Anda di halaman 1dari 76

PORTOFOLIO

ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS

Disusun Oleh:

Amalina Fitrasari
4117109600007

Pembimbing UIN Pembimbing Puskesmas


dr. Siti Nur Aisyah J, Ph.D dr. Restu Laila Fitri Z

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS


PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

RSUP FATMAWATI

FAKULTAS KEDOKTERAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH


JAKARTA

PERIODE 18 MARET-19 APRIL 2019


LEMBAR PENGESAHAN

PORTOFOLIO KEDOKTERAN KOMUNITAS

Diajukan kepada Program Studi Profesi Dokter

Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Untuk Ujian Modul Klinik Ilmu Kedokteran Komunitas

Disusun oleh :

Amalina Fitrasari

NIM : 4117109600007

Pembimbing UIN Pembimbing Puskesmas


Jamber

dr. Siti Nur Aisyah J, PhD dr. Restu Laila Fitri Z

Penguji

dr. Ana Miftahul Jannah

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS


PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

RSUP FATMAWATI

FAKULTAS KEDOKTERAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH


JAKARTA

PERIODE 18 MARET-19 APRIL 2019


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum wr wb

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan portofolio ini tepat
pada waktunya.

Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada bimbingan kami Nabi
Muhammad SAW, yang telah membimbing umat dari masa kegelapan menjadi
masa yang terang-benderang seperti saat ini.

Pada kesempatan kali in penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada
para pembimbing yang telah banyak memberikan masukan serta saran kepada
penulis selama menyusun portofolio ini.

1. dr. Siti Nur Aisyah J, PhD sebagai pembimbing di kampus


2. dr. Restu Laila Fitri Z, sebagai pembimbing di puskesmas

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih banyak kekurangan. Penulis


mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi
kesempurnaan portofolio ini.

Demikian semoga portofolio ini dapat bermanfaat.

Wassalamu’alaikum wr wb

Ciputat, April 2019

Penulis
DAFTAR ISI

i
LEMBAR JUDUL ...............................................................................
.. ii
LEMBAR PENGESAHAN ...............................................................................
.. iii
KATA PENGANTAR ...............................................................................
..
DAFTAR ISI ............................................................................... iv
..
RESUME KASUS PORTOFOLIO ................................................................. v
................
KEGIATAN INTERNAL ............................................................................... 1
.. 2
Poli Umum ...............................................................................
..
Farmasi ............................................................................... 15
..
KEGIATAN EKSTERNAL ............................................................................... 22
..
Puskesmas Pembantu ............................................................................... 23
..
Posyandu ............................................................................... 35
..
Penyuluhan Kesehatan Pesantren ............................................................................... 46
.. 56
KEGIATAN MINI CEX ...............................................................................
..
RESUME KASUS PORTOFOLIO

Portofolio Identitas Kasus


BP Umum Ny. TS/55 tahun/wanita Hipertensi, influenza
Farmasi Nn.Mila/20 tahun/wanita Faringitis akut
Puskesmas Pembantu Balai pengobatan
Posyandu Imunisasi pada balita dan ibu hamil
Promosi kesehatan di PHBS dan penyakit skabies
pesantren
Mini cex An.SM/9 Observasi febris hari ke-2
tahun/perempuan
KEGIATAN INTERNAL
LAPORAN KEGIATAN

KINERJA INTERNAL PUSKESMAS

POLI UMUM (DEWASA)

Nama Kegiatan : Poli umum

Tempat : Puskesmas Jambe

Tanggal : Kamis, 21 Maret 2019

A. Deskripsi Kegiatan

Pada hari Kamis, 21 Maret 2019, pukul 08.00-12.00 kami melakukan


kegiatan pelayanan di Puskesmas Jambe dengan membagi tugas di poli
umum, poli anak, poli KIA/pelayanan ibu, poli lansia, serta farmasi. Saat
itu saya bertugas di poli umum dewasa.
Poli umum terletak di lantai 2 gedung baru Puskemas Jambe. Untuk poli
umum hanya terdapat 1 ruang pemeriksaan. Di dalamnya terdapat 3 meja
periksa, 1 tempat tidur, 1 meja komputer, 7 kursi dan alat ukur tinggi serta
timbangan. Di masing-masing meja periksa terdapat 1 alat tensimeter, 1
stetoskop, 1 handrub, serta 1 rak kecil sebagai tempat lembar rekam
medik, kode ICD 10, daftar obat yang tersedia di puskesmas, lembar untuk
pemeriksaan laboratorium, serta surat rujukan. Selain itu, terdapat juga 1
buah X-ray film viewer dan 1 buah Snellen Chart. Di poli umum
dilengkapi 1 pendingin ruangan, pencahayaan dirasa cukup dengan
beberapa lampu, di dinding-dindingnya juga terdapat berbagai poster
kesehatan.
Biasanya yang bertugas di poli umum 2 orang terkadang diisi oleh 1
dokter dengan 1 perawat atau 2 perawat namun karena saat ini ada dokter
muda yang bertugas sehingga poli diisi oleh 2 dokter muda dengan 1
dokter atau 1 perawat.
Untuk alur pemeriksaan di poli umum, yaitu pasien masuk kemudian
ditimbang dan diukur tinggi badan, setelah itu dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik oleh dokter selanjutnya diberikan resep. Pada pasien
yang membutuhkan pemeriksaan laboratorium, setelah periksa selanjutnya
pasien ke laboratorium dan kembali ke poli untuk tatalaksana lebih lanjut.
Dalam sehari pasien di poli umum Puskesmas Jambe berkisar 80-100
orang.
Saat itu, saya melakuan pemeriksaan terhadap seorang pasien wanita,
berusia 55 tahun, datang dengan keluhan batuk sejak 2 hari sebelum
datang ke puskesmas. Batuk dirasakan tidak berdahak. Keluhan disertai
demam, demam tidak diukur suhu, hidung meler (+). Keluhan lain berupa
kepala pusing dan badan lemas. Pusing dirasakan seperti ditekan, pusing
berputar tujuh keliling (-). Keluhan tidak disertai odinofagia, dispneu
maupun suara serak. Mual (-), muntah (-). Keluhan berupa leher terasa
kaku, jantung berdebar, nyeri dada, maupun penglihatan kabur disangkal.
Kesemutan di jari tangan dan kaki (-), kelemahan anggota gerak (-), kaki
bengkak maupun BAK berkurang (-). Pasien belum mengonsumsi obat
untuk keluhannya tersebut. Pasien merasa tidak nyaman dengan keluhan
batuknya tersebut. Pasien mengaku memiliki riwayat hipertensi sejak
lama, namun tidak rutin kontrol dan minum obat.
Riwayat alergi (-). Keluhan serupa di keluarga disangkal. Riwayat
hipertensi di keluarga tidak diketahui. Pasien sudah menikah, sehari-hari
pasien bekerja sebagai petani. Riwayat merokok, konsumsi alkohol,
maupun riwayat penggunaan narkotika disangkal. Pasien mengaku suka
mengonsumsi ikan asin. Pasien mengatakan masih dapat bekerja meskipun
badan lemas.
Dari pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, didapatkan keadaan umum
tampak sakit ringan, kesadaran compos mentis, BMI 26,08 kg/m2.
Tekanan darah 165/95 mmHg, frekuensi nadi 87x/menit, frekuensi napas
20x/menit, suhu 37C. Pemeriksaan hidung didapatkan kavum nasal
lapang, sekret serosa +/+, konka tidak hiperemis maupun edema. Pada
pemeriksaan tenggorok, tampak tonsil T1/T1, faring tidak hiperemis.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, saya
mendiagnosis pasien dengan influenza karena didapatkan keluhan batuk
tidak berdahak disertai rinore, demam, serta badan lemas dan dari
pemeriksaan fisik didapatkan kavum nasal sekret +/+, tidak ada tanda-
tanda peradangan pada faring maupun tonsil. Karena keluhan pasien baru
2 hari sehingga saya tidak memberikan antibiotik. Obat yang saya berikan
berupa paracetamol 3x500mg No.X untuk demamnya serta
dekstrometorfan 1x 10 mg No.V untuk batuk keringnya.
Selain itu pasien mengeluh pusing dan diketahui terdapat riwayat
hipertensi sejak lama namun tidak rutin minum obat. Dari pemeriksaan
fisik didapatkan tekanan darah 167/97mmHg. Saya mendiagnosis pasien
dengan hipertensi grade II dan memberikan obat captopril 3x12,5 mg No.
X serta amlodipin 1x5 mg No.V. Pasien juga diedukasi mengenai
pencegahan penularan influenza berupa penggunaan masker, cara batuk
dan bersin, anjuran untuk istirahat dan mengurangi aktivitas berat terlebih
dahulu, cukup minum serta makan makanan bergizi, menjaga kebersihan
diri sendiri dan lingkungan. Edukasi untuk hipertensinya berupa anjuran
untuk rutin konsumsi obat dan kontrol bila obat habis, komplikasi yang
mungkin terjadi, penurunan berat badan, kurangi makanan asin dan
berlemak, serta perbanyak olahraga.

B. Nomor Rekam Medis : 22985-9056


C. Diagnosis Holistik
 Aspek personal
Pasien datang dengan keluhan batuk tidak berdahak, febris (+),
rinore (+) sejak 1 hari sebelum datang ke puskesmas disertai badan
lemas dan pusing. Pasien belum mengonsumsi obat untuk
keluhannya tersebut. Pasien merasa tidak nyaman dengan batuknya
tersebut. Riwayat hipertensi sejak lama dan tidak rutin konsumsi
obat maupun kontrol. Dari pemeriksaan fisik didapatkan BMI
26,08 kg/m2. Tekanan darah 167/97mmHg frekuensi nadi
87x/menit, frekuensi napas 20x/menit, suhu 37C. Pemeriksaan
hidung didapatkan sekret serosa +/+.
 Aspek klinis
-Influenza (R.80)
-Hipertensi grade II (K.86)
 Aspek faktor risiko internal
Pasien wanita usia 55 tahun. Riwayat hipertensi di keluarga tidak
diketahui. Pasien mengaku suka mengonsumsi ikan asin. Riwayat
merokok disangkal.
 Aspek faktor risiko eksternal
Aktivitas sehari-hari pasien sebagai petani.
 Aspek fungsional
Skala fungsional derajat 1
D. Tatalaksana
 Nonfarmakologi
- Edukasi mengenai penyakit influenza yang dapat sembuh
sendiri tanpa harus menggunakan antibiotik
- Edukasi pencegahan penularan influenza dengan cara
menggunakan masker, cara batuk dan bersin yang benar
- Istirahat dan mengurangi aktivitas fisik berlebihan
- Makan makanan bergizi serta cukup konsumsi air
- Meningkatkan higienitas diri sendiri dan lingkungan.
- Penjelasan mengenai penyakit hipertensi ( faktor risiko,
pengobatan, efek samping obat, komplikasi)
- Edukasi untuk menurunkan berat badan
- Mengurangi konsumsi makanan asin (<2 gr/hari) dan makanan
berlemak serta kopi
- Memperbanyak olahraga (3x seminggu selama 30-60 menit)
disesuaikan dengan kemampuan pasien
- Menghindari paparan asap rokok
- Edukasi untuk rutin minum obat dan rutin kontrol (selalu
kontrol ke puskesmas bila obat habis)
 Farmakologi
- Paracetamol 3x500 mg pc prn No. X (diminum bila demam)
- Dekstrometorfan 1x10 mg prn No. V
- Captopril 3x12,5 mg pc No.X
- Amlodipin 1x5mg pc No.V

Resep
R/ Paracetamol tab 500 mg No. X
ʃ 3 dd I tab p.c p.r.n
R/ Dekstrometorfan tab 10 mg No. V
ʃ 1 dd I tab p.c
R/ Captopril tab 12,5 mg No. X
ʃ 3 dd I tab p.c
R/Amlodipin tab 5 mg No.V
ʃ 1 dd I tab p.c

E. Refleksikan Perbedaan Antara Teori dan Praktek yang Dilakukan


Tindakan yang saya lakukan menurut saya benar
Dalam menegakkan diagnosis pasien, saya telah mengikuti langkah-
langkah yang sesuai yaitu anamnesis serta pemeriksaan fisik yang
mendukung diagnosis serta menyingkirkan diagnosis banding. Keluhan
yang ada pada pasien mengarah ke ISPA (Infeksi Saluran Napas Akut).
Berdasarkan teori yang saya baca, ISPA ini merupakan infeksi yang
melibatkan saluran napas yang artinya dapat terjadi dimana saja sepanjang
saluran napas. ISPA sendiri banyak macamnya.1 Berdasarkan keluhan
pasien berupa batuk yang tidak berdahak, rinore disertai gejala
konstitusional berupa demam, pusing, serta badan lemas dan dari
pemeriksan fisik didapatkan kavum nasal sekret +/+ dan tidak
ditemukannya keluhan nyeri menelan, suara serak maupun sesak, serta
tidak ditemukan tanda peradangan pada faring dan tonsil, ronkhi -/- maka
pasien didiagnosis dengan influenza (common cold). Berdasarkan buku
panduan praktik klinik dokter di fasyankes primer, influenza merupakan
penyakit yang bersifat self limiting disease yang berarti dapat sembuh
sendiri sehingga pengobatan yang saya berikan hanya bersifat simtomatik,
yaitu antipiretik dan antitusif. Edukasi yang saya berikan juga sudah sesuai
dengan yang dianjurkan.1 Selain itu, tatalaksana untuk hipertensi saya
sudah sesuai dengan pedoman dari Perki. Pada pemeriksaan tekanan darah
didapatkan TD 167/97 mmHg yang menurut JNC VIII masuk kategori
hipertensi grade II. Berdasarkan pedoman tersebut, pasien dengan
hipertensi grade II diberikan kombinasi dua macam obat dengan syarat
tidak diberikan obat dengan cara kerja yang sama seperti golonga ace-
inhibitor dan calcium channel blocker.2 Obat hipertensi yang saya berikan
berasal dari golongan yang berbeda yaitu captopril (ace-inhibitor) serta
amlodipin (calcium channel blocker). Ace-inhibitor bekerja dengan
menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II yang pada
akhirnya terjadi vasodilatasi pembuluh darah sehingga menurunkan
tekanan darah. Sedangkan calcium channel blocker bekerja dengan
menghambat masuknya ion Ca ke dalam sel otot pembuluh darah
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah sehingga resistensi perifer
menurun.3 Selain itu, saya edukasi pasien sesuai dengan pedoman
tatalaksana hipertensi Perki, yaitu mengurangi konsumsi garam,
memperbanyak aktivitas fisik/olahraga, hindari paparan asap rokok.
Indeks massa tubuh pasien masuk ke dalam kategori overweight sehingga
dalam edukasi juga saya sarankan untuk menurunkan berat badan dengan
mengurangi makan makanan berlemak seperti gorengan.2 Selain itu, saya
edukasi juga mengenai komplikasi yang dapat terjadi apabila tidak rutin
konsumsi obat dan tidak rutin kontrol. Edukasi lain yang saya berikan
mengenai efek samping obat ace-inhibitor yaitu batuk kering, hipotensi
sedangkan efek samping dari obat calcium channel blocker seperti jantung
berdebar, flushing (wajah memerah akibat vasodilatasi pembuluh darah di
wajah). 3

