PROFESI APOTEKER
di
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
Drs. H. AMRI TAMBUNAN LUBUK PAKAM
LAPORAN KASUS
Disusun Oleh:
Selviana Febriani
NIM: 22.50.207
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktik Kerja
Profesi (PKP) dan penyusunan laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di RSUD Drs.
H. Amri Tambunan, Lubuk Pakam. Laporan ini ditulis berdasarkan teori dan hasil
pengamatan selama melakukan PKPA di RumahSakit. PKP ini merupakan salah satu syarat
dalam mengikuti Program Studi Pendidikan Profesi Apoteker (PSPA) di Fakultas Farmasi
Institut KesehatanMedistra Lubuk Pakam untuk mencapai gelar Apoteker.
Kegiatan PKPA ini terlaksanakan dengan baik tidak terlepas dari bantuan dari berbagai
pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatanini kami mengucapkan
terimakasih atas kesempatan dan bimbingan serta kerja sama yang telah diberikan selama dan
sesudah pelaksana Praktek Kerja Profesi Apoteker kepada :
1. Bapak Drs.Johannes Sembiring, M.Pd., M.Kes selaku Ketua Yayasan Medistra
Lubuk Pakam.
2. Bapak Ns.Rahmad Gurusinga,S.Kep,. M.Kep selaku Rektor Institut Kesehatan
Medistra Lubuk Pakam.
3. Bapak dr. Hanif Fahri, MM.M.Ked (KJ), Sp.K selaku Direktur Utama Rumah Sakit
Daerah Drs. H. Amri Tambunan Lubuk Pakam
4. Ibu Erlinda Yani, M.K.M., selaku Wakil Direktur Bidang Pelayanan Medis
5. Ibu apt. Wan Epiyanti Barus, S.Farm selaku Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Daerah Drs. H. Amri Tambunan Lubuk Pakam
6. Ibu apt. Novidawati Boru Situmorang,S.farm., MKM , Selaku pengurus mahasiswa
PKPA, yang telah mengayomi kami selama PKPA
7. Seluruh Staff Dosen di Lingkungan Institut Kesehatan Medistra Lubuk Pakam, yang
telah memberikan bimbingan selama penulis mengikuti pendidikan.
8. Ibu apt.Nurhayati Nasution,S.farm, sebagai pembimbing dari instalasi farmasi
RSUD Drs. H. Amri Tambunan Lubuk Pakam.
9. Apoteker, Staf dan Pegawai RSUD Drs. H. Amri Tambunan Lubuk Pakam yang telah
memberikan arahan dan bantuan selama melaksanakan Praktek Kerja Profesi
Apoteker.
ii
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk
itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi
kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
iii
DAFTAR ISI
iv
5.2 Saran.................................................................................................................... 56
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 57
v
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
BAB I
PENDAHULUAN
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah kehilangan darah dalam lumen
saluran cerna dimana saja, mulai dari esofagus sampai dengan duodenum di daerah
ligamentum Treitz. Perdarahan SCBA merupakan perdarahan yang berasal dari esofagus
sampai ligamentum of Treitz. 5 Insidens perdarahan SCBA bervariasi mulai dari 48-160 kasus
per 100.000 populasi, insidens tertinggi pada laki-laki dan lanjut usia. Perdarahan SCBA yang
berasal dari esofagus sampai ligamentum of Treitz. 5 Insidens perdarahan SCBA
bervariasi mulai dari 48-160 kasus per 100.000 populasi, insidens tertinggi pada laki-laki dan
lanjut usia. (Acta medica indonesia, 2014).
Hiatal Hernia Oesofagus (HHO) merupakan kondisi yang relative sering terjadi pada
populasi umum. Hal ini disebabkan olh peningkatan tekanan intra abdomen, yang
menyebabkan penonjolan lambung dan organ perut lainnya kedalam mediastinum. Kelebihan
berat badan dan usia lanjut merupakan faktor resiko utama dalam perkembangannya. (Kohn
GP et al, 2013).
Insiden kasus gejala hernia hiatus tampaknya terkait dengan diagnosis penyakitrefluks
gastroesofageal (GERD). Hernia hiatus adalah refluks gastroesofageal, yang di
manifestasikan melalui regurgitasi dan mulas, sedangkan gejala yang kurang umum termasuk
disfagia, nyeri epigastrium atau dada dan bahkan anemia difesiensi besi kronis. (Sugimoto M,
2016).
Pan Gastropati adalah gejala yang mengacu kepada spektrum komplikasi saluran
cerna bagian atas yang mengakibatkan kerusakan pada dinding lambung kondisi tersebut
akhirnya membuat saraf otot lambung tidak dapat bekerja dengan baik dan menjadi lambat
(Scheiman JM2004).
Anemia adalah keadaan yang ditandai dengan berkurangnya hemoglobin dalam tubuh.
Hemoglobin adalah suatu metaloprotein yaitu protein yang mengandung zat besi di dalam sel
darah merah yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru keseluruh tubuh.
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan karena kekurangan besi yang
digunakan untuk sintesis hemoglobin (Hb) (Özdemir, N. (2015).
Gejala dari anemia secara umum adalah lemah, tanda keadaan hiperdinamik (denyut
nadi kuat dan cepat, jantung berdebar, dan roaring in the ears). Banyak faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya anemia defisiensi besi yaitu kebutuhan yang meningkat, asupan zat
1
besi yang kurang, infeksi, dan perdarahan saluran cerna dan juga terdapat faktor-faktor
lainnya. Anemia defisiensi besi dapat di diagnosis dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan anemia defisiensi besi dapat dilakukan dengan
pemberian zat besi secara oral, secara intramuskular dan transfusi darah.
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan cairan melebihi normal
di dalam cavum pleura diantara pleura parietalis dan visceralisdapat berupa transudatatau
cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleurahanya mengandung cairan sebanyak10-
20 mL. Penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan efusi pleura adalah tuberkulosis, infeksi
paru non tuberkulosis, keganasan, sirosis hati, trauma tembus atau tumpul pada daerah ada,
infark paru, serta gagal jantung kongestif (Krisbiyanto et al., 2022).
Gagal ginjal adalah kondisi dimana ginjal kehilangan kemampuan untuk
mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan makanan
normal. Gagal ginjal biasanya dibagi menjadi dua kategori yaitu kronik dan akut (Nabila, A,
2015).
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan tidak
dapat pulih kembali, dimana tubuh tidak mampu memelihara metabolisme dan gagal
memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit yang berakibat pada peningkatan ureum
(Black, J.M, 2014). Gagal ginjal kronik disebabkan oleh berbagai kondisi, seperti gangguan
metabolik (DM), infeksi (Pielonefritis), Obstruksi Traktus Urinarus, Gangguan Imunologis,
Hipertensi, Gangguan tubulus primer (nefrotoksin) dan Gangguan kongenital yang
menyebabkan GFR menurun (Septiwi, C, 2011).
