada berat ringannya penyakit, yaitu 60 – 150 mg sehari.
Ada pula yang menggunakan 3mg/kgBB sehari bagi pemfigus yang berat. Pada
dosis tinggi sebaiknya berikan deksametason im atau iv. Keseimbangan cairan dan
gangguan elektrolit perlu diperhatikan. (8)
Jika belum ada perbaikan, yang berarti masih timbul lesi baru setelah 5 – 7
hari, maka dosis dinaikkan 50%. Kalau telah ada perbaikan dosis diturunkan
secara bertahap. Biasanya 5 – 7 hari diturunkan 10 – 20 mg bergantung pada
respons masing-masing. Cara yang terbaik adalah memantai titer antibodi karena
antibodi tersebut menunjukkan keaktifan penyakit. Apabila titer stabil, maka
penurunan dosis lambat, namun apabila titer menurun, maka penurunan dosis
lebih cepat. (8)
Apabila telah dicapai dosis pemeliharaan, untuk mengurangi efek samping
kortikosteroid, obat diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi hari pukul 8.
Alasannya, pada waktu tersebut kadar kortisol dalam darah paling tinggi.
Sebaiknya obat diberikan selang sehari, diharapkan pada waktu bebas obat tidak
terjadi penekanan terhadap kelenjar korteks adrenal. (8)
Efek samping kortikosteroid yang berat adalah atrofi kelenjar adrenal
bagian korteks, ulkus peptikum, dan osteoporosis yang dapat menyebabkan
fraktur kolumna vertebra pars lumbalis. Untuk mengurangi efek samping
kortikosteroid dapat dikombinasikan dengan ajuvan yang terkuat yaitu sitostatik.
(8)
Terdapat 2 pendapat untuk penggunaan sitostatik sebagai ajuvan pada
pengobatan pemfigus. Pendapat pertama adalah diberikan sejak awal bersama-
sama dengan kortikosteroid sistemik dengan tujuan dosis kortikosteroid tidak
terlampau tinggi sehingga efek samping lebih sedikit. Pendapat kedua adalah
sitostatik diberikan apabila kortikosteroid sistemik dosis lebih tinggi kurang
memberikan respons. Terdapat kontraindikasi misalnya ulkus peptikum, diabetes
mellitus, katarak dan osteoporosis, dan penurunan dosis pada saat telah terjadi
perbaikan tidak seperti yang diharapkan. (8)
Sitostatik merupakan ajuvan yang terkuat karena bersifat imunosupresif.
Obat sitostatik untuk pemfigus adalah azatioprin, siklosfosfamid, metotreksat, dan
mikofenolat mofetil. Obat sitostatik sebaiknya diberikan jika dosis predison
menjadi 60 mg sehari untuk mencegah sepsis dan bronkopneumonia. Apabila
menggunakan azatriopin dosisnya adalah 50 – 150 mg sehari atau 1 – 3 mg per
kgBB, sedangkan siklosfosfamid menggunakan dosis 50 – 100 mg sehari.
Mikrofenolat mofetil dikatakan lebih efektif dibandingkan azatiorin, dosisnya
adalah 2x1 g sehari. (8)
Pengobatan topical sebenarnya tidak penting dibandingkan daerah
pengobatan sistemik. Pada daerah yang erosif dapat diberikan silver sulfadiazine,
yang berfungsi sebagai antiseptik dan astringen. Pada lesi pemfigus yang sedikit
diobati dengan kortikosteroid secara intralesi (interdermal) dengan triasinolon
asetonid.  (8)
8. Prognosis
Sebelum kortikosteroid digunakan, kematian terjadi pada 50% penderita.
Sebab kematiannya adalah sepsis, kaheksia, dan ketidakseimbangan elektrolit.
Namun, pengobatan dengan kortikosteroid membuat prognosis menjadi lebih
baik. (8)
5. Pemfigoid Bulosa
1. Definisi
Pemfigoid bulosa (PB) adalah penyakit autoimun kronik, ditandai adanya
bula subepidermal yang bersar dan berdinding tegang, dan pada pemeriksaan
imunopatologik ditemukan C3 (komponen komplemen ke-3) pada epidermal
basement membrane zone (BMZ). (10)
2. Epidemiologi
Pemfigoid bulosa biasanya terjadi pada pasien yang lebih tua dari 60
tahun, dengan insiden puncak pada 70-an. Insiden pada orang dewasa paruh baya
dan bahkan bayi dan anak anak sangat jarang terjadi. Tidak ada kecenderungan
etnis, ras, atau seksual untuk mengembangkan pemfigoid bulosa. (10)
Insifen pemfigoid bulosa diperkirakan 7 per 1 juta per kasus di Jernan. Dan
14 per 1 juta per tahun di Skotlandia. Studi baru – baru ini menunjukkan bahwa
kejadian pemfigoid bulosa meningkat dan mungkin setinggi 22 hingga 24 per 1
juta kasus di Amerika Serikat dan Prancis, 43 per 1 juta per tahun di Inggris Raya.
(11)
3. Etiologi
Etiologinya adalah autoimun. (10)
4. Patogenesis
Antigen pada pemfigoid bulosa adalah protein yang terdapat pada
hemidesmosome sel basal, diproduksi oleh sel basal dan merupakan bagian
BMZ epitel gepeng berlapis. Fungsi dari hemidesmosom adalah melekatnya sel-
sel basal dengan membrane basal, struktur hemidesmosom berbeda dengan
desmosom. (10)
Terdapat 2 jenis antigen PB yang dibedakan berdasarkan berat
molekulnya. Pertama adalah dengan berat molekul 230 kD disebut PB Antigen 1
(PBAg1) atau PB 230 dan kedua dengan berat molekul 180 kD dinamakan PB
Antigen 2 (PBAg2) atau PB 180. PB 230 lebih banyak ditemukan dibanding
dengan PB 180. (10)

Gambar 2.6 Proses pembentukan bula pada model tikus pada Pemfigoid Bulosa
 
(Sumber: Culton DA, Liu Z, Diaz LA. Bullous Pemphigoid. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH,
Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer JS. Fitzpatrick’s Dermatology. 9 ed. New York: McGraw Hill
th

Companies; 2019. p.948.)

Proses terbentuknya bula subepidermal pada pemfigoid bulosa diawali


dengan terjadinya ikatan antara IgG anti PB 180 berikatan dengan epitop
pathogen antigen PB180 pada permukaan keratinosit basal (KB). Kemudian
interaksi antara antigen PB180 dengan IgG anti-PB180 akan mengaktifkan jalur
klasik sistem komplemen (C’) dan menyebabkan sel mast (MC) mengalami
degranulasi. Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) dan mediator proinflamasi
lainnya yang dirilis oleh sel mast akan merekrut neutrofil (PMN). PMN akan
mengikat kompleks imun PB180-anti-PB180 melalui interaksi molekul antara
reseptor FcFRII pada neutrofil dan domain Fc dari IgG anti-PB180. Interaksi
tersebut akan mengaktifkan PMN dan melepaskan neutrofil elastase (NE),
gelatinase B (MMP-9), da activator plasminogen (PA), dan Reactive Oxygen
Species (ROS). Enzim proteolitik dan ROS akan bekerja bersama untuk
mendegradasi PB180 dan protein matriks ekstraseluler lainnya yang mengarah
ke pembentukan bula subepidermal. (11)
5. Gambaran Klinis
Gambar 2.7 gambaran klinis pemfigoid bulosa
(Sumber: Culton DA, Liu Z, Diaz LA. Bullous Pemphigoid. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH,
Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer JS. Fitzpatrick’s Dermatology. 9 ed. New York: McGraw Hill
th

Companies; 2019. p.944-962.)

Kelainan kulit terutama terdiri atas bula yang dapat bercampur dengan
vesikel berdinding tegang. Jika bula pecah terdapat daerah erosive yang luas,
tetapi tidak bertambah seperti pemfigus vulgaris. Pemfigoid bulosa sering disertai
eritema. Tempat predileksi ialah ketika, lengan bagian fleksor, dan lipat paha. (10)
6. Pemeriksaan Penunjang
1. Histopatologi
Gambar 2.8 Histopatologi Pemfigoid Bulosa 
(Sumber: Culton DA, Liu Z, Diaz LA. Bullous Pemphigoid. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk
AH, Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer JS. Fitzpatrick’s Dermatology. 9 ed. New York: McGraw
th

Hill Companies; 2019. p.950.)


Terlihat gambaran berupat terbentuknya celah di subepidermal dengan
sel infiltrate yang utama adalah eosinofil. (10,11)

2. Imunologi
Pada pemeriksaan imunofluoresensi terdapat endapat IgG dan C3
tersusun seperti pita di BMZ (Basement Membrane Zone). (10)
7. Diagnosis Banding
Penyakit ini dibedakan dengan pemfigus vulgaris dan dermatitis
herpetiformis. Pada pemfigus keadaan umumnya buruk, sedangkan pemfigoid
bulosa memiliki keadaan umum yang baik, selain itu dinding bula pada pemfigus
vulgaris adalah berdinding kendur, generalisata, letak bula intraepidermal, dan
terdapat IgG di stratum spinosum. (10)
Pada dermatitis herpetiformis, sangat gatal, ruam yang utama ialah vesikel
berkelompok, terdapat IgA tersusun granular. (10)
Tabel 2.3 Perbandinngan pemfigoid bulosa dan pemfigus vulgaris 
(sumber: Culton DA, Liu Z, Diaz LA. Bullous Pemphigoid. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH,
Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer JS. Fitzpatrick’s Dermatology. 9 ed. New York: McGraw Hill
th

Companies; 2019. p.952.

8. Tatalaksana
Pengobatan dengan kortikosteroid. Dosis prednisone 40 – 60 mg sehari,
jika telah tampak perbaikan dosis diturunkan perlahan-lahan. Sebagian besar
kasus dapat disebuhkan dengan kortikosteroid saja. (10)
Jika dengan kortikosteroid belum tampak perbaikan, dapat
dipertimbangkan pemberian sitostatik yang dikombinasikan dengan
kortikosteroid. Cara dan dosis pemberian sitostatik sama seperti pada pengobatan
pemfigus. (10)
Bila infiltrat lebih banyak mengandung sel neutrophil, dapat diberikan
DDS dengan dosis 200 – 300 mg/hari seperti pengobatan dermatitis
herpetiformais. Pengobatan kombinasi tetraksilin (3x500 mg sehari) dengan
niasinamid (3x500 mg sehari) memberi respons yang baik pada Sebagian kasus
terutama yang tidak berat. Apabila tetrasiklin merupakan kontraindikasi dapat
diberikan eritromisin. (10)
Pemfigoid bulosa dianggap sebagai penyakit autoimun, oleh karena itu,
memerlukan pengobatan yang lama. Sebagian penderita akan mengalami efek
samping kortikosteroid sistem. Untuk mencegahnya dapat diberikan kombinasi
tetrasiklin/eritromisin dan niasinamid setelah penyakitnya membaik. Efek
samping kedua obat tersebut lebih sedikit daripada kortikosteroid sistemik. (10)
9. Prognosis
Kematian jarang dibandingkan dengan pemfigus vulgaris, dapat terjadi
remisi spontan. (10)

DAFTAR PUSTAKA

1. Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2018


Tentang Pelayanan Kegawatdaruratan Pasal 1. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik
Indonesia; 2018.
2. Widaty S, Soebono H, Nilasari H, Listiawan MY, Siswati AS, Triwahyudi D, et al.,
editors dan penyusun. Panduan Praktis Klinis Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di
Indonesia. Jakarta: PERDOSKI; 2017.
3. Aisah S, Effendi EH. Urtikaria dan Angioedema. In: Menaldi SLSW, Bramono K,
Indriatmi W, editors.  Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7 ed. Jakarta: Badan Penerbit
th

FKUI; 2016. p. 311-314.


4. Hide M, Takahagi S, Hiragun T. Uriticaria and Angioedema. In: Kang S, Amagai M,
Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer JS. Fitzpatrick’s
Dermatology. 9 ed. New York: McGraw Hill Companies; 2019. p. 691-692.
th
5. Mockenhaupt M, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson Syndrome and
Toxic Epidermal Necrolysis. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ,
McMichael AJ, Orringer JS. Fitzpatrick’s Dermatology. 9 ed. New York: McGraw Hill
th

Companies; 2019. p. 733 – 745.


6. Effendi EH. Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik. In: Menaldi
SLSW, Bramono K, Indriatmi W, editors.  Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7 ed. Jakarta:
th

Badan Penerbit FKUI; 2016. p. 199-200.


7. Djuanda A. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome. In: Menaldi SLSW, Bramono K,
Indriatmi W, editors.  Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7 ed. Jakarta: Badan Penerbit
th

FKUI; 2016. p. 76-77.


8. Wiryadi BE. Pemfigus Vulgaris. In: Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi W, editors. 
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7 ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2016. p. 234-238.
th

9. Payne AS, Stanley JR. Pemphigus. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH,
Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer JS. Fitzpatrick’s Dermatology. 9 ed. New York:
th

McGraw Hill Companies; 2019. p.909-926.


10. Wiryadi BE. Pemfigoid Bulosa. In: Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi W, editors. 
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7 ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2016. p. 240-241.
th

11. Culton DA, Liu Z, Diaz LA. Bullous Pemphigoid. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL,
Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer JS. Fitzpatrick’s Dermatology. 9 ed. New
th

York: McGraw Hill Companies; 2019. p.944-962.