Tindakan yang saya rasa masih kurang


Terdapat beberapa hal yang belum saya lakukan dengan maksimal yaitu
pada saat pemeriksaan fisik. Idealnya pengukuran tekanan darah dilakukan
minimal satu kali pada masing-masing lengan. Berdasarkan buku
pemeriksaan fisik Bates, setelah tekanan darah sistolik dan diastolik
diketahui, ditunggu selama 2 menit dan dilakukan pengukuran kembali di
lengan yang sama. Selanjutnya kedua hasil pengukuran tersebut dirata-
ratakan. Apabila dua pembacaan pertama memiliki perbedaan > 5mmHg
dilakukan pembacaan selanjutnya.4 Namun demikian, saya tidak
mengonfirmasi hasil pengukuran tekanan darah menggunakan tensimeter
jarum serta tidak melakukan pengukuran tekanan darah di lengan yang
lainnya karena keterbatasan waktu. Selain itu, saya juga tidak sempat
untuk melakukan pemeriksaan mata dan batas jantung untuk mengetahui
komplikasi hipertensi. Kendala lain yang saya hadapi adalah saat
pemberian obat antihipertensi, untuk menerapkan pemberian obat secara
rasional sesuai dengan efikasi, keamanan, serta harga cukup sulit karena
keterbatasan waktu tersebut.
Menurut pendapat saya, timbulnya perbedaan antara teori dan fakta
Salah satu kendala yang sering dihadapi saat bertugas di poli umum adalah
waktu pemeriksaan yang terlalu singkat. Secara teori, anamnesis yang
komprehensif dapat mengarahkan diagnosis 70-80% serta ditambah
pemeriksaan fisik dapat lebih mengarahkan ke diagnosis kerja. Namun
pada praktiknya di puskesmas cukup sulit untuk menerapkan pemeriksaan
sesuai dengan teori karena jumlah pasien yang banyak dengan waktu
pelayanan yang cukup singkat. Hal tersebut menyebabkan kurangnya
kesempatan untuk menggali berbagai faktor risiko yang terkait dengan
penyakit pasien serta waktu untuk melakukan edukasi pada pasien tidak
terlalu banyak sehingga tatalaksana pasien menjadi kurang maksimal.
Selain itu, saat saya sedang menjalani tugas di puskesmas pembantu,
terdapat satu pasien yang menurut saya tatalaksananya kurang tepat,
pasien tersebut sudah masuk kategori hipertensi grade II, berdasarkan
guideline dari Perki diberikan dua macam obat dengan cara kerja yang
berbeda namun saat itu hanya diberikan satu jenis obat dikarenakan kurang
stok obat di puskesmas pembantu tersebut.2
Hal yang dapat dipelajari untuk perbaikan ke depannya
Pelajaran yang dapat saya ambil dari pengalaman bekerja di poli umum
adalah berlatih kembali untuk dapat melakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemberian obat serta edukasi seefisien dan seefektif mungkin dalam
waktu yang tidak terlalu banyak. Menurut saya, edukasi merupakan hal
yang berperan penting untuk kesembuhan pasien. Beberapa pasien
hipertensi yang saya temui, mereka tidak mengonsumsi obat dan tidak
kontrol dengan rutin dan saat saya tanyakan mengapa demikian karena
mereka tidak mengetahui bahwa hipertensi harus rutin minum obat.
Edukasi mengenai pentingnya rutin kontrol dan minum obat, komplikasi
yang dapat ditimbulkan, modifikasi gaya hidup merupakan hal yang
penting untuk penatalaksanaan hipertensi.
Nilai agama dan profesionalisme yang dapat saya ambil dari kasus ini
Nilai profesionalisme yang dapat saya ambil dari kasus ini adalah
bagaimana sebagai seorang dokter dapat memberikan pelayanan kesehatan
semaksimal mungkin dalam rangka menatalksana pasien sesuai dengan
peran dokter dalam 5 stars doctor. Selain itu, seorang dokter harus
memiliki kemampuan untuk memberikan edukasi yang baik agar pasien
mau mengikuti rencana tatalaksana yang diberikan oleh dokter.
Dari kasus ini saya dapat mengambil pelajaran bahwa dalam
menatalaksana pasien harus bersungguh-sungguh yang berarti bahwa
seharusnya kita dapat memberikan pengobatan dan edukasi semaksimal
mungkin untuk kesembuhan pasien. Selain itu, sebagai seorang dokter
harus bersungguh-sungguh mengaplikasikan ilmu yang telah dimilikinya
untuk membantu kesembuhan pasien.
Sesuai dengan QS.Al-Ankabut ayat 69

F. Daftar Pustaka
1. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. 2014. 236-241.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman
Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular. Edisi 1. 2015
3. Gunawan, Sulistia Gan. Buku Farmakologi dan Terapi ed 5. Jakarta :
Departemen Farmakologi dan Terapi FKUI. 2007. 340-361
4. Lynn SB. Buku Saku Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan. Ed 7.
Editor Bahasa Indonesia Bhetsy Angelina. Jakarta : EGC ; 2014. 63

Gambar 1. Saat melakukan pemeriksan dan edukasi

Gambar 2. Resep dan Obat yang Diberikan pada Pasien


Lampiran 1. Kopi Rekam Medis

a. Identitas Pasien
Nama : Ny. TS
Usia : 55 tahun
Jenis kelamin : wanita
Alamat : Kp.Jambe RT 10/RW02
Agama : islam
b. Anamnesis
Keluhan utama
Batuk sejak 2 hari sebelum datang ke puskesmas
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan batuk sejak 2 hari sebelum datang ke
puskesmas. Batuk dirasakan tidak berdahak. Keluhan disertai demam,
demam tidak diukur suhu, hidung meler (+). Keluhan lain berupa kepala
pusing dan badan lemas. Pusing dirasakan seperti ditekan, pusing berputar
tujuh keliling (-). Keluhan tidak disertai odinofagia, dispneu maupun suara
serak. Nausea (-), vomiting (-). Keluhan berupa leher terasa kaku, jantung
berdebar, nyeri dada, maupun penglihatan kabur disangkal. Pasien belum
mengonsumsi obat untuk keluhannya tersebut. Pasien merasa tidak
nyaman dengan keluhan batuknya tersebut. Pasien mengaku memiliki
riwayat hipertensi sejak lama, namun tidak rutin kontrol dan minum obat.
Riwayat penyakit dahulu
Pasien pernah mengalami hal serupa, riwayat alergi disangkal. Pasien
belum pernah dirawat inap maupun dioperasi sebelumnya. Pasien
memiliki riwayat hipertensi namun tidak rutin mengonsumsi obat. Riwayat
sakit paru, ginjal, liver, asma disangkal.
Riwayat penyakit keluarga
Keluhan serupa di keluarga disangkal. Riwayat hipertensi di keluarga tidak
diketahui. Riwayat sakit paru, ginjal, liver, jantung stroke disangkal.
Riwayat Kebiasaan, Lingkungan, dan Sosial
Pasien sudah menikah, sehari-hari pasien bekerja sebagai petani. Riwayat
merokok, konsumsi alkohol, maupun riwayat penggunaan narkotika
disangkal. Pasien mengaku suka mengonsumsi ikan asin. Pasien
mengatakan masih dapat bekerja meskipun badan lemas.
c. Pemeriksaan Fisik
TD : 167/97 mmHg HR : 87x/menit RR : 20x/menit T 37C
BMI : 26,08 kg/m2
Kepala : normosefal, konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax : Paru : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung : S1,S2 reguler murmur (-) gallop (-)
Abdomen : bising usus normal, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2”
Genitalia & anus : tidak diperiksa
d. Diagnosis
Influenza (J1.18)
Hipertensi grade II (I.10)
e. Tatalaksana
 Nonfarmakologi
- Edukasi mengenai penyakit influenza yang dapat sembuh
sendiri tanpa harus menggunakan antibiotik
- Edukasi pencegahan penularan influenza dengan cara
menggunakan masker, cara batuk dan bersin yang benar
- Istirahat dan mengurangi aktivitas fisik berlebihan
- Makan makanan bergizi serta cukup konsumsi air
- Meningkatkan higienitas diri sendiri dan lingkungan.
- Penjelasan mengenai penyakit hipertensi ( faktor risiko,
pengobatan, efek samping obat, komplikasi)
- Edukasi untuk menurunkan berat badan
- Mengurangi konsumsi makanan asin (<2 gr/hari) dan makanan
berlemak serta kopi
- Memperbanyak olahraga (3x seminggu selama 30-60 menit)
disesuaikan dengan kemampuan pasien
- Menghindari paparan asap rokok
- Edukasi untuk rutin minum obat dan rutin kontrol (selalu
kontrol ke puskesmas bila obat habis)

 Farmakologi
- Paracetamol 3x500 mg pc prn No. X (diminum bila demam)
- Dekstrometorfan 1x10 mg prn No. V
- Captopril 3x12,5 mg pc No.X
- Amlodipin 1x5mg pc No.V

RESEP
R/ Paracetamol tab 500 mg No. X
ʃ 3 dd I tab p.c p.r.n
R/ Dekstrometorfan tab 10 mg No. V
ʃ 1 dd I tab p.c
R/ Captopril tab 12,5 mg No. X
ʃ 3 dd I tab p.c
R/Amlodipin tab 5 mg No.V
ʃ 1 dd I tab p.c
Feedback dari pembimbing puskesmas

Feedback dari pembimbing kampus

Nama mahasiswa Amalina Fitrasari TTD


Nama pembimbing dr. Siti Nur Aisyah Jauharoh, PhD TTD

dr.Restu Laila Fitri TTD


LAPORAN KEGIATAN

KINERJA INTERNAL PUSKESMAS

FARMASI

Nama Kegiatan : Farmasi

Tempat : Puskesmas Jambe

Tanggal : Rabu, 20 Maret 2019

A. Deskripsi Kegiatan

Hari Rabu tanggal 20 Maret 2019 merupakan hari pertama kami bertugas di
Puskesmas Jambe. Setelah mengikuti orientasi puskesmas bersama kepala sub
bagian tata usaha serta dokter umum disana, selanjutnya kami bersiap menuju
ke tugas pelayanan masing-masing. Kami membagi tugas di poli umum, anak,
KIA, lansia, farmasi, dan ikut kegiatan eksternal bersama dokter umum. Pada
hari itu, saya bertugas di bagian farmasi. Depo farmasi terletak di
lantai 1 di samping gudang obat, ruangan berukuran 3x3 m2 dilengkapi dengan
1 buah pendingin ruangan. Terdapat satu pintu dan satu jendela untuk
memberikan obat pada pasien. Di dalam depo terdapat dua lemari besar untuk
penyimpanan obat, satu meja untuk mempersiapkan obat, satu meja untuk
tempat pembuatan puyer dan sirup serta dua kursi. Selain itu, terdapat satu
meja komputer serta kursi untuk keperluan administrasi. Lemari obat
dibedakan berdasarkan asal obat, yaitu obat dari dinkes dan JKN yang terdiri
dari antibiotik, analgetik-antipiretik, obat untuk saluran cerna, laksatif,
antidiare, antiemesis, antiasma, antitusif, antialergi, antimigren,
antidiabetikum, antihipertensi, antilipidemikum, obat kulit, serta vitamin dan
mineral. Selain itu, peletakkan obat dibedakan berdasarkan bentuk sediaan dan
disusun berdasarkan abjad. Ruangan farmasi cukup bersih, dingin, cukup
terang meskipun lampu tidak dinyalakan, pencahayaan cukup dari sinar
matahari. Alur pengambilan resep di depo farmasi Puskesmas Jambe sebagai
berikut setelah pasien selesai dari poli pelayanan, kemudian ke bagian farmasi
dan meletakkan resep di box yang sudah tersedia. Kemudian petugas farmasi
mengambil resep dan menyiapkan obat-obat yang tertulis di resep tersebut
baik itu sirup, puyer, maupun tablet dan memberikan aturan pemakaian di
plastik obat dengan menggunakan spidol. Selanjutnya petugas menyerahkan
obat serta memberikan edukasi ke pasien mengenai aturan pemakaiannya.
Apabila obat yang diresepkan habis petugas memberikan kopi resep dan
meminta pasien untuk membeli di apotek luar sedangkan apabila terdapat
resep yang tidak rasional petugas tidak pernah mengonfirmasi kembali kepada
dokter atau petugas lain yang meresepkan dengan alasan memperpanjang
pelayanan. Untuk alur penyediaan obatnya, setiap selesai pelayanan petugas
farmasi akan membuat laporan obat apa saja yang diresepkan pada hari itu
kemudian laporan tersebut dikirimkan ke dinas kesehatan tanggal 5 setiap
bulannya selanjutnya dinas kesehatan akan mengirimkan obat-obatan sesuai
dengan kebutuhan puskesmas setiap tanggal 22 tiap bulannya. Obat-obat yang
sudah kadaluarsa (> 6 bulan) diberikan label merah kemudian dikumpulkan di
gudang dan dikirim kembali ke dinas kesehatan. Jam pelayanan di bagian
farmasi dimulai pukul 08.00 dan diakhiri ketika tidak ada pelayanan lagi di
poli. Staf puskesmas yang bertugas di bagian farmasi adalah satu orang asisten
apoteker serta satu orang staf. Pada saat saya bertugas di bagian farmasi, saya
belajar membaca resep, mempersiapkan obat, membuat obat puyer dan sirup,
serta memberikan edukasi pada pasien. Selain itu, saya juga mempelajari obat
apa saja yang tersedia di puskesmas.

Saat saya bertugas di depo farmasi, saya mengambil satu resep atas nama
Nn.Mila, usia 20 tahun. Pasien mendapatkan obat berupa paracetamol tab 500
mg No.XV diminum sebanyak 3x sehari serta ambroxol sirup No.I diminum
sebanyak 2x1 sendok takar sehari. Berdasarkan anamnesis singkat yang saya
lakukan, pasien mengeluh demam sejak 2 hari smrs disertai batuk tidak
berdahak sejak 1 hari smrs. Pasien juga mengeluh hidung meler, nyeri
menelan, serta badan terasa lemas. Sebelum berobat, pasien sudah
mengonsumsi obat penurun demam namun panas kembali timbul. Mual (-),
muntah (-), nafsu makan baik. Ayah pasien memiliki keluhan batuk dan pilek.
Pasien mengaku masih dapat beraktivitas seperti biasa. Pasien terkadang stres
karena pekerjaan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos
mentis, tampak sakit ringan, TD 140/90mmHg, frekuensi nadi 72x/menit,
frekuensi napas 18x/menit, T 37 C. Pemeriksaan tenggorokan tampak tonsil
T1/T1, detritus (-), kripta (-), faring hiperemis, dinding faring posterior licin,
granula (-).