Anasarca dan edema keduanya didefinisikan sebagai peningkatan, pembengkakan,
atau perluasan volume cairan interstitial. Akumulasi cairan di ruang interstisial terjadi ketika
filtrasi kapiler melebihi jumlah cairan yang dikeluarkan melalui drainase limfatik. Bila edema
bersifat masif dan menyeluruh, hal ini disebut anasarca dan dapat disebabkan oleh berbagai
kondisi klinis seperti gagal jantung, gagal ginjal, gagal hati, atau masalah pada sistem limfatik.
Pada artikel ini, kita akan mengacu pada istilah anasarca ketika merujuk pada contoh bentuk
edema yang parah karena tidak semua pasien dengan edema menderita anasarca. Manifestasi
anasarca pada pasien dapat bervariasi, namun biasanya menjadi jelas secara klinis ketika
volume interstisial melebihi 2,5 -3,0 liter (Wang CS, 2019).
Gangguan cairan dan elektrolit sangat umum pada periode perioperatif. Cairan
intravena dengan jumlah yang besar sering diperlukan untuk memperbaiki defisit cairan dan
mengkompensasi kehilangan darah selama operasi. Cairan dan elektrolit di dalam tubuh
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Komposisi cairan dan elektrolit di
2
dalam tubuh diatur sedemikan rupa agar keseimbangan fungsi organ vital dapat
dipertahankan.3 Gangguan besar dalam keseimbangan cairan dan elektrolit dapat dengan
cepat mengubah kardiovaskular, saraf, dan fungsi neuromuskular, dan penyedia anestesi harus
memiliki pemahaman yang jelas air normal dan elektrolit fisiologi (Butterworth JF et al,
2013).
Kebutuhan cairan dan elektrolit adalah suatu proses dinamik karena metabolisme
tubuh membutuhkan perubahan yang tetap dalam berespons terhadap stressor fisiologis dan
lingkungan. Keseimbangan cairan adalah esensial bagi kesehatan. Dengan kemampuannya
yang sangat besar untuk menyesuaikan diri, tubuh mempertahankan keseimbangan, biasanya
dengan proses-proses faal (fisiologis) yang terintegrasi yang mengakibatkan adanya
lingkungan sel yang relatif konstan tapi dinamis. Kemampuan tubuh untuk mempertahankan
keseimbangan cairan ini dinamakan “homeostasis”
3
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah penggunaan obat pada pasien sudah sesuai dengan diagnosa pasien Post
Clipping ec Ulkus Bleeding + HHO + Pan Gastropathy + Anemia + Efusi Pleura +
CKD + Oedem Anasarka + Elektrolit Imbalance?
2. Apakah terdapat Drug Related Problem pada pasien dengan diagnosa Post Clipping
ec Ulkus Bleeding + HHO + Pan Gastropathy + Anemia + Efusi Pleura + CKD +
Oedem Anasarka + Elektrolit Imbalance?
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
1. Dapat memonitoring penggunaan obat pada pasien dengan diagnosa Post Clipping
ec Ulkus Bleeding + HHO + Pan Gastropathy + Anemia + Efusi Pleura + CKD +
Oedem Anasarka + Elektrolit Imbalance.
2. Dapat memantau Drug Related Problem pada pasien dengan diagnosa Post Clipping
ec Ulkus Bleeding + HHO + Pan Gastropathy + Anemia + Efusi Pleura + CKD +
Oedem Anasarka + Elektrolit Imbalance.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah kehilangan darah dalam lumen
saluran cerna dimana saja, mulai dari esofagus sampai dengan duodenum di daerah
ligamentum Treitz. Perdarahan SCBA merupakan perdarahan yang berasal dari esofagus
sampai ligamentum of Treitz. 5 Insidens perdarahan SCBA bervariasi mulai dari 48-160 kasus
per 100.000 populasi, insidens tertinggi pada laki-laki dan lanjut usia. Perdarahan SCBA yang
berasal dari esofagus sampai ligamentum of Treitz. 5 Insidens perdarahan SCBA
bervariasi mulai dari 48-160 kasus per 100.000 populasi, insidens tertinggi pada laki-laki dan
lanjut usia. (Acta medica indonesia, 2014).
Penyebab perdarahan SCBA terbagi atas pecah varises esofagus dan non-varises
seperti tukak peptik, gastritis erosiva, tumor, dll. Penyebab perdarahan SCBA di Indonesia
berbeda dengan penyebab di negara-negara barat. Penyebab perdarahan SCBA terbanyak di
Indonesia yaitu pecahnya varises esofagus, sedangkan di negara barat penyebab perdarahan
SCBA terbanyak (95%) ialah non-varises dengan sebanyak 50-70% kasus karena perdarahan
ulkus peptikum (Simadibrata M et al, 2006)
5
Lebih dari 60% perdarahan SCBA disebabkan oleh perdarahan ulkus peptikum,
perdarahan varises esofagus hanya sekitar 6%.5 Etiologi lain adalah malformasi
arteriovenosa, Mallory Weiss tear, gastritis, dan duodenitis.5 Di Indonesia, sekitar 70%
penyebab SCBA adalah ruptur varises esofagus. Namun, dengan perbaikan manajemen
penyakit hepar kronik dan peningkatan populasi lanjut usia, proporsi perdarahan ulkus
peptikum diperkirakan bertambah.2 Data studi retrospektif di RS Cipto Mangunkusumo tahun
2001-2005 dari 4154 pasien yang menjalani endoskopi, diketahui bahwa 807 (19,4%) pasien
mengalami perdarahan SCBA. Penyebab perdarahan SCBA antara lain: 380 pasien (33,4%)
ruptur varises esofagus, 225 pasien (26,9%) perdarahan ulkus peptikum, dan 219 pasien
(26,2%) gastritis erosif (Acta medica indonesia, 2014).
6
2.1.3 Penatalaksanaan Ulkus Bleeding
7
2.2 Hernia Hiatal Oesofagus
Hiatal hernia merupakan kondisi yang relative sering terjadi pada populasi umum. Hal
ini disebabkan oleh peningkatan tekanan intra abdomen, yang menyebabkan penonjolan
lambung dan organ perut lainnya kedalam mediastinum. Kelebihan berat badan dan usia
lanjut merupakan faktor resiko utama dalam perkembangannya. (Kohn GP et al, 2013).
Insiden hernia hiatus meningkat seiring bertambahnya usia. Sekitar 55%-60% orang
berusia di atas 50 tahun menderita hernia hiatus. Namun, hanya sekitar 9% yang mengalami
gejala, dan hal ini bergantung pada jenis dan kompetensi sfingter esofagus bagianbawah.
Sebagian besar hernia ini adalah hernia hiatus geser tipe I. Tipe II, hernia paraesophageal,
hanya membentuk sekitar 5% dari hernia hiatus dimana LES tetap diam, namun lambung
menonjol di atas diafragma. Terdapat juga peningkatan prevalensi pada wanita, yang mungkin
disebabkan oleh peningkatan tekanan intraabdomen selamakehamilan. Hernia hiatus paling
sering terjadi di Eropa Barat dan Amerika Utara dan jarang terjadi di pedesaan Afrika (Richter
JE, 2018).
