Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH KMB 3

ASKEP GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN

GANGGUAN IMUNOLOGI

Disusun Oleh:

Dea Celsa Ekayeni (21.002)

Muhammad Taufik Hidayat (21.004)

Nindy Dwi Yuni Anggraini (21.012)

Siti Nur Kholisah (21.023)

Tsamrotul Muflichah (21.024)

PROGRAM STUDI D3 AKADEMI KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

DIAN HUSADA MOJOKERTO 2023

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas segala nikmat dan hidayahnya sehingga akhirnya kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “MAKALAH MEDIKAL BEDAH 3”. Tidak lupa
kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Kami menyadari bahwa terdapat hal-hal yang kurang sempurna dalam penyusunan
Makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan pihak pihak lain yang
memerlukan pada umumnya.

Mojokerto, 13 September 2023

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

COVER................................................................................................................................ i

KATA PENGANTAR......................................................................................................... ii

DAFTAR ISI....................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

1.1 LATAR BELAKANG................................................................................................... 1

1.2 RUMUSAN MASALAH.............................................................................................. 2

1.3 TUJUAN ....................................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................... 3

2.1 Konsep medis Glomerulonefritis................................................................................... 3

2.2 konsep medis nefrotik sindrom......................................................................................18

BAB III PENUTUP............................................................................................................. 36

KESIMPULAN ..................................................................................................................36

SARAN ...............................................................................................................................36

DAFTARPUSTAKA ..............................................................................................37

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral. Peradangan
dimulai dalam glomerulus dan bermanifestasi sebagai proteinuria atau hematuria.
Meskipun lesi utama pada glomerulus, tetapi seluruh nefron pada akhirnya akan
mengalami kerusakan, sehingga terjadi gagal ginjal. Penyakit yang mula-mula
digambarkan oleh Richard Bright pada tahun 1827 sekarang diketahui merupakan
kumpulan banyak penyakit dengan berbagai etiologi, meskipun respon imun agaknya
menimbulkan beberapa bentuk glomerulonefritis.
Menurut data World Health Organization (WHO), penyakit glomerulonefritis telah
menyebabkan kematian pada 850.000 orang setiap tahunnya. Indonesia pada tahun 1995,
melaporkan adanya 170 pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan.
Pasien terbanyak dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian disusul berturut-turut di Jakarta
(24,7%), Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%). Pasien laki-laki dan perempuan
berbanding 2 : 1 dan terbanyak pada anak usia antara 6-8 tahun (40,6%).
Sindrom nefrotik (SN) ialah keadaan klinis yang ditandai oleh proteinuria,
hipoproteinemia, edema, dan dapat disertai dengan hiperlipidemia. Kadang-kadang disertai
hematuri, hipertensi dan menurunnya ecepatan filtrasi glomerulus. Sebab pasti belum jelas,
dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Sindrom nefrotik paling banyak terjadi pada
anak umur 3-4 tahun dengan perbandingan pasien wanita dan pria Sindrom nefrotik (SN)
ialah keadaan klinis yang ditandai oleh proteinuria, hipoproteinemia, edema, dan dapat
disertai dengan hiperlipidemia. Kadang-kadang disertai hematuri, hipertensi dan
menurunnya ecepatan filtrasi glomerulus. Sebab pasti belum jelas, dianggap sebagai suatu
penyakit autoimun. Sindrom nefrotik paling banyak terjadi pada anak umur 3-4 tahun
dengan perbandingan pasien wanita dan pria 1:2. (Sundoyo dalam Nurarif dan Kusuma,
2015, p. 17)
Pada proses awal SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala
tersebut harus ditemukan proteinuria masih merupakan tanda khas SN,

tetapi pada SN berat yang disertai kadar albumin serum rendah eskresi protein
dalam urine juga berkembang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai
kaomplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria

1
gangguan keseimbangn hidrogen, hiperkoagulitas, gangguan metabolisme kalsium dan
tulang serta hormon tiroid sering dijumpai pada SN. Umunya pada SN fungsi ginjal normal
kecuali sebagai khusus yang berkembang menjadi tahap akhir(PGTA) pada beberapa
episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respon yang baik terhadap terapi
stroid, tetapi sebagian lain dapat berkembang menjadi kronik. (Sudoyo, 2010, hal. 999)
(Sundoyo dalam Nurarif dan Kusuma, 2015, p. 17)

2. Rumusan Masalah
1.1 Bagaimana konsep askep Glomerulonefritis
1.2 Bagaimana Konsep Askep Sindrom nefrotik
3. Tujuan Masalah
1.1 Untuk mengetahui konsep askep Glomerulonefritis
1.2 Untuk mengetahui konsep askep Sindrom nefrotik

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Medis Glomerulonefritis

2.1.1 Definisi Glomerulonefritis


Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap akhir
dan tingginya angka morbiditas baik pada anak maupun pada dewasa Terminologi
glomerulonefritis yang dipakai disini adalah untuk menunjukkan bahwa kelainan yang
pertama dan utama terjadi pada glomerulus, bukan pada struktur ginjal yang lain.

Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral. Peradangan


dimulai dalam gromleurus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan atau hematuria.
Meskipun lesi utama pada gromelurus, tetapi seluruh nefron pada akhirnya akan
mengalami kerusakan, sehingga terjadi gagal ginjal. Penyakit yang mula-mula
digambarkan oleh Richard Bright pada tahun 1827 sekarang diketahui merupakan
kumpulan banyak penyakit dengan berbagai etiologi, meskipun respon imun agaknya
menimbulkan beberapa bentuk glomerulonefritis.

Glomerulonefritis juga disebut dengan glomerulonefritis akut post sterptokokus (GNAPS)


adalah suatu proses radang non-supuratif yang mengenai glomeruli, sebagai akibat infeksi
kuman streptokokus beta hemolitikus grup A, tipe nefritogenik di tempat lain. Penyakit ini
sering mengenai anak-anak

2.1.2 Etiologi

Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut paska streptokokus timbul setelah infeksi
saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta
hemolitikus grup A tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedang tipe 2, 49, 55, 56, 57 dan 60
menyebabkan infeksi kulit 8-14 hari setelah infeksi streptokokus, timbul gejala-gejala
klinis. Infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus ini mempunyai resiko terjadinya
glomerulonefritis akut paska streptokokus berkisar 10-15%.
Streptococcus ini dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan
alasan bahwa :

3
 Timbulnya GNA setelah infeksi skarlatina.
 Diisolasinya kuman Streptococcus beta hemolyticus golongan A.
 Meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita.

Mungkin faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi
mempengaruhi terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman Streptococcuss. Ada
beberapa penyebab glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering ditemukan disebabkan
karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain diantaranya:

 Bakteri : streptokokus grup C, meningococcocus, Sterptoccocus Viridans,


Gonococcus, Leptospira, Mycoplasma Pneumoniae, Staphylococcus albus,
Salmonella typhi dll
 Virus : hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus, influenza, parotitis
epidemika dl
 Parasit : malaria dan toksoplasma

Streptokokus

Sterptokokus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat yang secara khas
membentuk pasangan atau rantai selama masa pertumbuhannya. Merupakan golongan
bakteri yang heterogen. Lebih dari 90% infeksi streptokkus pada manusia disebabkan
oleh Streptococcus hemolisis β kumpulan A. Kumpulan ini diberi spesies nama S.
pyogenes S. pyogenes β-hemolitik golongan A mengeluarkan dua hemolisin, yaitu:

Sterptolisin O

Adalah suatu protein (BM 60.000) yang aktif menghemolisis dalam keadaan
tereduksi (mempunyai gugus-SH) tetapi cepat menjadi tidak aktif bila ada oksigen.
Sterptolisin O bertanggung jawab untuk beberapa hemolisis yang terlihat ketika
pertumbuhan dipotong cukup dalam dan dimasukkan dalam biakan pada lempeng agar
darah. Sterptolisisn O bergabung dengan antisterptolisin O, suatu antibody yang timbul
pada manusia setelah infeksi oleh setiap sterptokokus yang menghasilkan sterptolisin
O. antibody ini menghambat hemolisis oleh sterptolisin O. fenomena ini merupakan
dasar tes kuantitatif untuk antibody. Titer serum antisterptolisin O (ASO) yang
melebihi 160-200 unit dianggap abnormal dan menunjukkan adanya infeksi

4
sterptokokus yang baru saja terjadi atau adanya kadar antibodi yang tetap tinggi setelah
serangan infeksi pada orang yang hipersensitifitas.