B. Nomor Rekam Medik : -


C. Diagnosis Holistik
 Aspek personal
Batuk tidak berdahak sejak 1 hari smrs disertai febris sejak 2 hari
smrs. Keluhan lain berupa rinore, odinofagia, serta fatigue. Pasien
sudah mengonsumsi obat penurun demam namun demam kembali
timbul. Pasien merasa hanya sakit radang biasa namun pasien
berobat karena merasa tidak nyaman dengan demam serta
lemasnya tersebut. Pasien mengaku masih dapat beraktivitas
seperti biasa.
 Aspek klinis
Faringitis akut ec suspek viral dd bakterial (R.74)
 Aspek faktor risiko internal
Pasien mengaku akhir-akhir ini sering stres karena pekerjaan
 Aspek faktor risiko eksternal
Pasien mengatakan ayahnya mengalami batuk pilek
 Aspek fungsional
Kategori 1
D. Tatalaksana
 Non Farmakologi
- Mencegah penularan dengan edukasi penggunaan masker, cara
batuk dan bersin yang benar
- Istirahat cukup
- Minum air putih yang cukup
- Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan
bergizi (tinggi kalori tinggi protein) dan olahraga teratur.
- Berhenti merokok bagi anggota keluarga yang merokok.
- Menghindari makan makanan yang dapat mengiritasi
tenggorok.
- Selalu menjaga higiene mulut dan tangan
- Mengurangi kegiatan fisik berlebihan
- Menjaga higiene dan sanitasi lingkungan
 Farmakologi
- Paracetamol 3x500mg/hari No.XV (diminum bila demam)
- Ambroksol sirup 2x1 cth No. I
RESEP
R/ Paracetamol tab 500 mg No. XV
ʃ 3 dd I tab pc prn
R/ Ambroksol sirup No. I
ʃ 2 dd I cth pc

E. Refleksikan Perbedaan Antara Teori dan Praktik yang Dilakukan


Tindakan yang saya lakukan yang menurut saya benar
Menurut saya, tindakan yang sudah saya lakukan dengan benar adalah
melihat kerasionalan obat yang diresepkan oleh staf di poli. Saya
membaca salah satu resep kemudian mempersiapkan obat dan menuliskan
cara penggunaan obat serta nama pasien di bungkus obat menggunakan
spidol hitam permanen. Sebelum saya berikan kepada pasien, saya
melakukan anamnesis singkat. Setelah saya melakukan anamnesis singkat
lalu saya cocokkan kembali dengan obat yang akan diberikan, menurut
saya pemberian obat ambroksol pada pasien ini kurang tepat karena
keluhan pasien adalah batuk tidak berdahak sedangkan ambroksol
ditujukan untuk batuk berdahak karena bekerja sebagai mukolitik.
Kemudian saya mengonfirmasi kepada DM yang bertugas di poli,
sebenarnya dia sudah mengetahui seharusnya diberikan antitusif namun
tidak tersedia di puskesmas Jambe dan staf poli yang lain mengatakan
pasien batuk berdahak maupun tidak berdahak diberikan ambroksol karena
tidak ada obat batuk lain kecuali jika pasien bersedia untuk membeli di
luar. Selain itu, saya juga sudah melakukan edukasi kepada pasien sesuai
dengan ilmu yang saya miliki mengenai aturan penggunaan obat, tujuan
pemberian obat, kapan obat tersebut harus dihabiskan, kapan obat tersebut
hanya diminum bila ada keluhan. Sebelum memberikan obat ke pasien,
saya memastikan kembali bahwa obat yang saya berikan sudah benar. Saat
sedang membuat puyer, saya berusaha membuatnya dengan benar
meskipun agak sulit pada saat membaginya ke dalam perkamen sama rata.
Tindakan yang saya rasakan masih kurang, antara lain
Menurut saya, tindakan yang tidak saya lakukan dengan benar adalah
seharusnya saya menjelaskan kepada pasien bahwa obat yang seharusnya
diberikan tidak tersedia di puskesmas dan seharusnya saya memberikan
pilihan kepada pasien untuk membeli obat di luar. Pada saat itu saya
langsung memberikan obat yang tercantum di resep tanpa menanyakan
apakah pasien bersedia untuk membeli obat di luar supaya pasien dapat
menerima obat yang sesuai dengan indikasi.
Selain itu, saya kurang cermat dalam membaca resep. Dalam resep
tersebut dituliskan ambroksol diminum 2x sehari sebanyak satu sendok
takar. Setelah saya membaca kembali buku farmakologi, dosis dewasa
ambroksol adalah 30 mg yang diberikan 2-3x sehari. Seharusnya obat
yang diberikan 3x sehari sebanyak 2 sendok karena sediaan sirup
15mg/5ml.1 Untuk pemilihan sediaan karena pasiennya adalah pasien
dewasa sebetulnya dapat diberikan sediaan tablet namun karena obat batuk
yang tersedia di Puskesmas Jambe hanya ambroksol sirup sehingga DM
meresepkan ambroksol sirup.
Terdapat beberapa perbedaan antara teori dengan praktik yang saya
temukan

Pada kasus ini pasien didiagnosis dengan infeksi saluran napas akut. Dari
literatur yang saya baca, berdasarkan gejala yang ada pada pasien ini
mengarah pada faringitis akut karena terdapat keluhan nyeri menelan serta
pada pemeriksaan fisik didapatkan faring hiperemis tanpa pembesaran
tonsil. Berdasarkan panduan praktik klinis dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan primer, tatalaksana yang diberikan untuk pasien dengan
faringitis akut adalah obat simtomatik seperti antipiretik-analgetik serta
antitusif atau ekspektoran jika disertai batuk dan dapat juga diberikan
antibiotik atau antivirus.2 Menurut saya, pada pasien ini sudah sesuai
diberikan paracetamol sebagai antipiretik sekaligus analgetik karena ada
keluhan demam serta nyeri menelan. Namun pemilihan obat batuk kurang
tepat. Pasien mengeluh batuk tidak disertai dahak namun diberikan
ambroksol yang diindikasikan untuk batuk berdahak. Ambroksol termasuk
dalam golongan obat mukolitik yang bekerja mengecerkan sekret saluran
napas dengan memecah benang-benang mukoprotein dan
mukopolisakarida dari sputum. Obat batuk yang sebaiknya diberikan
untuk pasien adalah golongan antitusif non-opioid seperti dekstrometorfan
atau noskapin. Obat golongan antitusif bekerja dengan menghambat
refleks batuk sehingga dapat mengurangi batuk iritatif atau tidak berdahak.
Dekstrometorfan merupakan antitusif non-opioid yang memiliki kerja
yang sama dengan kodein namun tidak memiliki efek aditif dan jarang
menyebabkan kantuk.3 Pemberian obat yang tidak sesuai dapat disebabkan
karena tidak tersedianya obat yang seharusnya diberikan pada pasien. Saat
saya bertugas di bagian farmasi Puskesmas Jambe memang ada beberapa
obat yang tidak tersedia salah satunya dekstrometrofan. Saat itu obat batuk
yang tersedia hanyalah ambroksol. Ketidaktersediaan obat di Puskesmas
Jambe dapat disebabkan karena penggunaan yang terlalu banyak atau
pasokan obat yang kurang.

Untuk mekanisme pelayanan di farmasi sudah sesuai namun seringkali


petugas apotek tidak menuliskan identitas (nama) serta fungsi obat di
etiketnya yang dituliskan hanya berapa kali pemberian serta waktu
pemberian. Secara aturan seharusnya di setiap resep dicantumkan kode
diagnosis berdasarkan ICD-10 untuk mengurangi kesalahan pemberian
obat pada pasien namun dalam prakteknya sebagian besar tidak dituliskan
kode diagnosisnya. Hal tersebut dapat disebabkan karena pemeriksa tidak
terbiasa untuk memberikan kode atau memang tidak tahu diagnosisnya.

Hal yang dapat dipelajari untuk perbaikan selanjutnya adalah


Saat saya bertugas di poli umum Puskesmas Jambe, sebagian besar pasien
merupakan pasien dengan infeksi saluran napas akut yang seringkali
diresepkan obat batuk seperti ambroksol, bromheksin, gliseril guaikolat.
Banyaknya kasus ISPA di sekitar Puskesmas Jambe dapat disebabkan
faktor risiko pergantian cuaca namun dapat juga disebabkan karena tidak
mengertinya cara penularan ISPA. Oleh karena itu, dari kasus tersebut
saya dapat belajar untuk edukasi lebih baik lagi kepada pasien terutama
mengenai cara penularan ISPA tersebut.

Nilai agama dan profesionalisme apa yang dapat diterapkan pada


kasus ini

Dalam 5 stars doctor dokter berperan dalam menyediakan pelayanan


kesehatan (care provider) yang artinya memberikan pelayanan kesehatan
yang terbaik baik mulai dari melakukan anamnesis untuk mengetahui
riwayat penyakit pasien hingga memberikan tatalaksana yang tepat pada
pasien. Dalam memberikan pengobatan kepada pasien harus menerapkan
prinsip tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, tepat pemberian, serta tepat
waktu pemberian.

F. Daftar Pustaka
1. Purba RT. Pocket Synopsis : Obat di Indonesia. Kalimantan : PT.
Grafika Wangi Kalimantan ; 2016.
2. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. 2014
3. Gunawan, Sulistia Gan. Buku Farmakologi dan Terapi ed 5. Jakarta :
Departemen Farmakologi dan Terapi FKUI. 2007.
Gambar 3. Obat yang Diberikan pada Pasien
Feedback dari pembimbing puskesmas

Feedback dari pembimbing kampus

Nama mahasiswa Amalina Fitrasari TTD


Nama pembimbing dr. Siti Nur Aisyah Jauharoh, PhD TTD

dr.Restu Laila Fitri TTD


KEGIATAN EKSTERNAL
LAPORAN KEGIATAN

KINERJA EKSTERNAL PUSKESMAS

PUSKESMAS PEMBANTU (PUSTU)

Nama Kegiatan : Puskesmas pembantu (Pustu)

Tempat : Puskesmas pembantu Desa Taban

Tanggal : Kamis, 28 Maret 2019

A. Deskripsi Kegiatan
Pada hari kamis, 28 maret 2019 kami tiba di puskesmas Jambe sekitar
pukul 7.45 kemudian kami membagi tugas. Kebetulan pada hari itu,
terdapat jadwal puskesmas pembantu karena yang lain sedang bertugas di
poli wajib sehingga saya dan nabila yang ikut serta. Puskesmas pembantu
(pustu) merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan oleh puskesmas
jambe. Pustu dilaksanakan di desa Taban setiap hari senin dan kamis mulai
pukul 8.00-selesai sekitar pukul 12.00
Yang bertugas di pustu ada 2 orang, 1 bidan dan 1 perawat. Satu orang
bertugas di bagian pendaftaran dan memberikan obat. Satu orang lainnya
melakukan pemeriksaan. Jumlah pasien pustu berkisar 30-50 orang yang
terdiri dari anak, dewasa, hingga lansia.
Kasus yang terdapat di pustu juga tidak jauh berbeda dengan di
puskesmas, namun yang sedikit berbeda adalah dalam hal pemberian obat.
Di pustu, obat tidak boleh diberikan terlalu banyak hanya untuk 2-3 hari
sehingga apabila pasien masih ada keluhan dapat kembali ke puskesmas.
Pustu Taban terletak di Desa Taban, Kecamatan Jambe. Di depannya
terdapat lapangan bola, di samping kanan terdapat kelurahan Taban, di
samping kiri dan belakang merupakan tanah kosong. Di halaman depannya
terdapat lahan parkir yang cukup luas. Di dalam gedung pustu, terdapat
satu ruang pemeriksaan, satu ruang obat, satu ruang untuk pelayanan KB,
serta satu kamar mandi dan terdapat satu kursi panjang untuk menunggu.
Ruang pemeriksaan terdiri dari 1 meja, 1 kursi, 1 tempat tidur periksa, 1
timbangan bayi, serta 1 timbangan dewasa, dan 1 alat tensimeter.
Sedangkan di ruang obat terdapat 1 lemari penyimpanan obat, 1 meja
untuk mempersiapkan obat, serta 2 kursi. Obat disusun berdasarkan abjad,
apabila di puskesmas obat sudah disiapkan di dalam bungkus berisi 5 atau
10 tablet/kapsul sedangkan di pustu, obat masih di dalam kotak obat.
Selain itu, terdapat alat untuk membuat puyer yang terdiri dari dari alu,
lumpang, sendok obat, serta perkamen, tidak terdapat sacarrum lactis, di
pustu tidak terdapat bahan untuk membuat sirup yang berbentuk bubuk.
Obat-obatan yang diresepkan rata-rata hanya untuk 2-3 hari karena stok
obat disana terbatas. Di dalam pustu tidak terdapat pendingin ruangan
sehingga terasa panas. Selain itu, ruangan-ruangannya pun jarang
dibersihkan dan dibuka sehingga terasa lembab dan banyak nyamuk.
Alur pelayanan pasien di pustu adalah pasien datang kemudian mendaftar
dengan membawa kartu BPJS atau kartu kesehatan yang lain serta kartu
keluarga. Untuk pasien umum membayar sebesar Rp.3000. Selanjutnya
pasien diberikan satu kertas kecil dan menunggu di ruang tunggu. Sebelum
diperiksa pasien diukur berat dan tinggi badan. Setelah melakukan
anamnesis dan pemeriksaan, pemeriksa akan menuliskan hasilnya di kertas
kecil tersebut juga menuliskan obat yang diresepkan. Setelah selesai
diperiksa, pasien ke depo obat untuk mengambil obat.
Pada hari itu, saya mendapatkan satu kasus atas nama An.S, 16 tahun
datang dengan keluhan gatal di jari-jari tangan serta badan sejak 2 minggu
yang lalu. Gatal dirasakan terus-menerus terutama pada malam hari
sehingga pasien terkadang terbangun karena gatal. Karena gatal pasien
sering menggaruknya sehingga ruam kehitaman di jari-jari tangan dan di
badan. Keluhan gatal tidak disertai rasa panas maupun demam. Pasien
belum pernah mengalami hal serupa. Riwayat alergi terhadap makanan
atau obat-obatan disangkal. Riwayat terkena bahan iritan dalam jangka
waktu lama disangkal. Orang tua dan adik pasien juga mengalami keluhan
serupa. Saat ini pasien merupakan siswa kelas 10 di SMA Parung Panjang.
Pasien tidur bersama-sama dengan kedua orang tua dan adik pasien.
Pasien mengaku kasurnya jarang dijemur, pasien tidak pernah
menggunakan handuk maupun alat mandi bersama-sama dengan anggota
keluarga yang lain. Di sekolahnya, tidak ada yang memiliki keluhan
serupa dengan pasien. Pasien mengatakan sebelumnya sudah berobat dan
diberikan salep namun keluhan masih ada. Pasien merasa tidak nyaman
dengan keluhan gatalnya tersebut karena cukup menganggu terutama saat
tidur dan ingin supaya gatalnya cepat hilang.
Setelah anamnesis, saya melakukan pemeriksaan fisik keadaan umum
tampak sakit ringan, kesadaran kompos mentis, dari tanda vital tekanan
darah 120/80 mmHg, frekuensi nadi 82xmenit, frekuensi napas 18x/menit,
suhu 36C. Status generalis dalam batas normal. Dari status lokalis, di regio
digiti dan interfalang manus dextra dan sinistra serta abdominal terdapat
papul serta pustul, warna kehitaman, multiple, sirkumskrip, bentuk bulat
hingga tidak beraturan, ukuran miliar hingga lentikular disertai erosi dan
krusta.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, keluhan pasien
mengarah ke penyakit kulit skabies karena ditemukan gejala gatal di jari
tangan dan badan yang terutama dirasakan pada malam hari serta terdapat
lebih dari satu orang yang tinggal bersama dan memiliki keluhan serupa.
Meskipun diagnosis pasti skabies yaitu apabila ditemukan tungau (kutu
Sarcoptes scabiei) di ruam yang terdapat kunikulus (terowongan), dari
gejala yang ada sudah mengarah ke skabies. Setelah itu, saya memberikan
terapi serta edukasi pada pasien. Saya ingin memberikan salep permetrin
namun karena tidak tersedia sehingga saya berikan salep 2-4 yang
digunakan 2 kali sehari serta klorfeniramin maleat yang diminum 3 kali
sehari. Selain itu, saya menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit
skabies, penyebabnya, cara penularannya, serta pengobatannya termasuk
cara penggunaan salep. Saya melakukan edukasi berupa anjuran untuk
mencuci sprei, handuk, dan pakaian di air hangat, rutin untuk menjemur
kasur, tidak menggunakan handuk dan pakaian bersama, menjaga
higienitas diri sendiri serta lingkungan dan menganjurkan kepada anggota
keluarga lain untuk berobat untuk memutuskan rantai penularan.
B. Nomor Rekam Medik : -
C. Diagnosis Holistik
 Aspek personal
Pasien datang dengan keluhan gatal di jari-jari tangan serta badan
sejak 2 minggu yang lalu, terutama pada malam hari. Kedua orang
tua serta adik pasien mengalami hal serupa. Pasien sudah berobat
sebelumnya dan sudah menggunakan salep namun keluhan masih
ada. Pasien merasa tidak nyaman dengan keluhannya tersebut dan
ingin gatalnya cepat hilang.
 Aspek klinis
Skabies dengan infeksi sekunder (S72)
 Aspek faktor risiko internal
Pasien mengaku kasur jarang dijemur
 Aspek faktor risiko eksternal
Kedua orang tua serta adik pasien memiliki keluhan serupa. Pasien
tidur bersama kedua orang tua dan adiknya.
 Aspek fungsional
Skala 1
D. Tatalaksana
 Nonfarmakologi
- Edukasi mengenai penyakit skabies (penyebab, cara penularan,
penatalaksanaan, anjuran seluruh anggota keluarga untuk
diobati, larangan untuk tidak menggaruk saat gatal, cara
penggunaan salep, efek samping obat, pencegahan)
- Anjuran untuk mencuci sprei, handuk, pakaian di air hangat
- Anjuran untuk menjemur kasur di panas matahari
- Tidak menggunakan alat pribadi, seperti alat mandi bersama-
sama
- Menjaga higienitas pribadi dan lingkungan
 Farmakologi
- Salep 2-4 dioleskan ke bagian yang gatal dan terdapat ruam
sebanyak 2x sehari setelah mandi, digunakan selama 3 hari
berturut-turut (efek samping salep ini menimbulkan bau, dapat
mengotori pakaian, serta terkadang menimbulkan iritasi pada
kulit)
- Klorfeniramin maleat 3x4 mg/hari setelah makan (efek
samping obat berupa mengantuk, menurunkan konsentrasi,
reaksi alergi, gangguan gastrointestinal)
RESEP
R/Salep 2-4 tube No. I
ʃ 2 dd ue
R/Klorfeniramin maleat tab 4 mg No. X
ʃ 3 dd 1 tab pc