Refreshing
Kegawatdaruratan pada Kulit

Dokter Pembimbing :
dr. Afaf Agil Al Munawar, Sp.KK

Disusun Oleh :
Fikri Walimaulana Bhakti
2016730040
KEPANITERAAN KLINIK STASE KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2020

Kata Pengantar
Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan Refreshing yang berjudul “Kegawatdaruratan pada Kulit” ini tepat pada
waktunya. Terima kasih kepada dr. Afaf Agil Al Munawar, Sp.KK yang telah membimbing
penulis dalam pembuatan refreshing ini sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan
baik.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam pembuatan refreshing ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak yang membaca, agar penulis dapat mengkoreksi diri dan dapat membuat refreshing
yang lebih baik di lain kesempatan.
Demikianlah refreshing mengenai kegawatdaruratan pada kulit ini dibuat sebagai
pemenuhan tugas individu dari kegiatan klinis stase kulit dan kelamin di RSIJ Cempaka Putih
Periode 4 Mei 2020- 10 Mei 2020, serta untuk menambah pengetahuan bagi penulis dan
khususnya bagi pembaca pada umumnya. Semoga refreshing ini bisa bermanfaat untuk penulis
dan pembaca.
Wassalamualaikum wr.wb

Jakarta, Mei 2020

Penulis

Daftar Isi
Kata Pengantar    1

Daftar Isi    2
Daftar Gambar    4

Daftar Tabel    5

BAB I    6

BAB II    7

2.1 Angioedema    7

2.1.1 Definisi    7

2.1.2 Epidemiologi    7

2.1.3 Etiopatogenesis    7

2.1.4 Gambaran Klinis    8

2.1.5 Diagnosis    8

2.1.6 Tatalaksana    10

2.2 S.S.S.S ( Staphylococcal Scalded Skin Syndrome )     11

2.2.1 Definisi    11

2.2.2 Etiologi    11

2.2.3 Patogenesis    11

2.2.4 Gambaran Klinis    12

2.2.5 Diagnosis    12

2.2.6 Diagnosis Banding    13

2.2.7 Tatalaksana    14

2.2.8 Komplikasi    14

2.2.9 Prognosis    14

2.3Nekrolisis Epidermal (Steven-Johnson Syndrome dan Nekrosis Epidermal Toksik)    14

2.3.1 Definisi    14

2.3.2 Epidemiologi    14
2.3.3 Etiopatogenesis    15

2.3.4 Gambaran Klinis    16

2.3.5 Diagnosis    16

2.3.6 Diagnosis Banding    18

2.3.7 Tatalaksana    18

2.3.8 Prognosis    18

2.4 Eritema Multiforme    19

2.4.1 Definisi    19

2.4.2 Epidemiologi    19

2.4.3 Etiologi    19

2.4.4 Gambaran Klinis    20

2.4.5 Diagnosis    20

2.4.6 Tatalaksana    21

2.4.7 Prognosis    21

2.5 Pemfigus Vulgaris    21

2.5.1 Definisi    21

2.5.2 Epidemiologi    22

2.5.3 Etiologi    22

2.5.4 Patogenesis    22

2.5.5 Gambaran Klinis    22

2.5.6 Diagnosis    23

2.5.7 Diagnosis Banding    24

2.5.8 Tatalaksana    24

2.5.9 Prognosis    26
Daftar Pustaka    26

Daftar Gambar
Gambar 2. 1 Gambaran Klinis Angioedema    7
Gambar 2. 2 Alur tatalaksana angioedema    9
Gambar 2. 3 Gambaran Klinis Staphylococcal Scalded Skin Syndrome    11
Gambar 2. 4 Gambaran Klinis SSJ-NET    15
Gambar 2. 5 Gambaran Klinis Eritema Multiforme    19
Gambar 2. 6 Gambaran Klinis Pemfigus Vulgaris    22
Daftar Tabel
Tabel 2. 1 Obat yang Menyebabkan SSJ-NET    15
Tabel 2. 2 Tabel SCORTEN (7)    18

BAB I
Latar Belakang
Gawat darurat adalah keadaan klinis yang membutuhkan tindakan medis segera untuk
penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan. (11) Dalam bidang dermatologi yang termasuk
ke dalam kegawadaruratan adalah angioedema, nekrolisis epidermal (Sindrom Steven Johnson
(SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksik (NET), Staphylococcal Scalded Skin Syndrome
(S.S.S.S.), pemfigus vulgaris dan eritema multiforme. (1,2)
   
BAB II
ISI

2.1 Angioedema
2.1.1 Definisi
Edema mendadak pada dermis bagian bawah dan subkutis dengan manifestasi
edema sewarna kulit atau eritema pada area predileksi, yang sering disertai keterlibatan
lapisan submucosa. (1)
2.1.2 Epidemiologi
Urtikaria dan angioedema merupakan gangguan yang sering dijumpai. Faktor
usia, ras, jenis kelamin, pekerjaan, lokasi geografis dan usim mempengaruhi pajanan
yang akan dialami oleh seseorang. Urtikaria atau angioedema digolongkan sebagai akut
bila berlangsung kurang dari 6 minggu, dan dianggap kronis bila lebih dari 6 minggu.
Sebagian besar anak-anak (85%) yang mengalami urtikaria, tidak disertai angioedema.
Sedangkan 40% dewasa yang mengalami urtikaria, juga mengalami angioedema (2)
2.1.3 Etiopatogenesis
    Gambaran umum urtikaria adalah vasodilatasi yang cepat dan sementara dan
extravasasi plasma ke kulit atau jaringan mukosa bersamaan dengan aktivasi nervus
sensori gatal. Reaksi ini kebanyakan dijelaskan yaitu degranulasi dari sel mast kulit,
dimana terjadi pelepasan histamine dan mediator vasoaktif lainnya termasuk asam
arakidonat metabolic, seperti prostaglandin dan leukotriene. (3)
    Berbagai mekanisme dapat menyebabkan aktivasi sel mast, digolongkan menjadi: (2)
1. Faktor Imunologik
    Hipersensitivitas tipe cepat yang diperantai IgE, contohnya alergi obat. (2)  Sel mast
memainkan peran penting dalam reaksi hipersentivitas tipe 1 melalui reseptor IgE dengan
afinitas tinggi (FceRI) dan antigen spesifik IgE yang menghasilkan degranulasi dengan
pelepasan mediator seperti histamine dan sitokin proinflamasi. (3)
    Aktivasi komplemen jalur klasik maupun alternatif menghasilkan anafilaktosin (C3a,
C4a, C5a) yang menyebabkan pelepasan mediator sel mast. (2)
2. Faktor non imunologik
    Aktivasi langsung sel mast oleh penyebab, misalnya bahan kimia pelepas mediator,
faktor fisik (2)

2.1.4 Gambaran Klinis


        Bila lesi melibatkan jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan subkutis atau
submucosa, akan terlihat edema dengan batas difus. Bila angioedema terjadi di mukosa
saluran napas dapat terjadi sesak napas, suara serak dan rhinitis. Angioedema di saluran
cerna bermanifestasi sebagai rasa mual, muntah, kolik abdomen dan diare. (2)
Angioedema sering muncul pada muka, biasanya pada lipatan mata dan bibir atau
di sebagian ekstremitas. Angiodema mungkin menyebabkan nyeri tapi tidak gatal dan
mungkin berlangsung beberapa hari. (3)

                   Gambar 2. 1 Gambaran Klinis Angioedema (2)

 2.1.5 Diagnosis
Anamnesis
 Gejala objektif berupa edema kulit mendadak pada area predileksi.
 Gejala subjektif berupa rasa nyeri atau rasa terbakar, dan gatal ringan.
 Dapat disertai atau tidak disertai urtikaria. Sebanyak 43,8% angioedema alergi
disertai urtikaria.
 Dapat disertai kesulitan menelan atau bernafas apabila ada keterlibatan mukosa
saluran nafas dan cerna.
 Biasanya gejala timbul beberapa jam hingga 72 jam.
 Episode angioedema/urtikaria yang menetap lebih dari 6 minggu disebut kronis,
yang terbagi atas angioedema/urtikaria autoimun kronik dan idiopatik kronik
 Etiologi angioedema akut pada umumnya adalah obat, makanan, infeksi, atau
faktor-faktor metabolik. (1)
Pemeriksaan Fisik
 Didapatkan edema sewarna kulit, atau kadang eritema
 Lokasi anatomis berurutan dari paling sering yaitu di wajah, periorbital, bibir,
ekstremitas
 Dapat disertai gejala sesak nafas (1)
 Jika terjadi angioedema di saluran cerna, bisa disertai mual, muntah (2)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang tidak rutin dilakukan pada angioedema akut.
Pemeriksaan penunjang disarankan pada angioedema kronik. Pemeriksaan
penunjang yang dilakukan bergantung pada penyebab yang dicurigai berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. (1)
Adapun pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan:
1. Pemeriksaan kadar IgE total dan eosinophil untuk nencari kemungkinan
kaitannya dengan faktor atopi
2. Pemeriksaan uji tusuk kulit terhadap berbgai makanan dan minuman
3. Uji serum autolog atau autologous serum skin test (ASST) dilakukan untuk
mengetahui adanya urtikaria autoimun
4. Uji dermografisme dan uji dengan es batu (ice cube) untuk mencari penyebab
fisik (2)
Pada kasus edema yang berkembang di daerah faring dan laring atau di saluran
pencernaan, terutama disebabkan oleh angioedema yang di mediasi bradykinin,
pemeriksaan pencitraan mungkin berguna atau bahkan penting. Pasien dengan
HAE dapat muncul dengan pembengkakan episodik dalam berbagai bagian
tubuh, seperti wajah, leher, usus, alat kelamin, dan ekstremitas. Obstruksi jalan
nafas yang disebabkan oleh edema laring, orofaring, dan prevertebral jaringan
lunak dapat menyebabkan mati lemas, dan ini bisa terjadi dideteksi dengan
endoskopi, radiografi, CT scan, dan Pemeriksaan MRI. (3)
2.1.6 Tatalaksana
Hal terpenting adalah identifikasi dan eliminasi penyebab atau faktor pencetus.
Pasien dijelaskan tentang pentingnya menghindari konsumsi alcohol, kelelahan fisik
dan mental, tekanan pada kulit, misalkan pakaian yang ketat, dan suhu lingkungan.
(2)
Pada HAE, 3 target utama pengobatan harus betul-betul dipertimbangkan
berdasarkan keparahan dan frekuensi gejala nya: terapi yang sesuai pada keadaan
darurat, profilaksis jangka pendek, dan profilaksi jangka panjang. (3)
Pada urtika yang luas atau disertai dengan angioedema, perlu dilakukan rawat
inap dan selain pemberian anithistamim juga diberikan kortikosteroid sistemik
(metilprednisoslon dosis 40-200mg) dalam waktu singkat. Bila didapatkan gejala
syok anafilaksis yaitu pemberian epinefrin 1:1000 sebanyak 0.3ml intramuscular
setiap 10-20 menit.  (2)
Gambar 2. 2 Alur tatalaksana angioedema (1)

Sistemik: (2)
1. Lini pertama: anti histamine generasi kedua (non-sedasi) yang dikonsumsi
secara teratur, bukan hanyak digunakan ketika lesi muncul. Pemberian
antihistamin tersebut harus mempertimbangkan usia, status, kehamilan,
status kesehatan dan respons individu.
Contoh: cetrizin, loratadin, feksofenadin
2. Lini kedua: Apabila gejala menetap setelah 2 minggu, dosis dinaikkan 4x
lipat dari dosis biasa
2. Lini ketiga: Bila gejala menetap setelah 1-4 minggu, diubah jenis
antihistamin menjadi AH-1 sedasi ditambah dengan antagonis
leukotriene, misalnya zafirlukast atau montelukast. Bila muncul
eksaserbasi lesi, dapat diberikan kortikosteroid sistemik seperti
prednisone dengan dosis 10-30mg selama 3-7 hari
2.2 S.S.S.S ( Staphylococcal Scalded Skin Syndrome )
2.2.1 Definisi
S.S.S.S atau Staphylococcal Scalded Skin Syndrome adalah infeksi kulit oleh
Staphylococcus aureus tipe tertentu dengan ciri yang khas ialah terdapatnya
epidermolysis (4)
Epidemiologi
Penyakit ini pertama kali dilaporkan oleh Ritter von Rittershain pada tahun 1956
dan dikenal sebagai penyakit Ritter von Rittershain dan sering disingkat penyakit
ritter. Penyakit ini terutama terdapat pada anak di bawah 5 tahun, pria lebih banyak
daripada wanita. (4)
2.2.2 Etiologi
Etiologi nya antara lain adalah Staphylococcus aureus grup II faga 52,55,
dan/atau faga 71.  (4)
2.2.3 Patogenesis
    Sebagai sumber infeksi ialah infeksi pada mata, hidung, tenggorok, dan telinga.
Eksotoksin yang dikeluarkan bersifat epidermolotik (epidermolin, eksofoliatin) yang
beredar di seluruh tubuh, sampai pada epidermis dan menyebabkan kerusakan, karena
epidermis merupakan jaringan yang rentan terhadap toksin ini. Pada kilit tidak selalu
ditemukan kuman penyebab. (4)
    Fungsi ginjal yang baik diperlukan untuk mengeksresika eksfoliatin. Pada anak-
anak dan bayi diduga fungsi ekskresi ginjal belum sempurna karena itu umumnya
penyakit ini pada golongan usia tersebut. Jika menyerang pada orang dewasa, diduga
karena kegagalan fungsi ginjal, atau terdapat gangguan imunologik, termasuk
mendapat obat imunosupresif (4)
2.2.4 Gambaran Klinis
Pada umumnya terdapat demam yang tinggi disertai infeksi di saluran napas
bagian atas. Kelainan kulit yang pertama timbul ialah eritema yang timbul mendadak
di wajah, leher, aksila, dan lipat paha. Kemudian menyeluruh dalam waktu 24 jam.
Dalam waktu 24-48 jam, akan timbul bula-bula besar berdinding kendur. Jika kulit
yang tampaknya normal ditekan dan digeser kulit tersebut akan terkelupas sehingga
memberi tanda Nikolsky positif. Dalam 2-3 hari terjadi pengeriputan spontan disertai
pengelupasan lembaran-lembaran kulit sehingga tampak daerah-daerah erosisf. Akibat
epidermolysis tersebut, gambarannya mirip kombustio. Daerah-daerah tersebut akan
mongering dalam beberapa hari dan terjadi deskuamasi. Deskuamasi pada daerah yang
tidak eritematosa yang tidak mengelupas terjadi dalam waktu 10 hari. Meskipun bibir
sering dikenai, tetapi mukosa jarang diserang. Penyembuhan penyakit akan terjadi
setelah 10-14 hari tanpa disertai sikatriks. (4)
Gambar 2. 3 Gambaran Klinis Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (5)

