Anda di halaman 1dari 18

Urtikaria Akut

(Laporan Kasus)

Disusun oleh :

dr. M. Rizal Akhyar

PESERTA PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA (PIDI)

ANGKATAN III PERIODE OKTOBER 2019 – OKTOBER 2020

RSUD PREMBUN KABUPATEN KEBUMEN JAWATENGAH

JANUARI 2020

1
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Urtikaria

Disusun Oleh :

dr. M. Rizal Akhyar

Disusun untuk memenuhi syarat mengikuti Program Internsip Dokter Indonesia


RSUD Prembun
Kebumen

Telah diperiksa, disetujui dan disahkan :

Hari :
Tanggal : Maret 2020

Pendamping

dr. Diah Ayu Putriyanti

2
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat
menyelesaikan case report yang berjudul Urtikaria akut. Case Report ini disusun
dalam rangka memenuhi syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Program
Internsip Dokter Indonesia di RSUD Prembun.

Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada dr. Diah Ayu Putriyanti dan dr.
Pradiska Arie yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dalam
menyelesaikan case report ini. Penulis menyadari kekurangan dalampenulisan
case report ini, oleh karena itu penulis memohon maaf atas segala kekurangan.
Kritik dan saran sangat penulis harapkan. Semoga case report ini dapat
bermanfaat untuk kita semua.

Wassalamualaikum wr.wb.

Kebumen, Maret 2020

Penulis

3
BAB I

LAPORAN KASUS

No. RM : 025771

Tanggal Masuk RS : 16 Oktober 2019

Pukul : 22.00 WIB

A. Identitas Pasien
Nama : An. V
Umur : 8 bulan
Suku : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Bonorowo 1/4, Kebumen, JATENG
B. Anamnesa
Keluhan Utama : Wajah bengkak
Keluhan Penyerta: kemerahan, gatal
Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien dibawa ke IGD dengan keluhan bengkak pada wajah, keluhan
baru saja terjadi setelah pasien dibawa dalam perjalanan menggunakan sepeda
motor. Wajah terlihat bengkak tidak seperti biasanya, terutama pada kelopak
mata, bibir dan pipi. Pasien juga tampak gatal dengan tangan sering
menggaruk, tampak kemerahan (+), sesak napas (-), napas berbunyi (-) batuk
(-)

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal
 Riwayat sakit kulit disangkal
 Riwayat asma disangkal
 Riwayat bersin-bersin di pagi hari disangkal

4
Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat keluhan yang sama pada keluarga disangkal
 Riwayat alergi makanan dan obat disangkal
 Riwayat penyakit asma pada keluarga (ayah) diakui

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tampak rewel
Kesadaran : Compos mentis, GCS 15
Nadi : 118x/m reguler,
Laju Pernapasan : 24x/m
Suhu :36,9 c
Berat badan : 8 kg
Status Generalis
Kepala :jejas (-), edema (+)
Mata : Conjungtiva anemis (-/-) edema palpebra (+/+)
Mulut : mucosa mulut basah(+) bibir sianosis (-)
Leher : nodus limfe tidak teraba
Thorax : retraksi (-/-) jejas (-/-)
Pulmo : Sd ves (+/+) ronkhi (-/-) whz(-/-) stridor(-)
Abdomen : Bising usus +N, turgor kembali cepat, timpani (+)
Ekstremitas : edema(-/-/-/-) akral dingin
Status lokalis
Makula eritema hingga urtika angioedema reg facial

D. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan

5
E. Diagnosis
Urtikaria Akut
F. Penatalaksanaan
- Observasi
- Rawat jalan
- Po Cetirizin syr 2x1/2 cth
- Jaga kehangatan dengan memakai baju hangat pada malam hari atau saat
cuaca dingin.
- Menjelaskan tentang penyakit urtikaria (penyebab, faktor risiko, tanda
dan gejala, komplikasi, serta prognosis).
- Memberitahukan untuk tidak menggaruk luka atau daerah kulit yang
gatal. Kuku pasien harus selalu dalam keadaan pendek. Bila perlu, anak
dapat menggunakan sarung tangan ketika tidur di malam hari untuk
mencegah garukan secara tidak sadar.
- Menghindari suhu cuaca yang terlalu dingin dan kondisi lingkungan
dengan kelembaban yang tinggi.
- Menganjurkan untuk mengenali makanan atau bahan-bahan yang dapat
menyebabkan reaksi alergi pada pasien dan menjauhi alergen
- Kontrol poli klinik spesialis Anak bila keluhan menetap atau bertambah