E. Refleksikan Perbedaan antara Teori dan Praktek


Tindakan yang saya lakukan yang menurut saya benar
Menurut saya, saya sudah melakukan anamnesis serta pemeriksaan fisik
sesuai dengan langkah-langkah penegakkan diagnosis yang sudah
diajarkan. Ketika pasien datang dengan keluhan gatal, saya memikirkan
beberapa diagnosis banding seperti dermatitis kontak alergi, dermatitis
kontak iritan, urtikaria, skabies. Namun saat saya melakukan anamnesis
lebih lanjut dan melihat lesi di kulit pasien, dimana ditemukan riwayat
gatal yang terutama dirasakan pada malam hari, adanya keluhan serupa di
anggota keluarga yang lain, riwayat kontak erat antar anggota keluarga,
serta lesi di kulit yang terutama ditemukan di jari dan perut, semakin
mengarahkan diagnosis skabies. Diagnosis pasti skabies bila ditemukan
tungau Sacroptes scabiei melalui pemeriksaan mikroskopis, namun karena
keterbatasan alat, bahan, serta tenaga sehingga melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang tajam dapat mendukung diagnosis tersebut.
Berdasarkan teori, skabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh
infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes sabiei dan produknya.
Aktivitas Sarcoptes scabiei di kulit menimbulkan respons imunitas selular
dan humoral serta mampu meningkatkan igE baik di serum maupun di
kulit. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekreta dan
eksreta tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah investasi.
Kelainan kulit dapat tidak hanya disebabkan oleh tungau skabies, tetapi
juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Masa inkubasi berlangsung
selama 4-6 minggu. Skabies sangat menular, transmisi melalui kontak
langsung dari kulit ke kulit, sedangkan transmisi tidak langsung melalui
benda yang terkontaminasi. Tungau Sarcoptes sabiei dapat hidup di luar
tubuh manusia selama 24-36 jam. Penyakit ini dipengaruhi berbagai
faktor, antara lain sosial ekonomi yang rendah, hygiene yang buruk,
hubungan seksual yang sifatnya promiskuitas.1,2
Setelah diagnosis ditegakkan, selanjutnya saya memberikan tatalaksana
farmakologi berupa pemberian salep 2-4 2 kali setiap habis mandi selama
3 hari berturut-turut dan klorfeniramin maleat 3x sehari untuk mengurangi
gatalnya. Selain itu, saya berikan penjelasan juga mengenai efek samping
yang ditimbulkan oleh obat yang saya berikan. Karena penyakit skabies ini
merupakan penyakit yang berkaitan erat dengan perilaku serta cara
penularannya yang mudah sehingga saya berikan edukasi kepada pasien
selengkap mungkin berupa mengenai penyakit skabies (penyebab, cara
penularan, penatalaksanaan, anjuran seluruh anggota keluarga untuk
diobati, larangan untuk tidak menggaruk saat gatal, cara penggunaan
salep), anjuran untuk mencuci sprei, handuk, pakaian di air hangat ,
anjuran untuk menjemur kasur di panas matahari ,tidak menggunakan alat
pribadi, seperti alat mandi bersama-sama, menjaga higienitas pribadi dan
lingkungan.1,2,3
Tindakan yang saya rasakan masih kurang, antara lain
Dalam melakukan anamnesis, saya masih kurang dalam menggali faktor
risiko terjadinya skabies pada pasien ini. Skabies sering menyerang
sekelompok manusia yang tinggal bersama seperti di pesantren, saya
sudah menanyakan pendidikan pasien namun saya tidak menanyakan usia
adiknya, sudah bersekolah atau belum serta sekolah dimana yang mungkin
saja tinggal di pesantren sehingga dapat menjadi salah satu faktor risiko
terjadinya skabies pada keluarga ini. Saya juga kurang menanyakan lebih
dalam mengenai higienitas pasien seperti penggunaan air bersih, jenis
sabun mandi yang dipakai, penggunaan alat mandi, penggunaan alas kaki,
jenis lantai rumah dan ada tidaknya riwayat sering bermain di kebun. Saya
juga kurang memberikan edukasi kapan pasien harus kontrol kembali.
Tatalaksana skabies membutuhkan kepatuhan berobat yang tinggi dari
pasien karena ada aturan khusus untuk penggunaan obatnya serta
membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga penting untuk melakukan
edukasi kapan pasien harus kembali lagi ke dokter.
Menurut pendapat saya, timbulnya perbedaan antara teori dan fakta
yaitu
Berdasarkan teori, diagnosis pasti skabies apabila ditemukan tungau
Sarcopetes scabiei melalui pemeriksaan mikroskopis. Namun dalam
praktiknya sulit untuk diaplikasikan di fasilitas pelayanan kesehatan
primer karena keterbatasan alat, bahan, serta tenaga. Selain itu, sebenarnya
dalam mendiagnosis skabies tidak selalu harus ditemukan tungau.
Terdapat 4 tanda cardinal skabies, yaitu pruritus nokturna, menyernag
sekelompok manusia, ditemukannya terowongan (kanalikulus) pada
tempat-tempat predileksi seperti sela-sela jari tangan, pergelangan tanga
bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae,
umbilikus, bokong, genitalia eksterna, serta daerah punggung bawah, dan
ditemukannya tungau melalui pemeriksaan mikroskopis. Diagnosis
skabies ditegakkan bila ditemukan dua dari empat tanda kardinal
tersebut.1,2
Terdapat beberapa pilihan obat untuk skabies yang masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan. Pilihan obat skabies, antara lain
sulfur presipitatum 4-20%, emulsi benzil benzoas 20-25% , gemeksan 1%,
krotamiton 10%, serta permetrin. Berdasarkan pengetahuan yang sudah
saya dapatkan, pasien skabies umumnya diberikan krim permetrin karena
bersifat skabisid, digunakan 1x, tidak berbau, tidak mengotori pakaian,
serta jarang menimbulkan iritasi meskipun permetrin tidak dianjurkan
pada pasien di bawah usia 2 bulan. Namun di pustu ini tidak tersedia krim
permetrin sehingga pasien skabies diberikan salep 2-4 yang mengandung
sulfur presipitatum. Sulfur presipitatum ini tidak efektif terhadap stadium
telur sehingga harus digunakan selama 3 hari berturut-turut. Selain itu,
sulfur presipitatum berbau, dapat mengotori pakaian, serta terkadang dapat
menimbulkan iritasi.3
Setelah saya membaca kembali literatur kemungkinan pasien ini ada
infeksi sekunder akibat garukannya tersebut. Berdasarkan panduan praktik
klinik bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer disebutkan
bahwa lesi pada skabies itu berupa terowongan (kanalikuli) berwarna putih
atau abu-abu dengan panjang rata-rata 1 cm. Di bagian ujung terowongan
terdapat papul atau vesikel. Bila disertai infeksi sekunder dapat ditemukan
pustul, ekskoriasi hingga krusta. Apabila disertai infeksi sekunder,
seharusnya saya juga memberikan salep antibiotik dapat berupa
gentamisin salep 2x sehari di bagian kulit yang dicurigai adanya infeksi
sekunder.2
Berdasarkan teori, puskesmas pembantu merupakan unit pelayanan
kesehatan yang berfungsi menunjang dan membantu melaksanakan
kegiatan-kegiatan yang dilakukan puskesmas dalam ruang lingkup wilayah
yang lebih kecil. Wilayah kerja pustu sendiri minimal terdiri dari satu desa
namun dalam keadaan tertentu dapat mencakup dua desa atau lebih dengan
jumlah penduduk antara 2500-10.000 jiwa. Puskesmas Jambe membawahi
10 desa namun hanya memiliki 1 puskesmas pembantu di desa Taban.
Puskesmas pembantu melayani baik upaya pelayanan kesehatan
perorangan maupun upaya kesehatan masyarakat. Di pustu Taban tidak
semua program kesehatan terlaksana dan belum adanya kegiatan di luar
pustu, kegiatan yang sudah terlaksana seperti upaya pengobatan dasar,
upaya kesehatan ibu dan anak, serta keluarga berencana. Jika dilihat dari
pedoman penyelenggaraannya, di puskesmas pembantu seharusnya ada
standar operasional prosedur (SOP), seperti SOP mencuci tangan steril,
SOP menerima pasien baru, SOP menilai kesadaran dengan pemeriksaan
GCS, SOP pemeriksaan pasien, SOP pemberian injeksi IM,IV,SC, SOP
pemasangan infus, SOP memberi O2 dengan nasal kanul atau masker, SOP
pemasangan kateter, SOP perawatan luka dan luka gangren di kaki.
Namun di pustu tidak terdapat SOP tersebut.
Untuk alur pelayanan di pustu Taban sudah sesuai dengan pedoman
puskesmas pembantu.4
Untuk bangunan ada beberapa standar yang belum terpenuhi seperti di
ruang periksa belum tersedia wastafel. Selain itu, ruangannya belum
terawat dengan baik. Peralatannya belum terlalu lengkap.
Upaya promosi kesehatan juga dirasa kurang karena tidak tersedianya
poster-poster kesehatan di dinding pustu Taban. Berdasarkan pedoman,
pustu seharusnya dikelola oleh 1 orang bidan, 1 orang perawat, serta 1
orang tenaga administrasi. Perawat yang melaksanakan tugas di pustu
harus memiliki surat izin perawat dan surat izin kerja perawat sedangkan
bidan yang bertugas di pustu harus memiliki surat izin bidan surat izin
kerja bidan. Dalam pelaksanaannya pustu Taban hanya dikelola oleh 1
bidan dan 1 perawat.4
Menurut saya kegiatan pustu ini cukup membantu terutama untuk pasien-
pasien yang tidak terjangkau untuk ke puskesmas namun dalam
pelaksanaannya terdapat beberapa kekurangan, di antaranya tidak
tersedianya rekam medik untuk pasien-pasien. Setiap pasien yang berobat
akan ditulis diagnosis dan obat yang diberikan di satu buku besar.
Meskipun demikian, untuk melihat perkembangan penyakit pasien
terutama untuk penyakit-penyakit yang membutuhkan monitoring seperti
hipertensi, cukup sulit karena tidak adanya rekam medik untuk masing-
masing pasien tersebut. Berdasarkan pedoman, di puskesmas pembantu
seharusnya tetap diadakan rekam medik yang sesuai dengan aturan yang
ada.
Hal yang dapat dipelajari untuk perbaikan ke depannya
Dari kasus ini, saya menyadari bahwa saya kurang memahami obat-obatan
skabies mengenai indikasi, kontraindikasi, efek samping, serta
efektivitasnya. Untuk ke depannya saya akan mempelajari lebih dalam
mengenai farmakologi obat skabies sehingga saya dapat memberikan
pengobatan kepada pasien sesuai dengan prinsip farmakologi dengan
memperhatikan indikasi, efektivitas, keamanan, serta harga.
Dari pengalaman bertugas di pustu ini saya mendapatkan banyak
pengalaman yang dapat dijadikan bekal untuk menjadi dokter kelak, di
antaranya
(1) Bekerja dalam keterbatasan, saat bertugas di pustu kami menghadapi
berbagai keterbatasan seperti keterbatasan tenaga, obat, serta peralatan.
Meskipun pasien di pustu tidak sebanyak di puskesmas namun dengan
tenaga medis yang hanya 2-3 dirasa kurang terlebih untuk pasien yang
tidak sabar menunggu kadang membuat pemeriksa menjadi kewalahan.
Selain itu, timbangan bayi disana juga rusak sehingga menyulitkan
pemeriksa untuk mengukur berat badan bayi dengan benar terkadang
bahkan tidak ditimbang. Untuk obat-obatan tidak semua obat tersedia
serta jumlahnya terbatas, hal ini cukup menyulitkan pemeriksa.
Sebagai contoh pasien dengan hipertensi grade II jika dilihat dari
pedoman Perki seharusnya diberikan dua macam obat untuk sebulan
namun di pustu hanya boleh diberikan satu macam obat dan maksimal
pemberian untuk 2-3 hari. Hal tersebut ditakutkan akan menurunkan
kepatuhan berobat pasien karena harus lebih sering mengambil obat.
(2) Kerjasama tim, pada saat bekerja dalam situasi dengan berbagai
keterbatasan dengan tuntutan yang cukup tinggi memang dibutuhkan
satu orang sebagai pemimpin dan dibutuhkan kerjasama tim yang baik,
seperti untuk mengatur dan menertibkan pasien, melakukan
pemeriksaan dengan efektif dan efisien. Selain itu, dibutuhkan juga
komunikasi serta koordinasi yang baik antar petugas-petugasnya.
Nilai profesionalisme serta agama yang dapat saya ambil dari kasus
ini
Dari kasus ini dapat diambil pelajaran bahwa dokter harus cepat dan tegas
dalam mengambil keputusan, seperti dalam memilih obat. Disini peran
dokter sebagai decision maker. Apabila tidak tersedia obat yang ingin
berikan maka seorang dokter harus memilih obat alternatif yang lain yang
sama efektifnya dengan obat yang semula akan diberikan. Dalam hal ini,
seorang dokter juga harus memiliki pengetahuan yang luas mengenai obat-
obatan. Dalam hal ini, dokter juga berperan sebagai manager karena dokter
dianggap memiliki kemampuan untuk mengkoordinasikan dan mengatur
ketersediaan sumber daya yang ada untuk memberikan pelayanan
kesehatan. Selain itu, seorang dokter dianggap sebagai sosok yang cukup
disegani dan didengar. Oleh karena itu sebagai seorang dokter seharusnya
tidak hanya cerdas dalam hal teori kedokteran namun juga bertutur kata
yang baik, menjalin hubungan/kerjasama yang baik antar profesi
kesehatan yang lain serta hendaknya memiliki pribadi yang santun dan
bijaksana.
Nilai profesionalisme lain yang dapat diterapkan yaitu komunikator.
Sudah seharusnya seorang dokter memiliki kemampuan berkomunikasi
yang baik antar teman sejawat, antar profesi kesehatan, antar profesi
nonkesehatan, keluarga pasien serta pasien.
Penyakit skabies erat hubungannya dengan perilaku seseorang. Islam
mengajarkan untuk memelihara kebersihan diri sendiri maupun
lingkungan sehingga hendaklah kita menjaga kebersihan diri sendiri dan
lingkungan. Sesuai dengan hadis Rasulullah SAW