2.2.5 Diagnosis
Anamnesis
Gejala awal dapat berupa demam dengan ruam berwarna merah-oranye,
pucat, nakula eksantema, terbatas di kepala dan menyebar ke bagian tubuh lain
dalam beberapa jam. Keluhan disertai iritabilitas, malaise, pruritus, dan sulit
makan. (1)
Pemeriksaan Fisik
Ruam berwarna merah-orange, pucat, macula eksantema, terbatas di
kepala dan menyebar ke bagian tubuh lain. Gejala ini disertai dengan rhinorrhea
purulent, konjungtivitis, atau otitis media. Tanda Nikolsky positif. Ruam kulit
disertai dengan nyeri tekan pada kulit menyebabkan anak menolak untuk
digendon atau berbaring. Dalam waktu 24-48 jam, makula eksantema secara
bertahap berubah menjadi lepuh, dan pada daerah seperti lipat paha, ketiak,
hidung, dan telinga, secara khusus berbentuk bula besar lembut yang merupakan
lapisan epidermis yang berkerut dan tampak seperti kertas tisu. Setelah 24 jam,
bula tersebut pecah meninggalkan krusta berkilat, lembab, dan memiliki
permukaan berwarna merah. Pada tahap ini pasien akan iritabel sakit, demam
dengan sad man facies, dan edema wajah ringan, dan gambaran khas krusta radier
di perioral serta fisura bibir. (1)
Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Bakteri
Jika terdapat infeksi di tempat lain, misalnya di saluran napas dapat
dilakukan pemeriksaan bakteriolog. Juga sebaiknya diperiksa mengenai
tipe kuman, karena S.S.S.S disebabkan oleh Staphylococcus aureus tipe
tertentu. Pada kulit, seperti telah disebutkan, tidak diapati kuman penyebab
karena kerusakan kulit akitbat toksin. (4_
 Pemeriksaan Histopatologi
Pada S.S.S.S terdapat gambaran yang khas, yakni terlihat lepuh
intraepidermal, celah terdapat di stratum granulosum. Meskipun ruang
lepuh sering mengandung sel-sel akantolitik, epidermis sianya tampak utuh
tanpa disertai nekrosis sel. (4)
2.2.6 Diagnosis Banding
Penyakit ini sangat mirip N.E.T. Perbedaan nya, S.S.S.S umumnya menyerang 
anak di bawah usia 5 tahun, mulainya kelainan kulit di wajah, leher, aksila, dan
lipat paha; mukosa umumnya tidak dikenai, alat-alat dalam tidak diserang, dan
angka kematiannya lebih rendah. Kedua penyakit tersebut agak sulit dibedakan,
oleh karena itu hendaknya dilakukan pemeriksaan histopatologik secara frozen
section agar hasilnya cepat diketahui, karena prinsip terapi kedua penyakit
tersebut berbeda. Perbedaannya terletak pada letak celah, pada S.S.S.S di stratum
granulosum, sedangkan pada N.E.T di subdermal. (4)
2.2.7 Tatalaksana
Pengobatan untuk S.S.S.S harus langsung mengarah ke eradikasi S.
aureus, dimana secara umum membutuhkan perawatan dan antibiotic anti-
staphylococcal interavena. (5)
Berbeda dengan pengobatan pada N.E.T, maka kortikosteroid tidak perlu
diberikan. Pengobatannya ialah antibiotic, jika dipilih derivate penisilin
hendaknya yang juga efektif bagi Staphylococcus aureus yang membentuk
penisilinase, misalnya kloksasilin dengan dosis 3x250 mg untuk orang dewasa per
oral. Pada neonatus dosisnya 3x50 mg sehari per os. Obat lain yang dapt
diberikan ialah klindamisin dan sefalosporin generasi 1. Topikal dapat diberikan
sofratulle atau krim antibiotik. (4)
2.2.8 Komplikasi
Meskipun S.S.S.S dapat sembuh spontan, dapat pula terjadi komplikasi,
misalnya: selulitis, pneumonia, dan septicemia. (4)
2.2.9 Prognosis
Kematian dapat terjadi, terutama pada bayi berusia di bawah setahun, yang
berkisar antara 1-10%. Penyebab utama kematian ialah tidak adanya
keseimbangan cairan/elektrolit dan sepsis. (4)
2. Nekrolisis Epidermal (Steven-Johnson Syndrome dan Nekrosis Epidermal Toksik)
2.3.1 Definisi
Sindrom stevens-johnson atau SSJ dan nekrolisis epidermal toksik atau
NET adalah reaksi mukokutan akut yang mengancam nyawa, ditandai dengan
nekrosis epidermis yang luas sehingga terlepas. Kedua penyakit ini mirip dalam
gejala klinis dan histopatologis, faktor risiko, penyebab dan patogenensis. (6) 
2.3.2 Epidemiologi
SSJ-NET merupakan penyakit yang jarang, secara umum insidens SSJ
adalah 1-6 kasus/juta penduduk/tahun, dan insidens NET 0,4-1,2 kasus/juta
penduduk/tahun. Angka kematian NET adalah 25-35%, sedangkan angka
kematian SSJ adalah 5-12%. Penyakit ini dapat terjadi pada setiap usia, terjadi
penignaktan risiko pada usia di atas 40 tahun. Perempuan lebih sering terkena
dibandingkan laki-laki dengan perbadingan 1,5:1. (6)
2.3.3 Etiopatogenesis
Mekanisme pasti terjadinya SSJ-NET belum sepenuhnya diketahu. Pada
lesi SSJ-NET terjadi reaksi sitotoksik terhadap keratinosit sehingga
mengakibatkan apoptosis luas. Reaksi sitotoksik yang terjadi melibatkan sel NK
dan sel limfosit T CD8+ yang spesifik terhadap obat penyebab. Berbagai sitokin
terlibat dalam pathogenesis penyakit ini, yaitu: IL-6, TNF-α, INF-γ, IL-8, Fas-L,
granulisin, perforin, granzin-B. (6)
Sebagian besar SSJ-NET disebabkan karena alergi obat. Berbagai obat
dilaporkan merupakan penyebab SSJ-NET. Obat-obat yang sering menyebabkan
SSJ-NET adalah sulfonamida, antikonvulsa aromatic, alopurinol, anti-inflamasi
non-steroid dan nevirapine. Pada beberapa obat tertentu, misalnya karbamazepin
dan alopurinol, faktor genetic yaitu sistem HLA berperan pada proses terjadinya
SSJ-NET. (6)
Tabel 2. 1 Obat yang Menyebabkan SSJ-NET

2.3.4 Gambaran Klinis


    Gejala SSJ-NET timbul dalam waktu 8 minggu setealh awal pajanan obat. Sebelum
terjadi lesi kulit, dapat timbul gejala non-spesifik, misalnya demam, sakit kepala,
batuk/pilekm dan malaise selama 1-3 hari. Lesi kulit tersebar secara simetris pada
wajah, badan, dan bagian proksimal ekstremitasm berupa macula eritematosa atau
purpuric, dapat pula dijumapi lesi target. Dengan bertambahnya waktu, lesi kulit
meluas dan berkembang menjadi nekrotik, sehingga terjadi bula kendur dengan tanda
Nikolsky positif. Keparahan dan diagnosis bergantung pada luasnya permukaan tubuh
yang mengalami epidermolysis. Lesi pada mukosa berupa eritema dan erosi biasanya
dijumpai minimal pada 2 lokasi, yaitu mulut dan konjungtiva, dapat juga ditemukan
erosi di mukosa genital. Keterlibatan organ dalam juga dapat terjadi, namun jarang,
misalnya paru, saluran cerna dan ginjal (6)
Gambar 2. 4 Gambaran Klinis SSJ-NET (7)
2.3.5 Diagnosis
 Anamnesis
 Penyebab terpenting adalah penggunaan obat. 
 Riwayat penggunaan obat sistemik (jumlah dan jenis obat, dosis,
cara pemberian, lama pemberian, urutan pemberian obat), serta
kontak obat pada kulit yang terbuka (erosi, eskoriasi, ulkus) atau
mukosa
 Jangka waktu dari pemberian obat sampai timbul kelainan kulit
(segera, beberapa saat atau jam atau hari atau hingga 8 minggu). 
 Identifikasi faktor pencetus lain: infeksi (Mycoplasma
pneumoniae, virus) imunisasi, dan transplantasi sumsum tulang
belakang. (1)
Pemeriksaan fisik
 SSJ dan NET ditandai dengan keterlibatan kulit dan membran
mukosa.
 Kelainan kulit yaitu: eritema, vesikel, papul, erosi, eskoriasi, krusta
kehitaman, kadang purpura, dan epidermolisis.
 Tanda Nikolsky positif.
 Kelainan mukosa (setidaknya pada dua tempat): biasanya dimulai
dengan eritema, erosi dan nyeri pada mukosa oral, mata dan
genital. Kelainan mata berupa konjungtivitis kataralis, purulenta,
atau ulkus. Kelainan mukosa oral berupa erosi hemoragik, nyeri
yang tertutup pseudomembran putih keabuan dan krusta. Kelainan
genital berupa erosi yang dapat menyebabkan sinekia (perlekatan).
 Gejala ekstrakutaneus: demam, nyeri dan lemah badan,
keterlibatan organ dalam seperti paru-paru yang bermanifestasi
sebagai peningkatan kecepatan pernapasan dan batuk, serta
komplikasi organ digestif seperti diare masif, malabsorbsi, melena,
atau perforasi kolon. (1)
Diagnosis SSJ ditegakkan bila epidermolysis hanya ditemukan
pada < 10% Luas Permukaan Badan (LPB), NET bila epidermolysis >
30% LPB dan overlap SSJ-NET bila epidermolysis 10-30%. (6)
Pemeriksaan Penunjang
    Tidak ada pemeriksaan laboratorium untuk menunjang diagnosis dari
Nekrosis Epidermal. Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk evaluasi
keparahan, prognosis, dan penanganan sehari-hari untuk semua keadaan
yang mengancam jiwa pada ruang ICU. (7)
    Pemeriksaan histopatologis kulit dapat menyingkirkan diagnosis
banding, dan umumnya diperlukan untuk kepentingan medikolegal.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah analisis gas darah, kadar
elektrolit, albumin dan protein darah, fungsi ginjal, foto rontgen. (6)
2.3.6 Diagnosis Banding
    Berbagai penyakit kulit bulosa dapat menyerupai SSJ-NET, misalnya:
Staphylococcal scalded skin syndrome, generalized bullous fixed drug eruption,
acute generalized exanthematous, pustulosis, graft versus host disease, dan Lupus
Eritometosus Bulosa. Gambaran klinis SSJ sering sulit dibedakan dengan eritema
multiforme mayor. (6)
2.3.7 Tatalaksana
    SSJ-NET adalah penyakit yang mencam nyawa yang membutuhkan tatalksana
yang optimalberupa, deteksi dini dan penghentian segera obat tersangka, serta
perawatan suportif di rumah sakit. Sangat disarankan untuk merawat pasien SSJ-
NET di ruang perawatan khusus. Perawatan suportif mencakup: mempertahankan
keseimbangan cairan, elektrolit, suhu lingkungkan yang optimal berkisar 28-30 ͦC,
nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan asupan makanan,
perawatan kulit secara aseptic tanpa debridement, perawatan mata dan mukosa
mulut. Berbagai terapi spesifik telah dipakai untuk mengatasi penyakit ini, namun
belum diperoleh hasil yang jelas karena sulitnya mengadakan uji klinis untuk
penyakit yang jarang ini. Penggunaan kortikosteroid sistemik sampai saat ini
hasilnya masih sangat beragam, sehingga penggunaan nya belum dianjurkan. IV
Ig, Siklosporin A, Siklofosfamid, plasmaferesis dan hemodialysis juga telah
digunakan di berbgai negara dengan hasil yang bervariasi, (6)
2.3.8 Prognosis
    Dalam perjalanan penyakitnya, SSJ-NET dapat mengalami penyulit yang
mengancam nyawa berupa sepsis dan multiple organ failure. Prognosis SSJ-NET
dapat diperkirakan berdasarkan SCORTEN. (6)
Tabel 2. 2 Tabel SCORTEN (7)

2.4 Eritema Multiforme


2.4.1 Definisi
Eritema multiforme (EM) adalah sindrom mukokutan akut dengan karakteristik lesi
“target”, yang didominasi pada wajah dan ekstremitas. Berdasarkan derajat membrane
mukosa yang terlibat, EM dibagi menjadi EM minus (EMm, atau EM minor) jika hanya
pada kulit dan bibr yang terkena dan EM majus (EMM, atau EM major) ketika sudah
terkena membrane mukosa. (8)
2.4.2 Epidemiologi
EM dianggap relative umum terjadi, tetapi kejadian sebenarnya tidak diketahui.
Ada seleksi yang bias untuk kasus yang parah yang membutuhkan rawat inap dalam
literatur medis; kasus seperti itu jarang terjadi dan terjadi pada kisaran 0,5 hingga 1 per
juta per tahun. EM terjadi pada semua usia tetapi kebanyakan pada anak-anak dan dewasa
muda. (8)
2.4.3 Etiologi
Sebagian besar kasus EM berhubungan dengan infeksi. HSV menjadi penyebab
paling banyak terjadi terutama pada kasus berulang. Bukti hubungan sebab akibat dari
HSV telah dipastikan dari pengalaman klinis, epidemiologi, deteksi DNA HSV pada lesi
EM, pencegahan EM dengan menekan rekurensi EM. M. pneumonia menjadi penyebab
utama kedua sebagain kasus dan pertama pada anak-anak. Pada kasus yang berhubungan
dengan M. pneumonia, gambaran klinis paling sering atipikal dan lebih pada dari kasus
yang berhubungan dengan HSV. (8)
2.4.4 Gambaran Klinis
Gejala predormal tidak terjadi pada kebanyakan kasus. Jika ada, biasanya ringan,
mengarah ke infeksi saluran pernapasan atas (batuk,rhinitis,demam ringan). (8) 
Erupsi kulit muncul tiba-tiba. Pada kebanyakan pasien, semua lesi muncul dalam
3 hari. Kebanyakan simetris, penyebaran pada permukaan ekstensor dari ekstremitas
(tangan, kaki, siku, dan lutut), muka, dan leher. Lesi sering muncul pertama kali pada
bagian distal. Umumnya lesi berbentuk regular, circular, papula atau plak eritematosa
yang bertahan selama 1 minggu atau lebih. (8)
Lesi mukosa terjadi pada 70% pasien, sering terjadi terbatas pada rongga mulut.
Lokasi predileksi dalah bibir, pada bagian kulit atau mukosa, pda gusi dan bagian ventral
dari lidah. Pada anak-anak dan remaja, mukosa bibir dan rongga sering terkena sangat
parah baik karena M. pneumonia atau karena infeksi pernafasan akibat agen infeksi yang
tak spesifik. (8)
Gambar 2. 5 Gambaran Klinis Eritema Multiforme (8)

2.4.5 Diagnosis
Pemeriksaan Laboratorium
    Tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik pada EM. Pada beberapa kasus
yang parah, peningkatan kadar endapan eritrosit, leukositosis, dan peningkatan
level protein akut, dan peningkatan level aminotransferase hati mungkin terjadi.
(8)
Pemeriksaan Histopatologi
Lesi awal dari EM terlihat akumulasi limfosit pada dermal-epidermal
berhadapan dengan eksositosis menuju epidermis. (8)
2.4.6 Tatalaksana
Berdasarkan percobaan retrospektif, penggunaan kortikosteroid sistemik terlihat
dapat memendekkan durasi demam dan erupsi, terutama pembengkakan dan rasa sakit
pada mukosa tetapi bisa menambah panjangnya rawat inap karena komplikasi. Saat
bergejala, penderita M. pneumoniae infeksi harus diobati dengan antibiotik (makrolida
Pada anak-anak; makrolida atau kuinolon pada orang dewasa). (8)
2.4.7 Prognosis
EMm berjalanan ringan pada kebanyakan kasus, dan serangan setiap individu
berlangsung 1 -4 minggu. Penyembuhan total dan tidak ada sekuel. EMM mungkin
menyebababkan bekas residual yang parah pada mata. Apapun penyebab EM, rekurensi
dapat terjadi dan mungkin dengan karakteristik kasus utama. (8)
2.5 Pemfigus Vulgaris
2.5.1 Definisi
Pemfigus ialah kumpulan penyakit kulit autoimun berbula kronik, menyerang
kulit dan membrane mukosa yang secara histologic ditandai dengan bula intraepidermal
akibat proses akantolisis dan secara imunopatologik ditemukan antibody terhadap
komponen desmosome pada permukaan keratinosist jenis IgG, yang terikat maupun
beredar dalam sirkulasi darah. (9)
Terdapat 4 bentuk pemfigus ialah: pemfigus vulgaris, pemfigus eritematosus,
pemfigus foliaseus, pemfigus vegetans. Berdasarkan letak celah pemfigus dibagi menjadi
dua yaitu: pada suprabasal yaitu pemfigus vularis dan pemfigus vegetans, dan pada
stratum granulosum yaitu pemfigus foliaseus dan pemfigus eritematosus. (9)
Semua penyakit tersebut memberi gejala yang khas yaitu: (9)
1. Pembentukan bula yang kendur pada kulit yang umumnya terlihat normal
dan mudah pecah
2. Pada penekanan, bula tersebut meluas (tanda Nikolsky positif)
3. Akantolisis selalu positif
4. Adanya antibody tipe IgG terhadap antigen interseluler di epidermis yang
dapat ditemukan dalam serum, maupun terikat di epidermis.
2.5.2 Epidemiologi
    Pemfigus vulgaris merupakan bentuk yang tersering dijumpai (80% semua kasus).
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan dapat mengenai semua bangsa dan ras.
Frekuensi nya pada kedua jenis kelamin sama. Umumnya mengenai umur pertengahan
(decade ke 4 dan 5). (bukumerah) Rasio jenis kelamin pada pemfigus vulgaris di
perempuan dan laki-laki 1,33-2,25.  (10)
Di Yerusalem, insiden PV diperkirakan 1,6 per 100.000 orang per tahun dan di
Iran sekitar 10 per 100.000 orang pertahun. Di Eropa insiden lebih rendah mulai dari 0,7
kasus per 100.000 orang pertahun. Di Inggris hingga 10 kali lipat lebih rendah, 0,5
hingga 1 perjuta orang pertahun. Di Taiwan insidennya sebesar 4,7 per juta per tahun.
(10)