8
2.2.4 Diagnosis Hernia Hiatal Oesofagus
9
2.2.5 Penatalaksana Hernia Hiatal Oesofagus
Pengobatan Penatalaksanaan hernia hiatus bergantung pada jenis hernia dan tingkat
keparahan gejala. Penatalaksanaan awal pasien dengan gejala khas GERD di rawat jalan
mencakup pemberian penghambat pompa proton (PPI) dosis ganda. Hal ini dapat bersifat
terapeutik dan diagnostik karena gejala yang menetap sering kali memerlukan evaluasi yang
lebih ekstensif. Sejak munculnya PPI, indikasi terapi bedah telah berubah. Pasien dengan
bukti cedera esofagus parah seperti ulkus, striktur, atau mukosa Barrett harus
dipertimbangkan untuk menjalani perawatan bedah. Pasien lain, seperti pasien dengandurasi
gejala yang lama atau pasien dengan gejala yang tidak kunjung membaik saat menjalani
terapi medis, juga harus dipertimbangkan untuk menjalani intervensi bedah. Dengan
kemajuan dalam teknik invasif minimal untuk pengobatan GERD, biaya operasi berkurang.
Pasien yang memiliki harapan hidup lebih dari 8 tahun danmembutuhkan terapi seumur
hidup karena kerusakan LES secara mekanis, terapi bedah dapat dianggap sebagai
pengobatan pilihan (Katz PO, dkk,2013).
Hernia paraesofageal dapat muncul dengan volvulus lambung karena lemahnya
perlekatan peritoneum lambung dan selanjutnya rotasi fundus lambung. Ini dianggap sebagai
keadaan darurat bedah. Rekomendasi saat ini adalah perbaikan bedah pada semua hernia
paraesofageal yang bergejala serta hernia besar yang tidak menunjukkan gejala sama sekali
pada pasien berusia kurang dari 60 tahun dan dalam kondisi sehat.
Fundoplikasi Nissen (bungkus 360 derajat): Ini melibatkan membungkus GEJ
sepenuhnya menggunakan fundus lambung. Hal ini biasanya dilakukan dengan 52 french
bougie untuk memastikan perkiraan yang tepat tanpa bungkusnya terlalu ketat. Langkah awal
melibatkan diseksi pembuluh darah lambung pendek dari kurvatura mayor lambung untuk
memobilisasi fundus. Membran frenoesofagus di atas crural kiri dibedah seluruhnya, dan serat
crural diidentifikasi. Untuk diseksi krural kanan, omentum minus harus dibuka, dan
membran frenoesofageal kanan harus dimobilisasi. Penting untuk menjaga vagi anterior dan
posterior selama diseksi ini. Drainase Penrose biasanya ditempatkan di sekitar kerongkongan
untuk membantu mobilisasi dan pembuatan pembungkus. Bungkusnya dibuatsepanjang 2. 5
sampai 3 cm menggunakan 3-4 jahitan permanen terputus. Setelah bungkusnya selesai, 52
french bougie dilepas, dan bungkusnya dipasang ke kerongkongan dan hiatus. Ini membantu
mencegah herniasi dan selip.
Fundoplikasi parsial (Dor dan Toupet) Ketika motilitas esofagus buruk, fundoplikasi
parsial biasanya merupakan prosedur pilihan. Dua fundoplikasi parsial yang paling umum
10
adalah prosedur Dor, yang merupakan pembungkus anterior, dan prosedur Toupet, yang
merupakan pembungkus posterior. Berbeda dengan balutan 360 derajat lengkap yang
dilakukan dengan Nissen, kedua prosedur ini melibatkan pembuatan balutan 180 hingga 250
derajat. Pembalutan sebagian diperkirakan akan membantu mencegah penyumbatan di
esofagus ketika motilitas menjadi perhatian.
Prosedur Toupet: Seluruh diseksi esofagus untuk prosedur ini sama dengan prosedur
Nissen, dengan mobilisasi esofagus. Berbeda dengan Nissen, prosedur ini menciptakan
lapisan 220 hingga 250 derajat di sekitar aspek posterior esofagus dan merupakan prosedur
pilihan jika motilitas menjadiperhatian.
Pan Gastropati adalah gejala yang mengacu kepada spektrum komplikasi saluran cerna
bagian atas yang mengakibatkan kerusakan pada dinding lambung kondisi tersebut akhirnya
membuat saraf otot lambung tidak dapat bekerja dengan baik dan menjadi lambat (Scheiman
JM2004).
Gastritis terjadi akibat ketidakseimbangan antara faktor penyebab iritasi lambung atau
disebut juga faktor agresif seperti HCl, pepsin, dan faktor pertahanan lambung atau faktor
defensif yaitu adanya mukus bikarbonat. Penyebab ketidakseimbangan faktor agresif-defensif
antara lain adanya infeksi Helicobacter pylori (H.pylori) yang merupakan penyebab yang
paling sering (30– 60%).
11
abdomen pada gejala yang berat untuk pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan
EGD (Esofagogastroduedenoscopy) dan pemeriksaan histopatologi. Pada EGD dapat
dijumpai kongesti mukosa, erosi-erosi kecil dan kadang-kadang disertai pendarahan kecil.
Lesi seperi ini dapat sembuh sendiri.7,8 Lesi yang lebih berat dapat berupa erosi dan tukak
multiple, pendarahan luas dan perforasi saluran cerna.
12
2.3.4 Penatalaksana Pan Gastropathy
2.4 Anemia
Anemia adalah keadaan yang ditandai dengan berkurangnya hemoglobin dalam tubuh.
Hemoglobin adalah suatu metaloprotein yaitu protein yang mengandung zat besi di dalam sel
darah merah yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru keseluruh tubuh.
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan karena kekurangan besi yang
digunakan untuk sintesis hemoglobin (Hb) (Özdemir, N. (2015).
Faktor utama penyebab anemia adalah asupan zat besi yang kurang. Sebesar dua per
tiga zat besi dalam tubuh terdapat dalam sel darah merah hemoglobin.
Gejala utama adalah fatigue, nadi teras cepat, gejala dan tanda keadaanhiperdinamik
(denyut nadi kuat, jantung berdebar, dan roaring in the ears). Pada anemia yang lebih berat,
dapat timbul letargi, konfusi, dan komplikasi yang mengancam jiwa (gagal jantung, angina,
aritmia dan/ atau infark miokard). Menentukan adanya anemia dengan memeriksa kadar
hemoglobin (Hb) dan atau Packed Cell Volume (PCV) merupakan hal pertama yang penting
untuk memutuskan pemeriksaan lebih lanjut dalam menegakkan diagnosis ADB. Pada ADB
nilai indeks eritrosit MCV, MCH menurun, sedangkan MCHC akan menurun pada keadaan
berat. Gambaran morfologi darah tepi ditemukan keadaan hipokrom, mikrositik, anisositosis
dan poikilositos
13
2.4.3 Etiologi Anemia
Berdasarkan buku pedoman pencegahan anemia dan penanggulangan anemia pada rematri
dan WUS (Kemenkes RI, 2018) Ada tiga penyebab anemia, yaitu :
1. Defisiensi zat gizi
a. Rendahnya asupan zat gizi baik hewani dan nabati yang merupakan pangan sumber
zat besi yang berperan penting untuk pembuatan hemoglobin sebagai komponen dari
sel darah merah/eritrosit. Zat gizi lain yang berperan penting dalam pembuatan
hemoglobin antara lain asam folat dan vitamin B12. Anemia Defisiensi Besi (ADB)
sangat ditentukan oleh kemampuan absorpsi besi, dan kebutuhan besi yang
meningkat.
b. Pada penderita penyakit infeksi kronis seperti TBC, HIV/AIDS, dan keganasan
seringkali disertai anemia, karena kekurangan asupan zat gizi atau akibat dari infeksi
itu sendiri.