F. Daftar Pustaka
1. Menaldi SL. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 7. Jakarta : Badan
Penerbit FK UI ; 2015.
2. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. 2014
3. Gunawan, Sulistia Gan. Buku Farmakologi dan Terapi ed 5. Jakarta :
Departemen Farmakologi dan Terapi FKUI. 2007
4. Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Pedoman
Puskesmas Pembantu. Surabaya. 2013
Gambar 5. Pada saat melakukan anamnesis

Gambar 6. Lesi pada pasien

Gambar 7. Obat yang diresepkan untuk pasien


Feedback dari pembimbing puskesmas

Feedback dari pembimbing kampus

Nama mahasiswa Amalina Fitrasari TTD


Nama pembimbing dr. Siti Nur Aisyah Jauharoh, PhD TTD

dr.Restu Laila Fitri TTD


LAPORAN KEGIATAN
KINERJA EKSTERNAL PUSKESMAS
POS PELAYANAN TERPADU (POSYANDU)

Nama Kegiatan : Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu)


Tempat : Posyandu Cendrawasih II, Desa Taban, Kec.
Jambe
Tanggal : Senin, 8 April 2018

A. Deskripsi Kegiatan
Pada hari Senin, 8 April 2019 saya beserta dua orang dokter muda
yang lain mengikuti salah satu kegiatan eksternal puskesmas, yaitu
posyandu.
Puskesmas Jambe membawahi 10 desa, yang masing-masing desa
memiliki 5-9 posyandu dan masing-masing dibina oleh satu bidan
desa. Posyandu di semua desa dilaksanakan sebanyak satu kali tiap
bulannya.
Posyandu yang saya ikuti ini terletak di Desa Taban yang dibina oleh
bidan desa Siti. Di desa tersebut terdapat tujuh posyandu, yaitu
posyandu cendrawasih I-VII. Setiap satu posyandu memiliki 5 kader
kesehatan yang bertugas untuk membantu puskesmas dalam
memberikan pelayanan serta pendidikan kesehatan kepada masyarakat.
Pada pagi itu kamu berangkat pukul 08.30, jarak dari puskesmas ke
posyandu sekitar 3 km. Saat kami tiba, disana sudah ada banyak pasien
dan tiga kader yang sudah mulai melakukan pendaftaran dan timbang
berat badan. Selain itu, kami juga didampingi oleh dua orang bidan.
Kami membagi tugas, satu orang di bagian pendaftaran dan mengukur
bb, tb, serta lingkar kepala untuk bayi, satu orang di bagian imunisasi
dan pemeriksaan ibu hamil, serta satu orang lagi di bagian
pemeriksaan tumbuh kembang anak. Kami saling bertukar tempat
supaya dapat merasakan seluruh pelayanan. Disana, sebagian besar
pasien adalah pasien anak hanya beberapa ibu hamil. Pertama saya
membantu kader untuk melakukan pengukuran berat badan, tinggi
badan, serta lingkar kepala pada bayi dan balita. Hasil pengukuran
tersebut dicatat di buku KIA (warna pink) serta di satu buku besar
untuk dokumentasi. Pengukuran berat badan dilakukan dengan
menggunakan timbangan gantung. Setelah selesai pengukuran, untuk
bayi dan balita yang akan diimunisasi maka langsung ke bagian
imunisasi apabila tidak ingin diimunisasi maka ke bagian pemeriksaan
tumbuh kembang. Selanjutnya saya bertugas di bagian imunisasi, saat
itu saya melakukan beberapa imunisasi seperti imunisasi campak,
pentabio, serta imunisasi TT untuk ibu hamil. Setelah selesai
imunisasi, kemudian bidan Siti menuliskan catatan di buku KIA
berupa jenis imunisasi serta tanggal pemberian. Selain itu, saya juga
mengobservasi bagaimana bidan memberikan edukasi mengenai efek
samping imunisasi dan pengobatan profilaksis kepada pasien.
Selain itu saya juga melakukan pemeriksaan pada ibu hamil (antenatal
care) meliputi pemeriksaan tanda vital, pengukuran berat badan ibu
dan evaluasi penambahan berat badan ibu, pemeriksaan leopold serta
DJJ. Setelah selesai pemeriksaan, ibu hamil diberikan suplementasi
besi, kalsium serta dilakukan edukasi mengenai hal-hal yang perlu
diperhatikan selama kehamilan, perencanaan persalinan, tanda- tanda
kegawatdaruratan pada kehamilan. Setelah selesai pemeriksaan, bidan
memberikan catatan tentang keluhan dan hasil pemeriksaan serta
rencana tatalaksana selanjutnya di buku KIA.
Saya juga melakukan observasi pemeriksaan tumbuh kembang anak
menggunakan kuisioner pra-skrining perkembangan (KPSP).
Pelayanan selesai ketika tidak ada pasien lagi. Sebelum kembali ke
puskesmas, saya sedikit mewawancarai salah satu kader disana
mengenai pelaksanan posyandu di Desa Taban.
Kami selesai sekitar pukul 12.00 dan bersiap kembali ke puskesmas.

B. Refleksi Perbedaan antara Teori dan Praktik yang Dilakukan


Tindakan yang saya rasakan sudah sesuai
Sebelum bertugas di posyandu, saya sudah membaca sekilas mengenai
panduan posyandu meskipun belum pernah bertugas di posyandu
namun sudah ada gambaran mengenai apa saja yang akan saya lakukan
nanti.
Pada saat melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan, serta
lingkar kepala sudah sesuai dengan apa yang telah diajarkan.
Saat melakukan imunisasi, saya berusaha untuk melakukannya dengan
benar seperti indikasi serta lokasi/cara pemberian. Sebelum melakukan
imunisasi, saya tanyakan terlebih dahulu usianya untuk memastikan
ketepatan imunisasi kemudian membantu bidan untuk mempersiapkan
alat seperti obat, spuit, serta alcohol swab. Setelah semua alat siap,
saya mulai melakukan pemberian imunisasi sesuai dengan aturannya.
Saat itu saya melakukan imunisasi pentabio, campak, serta TT.
Imunisasi pentabio (DPT-Hep B-Hib) dilakukan pada usia 2, 3, dan 4
bulan, lokasi penyuntikan di anterolateral femur (pentabio 1 di femur
dextra, pentabio 2 di femur sinistra, pentabio 3 di femur dextra) secara
intramuscular dapat memberikan kekebalan terhadap penyakit difteri,
pertusis, tetanus, hepatitis B, serta infeksi akibat Haemophilus
influenzae tipe B.1
Imunisasi campak dilakukan pada usia 9 bulan, diberikan di lengan kiri
atas secara subkutan dengan dosis 0,5 cc dan memberikan kekebalan
terhadap penyakit campak.1
Sedangkan imunisasi polio diberikan melalui oral sebanyak 2 tetes dan
memberikan kekebalan terhadap penyakit polio.1
Imunisasi BCG di lengan kanan atas bagian luar dengan dosis 0,05 cc
dapat memberikan kekebalan terhadap penyakit tuberculosis.1
Selain pada bayi dan balita, ibu hamil juga diberikan imunisasi TT
(tetanus toksoid). Imunisasi TT bertujuan untuk mencegah penyakit
tetanus dilakukan sebanyak lima kali. TT 1 pada kunjungan pertama,
TT 2 sekitar 4 minggu setelah TT pertama, TT 3 dilakukan 6 bulan
setelah TT kedua, TT 4 dilakukan setelah 1 tahun setelah TT ketiga,
TT 5 dilakukan 1 tahun setelah TT keempat.2
Pemeriksaan ibu hamil sudah sesuai anjuran antenatal care dari WHO
meliputi 10 T (timbang, tensi, LILA, TFU, TT, tablet tambah darah,
presentasi & DJJ, tes laboratorium khusus (seperti hepatitis B, HIV,
TORCH), tatalaksana khusus, temu wicara.2 Di posyandu Taban
hampir semua sudah terlaksana kecuali pemeriksaan laboratorium
khusus karena memang tidak ada yang terindikasi.
Setiap ibu hamil akan ditimbang dan dievaluasi penambahan berat
badannya. Selain itu ibu hamil yang saat diperiksa tekanan darah tinggi
maka diberikan obat antihipertensi dan diminta untuk kontrol kembali
ke pustu atau puskesmas. Selanjutnya saya melakukan pemeriksan
fisik berupa pemeriksaan leopold dan DJJ.
Pemeriksaan leopold 1 untuk menentukan TFU serta bagian janin yang
terletak di fundus , leopold 2 untuk menentukan bagian janin pada sisi
kiri dan kanan ibu, leopold 3 untuk menentukan presentasi, dan
leopold 4 untuk menentukan berapa jauh masuknya janin ke pintu atas
panggul. Kemudian diperiksa juga denyut jantung janin menggunakan
DJJ Doppler. Selanjutnya pada ibu yang belum diberikan imunisasi
TT, maka diberikan saat itu juga. Setelah selesai pemeriksaan dan
pemberian imunisasi, ibu diberikan tablet Fe dan Kalsium.2
Tindakan yang saya rasakan masih kurang, antara lain
Saat memberikan imunisasi, saya tidak menggunakan APD, seperti
sarung tangan karena memang tidak disediakan oleh pihak puskesmas.
Selain itu saya juga tidak melakukan prosedur cuci tangan sebelum dan
setelah tindakan. Saya kurang terampil dalam memberikan imunisasi
karena ini merupakan pengalaman pertama saya untuk memberikan
imunisasi. Selain itu, saya juga masih bingung saat melakukan edukasi
setelah imunisasi seperti apa saya yang harus diedukasi, saran apa
yang harus diberikan apabila terdapat kejadian ikutan pasca imunisasi
(KIPI).
KIPI merupakan kejadian medik yang diduga berhubungan dengan
imunisasi. baik berupa efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas,
reaksi sensitivitas, efek farmakologis, atau kesalahan program,
koinsidensi, reaksi suntikan, atau hubungan kausal yang tidak dapat
ditentukan.3 KIPI dapat diklasifikasikan menjadi (1) induksi vaksin,
yaitu terjadinya KIPI disebabkan oleh faktor instrinsik vaksin terhadap
individual (2) provokasi vaksin, yang berarti gejala klinis yang timbul
dapat terjadi kapan saja yang merupakan hasil provokasi vaksin yang
diberikan (3) kesalahan, gejala KIPI timbul sebagai akibat kesalahan
pada teknik pembuatan, pengadaan, atau pemberian (4) koinsidensi,
yang artinya KIPI terjadi bersamaan dengan gejala penyakit lain yang
sedang diderita.4

Gambar 8. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)