G. Prognosis
Quo ad Vitam : dubia
Quo ad Fungtionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat berbagai macam sebab, yang
ditandai dengan peninggian kulit (edema) setempat yang timbul mendadak,
menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan, ukurannya bervariasi,
daerah sekitarnya dapat dikelilingi halo serta dapat disertai dengan angioedema.
Keluhan subyektif yang muncul biasanya gatal, rasa tersengat, tertusuk, atau
terbakar, umumnya menghilang dalam 1-24 jam (Borges et al., 2012; Djuanda,
2013). Urtikaria harus dibedakan dengan kondisi atau penyakit lain yang
menimbulkan peninggian kulit atau angioedema, seperti reaksi anafilaksis,
sindrom autoinflamasi, dan hereditary angioedema (Zuberbier et al.,. 2014).
Angiodema sendiri adalah urtika yang mengenai lapisan kulit yang lebih dalam
daripada dermis, dapat mengenai submukosa, subkutis, saluran nafas, saluran
cerna, dan organ kardiovaskular (Djuanda, 2013).

Prevalensi urtikaria di dunia berkisar antara 0,3-11,3% tergantung populasi


yang diteliti (Paulos et al., 2007). Di Indonesia, prevalensi urtikaria belum
diketahui pasti. Penelitian di Palembang tahun 2007 pada 3000 remaja usia 14-19
tahun, mendapatkan prevalensi urtikaria sebesar 42,78%. Sebanyak 8-20%
populasi diperkirakan pernah atau akan menderita urtikaria dalam perjalanan
hidupnya dan sebanyak 0,1% akan berkembang menjadi urtikaria kronis spontan.
Prevalensi urtikaria kronis lebih kecil dibandingkan urtikaria akut, yaitu 1,8%
pada dewasa dan berkisar antara 0,1-0,3% pada anak. Prevalensi urtikaria kronis
pada dewasa berdasarkan durasinya adalah 6-12 minggu (52,8%), 3-6 bulan
(18,5%), 7-12 bulan (9,4%), 1-5 tahun (8,7%), >5 tahun (11,3%) (Tjekyan, 2012).

Urtikaria dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi, faktor pencetus,


morfologi klinis, luas dan dalamnya jaringan yang terkena, serta mekanisme
terjadinya. Berdasarkan durasi, urtikaria dapat diklasifikasikan menjadi urtikaria
akut (<6 minggu) dan urtikaria kronis (>6minggu) (Borges et al., 2012).
Berdasarkan morfologi klinisnya, urtikaria dapat dibedakan menjadi urtikaria
papular, gutata, girata, anular, dan arsinar. Menurut luas dan dalamnya jaringan
yang terkena, urtikaria dapat dibagi menjadi lokal, generalisata, dan angioedema.

7
Selain itu, pengelompokan urtikaria berdasarkan mekanismenya dapat dibagi
menjadi berdasar reaksi imunologi yang bergantung pada IgE atau komplemen,
urtikaria atas dasar reaksi nonimunologis serta urtikaria idiopatik (Djuanda,
2013).

Tabel 1 Klasifikasi Urtikaria (Perdoski, 2017)

Urtikaria adalah penyakit yang diperantarai sel mast. Sel mast yang
teraktivasi akan mengeluarkan histamin dan mediator lain seperti platelet
activating factor (PAF) dan sitokin. Terlepasnya mediator-mediator ini akan
menyebabkan aktivasi saraf sensoris, vasodilatasi, ekstravasasi plasma, serta
migrasi sel-sel inflamasi lain ke lesi urtikaria. Pada kulit yang terkena, dapat
ditemukan berbagai jenis sel inflamasi, antara lain eosinofil dan/atau neutrofil,
makrofag, dan sel T (Ito et al., 2011). Faktor imunologik ini lebih berperan pada
urtikaria akut. Antibodi IgE yang terikat pada permukaan sel mast dan/atau basofil
karena adanya reseptor Fc dapat menyebabkan degranulasi sel mast saat IgE
berikatan dengan antigen, sehingga mampu melepaskan mediator inflamasi lain.