2. Perdarahan (Loss of blood volume)
a. Perdarahan karena kecacingan dan trauma atau luka yang mengakibatkan kadar Hb
menurun.
b. Perdarahan karena menstruasi yang lama dan berlebihan.
3. Hemolitik
a. Perdarahan pada penderita malaria kronis perlu diwspadai karena terjadi hemolitik
yang mengakibatkan penumpukan zat besi (hemosiderosis) di organ tubuh, seperti
hati dan limpa.
b. Pada penderita Thalasemia, kelainan darah terjadi secara genetik yang menyebabkan
anemia karena sel darah merah/eritrosit cepat pecah, sehingga mengakibatkan
akumulasi zat besi dalam tubuh.
14
2.4.5 Diagnosis Anemia
Efusi pleura adalah pengumpulan cairan di dalam rongga pleura akibat transudasi atau
eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura. Rongga pleura adalah rongga yang terletak
diantara selaput yang melapisi paru-paru dan rongga dada, diantara permukaan viseral dan
parietal. Dalamkeadaan normal, rongga pleura hanya mengandung sedikit cairan sebanyak10-
20 ml yang membentuk lapisan tipis pada pleura parietalis dan viseralis,dengan fungi utama
sebagai pelicin gesekan antara permukaan kedua pleurapada waktu pernafasan. Jenis cairan
lainnya yang bisa terkumpul di dalam rongga pleura adalah darah, nanah,cairan seperti susu
dan cairan yang mengandung kolesterol tinggi. Efusi pleura bukanmerupakan suatu penyakit,
akan tetapi merupakan tanda suatu penyakit.
Terdapat beberapa jenis efusi berdasarkan penyebabnya, yakni :
4. Bila efusi berasal dari implantasi sel-sel limfoma pada permukaanpleura.
5. Bila efusi terjadi akibat obstruksi aliran getah bening.
6. Bila efusi terjadi akibat obstruksi duktus torasikus (chylothorak).
7. Efusi berbentuk empiema akut atau kronik
15
2.5.2 Etiologi Effusi Pleura
Berdasarkan Jenis Cairan Efusi pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif
melalui pengukuran kadar Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan, pleura.
Efusi pleura berupa:
Eksudat, disebabkan oleh :
A. Pleuritis karena virus dan mikoplasma : virus coxsackie, Rickettsia, Chlamydia.
Cairan efusi biasanya eksudat dan berisileukosit antara 100-6000/cc.
B. Pleuritis karena bakeri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh bakteriyang
berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara hematogen. Bakteri penyebab
dapatmerupakan bakteri aerob maupun anaerob (Streptococcuspaeumonie,
Staphylococcus aureus, Pseudomonas, Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas,
Bakteriodes, Fusobakterium, dan lain-lain).
C. Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis. Aspergillus.
D. Kriptococcus, dil. Karena reaksi hipersensitivitas lambat terhadap fungi.
E. Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyakterjadi melalui focus
subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening, dapat juga secara hemaogen
dan menimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya cairan efusi disebabkan oleh
rupturnya focus subpleural dari jaringan nekrosis perkijuan, sehingga
tuberkuloprotein yang ada didalamnya masuk ke rongga pleura, menimbukan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Efusi yang disebabkan oleh TBC biasanya unilateral
pada hemithoraks kiri dan jarang yang masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis
ditemukan gejala febris, penurunan berat badan, dyspneu, dan nyeri dada pleuritic.
F. Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer padaparu-paru, mammae,
kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi bilateral dengan ukuran jantung
yang tidak membesar.
Transudat, disebabkan oleh :
a) Gangguan kardiovaskular
Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan penyebab lainnya
adalah perikarditis konstriktiva, dan sindrom vena kava superior. Patogenesisnya
adalah akibat terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler
dinding dada shingga terjadi peningkatan filtrasi pada pleura parietalis.
b) Hipoalbuminemia
Brusi teriadi Karena rendahnva tekanan osmotik protein cairan pleura dibandingkan
16
dengan tekanan osmotik darah.
c) Hidrothoraks hepatic
Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleuramelalui lubang kecil
yang ada pada diafragma ke dalam ronggapleura.
d) Meig's Syndrom
Sindrom in ditandai ole ascites dan efusi pleura pada penderita- penderita dengan
tumor ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang dapat menimbulkan sindrom serupa:
tumor ovarium kistik, fibromyomatoma dari uterus, tumor ovarium ganas yang
berderajat rendah tapa adanya metastasis.
e) Dialisis Peritoneal
Efusi dapat teriadi selama dan sesudah dialisis peritoneal.
f) Darah
Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut hemothoraks. Kadar Hb pada
hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah hemothorak yang
baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal in mungkin karena faktor
koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya diambil oleh permukaan pleura. Bila
darah aspirasi segera membeku, maka biasanya darah tersebut berasal dari trauma
dining dada.
17
2.5.3 Patogenesis Effusi Pleura
Secara garis besar akumulasi cairan pleura disebabkan karena dua hal yaitu:
8. Pembentukan cairan pleura berlebih
Hal ini dapat terjadi karena peningkatan: permeabilitas kapiler (keradangan,
neoplasma), tekanan hidrostatis di pembuluh darah ke jantung / v. pulmonalis
(kegagalan jantung kiri), tekanan negatif intrapleura (atelektasis).
9. Penurunan kemampuan absorbsi sistem limfatik Hal ini disebabkan karena beberapa
hal antara lain: obstruksi stomata. gangguan kontraksi saluran life, infiltrasi pada
kelenjar getah bening. peningkatan tekanan vena sentral tempt masuknya saluran lime
dan tekanan osmotic koloid yang menurun dalam darah, misalnya pada
hipoalbuminemi. Sistem limfatik punya kemampuan absorbsi sampai dengan 20 kali
jumlah cairan yang terbentuk.
10. Jumlah cairan yang abnormal dapat terkumpul jika tekanan vena meningkat karena
dekompensasi cordis atau tekanan vena cava ole tumor intrathorax. Selain itu,
hypoprotonemia dapat menyebabkan efusipleura karena rendahnya tekanan osmotic
di kapailer darah.
18
2.5.5 Diagnosa Effusi Pleura
20
2.5.6 Penatalaksana Effusi Pleura
21
2.6 Chronic Kidney Disease
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan tidak
dapat pulih kembali, dimana tubuh tidak mampu memelihara metabolisme dan gagal
memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit yang berakibat pada peningkatan ureum
(Black, J.M, 2014). Gagal ginjal kronik disebabkan oleh berbagai kondisi, seperti gangguan
metabolik (DM), infeksi (Pielonefritis), Obstruksi Traktus Urinarus, Gangguan Imunologis,
Hipertensi, Gangguan tubulus primer (nefrotoksin) dan Gangguan kongenital yang
menyebabkan GFR menurun (Septiwi, C, 2011).