Sterptolisin S

Adalah zat penyebab timbulnya zone hemolitik disekitar koloni sterptokokus


yang tumbuh pada permukaan lempeng agar darah. Sterptolisin S bukan antigen, tetapi
zat ini dapat dihambat oleh penghambat non spesifik yang sering ada dalam serum
manusia dan hewan dan tidak bergantung pada pengalaman masa lalu dengan
sterptokokus

2.1.3 Faktor resiko


Glomerulonefritis dapat terjadi karena berbagai hal, seperti infeksi, gangguan
autoimun, dan gangguan pada pembuluh darah. Biasanya, glomerulonefritis akut memiliki
penyebab yang lebih jelas dibandingkan dengan glomerulonefritis kronis.
Beberapa kondisi yang bisa mengakibatkan seseorang mengalami glomerulonefritis
akut, yaitu:
 Infeksi Virus atau Bakteri
Infeksi virus maupun bakteri bisa memicu munculnya reaksi imunitas tubuh berlebihan.
Dampaknya yaitu terjadi peradangan pada organ ginjal. Contohnya, infeksi akibat bakteri
Streptococcus yang menyerang tenggorokan, infeksi pada gigi, hepatitis, HIV, dan
endokarditis bakteri.
 Vaskulitis

Vaskulitis bisa menyerang berbagai organ pada tubuh, tak terkecuali ginjal. Contoh
vaskulitis yang terjadi pada pembuluh darah ginjal dan berujung pada glomerulonefritis,
yaitu granulomatosis Wegener dan poliarteritis.

 Kelainan pada Sistem Imun Tubuh

Penyakit lupus menjadi salah satu penyakit autoimun yang dapat mengakibatkan
peradangan pada semua organ tubuh, termasuk ginjal dan glomerulus. Selain lupus,
masalah pada sistem imun tubuh yang turut mengakibatkan peradangan pada glomerulus
adalah:

5
Sindrom Goodpasture, gangguan kesehatan yang mirip dengan pneumonia dan bisa
menyebabkan perdarahan di paru-paru dan ginjal.

Nefropati IgA, gangguan kesehatan yang mengakibatkan terjadinya endapan salah


satu protein yang menjadi bagian dari sistem imun (IgA) pada glomerulus.

Glomerulonefritis kronis kerap kali tidak memiliki penyebab khusus. Salah satu
gangguan kesehatan genetik, yaitu sindrom Alport juga dapat menyebabkan
glomerulonefritis kronis. Paparan terhadap zat kimia pelarut hidrokarbon dan adanya
riwayat penyakit kanker diduga turut memicu glomerulonefritis kronis.
2.1.4 Patofisiologi
Sebenarnya bukan sterptokokus yang menyebabkan kerusakan pada ginjal. Diduga
terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen khusus yang merupakan
unsur membran plasma sterptokokal spesifik. Terbentuk kompleks antigen-antibodi
didalam darah dan bersirkulasi kedalam glomerulus tempat kompleks tersebut secara
mekanis terperangkap dalam membran basalis.selanjutnya komplomen akan terfiksasi
mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan
trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak
endothel dan membran basalis glomerulus (IGBM). Sebagai respon terhadap lesi yang
terjadi, timbu proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan selanjutnya
sel-sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus menyebabkan protein
dan sel darah merah dapat keluar ke dalam urine yang sedang dibentuk oleh ginjal,
mengakibatkan

proteinuria dan hematuria. Agaknya kompleks komplomen antigen-antibodi inilah


yang terlihat sebagai nodul-nodul subepitel pada mikroskop elektron dan sebagai bentuk
granular dan berbungkah-bungkah pada mikroskop imunofluoresensi, pada pemeriksaan
cahaya glomerulus tampak membengkak dan hiperseluler disertai invasi PMN.
Kompleks-kompleks ini mengakibatkan kompelen yang dianggap merupakan
mediator utama pada cedera. Saat sirkulasi melalui glomerulus, kompleks-kompleks ini
dapat tersebar dalam mesangium, dilokalisir pada subendotel membran basalis glomerulus
sendiri, atau menembus membran basalis dan terperangkap pada sisi epitel. Baik antigen
atau antibodi dalam kompleks ini tidak mempunyai hubungan imunologis dengan
komponen glomerulus. Pada pemeriksaan mikroskop elektron cedera kompleks imun,
ditemukan endapan-endapan terpisah atau gumpalan karateristik paa mesangium,

6
subendotel, dan epimembranosa. Dengan miskroskop imunofluoresensi terlihat pula pola
nodular atau granular serupa, dan molekul antibodi seperti IgG, IgM atau IgA serta
komponen-komponen komplomen seperti C3,C4 dan C2 sering dapat diidentifikasi dalam
endapan-endapan ini. Antigen spesifik yang dilawan oleh imunoglobulin ini terkadang
dapat diidentifikasi.

7
Pathway

8
2.1.5 Manifestasi klinis
 Hematuria (kencing berwarna seperti air cucian daging). Hematuria dapat terjadi
karena kerusakan pada rumbai kapiler glomerulus).
 Proinuria (protein dalam urine) adalah suatu kondisi dimana urine mengandung jumlah
protein yang tidak normal.
 Oliguria dan anuria.
Selama fase akut terdapat vasokonstriksi arteriol glomerulus yang mengakibatkan
tekanan filtrasi menjadi kurang dan karena hal ini kecepatan filtrasi glomerulus juga
berkurang. Filtrasi air, garam, ureum dan zat-zat lainnya berkurang dan sebagai
akibatnya kadar

ureum dan kreatinin dalam darah meningkat. Fungsi tubulus relatif kurang
terganggu, ion natrium dan air diresorbsi kembali sehingga diuresis berkurang maka
timbul oliguria dan anuria.
 Busung.
ruema yang brasanya duа рада керак mata dan visa ke selurun шип. Edema dapat
terjadi karena adanya akumulasi cairan akibat penurunan fungsi ginjal, dimana terjadi
penurunan laju filtrasi glomerulus yang mengakibatkan ekskresi air, natrium, zat-zat
nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema.
 Hipertensi. Bila terdapat kerusakan jaringan ginjal, maka tekanan darah akan tetap
tinggi selama beberapa minggu dan menjadi permanen bila keadaan penyakitnya
menjadi kronis. Hal ini disebabkan akibat terinduksinya sistem renninangiotensin.
 Hipertermi/suhu tubuh meningkat. Dikarenakan adanya inflamasi oleh strepkokusi
 Menurunya out put urine (pengeluaran urine) adalah keadaan dimana produksi urine
seseorang kurang dari 500 mililiter dalam 24 jam.
 Anak pucat dan lesu.
 Mual muntah.
 Fatigue (keletihan atau kelelahan) adalah suatu kondisi yang memiliki tanda
berkurangnya kapasitas yang dimiliki seseorang untuk bekerja dan
2.1.6 Pemeriksaan diagnostic
Pada urine ditemukan :
 Albumin (+)
 Silinder

9
 Eritrosit
 Lekosit hilang timbul
 BJ urine 1,008-1,012 (menetap)
 Pada darah ditemukan
 LED tetap meninggi
 Ureum meningkat
 Fosfor serum meningkat
 Kalsium serum menurun
 Pada stadium akhir:
 -Serum natrium dan klorida menurun

 Kalium meningkat
 Anemia tetap
 Pada uji fagsional ginjal menunjukan kelainan ginjal yang progresif
2.1.7 Komplikasi
Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagia akibat
berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan uremia,
hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia. Walau aliguria atau anuria yang lama jarang
terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang-kadang di
perlukan.
Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi.
Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini
disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.
Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah, pembesaran
jantung dan meningginya tekanand arah yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh
darah, melainkan juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat
memberas dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di
miokardium.
Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik
yang menurun.
2.1.8 Tatalaksana medis
Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan di
glomerulus.