8
Keadaan ini tampak pada reaksi tipe I (anafilaksis), misalnya alergi obat dan
makanan. Komplemen juga ikut berperan, dimana pelepasan anafilaktosin (C3a,
C5a) mampu merangsang sel mast dan basofil (Djuanda, 2013).

Pada urtikaria nonimunologik, Siklik Adenosin Monofosfat (CAMP)


memegang peranan penting dalam pelepasan mediator inflamasi. Berbagai
etiologi yang telah disebutkan sebelumnya dapat secara langsung merangsang sel
mas sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas (Djuanda, 2013).

Urtikaria ditandai dengan timbulnya peninggian pada kulit secara


mendadak. Peninggian kulit pada urtikaria harus memenuhi kriteria di bawah
ini: (Borges et al., 2012)
1. Ditemukan edema sentral dengan ukuran bervariasi, dan disertai eritema
di sekitarnya
2. Terasa gatal atau kadang-kadang sensasi terbakar
3. Umumnya dapat hilang dalam 1-24 jam

Keluhan subyektif yang dikeluhkan pasien biasanya gatal dan rasa terbakar,
tersengat, atau tertusuk. Secara klinis,terdapat lesi eritema dan edema setempat
berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah lebih pucat. Lesi dapat berbentuk
papular seperti pada urtikaria akibat serangga, besarnya dapat lentikular, numular,
hingga plakat. Kadang-kadang terdapat dermografisme, berupa edema dan eritema
linier di kulit yang terkena goresan benda tumpul, timbul dalam waktu kurang dari
30 menit. Fenomena ini juga dijadikan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan
diagnosis urtikaria. Selain itu, pada urtikaria akibat tekanan, urtika timbul hanya
pada tempat yang tertekan. Urtikaria akibat penyinar biasanya timbul setelah 18-
72 jam penyinaran dengan klinis urtikaria papular. Urtikaria kolinergik dapat
timbul pada peningkatan suhu tubuh, emosi, makanan yang merangsang, dan
pekerjaan berat. Biasanya pasien mengeluh sangat gatal, urtika bervariasi hingga
konfluen membentuk plakat dan dapat disertai dengan nyeri perut, diare, muntah,
dan nyeri kepala pada kasus yang berat (Djuanda, 2013).

Diagnosis urtikaria meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, tes diagnostik


rutin, serta tes diagnostik lanjutan dilakukan jika perlu. Tujuan diagnosis adalah
menentukan tipe dan subtipe urtikaria serta mengidentifikasi etiologi. Urtikaria

9
akut lebih sering dijumpai dan biasanya cepat menghilang, tetapi identifikasi
etiologi penting untuk mencegah kekambuhan. Etiologi urtikaria akut sebagian
besar dapat diketahui melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh,
jarang dibutuhkan pemeriksaan penunjang. Pada anak, etiologi yang sering adalah
infeksi virus dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Makanan dan obat-
obatan, seperti antibiotic dan NSAID (nonsteroidal anti-inflammatory drug),
dapat sebagai penyebab pada anak atau dewasa. Tes diagnostik hanya
diindikasikan apabila dicurigai didasari oleh alergi tipe I (Borges et al., 2012).

Penyakit kulit yang dapat bermanifestasi sebagai lesi urtikaria: (Perdoski,


2017).

Urtikaria kronis mempunyai lebih banyak etiologi dan subtipe, sehingga


selain anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh, dibutuhkan tes diagnostik
rutin; antara lain