2.5.3 Etiologi
    Etiologi dari pemfigus vulgaris adalah autoimun (9)
2.5.4 Patogenesis
    Semua pemfigus memiliki sifat yang khas, yaitu hilangnya kohesi sel-sel epidermis
(akantolisis) dan adanya antibody IgG terhadap antigen determinan yang ada di
permukaan keratinosit yang sedang berdiferensiasi. (9)
Bula pada pemfigus vulgaris diakibatkan karena reaksi autoimun terhadap antigen
pemfigus vulgaris. Antigen ini merupakan transmembrane glikoprotein dengan berat
molekul 130 kD yang terdapat pada permukaan sel-sel keratinosit. (9)
Target antigen pada PV adalah desmoglien yang merupakan salah satu komponen
desmosom. Fungsi desmosom adalah meningkatkan kekuatan mekanik epitel gepeng
berlapis yang terdapat pada kulit dan mukosa. (9)
2.5.5 Gambaran Klinis
    Keadaan umum biasanya buruk. Penyakit ini dapat mulai sebagai lesi di kulit kepala
yang berambut atau di rongga mulut kira-kira pada 60% kasus, berupa erosi yang disertai
pembentukan krusta, sehingga sering salah didiagnosis sebagai piderma pada kulit kepala
yang berambut atau dermatitis dengan infeksi sekunder. Lesi di tempat tersebut dapat
berlangsung berbulan-bulan sebelum timbul bula generalisata Semua selaput lendir
dengan epitel skuamosa dapat diserang, seperti selaput lendir konjungtiva, hidung, faring,
laring, esofagus, uretra, vulva dan serviks. (9)
    Membaran mukosa yang paling sering terkena pada PV adalah rongga mulut dan
mukosa hidung. Pada sebagian besar pasien, membran mukosa terasa nyeri akibat erosi
yang merupakan tanda PV dan mungkin menjadi satu-satunya tanda selama 5 bulan
sebelum lesi kulit berkembang. (10)
    Bula yang timbul berdinding kendur, mudah pecah dengan meninggalkan kulit
terkelupas, dan diikuti oleh pembentukan krusta yang lama bertahan di atas kulit yang
terkelupas tersebut. Bula dapat timbul di atas kulit yang tampak normal atau yang
eritematosa dan generalisata. Tanda Nikolsky positif disebabkan oleh adanya akantolisis.
(9)
    Pruritus tidak umum pada pemfigus, tetapi pasien sering mengeluhkan nyeri pada kulit
yang terkelupas. Epitelisasi terjadi setelah penyembuhan dengan meninggalkan
hipopigmentasiatau hiperpigmentasi dan biasanya tanpa jaringan parut. (9)
Gambar 2. 6 Gambaran Klinis Pemfigus Vulgaris (10)

2.5.6 Diagnosis
Pemeriksaan Histopatologi
    Pada gambaran histopatologik didapatkan bula intraepidermal suprabasal dan sel-sel
epitel yang mengalami akantolisis pada dasar bula yang menyebabkan uji Tzanck positif.
Uji ini berguna untuk menentukan adanya sel-sel akantolitik, tetapi bukan diagnostic
pasti untuk penyakit pemfigus. ((9))
    Karakteristik histopatologis yang didapat pada PV adalah bula suprabasal dengan
akantolisis. Di atas lapisan sel basal, sel epidermal kehilangan kontak sel-sel nya dan
menyebabkan bula. Seringkali, beberapa keratinosit yang terkurung (acantholytic) berada
di rongga blister. Sel-sel basal tetap melekat pada membran basement, tetapi mungkin
hilang kontak dengan disamping mereka; sebagai hasilnya, gambaran tersebut mungkin
terlihat seperti “susunan batu nisan”, sebagai simbol prognosis yang fatal pada penyakit
ini. (10)
Pemeriksaan ELISA
    Untuk diagnosis penyakit, antigen-spesifik ELISA telah menunjukkan bahwa lebih
sensitive dan spesifik dari tes imunofloresensi, dan titernya berhubungan lebih baik
daripada imunofluoresensi tidak langsung dengan aktivitas penyakit. Pemeriksaan ELISA
bisa membantu membedakan antara PV dan PF karena perbedaan profil antigen dari 2
penyakit tersebut. Pada kebanyakan kasus, ELISA positif pada demoglein 3 (tetapi tidak
pada desmoglein 1). (10)
Pemeriksaan Imunologi
    Pada test imunofloresensi langusng didapatkan antibody interselular tipe IgG dan C3.
Pada tes imunofloresensi tidak langsung didapatkan antibody pemfigus tipe IgG. Test
yang pertama lebih dipercaya daripada test kedua, karena telah menjadi positif pada
permulaan penyakit. Seringkali sebelum test kedua menjadi positif, dan tetap positif pada
waktu yang sama, meskipun penyakitnya telah membaik. (9)
    Antibodi pemfigus ini rupanya sangat spesifik untuk pemfigus. Titer antibody
umumnya sejajar dengan beratnya penyakit dan akan menurun kemudian menghilang
dengan pengobatan kortikosteroid. (9)
2.5.7 Diagnosis Banding
Pemfigus vulgaris dibedakan dengan dermatitis herpetiformis, yang dapat
mengenai anak dan dewasa. Pemfigus bulosa berbeda dengan pemfigus vulgaris karena
keadaan umumnya baik. (9)
2.5.8 Tatalaksana
    Obat utama adalah kortikosteroid karena bersifat imunosupresif. Yang sering
diguunakan ialah prednisone dan deksametason. Dosis predinson bervariasi bergantung
pada berat ringannya penyakit, yakni 60-150mg per hari. Ada pula yang menggunakan 3
mg/kgBB sehari bagi pemfigus yang berat. Pada dosis tinggi sebaiknya diberikan
deksametason i.m atau i.v sesuai dengan ekuivalennya karena lebih praktis. Jika belum
ada perbaikan, yaitu masih timbul lesi baru setelah 5-7 hari, maka dosis dinaikkan 50%.
Kalau telah ada perbaikan, dosis diturunkan secara bertahap. Biasanya 5-7 hari
diturunkan 10-20mg bergantung pada respons masing-masing. Cara yang terbaik adalah
memantau titer antibody akrena antibody menunjukkan keaktifan penyakit. Apabila titer
stabil, maka penurunan dosis lambat, namun apabila titer menurun, maka penurunan
dosis lebih cepat. (9)
    Sebelum terapi adjuvant immunosupresif ada, dosis prednisone yang sangat tinggi
pada awal nya yang digunakan untuk pengobatan (>2mg/kgBB/hari). Dosis penuh
sistemik untuk glucokortikoid telah dijelaskan pada consensus yaitu 1.5mg/kgBB/hari
prednisone ekuivalen untuk 2-3 minggu. Jika aktifitas penyakit nya sudah terkontrol,
turunkan dosis sesuai target. Minimal terapi adalah 5-10mg per hari dari prednisone
ekuivalen. Menariknya, prednisone bisa mengontrol bula dalam beberapa hari. (10)
    Efek samping kortikosteroid yang berat adalah adalah atrofi kelenjar adrenal bagian
korteks, ulkus peptikum, dan osteoporosis. Untuk mengurangi efek samping
kortikosteroid, dapat dikombinasikan dengan adjuvant yang kuat yaitu sitotoksik.
Terdapat dua pendapat untuk penggunaan sitotoksik sebagai adjuvant pada pemfigus
yaitu sejak awal diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid sistemik. Maksudnya
agar dosis kortikosteroid todal terlampau tinggi sehingga efek samping lebih sedikit.
Yang kedua adalah sitotoksik diberikan bila: a. kortikosteroid sistemik dosis lebih tinggi
kurang memberi respons. b. terdapat kontraindikasi. c. Penurunan dosis pada saat telah
terjadi perbaikan tidak seperti yang diharapkan. (9)
    Sitotoksin adalah adjuvant yang terkuat karena bersifat imunosupresif. Obat sitotoksik
untuk pemfigus adalah azatioprin, siklofosfamid, metroteksat dan mikofenolat mofetil.
Obat yang lazim digunakan adalah azatioprin karena cukup bermanfaat dan tidak begitu
toksik. Dosisnya 50-150mg sehari atau 1-3mg/kgBB. Obat sitotoksik sebaiknya diberikan
bila dosis prednisone mencapai 60mg sehari untuk mencegah sepsis dan
bronkopneumonia. Hendaknya diingatkan bahwa efek terapeutik azatioprin baru terjadi
setelah 2-4 minggu. Jika telah tampak perbaikan, dosis prednisone diturunkan terlebih
dahulu, kemudian dosis azatioprin diturunkan secara bertahap. (9)
    Siklofosfamid merupakan obat yang paling poten., tetapi efek sampingnya cukup
berat.  Dosisnya 50-100mg sehari. Mikrofenolat mofetil dikatakan lebih efektif
dibandingkan azatiorin, dengan dosis 2x1 g sehari. (9)
2.5.9 Prognosis
    Sebelum kortikosteroid digunakan, maka kematian terjadi pada 50% pasien dalam
tahun pertama. Sebab kematian nya adalah sepsis, kaheksia, dan ketidakseimbaangan
elektrolit. (9)

Daftar Pustaka
1. Widaty S, Soebono H, Nilasari H, Listiawan MY, Siswati AS, Triwahyudi D, et al.,
editors dan penyusun. Panduan Praktis Klinis Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di
Indonesia. Jakarta: PERDOSKI; 2017.
2. Aisah S, Effendi EH. Urtikaria dan Angioedema. In: Menaldi SLSW, Bramono K,
Indriatmi W, editors.  Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7 ed. Jakarta: Badan Penerbit
th

FKUI; 2016. p. 311-314.


3. Hide M, Takahagi S, Hiragun T. Uriticaria and Angioedema. In: Kang S, Amagai M,
Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer JS. Fitzpatrick’s
Dermatology. 9 ed. New York: McGraw Hill Companies; 2019. p. 685-702
th
4. Djuanda A. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome. In: Menaldi SLSW, Bramono K,
Indriatmi W, editors.  Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7 ed. Jakarta: Badan Penerbit
th

FKUI; 2016. p. 76-77.


5. Travers JB. Gram-Positive Infections Associated with Toxin Production. In Kang S,
Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer JS. Fitzpatrick’s
Dermatology. 9 ed. New York: McGraw Hill Companies; 2019. p. 2761
th

6. Effendi EH. Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik. In: Menaldi
SLSW, Bramono K, Indriatmi W, editors.  Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7 ed. Jakarta:
th

Badan Penerbit FKUI; 2016. p. 199-200.


7. Mockenhaupt M, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson Syndrome and
Toxic Epidermal Necrolysis. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ,
McMichael AJ, Orringer JS. Fitzpatrick’s Dermatology. 9 ed. New York: McGraw Hill
th

Companies; 2019. p. 733 – 745.


8. Roujeau JC, Mockenhaupt M. Erythema Multiforme. In: Kang S, Amagai M, Bruckner
AL, Margolis DJ, McMichael AJ. Fitzpatrick’s Dermatology. 9 ed. New York: McGraw
th

Hill Company; 2019. p. 723-730


9. Wiryadi BE. Pemfigus Vulgaris. In: Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi W, editors. 
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7 ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2016. p. 234-238.
th

10. Payne AS, Stanley JR. Pemphigus. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH,
Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer JS. Fitzpatrick’s Dermatology. 9 ed. New York:
th

McGraw Hill Companies; 2019. p.909-926.


11. Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2018
Tentang Pelayanan Kegawatdaruratan Pasal 1. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik
Indonesia; 2018.

REFRESHING
KEGAWATDARURATAN DERMATOLOGI

Disusun oleh :
Alifa Farah Safira
(2016730111)

Pembimbing:
dr. Hj. Vita Noor’aini Atmadi Hartati., Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM KELAS B CIANJUR
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2020

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Segala puji atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya
sehingga saya dapat merampungkan tugas Refreshing dengan judul “Kegawatdaruratan
Dermatologi”.
    Makalah ini membahas mengenai pengobatan atau terapi untuk mengoreksi berbagai kelainan
kulit. Tujuan dibuatnya makalah ini untuk memenuhi tugas kepaniteraan di stase Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin.
    Saya sadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran
yang membangun sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
    Terakhir saya ucapkan kepada semua pihak yang terlah berperan dalam penyusunan makalah
ini. Semoga Allah membalas segala kebaikan kita dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua. Khususnya bagi penulis.
Wassalamualaiku Wr. Wb.