10
 Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlah selama 6-8 minggu
untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk menyembuh. Tetapi penyelidikan terakhir
menunjukkan bahwa mobilisasi penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai timbulnya
penyakit tidak berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya.
 Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak mempengaruhi
beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi menyebarnya infeksi Streptococcus
yang mungkin masih ada. Pemberian penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari,
sedangkan pemberian profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman

 penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap. Secara teoritis seorang
anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen lain, tetapi kemungkinan ini sangat
kecil sekali. Pemberian penisilin dapat dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg BB
dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan
eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis.
 Makanan. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1 g/kgbb/hari) dan rendah
garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi dan
makanan biasa bila suhu telah normal kembali. Bila ada anuria atau muntah, maka
diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian
cairan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi seperti gagal jantung,
edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang diberikan harus dibatasi.
 Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian sedativa untuk
menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi dengan gejala
serebral diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07
mg/kgbb secara intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian, maka selanjutnya
reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03 mg/kgbb/hari. Magnesium sulfat
parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek toksis.
 Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan dari dalam darah
dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium, hemodialisis, bilasan lambung dan usus
(tindakan ini kurang efektif, tranfusi tukar). Bila prosedur di atas tidak dapat dilakukan
oleh karena kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena pun dapat dikerjakan dan
adakalanya menolong juga.

11
2.1.9 Asuhan keperawatan Glomerulonefritis
1. Pengkajian
A. Identitas pasien.
Glomerulonefritis akut biasanya ditemukan pada anak usia sekolah 2-15 tahun dan lebih
sering terjadi pada laki-laki dibanding anak perempuan.
B. Riwayat Kesehatan
- Keluhan utama.
Pada anak dengan glomerulonefritis akut biasanya memiliki keluhan seperti edema,
dan hipertensi. Edema ditemukan pada 85% kasus. terutama pada daerha periorbital
(76,3%), wajah, ekstremitas, bahkan seluruh tubuh. Daerah orbital terutama saat
bangun di pagi hari dan menghilang di sore hari setelah penderita melakukan aktivitas.
Edema ini disebabkan oleh retensi natrium dan air akibat kerusakan glomerulus yang
mengakibatkan kelebihan cairan. 3-10 penelitian oleh kumar et al.11 mendapatkan
pada anak dengan GNA usia 3-12 tahun di india, edema terjadi pada 100% kasus. Hasil
penelitian ini mendapatkan edema (64,4%) dengan tingkat keparahan berbeda,
hipertensi (46,6%), urine berwarna teh (33,3%), dan demam (28,8%) merupakan gejala
yang paling sering ditemukan. Walaupun presentasenya didapatkan lebih rendah dari
acuan pustaka di atas, 3,10,11 edema masih merupakan manifestasi yang tersering
dibandingkan manifestasi lainnya.
- Riwayat penyakit sekarang.
Yang harus dikaji adalah, adakah hematuria, gejala gangguan saluran kemih,
penurunan berat badan, mual, muntah, anoreksia, bengkak pada tungkai, mata,
kencing berwarna seperti cucian daging, peningkatan tekanan darah dan
peningkatan suhu badan.
- Riwayat kesehatan. Lalu
Yang harus dikaji antara lain penyakit anak sebelumnya, apakah pernah di rawat di
RS sebelumnya, obat-obatan yang digunakan sebelumnya, riwayat alergi, riwayat
operasi sebelumnya atau kecelakaan.
- Riwayat kesehatan keluarga
Yang harus dikaji adanya riwayat penyakit ginjal dalam keluarga dan penyakit
turunan dalam keluarga seperti DM, Hipertensi, dll..
- Riwayat imunisasi.

12
Yang harus dikaji mengenai riwayat imunisasi anak. Apakah anak mendapatkan
imunisasi secara lengkap dan sesuai bulan.
- Riwayat tumbuh kembang.
Yang harus diikaji adalah hal-hal yang berhubungan dengan pertumbuhan dan
perkembangan anak sesuai dengan usia anak sekarang yang meliputi : pertumbuhan
fisik (BB,TB, waktu tumbuh gigi), perkembangan tiap tahap (berguling, duduk,
merangkak, berdiri, berjalan, dll).
- Riwayat nutrisi.
Yang harus dikaji adalah riwayat pemberian ASI, susu formula dan perubahan pola
nutrisi tiap tahap usia hingga saat ini.
- Riwayat psikososial.
Yang harus dikaji adalah mengenai tempat tinggal, dan aktivitas sehari-hari antar
anggota keluarga.
- Riwayat spiritual.
Yang harus dikaji adalah mengenai kegiatan keagamaan keluarga dan anak.
2. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan umum Pemeriksaan tingkat kesadaran, tanda-tanda vital yaitu tekanan
darah, nadi, RR, dan suhu pada anak, pada anak dengan glomerulusnefritis akut
biasanya terjadi peningkatan tekanan darah disebabkan akibat terinduksinya sistem
renin-angiotensin, hipertermi/suhu tubuh meningkat dikarenakan adanya inflamasi oleh
sreptokokus.
Antropometri Adalah pengukuran fisik yang dapat dukur dengan alat pengukur seperti
timbangan, dan pita meter meliputi : berat badan, panjang badan, lingkar kepala,
lingkar dada, dan lingkar lengan. Pada anak dengan glomerulonefritis akut biasanya
terjadi pada penurunan berat badan karena anak mengalami penurunan nafsu makan.
Pemeriksaan Fisik
1) Kulit. Warna kulit apakah normal, pucat atau sianosis, rash lesi, bintikbintik,
ada atau tidak, kelembaban dan turgor kulit baik atau tidak. Pada anak dengan
glomerulusnefritis akut biasanya tampak pucat, timbul edema atau penumpukan
cairan dibawah kulit karena penurunan fungsi ginjal, dimana terjadi penurunan
laju filtrasi glomerulus yang mengakibatkan ekskresi air, natrium, zat-zat
nitrogen berkurang, sehigga terjadi edema, ppitting edema lebih dari 2 detik.

13
2) Kepala. Pada anak dengan glomerulonefritis akut biasanya ubun-ubun cekung
dan rambut kering.
3) Wajah. Pada anak dengan glomerulonefritis akut biasanya nampak edema.
4) Mata. Pada anak dengan glomerulonefritis akut biasanya nampak edema pada
kelopak mata, konjungtiva anemis, pupil anisokor, dan sklera anemis.
5) Telinga. Bentuk, ukuran telinga, kesimetrisan telinga, warna, ada serumen atau
tidak, ada tanda-tanda infeksi atau tidak, palpasi adanya nyeri tekan atau tidak.
6) Hidung. Bentuk, posisi, lubang, ada lendir atau tidak, lesi, sumbatan,
perdarahan tanda-tanda infeksi, adakah pernapasan cuping hidung atau tidak
dan nyeri tekan.
7) Mulut. Warna mukosa mulut dan bibir, tekstur, lesi, dan stomatitis. Langitlangit
kerasa (palatum durum) dan lunak, tenggorokan bentuk dan ukuran lidah,
sekret, kesimetrisan bibir, dan tanda-tanda sianosis.
8) Dada. Kesimetrisan dada, adakah retraksi dinding dada, adakah bunyi napas
tambahan (seperti ronchi, wheezing, crackles), adakah bunyi jantung tambahan
seperti (mur-mur), takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi, kedalaman
(pernapasan kusmaul).
9) Abdomen. Inspeksi perut tampak membesar, palpasi ginjal adanya nyeri tekan,
palpassi hepar, adakah distensi, massa dengarkan bunyi bising usus, palpassi
seluruh kuadran abdomen.
10) Genetalia dan rectum. Lubang anus ada atau tidak. Pada laki-laki inspeksi
uretra dan testiss apakah terjadi hipospadia atau epispadia, adanya edema
skortum atau terjadinya hernia serta kebersihan preputium. Dan pada wanita
inspeksi labia dan klitoris, adanya edema atau massa, labia mayora menutupi
labia minora, lubang vagina, adakah secret atau bercak darah.
11) Ekstremitas.
Tangan : telapak tangan pucat, dan udem, pitting udema lebih dari 2 detik.
Kaki : terdapat udem pada kaki, pitting udema lebih dari 2 detik.
- Sistem saraf
Pada pemeriksaan ini akan dilakukan pemeriksaan refleks, fungsi motorik, fungsi
sensorik, dan Nervus cranial dan biasanya hasil tidak ada gangguan atau normal.
Sistem integumen. Pada pemeriksaan ini yang akan di kaji adalah rambut, kulit dan
kuku.
- Sistem endokrin.