Pasien gagal ginjal kronis mempunyai karakteristik bersifat menetap, tidak bisa
disembuhkan dan memerlukan pengobatan berupa, transplantasi ginjal, dialysis peritoneal,
hemodialysis dan rawat jalan dalam waktu yang lama.
Sesak merupakan salah satu manifestasi respiratorik dari gagal ginjal kronik.
Pemberian terapi oksigen nasal dapat menormalkan kadar saturasi oksigen yang dari keadaan
hipoksia ringan menjadi normal. Oksigen harus diberikan pada pasien dengan sesaknafas,
gagal jantung , syok atau saturasi oksigen kurang dari 95%. Diberikan cefoperazon 3x1g
secara intravena dihari pertama masuk rumah sakit (tanggal 04 Januari 2022), pada pasien
gagal ginjal kronik, maka akan terjadi penurunan fungsi kekebalan tubuh. Sehingga
mikroorganisme yang baik pun dapat menyerang tubuh dan menyebabkan gejala infeksi dan
bermanifestasi sebagai gejala demam. Cefoperazon adalah obat antibiotic sefalosporin
generasi III yang bekerja dengan cara mengganggu pembentukkan dinding sel bakteri,
sehingga akan membunuh dan menghambat perkembangan bakteri penyebab infeksi. Hari
selanjutnya diberikan antibiotic ceftriaxone 2x1g secara intravena yang merupakan golongan
betalaktam turunan dari sefalosporin generasi III. Pemberian Attapulgite 3x2 tablet secara
oral pada pasien gagal ginjal kronik (stage 5) dengan keluhan BAB encer sebaiknya perlu
diperhatikan terutama pada kondisi renal failure karena menjadi kontraindikasi dalam
pemberiannya. Dan bila memang perlu dapat dipertimbangkan penggunaan loperamide
karena tidak kontraindikasi pada kondisi gagal ginjal.
22
2.6.2 Patofisiologi CKD
Pertama, kecepatan aliran darah ginjal sekitar 400 ml/100g jaringan per menit jauh
lebih besar dibandingkan dengan kecepatan aliran darah pada pembuluh darah lain yang
memiliki perfusi baik seperti jantung, hati, dan otak. Sebagai konsekuensinya, jaringan ginjal
mungkin terkena sejumlah besar zat atau zat yang berpotensi berbahaya dalam sirkulasi.
Kedua, filtrasi glomerulus bergantung pada tekanan intra dan transglomerulus yang
cukup tinggi (bahkan dalam kondisi fisiologis), sehingga menyebabkan kapiler glomerulus
rentan terhadap cedera hemodinamik, berbeda dengan kapiler lainnya. Sejalan dengan hal ini,
Brenner dan rekan kerjanya mengidentifikasi hipertensi glomerulus dan hiperfiltrasi sebagai
kontributor utama terhadap perkembangan penyakit ginjal kronis.
Ketiga, Membran filtrasi glomerulus memiliki molekul bermuatan negatif yang
berfungsi sebagai penghalang yang menghambat makromolekul anionik. Dengan
terganggunya penghalang elektrostatik ini, seperti yang terjadi pada banyak bentuk cedera
glomerulus, protein plasma memperoleh akses ke filtrat glomerulus.
Keempat, pengorganisasian mikrovaskular nefron (konvolusi glomerulus danjaringan
kapiler peritubular) dan posisi hilir tubuli terhadap glomeruli, tidak hanya menjaga
keseimbangan glomerulo-tubular tetapi juga memfasilitasi penyebaran cedera glomerulus ke
kompartemen tubulointerstisial pada penyakit, memaparkan sel epitel tubulus ke ultrafiltrat
abnormal. Karena pembuluh darah peritubular mendasari sirkulasi glomerulus, beberapa
mediator reaksi inflamasi glomerulus dapat meluap ke sirkulasi peritubular dan berkontribusi
terhadap reaksi inflamasi interstitial yang sering ditemukan pada penyakit glomerulus. Selain
itu, setiap penurunan perfusi preglomerulus atau glomerulus menyebabkan penurunan aliran
darah peritubular, yang tergantung pada derajat hipoksia, menyebabkan cedera
tubulointerstisial dan remodeling jaringan. Dengan demikian, konsep nefron sebagai unit
fungsional tidak hanya berlaku pada fisiologi ginjal, tetapi juga pada patofisiologi penyakit
ginjal.
Kelima, glomerulus itu sendiri juga harus dianggap sebagai unit fungsional dengan
masing-masing unsur penyusunnya, yaitu sel epitel endotel, mesangial, viseral, dan parietal
podosit, dan matriks ekstraselulernya yang mewakili bagian integral dari fungsi normal.
Penyebab utama kerusakan ginjal didasarkan pada reaksi imunologi (diprakarsai oleh
kompleks imun atau sel imun), hipoksia dan iskemia jaringan, agen eksogenik seperti obat-
obatan, zat endogen seperti glukosa atau paraprotein dan lain-lain, serta kelainan genetik.
Terlepas dari penyebab utamanya, glomerulosklerosis dan fibrosis tubulointerstitial
23
sering terjadi pada CKD. Gambaran patofisiologi CKD harus memberikan pertimbangan
khusus pada mekanisme cedera glomerulus, tubulus, dan pembuluh darah.
24
kulit mungkin termasuk ruam (lupus eritematosus sistemik, nefritis interstisial akut), purpura
teraba (purpura Henoch-Schonlein, krioglobulinemia, vaskulitis), telangiektasis
(skleroderma, penyakit Fabry), atau sklerosis luas (skleroderma). Pasien dengan CKD
stadium lanjut mungkin menunjukkan pucat, ekskoriasi kulit, pengecilan otot, asteriksis,
sentakan mioklonik, perubahan status mental, dan gesekan perikardial.
25
2.6.4 Penatalaksana CKD
26
a. Penatalaksanaan Hipertensi
Banyak pedoman memberikan algoritma yang merinci agen mana yang harus
digunakan untuk mengobati hipertensi pada penderita CKD. Kehadiran dan tingkat keparahan
albuminuria harus dievaluasi. Blokade sistem renin-angiotensin-aldosteron dengan
penghambat enzim pengubah angiotensin (ACE-I) atau penghambat reseptor angiotensin II
(ARB) direkomendasikan untuk orang dewasa dengan diabetes dan ACR urin minimal 30 mg
per 24 jam atau setiap orang dewasa dengan ACR urin minimal 300 mg per 24 jam. Terapi
ganda dengan ACE-I dan ARB umumnya dihindari, mengingat adanya risikohiperkalemia
dan cedera ginjal akut. Antagonis reseptor aldosteron juga dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan albuminuria, hipertensi resisten, atau gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi.
27
b. Nefrotoksin
Semua pasien dengan CKD harus diberi nasihat untuk menghindari nefrotoksin.