Cianjur, 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

BAB II
PEMBAHASAN

1. NEKROLISIS EPIDERMAL
1. DEFINISI
Stevens-Johnson syndrome (SJS) dan toxic epidermal necrolysis (TEN) adalah
kejadian yang sangat jarang, akut, dan potensial mengancam nyawa; merupakan reaksi
hipersensitivitas diperantarai kompleks imun yang sering berkaitan dengan penggunaan
obat. SJS/TEN mengakibatkan pengelupasan lapisan epidermis luas, terjadi pemisahan
lapisan dermal-epidermal junction dengan keterlibatan membran mukosa. Keadaan
umum dapat bervariasi dari ringan sampai berat.    (1)

2. EPIDEMIOLOGI
Kejadian nekrolisis epidermal jarang. Insiden SJS dan TEN diperkirakan 1
banding 5 kasus per satu juta orang tahun dan 0,4 sampai 6 kasus per 1 juta orang per
tahun secara berurutan. NE dapat terjadi semua kalangan usia, tetapi risiko meningkat
seiring bertambahnya umur yang mengakibatkan insiden tertinggi pada lansia dengan
usia 65 tahun. perempuan lebih rentan terkena NE, dengan rasio jenis kelamin 0,6.
Pasien yang menderita HIV dan pasien dengan penyakit vaskular kolagen dan kanker
berada dalam risiko tinggi. Bertambahnya usia, komorbiditas yang signifikan dan
tingkat lepasnya kulit yang lebih besar berhubungan dengan prognosis yang buruk. (2)

3. ETIOLOGI
Patofisiologi Nekrosis Epidermal masih belum diketahui secara tepat; namun obat
adalah faktor etiologis yang penting. Lebih dari 100 obat berbeda telah diuji coba, tetapi
hanya kurang dari selusin obat-obat yang berisiko tinggi menyebabkan NE, berdasarkan
sebuah penelitian kontrol kasus di Eropa. Obat-obatan risiko tinggi tersebut antara lain
sulfonamida antibakterial, obat-obatan antiepileptik aromatik, alopurinol, NSAID
oxicam, lamotrigin dan nevirapin. Risiko terbatas pada 8 minggu pertama penanganan
dan kebanyakan obat-obatan yang menyebabkan NE mengungkapkan paparan terus
menerus antara 4 dan 28 hari sebelum timbulnya reaksi. Infeksi sebagai penyebab NE
jarang ditemukan, tetapi terdapat kasus NE terkait dengan infeksi Mycoplasma
pneumoniae¸penyakit virus dan imunisasi telah dilaporkan, khususnya pada anak-anak.
(2)

4. PATOFISIOLOGI
Patogenesis SJS/TEN belum sepenuhnya dimengerti, namun dipercaya bahwa
agen spesifik (seperti obat dan infeksi) akan mencetuskan suatu reaksi sitotoksik yang
diperantarai imunitas terhadap keratinosit dan menghasilkan apoptosis luas, yaitu
pelepasan sel epidermis dari lapisan papilaris dermis pada epidermal-dermal junction,
bermanifestasi sebagai rash papulomakular dan bula. Pemaparan berulang individu
dengan obat yang sama, akan mengakibatkan rekurensi SJS/TEN lebih cepat. (2)
Metabolit obat dapat memilki efek langsung sebagai toksin, atau bertindak sebagai
hapten yang berinteraksi langsung dengan jaringan tubuh dan menjadikannya antigen.
Presentasi antigen tersebut akan memproduksi TNF alfa oleh sel dendrosit,
monosit/makrofag yang ada di epidermis, hasilnya adalah perekrutan dan proliferasi sel
limfosit T. Selanjutnya sel limfosit T sitotoksik (CD8) yang telah teraktivasi akan
menginduksi apoptosis sel epidermis melalui 3 jalur utama, yaitu: (1)
 Interaksi Fas-FasL: Fas adalah membran protein yang jika berinteraksi dengan
Fas ligand akan menginduksi apoptosis sel melalui aktivasi kaspase intraseluler.
Sumber produksi FasL belum sepenuhnya diketahui, diduga dari sel limfosit T,
sel NK, sel keratinosit sendiri, atau sel mononuklear di darah tepi.
 Jalur Perforin/Garanzym B: Telah ditemukan bahwa perforin/garanzym B
berperan pada apoptosis keratinosit. Inhibisi terhadap molekul ini akan
mengurangi efek sitotoksik limfosit terhadap keratinosit.
 Granulysin: Granulysin (protein sitolitik yang dihasilkan oleh sel limfosit
sitotoksik, sel NK, dan sel NKT) yang terikat pada membran sel akan
mengganggu membran sel dan menyebabkan kematiansel. Kandungan molekul
granulysinditemukan tinggi di cairan bula pasien SJS/TEN.(1)

5. MANIFESTASI KLINIS
EN secara klinis paling sering dimulai dengan gejala prodromal tidak spesifik
seperti sakit tenggorokan, pilek, batuk, sakit kepala, demam, dan malaise mendahului
lesi mukokutan 1 hingga 3 hari. Gejala ini diikuti oleh penampilan makula eritematosa
dan target atipikal kulit  yang mungkin konfluen dan tempat di mana terdapat lepuhan.
Mata terasa terbakaratau menyengat, sakit saat menelan, atau buang air kecil semakin
berkembang, menandakan keterlibatan selaput lendir. Mayoritas kasus dimulai dengan
gejala nonspesifik diikuti dengan keterlibatan baik pertama dengan selaput lendir atau
oleh kulit, tetapi beberapa kasus mungkin dimulai dengan lesi spesifik kulit dan mukosa.
Apapun gejala awalnya, perkembangannya yang cepat, bertambahnya tanda-tanda baru,
nyeri hebat, dan gejala konstitusional harus membuat kita waspada terhadap timbulnya
penyakit parah.(2)
Masalah yang sering terjadi adalah kenyataan bahwa obat yang diminum untuk
mengobati gejala prodromal sering dituduh telah menyebabkan reaksi. Hal ini terjadi
karena terutama menyangkut antipiretik, analgesik, dan sekretolitik, terkadang diringkas
sebagai "obat batuk dan pilek." Saat melihat penggunaan obat-obatan ini lebih dekat,
mereka biasanya dikonsumsi dan ditoleransi sebelum dan sesudahnya dimulai setelah
timbulnya gejala prodromal dari EN Tidak satu pun dari pola-pola ini yang khas untuk
paparan obat-obatan yang menyebabkan EN, yang memiliki belum pernah digunakan
sebelumnya dan eksposur yang penggunaan berkelanjutan pertama dimulai 4 minggu
hingga 4 hari sebelumnya timbulnya reaksi. (2) 
Erupsi ini awalnya terdistribusi secara simetris pada wajah, batang atas, dan
bagian proksimal anggota badan. Bagian distal lengan serta kaki relatif luput, tetapi
letusannya bisa cepat meluas ke seluruh tubuh dalam beberapa hari dan bahkan dalam
beberapa jam. Lesi kulit awal adalah ditandai dengan eritematosa, merah kehitaman,
tidak teratur berbentuk makula purpura, yang semakin menyatu. Lesi target atipikal
dengan pusat gelap sering diamati. Pertemuan lesi nekrotik menyebabkan eritema yang
luas dan difus. Tanda Nikolsky, atau dislodgement epidermis oleh tekanan lateral,
adalah positif pada zona eritematosa. Di pada tahap ini, lesi berevolusi menjadi lecet
yang lembek, yang menyebar dengan tekanan dan mudah pecah. Epidermis nekrotik
mudah terlepas oleh sentuhan atau oleh trauma gesekan, mengungkapkan area luas
dermis yang terbuka, merah, dan kadang-kadang mengalir. Di daerah lain, epidermis
mungkin tetap ada.(2)
Pasien diklasifikasikan menjadi satu dari tiga kelompok menurut total area di mana
epidermis berada terlepas atau "dilepas" (Nikolsky positif): (1) SJS, kurang dari 10%
dari luas permukaan tubuh (BSA); (2) SJS– NET tumpang tindih, antara 10% dan 30%;
(3) NET, lebih dari 30% dari BSA. Evaluasi yang benar tentang tingkat detasemen sulit,
terutama di zona dengan jerawatan lesi. Akan sangat membantu untuk mengingat bahwa
permukaan satu tangan (telapak tangan dan jari) mewakili sedikit kurang dari 1% dari
BSA.(2) 
Keterlibatan membran mukosa (selalu setidaknya pada 2 tempat) terdapat pada
90% kasus, sebelum atau sesudah erupsi kulit. Dimulai dengan eritema yang diikuti
dengan nyeri erosi di sekitar mulut, mata, genital, hidung, anal dan terkadang mukosa
trakea atau bronkial. Hal ini menyebabkan gangguan alimetasi, fotofobia, konjungtivitis
dan nyeri mikturisi. Rongga mulut dan vermilion perbatasan bibir hampir selalu
terpengaruh dan terdapat erosi hemoragik yang menyakitkan yang dilapisi oleh
pseudomembran putih keabu-abuan dan hemoragik kerak bibir. Sekitar 80% dari pasien
memiliki lesi konjungtiva  dengan gejala rasa sakit, fotofobia, lakrimasi, kemerahan, dan
keluarnya cairan. Bentuk yang parah dapat menyebabkan kecacatan epitel dan ulserasi
kornea, uveitis anterior, dan konjungtivitis purulen. Sinekia antara kelopak mata dan
konjungtiva sering terjadi. Mungkin ada peluruhan bulu mata. Erosi genital sering
terjadi, seringkali terabaikan pada wanita, dan dapat menyebabkan sinekia.(2)
    Klasifikasi lesi : 
1. Typical target — lesi individual berdiameter kurang dari 3 cm dengan bentuk
bundar yang teratur, batas yang jelas, dan pada setidaknya tiga zona berbeda,
yaitu dua cincin konsentris di sekitar pusat. Satu cincin terdiri dari edema
teraba, lebih pucat dari pusat.
2. Raised atypical target— lesi bulat, edematous, teraba, mirip dengan EM tetapi
dengan hanya dua zona dan / atau batas yang tidak jelas.
3. Flat atypical target — karakteristik lesi bundar EM tetapi dengan hanya dua
zona dan / atau batas yang tidak jelas dan tidak teraba namun terdapat lepuhan
pusat. 
4. Makula dengan atau tanpa lecet — tidak dapat digunakan, eritematosa, atau
makula purpura dengan bentuk dan ukuran yang tidak beraturan dan sering
bertemu. Lepuh sering terjadi pada semua atau sebagian makula.

6. ALUR DIAGNOSIS
1. Anamnesis
 Penyebab terpenting adalah penggunaan obat.
 Riwayat penggunaan obat sistemik (jumlah dan jenis obat, dosis, cara
 Pemberian, lama pemberian, urutan pemberian obat), serta kontak obat pada
kulit yang terbuka (erosi, eskoriasi, ulkus) atau mukosa.
 Jangka waktu dari pemberian obat sampai timbul kelainan kulit (segera,
beberapa saat atau jam atau hari atau hingga 8 minggu).
 Identifikasi faktor pencetus lain: infeksi (Mycoplasma pneumoniae, virus)
imunisasi, dan transplantasi sumsum tulang belakang.(3)

2. Pemeriksaan Fisik
 SSJ dan NET ditandai dengan keterlibatan kulit dan membran mukosa.
 Kelainan kulit yaitu: eritema, vesikel, papul, erosi, eskoriasi, krusta
kehitaman, kadang purpura, dan epidermolisis. Tanda Nikolsky positif.
 Kelainan mukosa (setidaknya pada dua tempat): biasanya dimulai dengan
eritema, erosi dan nyeri pada mukosa oral, mata dan genital
 Kelainan mata berupa konjungtivitis kataralis, purulenta, atau ulkus
 Kelainan mukosa oral berupa erosi hemoragik, nyeri yang tertutup
pseudomembran putih keabuan dan krusta. Kelainan genital berupa erosi
yang dapat menyebabkan sinekia (perlekatan).
 Gejala ekstrakutaneus: demam, nyeri dan lemah badan, keterlibatan organ
dalam seperti paru-paru yang bermanifestasi sebagai peningkatan kecepatan
pernapasan dan batuk, serta komplikasi organ digestif seperti diare masif,
malabsorbsi, melena, atau perforasi kolon.
 Kriteria SSJ, SSJ overlap NET, dan NET berdasarkan luas area epidermis
yang terlepas (epidermolisis), yaitu: SSJ (<10% luas permukaan tubuh), SSJ
overlap NET (10-30%), dan NET (>30%).(3)

3. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat mendukung diagnosis NE.
Pemeriksaan laboratorium sangat penting untuk evaluasi keparahan, prognosis
dan tatalaksana sehari-hari untuk kondisi mengancam jiwa di ICU. 
Kehilangan cairan transdermal yang banyak berpengaruh pada
ketidakseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia, dan hipoproteinemia dan
insufisiensi ginjal dan azotemia prerenal. Meningkatnya kadar nitrogen urea darah
merupakan tanda keparahan. Anemia umum terjadi, dan leukositosis ringan juga
trombositopenia dapat terjadi. Limfopenia CD4+ perifer transient nyaris selalu
didapatkan, yang berkaitan dengan fungsi sel-T yang menurun. Sedikit elevasi
pada kadar enzim hati dan amilase sering terjadi, meskipun tidak berpengaruh
untuk prognosis. (2)
Pada pemeriksaan histopatologi untuk NE, pada fase awal, keterlibatan
epidermis dicirikan dengan apoptosis keratonosit yang menyebar pada lapisan
suprabasal. Pada tahap yang matang, saat epidermis lepas dan muncul
epidermolisis, selain perubahan yang telah disebutkan, perubahan vakuolar yang
luas sampai vesikulasi subepidermal sekunder dan menyatunya nekrosis
keratinosit dapat terjadi. (2)

7. TATALAKSANA
Meliputi tiga hal utama, yaitu menghentikan pemakaian obat yang diduga sebagai
pencetus, terapi suportif, dan intervensi aktif
1. Menghentikan pemakaian obat yang diduga penyebab
Makin cepat obat penyebab dihentikan, makin baik prognosisnya, sebaliknya
makin lama terpapar akan meningkatkan risiko kematian. Kronologis pemakaian
obat-obatan harus ditelusuri hingga 1 sampai 4 minggu sebelum onset.(1)
2. Terapi suportif
Nekrolisis epidermal sering dikaitkan dengan kehilangan cairan yang
signifikan yang disebabkan oleh erosi, yang mengakibatkan terjadinya
hipovolemia dan ketidakseimbangan elektrolit. Penggantian cairan harus dimulai
secepatnya dan diatur setiap hari. Volume infus biasanya lebih rendah daripada
infus untuk luka bakar yang memiliki rentang lepasnya kulit yang mirip karena
tidak adanya edema interstisial. Vena perifer lebih direkomendasikan jika bisa
karena tempat insersi pada jalur pusat sering terlibat dalam pelepasan epidermis
dan mudah terkena infeksi. Suhu lingkungan  harus dinaikkan sampai 28-30
derajat Celsius. Penggunaan kasur yang terfluidisasi udara meingkatkan
kenyamanan pasien.  Lesi kulit diterapi secara konservatif tanpa debridemen.
Terapi sulfa topikal harus dihindari. Bantuan nutrisi awal dikhususkan dengan
memakai pipa nasogastrik untuk sembuh dan menurunkan risiko translokasi
bakteri dari traktus gastrointestinal. Untuk mengurangi risiko infeksi, penanganan
yang cermat dan aseptik harus dilakukan. Antibiotik profilaksis tidak diberikan.
Pasien menerima antibiotik ketika menjadi suspek infeksi klinis. (2)
    Mata harus diperiksa setia hari. Emolien tanpa preservatif, obat tetes mata
antibiotik atau antiseptik dan vitamin A sering digunakan setiap 2 jam sekali atau
indikasi gangguan mekanis sinekia awal.
Mulut harus dibersihkan beberapa kali sehari-hari dengan antifungal atau
antiseptik. (2)