14
Pemeriksaan ini yang dilihat adalah, apakah terdapat kelenjar thyroid pada klien,
dan yang berhubungan dengan eliminasi cairan keringat maupun urine.
- Sistem perkemihan.
Pada pemeriksaan ini yang akan dikaji adalah mengenai eliminasi urine, apakah
ada gangguan. Biasanya akan ditemukan moonface padda klien jika terjadi
gangguan pada sistem perkemihannya.
- Sistem reproduksi
Pada wanita yang dikaji adalah payudara dan vagina apakah terdapat kelainan atau
gangguan. Dan pada laki-laki yang dikaji adalah alat vitalnya apakah terdapat
gangguan atau perubahan.
- Sistem imun
Yang dikaji adalah, apakah klien memiliki alergi terhadap cuaca maupun debu.
3. Diagnosa
Diagnosis keperawatan Diagnosis keperawatan pada pasien glomerulonefritis ditegakkan
berdasarkan kondisi yang dialami pasien dan menurut hasil penilitian Ilham (2013)
diagnosis yang mungkin muncul Antara lain :
 Nyeri akut b/d proses peradangan. (D.0054)
 Resiko infeksi b/d peningkatan leukosit (D.0142)

4. Intervensi

Diagnosa Tujuan,kriteria hasil Intervensi


Nyeri akut Manajemen nyeri(I.08238)
Setelah dilakukan
berhubungan intervensi keperawatan Observasi

dengan proses selama 3 x 24 jam, - Lokasi, karakteristik, durasi,


maka tingkat nyeri
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
peradangan . menurun, dengan
kriteria hasil: Lokasi skala nyeri
(D,0054)
- Identifikasi respon nyeri non verbal
1. Keluhan
nyeri - Identifikasi faktor yang memperberat
menurun dan memperingan nyeri
2. Meringis
- Identifikasi pengetahuan dan
menurun
3. Sikap keyakinan tentang nyeri
protektif - Identifikasi pengaruh budaya terhadap

15
menurun respon nyeri
4. Gelisah Populasi mempengaruhi nyeri pada
menurun
5. Kesulitan kualitas hidup
tidur - Pantau keberhasilan terapi
menurun komplementer yang sudah diberikan
6. Frekuensi
nadi - Pantau efek samping penggunaan
membaik analgetic
L.(08066)
Terapeutik
- Berikan Teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi nyeri (mis: TENS,
hipnosis, akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat, aromaterapi,
Teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
- Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis: suhu
ruangan, pencahayaan, gangguan)
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Memperhatikan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
- Menjelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
- Menjelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
- Anjurkan menggunakan analgesik
secara tepat
- Ajarkan Teknik farmakologis untuk
mengurangi rasa sakit
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu

Diagnose kep Tujuan dan kriteria hasil Intervensi


16
Resiko infeksi Pencegahan Infeksi (I.14539
Setelah dilakukan
berhubungan intervensi keperawatan Observasi

dengan selama 3 x 24 jam, maka - Monitor tanda dan gejala infeksi


tingkat infeksi menurun,
lokal dan sistemik
penyakit kronis dengan kriteria hasil:
Terapeutik
(D.0142)
1. Demam - Batasi jumlah pengunjung
menurun
2. Kemerahan - Berikan perawatan kulit pada area
menurun edema
3. Nyeri menurun
- Cuci tangan sebelum dan sesudah
4. Bengkak
menurun kontak dengan pasien dan lingkungan
5. Kadar sel pasien
darah putih
- Pertahankan teknik aseptic pada
membaik
L.14137 pasien berisiko tinggi
Edukasi
- Jelaskan tanda dan gejala infeksi
- Ajarkan cara mencuci tangan dengan
benar
- Ajarkan etika batuk
- Ajarkan cara memeriksa kondisi luka
atau luka operasi
- Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
- Anjurkan meningkatkan asupan
cairan
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian imunisasi, jika
perlu

5. Implementasi

Implementasi keperawatan yang dilakukan pada pasien sesuai dengan intervensi


keperawatan. Namun, sebagian kecil ada beberapa yang tidak sesuai dengan intervensi
keperawatan dikarena situasi dan kondisi dari klien yang tidak memungkinkan
6. Evaluasi

17
Evaluasi keperawatan didapatkan dari hasil implementasi keperawatan yang telah
dilakukan serta di dokumentasikan dalam bentuk SOAP .

2.2 Konsep Medis Nefrotik Sindrom


2.2.1 Definisi nefrotik sindrom
Sindrom nefrotik adalah manifestasi klinik dari glomerulusnefritis ditandai dengan
gejala edema, proteinurea pasif
>35g/hari, hipoalbuminemia <3,5/dl, lipidolia dan hiper kolesterolimia. Kadang-kadang
terdapat hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal (Nurarif dan Kusuma, 2015,:17)
Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminea dan
hiperkolesterolemia. (Ngastiyah, 2014:306).
2.2.2 Etiologi
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh gromelunefritis (GN) primer dan sekunder akibat
infeksi keganansan penyakit jaringan penghubung obat atau toksin dan akibat penyakit
sistemik (GN) primer atau idopatik merupakan penyebab sidrom nefrotik yang paling
sering dalam kelompok GN primer GN lesi minimal glomerulosklerosis fokal segmental,
GN membranosa dan GN membraproliveratif merupakan kelainan sistopalogi yang sering
ditemukan (Sudoyo dkk, 2010,: 999)
Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai misalnya pada GN pasca infeksi
streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat misalnya obat antiinflamasi non-
steroid atau preparat emas organik, dan akibat penyakit siskemik misalnya pada lupus
erimatosus sistemik dan diabtes militus. (Sudoyo dkk, 2010,: 999)
2.2.3 Faktor resiko
Faktor risiko:
1. Faktor Primer
· Bawaan/genetic : Kerusakan glomerulus itu sendiri
· Kelainan kongenital (autosomal)
· Idiopatik : Hispatologis: penebalan/penipisan dinding kapiler glomerulus ; Infeksi
pada glomerulus (glomerulonefritis)
18
2. Faktor Skunder
· Penyakit ganas : limfoma, kanker usus besar, karsinoma Bronkogenik,
lupus/SLE
· Reaksi autoimun : Alergi: serbuk sari, jamur, susu sapi
· Penggunaan obat tertentu (anti inflamasi non steroid), ampisillin, emas,
litium, merkuri, dll
· Penyakit Sistemik : malaria, metabolik; DM, Infeksi; hepatitis dan sifilis,
Imunologik; HIV
2.2.4 patofisiologi

Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat pada


hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi proteinuria. Kelanjutan dari
proteinuria akan dapat mengakibatkan hipoalbuminemia. Dengan menurunnya jumlah
albumin, terjadilah penurunan tekanan osmotik plasma sehingga cairan
intravaskuler akan berpindah ke interstisial. Perpindahan cairan tersebut
mengakibatkan volume cairan intravaskuler berkurang dan terjadilah kondisi
hipovolemik pada pasien, kondisi hipovolemik ini jika tidak segera diatasi akan
berdampak pada hipotensi. Rendahnya volume cairan pada intravaskuler ini akan
mempengaruhi aliran darah ke renal, ginjal akan melakukan kompensasi dengan
merangsang produksi renin angiotensin dan peningkatan sekresi antidiuretik hormon
(ADH) dan sekresi aldosteron yang mengakibatkan retensi terhadap natrium dan air
yang berdampak pada edema. Penurunan daya tahan tubuh juga mungkin terjadi
akibat hipoalbuminemia, jika tidak segera diatasi pasien dengan Sindroma Nefrotik
akan rentan terhadap infeksi seperti peritonitis dan selulitis.