10
Tatalaksana urtikaria, baik akut maupun kronis terdiri dari 2 hal utama,
yaitu (Zuberbier et al., 2009):

1. Identifikasi dan eliminasi faktor penyebab atau pencetus

11
Identifikasi faktor penyebab membutuhkan diagnostik yang menyeluruh
dan tepat. Jika didapatkan perbaikan setelah eliminasi faktor diduga
penyebab, faktor ini baru bias disimpulkan sebagai penyebab jika terjadi
kekambuhan setelah tes provokasi (Zuberbier et al., 2009).
2. Terapi simptomatis
Adapun obat yang dapat digunakan antara lain (Zuberbier, 2012; Borges
et al., 2012):
a. Antihistamin
1) Antihistamin generasi pertama (AH1) sudah jarang
digunakan, hanya direkomendasikan sebagai terapi tambahan
urtikaria kronis yang tidak terkontrol dengan antihistamin
generasi kedua. AH1 menyebabkan kontraksi otot polos,
vasokontriksi, penurunan permeabilitas kapiler, penekanan
sekresi, dan penekanan pruritus. Antihistamin generasi
pertama sebaiknya diberikan dosis tunggal malam hari karena
mempunyai efek sedatif.
2) Antihistamin-H1 non-sedatif/ generasi kedua (azelastine,
bilastine, cetirizine, desloratadine, ebastine, fexofenadine,
levocetirizine, loratadine, mizolastine, dan rupatadine)
memiliki efikasi sangat baik, keamanan tinggi, dan dapat
ditoleransi dengan baik, sehingga saat ini digunakan sebagai
terapi lini pertama. Apabila keluhan menetap dengan
pemberian antihistamin-H1 non-sedatif selama 2 minggu,
dosis antihistamin-H1 nonsedatif dapat ditingkatkan sampai 4
kali lipat dosis awal yang diberikan (gambar 3.1).
3) Antagonis reseptor histamin-2 (AH2) seperti simetidin
diberikan dalam kombinasi dengan antagonis H1 pada
urtikaria kronis. Meskipun efikasinya rendah, beberapa ahli
berpendapat bisa diberikan sebelum terapi lini kedua.
b. Antagonis reseptor leukotrien
Bukti efektivitas terapi ini masih terbatas, dan tingkat
rekomendasinya rendah. Dari beberapa penelitian, disimpulkan

12
bahwa terapi ini hanya bermanfaat pada urtikaria kronis spontan
yang berhubungan dengan aspirin atau food additives, tetapi tidak
bermanfaat pada urtikaria kronis lain. Terapi ini dapat dicoba pada
pasien yang tidak merespons pengobatan antihistamin.
c. Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan hanya pada urtikaria akut atau eksaserbasi
akut urtikaria kronis. Belum ada konsensus yang mengatur
pemberian kortikosteroid, disarankan dalam dosis terendah yang
memberikan efek dalam periode singkat. Salah satu kortikosteroid
yang disarankan adalah prednison 15 mg/hari, diturunkan 1 mg
setiap minggu.
d. Agen anti-inflamasi
Meskipun bukti efikasinya masih terbatas, terapi ini dapat
dipertimbangkan karena harganya terjangkau dan efek sampingnya
minimal, antara lain menggunakan dapson, sulfasalazine,
hidroksiklorokuin, dan kolkisin.
b. Imunosupresan
Imunosupresan yang saat ini digunakan adalah inhibitor kalsineurin
(siklosporin). Imunosupresan lain (azatioprin, metotreksat,
siklofosfamid, dan mikofenolat mofetil) dapat dipertimbangkan untuk
urtikaria kronis yang tidak merespons antihistamin generasi pertama.
c. Agen biologis
Obat baru yang sekarang mulai digunakan adalah omalizumab.
Omalizumab dianggap bisa menjadi obat pilihan beberapa tahun lagi,
tetapi mahal dan efek samping jangka panjang masih belum
diketahui.

13
Gambar. Algoritma terapi urtikaria

Komplikasi dari urtikaria yang kerap muncul adalah angioedema yang dapat
menyebabkan obstruksi saluran nafas karena edema laring. Sekitar 30% kematian
diakibatkan oleh hal tersebut. Sedangkan urtikaria kronik cenderung
mempengaruhi kualitas hidup penderitanya akibat pruritus yang berat dapat
menyebabkan timbulnya ekskoriasi dan jaringan parut dengan atau tanpa infeksi
sekunder. Selain komplikasi dari urtikaria sendiri, pengobatan dengan
antihistamin juga dapat menyebabkan somnolen dan mulut kering (Djuanda,
2013; Hogan, 2016)

Prognosis urtikaria akut umumnya baik, karena bisa hilang dalam 24 jam dan
hampir tidak pernah menimbulkan kematian, kecuali bila disertai angioedema
saluran napas bagian atas. Urtikaria akut pada anak-anak, 20-30% akan
berkembang menjadi urtikaria kronis dan angka hospitalisasi meningkat 3 kali
lipat pada usia 0-4 tahun (Zuberbier, 2012).