Sebelum memberikan imunisasi saya tidak melihat buku catatan
imunisasi setiap anak sehingga tidak mengetahui apakah imunisasi
sudah lengkap atau belum, serta sudah sesuai waktunya atau tidak.
Saya tidak melakukan pemeriksaan pertumbuhan dan perkembangan
bayi dan balita menggunakan KPSP.
Terdapat beberapa perbedaan antara teori dan fakta yang
ditemukan
Secara teori posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan
Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dilaksanakan oleh, dari dan
bersama masyarakat, untuk memberdayakan dan memberikan
kemudahan kepada masyarakat guna memperoleh pelayanan kesehatan
bagi ibu, bayi dan anak balita. Di posyandu terdapat dua kegiatan,
yaitu kegiatan utama dan kegiatan pengembangan. Kegiatan utama
terdiri dari kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, imunisasi,
gizi, serta pencegahan dan penanggulangan diare. Sedangkan kegiatan
pengembangan meliputi bina keluarga balita (BKB), tanaman obat
keluarga (TOGA), bina keluarga lansia (BKL), pos pendidikan anak
usia dini (PAUD), serta berbagai program pembangunan masyarakat
desa lainnya.5 Di posyandu Taban baru terlaksana kegiatan utama dan
yang rutin dilaksanakan adalah pelayanan kesehatan ibu dan anak,
imunisasi, gizi, serta keluarga berencana.
Dalam penyelenggaraan posyandu, dibutuhkan pengelola yang
sedikitnya terdiri dari ketua, sekretaris, dan bendahara. Namun
demikian, posyandu di Puskesmas Jambe hanya dikelola oleh seorang
bidan desa. Menurut buku panduan, pelaksanaan posyandu minimal
satu kali dalam sebulan dan lokasi pelaksanaan sebaiknya di tempat
yang mudah dijangkau oleh masyarakat.5
Terlaksananya kegiatan posyandu membutuhkan peran penting dari
kader kesehatan. Tugas kader sebelum hari buka posyandu, yaitu
melakukan persiapan penyelenggaraan, menyebarluaskan informasi
mengenai pelaksanaan posyandu, melakukan pembagian tugas antar
kader, meliputi pendaftaran, penimbangan, pencatatan, penyuluhan,
pemberian makanan tambahan, serta pelayanan yang dapat dilakukan
oleh kader, melakukan koordinasi dengan petugas kesehatan, dan
menyiapkan bahan penyuluhan dan pemberian makanan tambahan
serta menyiapkan buku-buku catatan kegiatan Posyandu. Sedangkan
tugas kader saat hari buka posyandu, antara lain melakukan
pendaftaran, membantu petugas puskesmas memberikan pelayanan
kesehatan ibu dan anak, membimbing orangtua melakukan pencatatan
terhadap berbagai hasil pengukuran dan pemantauan kondisi anak
balita, melakukan penyuluhan tentang pola asuh anak balita,
memotivasi orangtua balita agar terus melakukan pola asuh yang baik
pada anaknya, menyampaikan informasi pada orangtua agar
menghubungi kader apabila ada permasalahan terkait dengan anak
balitanya dan minta mereka untuk kembali pada hari Posyandu
berikutnya, serta melakukan pencatatan kegiatan yang telah dilakukan
pada hari buka Posyandu. Setelah hari buka posyandu, kader memiliki
tugas, seperti melakukan kunjungan rumah pada balita yang tidak hadir
pada hari buka Posyandu, anak yang kurang gizi, atau anak yang
mengalami gizi buruk rawat jalan, memotivasi masyarakat, melakukan
pertemuan dengan tokoh masyarakat, pimpinan wilayah untuk
menyampaikan hasil kegiatan Posyandu, menyelenggarakan
pertemuan, diskusi dengan masyarakat, untuk membahas kegiatan
Posyandu, mempelajari Sistem Informasi Posyandu (SIP).5
Beberapa materi yang menjadi bahan edukasi dan konseling kepada
masyarakat, yaitu PHBS, pengaturan kelahiran, pemeriksaan
kehamilan, makanan yang sehat bagi ibu hamil, menjaga kebersihan
diri, mengenali tanda-tanda bahaya bagi ibu hamil, mengenali tanda-
tanda persalinan, mengenali tanda-tanda bahaya bagi ibu bersalin,
menjaga kesehatan pada ibu nifas, mengenali tanda bahaya pada ibu
nifas, pentingnya menggunakan KB, jenis KB dan cara penggunaanya.
Selain kader juga memberikan edukasi pada ibu mengenai pentingnya
pemberian ASI, pola makan anak, tumbuh kembang anak, pencegahan
supaya anak tidak sakit.5
Masing-masing posyandu di Desa Taban memiliki lima orang kader.
Berdasarkan diskusi saya dengan salah satu kader, pemilihan kader
secara sukarelawan. Untuk tugasnya sesuai dengan di buku panduan
namun memang belum semua tugas terlaksana dengan maksimal.
Untuk pelatihan kader dapat dilaksanakan di puskesmas maupun di
Dinkes.
Dalam penyelenggaraan posyandu Taban, untuk lokasinya di tengah
pemukiman warga sehingga cukup terjangkau namun tempatnya
sempit hanya sekitar 2x2 m2. Ruangannya kotor, berdebu, lembab, dan
panas. Berdasarkan wawancara kepada salah satu kader bahwa gedung
posyandu ini selalu dibersihkan setiap satu kali sebulan dan digilir
antar kader untuk membersihkannya.
Untuk alur pelayanan pada hari buka posyandu, antara lain
1.) Untuk bayi dan balita : pendaftaran  ukur BB, TB, dan lingkar
kepala  imunisasi  pemeriksaan tumbuh kembang. (pada bayi
dan balita yang tidak diimunisasi langsung ke bagian pemeriksaan
tumbuh kembang)
2.) Untuk ibu hamil : pendaftaran  ukur BB  pemeriksaan fisik
(meliputi tekanan darah, frekuensi nadi, pemeriksaan leopold dan
DJJ) apabila tidak ada keluhan, ibu diberikan suplemen besi dan
kalsium serta dilakukan konseling (untuk ibu membutuhkan
tatalaksana farmakologi maka diberikan obat)
Karena ruangannya sempit selain itu kurang adanya koordinasi
antar kader sehingga ruangan penuh oleh pasien dan petugas
sehingga pelayanannya menjadi tidak teratur.
Pada saat pemeriksaan berat badan anak, masih menggunakan
timbangan gantung. Saat melakukan pemberian imunisasi tidak
disediakan APD seperti sarung tangan, masker untuk petugas. Hal
tersebut dapat meningkatkan risiko cedera pada petugas. Selain itu,
saat pemeriksaan leopold pada ibu hamil dilakukan di ruang
terbuka karena tidak tersedia ruangan khusus maupun tirai penutup
sehingga mengurangi privasi pasien. Di samping itu, di posyandu
Taban tidak disediakan tempat menunggu yang nyaman untuk
pasien.

Hal yang dapat saya pelajari untuk ke depannya, antara lain


Untuk ke depannya, saya akan lebih mempelajari mengenai
imunisasi meliputi jenis, indikasi, cara pemberian, efek samping.
Saya juga harus banyak berlatih dalam memberikan imunisasi
supaya semakin terampil sehingga dapat bersifat profesional.
Selain itu saya juga harus berlatih kembali untuk memberikan
edukasi mengenai efek samping, kejadian ikutan pasca imunisasi,
juga mengenai apa yang harus dilakukan oleh orang tua jika
anaknya mengalami hal tersebut. Selain itu, saya harus lebih
belajar untuk melakukan edukasi dan konseling pada ibu hamil,
karena di posyandu Taban sebagian besar masyarakatnya
pendidikannya rendah sehingga masih banyak ibu hamil meskipun
periksa ke posyandu namun tidak menutup kemungkinan untuk
melahirkan dengan bantuan paraji. Disini juga dibutuhkan peran
pihak puskesmas dan kader setempat untuk mengajak para ibu
hamil bersalin di fasilitas kesehatan, mungkin lebih harus
ditekankan mengenai berbagai komplikasi yang dapat terjadi dalam
persalinan yang hanya dapat ditangani di fasilitas kesehatan seperti
puskesmas. Saya juga harus lebih berlatih untuk melakukan
pemeriksaan tumbuh kembang pada anak.
Nilai profesionalisme dan agama yang dapat saya ambil dari
kasus ini, yaitu
Dari pengalaman bertugas di posyandu saya belajar bahwa seorang
dokter harus selalu bersikap profesional terlebih di depan pasien
meskipun belum terbiasa melakukan suatu tindakan supaya pasien
tidak meragukan dokter tersebut. Saat saya bertugas di puskesmas
saya senang sekali jika terlibat dalam kegiatan eksternal. Karena
saya merasa bisa lebih dekat dengan pasien, dapat melihat
lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Selain itu juga kami dituntut
untuk berkerja dengan berbagai keterbatasan. Jadi sebagai seorang
dokter harus dapat memberikan pelayanan tidak hanya di dalam
gedung (kegiatan internal) namun juga dapat bekerja di luar
(kegiatan eksternal). Dalam hal ini peran dokter sebagai penyedia
layanan kesehatan.
C. Daftar Pustaka
1. Kementerian Kesehatan. Aspek Medis dan Keamanan Vaksin
Kombinasi Pentabio. 2016
2. World Health Organization. Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas
Kesehatan Dasar dan Rujukan. Edisi pertama. Jakarta. 2016
3. Gunardi H, dkk. 2017. Jadwal Imunisasi Anak Usia 0-18 Tahun
Rekomendasi IDAI. Jakarta: Sari Pediatri, Vol. 18, No. 5, Februari
2017.
4. Rezeki S. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Sari Pediatri Vol 2, No
1, Juni 2000 ; 2-10.
5. Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Buku Saku
Posyandu : Ayo ke Posyandu Setiap Bulan. 2012.

Gambar 9. Saat Melakukan Pengukuran Berat Badan Bayi


dan Balita
Gambar 10. Saat Melakukan Imunisasi Campak

Gambar 11. Saat Melakukan Pemeriksaan Ibu Hamil


LAPORAN KEGIATAN

KINERJA EKSTERNAL PUSKESMAS

PROMOSI KESEHATAN PESANTREN

Nama Kegiatan : Promosi Kesehatan Pesantren

Tempat : Pondok Pesantren Al-Falah Salimah, Desa Sukamanah

Tanggal : Sabtu, 6 April 2019

A. Deskripsi Kegiatan
Pada hari sabtu, 6 April 2019 kelompok kami melaksanakan salah satu
kegiatan promosi kesehatan, yaitu penyuluhan kesehatan kepada para
santri di Pondok Pesantren Al-Falah Salimah. Kegiatan ini merupakan
salah satu penilaian kelompok di stase IKK Klinik. Melalui kegiatan ini
kami dilatih untuk memberikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat
awam yang sudah menjadi tugas seorang dokter khususnya di fasilitas
pelayanan kesehatan primer.
Kami memilih pesantren Al-Falah berdasarkan rekomendasi dari dokter
pembimbing kami di puskesmas dengan pertimbangan lokasinya yang
cukup jauh dari perkotaan, kurangnya kesadaran dari para santri untuk
berperilaku hidup bersih dan sehat, serta kepala pondok pesantrennya
merupakan paman dari salah satu bidan desa di Puskesmas Jambe.
Pondok pesantren Al-Falah Salimah sudah berdiri sejak 1950, namun saat
itu bernama Pondok pesantren Miftanul Ulum Al-madsuriyah, sebuah
pondok pesantren salafi (Tradisional) yg dirintis dan didirikan serta di
pimpin oleh K.H.Madsuri Ahan,seorang ulama sekaligus tokoh
masyarakat di kampung tersebut. Pesantren ini terletak di Jl.Salimah RT
11/RW 004 Desa Sukamanah, Kecamatan Jambe, Kabupaten Tangerang,
Banten. Pondok pesantren ini terletak cukup jauh dari puskesmas Jambe
sekitar 9 km. Desa Sukamanah merupakan desa yang paling jauh dari 10
desa yang dibawahi Puskesmas Jambe sehingga masyarakat di desa
Sukamanah lebih sering berobat ke Pustu Taban yang letaknya lebih dekat
dibandingkan ke Puskesmas Jambe.
Pondok pesantren Al-Falah memiliki 1 gedung sekolah SMP dan SMA
yang terpisah dengan pondok pesantrennya. Selain itu terdapat 1 gedung
bertingkat untuk santri laki-laki dan 2 gedung untuk santri perempuan, 1
aula, 1 kantin, serta 1 rumah petinggi pesantren yang disebut sebagai
“abah”.
Pondok untuk santri perempuan tidak bertingkat namun terdiri dari
beberapa ruangan. Tiap ruangan diisi oleh sekitar 20 orang yang berasal
dari kelas 1 SMP hingga 1 SMA. Di bagian depan pondok perempuan,
digunakan sebagai tempat menjemur pakaian. Apabila hujan datang, sering
terdapat genangan air di selokan-selokan depan pondok tersebut. Luas
ruangan sekitar 6 x 6 m2, dindingnya terbuat dari tembok yang dilapisi cat,
lantainya terbuat dari keramik, terdapat enam belas jendela yang ditutupi
oleh kertas serta tidak pernah dibuka dan dibersihkan, pencahayaannya
dirasa kurang dengan satu lampu yang cukup redup, ventilasi udara berasal
dari lubang ventilasi di beberapa bagian. Ada beberapa bagian atap yang
sudah rusak. Di dalam ruangan tersebut, terdapat banyak lemari karena
setiap orang memiliki 1-2 lemari yang disusun berjajar. Lemari tersebut
digunakan untuk menyimpan baju, aksesoris, maupun alat tulis. Di
temboknya terdapat beberapa baju yang digantung. Para santri tidur
menggunakan kasur lipat bersama-sama. Saat pertama kali saya masuk ke
ruangan tersebut, kesan yang saya rasakan adalah ruangannya lembab,
redup, serta cukup panas. Kamar mandi untuk santri perempuan berjumlah
empat yang terletak di belakang pondoknya. WC yang digunakan adalah
wc jongkok. Dinding kamar mandi terbuat dari tembok yang dilapisi cat
sedangkan lantainya merupakan keramik. Di dalamnya terdapat 1 wc
jongkok dan 1 bak mandi. Namun sebagian besar pintunya sudah rusak.
Selain itu, bak mandinya kotor, penerangannya redup, baik di dalam
maupun di luar kamar mandi banyak terdapat genangan air. Di samping
itu, kamar mandi terletak di bagian belakang pondok, di sekelilingnya
merupakan tanah kosong, di bagian luar kamar mandi beralaskan tanah.
Sumber airnya berasal dari air pam yang terbagi ke seluruh kamar mandi
di pondok pesantren tersebut. Berdasarkan wawancara dari santri
perempuan, ada jadwal untuk membersihkan kamar serta kamar mandi
yang digilir setiap minggunya.
Pondok untuk santri laki-laki tidak jauh berbeda dengan santri perempuan.
Hal yang berbeda yaitu kamar mandi. Kamar mandi untuk santri laki-laki
merupakan suatu ruangan terbuka tanpa sekat, dindingnya berasala dari
tembok tanpa cat dan beralaskan semen yang dipadatkan sehingga para
santri pria mandi bersama-sama.
Aula terletak di bagian depan pondok yang digunakan sebagai tempat
untuk melaksanakan kegiatan seperti mengaji, ceramah. Pondok pesantren
tersebut memiliki kantin yang terletak di bagian belakang pondok
Sebelum melakukan penyuluhan, kami sudah mengunjungi pesantren
tersebut untuk meminta izin serta menjelaskan tujuan kami kepada kepala
sekolah disana kemudian kami berkeliling untuk melihat keadaan
pesantren selanjutnya kami melakukan wawancara kepada beberapa orang
santri mengenai perilaku kebersihan dan kesehatan serta keluhan yang
sering dialami.
Berdasarkan wawancara dari beberapa santri perempuan, keluhan yang
sering dialami oleh mereka adalah gatal-gatal terutama saat berkeringat,
dan sering dirasakan di jari-jari, maupun selagkangan.
Berdasarkan hasil wawancara tersebut juga dilihat dari keadaan pondok
pesantren yang berisiko mengalami berbagai penyakit salah satunya
skabies sehingga kelompok kami memutuskan untuk melakukan
penyuluhan tentang skabies dan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat).
Pada hari sabtu kami tiba di Pondok Pesantren Al-Falah pukul 09.30,
sebagian dari kami mempersiapkan untuk presentasi, sebagian yang lain
mempersiapkan kuis dan hadiah. Acara dibuka pada pukul 09.45 dengan
perkenalan dan penjelasan sekilas mengenai tujuan penyuluhan kami.
Sebelum presentasi dimulai kami mengadakan pretest mengenai materi
yang akan disampaikan. Presentasi pertama mengenai PHBS yang
meliputi cara cuci tangan, buang sampah di tempatnya, jamban yang
bersih dan sehat, jajanan sehat, olahraga teratur, tidak merokok, serta
memberantas jentik nyamuk. Setelah sesi tanya jawab materi pertama
selesai, kemudian kami ajak para santri untuk ice breaking. Setelah itu
masuk materi yang kedua tentang skabies yang terdiri dari penyebab,
faktor risiko, gejala, penatalaksanaan serta edukasi. Setelah selesai
penyampaian kedua materi dan sesi tanya jawab, kami mengadakan post
test dengan pertanyaan yang sama dengan pre test untuk menilai apakah
materi yang kami sampaikan dipahami atau tidak oleh adik-adik santri.
Kami juga memilih beberapa santri yang meraih nilai tertinggi pre dan
post test. Acara selanjutnya adalah penyerahan cenderamata untuk pondok
pesantren Al-Falah. Setelah seluruh rangkaian acara selesai, kami beres-
beres untuk bersiap pulang.