Anak dengan sindroma nefrotik dapat mengalami peningkatan kolesterol dan


trigliserida serum akibat peningkatan dari produksi lipoprotein karena penurunan
plasma albumin dan penurunan onkotik plasma. Selain itu, peningkatan produksi

lipoprotein didalam hepar akibat kompensasi hilangnya protein dapat


mengakibatkan terjadinya hiperlipidemia, dan akan ditemukan lemak didalam urine
atau lipiduria

Menurunnya kadar natrium dalam darah anak dengan sindroma nefrotik atau
keadaan dehidrasi akibat retensi cairan akan merangsang sekresi hormon renin
yang berperan penting dalam mengatur tekanan darah. Selanjutnya renin mengubah
angiotensin yang disekresi hati menjadi angiotensin I. Sel kapiler paru selanjutnya
mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II yang mengonsentrasi otot polos
sekeliling arteriola. Hal inilah yang menyebabkan anak mengalami tekanan darah
tinggi. Dalam kondisi lain, ketidakseimbangan natrium akibat konsumsi natrium yang
19
terlalu sedikit akan mengakibatkan anak mengalami hipotensi (Suriadi & Yuliani,
2010).

Pathway

2.2.5 Manifestasi klinis


- Edema
- Oliguria
- Tekanan darah normal
- Proteinuria sedang sampai barat
- Hipoprotenemia dengan rasio albumin globulin terbaik
- Hiperkoesterelomia
- Ureum/kraatinin darah normal atau meninggi

2.2.6 Pemeriksaan penunjang


1. Pemeriksaan urin
Pemeriksaan sampel urin menunjukan adanya proteinuria (adanya protein di dalam
urin).
2. Darah
20
Hipoalbuminemia, dimana kadar albumin kurang dari 30 gram/liter
Hiperkolesterolemia (kadar kolesterol darah meningkat), khususnya peningkatan
low density lipoprotein (LDL), yang secara umum bersamaan dengan peningkatan
VLDL. Pemeriksaan elektrolit, ureum dan kreatinin, yang berguna untuk
mengetahui fungsi ginjal. (Suharyanto, 2013:141)
2.2.7 Komplikasi

1.Infeksi

Pasien dengan NS mempunyai risiko lebih tinggi terkena infeksi. Meskipun


kejadian infeksi SN telah menurun di negara-negara maju, namun penyakit ini
masih menjadi masalah utama di negara-negara berkembang 4) .

Sepsis masih menjadi salah satu penyebab utama kematian pada anak
penderita NS 5) . Anak-anak yang diobati dengan obat sitotoksik memiliki tingkat
infeksi klinis yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak yang hanya diobati
dengan prednisolon 6) . Pada anak-anak dengan NS, Streptococcus
pneumoniae diketahui merupakan organisme yang paling penting dalam
peritonitis primer. Namun organisme lain seperti streptokokus β-
hemolitik, Haemophilus dan bakteri Gram negatif juga sering
ditemukan 7) . Selulitis juga disebabkan oleh streptokokus β-hemolitik atau
berbagai bakteri Gram-negatif.

Beberapa faktor imunologi seperti konsentrasi imunoglobulin G serum yang


rendah, faktor B dan faktor I pada komponen jalur alternatif, transferin,
penurunan fungsi sel T, dan faktor fisiologis seperti pengumpulan cairan di
rongga dan pengenceran pertahanan humoral lokal akibat edema mungkin
berperan dalam hal ini. peran utama dalam kerentanan pasien nefrotik terhadap
infeksi 8) .

Vaksin pneumokokus terhadap antigen kapsuler direkomendasikan untuk


semua anak dengan NS 9) , namun vaksinasi harus diberikan ketika pengobatan
dengan CS dosis tinggi atau dengan terapi sitotoksik dihentikan. Anak-anak
nefrotik yang memakai CS dosis tinggi atau agen imunosupresif lainnya dalam
waktu tiga bulan setelah penggunaannya berisiko terkena infeksi varicella,
memerlukan pengobatan imunoglobulin varicella zoster dalam waktu 72 jam
setelah paparan dan asiklovir intravena selama infeksi varicella zoster aktif 10 ) .

2. Tromboemboli

NS merupakan faktor risiko yang terkenal untuk tromboemboli arteri atau


vena (TE), dan pasien dengan proteinuria berat memiliki risiko 3,4 kali lipat lebih
tinggi terkena TE vena 11) . Diketahui juga bahwa terdapat risiko TE yang lebih
tinggi pada NS yang resisten terhadap steroid dibandingkan pada NS yang sensitif
terhadap steroid 12) .

21
Trombosis dapat timbul pada NS akibat hilangnya protein yang berperan
dalam penghambatan hemostasis sistemik, peningkatan sintesis faktor
protrombotik, atau akibat aktivasi lokal sistem hemostasis
glomerulus 13) . Faktor predisposisi TE pada NS adalah sebagai berikut 14 , 15) :
1) kelainan aktivasi dan agregasi trombosit, 2) aktivasi sistem
koagulasi; peningkatan sintesis faktor V, VII, VIII, X, faktor von Willebrand,
fibrinogen, dan α 2-akumulasi makroglobulin, 3) penurunan antikoagulan
endogen; antitrombin III, protein C, protein S, dan penghambat jalur faktor
jaringan, 4) penurunan aktivitas sistem fibrinolitik; plasminogen, prekursor
plasmin, dan ketidakseimbangan dua pengatur utama pembentukan plasmin,
penghambat aktivator plasminogen-1 dan aktivator plasminogen jaringan 16) , 5)
perubahan sistem hemostatik glomerulus, 6) penipisan volume intravaskular,
dan 7) paparan terhadap CS dan diuretik 17 , 18) .

Melakukan tusukan arteri sebaiknya dihindari pada anak nefrotik karena


berisiko terjadinya trombosis arteri. Hematuria besar dengan atau tanpa gagal
ginjal akut mungkin menandakan trombosis vena ginjal pada anak-anak nefrotik,
yang memerlukan ultrasonografi Doppler atau angiografi resonansi
magnetik 19) . Khususnya, ketika pasien nefrotik tampak mengalami takipnea
dan dispnea, kita harus mengingat kemungkinan besar terjadinya emboli paru
dan segera melakukan pemindaian ventilasi-perfusi paru atau angiografi
paru 20) .

3. Komplikasi kardiovaskular

Peningkatan risiko penyakit kardiovaskular terjadi pada pasien dengan NS


karena hiperlipidemia, peningkatan trombogenesis, dan disfungsi
endotel 21) . Hiperkolesterolemia sangat terkait dengan tingkat keparahan
hipoalbuminemia, dan proteinuria persisten atau insufisiensi ginjal juga
berkontribusi terhadap penyakit kardiovaskular 22) .

Terdapat sedikit atau tidak ada risiko penyakit kardiovaskular pada anak-
anak dengan MCNS yang responsif terhadap CS karena hiperlipidemia bersifat
intermiten dan durasinya singkat. Risiko aterosklerosis dini meningkat karena
hiperlipidemia. Durasi hiperlipidemia nefrotik tampaknya sangat penting dalam
memulai kerusakan pembuluh darah, dan pasien dengan proteinuria dan
hipoalbuminemia yang tak kunjung reda adalah yang paling berisiko 23) .

Lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL), lipoprotein densitas rendah


(LDL), dan lipoprotein (a) meningkat pada anak-anak dengan NS yang sudah
berlangsung lama dan sering kambuh 21) . Peningkatan VLDL dan LDL
seharusnya menempatkan pasien pada peningkatan risiko terjadinya
aterosklerosis. Hiperlipidemia berkontribusi terhadap perkembangan penyakit
ginjal glomerulus dan interstisial. Kerusakan endotel akibat hiperlipidemia dapat
menyebabkan masuknya lipoprotein ke dalam mesangium, menyebabkan
proliferasi dan sklerosis 22) .