Meskipun daftar lengkapnya berada di luar cakupan tinjauan ini, ada beberapa hal yang perlu
disebutkan. Pemberian NSAID secara rutin pada CKD tidak dianjurkan, terutama pada
individu yang memakai terapi ACE-I atau ARB. Pengobatan herbal tidak diatur oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan AS, dan beberapa obat (seperti yang mengandung asam
aristolochic atau antrakuinon) telah dilaporkan menyebabkan berbagai kelainan ginjal,
termasuk nekrosis tubular akut, nefritis interstisial akut atau kronis, nefrolitiasis,
rhabdomyolysis, hipokalemia, dan sindrom Fanconi. Sediaan usus berbahan dasar fosfat (baik
formulasi oral maupun enema) tersedia tanpa resep dan dapat menyebabkan nefropati fosfat
akut. Inhibitor pompa proton banyak digunakan dan telah dikaitkan dengan nefritis interstisial
akut dalam laporan kasus dan kejadian CKD dalam penelitian berbasis populasi. Dalam
kohort Risiko Aterosklerosis di Komunitas berbasis populasi, kejadian CKD adalah 14,2
kejadian pada mereka yang memakai inhibitor pompa proton dan 10,7 per 1000 kejadian pada
orang yang tidak memakainya. Penghentian inhibitor pompa proton secara seragam pada
CKD tidak diperlukan. Namun, indikasi penggunaan harus dibahas pada setiap kunjungan
layanan primer.
c. Dosis Obat
Penyesuaian dosis obat seringkali diperlukan pada pasien dengan CKD. Perlu dicatat
bahwa persamaan Cockcroft-Gault tradisional seringkali kurang mencerminkan pengukuran
GFR, sedangkan estimasi GFR menggunakan persamaan CKD-EPI kemungkinan berkorelasi
lebih baik dengan pembersihan obat oleh ginjal. Obat umum yang memerlukan pengurangan
dosis antara lain antibiotik, antikoagulan oral langsung, gabapentin dan pregabalin, agen
hipoglikemik oral, insulin, agen kemoterapi, dan opiat. Secara umum, penggunaan obat-
obatan dengan kemungkinan manfaat yang rendah harus diminimalkan karena pasien dengan
CKD berisiko tinggi mengalami efek samping obat. Agen kontras berbasis gadolinium
dikontraindikasikan pada individu dengan cedera ginjal akut, eGFR kurang dari 30
mL/min/1,73 m 2 , atau ESKD mengingat risiko fibrosis sistemik nefrogenik, suatu kelainan
yang menyakitkan dan melemahkan yang ditandai dengan fibrosis nyata pada kulit dan
kadang-kadang organ lainnya. Formulasi khelat makrosiklik yang lebih baru (misalnya,
gadoteridol, gadobutrol, atau gadoterate) jauh lebih kecil kemungkinannya menyebabkan
fibrosis sistemik nefrogenik, namun pencegahan terbaik mungkin tetap menghindari
gadolinium sama sekali. Jika pemberian gadolinium dianggap penting, pasien
28
harus diberi konseling mengenai potensi risiko fibrosis sistemik nefrogenik dan dapat
berkonsultasi dengan ahli nefrologi untuk pertimbangan hemodialisis pasca pajanan.
d. Manajemen Diet
Penatalaksanaan diet untuk mencegah perkembangan CKD masih kontroversial
karena percobaan besar memberikan hasil yang samar-samar. Misalnya, studi MDRD
mengevaluasi 2 tingkat pembatasan protein pada 840 pasien, dan menemukan bahwa diet
rendah protein dibandingkan dengan asupan protein biasa menghasilkan penurunan GFR yang
lebih lambat hanya setelah 4 bulan pertama, dan diet sangat rendah protein dietdibandingkan
dengan diet rendah protein tidak berhubungan signifikan dengan penurunan GFR yang lebih
lambat. Kedua tingkat pembatasan protein tampaknya memberikan manfaat pada
subkelompok dengan proteinuria lebih besar dari 3 g per hari, meskipun kelompok ini kecil.
Percobaan lain yang lebih kecil menunjukkan manfaat pembatasan protein dalam pencegahan
perkembangan CKD atau ESKD. Pedoman KDIGO merekomendasikan agar asupan protein
dikurangi menjadi kurang dari 0,8 g/kg per hari (dengan pendidikan yang tepat) pada orang
dewasa dengan CKD stadium G4-G5 dan kurang dari 1,3 g/kg per hari pada pasien dewasa
lain dengan CKD yang berisiko. kemajuan. Manfaat yang mungkin didapat dari pembatasan
makanan berprotein harus diimbangi dengan kekhawatiran akan memicu malnutrisi dan/atau
sindrom pemborosan protein. Menurunkan kadar asam dalam makanan (misalnya, lebih
banyak buah dan sayuran serta lebih sedikit daging, telur, dan keju) juga dapat membantu
melindungi terhadap cedera ginjal. Diet rendah sodium (umumnya <2 g per hari)
direkomendasikan untuk pasien dengan hipertensi, proteinuria, atau kelebihan cairan.
29
2.7 Oedem Anasarka
Dibandingkan dengan remaja dan orang dewasa, neonatus dan anak kecil memiliki
proporsi total volume cairan tubuh dan interstisial (IS) yang lebih besar, yang dapat berlipat
ganda atau tiga kali lipat karena edema yang berhubungan dengan NS. Edema nefrotik
merupakan transudat dengan konsentrasi protein rendah (<3 g/dL) dan sedikit atau tanpa
sel. Berbeda dengan bentuk edema lainnya, edema ini bersifat pitting, cenderung
menyeluruh dan lebih menonjol pada area tubuh dependen dimana tekanan hidrolik kapiler
(P CAP ) tinggi (pergelangan kaki dan kaki), atau pada jaringan dengan resistensi rendah atau
interstisial rendah. tekanan hidrolik (P IF ) (kelopak mata, saluran cerna/perut, dan skrotum).
Jelas bahwa walaupun total air tubuh tetap konstan selama kesehatan, cairan dalam
setiap kompartemen tidak statis; ada pergerakan terus menerus antar kompartemen.
Proses difusi melintasi membran sel sejauh ini merupakan sebagian besar pergantian cairan
(sekitar 80.000 L/hari pada orang dewasa dengan berat 70 kg). Sebaliknya, edema
nefrotik menunjukkan pergerakan bersih air dari intravaskular (IV) ke dalam kompartemen
cairan IS melalui proses filtrasi melintasi dinding kapiler.
Karena biasanya terdapat gradien tekanan bersih kecil yang mendukung filtrasibersih
melintasi kapiler, maka diharapkan bahwa hanya sedikit perubahan pada gaya hemodinamik
ini yang akan menyebabkan edema. Namun, pengamatan eksperimental dan
30
klinis menunjukkan bahwa harus ada setidaknya peningkatan 15 mmHg dalam gradien
tekanan bersih yang mendukung filtrasi sebelum edema dapat dideteksi. Dengan penurunan
gradien ini yang lebih kecil, kecil kemungkinan terjadinya edema karena tiga faktor
kompensasi.
Pertama, bukti eksperimental menunjukkan bahwa terdapat peningkatan aliran
limfatik yang, melalui aliran massal, akan menghilangkan albumin juga, dan membantu
menghilangkan sebagian kelebihan filtrat.