B. Refleksikan Perbedaan antara Teori dan Praktik


Tindakan yang saya lakukan menurut saya benar, antara lain
Sebelum menentukan topik penyuluhan, kami sudah berkunjung ke
pondok pesantren Al-Falah untuk mencari tahu permasalahan kesehatan
yang sering dihadapi oleh para santri di pondok pesantren tersebut. Kami
melakukan kunjungan pertama untuk meminta izin dan menjelaskan
maksud dan tujuan kami kepada kepala pondok pesantren. Saat sedang
berkeliling untuk melihat keadaan pondok, saya melakukan wawancara
terhadap beberapa santri perempuan kelas III SMA, berdasarkan wawacara
tersebut keluhan yang sering dialami oleh para santri adalah gatal yang
sering dialami di tangan terutama jari tangan, selangkangan, serta daerah
sekitar payudara. Hampir sebagian besar santri pernah mengalami keluhan
tersebut. Menurut mereka hal tersebut adalah wajar bagi santri dan disebut
sebagai “penyakit kobong”. Menurut saya sebetulnya mereka sudah
mengetahui mengenai penyakit skabies atau “penyakit kobong” tersebut
namun masalah tersebut belum dapat terselesaikan sehingga seakan-akan
semua santri akan mengalami hal tersebut. Selain itu saat saya tanyakan
mengenai perilaku kebersihan disana, mereka mengatakan jarang
menjemur kasur, terkadang saling meminjamkan pakaian meskipun tidak
pernah saling meminjam handuk dan alat mandi.
Saat saya dan teman-teman berkeliling pondok, saya melihat keadaan
“kobong” kotor. Selain itu karena jendela jarang dibuka serta
penerangannya tidak terlalu cukup membuat kondisi di dalam “kobong”
menjadi lembab dan redup. Kurangnya ventilasi dan sinar matahari yang
masuk menyebabkan sirkulasi udara menjadi kurang baik sehingga
berisiko untuk mengalami penyakit terlebih yang penularannya melalui
udara, seperti TB paru, ISPA, penyakit kulit.
Saat saya tanyakan mengenai perilaku hidup bersih dan sehat, mereka
mengatakan terkadang lupa untuk cuci tangan sebelum makan, dan cuci
tangannya jarang menggunakan sabun hanya dengan air mengalir. Mereka
sudah menyadari untuk buang sampah di tempat sampah. Namun di depan
“kobong” apabila hujan datang sering terdapat genangan air sehingga
berisiko menjadi tempat tinggal nyamuk.
Berdasarkan observasi dan wawancara dengan para santri serta sudah
mendapat izin dari kepala pondok pesantren dan dokter pembimbing,
kelompok kami memutuskan untuk memberikan penyuluhan mengenai
penyakit skabies dan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat).
Media penyuluhan yang kami lakukan menggunakan saran audiovisual
melalui presentasi dan demonstrasi. Secara teori, metode penyampaian
informasi di sekelompok orang dapat dilakukan melalui ceramah, seminar,
diskusi kelompok, role play, simulasi, demonstrasi.
Untuk melihat apakah materi penyuluhan kami dapat diterima, saya dan
teman-teman membuat pre dan post test. Dari keseluruhan, terdapat
perbedaan yang signifikan antara pre dan post test sehingga kami
simpulkan penyuluhan yang kami berikan cukup berhasil.
Tindakan yang saya rasakan masih kurang, antara lain
Saat melakukan survei, saya tidak menanyakan kepada masing-masing
santri mengenai masalah kesehatan yang mereka alami, saya hanya
menanyakan kepada beberapa orang santri sehingga kurang
menggambarkan masalah kesehatan di pondok pesantren tersebut. Saat
saya tanyakan kepada pihak sekolah dan puskesmas, mereka tidak
memiliki data mengenai penyakit apa saja yang terdapat di pondok
pesantren Al-Falah. Sebelum hari H, kami tidak berdiskusi mengenai isi
slide yang akan kami presentasikan kepada dokter pembimbing kami di
puskesmas.
Pada saat pelaksanaan, saya tidak menampilkan video mengenai penyakit
skabies sehingga peserta terlihat bosan. Selain itu, saat memeragakan cara
mencuci tangan para santri terlihat tidak antusias mungkin karena kami
kurang menampilkan video atau kurang dapat mengajak peserta untuk ikut
serta.
Indikator yang paling baik untuk melihat keberhasilan penyuluhan/edukasi
adalah melalui perubahan perilaku seseorang. Kekurangan kelompok saya
adalah tidak menindaklanjuti penyuluhan yang kami berikan. Seharusnya
selain mengadakan pre dan post test kami juga memberikan suatu barang
sebagai reminder mengenai isi penyuluhan yang kami berikan, seperti
poster.
Terdapat perbedaan antara teori dan fakta yang ditemukan, yaitu
Pada saat pelaksanaan penyuluhan, saya tidak menemukan adanya
perbedaan antara teori dan fakta.
Secara teori, Skabies adalah penyakit yang disebabkan infestasi dan
sensitisasi kulit oleh tungau Sarcoptes scabiei dan produknya. Penyakit ini
berhubungan erat dengan higiene yang buruk. Penularan dapat terjadi
karena (1) Kontak langsung kulit dengan kulit penderita skabies, seperti
menjabat tangan, hubungan seksual, atau tidur bersama dan Kontak tidak
langsung (melalui benda), seperti penggunaan perlengkapan tidur bersama
dan saling meminjam pakaian, handuk dan alat-alat pribadi lainnya,
tidakmemiliki alat-alat pribadi sendiri sehingga harus berbagi dengan
temannya. Tungau hidup dalam epidermis, tahan terhadap air dan sabun
dan tetap hidup bahkan setelah mandi dengan air panas.
Faktor risiko, antara lain masyarakat yang hidup dalam kelompok yang
padat seperti tinggal di asrama atau pesantren, higiene yang buruk, Sosial
ekonomi rendah seperti di panti asuhan, dan sebagainya, hubungan seksual
yang sifatnya promiskuitas.
Dibutuhkan pemahaman bersama agar upaya eradikasi skabies bisa
melibatkan semua pihak. Bila infeksi menyebar di kalangan santri di
sebuah pesantren, diperlukan keterbukaan dan kerjasama dari pengelola
pesantren. Bila sebuah barak militer tersebar infeksi, mulai dari prajurit
sampai komandan barak harus bahu membahu membersihkan semua
benda yang berpotensi menjadi tempat penyebaran penyakit.1
Materi lainnya adalah PHBS. Di slide kami membahas mengenai beberapa
perilaku hidup bersih dan sehat, seperti cara mencuci tangan, membuang
sampah di tempatnya, jajan sehat di kantin, jamban bersih dan sehat,
olahraga teratur, memberantas jentik nyamuk serta tidak merokok.
Hal yang dapat saya pelajari untuk ke depannya
Saya harus berlatih kembali untuk melakukan penyuluhan di depan
masyarakat awam terutama mengenai perilaku kesehatan agar terbiasa
karena sebagai dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer nanti,
dituntut untuk dapat melakukan promosi kesehatan dengan baik yang salah
satunya melalui penyuluhan kesehatan. Selain itu, apabila di kemudian
hari saya dipercaya untuk memberikan penyuluhan, saya akan berusaha
untuk mengambil pelajaran dari pengalaman ini untuk perbaikan ke
depannya.
Nilai profesionalisme dan agama yang dapat diambil dari kasus ini
Seorang dokter harus menjadi edukator yang baik untuk masyarakat,
dalam proses menjadi edukator yang baik dibutuhkan skill komunikasi
yang baik pula sehingga dalam 5 stars doctor salah satu komponen
pentingnya adalah komunikator. Karena seorang dokter yang dapat
berkomunikasi dengan baik kelak dapat menjadi edukator yang baik
sehingga nasihat-nasihatnya didengar oleh pasiennya.
C. Daftar Pustaka
1. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. 2014
2. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin. Manual Keterampilan
Klinik Kedokteran Komunitas : Teknik Penyuluhan. 2016.

Gambar 11. Saat Melakukan Penyuluhan di Pondok Pesantren Al-Falah


Gambar 12. Bahan Penyuluhan Kesehatan
Gambar 13. Kondisi Pondok Pesantren Al-Falah Salimah
LAPORAN KEGIATAN

MINI CEX

KPKM FKIK UIN JAKARTA

Nama Kegiatan : Mini Cex

Tempat : KPKM FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tanggal : Selasa, 26 Maret 2019

A. Deskripsi Kegiatan
Pada hari selasa, 26 Maret 2019 pukul 08.00 kami sudah tiba di KPKM
FKIK UIN Jakarta yang terletak di Buaran, Tangerang Selatan. Kelompok
kami bertugas di KPKM selama dua hari 25-26 Maret 2019. Pada hari
senin, 25 Maret 2019 kelompok kami melakukan evaluasi terhadap
penyelenggaraan KPKM yang didasarkan atas Permenkes No 9 tahun
2009. Selanjutnya pada hari selasanya kami melaksanakan mini cex
bersama dr.Marita Fadhilah, M.Med.
Sebelum melaksanakan mini cex, kami melakukan briefing terlebih dahulu
bersama penguji kami mengenai tata cara pelaksanaan mini cex. Mini cex
dimulai sekitar pukul 08.30 dan dilaksanakan di salah satu ruangan
periksa. Kami mendapatkan masing-masing satu pasien dengan diagnosis
yang berbeda-beda.
Setelah mendapatkan pasien, kami mulai melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Setelah menentukan diagnosis, selanjutnya kami
menuliskan resep obat yang akan diberikan dan melakukan edukasi kepada
pasien. Setelah kami semua selesai melakukan mini cex, kami berdiskusi
dengan penguji kami mengenai kekurangan dan kesulitan yang dihadapi
saat menjalani mini cex kemudian penguji kami memberikan feedback
serta masukan kepada kami untuk perbaikan ke depannya.
Saya mendapatkan pasien atas nama An. SM, 9 tahun datang dengan
keluhan demam sejak 1 hari sebelum datang ke KPKM. Demam tidak
diukur suhu. Demam terus menerus, tidak dipengaruhi waktu serta turun
jika diberikan obat penurun demam namun demam muncul kembali.
Keluhan demam tidak disertai badan pegal, nyeri sendi, nyeri di belakang
mata maupun manifestasi perdarahan seperti mimisan, gusi berdarah,
muntah darah, batuk darah, maupun BAB hitam/berdarah. Keluhan batuk,
hidung berair, nyeri menelan, sesak disangkal. Riwayat batuk lama,
penurunan berat badan drastis, maupun penurunan nafsu makan drastis
disangkal. Pasien merasa pendengarannya tidak terganggu, riwayat nyeri
telinga maupun keluar sekret dari telinga disangkal. Pasien mengaku BAB
lancar dengan konsistensi lunak tidak keras maupun cair. keluhan nyeri
perut tidak ada. Keluhan nyeri saat berkemih, anyang-anyangan, rasa tidak
tuntas setelah berkemih, maupun nyeri pinggang tidak diketahui. Riwayat
keputihan berbau, gatal di daerah selangkangan tidak diketahui. Riwayat
adanya luka di bagian tubuh tertentu maupun adanya ruam-ruam di kulit
tidak diketahui. Riwayat mata dan tubuh kuning tidka diketahui.
Keluhan disertai muntah sebanyak 1x pagi ini. Yang dimuntahkan berupa
makanan yang dimakan sebelumnya. Selain itu pasien mengeluh badan
lemas.
Riwayat mengalami demam tifoid diakui. Berdasarkan keterangan dari
ayahnya, pasien tidak memiliki riwayat asma, alergi obat atau makanan.
Sebelumnya belum pernah dirawat inap maupun menjalani operasi.
Riwayat kelahiran, imunisasi, maupun tumbuh kembang tidak diketahui.
Keluhan serupa di keluarga disangkal. Riwayat batuk lama dan harus
mengonsumsi obat selama 6 bulan di keluarga disangkal. Pasien
merupakan anak tunggal. Ayahnya bekerja sebagai supir dan ibunya
sebagai ibu rumah tangga. Pasien tinggal di pemukiman yang cukup padat,
di sekitar rumah terdapat selokan yang jarang dibersihkan, bila hujan
datang terkadang terdapat genangan air. Ayah pasien mengatakan di
sekitar rumahnya tidak pernah dilakukan fogging. Menurut keterangan dari
ayahnya, tetangganya tidak ada yang memiliki keluhan serupa dengan
anaknya. Saat ini pasien merupakan siswi kelas 4 SD. Pola makan pasien
teratur 3x sehari namun terkadang pasien jajan di sekitar SD. Riwayat
berpergian ke wilayah indonesia timur disangkal. Ayah pasien khawatir
pasien mengalami demam tifoid seperti dahulu. Ayahnya berharap supaya
anaknya cepat sehat kembali. Saat ini pasien tidak bersekolah karena
sedang libur, pasien lebih banyak di dalam rumah semenjak sakit namun
masih dapat melakukan aktivitas untuk kebutuhan dirinya sendiri seperti
makan, mandi
Setelah anamnesis, saya melakukan pemeriksaan fisik. Keadaan umum
tampak sakit ringan dengan kesadaran compos mentis. Pemeriksaan tanda
vital tekanan darah 100/60mmHg, frekuensi nadi 120x/menit, frekuensi
napas 20x/menit, suhu aksila 37,8oC. Dari status generalis kepala
normosefal, tidak ada nyeri tekan. Mata konjungtiva tidak pucat, sklera
tidak ikterik. Hidung napas cuping hidung tidak ada, nyeri tekan sinus
tidak ada, cavum nasal lapang, deviasi septum tidak ada, di meatus nasal
inferior tidak ada sekret, konka nasal inferior tidak edema, tidak
hiperemis, Pada pemeriksaan fisik telinga, auricula tidak hiperemis, nyeri
tekan maupun nyeri tragus tidak ada, meatus acusticus externus lapang,
sekret maupun serumen tidak ada, membran timpani tidak terlihat. Pada
pemeriksaan mulut dan tenggorok mukosa bibir lembab, oral higiene
cukup baik, tidak ada gigi berlubang. Tonsil T1/T1 tidak hiperemis,
dinding faring posterior licin tidak hiperemis. Pada pemeriksaan leher kgb
tidak membesar. Pemeriksaan thorax tidak ada penggunaan otot bantu
napas, auskultasi vesikuler kedua lapang paru tidak ada ronkhi maupun
wheezing. Pada auskultasi jantung S1 dan S2 reguler murmur gallop tidak
ada. Pada pemeriksaan abdomen tampak datar, bising usus 6x/menit, tidak
ada nyeri tekan, perkusi timpani. Pemeriksaan ballotement maupun nyeri
ketok cva tidak diperiksa. Pemeriksaan genitalia dan anus tidak dilakukan.
Pada ekstremitas akral hangat, CRT < 2 detik. Setelah melakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik, didapatkan keluhan demam sejak 1 hari
smrs dengan suhu saat diukur di aksila 37,8C. Keluhan pada pasien ini
demam yang baru 1 hari. Diagnosis banding demam sangat beragam.
Demam merupakan respon terhadap adanya infeksi, demam dapat juga
merupakan akibat dari hiperkatabolisme tubuh. Pada pasien dengan
keluhan demam harus dicari kemungkinan sumber infeksi. Namun tidak
semua pemeriksaan penunjang dapat dilakukan di fasilitas pelayanan
kesehatan primer seperti di KPKM ini sehingga saya putuskan untuk
memberikan antipiretik terlebih dahulu sambil dilakukan observasi
terhadap demamnya tersebut. Pada pasien ini saya berikan paracetamol
3x250 mg yang diminum bila demam serta saya lakukan edukasi untuk
istirahat cukup, konsumsi air yang cukup dan makan makanan bergizi.
Selain itu, saya lakukan edukasi juga untuk kembali ke klinik apabila
demam menetap > 3 hari atau apabila terdapat tanda dan gejala yang
membahayakan (warning sign) seperti penurunan kesadaran, muntah yang
terus menerus, nyeri perut yang hebat, BAK berkurang atau anak tidak
mau minum, perabaan tangan kaki dingin, serta adanya manifestasi
perdarahan (mimisan, gusi berdarah, muntah darah, batuk darah, maupun
BAB hitam/berdarah).
B. Nomor Rekam Medik : 006230
C. Diagnosis Holistik
 Aspek personal
Pasien datang dengan keluhan demam sejak 1 hari sebelum datang
ke KPKM. Pasien sudah mengonsumsi obat penurun panas yang
dibeli di warung sempat turun namun demam muncul kembali.
Ayah pasien khawatir pasien mengalami demam tifoid seperti
dahulu. Ayahnya berharap supaya anaknya cepat sehat kembali.
 Aspek klinis
Observasi febris hari ke 2 suspek infeksi virus dd infeksi bakteri
 Aspek faktor risiko internal
Pasien anak perempuan berusia 9 tahun. Terkadang pasien jajan di
sekitar sekolahnya.
 Aspek faktor risiko eksternal
Ayahnya bekerja sebagai supir dan ibunya sebagai ibu rumah
tangga. Pasien tinggal di pemukiman yang cukup padat, di sekitar
rumah terdapat selokan yang jarang dibersihkan, bila hujan datang
terkadang terdapat genangan air. Ayah pasien mengatakan di
sekitar rumahnya tidak pernah dilakukan fogging.
 Aspek fungsional
Skala 1
D. Tatalaksana
 Nonfarmakologi
- Edukasi mengenai kondisi pasien (kemungkinan penyebab
demam, pengobatan simtomatik sementara, rencana tatalaksan
selanjutnya)
- Edukasi untuk kembali ke pelayanan kesehatan apabila demam
dirasakan tidak turun/membaik (>3 hari)
- Edukasi untuk mengenali tanda-tanda bahaya (warning sign)
berupa muntah terus-menerus, nyeri perut hebat, timbulnya
manifestasi perdarahan, penurunan kesadaran, serta tanda-tanda
syok (akral dingin, urin output berkurang)
- Perbanyak istirahat, cukup minum air putih serta perbanyak
makan makanan bergizi dan konsumsi multivitamin
 Farmakologi
- Paracetamol dan domperidon puyer 3 dd 1 pulv
RESEP
R/ Paracetamol tab 500 mg No. IX
Domperidon tab 10 mg No. XV
Mf pulv div in p aeq No. XV
ʃ 3 dd I pulv pc p.r.n

