Anda di halaman 1dari 19

RESPIRATORY DISTRESS

SYNDROME

NIA LAURENZA SITOHANG 1751027


JOHN WILLIAM MALAU 1751022
RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME
•Disebut juga, Hyaline Membrane Disease
•merupakan keadaan akut yang terutama ditemukan pada bayi
prematur saat lahir atau segera setelah lahir
• lebih sering pada bayi dengan usia dibawah 35 minggu yang
mempunyai berat dibawah 1000 gram.
•gejala yang kondisi dari Dispnea dengan frekuensi pernapaan
> dari 60X/menit
•,sianosis,merintih waktu ekspirasi dan retraksi di daerah
epigastium, suprasternal intercostal pada saat inspirasi.
•karena ketidakmatangan struktural dan fungsional dari paru-
paru.
parenkim terbelakang
defisiensi surfaktan
tipe II pneumatocyte
-Bangunan paru janin dan produksi surfactan penting untuk fungsi
respirasi normal. Bangunan paru dari produksi surfaktan bervariasi pada
masing-masing bayi.
-Bayi prematur lahir sebelum produksi surfactan memadai. (Surfactan,
suatu senyawa lipoprotein yang mengisi alveoli, mencegah alveolar colaps
dan menurunkan kerja respirasi dengan menurunkan tegangan
permukaan).
-Pada defisiensi surfactan, tegangan permukaan meningkat, menyebabkan
kolapsnya alveolar dan menurunnya komplians paru, yang mana akan
mempengaruhi ventilasi alveolar sehingga terjadi hipoksemia dan
hiperkapnia dengan acidosis respiratory. Reduksi pada ventilasi akan
menyebabkan ventilasi dan perfusi sirkulasi paru menjadi buruk,
menyebabkan keadaan hipoksemia.
-Hipoksia jaringan dan acidosis metabolik terjadi berhubungan dengan
atelektasis dan kegagalan pernafasan yang progresif.
RDS merupakan penyebab utama kematian
dan kesakitan pada bayi prematur, biasanya
setelah 3 – 5 hari. Prognosanya buruk jika
support ventilasi lama diperlukan, kematian
bisa terjadi setelah 3 hari penanganan.
ETIOLOGI

Bayi yang lahir prematur dengan operasi caesar


Penurunan suplai oksigen pada bayi saat lahir
Surfaktan yang tidak cukup dan belum terbentuk sempurna

Faktor defisiensi/kekurangan surfaktan


Lahir prematur,
Seksio sesaria
Ibu yang melahirkan mempunyai penyakit Diabetes
Pada ibu hamil yang sakit diabetes diberikan pengobatan insulun
secara reguler, ini yang dapat menghambat pembentukan
surfaktan.
Aspeksia perinatal
Aspeksia merupakan bayi yang tidak bisa bernafas secara spontan
EtiologiMenurut Suriadi dan Yulianni (2006) etiologi dari RDS yaitu:

 1.Ketidakmampuan paru untuk mengembang dan alveoli terbuka.


 2.Alveoli masih kecil sehingga mengalami kesulitan berkembang dan
pengembangan kurang sempurna. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar
kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi
prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya
berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas.
 3.Membran hialin berisi debris dari sel yang nekrosis yang tertangkap dalam
proteinaceous filtrat serum (saringan serum protein), di fagosit oleh makrofag.
 4.Berat badan bayi lahir kurang dari 2500 gram.
 5.Adanya kelainan di dalam dan di luar paruKelainan dalam paru yang
menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum,
penyakit membran hialin (PMH).
 6.Bayi prematur atau kurang bulanDiakibatkan oleh kurangnya produksi
surfaktan.
MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis yang progresif dari RDS adalah :


- Takipnea diatas 60x/menit
- Pernapasan dangkal
- Retraksi intercostal dan sternal
- sianosis
- pernapasan cuping hidung
- hipotensi sistemik (edema,pengisian kapiler tertunda lebih dari
3- 4s
- penurunan keluaran urine
- penurunan suara nafas dengan
 Pada bayi extremely premature ( berat badan
lahir sangat rendah) mungkin dapat berlanjut
apnea, dan atau hipotermi. Pada RDS yang tanpa
komplikasi maka surfaktan akan tampak
kembali dalam paru pada umur 36-48 jam.
Gejala dapat memburuk secara bertahap pada
24-36 jam pertama. Selanjutnya bila kondisi
stabil dalam 24 jam maka akan membaik dalam
60-72 jam. Dan sembuh pada akhir minggu
pertama, kedua.ketiga, dan keempat.
ASUHAN KEPERAWATAN
(RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME = RDS)