Kedua, masuknya cairan ke dalam interstitium pada akhirnya akan meningkatkan
tekanan hidrolik interstisial, sehingga menghambat filtrasi dan akumulasi cairan interstisial.
Ketiga, akumulasi cairan di interstitium secara bersamaan mengurangi tekanan
onkotik interstisial di jaringan subkutan yang pada manusia normalnya 12-15 mmHg.
Dengan demikian, penurunan bertahap tekanan onkotik plasma di NS dikaitkan dengan
penurunan paralel tekanan onkotik interstisial dan peningkatan tekanan hidrolik interstisial,
yang meminimalkan perubahan gradien tekanan transkapiler yang mendukung pergerakan
cairan keluar dari pembuluh darah. ruang dan menghasilkan pelestarian relatif volume plasma.
Sebagai akibat dari respons fisiologis kompensasi ini, biasanya hanya terdapat sedikit
perubahan pada gradien tekanan onkotik transkapiler pada anak-anak penderita NS, dan oleh
karena itu terdapat sedikit kecenderungan terjadinya penurunan volume plasma, kecuali jika
hipoalbuminemianya parah. Demikian pula, selama anak-anak dengan NS tidak mengalami
kelebihan diuresis, volume plasma biasanya dipertahankan selama terapi diuretik untuk
menghilangkan edema.
Gangguan cairan dan elektrolit sangat umum pada periode perioperatif. Cairan
intravena dengan jumlah yang besar sering diperlukan untuk memperbaiki defisit cairan dan
mengkompensasi kehilangan darah selama operasi. Cairan dan elektrolit di dalam tubuh
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Komposisi cairan dan elektrolit di
dalam tubuh diatur sedemikan rupa agar keseimbangan fungsi organ vital dapat
dipertahankan. Gangguan besar dalam keseimbangan cairan dan elektrolit dapat dengan cepat
mengubah kardiovaskular, saraf, dan fungsi neuromuskular, dan penyedia anestesi harus
memiliki pemahaman yang jelas air normal dan elektrolit fisiologi (Butterworth JF et al,
2013).
Tubuh manusia pada kelahiran mengandungi sekitar 75% berat cairan. Di usia satu
bulan, nilai ini menurun menjadi 65% dan pada saat dewasa berat cairan dalam tubuh manusia
bagi pria adalah 60% dan wanita pula sekitar 50%. Selain itu, faktor kandungan lemak juga
mengkontribusi kepada kandungan cairan dalam tubuh. Semakin tinggi jumlah lemak yang
terdapat dalam tubuh, seperti pada wanits, semakin ssemakin kurang kandungancairan yang
ada. Nilai normal ambilan cairan dewasa adalah sekitar 2500ml, termasuk 300ml hasil
metabolism tenaga susbtrat. Rata-rata kehilangan cairan adalah sebanyak 2500ml dimana ia
terbahagi kepada 1500ml hasil urin, 400ml terevaporasi lewat respiratori, 400ml lewat
evaporasi kulit, 100ml lewat peluh dan 100ml melalui tinja. Kehilangan cairan lewat
evaporasi adalah penting kerna ia memainkan peranan sebagai thermoragulasi, dimanaia
mengkontrol sekitar 20-25% kehilangan haba tubuh. Perubahan pada kesimbanngancairan
dan volume sel bisa menyebabkan impak yang serius seperti kehilangan fungsi pada sel,
terutama ada otak.
32
2.8.2 Etiologi Elektrolit Imbalance
33
BAB III
PENATALAKSAAN UMUM
3.1 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak Ada
Nama : MR.M
Jenis Kelamin : Laki-laki
RM : 41XXXX
Tanggal Lahir : 06 – 09- 1955
Umur : 43 Tahun
Berat Badan : 95 kg
34
3.2 Ringkasan Pada Waktu Pasien Masuk RSUD Drs. H. Amri Tambunan Lubuk
Pakam
Pasien datang ke RSUD Drs. H. Amri Tambunan Deli Serdang melalui Instalasi Gawat
Darurat (IGD) pada tanggal 16 Agustus 2023 pukul 20.00 WIB, dengan keluhan lemas sejak
tadi pagi, sulit untuk berbicara dan berjalan. Pasien juga mengeluhkan sesak nafas berat dua
hari ini, batuk dijumpai sesekali, demam dijumpai satu hari ini, kedua kaki bengkak satu bulan
lebih, terdapat benjolan pada siku kiri 5 bulan ini.
Kondisi pasien saat masuk IGD yaitu:
Tekanan darah (TD) : 140/90 mmHg
HartRate (HR) : 105 x/menit
Respitarory Rate (RR) : 30 x/menit
Temperature (T) : 38.1°C
Selama dirawat di RSUD Drs H. Amri Tambunan Lubuk Pakam, pasien telah
menjalani pemeriksaan yaitu pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium hematologi,
gastroskopy.
Selama dirawat di RSUD Drs H. Amri Tambunan Lubuk Pakam, pasien telah
menjalani pemeriksaan fisik.
Tabel 3.4.1 Hasil Pemeriksaan Fisik
35
21/08/2023
140/90 mmHg 36,9 °C 86 x/menit 22 x/menit
22/08/2023
130/80 mmHg 38.5 °C 92 x/menit 22 x/menit
23/08/2023
130/90 mmHg 36.5 °C 82 x/menit 22 x/menit
36
3.5 Hasil Pemeriksaan Patalogi Klinik
37
Tabel 3.2 Hasil Pemeriksaan Elektrolit
38
3.6 Lembar Pemakaian Obat
Tabel 3.6.1 Lembar Pemakaian Obat
Inj. Ceftriaxone
3 /24 jam IV √ √ √ √ √ √
Inj. Omeprazole
√ √ √ √ √ √
5 /12 IV √
jam
Infus Paracetamol
8
1000 / 100 ml
/8 jam IV √ √ √
39
20 tetes
9 Infus NaCl 0,9% / menit IV √ √ √
0,9% / 500 ml
Otsu Salin 3%
10 20 IV √ √ √ √ √ √ √
NaCl √
tetes /
3% / 500 ml menit
Clopidogrel Oral √ √ √ √ √ √ √
11 √
1x1(p.c
)
Oral
12 Adalat oros 1x1(p.c √ √ √ √ √ √ √ √
)
Bisoprolol Oral
13 1x1 √ √ √ √ √ √ √ √
(p.c)
Amoxicilin
14 capsul 2x1 Oral √ √ √
(p.c)
Orixal (clarytomicin)
15 2x1 Oral √ √ √
(p.c)
40
Pasien pulang pada 23 Agustus 2023 karena kondisi mulai membaik dan tanda-tanda
vital stabil.