22
Terapi dengan obat penurun lipid, inhibitor reduktase hidroksimetilglutaril
koenzim A (HMG-CoA), harus diberikan dengan sangat hati-hati pada anak-anak
karena masih kontroversial. Meskipun Prescott dkk. 24) melaporkan bahwa
menurunkan kadar kolesterol selama masa kanak-kanak mungkin mengurangi
risiko perubahan aterosklerotik dan menyarankan keamanan jangka pendek dan
kemanjuran inhibitor HMG-CoA reduktase, yang lain menunjukkan bahwa obat
penurun lipid bebas berlebihan dengan kadar albumin rendah dapat
mempengaruhi nyeri otot proksimal dan malaise bahkan pada dosis
normal 25 , 26) . Oleh karena itu, penelitian terkontrol yang lebih prospektif pada
anak-anak diperlukan di masa depan untuk mengevaluasi kemanjuran dan
keamanan obat penurun lipid.

4. Krisis hipovolemik

Syok hipovolemik adalah salah satu presentasi yang penuh perhatian di


NS 27) . Faktor risiko krisis hipovolemik termasuk penurunan kadar albumin
yang parah, diuretik dosis tinggi, dan muntah. Manifestasi klinisnya adalah
takikardia, ekstremitas dingin, pengisian kapiler yang buruk, dan nyeri perut
sedang hingga berat, dan pemeriksaan laboratorium mungkin menunjukkan
peningkatan kadar hematokrit dan asam urat.

Hal ini berguna untuk mengukur ekskresi natrium urin (U Na ) atau ekskresi
fraksional natrium (FENa) ketika mengevaluasi status volume
fisik. Donckerwolcke dkk. 28) menemukan korelasi yang lebih baik antara log
aldosteron dan rasio kalium urin / kalium urin + natrium urin (U K / U Na + UK )
dibandingkan dengan parameter lain yang mengukur penanganan kalium dan
natrium ginjal. Pada pasien dengan retensi natrium ginjal (FENa: <0,5%), rasio
U K / U Na + U K lebih tinggi dari 0,6 (U K / U Na + U K: >60%) mengidentifikasi pasien
dengan peningkatan kadar aldosteron dan hipovolemia fungsional 29) .

Oleh karena itu, indeks ini dapat digunakan untuk menilai pasien mana
yang akan mendapat manfaat dari saline normal intravena (20 mL/kg selama 1
hingga 2 jam) atau pemberian albumin dengan dosis maksimum 1 g/kg selama 3
hingga 5 jam dengan pemantauan tekanan darah 29 ) . Pemberian albumin tidak
rutin diberikan pada semua pasien yang kambuh dan mungkin berbahaya pada
anak yang tidak mengalami deplesi volume karena berisiko terjadinya edema
paru.

5. Anemia

Anemia ringan kadang-kadang ditemukan pada pasien dengan NS. Anemia


biasanya bersifat mikrositik dan hipokromik, khas dari defisiensi zat besi, namun
resisten terhadap terapi zat besi karena hilangnya sejumlah besar transferin
serum dalam urin pada beberapa pasien nefrotik 30) . Vaziri 31) melaporkan
beberapa data tentang metabolisme dan regulasi eritropoietin (EPO) dan
transferin, yang penting untuk eritropoiesis pada anak-anak nefrotik.

23
Hilangnya EPO melalui urin menyebabkan anemia defisiensi EPO dan
transferrinuria, dan peningkatan katabolisme transferin menyebabkan
hipotranferrinemia dan anemia defisiensi besi dalam beberapa kasus. Pemberian
EPO rekombinan subkutan dan suplementasi zat besi masing-masing dapat
digunakan untuk pengobatan anemia defisiensi EPO dan zat besi 32) . Namun,
koreksi proteinuria yang mendasarinya akan menjadi pendekatan ideal untuk
membalikkan komplikasi ini.

6. Gagal ginjal akut

Gagal ginjal akut (GGA) merupakan komplikasi NS yang jarang terjadi


namun mengkhawatirkan . Ketika terjadi proteinuria masif dan kadar albumin
menurun drastis, volume sirkulasi dalam plasma berkurang sehingga
menyebabkan kolaps sirkulasi atau uremia pra-ginjal, biasanya dalam derajat
ringan. Namun, lebih jarang, ARF yang tidak responsif terhadap penggantian
volume dan terapi diuretik agresif dapat terlihat pada beberapa bentuk NS tanpa
gambaran deplesi volume. Hal ini mungkin disebabkan oleh gangguan parah pada
sel epitel visceral yang mengakibatkan hilangnya pori-pori celah hampir total dan
penurunan luas permukaan filtrasi yang parah 34). Pada proteinuria berat, oklusi
lumina nefron distal akibat pembentukan cetakan atau kompresi ekstratubulus
akibat edema interstisial ginjal dapat menyebabkan peningkatan tekanan tubulus
proksimal, sehingga menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus .

GGA biasanya dipicu oleh sepsis, agen radiokontras, nekrosis tubular akut
akibat antibiotik nefrotoksik, dan agen antiinflamasi nonsteroid. Jika gagal ginjal
berlanjut selama lebih dari beberapa hari, dialisis mungkin diperlukan untuk
pemulihan total.

7. Busung

Edema sering terlihat pada anak-anak nefrotik dan dimana tekanan


jaringan rendah. Asites dan efusi pleura sering terjadi, namun efusi perikardial
jarang terjadi kecuali fungsi jantung abnormal. Edema disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas glomerulus dan hipoalbuminemia, sehingga
mengakibatkan penurunan tekanan onkotik plasma dan hipovolemia
fungsional. Ini merangsang retensi natrium sekunder oleh ginjal 36) .

Pengobatan edema terdiri dari pembatasan diet natrium dan penggunaan


diuretik kerja loop secara bijaksana seperti furosemide dan bumetanide. Albumin
dan furosemide yang miskin garam hiperonkotik dapat diberikan pada kasus
edema berat dan refrakter 36) .

8. Perubahan hormonal, mineral dan intususepsi

Hilangnya protein pengikat hormon melalui urin berkontribusi terhadap


berbagai kelainan hormonal pada pasien NS. Meskipun tes fungsi tiroid berada
dalam kisaran normal pada sebagian besar pasien nefrotik, nilai rata-rata
24
triiodothyronine (T3) dan tiroid-binding globulin (TBG) lebih rendah
dibandingkan pada anak-anak non-NS karena peningkatan ekskresi T3 urin yang
signifikan. T4 dan TBG 37) . Skrining tiroid rutin dan terapi penggantian hormon
tiroid secara dini diperlukan pada bayi dengan NS berat dan hipotiroidisme
klinis.

Hipokalsemia pada NS juga disebabkan oleh penurunan kadar albumin,


yang mengakibatkan berkurangnya kalsium terikat dan terionisasi pada 50
hingga 80% kasus NS 38) . Anak-anak dengan NS sering mengalami hipokalsiuria
karena penurunan penyerapan kalsium di saluran cerna dan peningkatan
reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal. Hal ini menunjukkan kemungkinan adanya
kelainan metabolisme vitamin D. Kelainan tersebut disebabkan oleh peningkatan
filtrasi metabolit vitamin D yang terikat pada globulin pengikat vitamin
D 39) . Namun, penyakit tulang jarang terlihat pada pasien NS, oleh karena itu,
pengobatan rutin dengan vitamin D tidak dianjurkan. Namun demikian, perhatian
khusus harus diberikan pada kelainan tulang mineral subklinis seperti
hiperparatiroidisme sekunder.

Intususepsi dapat terjadi di dalam persimpangan ileokolik dan usus kecil


pada pasien dengan NS, menyebabkan nyeri perut akut. Hal ini disebabkan oleh
kombinasi bercak edema dinding usus dan inkoordinasi peristaltik. Cho
dkk. 40) melaporkan sebuah kasus yang melibatkan pembalikan intususepsi yang
berhubungan dengan sindrom nefrotik dengan infus albumin.