1.Pengkajian 4. Pemeriksaan Doagnostik


1. Identitas klien a. Sert rontgen dada : untuk melihat densitas atelektasi dan
Meliputi nama, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat, elevasi diafragma dengan over distensi duktus alveolar
agama, tanggal pengkajian. b. Bronchogram udara : untuk menentukan ventilasi jalan
2. Riwayat kesehatan napas
a. Riwayat maternal c. Data laboratorium :
Menderita penyakit seperti diabetes mellitus, kondisi seperti •Profil paru, untuk menentukan maturitas paru, dengan bahan
perdarahan plasenta, tipe dan lamanya persalinan, stress fetal cairan amnion (untuk janin yang mempunyai predisposisi RDS)
atau intrapartus. •Lesitin/spingomielin (L/S) ratio 2 : 1 atau lebih
b. Status infant saat lahir mengindikasikan maturitas paru
Prematur, umur kehamilan, apgar score (apakah terjadi asfiksia), •Phospatidyglicerol : meningkat saat usia gestasi 35 minggu
bayi lahir melalui operasi caesar. •Tingkat phospatydylinositol
3. Data dasar pengkajian •AGD : PaO2 < 50 mmHg, PaCO2 > 50 mmHg, saturasi
a. Cardiovaskuler oksigen 92%-94%, pH 7,3-7,45.
•Bradikardia (< 100 x/i) dengan hipoksemia berat •Level potassium : meningkat sebagai hasil dari release
•Murmur sistolik potassium dari sel alveolar yang rusak
•Denyut jantung DBN
b. Integumen
•Pallor yang disebabkan oleh vasokontriksi peripheral
•Pitting edema pada tangan dan kaki
•Mottling
c. Neurologis
•Immobilitas, kelemahan
•Penurunan suhu tubuh
PATOFISIOLOGI

..\Desktop\Downloads\ASUHAN_KEPE
RAWATAN_SINDROM_GANGGUAN_PER
N.docx
Patofisiologi
 Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya untuk berfungsi sebagai organ
pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan faktor kritis dalam terjadinya RDS. Ketidaksiapan
paru menjalankan fungsinya tersebut terutama disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya
surfaktan.

 Surfaktan adalah substansi yang merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi
kola Surfaktan juga menyebabkan ekspansi yang merata dan jarang ekspansi paru pada tekanan
intraalveolar yang rendah. Kekurangan atau ketidakmatangan fungsi sufaktan menimbulkan
ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi tanpa surfaktan, janin tidak
dapat menjaga parunya tetap mengembang. Oleh karena itu, perlu usaha yang keras untuk
mengembangkan parunya pada setiap hembusan napas (ekspirasi), sehingga untuk bernapas
berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar dengan disertai usaha inspirasi
yang lebih kuat. Akibatnya, setiap kali perapasan menjadi sukar seperti saat pertama kali pernapasan
(saat kelahiran). Sebagai akibatnya, janin lebih banyak menghabiskan oksigen untuk menghasilkan
energi ini daripada ia terima dan ini menyebabkan bayi kelelahan. Dengan meningkatnya kekelahan,
bayi akan semakin sedikit membuka alveolinya, ketidakmampuan mempertahankan pengembangan
paru ini dapat menyebabkan atelektasis.

 Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmonary vaskular resistem (PVR) yang
nilainya menurun pada ekspansi paru normal. Akibatnya, terjadi hipoperfusi jaringan paru dan
selanjutnya menurunkan aliran darah pulmonal. Di samping itu, peningkatan PVR juga
menyebabkan pembalikan parsial sirkulasi, darah janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri
melalui duktus arteriosus dan foramen ovale.
 Kolaps paru (atelektasis) akan menyebabkan gangguan vektilisasi pulmonal yang
menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah kontraksi vaskularisasi pulmonal
yang menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan dan selanjutnya menyebabkan
metabolisme anaerobik. Metabolisme anaerobik menghasilkan timbunan asam laktat
sehingga terjadi asidosis metabolik pada bayi dan penurunan curah jantung yang
menurunkan perfusi ke organ vital. Akibat lain adalah kerusakan endotel kapiler dan
epitel duktus alveolus yang menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan
terbentuknya fibrin. Fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik
membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Membran hialin ini melapisi
alveoli dan menghambat pertukaran gas.
 Atelektasis menyebabkan paru tidak mampu mengeluarkan karbon dioksida dari sisa
pernapasan sehingga terjadi asidosis respiratorik. Penurunan pH menyebabkan
vasokonstriksi yang semakin berat. Dengan penurunan sirkulasi paru dan perfusi
alveolar, PaO2 akan menurun tajam, pH juga akan menurun tajam, serta materi yang
diperlukan untuk produksi surfaktan tidak mengalir ke dalam alveoli.
 Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh pH, suhu dan perfusi normal, asfiksia,
hipoksemia dan iskemia paru terutama dalam hubungannya dengan hipovolemia,
hipotensi dan stress dingin dapat menekan sintesis surfaktan. Lapisan epitel paru
dapat juga terkena trauma akibat kadar oksigen yang tinggi dan pengaruh
penatalaksanaan pernapasan yang mengakibatkan penurunan surfaktan lebih lanjut
(Asrining Surasmi, dkk, 2003).
Diagnosa Keperawatan

1. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan


membran kapiler-alveolar
INTERVENSI :
Manajemen Jalan Napas
Buka jalan napas dengan teknik chin lift atau jaw thrust, sebagaimana
mestinya
Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
Identifikasi kebutuhan actual/potensial pasien untuk memasukkan
alat membuka jalan napas
Masukkan alat nasopharyngeal (NPA) atau oropharingeal airway
(OPA), sebagaimana mestinya
Lakukan fisioterapi dada, sebagaimana mestinya
Buang secret dengan menyedot lender
Auskultasi suara napas, catat area yang ventilasinya menurun atau
tidak ada dan adanya suara tambahan
Terapi Oksigen
Bersihkan mulut, hidung, dan sekresi trakea dengan tepat
Pertahankan kepatenan jalan napas
Siapkan peralatan oksigen dan berikan melalui system humidifier
Berikan oksigen tambahan seperti yang diperintahkan
Monitor aliran oksigen
Monitor posisi perangkat (alat) pemberian oksigen
Periksa perangkat (alat) pemberian oksigen secara berkala untuk
memastikan bahwa konsentrasi (yang telah) ditentukan sedang
diberikan
Monitor efektifitas terapi oksigen (misalnya, tekanan oksimetri, ABGs)
dengan tepat
Monitor Pernapasan
•Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan kesulitan bernapas
•Catat pergerakan dada, catat ketidaksimetrisan, penggunaan
otot-otot bantu napas dan retraksi pada supraclaviculas dan
interkosta
•Monitor suara tambahan seperti ngorok atau mengi
•Monitor pola napas (misalnya, bradipneu, takipneu,
hiperventilasi, pernapasan kusmaul, pernapasan 1:1, apneustik,
respirasi biot, pola ataxic
•Monitor saturasi oksigen pada pasien tersedasi (seperti SaO₂,
SvO₂, SpO₂) sesuai dengan protocol yang ada
•Pasang sensor pemantauan oksigen non-invasif (misalnya,
pasang alat pada jari, hidung, dan dahi) dengan mengatur alarm
pada pasien berisiko tinggi sesuai dengan prosedur tetapo yang
ada
•Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
2. Pola napas tidak efektif berhubungandengan kelelahan otot pernapasan
INTERVENSI
Manajemen Jalan Napas
Buka jalan napas dengan teknik chin lift atau jaw thrust,
Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
Identifikasi kebutuhan actual/potensial pasien untuk memasukkan alat membuka jalan napas
Masukkan alat nasopharyngeal (NPA) atau oropharingeal airway (OPA), sebagaimana
mestinya
Lakukan fisioterapi dada, sebagaimana mestinya
Buang secret dengan menyedot lender
Auskultasi suara napas, catat area yang ventilasinya menurun atau tidak ada dan adanya suara
tambahan
Lakukan penyedotan melalui endotrakea atau nasotrakea, sebagaimana mestinya
Kelola pemberian bronkodilator, sebagaimana mestinya
Kelola pengobatan aerosol, sebagaimana mestinya
Monitor Pernapasan
Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan kesulitan bernapas
Catat pergerakan dada, catat ketidaksimetrisan, penggunaan otot-otot
bantu napas dan retraksi pada supraclaviculas dan interkosta
Monitor suara tambahan seperti ngorok atau mengi
Monitor pola napas (misalnya, bradipneu, takipneu, hiperventilasi,
pernapasan kusmaul, pernapasan 1:1, apneustik, respirasi biot, pola
ataxic
Monitor saturasi oksigen pada pasien tersedasi (seperti SaO₂, SvO₂, SpO₂)
sesuai dengan protocol yang ada
Pasang sensor pemantauan oksigen non-invasif (misalnya, pasang alat pada
jari, hidung, dan dahi) dengan mengatur alarm pada pasien berisiko
tinggi sesuai dengan prosedur tetapo yang ada
Palpasi kesimetrisan ekspansi paru

Anda mungkin juga menyukai