E. Refleksikan Perbedaan antara Teori dan Praktik yang Dilakukan


Tindakan yang saya lakukan menurut saya benar
Menurut saya, hal yang sudah saya lakukan dengan benar adalah dalam
menetapkan diagnosis pasien saya sudah mengikuti langkah-langkah yang
sudah diajarkan, yaitu melalui (1) anamnesis (2) pemeriksaan fisik (3)
pemeriksaan penunjang jika diperlukan dan terjangkau.
Pasien ini datang dengan keluhan demam sejak 1 hari sebelum datang ke
KPKM, karena demam merupakan suatu gejala bukan diagnosis dan
memiliki berbagai macam diagnosis banding sehingga pada saat
melakukan anamnesis saya tanyakan apa saja sumber infeksi yang dapat
menyebabkan demam tersebut.
Saya juga sudah berusaha untuk menanyakan karakteristik atau pola
demam yang dapat mengarahkan ke diagnosis tertentu, seperti demam
terjadi terutama sore menjelang malam dengan peningkatan suhu setiap
harinya (step ladder) lebih mengarah ke demam tifoid. Namun demam
yang timbul mendadak dengan suhu yang tinggi kemudian pada hari 3-4
demam turun dapat lebih mengarah ke demam dengue. Demam dengan
disertai adanya gejala khas di organ tertentu seperti batuk, sesak ataupun
rinore dapat mengarahkan ke infeksi saluran napas akut.
Setelah saya melakukan anamnesis, didapatkan keluhan demamnya tidak
spesifik sehingga saya menyarankan kepada pasien untuk observasi
terlebih dahulu terhadap demamnya. Demam yang timbul mendadak
(akut) dapat disebabkan karena infeksi virus yang sebetulnya bersifat self
limiting disease. Apabila demam berlanjut dan tidak membaik dengan
pengobatan simtomatik dicurigai adanya penyebab yang lain.
Pada pasien ini saya berikan antipiretik untuk menurunkan demamnya
serta saya lakukan edukasi berupa saran untuk kembali ke klinis/RS
apabila demam menetap >3 hari. Selain itu, saya lakukan edukas untuk
mengenali warning sign. Saya sarankan juga pada pasien untuk istirahat
cukup, makan makanan bergizi serta cukup konsumsi air dan konsumsi
multivitamin sebagai upaya untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
Tindakan yang saya rasakan masih kurang antara lain
Menurut saya dalam melakukan anamnesis saya kurang menggali
mengenai sumber infeksi pada pasien, seperti saya tidak menanyakan
mengenai masalah dalam BAK maupun masalah pada organ kewanitaan.
Saya juga kurang menanyakan kemungkinan adanya luka di bagian tubuh
tertentu yang dapat menjadi port the entry dari suatu infeksi.
Selain itu, pada saat awal melakukan mini cex saya kurang menanyakan
mengenai identitas pasien, yang saya tanyakan hanya nama dan usia.
Karena pasien saya adalah anak jadi saya lebih sering untuk menanyakan
keluhan ke ayahnya (alloanamnesis)
Menurut saya timbulnya perbedaan antara teori dan fakta, yaitu
Pada saat melakukan minicex saya rasa sudah sesuai dengan teori langkah-
langkah dalam menetapkan diagnosis yaitu melalui anamnesis kemudian
pemeriksaan fisik. Untuk pasien ini belum diperlukan pemeriksaan
penunjang.
Karena saya melaksanakan mini cex di KPKM sehingga saya juga melihat
bagaimana penyelenggaraan KPKM itu sendiri. Berdasarkan Permenkes
No.9 Tahun 2009 terdapat beberapa kekurangan dalam praktiknya di
KPKM, seperti kurangnya jumlah tenaga medis (saat itu hanya terdapat 1
orang dokter umum, 1 orang bidan, serta 1 orang apoteker). Untuk
bangunannya sendiri sudah sesuai serta sudah cukup lengkap namun
karena kurangnya tenaga medis sehingga banyak ruangan yang tidak
terawat karena tidak pernah digunakan seperti ruang IGD, laboratorium,
ruang rawat inap, kamar besalin, ruang poli pelayanan gigi. Selain itu, ada
beberap ruangan yang belum memenuhi standar yaitu ruang radiologi.
Untuk peralatan medis dan nonmedisnya juga sudah cukup lengkap namun
kurangnya perawatan juga penggunaan membuat peralatan-peralatan
tersebut menjadi kurang bermanfaat.
Hal yang dapat dipelajari untuk perbaikan ke depannya
Untuk ke depannya saya harus belajar lagi untuk berlatih membangun
rapport dengan pasien termasuk dalam menanyakan identitas pasien
supaya pasien merasa nyaman dan mau terbuka untuk menceritakan
keluhannya. Dalam melakukan anamnesis saya harus lebih lengkap lagi
terutama pasien-pasien yang datang dengan gejala yang tidak spesifik
seperti pada pasien ini.
Nilai profesionalisme dan agama yang dapat saya ambil dari kasus ini
Dokter berperan sebagai manajer dalam proses penyembuhan pasien,
yang artinya dokter harus mengetahui tindakan serta tatalaksana yang tepat
dalam rangka untuk kesembuhan pasien tanpa mengabaikan hak pasien
terhadap dirinya sendiri. Meskipun kesembuhan pasien merupakan
kehendak Allah S.W.T namun sebagai seorang dokter hendaknya
seharusnya dapat mempergunakan ilmu yang sudah didapatkannya untuk
membantu kesembuhan pasien.
F. Daftar Pustaka
1. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. 2014
2. Gunawan, Sulistia Gan. Buku Farmakologi dan Terapi ed 5. Jakarta :
Departemen Farmakologi dan Terapi FKUI. 2007
3. Purba RT. Pocket synopsis : Obat di Indonesia. Makasar. 2015
4. Peraturan Menteri Kesehatan No. 9 Tahun 2009 tentang Klinik.

Gambar 14. Saat Melakukan Pemeriksaan Fisik


Gambar 15. Resep obat untuk pasien
Lampiran 1. Kopi Rekam Medis

f. Identitas Pasien
Nama : An. SM
Usia : 9 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Buaran, Tangerang Selatan
Agama : islam
a.) Anamnesis
Keluhan utama
Demam sejak 1 hari sebelum datang ke KPKM
Riwayat penyakit sekarang
Demam sejak 1 hari sebelum datang ke KPKM. Demam tidak diukur suhu.
Demam terus menerus, tidak dipengaruhi waktu serta turun jika diberikan
obat penurun demam namun demam muncul kembali. Keluhan demam
tidak disertai badan pegal, nyeri sendi, nyeri di belakang mata maupun
manifestasi perdarahan seperti mimisan, gusi berdarah, muntah darah,
batuk darah, maupun BAB hitam/berdarah. Keluhan batuk, hidung berair,
nyeri menelan, sesak disangkal. Riwayat batuk lama, penurunan berat
badan drastis, maupun penurunan nafsu makan drastis disangkal. Pasien
merasa pendengarannya tidak terganggu, riwayat nyeri telinga maupun
keluar sekret dari telinga disangkal. Pasien mengaku BAB lancar dengan
konsistensi lunak tidak keras maupun cair. Keluhan nyeri perut tidak ada.
Keluhan disertai muntah sebanyak 1x pagi ini. Yang dimuntahkan berupa
makanan yang dimakan sebelumnya. Selain itu pasien mengeluh badan
lemas.
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat mengalami demam tifoid diakui. Berdasarkan keterangan dari
ayahnya, pasien tidak memiliki riwayat asma, alergi obat atau makanan.
Sebelumnya belum pernah dirawat inap maupun menjalani operasi.
Riwayat kelahiran, imunisasi, maupun tumbuh kembang tidak diketahui.
Riwayat penyakit keluarga
Keluhan serupa di keluarga disangkal. Riwayat batuk lama dan harus
mengonsumsi obat selama 6 bulan di keluarga disangkal
Riwayat kebiasaan, lingkungan, dan sosial
Pasien merupakan anak tunggal. Ayahnya bekerja sebagai supir dan
ibunya sebagai ibu rumah tangga. Pasien tinggal di pemukiman yang
cukup padat, di sekitar rumah terdapat selokan yang jarang dibersihkan,
bila hujan datang terkadang terdapat genangan air. Ayah pasien
mengatakan di sekitar rumahnya tidak pernah dilakukan fogging. Menurut
keterangan dari ayahnya, tetangganya tidak ada yang memiliki keluhan
serupa dengan anaknya. Saat ini pasien merupakan siswi kelas 4 SD. Pola
makan pasien teratur 3x sehari namun terkadang pasien jajan di sekitar
SD. Riwayat berpergian ke wilayah indonesia timur disangkal. Ayah
pasien khawatir pasien mengalami demam tifoid seperti dahulu. Ayahnya
berharap supaya anaknya cepat sehat kembali. Saat ini pasien tidak
bersekolah karena sedang libur, pasien lebih banyak di dalam rumah
semenjak sakit namun masih dapat melakukan aktivitas untuk kebutuhan
dirinya sendiri seperti makan, mandi

b.) Pemeriksaan Fisik


TD : 100/60 mmHg HR : 120x/menit RR : 20x/menit T 37,8oC
Status Gizi : BB 30.4 kg
Kepala : normosefal
Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Hidung : deviasi septum (-), nyeri tekan sinus (-), cavum nasal lapang,
meatus nasal inferior sekret -/-, konka nasal inferior hiperemis -/-
Telinga : hiperemis -/-, nyeri tekan tragus -/-, nyeri pre dan retroaurikula -
/-, meatus akustikus eksternus lapang, hiperemis -/-, sekret -/-, serumen -/-,
membran timpani tidak terlihat
Mulut dan tenggorok : mukosa bibir lembab, oral higiene cukup baik,
tonsil TI/TI hiperemis -/-, dinding faring licin, hiperemis (-)
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax : paru : simetris, retraksi (-), vesikuler +/+ ronkhi -/- wheezing -/-
Jantung : S1 S2 reguler murmur (-), gallop (-)
Abdomen : tampak datar, bising usus 6x/menit, nyeri tekan (-), timpani
Genitalia dan anus : tidak diperiksa
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik.

c.) Diagnosis
Observasi febris hari ke 2 suspek ec infeksi virus dd infeksi bakteri
d.) Tatalaksana
 Nonfarmakologi
- Edukasi mengenai kondisi pasien (kemungkinan penyebab
demam, pengobatan simtomatik sementara, rencana tatalaksan
selanjutnya)
- Edukasi untuk kembali ke pelayanan kesehatan apabila demam
dirasakan tidak turun/membaik (>3 hari)
- Edukasi untuk mengenali tanda-tanda bahaya (warning sign)
berupa muntah terus-menerus, nyeri perut hebat, timbulnya
manifestasi perdarahan, penurunan kesadaran, serta tanda-tanda
syok (akral dingin, urin output berkurang)
- Perbanyak istirahat, cukup minum air putih serta perbanyak
makan makanan bergizi dan konsumsi multivitamin
 Farmakologi
- Paracetamol dan domperidon puyer 3 dd 1 pulv

RESEP
R/ Paracetamol tab 500 mg No. IX
Domperidon tab 10 mg No. XV
Mf pulv div in p aeq No. XV
ʃ 3 dd I pulv pc p.r.n
Feedback dari pembimbing puskesmas

Feedback dari pembimbing kampus

Nama mahasiswa Amalina Fitrasari TTD


Nama pembimbing dr. Siti Nur Aisyah Jauharoh, PhD TTD

dr.Restu Laila Fitri TTD

Anda mungkin juga menyukai