2.2.8 Penatalaksanaan

Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar
dari pengobata non-spesifikuntuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema dan
mengobati komplikasi.
a. Diuretik: diuretik kuat misalnya furosemide (dosis awal 20-40 mg/hari)
atau golongan tiazid dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing
diuretic digunakan untuk mengobati edema dan hipertensi. Penurunan berat
badan tidak boleh melebihi 0,5 kg/hari.
b. Diet : diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgbb/hari, sebagian besar terdiri
ari karbohidrat. Diet rendah garam(2-3gr/hr),rendahlemak
harus diberikan. Pembatasan asupan proten 0,8-1,0 gr/kgbb/hr dapat
mengurangi proteinuria. Tambahan vitamin D dapat diberikan jika pasien
mengalami kekurangan vitamin ini.
c. Terapi antikoagulan: bila didiagnosis adanya peristiwa thromboembolism,
terapi anti koagulan dengan heparin harus dimulai. Jumlah heparin yang
diperlukan untuk mencapai waktu tromboplastin parsial. Teraupeutik
mungkin meningkat karena adanya penurunan jumlah anti thrombin III.

25
Setelah terapi heparin intra vena, anti koagulasi oral dengan warfarin
dilanjutkan sampai SN dapat diatasi.
d. Terapi obat : terapi khusus untuk sindrom nefrotik adalah pemberian
kortigosteroit yaitu prednison 1-1,5 mg/kgbb/hr dosis tunggal pagi hari
selama 4-6 minggu. Kemudian dikurangi 5 mg/minggu sampai tercapai
dosis maintenance (5-10 mg) kemudian diberikan 5mg selang sehari
dan dihentikkan dalam 1-2 minggu bila pada saat tapering off keadaan
penderita memburuk kembali(timbul edema, protenuri),
diberikan kembali full dose selama 4 minggu kemudian tapering off
kembali. (Nurarif, 2015:18)

2.2.9 Asuhan keperawatan nefrotik sindrom


1.Pengkajian
A. Identitas:
Sindrom nefrotik lebih banyak terjadi pada anak umur 3-4 tahun dengan
perbandingan pasien wanita dan pria 1:2 (Nurarif dan Kusuma, 2015, 17)
b. Status kesehatan saat ini
-Keluhan utama
Klien biasanya mengeluh gejala edema (Nurarif dan Kusuma, 2015,:17)
-Alasan masuk rumah sakit
Biasanya klien dengan sindrom nefrotik dibawa ke rumah sakit karena terjadi
edema anrsaka yang kadang-kadang mencapai 40% daripada berat badan.
(Ngastiyah, 2014:307)
• Riwayat penyakit sekarang
Klien mengalami kenaikan berat badan, wajah tampak sembab,
pembengkakan abdomen, efusi pleura, pembengkakan labia dan
skrotum, perubahan urin,dan rentan terhadap infeksi. (Ekmawati,
2012).

• Riwayat kesehatan terdahulu

Edema masa neonatus, malaria, riwayat GNA dan GNK,


terpapar bahan kimia.

-Riwayat penyakit sebelumnya

Klien menderita glomerulonephritis primer atau idiopatik merupakan

26
penyebab Sindrom Nefrotik yang paling sering. (Sudoyo dkk,
2010,:999)

-Riwayat penyakit keluarga

Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi matemofetal.


Resisten terhadap semua pengobatan. (Ngastiyah,, 2014:306)

2. Pemeriksaan fisik
Tingkat kesadaran biasanya Composmentis terlihat adanya edema.
(Nurarif dan Kusuma 2015:17)

 Tanda-tanda vital
Tekanan darah normal 120/80 mmHg ,(Nurarif dan Kusuma
2015:17) Body system
 Sistem pernafasan
Terdapat penumpukan cairan pada rongga pleura yang
menyebabkan efusi pleura. (Suharyanto dan Majid, 2013: 140)
 Sistem perkemihan
Penurunan jumlah urine, urin tampak berbusa, akibat penumpukan
tekanan permukaan akibat proteinuria, hematuria. (Suharyanto dan
Majid, 2013: 141).
 Sistem pencernaan
Biasanya terjadi diare akibat edema intestinal (Marcdante etall,
2014:659)
 Sistem endokrin
Sistem endokrin dalam batas normal (Marcdante etall, 2014, hal.
659)
 Sistem kardiovaskuler
Jarang terjadi hipertensi (Suharyanto dan Majid, 2013: 141)
 Sistem integument
Ditemukan pitting edema serta esites. (Marcdante etall, 2014,659)
 Sistem muskuloskletal
Kehilangan massa otot sebesar 10-20% dari massa tubuh (lean

27
body mass) tidak jarang dijumpai pada SN. (Sudoyo dkk,
2010,:1000)
 Sistem reproduksi
Biasanya terjadi pembengkakan labia dan skrotum (Wati, 2012)
 Sistem persyarafan
Sistem saraf dalam batasan normal.(Suharyanto dan Majid,
2013:141)

 Sistem imunitas
Kekebalan tubuh (C3) normal (Nurarif, 2015:18)
 Sistem pengindraan
Komplikasi pada kulit sering terjadi karena infeksi Streptococcus
dan terjadi sianosis sekitar hidung dan mulut. (Ngastiyah, 2014:310)

3. DIAGNOSA KEPERAWATAN

A, Nyeri akut berhubungan dengan agen pencendera fisik ditandai dengan


pembengkakan pada abdomen (D,0077)
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas ditandai
dengan efusi pleura (D.0005)
c. Hipervolomi berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi yang
ditandai dengan edema dan kenaikan berat badan (D.0022)
4. Intervensi keperawatan
Diagnose kep Tujuan dan kriteria intervensi
hasil
Nyeri akut
Setelah dilakukan Observasi
berhubungan dengan intervensi keperawatan
selama 3 x 24 jam, maka  Identifikasi lokasi,
agen pencendera fisik
tingkat nyeri menurun, karakteristik,
ditandai dengan dengan kriteria hasil: durasi,
pembengkakan pada frekuensi,
1. Keluhan nyeri kualitas,
abdomen (D,0077) menurun intensitas nyeri
2. Meringis  Identifikasi skala
menurun nyeri
3. Sikap protektif  Idenfitikasi respon
menurun nyeri non verbal
4. Gelisah  Identifikasi faktor
menurun yang
5. Kesulitan tidur memperberat

28
menurun dan
6. Frekuensi nadi memperingan
membaik nyeri
(L.08066)  Identifikasi
pengetahuan dan
keyakinan
tentang nyeri
 Identifikasi
pengaruh
budaya terhadap
respon nyeri
 Identifikasi
pengaruh nyeri
pada kualitas
hidup
 Monitor
keberhasilan
terapi
komplementer
yang sudah
diberikan
 Monitor efek
samping
penggunaan
analgetik
Terapeutik

 Berikan Teknik
nonfarmakologis
untuk
mengurangi
nyeri (mis:
TENS,
hypnosis,
akupresur, terapi
music,
biofeedback,
terapi pijat,
aromaterapi,
Teknik imajinasi
terbimbing,
kompres
hangat/dingin,
terapi bermain)
 Kontrol
lingkungan yang
memperberat
rasa nyeri (mis:
suhu ruangan,
pencahayaan,

29
kebisingan)
 Fasilitasi istirahat
dan tidur
 Pertimbangkan
jenis dan sumber
nyeri dalam
pemilihan
strategi
meredakan nyeri
Edukasi

 Jelaskan penyebab,
periode, dan
pemicu nyeri
 Jelaskan strategi
meredakan nyeri
 Anjurkan
memonitor nyeri
secara mandiri
 Anjurkan
menggunakan
analgesik secara
tepat
 Ajarkan Teknik
farmakologis
untuk
mengurangi
nyeri
Kolaborasi

 Kolaborasi
pemberian
analgetik, jika
perlu

I.08238).
Pola nafas tidak
Setelah dilakukan Observasi
efektif berhubungan intervensi keperawatan
dengan hambatan selama 3 x 24 jam, maka 1. Monitor pola
pola napas membaik, napas
upaya nafas ditandai dengan kriteria hasil: (frekuensi,
dengan efusi pleura kedalaman,
1. Dispnea usaha napas)
(D.0005) menurun 2. Monitor bunyi
2. Penggunaan napas tambahan
otot bantu (misalnya:
napas gurgling, mengi,
menurun wheezing,
3. Pemanjangan ronchi kering)
30
fase ekspirasi 3. Monitor sputum
menurun (jumlah, warna,
4. Frekuensi aroma)
napas
membaik Terapeutik
5. Kedalaman
1. Pertahankan
napas
kepatenan jalan
membaik
napas dengan
(L.01004 )
head-tilt dan
chin-lift (jaw
thrust jika curiga
trauma fraktur
servikal)
2. Posisikan semi-
fowler atau
fowler
3. Berikan minum
hangat
4. Lakukan
fisioterapi dada,
jika perlu
5. Lakukan
penghisapan
lendir kurang
dari 15 detik
6. Lakukan
hiperoksigenasi
sebelum
penghisapan
endotrakeal
7. Keluarkan
sumbatan benda
padat dengan
forsep McGill
8. Berikan oksigen,
jika perlu
Edukasi