Obat Pulang yang diberikan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
1. Tepat Pasien
2. Tepat Indikasi
3. Tepat Obat
4. Tepat Dosis
5. Waspada Efek Samping
41
3.8 Pencatatan dan Pemantauan SOAP
SOAP FARMASI
Hari ke-1 16 Agustus 2023
Kalium: 3,3
Albumin: 2,9
42
SOAP FARMASI
Hari ke-2 17 Agustus 2023
43
SOAP FARMASI
Hari ke-3 18 Agustus 2023
Kalium: 3,2
44
SOAP FARMASI
Hari ke-4 19 Agustus 2023
45
SOAP FARMASI
Hari ke-5 20 Agustus 2023
Subjek Pasien mengatakan lemas, batuk (-), demam (-), kaki bengkak,
terdapat benjolan pada siku kiri
46
SOAP FARMASI
Hari ke-6 21 Agustus 2023
Natrium: 129
Kalium: 3,4
47
SOAP FARMASI
Hari ke-7 22 Agustus 2023
Subjek Pasien mengatakan sesak (-) dan lebih membaik, dan kedua
kaki bengkak berkurang, terdapat benjolan pada siku kiri
berkurang.
Objek TD : 130/80 mmHg
Nadi : 92 x/menit
RR : 22 x/menit
Temprature :
38.5oC
SOAP FARMASI
48
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang ke RSUD Drs. H. Amri Tambunan Deli Serdang melaluiInstalasi Gawat
Darurat (IGD) pada tanggal 16 Agustus 2023 pukul 21.42 WIB, dengan keluhan lemas sejak tadi
pagi, sulit untuk berbicara dan berjalan. Pasien juga mengeluhkan sesak nafas berat dua hari ini,
batuk dijumpai sesekali, demam dijumpai satu hari ini, kedua kaki bengkak satu bulan lebih, terdapat
benjolan pada siku kiri 5 bulan in.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, diagnosis yang diperoleh adalah Dyspnoe ec Oedem Paru
+ AKI dd CKD + Oedem Anasarka Pada tanggal 16 Agustus 2023 keluar hasil laboratorium yang
menyimpulkan bahwa pasien menderita Post Clipping ec Ulkus Bleeding + HHO + Pan Gastropathy
+ Anemia + Efusi Pleura + CKD + Oedem Anasarka + Elektrolit Imbalance Kemudian pasien
dipindahkan keruangan rawat inap mawar bawah III-B2 (kelas III) pada tanggal 17 Agustus 2023.
Selama masa perawatan, pasien mendapat terapi obat-obatan. Pemantauan terapiobat dilakukan
untuk melihat apakah penggunaan obat untuk terapi pasien diberikan secara rasional. Rasional
penggunaan obat meliputi: tepat pasien,tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, andwaspada efek
samping obat. Pemantauan terapiobat dilakukan setiap hari dan pengamatan sesuai dengan obat yang
diberikan.
Berdasarkan pengamatan, gelang yang dipakai pasien telah sesuai dengan nama, tanggal
lahir, serta nomor Rekam Medis (RM) pasien. Obat yang diberikan kepada pasien juga sesuai
dengan nama dan nomor Rekam Medis yang tertera pada etiket, serta pasien telah diidentifikasi
dengan cara meminta menyebutkan nama dan tanggal lahirnya.
Setiap obat memiliki spektrum terapi spesifik, maka pemberian obat harus sesuai dengan
gejalanya. Pengkajian tepat indikasi disajikan pada tabel 4.2.1.
49
Tabel 4.2.1 Pengkajian Tepat Indikasi dan Tepat Obat
50
4.3 Pengkajian Tepat Dosis
Amoxicilin capsul
Terapi
Kapsul 500 mg 2x1 Dosis sesuai dilanjutkan
51
Escorbid Tablet
(rebamipid) Terapi dilanjutkan
100 mg 3x1 Dosis
sesuai
Sucralfat Terapi
(syrup) Sirup 100 ml 3x2 Dosis dilanjutka
sesuai nsesuai
kebutuha
n
4.4 Pengkajian Waspada Efek Samping Obat dan Interaksi Obat Tabel
Efek
Nama Obat Manifestasi Efek Anjuran
Samping
Klinik Samping Pada
pasien
Furosemid injeksi
- Hipokalemia Tidak Terjadi -
Norages Injeksi Hipotensi
- Tidak Terjadi -
52
Muntah,
Orixal - diare, Tidak terjadi -
(clarytomicin) flatulensi
,palpitasi
Escorbid - Iritasi lambung, Tidak terjadi -
(rebamipide) mual muntah
Sucralfat Perut Tidak terjadi -
syrup kembung,
gangguan
cerna, mual
muntah
Setiap obat memiliki efek samping dan interaksi obat yang tidak diinginkan dalam terapi sehingga
pengkajian terhadap efek samping dan interaksi obat oleh apoteker menjadi sangat penting untuk membantu
dalam proses terapi.
Edukasi kepada pasien oleh apoteker dimaksudkan agar pasien menggunakan obat dengan
tepat baik jenis obat maupun waktu pemberiannya dan menjaga pola makan dan gaya hidup untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien.
Adapun edukasi yang dilakukan meliputi:
1. Menanyakan riwayat penyakit pasien sebelumnya
2. Menanyakan apakah pasien menerima terapi obat atau tidak
3. Memeriksa ketepatan penggunaan obat pada pasien
4. Memantau kepatuhan pasien dalam menggunakan obat
5. Menjelaskan indikasi dari pengobatan yang diterima pasien
6. Memantau apakah ada reaksi efek samping yang timbul dari obat yangdigunakan pasien.
7. Mengedukasi pasien agar menghindari Asap rokok, dan stres Terapi
Non farmakologi:
A. Diharapkan pasien melakukan personal hygiene yang baik
53
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama beberapa hari diruangan rawat inap mawar
bawah III-B2 (Kelas III) RSUD Drs H. Amri Tambunan Lubuk Pakam, yang meliputi tepat pasien,
tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis dan waspada efek samping. Berdasarkan pemantauan tersebut,
didapatkan beberapa kesimpulan yaitu:
1. Pemberian terapi obat pada pasien sudah sesuai dengan diagnosa pasien
2. Terdapat beberapa DRPs yaitu:
1) Pada tanggal 16 agustus 2023 nilai albumin pasien rendah yaitu 2,9 g/dL. Namun
belum mendapatkan terapi albumin dan disarankan untuk pemberian albumin sepeti
pemberian terapi Human albumin 25% 50ml 3fls pada pasien.
2) Pada tanggal 16 agustus 2023 nilai kalium pasien rendah yaitu 3,3 mEq/L. Namun
belum mendapatkan terapi kalium dan disarankan umtuk pemberian terapi kalium
pada pasien seperti pemberian terapi KSR 2x1 sehari untuk kalium.
3) Pada tanggal 16-19 agustus 2023 adanya indikasi tanpa terapi yaitu pasien
mengeluhkan batuk berdahak, namun belum mendapatkan terapi. Disarankan
pemberian terapi untuk batuk pasien seperti Acetylcistein 3x1 sehari sebagai
mukolitik untuk pengencer dahak.
5.2 Saran
1. Kepada seluruh tenaga kesehatan untuk terus meningkatkan kerjasama dan komunikasi
antar teman sejawat.
2. Apoteker untuk lebih meningkatkan kegiatan pelayanan farmasi klinis secara
berkesinambungan demi meningkatkan rasionalitas penggunaan obat di rumah sakit.
54
DAFTAR PUSTAKA
55