3. Intervensi aktif
 Kortikosteroid Sistemik 
Penggunaan kortikosteroid sistemik masih kontroversial.
Kortikosteroid dapat menurunkan sintesis molekul pro-inflamatori dan
menghambat produksi leukotrien dan prostaglandin, selain itu juga memiliki
efek antiproliferatif dan mengganggu fungsi monosit dan limfosit. Secara
teori, mekanisme tersebut dapat mengontrol respons imun pasien SJS/TEN.
Pasien SJS/TEN yang mendapat terapi kortikosteroid sistemik memiliki
prognosis lebih baik dibandingkan hanya terapi suportif. Pada penelitian
retrospektif, didapatkan terapi steroid dosis tinggi jangka pendek akan
memberikan hasil baik. Jika keadaan umum pasien baik dan lesi tidak
menyeluruh, cukup diberi prednison 30-40 mg/ hari. Jika keadaan umum
buruk dan lesi menyeluruh, digunakan steroid intravena seperti deksametason
4-6 x 5 mg/hari. Setelah 2 - 3 hari dosis diturunkan hingga 5 mg per hari.
Setelah dosis mencapai 5 mg/hari, keesokan harinya diganti dengan
kortikosteroid oral, misalnya prednison 20 mg sehari, dan sehari kemudian
diturunkan menjadi 10 mg hingga dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10
hari. (1)
 IVIG (Intravenous Immunoglobulin)
Penggunaan imunoglobulin intravena dosis tinggi didasarkan
kemampuannya menghambat kematian sel yang diperantarai oleh Fas, karena
adanya kandungan anti-Fas dalam imunoglobulin manusia. Beberapa studi
dan laporan kasus telah membuktikan keuntungan imunoglobulin intravena.
(1)
 Siklosporin A
Siklosporin adalah imunosupresif kuat, yaitu aktivasi sitokin Th2,
menghambat mekanisme sitotoksik oleh sel CD8, dan memiliki efek anti-
apoptosis dengan menghambat aktivitas Fas-L, faktor nuklear k B, dan TNF
alfa.(1)

8. PROGNOSIS
SCORTEN digunakan untuk menilai keparahan dan prediksi mortalitas. SCORTEN
harus dilakukan dalam 24 jam pertama dan saat hari ke-3. (1)

9. DIAGNOSIS BANDING
1. Kemungkinan Terdekat
 NE terbatas : eritema multiforme majus atau Varicella)
 NE luas (SJS-overlap NET dan NET) : Acute generalized exanthematous
pustulosis atau generalized bullous fixed drug eruption
2. Pertimbangkan
 Pemfigus Paraneoplastik
 Linear IgA bullou disease
 Pressure blisters after coma
 Reaksi fototoksik
 Graft-versus-host disease
3. Selalu Kesampingkan
 Staphylococcal scalded skin syndrome
 Luka bakar termal
 Nekrosis kulit karena diseminasi intravaskular atau purpura fulminans (2)
 Toksisitas kimia (misal intoksikasi kolkisin, overdosis metotreksat)

10. KOMPLIKASI
 Sepsis

2. ANGIOEDEMA
1. DEFINISI
Edema mendadak pada dermis bagian bawah dan subkutis dengan manifestasi
edema sewarna kulit atau eritema pada area predileksi, yang sering disertai keterlibatan
lapisan submukosa. Kadang-kadang disertai gejala subyektif nyeri atau panas, rasa gatal
jarang ada. Angioedema disebut akut jika berlangsung kurang dari 6 minggu. (3)

2. EPIDEMIOLOGI
Angioedema dapat memengaruhi orang-orang dari segala usia. Orang yang
cenderung mengalami angioedema memiliki peningkatan frekuensi serangan setelah
remaja, dengan insidensi puncak pada dekade ketiga kehidupan. Ada peningkatan
berkelanjutan dalam tingkat penerimaan di rumah sakit untuk angioedema (3,0% per
tahun).  Tingkat rawat inap paling tinggi pada orang berusia 65 tahun ke atas. 
Reaksi alergi terhadap makanan lebih sering terjadi pada anak-anak. Untuk pasien
dengan HAE, timbulnya gejala sering sekitar pubertas. Usia rata-rata untuk angioedema
yang diinduksi oleh ACE inhibitor adalah 60 tahun. IAE lebih umum di antara orang
berusia 30-50 tahun daripada di antara kelompok usia lainnya. 
Estrogen dapat memperburuk bentuk angioedema tertentu. Pada HAE, wanita
yang terkena cenderung lebih sering melakukan serangan dan menjalankan kursus klinis
yang lebih berat. Kontrasepsi oral yang mengandung estrogen sering dikaitkan dengan
eksaserbasi serangan pembengkakan. Angioedema idiopatik kronis lebih sering terjadi
pada wanita daripada pria. Jenis angioedema lainnya tidak menunjukkan dominan seks
yang kuat.(4)

3. ETIOLOGI
 Hipersensitivitas (makanan, obat, atau serangga)
 Stimulus fisik (misal suhu dingin)
 Penyakit autoimun atau infeksi
 ACE-inhibitor
 NSAID
 Defisiensi C1-INH (4)

4. KLASIFIKASI
 Hereditary Angioedema: HAE diklasifikasikan menjadi tiga subtipe berdasarkan
kondisi C1-INH. Pasien dengan tipe I kekurangan protein C1-INH, tetapi mereka
dengan tipe II kekurangan aktivitas C1-INH karena mutasi titik genetik. Tipe III,
juga disebut sebagai HAE dengan C1-INH normal, adalah subtipe HAE yang
langka. Tipe III berkembang terutama pada wanita, dan mutasi faktor XII dapat
diidentifikasi pada beberapa pasien. Baru-baru ini, mutasi genetik baru, satu dalam
gen angiopoietin-1 dan lainnya dalam plasminogen gen, diidentifikasi pada
keluarga dengan tipe III HAE. Sedangkan tingkat aktivitas C1-INH dan C4
menurun pada kedua tipe I dan tipe II HAE, Konsentrasi protein C1-INH rendah
hanya pada tipe I HAE. Selama serangan HAE, penanda koagulasi, seperti D-dimer,
FDP dan PF1 + 2 dapat meningkat.163.164 Gejala prodromal, seperti eritema
marginatum, dapat mendahului serangan  HAE pada hingga 50% pasien.(2)
 Acquired Angioedema: Angioedema yang dimediasi oleh bradikinin dapat
berkembang baik dengan konsumsi berlebih C1-INH disebabkan oleh penyakit
myeloproliferative atau karena adanya autoantibodi terhadap C1-INH.(2)
 Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor–induced Angioedema: ACE adalah
dipeptidylcarboxypeptidase yang mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II
dan membelah bradykinin. Oleh karena itu, penghambatnya, ACE inhibitor,
digunakan untuk pengobatan hipertensi, menghambat degradasi bradikinin(2)

5. PATOFISIOLOGI
    Angioedema adalah hasil dari cepatnya peningkatan permeabilitas pembuluh darah
lokal di jaringan subkutan atau submukosa. Histamin dan bradikinin adalah mediator
vasoaktif yang paling dikenal dikenal penting dalam proses patologis angioedema;
kebanyakan kasus angioedema terutama dimediasi oleh 1 dari 2 mediator ini, meskipun
beberapa peneliti menunjukkan kemungkinan bahwa keduanya mungkin terlibat dalam
kasus-kasus tertentu. (4)
Untuk angioedema yang dimediasi histamin (histaminergic angioedema), sel mast
dan basofil adalah sumber utama histamin. Aktivasi sel mast atau basofil dengan
pelepasan histamin selanjutnya dapat dimediasi atau tidak dimediasi oleh imunoglobulin
E (IgE). Aktivasi dan degranulasi sel mast yang dimediasi IgE, elemen kunci dari reaksi
alergi, sering bermanifestasi sebagai urtikaria dan angioedema. Reaksi hipersensitivitas
tipe I, seperti alergi makanan atau obat, biasanya dimediasi oleh IgE.(4)
Aktivasi sel mast yang tidak dimediasi IgE atau pelepasan mediator dapat
menjelaskan angioedema yang dimediasi autoimun dan idiopatik tertentu. Banyak
mediator inflamasi dan sitokin dan kemokin diketahui mempengaruhi pelepasan
histamin dan aktivasi sel mast dan basofil. Selain itu, C3a dan C5a dikenal untuk
mengaktifkan sel mast atau basofil melalui jalur IgE-independent. Sel mast juga dapat
diaktifkan oleh proses lain yang tidak dimediasi IgE, seperti pengikatan antibodi IgG
pada reseptor IgE pada sel mast atau basofil, yang mengarah pada aktivasi sel mast
spontan dan pelepasan histamin. Contoh lain dari aktivasi sel mast yang tidak dimediasi
IgE adalah reaksi yang diinduksi oleh bahan kontras intravena (IV).(4). 
Hereditary angioedema (HAE), angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor-
induced angioedema, dan beberapa angioedema idiopatik adalah contoh dari bradikin-
mediated angioedema; kadar bradikinin meningkat selama episode angioedema. (4)
    Hereditary angioedema (HAE) adalah autosom dominan penyakit yang disebabkan
oleh mutasi pada gen yang mengkode inhibitor C1 menyebabkan defisiensi atau
disfungsi dan akibatnya bradikinin berlebihan. Dalam tipe I HAE kadar plasma C1-
inhibitor berkurang sedangkan pada tipe II HAE protein mengalami gangguan fungsi
tetapi normal secara kuantitatif. Bentuk lain yang jarang dari HAE ditandai oleh
inhibitor C1 normal kadar dan terdiri dari HAE yang terkait dengan mutasi gen faktor
XII, angiopoietin-1 atau plasminogen. Terakhir, beberapa pasien terkena HAE mutasi
yang tidak diketahui.(4)
6. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
 Gejala objektif berupa edema kulit mendadak pada area predileksi.
 Gejala subjektif berupa rasa nyeri atau rasa terbakar, dan gatal ringan.
 Dapat disertai atau tidak disertai urtikaria. Sebanyak 43,8% angioedema alergi
disertai urtikaria.
 Dapat disertai kesulitan menelan atau bernafas apabila ada keterlibatan
mukosa saluran nafas dan cerna.
 Biasanya gejala timbul beberapa jam hingga 72 jam.
 Episode angioedema/urtikaria yang menetap lebih dari 6 minggu disebut
 kronis, yang terbagi atas angioedema/urtikaria autoimun kronik dan idiopatik
kronik.
 Etiologi angioedema akut pada umumnya adalah obat, makanan, infeksi, atau
faktor-faktor metabolik.(3)
2. Pemeriksaan Fisik
 Didapatkan edema sewarna kulit, atau kadang eritema.
 Lokasi anatomis berurutan dari paling sering yaitu wajah, periorbital, bibir,
ektremitas, glottis, lidah, genitalia.
 Dapat disertai gejala sesak nafas.(3)

7. TATALAKSANA
1. Non Medikamentosa
 Identifikasi dan eliminasi faktor-faktor penyebab endogen dan eksogen
 Apabila didapatkan sesak nafas, suara serak atau odinofagia dikonsulkan ke
spesialis THT untuk dilakukan nasopharyngolaryngoscopi  dengan terlebih
dahulu diatasi keadaan darurat di Unit Gawat Darurat.
 Apabila didapatkan edema laring berdasarkan hasil NPL maka dirawat di ICU
untuk monitor jalan nafas.
 Pasien dengan edema terbatas pada kulit dapat diobservasi di unit gawat
darurat dalam 6 jam, dan diperbolehkan rawat jalan(3)

2. Medikamentosa 
1. Sistemik
 Apabila ada gangguan nafas: epinefrin atau adrenalin (1:1000) dosis
0,3-0,5 ml subkutan atau intramuskular, diulangi setiap 5-20 menit(5)
o Terapi adjuvan dapat diberikan antihistamin dan steroid.
Difenhidramin, antihistamin H1, dapat diberikan dengan dosis 25-50
mg IV untuk mengurangi pembengkakkan disertai kombinasi
antihistamin generasi 2 atau 3 seperti cetirizin, loratadin,
fexofenadine, levocetirizine, desloratadin). Steroid seperti
metilprednisolon 125 mg IV mengurangi mediator inflamasi. Sedikit
bukti keberhasilan terapi ini pada angioedema non histaminergik.
Onset setelah pemberian tertunda, membutuhkan waktu 4-6 jam
sebelum efeknya terlihat. (5)
o Direkomendasikan pemberian fresh frozen plasma (FFP) karena
plasma tersebut berisi berbagai jumlah C1-INH tapi kemungkinan
memperburuk kondisi pada tipe HAE 2. Kebanyakan penelitian
memberikan 1-4 unit (250-1000 cm kubik). Prothrombin complex
concentrate (PCC) juga dapat digunakan untuk ACEi-mediated
angioedema dari satu penelitian yang memberikan 1500 unit. Gejala
membaik setelah 20 menit, resolusi 8 jam. (5)
o Untuk angioedema yang disebabkan bradikinin, dapat diberikan
konsentrat C1-INH, satu inhibitor kallikrein, dan satu bradykinin-2-
receptor antagonist. (5)

8. PROGNOSIS
Angioedema dapat mengancam jiwa jika mengenai saluran napas atas (terutama
laring) karena kurangnya oksigen yang masuk ke paru. Namun, sebagian besar kasus
angioedema dapat sembuh dengan dengan penanganan yang tepat. 
DAFTAR PUSTAKA

1.     Dewi CC. Tinjauan atas Stevens-Johnson Syndrome dan Toxic Epidermal Necrolysis. 2019;46:3–
5. 
2.     Kang S, Amagai M, Bruckner AL, ENK A, Margolis DJ, McMichael AJ, et al., editors.
Fitzpatrick’s Dermatology. 9th ed. McGraw-Hill Education; 2019. 368 p. 
3.     PERDOSKI. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia.
PERDOSKI; 2017. 
4.     Li HH. Angioedema [Internet]. Medscape. 2019. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/135208-overview#a3
5.     Long BJ, Koyfman A, Gottlieb M. Evaluation and management of angioedema in the emergency
department. West J Emerg Med. 2019;20(4):587–600. 
Refreshing

Kegawatdaruratan pada Dermatologi

Disusun oleh :
Ike Suryani 2016730048

Pembimbing : 
dr. Chadijah Rifai, Sp.KK

STASE KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN 
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim,
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugrah dari-Nya saya dapat
menyelesaikan Tugas Refreshing tentang “Kegawatdaruratan pada Dermatologi”.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, Nabi
Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang lurus berupa ajaran
agama islam yang sempurna dan menjadi anugerah terbesar bagi seluruh alam semesta.
Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan tugas refreshing yang menjadi tugas
kepaniteraan stase kulit dan kelamin
 Disamping itu, saya mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu selama pembuatan tugas refreshing ini berlangsung sehingga dapat terealisasikanlah
refreshing ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
terutama bagi penyusun.
Saya mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya dapat kami perbaiki.
Karena saya sadar tugas yang saya buat ini masih banyak terdapat kekurangannya.