Sementara prognosis urtikaria kronis lebih bervariasi. Sebanyak 30-50%


remisi spontan, 20% dalam 5 tahun, dan 20% akan menetap setelah 5 tahun.
Urtikaria, terutama tipe kronis, dapat mengganggu kualitas hidup.

14
15
BAB III

KESIMPULAN

Adapun simpulan pada laporan kasus ini adalah sebagai berikut:

1. Kasus Urtikaria merupakan kasus reaksi vaskular di kulit akibat berbagai


macam sebab, yang ditandai dengan peninggian kulit (edema) setempat yang
timbul mendadak, menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan
kemerahan
2. Diagnosis urtikaria meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, tes diagnostik
rutin, serta tes diagnostik lanjutan jika perlu
3. Urtikaria dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi, faktor pencetus,
morfologi klinis, luas dan dalamnya jaringan yang terkena, serta mekanisme
terjadinya
4. Tatalaksana urtikaria, baik akut maupun kronis terdiri dari 2 hal utama, yaitu
Identifikasi dan eliminasi faktor penyebab atau pencetus dan terapi
simptomatik

16
DAFTAR PUSTAKA

Aisah, S. 2011. Creeping Eruption dalam Ilmu Kulit Dan Kelamin Edisi keenam.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 125-126.

Asian Academy of Dermatology and Venerology (AADV). 2012. Management of


chronic urticaria in Asia: 2010 AADV Consensus Guideline. Asia Pac
Allergy 2(2):149-160

Borges, MS, Asero R, Ansotegui IJ, Baiardini I, Bernstein JA, Canonica GW et


al. 2012. Diagnosis and treatment of urticaria and angioedema: A
worldwide perspective. WAO Journal 5:125-47

Djuanda, Adhi. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FK UI

Handoko, R.P. 2011. Creeping Eruption dalam Ilmu Kulit Dan Kelamin Edisi
keenam. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 122-125.

Hogan, DJ. 2016. Chronic Urticaria Clinical Presentation. Available at:


http://emedicine.medscape.com/article/1050052-clinical#b3 (Diakses pada
1 Mei 2017)

Ito Y, Satoh T, Takayama K, Miyagishi C, Walls AF, Yokozeki H. 2011.


Basophil recruitment and activation in inflammatory skin diseases. Allergy
66(8):1107-13.

Maurer M, Weller K, Bindslev-Jensen C, Giménez-Arnau A, Bousquet PJ,


Bousquet J et al. 2011. Umnet clinical needs in chronic spontaneous
urticaria: A Galen task force report. Allergy 66(3):317-30

Poulos, LM, Waters AM, Correll PK, Loblay RH, Marks GB. 2007. Trends in
hospitalizations for anaphylaxis, angioedema and urticaria in Australia,
1993-1994 to 2004-2005. J Allergy Clin Immunol 120(4):878-84.

Tjekyan S. 2012. Prevalensi urtikaria di Kota Palembang tahun 2007. Jurnal


Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin 20(1):1-6

17
Zuberbier T, Asero R, Bindslev-Jensen C, Walter Canonica G, Church MK,
Giménez-Arnau AM et al. 2009. EAACI/GA2LEN/EDF/WAO guideline:
Management of urticarial. Allergy 64:1427-43

Zuberbier T. 2012. A summary of the new international


EAACI/GA2LEN/EDF/WAO guidelines in urticaria. WAO Journal 5(1):

Zuberbier, T, Aberer W, Asero R, Bindslev-Jensen C, Brzoza Z, Canonica GW et


al. 2014. The EAACI/GA2LEN/EDF/WAO guideline for the definition,
classification, diagnosis, and management of urticaria: The 2013 revision
and update. European Journal of Allergy and Clinical Immunology 69(7):
868-87

18

Anda mungkin juga menyukai