1. Anjurkan
asupan cairan
2000 ml/hari,
jika tidak ada
kontraindikasi
2. Ajarkan Teknik
batuk efektif
Kolaborasi

1. Kolaborasi
pemberian

31
bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik, jika
perlu.
(I.01011).
Hipervolomi dengan
Setelah dilakukan Observasi
gangguan mekanisme intervensi keperawatan
selama 3 x 24 jam, maka  Periksa tanda dan
regulasi yang ditandai
status cairan membaik, gejala
dengan edema dan dengan kriteria hasil: hypervolemia
kenaikan berat badan (mis: ortopnea,
1. Ortopnea dispnea, edema,
(D.0022) menurun JVP/CVP
2. Edema perifer meningkat,
menurun refleks
L.03028 hepatojugular
positif, suara
napas tambahan)
 Identifikasi
penyebab
hypervolemia
 Monitor status
hemodinamik
(mis: frekuensi
jantung, tekanan
darah, MAP,
CVP, PAP,
PCWP, CO, CI)
jika tersedia
 Monitor intake dan
output cairan
 Monitor tanda
hemokonsentrasi
(mis: kadar
natrium, BUN,
hematokrit,
berat jenis urine)
 Monitor tanda
peningkatan
tekanan onkotik
plasma (mis:
kadar protein
dan albumin
meningkat)
 Monitor kecepatan
infus secara
ketat
 Monitor efek
samping diuretic
(mis: hipotensi
32
ortostatik,
hypovolemia,
hipokalemia,
hiponatremia)
Terapeutik

 Timbang berat
badan setiap hari
pada waktu yang
sama
 Batasi asupan
cairan dan
garam
 Tinggikan kepala
tempat tidur 30
– 40 derajat
Edukasi

 Anjurkan melapor
jika haluaran
urin < 0,5
mL/kg/jam
dalam 6 jam
 Anjurkan melapor
jika BB
bertambah > 1
kg dalam sehari
 Ajarkan cara
membatasi
cairan
Kolaborasi

 Kolaborasi
pemberian
diuretic
 Kolaborasi
penggantian
kehilangan
kalium akibat
diuretic
 Kolaborasi
pemberian
continuous renal
replacement
therapy (CRRT)
jika perlu
(I.03114)

5.Implementasi
33
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada pasien sesuai dengan intervensi
keperawatan. Namun, sebagian kecil ada beberapa yang tidak sesuai dengan
intervensi keperawatan dikarena situasi dan kondisi dari klien yang tidak
memungkinkan
6. Evaluasi
Evaluasi keperawatan didapatkan dari hasil implementasi keperawatan yang
telah dilakukan serta di dokumentasikan dalam bentuk SOAP .

34
PROMOSI KESEHATAN

1. Promkes glomerulonefritis
Edukasi dan promosi kesehatan tentang glomerulonefritis harus
mencakup informasi tentang diet yang dianjurkan, yakni diet rendah
garam, gula, dan lemak. perawat juga perlu menjelaskan bahwa
pengobatan beberapa kasus glomerulonefritis mungkin akan memakan
waktu lama, sehingga pasien perlu kontrol berkala ke dokter untuk
evaluasi respons terhadap terapi dan ada tidaknya efek samping obat.
- Edukasi Pasien
Berikut adalah edukasi yang perlu diberikan pada pasien
glomerulonefritis:
 Mengonsumsi diet yang rendah garam, gula, dan lema
 Menjalani pemeriksaan fungsi ginjal dan urinalisis berkala untuk
pasien lupus eritematosus sistemik
 Melakukan kontrol berkala ke fasilitas kesehatan untuk
memantau tekanan darah dan progresivitas penyakit, serta untuk
menilai fungsi ginjal dan kadar protein pada urine
 Melakukan gaya hidup sehat, termasuk berolahraga rutin,
berhenti merokok, dan menjaga kebersihan tangan dan diri
 Memahami bahwa pengobatan glomerulonefritis terkadang
membutuhkan waktu yang panjang (terutama pada pasien yang
memerlukan terapi kortikosteroid dan imunosupresif), sehingga
kepatuhan berobat sangat penting dijaga

2.Promkes nefrotik sindrom

Edukasi Pasien

 Cek kesehatan secara berkala

 Enyahkan asap rokok

 Rajin aktivitas fisik

 Diet seimbang

 Istirahat cukup

 Kelola stres[20]

35
 Atasi penyakit dengan pengobatan yang tepat dan teratur

Diet

Diet sehari-hari yang direkomendasikan adalah cukup kalori dan protein (1


g/kg/hari). Jika kelebihan protein dari diet, dapat menambah beban glomerulus
dalam mengeluarkan sisa metabolisme protein sehingga menyebabkan sklerosis
glomerulus. Sebaliknya, bila diet rendah protein, akan terjadi malnutrisi energi
protein (MEP) yang dapat menghambat pertumbuhan pada anak.
Diet rendah garam (natrium <2.400 mg/ hari) juga disarankan untuk membatasi
retensi cairan dan edema yang terjadi pada sindrom nefrotik. Pada pasien
dengan hipertensi, konsumsi natrium dibatasi kurang dari 1.500 mg/hari.[1-7]
Pemantauan

Sampaikan bahwa pemantauan penting dilakukan untuk penyesuaian dosis obat


dan mendeteksi efek toksik kortikosteroid. Selain itu, penting diketahui bahwa
pasien sindrom nefrotik dalam pengobatan kortikosteroid dosis >2 mg/kg/hari
selama lebih dari 14 hari merupakan pasien imunokompromais. Oleh karenanya,
pemantauan dapat mengevaluasi adanya infeksi atau keperluan antibiotik
profilaksis sebelum kondisi menjadi berat.[1-7]

Vaksinasi

Sampaikan pada pasien bahwa konsumsi kortikosteroid dalam manajemen


sindrom nefrotik menyebabkan pasien berada dalam kondisi imunokompromais.
Dalam keadaan tersebut, 6 minggu setelah obat dihentikan pasien hanya boleh
diberikan vaksin virus mati. Setelah penghentian prednison selama 6 minggu,
baru dapat diberikan vaksin virus hidup. Semua anak dengan sindrom nefrotik
sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi
pneumokokus dan varicella.[1-7]

36
BAB III

PENUTUP

3.1Kesimpulan

Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral. Peradangan


dimulai dalam gromleurus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan atau hematuria.
Meskipun lesi utama pada gromelurus, tetapi seluruh nefron pada akhirnya akan
mengalami kerusakan, sehingga terjadi gagal ginjal
Sindrom nefrotik adalah manifestasi klinik dari glomerulusnefritis ditandai
dengan gejala edema, proteinurea pasif
>35g/hari, hipoalbuminemia <3,5/dl, lipidolia dan hiper kolesterolimia. Kadang-
kadang terdapat hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal
Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria,
hipoalbuminea dan hiperkolesterolemia.

3.2Saran

Makalah ini dibuat agar kita bisa mengetahui bagaimana asuhan keperawatan
yang benar apabila ada kasus dengan gangguan system perkemihan,walaupun
makalah ini belum sempurna kita sebagai mahasiswa keperawatan harus mengetahui
tahapan tahapan dalam Menyusun asuhan keperawatan dan penangan pada kasus
glomerulonephritis dan nefrotik sindrom

37
DAFTAR PUSTAKA

https://www.scribd.com/document/477972748/Askep-Glomerulonefritis

https://www.scribd.com/document/539087540/ASKEP-SINDROM-NEFROTIK

38

Anda mungkin juga menyukai