Penulis,

Ike Suryani
BAB I
PENDAHULUAN

1. Pemphigus vulgaris 
Pemphigus ialah kumpulan penyakit kulit autoimun berbula kronik, menyerang kulit
dan membrane mukosa yang secara histologic ditandai dengan bula intraepidermal akibat
proses akantolisis dan secara imunopatologik ditemukan antibody terhadap komponen
desmosome pada permukaa keratinosit jenis igG yang terkait maupun beredar dalam
sirkulasi darah.
Terdapat 4 bentuk pemphigus, yaitu : pemphigus vulgaris, pemphigus erimatosus,
pemphigus foliaseus, pemphigus vegetans. Namun berdasarkan letak celah pemphigus
dibagi menjad dua, yaitu 1) di suprabasal ialah pemphigus vulgaris dan variannya
pemphigus vegetans, 2) di stratum granulosum ialam pemphigus eritematosus.
Semua penyakit tersebut memberi gejala yang khas yakni :
 Pembentukan bula yang kendur pada kulit yang umumnya terlihat normal dan
mudah pecah.
 Pada penekanan, bula tersebut meluas (tanda Nikolski positif)
 Akantolisis selalu positif
 Adanya antibody tipe igG terhadap antigen interseluler di epidermis yang dapat
ditemukan dalam serum, maupun terikat di epidermis. 1

1. Definisi pemphigus vulgaris 


Pemphigus vulgaris merupakan bentuk yang tersering dijumpai (80% semua
kasus). Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan dapat mengenai semua bangsa dan ras.
Frekuensinya pada kedua jenis kelamin sama. Umumnya mengenai umur pertengahan
(decade ke-4 dan ke-5), tetapi dapat juga mengenai semua umur, termasuk anak. 1

2. Etiologi
Pemfigus ialah autoimun, karena pada serum penderita ditemukan
autoantibodi, juga dapat disebabkan oleh obat (drug-induced pemphigus), misalnya D-
penisilamin dan kaptropil. Pemphigus yang diindukis oleh obat dapat berbentuk
pemphigus foliaseus (termasuk pemphigus eritomatosus) atau pemphigus vulgaris.
Permfigus foliaseus lebih sering timbul dibandingkan dengan pemphigus vulgaris.
Pada pemfigus tersebut, secara klinis dan histologic menyerupai pemphigus yang
sporadic, pemeriksaan imunoflueresensi langsung pada kebanyakan kasus positif,
sedangkan pemeriksaan muniflueresensi tidak langsung hanya kira-kira 70% yang
positif.
    Pemphigus dapat menyertai penyakit neoplasma, baik yang jinak maupun maligna,
dan disebut sebagai pemphigus paraneoplastic. Pemfigus juga dapat ditemukan
Bersama-sama dengan penyakit autoimun yang lain, misalnya lupus eritomatosus
sistemik, pemfigois bulosa, miastenia gravis dan anemia pernisiosa.
1

3. Pathogenesis
Semua bentuk pemphigus mempunyai sifat sangat khas, yakni :
1. Hilangnya kohesi sel-sel epidermis (akantolisis)
2. Adanya antibody igG terhadap antigen determinan yang ada di permukaan
keratinosit yang sedang beradiferensiasi.
Lepuhnya pada P.V akibat terjadinya reaksi autoimun terhadap antigen P.V. antigen
ini merupakan trasnmembran glikoprotein dengan berat molekul 160 kD untuk
pemphigus foliaesus dan berat molekul 130 kD untuk pemphigus vulgaris yang terdapat
pada permukaan sel sel keratinosit.
Target antigen pada P.V. yang hanya dengan lesi oral ialah desmoglein dan kulit
ialah desmoglin 1 dan 3. Sedangkan pada pemphigus foliaeseus, target antigennya ialah
dermoglein 1.
Demoglein ialah salah satu komponen desmosome. Komponen yang lain, misalnya
desmoplakin, plakoglobin dan desmokolin. Fungsi desmososm ialah meningkatkan
kekuatan mekanik epitel gepeng berlapis yang terdapat pada kulit dan mukosa.
Pada penderita dengan penyakit aktif mempunyai antibody subklas igG dan IgG4,
tetapi yang patogenik ialah igG4. Pada pemphigus juga ada faktor genetic, umumnya
berkaitan dengan HLA-DR4. 1

4. Gejala klinis
Keadaan umum penderita biasanya buruk. Penyakit dapat mulai sebagai lesi di
kulit kepala yang berambut atau di rongga mulut kira-kira pada 60% kasus, berupa erosi
yang disertai pembentukan krusta, sehingga sering ssalah didiagnosis sebagai pyoderma
pada kulit kepala yang berambut atau dermatitis dengan infeksi sekunder. Lesi di tempat
tersebut dapat berlangsung berbulan-bulan sebelum timbul bula generalisata.
Semua selaput lendir dengan epitel skuamosa dapat diserang, yakni selaput lender
konjungtiva, hidung, farings, larings, esophagus, uretra, vulva dan serviks. Kebanyakan
penderita stomatis aftosa sebelum diagnosis pasti ditegakkan. Lesi di mulut ini dapat
meluas dan dapat menganggu pada waktu penderita makan karena rasa nyeri.
Bula yang timbul berdinding kendur, mudah pecah dengan meninggalkan kulit
terkelupas, dan diikuti oleh pembentukan krussta yang lama bertahan di atas kulit yang
terkelupas tersebut. Bula dapat timbul diatas kulit yang tampak normal atau yang
eritematosa dan generalisata. Tanda Nikolsky positif disebabkan oleh adanya akantolisis.
Cara mengetahui tanda tersebut ada dua, pertama denga menekan dan menggeser kulit di
antara dua bula dan kulit tersebut akan terkelupas. Cara kedua dengan menekan bula,
maka bula akan meluas karena cairan yang didalamya mengalami tekanan.
Pruritus tidaklah lazim pada pemphigus, tetapi penderita sering mengeluh nyeri
pada kulit yang terkelupas. Epitelisasi terjadi setelah penyembuhan dengan meninggalkan
hipopigmentasi atau hiperpigmentasi dan biasanya tanpa jaringan parut.1

5. Pemeriksaan penunjang 
a. Histopatologi
Pada gambaran histopatologik didapatkan bula intrepidermal suprabasal dan sel-
sel epitel yang mengalami akantolisis pada dasar bula yang menyebabkan uji Tzanck
positif. Uji ini berguna untuk menentukan adanya sel-sel akantolitik, tetapi bukan
diagnostic pasti untuk penyakit pemphigus. Pada pemeriksaan dengan menggunakan
mikroskop electron dapat diketahui, bahwa perukaan perubahan patologik ialah
perlunakan segemn interseluler. Juga dapat dilihat perusakan desmosome dan
tonofilament sebagai peristiwa sekunder. 1

b. Imunologi
Pada tes imunoflueresensi langsung, didapatkan antibody intraseluler yipe igG
dan C3. Pada tes imunofloresensi tidak langsung didapatkan antibody pemphigus tipe
igG. Tes yang pertama lebih dipercaya daripada tes kedua, karena telah menjadi
positif pada permulaan penyakit. Seringkali sebelum tes kedua menjadi positif, dan
tetap positif pada waktu yang lama, meskipun penyakitnya telah membaik.
Akibat pemphigus ini rupanya sangat spesifik untuk pemphigus. Titer antibody
umumnya sejajar dengan beratnya penyakit dan akan menurun kemudian menghilang
dengan pengobatan kortikosteroid. 1

6. Pengobatan
Obat utama ialah kortikosteroid karena bersifat imunosupresif. Yang sering
digunakan ialah prednisone da deksametason. Dosis prednisone bervariasi bergantung
pada berat ringannya penyakit, yakni 60=150 mg sehari. Ada pula menggunakan 3
mg/kgBB sehari.jika belum ada perbaikan, yang berarti masih timbul lesi baru setelah 5-7
hari dengan dosis inisial, maka dosis dinaikkan 50%. Untuk mengurangi efek
sampingkortikosteroid dapat dikombinasikan dengan adjuvant yang kuat, yatu stostatik,
sitostatik merupakan adjuvant yang kuat karena bersifat imunosupresif. Obat sitostatik
untuk pemphigus ialah azatioprin, siklofosfamid, metotreksat dan mikofenolat fenotil.
1

2. Pemfigoid Bulosa
1. Definisi 
Pemfigoid bulosa adalah penyakit autoimun kronik, ditandai adanya bula
subepidermal yang besar dan berdinding legang, dan pada pemeriksaan imunopatologik
ditemukan C (komponen komplemen ke-3) pada epidermal basement membrane zone.
3
2

2. Etiologic 
Etiologinya ialah autoimun, tetapi penyebab yang mengnduksi produksi
autoantibodi pada pemfigoid bulosa masih belum diketahui. 2

3. Patognenesis 
Antigen P.B merupakan protein yang terdapat pada hemidesmosome sel basal,
diproduksi oleh sel basal dan merupakan baian B.M.Z (basal membrane zone) epitel
gepeg berlapis. Fungsi hemidemossom ialah melekatkan sel-sel basal dengan membrane
basalis, strukturnya berbedad dengan desmorom.
Bula terbentuk akibat komplemen yang teraktivasi melalui jalur klasik dan alternative,
kemudian akan dikeluarkan enzim yang merusak jaringan sehingga terjadi pemisajan
epidermis dan dermis. Terdapat 2 jenis antigen P.B yang pertama dengan berat molekul
230 kD molekul disebut PNAg1 (P.B antigen 1) atau PB230 dan kedua 180 kD
dinamakan PBAg2 (P.B antigen 2) atau PB180. PB230 lebih banyak ditemukan
disbanding dengan PB180.
Autoantibodi pada P.B terutama igG1, kadang-kadang ditemukan igA yang
menyertai igG. Isotipe igG yang utama ialah igG1 dan igG4, yang melekat pada
komplemen hanya igG4. Hamper 70% penderita mempunyai autoantibodi terhadap
B.M.Z dalam serum dengan kadar yang tidak sesuai dengan keaktifan penyakit, jadi
berbeda dengan pemphigus. 2

4. Gejala klinis
Keadaaan umum baik. Terdapat pada semua umur terutama pada orangtuaa,
kelainan kulit terutama atas bula dapat bercampur dengan vesikel berdinding tegang dan
sering disertai eritema. Tempat predileksi ialah diketiak, lengan bagian fleksor, dan lipa
paha. Jika bula-bula pecah terdapat daerah erosif yang luas, tetapi tidak bertambah
seperti pada pemphigus vulgaris. Mulut dapat terkena kira-kira pada 20% kasus. 2

5. Pemeriksaan Penunjang
a. Histopatologi
Kelainan yang dini ialah terbentuknya celah di perbatasan dermal-epidermal. Bula
terletak disubepidermal, sel infiltrate yang utama ialah eosinophil.
b. Imunologi 
Pada pemeriksaan imunifluoresensi terdapat endapan igG dan C3 tersusun seperti
pita di B.M.Z (Bassement Membrane Zone). 2

6. Diagnosis Banding
Penyakit ini dibedakan dengan pemphigus vulgaris dan dermatitis herpetifomis.
Pada pemphigus keadaan umum buruk, dinding bula kendur, generalisasi, letak bla
intraepidermal, dan terdapat igG di stratum spinosum.
Pada dermatitis herpetiformis, sangat gatal, ruam yang utama ialah vesikel berkelompok,
terdapat igA tersusun granular. 2

7. Pengobatan
 Kortikosteroid : prednisolone 40-60 mg sehari, jika telah tampak perbaikan dosis
diturunkan perlahan-lahan. Sebagian besar kasus dapat disembuhkan dengan
kortikosteroid.
 Jika dengan kortikosteroid belum tampak perbaikan, dapat dipertimbangkan
pemberian sitostatik yang dikombinasikan dengan kortikosteroid.
 Pemfigoid bulosa dianggap sebagai penyakit autoimun =, oleh karena itu, emerlukan
pengobatan yang lama. Sebagian penderita akan mengalami efek samping
kortikosteroid sistemik. Untuk mencegahnya dapat diberikan kombinasi
tetrasiklin/eritromisin dan niasimid setelah penyakitnya membaik. Efek samping
kedua obat tersehut lebih sedikit daripada kortikosteroid sistemik.
2

8. Prognosis 
Kematian jarang dibandingkan dengan pemphigus vulgaris, dapat terjadi remisi
spontan. 2

3. Angioedema
1. Definisi
Angioedema adalah reaksi yang menyerupai urtikaria, namun terjadi pada lapisan
kulit yang lebih dalam, dan secara klinis ditandai pembengkakan jaringan. Rasa gatal
tidak lazim terdapat pada angioedema, lebih sering disertai rasa terbakar. Angioedema
dapat terjadi di bagian tubuh manapun, namun lebih sering ditemukan di daerah perioral,
periorbital, lidah, genitalia dan ekstremitas.
3

2. Epidemiologi
Urtikaria dan angioedema merupakan gangguan yang sering dijumpai. Faktor
usia, ras, jenis kelamin, pekerjaan, lokasi, geografis dan musim mempengaruhi jenis
pejanan yang akan dialami seseorang. Urtikasi atau angiodemea digolongkan sebagai
akut bila berlangsung kurang dari 6 minggu, dan dinggap kronis bila lebih dari 6
minggu, dengan perbandingan perempuan : laki-laki adalah 2:1. Sebagian besar anak-
anak (85%) yang mengalami urtikaria , tidak disertai angioedema. Sedangkan 40%
dewasa yang mengalami urtikaria, juga mengalami angioedema. Sekitar 50% pasien
urtikaria kronis akan sembuh dalam waktu 1 tahun, 65% sembuh dalam waktu 3 tahun
dan 85% akan sembuh dalam waktu 5 tahun. Pada kurang dari 5 % pasien, lesi akan
menetap lebih dari 10 tahun. 3

3. Etiopatogenesis
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat
akibat penglepasan histamin dari sel mast dan basophil. Sel mast adalah sel efektor
utama pada urtikaria, dan maediator lain yang turut berperan adalah serotonin,
leukotriene, prostaglandin, protease dan kinin. Berbagai mekanisme dapat menyebabkan
aktivasi sel mast, digolongkan menjadi.

a. Faktor imunologik yang terdiri atas :


 Hipersensitivitas tipe cepat yang diperantarai igE, contohnya alergi obat
 Aktivasi komplemen jalur klasik maupun alternative, menghasilkan anafilatoksin
(C3a, C4a dan C5a) yang menyebabkan penglepasan mediator sel mast
b. Faktor non-imunologik yang mengakibatkan aktivasi langsung sel mast oleh
penyebab, misalnya bahan kimia Pelepas mediator (morfin, kodein,media radio-
kontras, aspirin, obat anti-inflamasi non-steroid, benzoat), faktor fisik (suhu,
mekanik, sinar-x, ultraviolet, efek kolinergik).
3

4. Gambaran klinis
 Rasa gatal yang hebat, hampir selalu merupakan keluhan subyektif urtikaria, timbul
rasa terbakar atau rasa tertusuk.
 Tampak lesi urtikaria (eritema dan edema setempat yang terbatas tegas) dengan
berbagai ukuran dan bentuk. Kadang-kadnag bagian tengah lesi tampak lebih pucat. 
 Bila lesi melibatkan jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan subkutis atau
submucosa, kaan terlihat edema dengan batas difus
 Sering dijumpai di mata dan bibir
 Bila angioedema terjadi dimukosa slauran pernafasan dapat terjadi sesak napas, suara
serak dan rhinitis.
 Angioedema di saluran cerna bermanifestasi sebagai rasa mual,muntah kolik
abdomen dan diare. 3

5. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada urtikasi terutama ditunjukan untuk mencari
penyebab atau pemicu urtikaria. Adapun pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah :
 Pemeriksaan darah, urin dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang
tersembunyi, infestasi atau kelainan alat dalam.
 Pemeriksaan kadar igE total dan eosinophil untuk mencari kemungkinan kaitannya
dengan faktor atopi.
 Pemeriksaan gigi, THT dan usapan genitalia interna wanita untuk mencari focus
infeksi.
 Uji tusuk kulit terhadap berbagai makanan dan inhalan.
 Uji serum autolog dilakukan pada pasien urtikaria kronis untukmembuktikan adanya
urtikaria autoimun.
 Uji dermografisme dan uji dengan es batu (ice cube test) untuk mencari penyebab
fisik
 Pemeriksaan histopatologis kulit perlu dilakukan bila terdapat kemungkinan urtikaria
sebagai gejala vasculitis atau mastositosis.
3
6. Tatalaksana
Yang plaing penting adalah identifikasi dan eleminasi peyebab dan faktor penccetus.
Gambar : algortima penatalaksanaan angioedema

4. Sindrom Steven-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik


1. Definisi 
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksok (NET)
merupakan reaksi mukokutan akut yang mengancam nyawa, ditandai dengan nekrosis
epidermis yang luas sehingga terlepas. Kedua penyakit ini mirip dalam gejala klinis dan
histopatolgis, faktor resiko, penyebab dan patogenesisnya, sehingga saat ini digolongkan
dalam proses yang identic, hanya dibedakan berdasarkan keparahan saja. Pada SSJ
terdapat epidermolisis sebesar <10% luas permukaan badan (LPB), sedangkan NET
>30%. Keterlibatan 10 – 30% LPB disebut sebagai overlap SSJ-NET. 5

2. Epidemiologi 
SSJ-NET merupakan penyakit yang jarang, secara umum insidens SSJ adalah 1-6
kasus/juta penduduk/tahun. Dan insidens NET 0,4-1,2 kasus/juta penduduk/tahun. Angka
kematian NET adalah 25-35%, sedangkan angka kematian SSJ adalah 5-12%. Penyakit
ini dapat terjadi pada setiap usai, terjadi peningkatan risiko pada usia diatas 40 tahun.
Perempuan lebih sering terkena disbandingkan laki-laki dengan perbandingan 1,5 : 1.
Data dari raung rawat inap RSCM menujukkan bahwa selama tahun 2010-2013 terdapat
57 kasus dengan rincian : SSJ 47,4 %, overlap SSJ-NET 19,3% dan NET 33,3%. 5

3. Etiopatogenesis 
Mekanisme pasti terjadi SSJ-NET belum sepenuhnya diketahui. Pada lesi SSJ-
NET terjadi reaksi sitotoksik terhadap kertainosit sehingga mengakibatkan apoptosis luas.
Reaksi sitotoksik yang terjadi melibatkan sel NK dan sel limfosit T CD8+ yang spesifik
terhadap obat penyebab. Berbagai sitokin terlibat dalam pathogenesis penyakit ini, yaitu
IL-6, TNF- α, IFN-γ, IL-18, Fas-L , granulisin, perforin, granzim-B. Sebagian besar SSJ-
NET disebabkan karena alergi obat. Berbagai obat dilaporkan merupakan penyebab SSJ-
NET. Dimana granulin memiliki kadar yang jauh lebih tinggi dari pada perforin,
granzim-B atau Fas-L. Obat-obat yang sering menyebabkan SSJ-NET adalah
sulfonamida, antikonvulsan, aromatic, alupurinol, anti-inflamasi non-steroid dan
navirapin. Pada beberapa obat tertentu misalnya karbamazepin dan alupurinol, faktor
genetic yaitu system HLA berperan pada proses terjadinya SSJ-NET. Infeksi juga dapat
menjadi penyebab SSJ-NET, namun tidak sebanyak pada kasus ereitema multiforme :
misalnya infeksi virus dan Mycoplasma. 5

Mekanisme pasti terjadinya SSJ-NET belum sepenuhnya diketahui. Obat-obatan


sebagian besar dilaporkan merupakan penyebab SSJ-NET, obat-obatan yang sering
menyebabkan SSJ-NET adalah sulfonamida, antikonvulan, aromatic, alopurinol, anti-
inflamasi non-steroid dan navirapin. Pada beberapa obat tertentu misalnya karbamazepin
dan alupurinol, faktor genetic yaitu system HLA berperan pada proses terjadinya SSJ-
NET, namun tidak sebanyak kasus eritema multiforme : misalnya infeksi virus dan
Mycoplasma. Adanya perubahan regulasi dari respon imun terhadap obat pada pasien,
dapat dihasilkan dari komordibitas yang sering terjadi (misalnya kanker, infeksi HIV,
penyakit pembuluh darah kolagen atau peran genetik)
SSJ sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks
imun) yang disebabkan oelh kompleks solube  dari antigen atau metaboliknya dengan
antibody igM dan IgG, Serta hipersensitivitas lambat (delayed type hypersensitivity
reaction atau raksi hipersensitivitas tipe IV).  Interaksi farmakologis dari obat-obat
dengan system kekebalan tubuh dapat mengakibatkan pengikatan obat yang bertanggung
jawab pda MHC-1 dan reseptor sel- T. kompleks imun beredar dapat mengendap
didaerah kulit mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen
dan rekasi inflamasi yang terjadi. Obat-obatan yang mengendapkan sindrom Stevens-
Johnson / nekrolisis epidermal toksik cenderung memiliki paruh panjang dan hampir
selalu diminum secara sistemik. Sindrom Stevens-Johnson / nekrolisis epidermal toksik
dapat berkembang dalam beberapa hari hingga delapan minggu setelah memulai obat
baru. Paparan berikutnya dapat menyebabkan gejala dalam beberapa jam. Pada SSJ-NET
terjadinya reaksi sitotoksik terhadap keetainosit sehingga menyebabkan apoptosis luas.
Reaksi sitotoksik yang terjadi melibatkan sel NK dan sel limfosit T CD8+ yang spesifik
terhadap obat penyebab. Berbagai sitokin terlibat dalam pathogenesis penyakit ini, yaitu
IL-6, TNF- α, IFN-γ, IL-18, Fas-L , granulisin, perforin, granzim-B. Dimana granulin
memiliki kadar yang jauh lebih tinggi dari pada perforin, granzim-B atau Fas-L,
Granulysin, ditemukan dalam butiran sitotoksik, adalah penyebab utama apoptosis
keratinosit. pada SSJ apabila epidermrolisis sebesar < 10% luas permukaan badan (LBP),
bila epidermolisis di atas >30% maka sudah termasuk NET. Sedangkan apabila
keterlibatan 10-30% LPB maka disebut overlap SSJ-NET.   7,8,9,10

4. Gambaran Klinis
 Gejala SSJ-NET timbul dalam waktu 8 minggu setelah awal pajanan obat. 
 Sebelum terjadi lesi kulit, dapat timbul gejala non-spesifik, yaitu demam, sakit
kepala, batuk, pilek dan malaise selama 1-3 hari.
 Lesi kulit tersebar secara simetris pada wajah, badan dan bagian proksimal, berupa
makla eritematosa atau purpurik, dapat pula dijumpai lesi target.
 Semakin bertambahnya waktu lesi semakin meluas dan berkembang menjadi
nekrotik, sehingga terjadi bula kendur dnegan tanda Nikolsky positif.
 Lesi pada mukosa berupa eritema dan erosi biasanya dijumpai pada mulut dan
konjungtiva, atau juga genital.
 Keparahan dan diagnosis tergantung pada luasnya permukaan tubuh yang
mengalami epidermolysis. 5

5. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang penting untuk menunjang diagnosis.
Pemeriksaan histopatologis kulit dapat menyingkirkan diagnosis banding, dan umumnya
diperukan untuk kepentingan medikalegal. Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan
untuk evaluasi keparahan penyakit dan untuk tatalaksana pasien.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah : darah tepi lengap, analisis gas darah,
kadar elektrolit, albumin, dan protein darah, fungs ginjal, fungsi hepar, gula darah
sewaktu dan foto rontgen. Selama perawatan, perlu diwaspadai tanda-tanda sepsis secara
klinis dan dilakuakn pemeriksaan laboratorium untuk menunjang diagnosis sepsis. 5

6. Tatalaksana
 Deteksi dini dan penghentian segera obat tersangka
 Perawatan suportif : mempertahankan keseimbangan cairan, elektroilit, suhu
lingkungan yang optimal 28-30 C, nutrisi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
0

asupan makanan, perwatan kulit secara aseptic tanpa debridement,perawatan mata


dan mukosa mulut.
 Penggunaan kortikosteroid sistemik sampai saat ini hasilnya masih beragam, akan
teteapi pada RSCM menggunakan kortikosteroid sistemik untuk setiap kasus SSJ-
NET, dengan hasil yang cukup baik dengan angka kematian pada periode 2010-
2013  sebesar 10%. 5

7. Prognosis
SJ-NET berdasarkan Scorten yang memberikan nilai : 5

Faktor Prognosis Point

Usia > 40 tahun 1

Denyut jantung > 120/menit 1

Keganasan hematologic/ kanker 1

Epidermiolisis > 10% LPB 1

Kadar bikarbonat serum <20mEq/L 1

Kadar GDS > 14mM/L (> 252mg/dL) 1

Nilai Angka kematian (%)


Scorten

0-1 3,2

2 12,1
3 35,8

4 58,3

5 90

5. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome


1. Definisi
S.S.S.S ialah infeksi kulit oleh Staphylococcus aureus tipe tertentu dengan ciri
yang khas ialah terdapatnya epidermolisis.
6

2. Epidemiologi 
Penyakit ini terutama terdapat pada anak dibawah 5 tahun, pria lebih banyak
daripada wanita. 6

3. Etiologi
Etiologinya anatara lain ialah Staphilococcus aureus grup II faga 52,55 dan/atau
faga 71. 6

4. Pathogenesis
Sebagai sumber infeksi ialah infeksi pada mata, hidung, tenggorok dan telinga.
Eksotoksin yang dikeluarkan bersifat epidermolitik (epidermolin, eksfoliatin) yang
beredar di seluruh tubuh, sampai epidermis merupakan jarngan yang rentan terhadap
toksin ini. Pada kulit tidak selalu ditemukan kuman penyebab.
Fungsi ginjal yang baik diperlukan untuk mengekskresikan eksfoliatin. Pada anak-anak
dan bayi diduga fungsi ekskresi ginjal belum sempurna karena umumnya penyakit ini
terdapat pada golongan usia tersebut. Jika penyakit ini menyerang orang dewasa diduga
karena terdapat kegagalan fungsi ginjal, atau terdapat gangguan imunologik, termasuk
yang mendapat obat imunosupresif. 6

5. Gejala klinis
Pada umumnya terdapat demam yang tinggi disertai infeksi saluran napas bagian
atas. Kelainan kulit yang pertama timbul ialah eritema yang timbul mendadak pada
wajah, leher, aksila, dan lipat paha, kemudian menyeluruh dalam waktu 24 jam. Dalam
waktu 24-48 jam akan timbul bula-bula besarberdinding kendur. Jika kulit yang
tampaknya normal ditekan dan digeser kulit tersebut akan terkelupas sehingga memberi
tanda Nikolsky positif.6

6. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan bacterial
Jika terdapat infeksi ditempat lain, misalnya disaluran napas dapat dilakukan
pemeriksaan bakteriologik. Juga sebaiknya diperiksa mengenai tipe kuman, karena
S.S.S.S disebabkan oleh Staphylococcus aureus tipe tertentu. Pada kulit seperti
telah disebutkan, tidak didapati kuman penyebab karena kerusakan kulit akibat
toksin.
b. Histopatologi
Pada S.S.S.S terdaapat gambaran yang khas, yakni terlihat lepuh intraepidermal,
celah terdapat di stratum granulosum. Meskipun ruang lepuh mengandung sel-sel
akantolitik, epidermis sisanya tampaknya utuh tanpa disertai ekrosis sel.
6

7. Tatalaksana
Berbeda dengan pengobatan N.E.T maka kortikosteroid tidak perlu diberikan.
Pengobatannya ialah antibiotic, jika dipilih derivate penisilin hendaknya yang juga
efektif bagi Staphylococcus aureus yang membentuk penisilinase, misalnya kloksalsilin
dengan dosis 3 x 250 mg untuk orang dewasa sehari per os. 6

8. Prognosis
Kematian dapat terjadi, terutama pada bayi berusia dibawah 1 tahun, yang
berkissar antara 1-10%. Penyebab utama kematian ialah tidak adanya keseimbnagan
cairan/ elektrolit dan sepsis.
6

DAFTAR PUSTAKA
1. Wiryadi BE. Pemfigus Vulgaris. In: Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi W, editors. 
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7 ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2016. p. 234-238.
th

2. Wiryadi BE. Pemfigoid Bulosa. In: Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi W, editors. 
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7 ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2016. p. 240-241.
th

3. Aisah S, Effendi EH. Urtikaria dan Angioedema. In: Menaldi SLSW, Bramono K,
Indriatmi W, editors.  Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7 ed. Jakarta: Badan Penerbit
th

FKUI; 2016. p. 311-314.


4. Widaty S, Soebono H, Nilasari H, Listiawan MY, Siswati AS, Triwahyudi D, et al.,
editors dan penyusun. Panduan Praktis Klinis Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di
Indonesia. Jakarta: PERDOSKI; 2017.
5. Effendi EH. Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik. In: Menaldi
SLSW, Bramono K, Indriatmi W, editors.  Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7 ed. Jakarta:
th

Badan Penerbit FKUI; 2016. p. 199-200.


6. Djuanda A. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome. In: Menaldi SLSW, Bramono K,
Indriatmi W, editors.  Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7 ed. Jakarta: Badan Penerbit
th

FKUI; 2016. p. 76-77.


7. Mockenhaupt M, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson Syndrome and
Toxic Epidermal Necrolysis. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ,
McMichael AJ, Orringer JS. Fitzpatrick’s Dermatology. 9 ed. New York: McGraw Hill
th

Companies; 2019
8. Amanda M. Oakley; Karthik Krishnamurthy. Stevens Johnson Syndrome (Toxic
Epidermal Necrolysis). 2019 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459323/ 
9. Monica. Sindrom Stevens-Johnson. Didapat dari : http://elib.fk.uwks.ac.id/.

Anda mungkin juga menyukai